-
PART 161
Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat‐jiu Sin‐ong menjdi
marah. "Kau anak kecil tahu apa ? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu,
namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan
Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama,
kau mendapat jodoh pemuda paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi
suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu‐ilmunya juga menjadi
ilmu keluarga kita yang akan membikin Beng‐kauw makin bersinar. *****
kau. Hayo pulang!"
"Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana." Bantah Lu Sian
yang sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya.
Pat‐jiu Sin‐ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk
memusingkan urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana
seorang diri dan ia pun tidak kuatir karena puterinya memiliki kepandaian
yang lebih daripada cukup untuk menjaga diri.
"Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau
tidak pulang membawa jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret
pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar.
Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan
kubunuh laki‐laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang anggota
Beng‐kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik‐baik pesanku itu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat
lenyap dari situ.
Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya
terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu
akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui
pilihannya ? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia
memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng, sejenak berdiri
di tepi jurang melongok ke bawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak
berdasar dan mendengar suara berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia
menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu
Ketika tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan
napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri
tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui
-
PART 162
betapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh
karena itu, ia tidak berani menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Suatu sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandaipandainya
manusia, sekali‐kali ia akan mengalami hal yang membuat ia sama
sekali tidak mampu berdaya, dan di mana ikhtiar dan usaha sudah tiada
gunanya lagi, memang jalan terbaik menyerahkan segalanya kepada Tuhan
tanpa keraguan lagi, sebulat‐bulatnya.
Tepatlah kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini,
kesudahannya berada dalam kekuasaan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki
seseorang mati, biarpun si orang bersembunyi di lubang semut, maut pasti
akan tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki
seseorang tetap hidup, biarpun seribu bahaya datang mengurung, pasti ada
jalan orang itu akan tertolong.
Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening
dan semangatnya serasa melayang‐layang. Betapapun tabahnya, namun
malapetaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan
apa yang akan menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh
pada dasar jurang. Terlalu lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya
maut mempermainkan dirinya, tidak segera datang menjangkau. Ya Tuhan,
bisiknya, mengapa sebelum mati hamba‐Mu ini harus mengalami siksaan
begini mengerikan ?
Tiba‐tiba... "byuuurr!!" tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin.
Sebagai seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh
Kwee Seng segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi
tamparan air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti
pecah‐pecah, nyeri, perih dan panas rasanya. Untung baginya air itu cukup
dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang ke bawah
dan tubuhnya muncul lagi ke permukaan air. Masih gelap pekat di situ, dan
tiba‐tiba Kwee Seng merasa serem dan terkejut karena tubuhnya terseret
arus air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan dirinya kepada
Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya.
Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan tenggelam. Arus
air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar‐putar sampai kepalanya
menjadi pening. Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran, hal ini
berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air ya! ng! kuat. Benar dugaannya,
-
PART 163
makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba‐tiba tubuhnya tanpa dapat ia
pertahankan lagi, disedot ke dalam air !
Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia
berada di bawah air ia menggerakkan kaki tangannya kuat‐kuat sehingga ia
berhasil bebas daripada pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini
tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul
kembali di permukaan air, hatinya girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh
air sungai yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap
lagi sehingga ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin
ada lima ratus meter tingginya, tebing batu gunung yang hijau berkilau dan
licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus
yang kuat itu pasti akan menghantamkannya pada batu‐batu.
Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit‐apit tebing tinggi, terpaksa
Kwee Seng membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan
tiba‐tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya ngeri.
Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu
tertumbuk pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki
terowongan di dalam tebing ! Bagaimana akalnya ? Untuk mendarat tidak
mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama,
menahan arus air tak mungkin ! Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting
hancur oleh arus air kepada tebing di depan ! Akan tetapi ia tidak mau
menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat
mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam
sedalam mungkin.
Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus air pecahpecah
bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah
dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar
garis tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam
perut gunung ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi
nyawanya. Ia terseret arus yang amat cepat, ia hanya menahan napas
meramkan mata, sedapat mungkin mengerahkan sin‐kang di tubuhnya
karena tubuhnya mulai terbentur‐bentur batu. Kalau ia bukan seorang
gemblengan, tentu sudah remuk tulang‐tulangnya. Akan tetapi siksaan alam
ini terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika tiba‐tiba ia melihat
cahaya terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang terasa
sakit‐sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas. Ia masih berada dalam
-
PART 164
terowongan yang amat besar, merupakan gua panjang yang amat
menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar
dan makin dangkal. Di! a! tas bergantungan batu‐batu yang meruncing
seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari
yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya
tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.
Kwee Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya sakit‐sakit semua, lemas
dan tangan kanannya kaku lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap
didalam pundak kanannya. Rambut awut‐awutan menutupi muka,
pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek sana‐sini. Ia
mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal
sepaha dalamnya. Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan
tetapi ia beberapa kali terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat
jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat
keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua,
seorang nenek‐nenek yang memandang ke arahnya pwnuh perhatian. Nenek
ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput, pakaiannya
bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinarsinar.
"Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini
dalam keadaan masih hidup!" Nenek itu berkata penuh keheranan, akan
tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia
melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak
bergerak lagi karena sudah pingsan.
Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek‐nenek tua renta
yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat
tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu
mudah dan ringan, lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di
bawah tanah yang tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berlikaliku.
Dengan hati‐hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas
pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia
mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee Seng
berwarna hitam.
"Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya, cepatcepat
ia mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan lemari batu,
kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng,
-
PART 165
mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali
pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan
sebuah batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan
tangan. Aneh bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi
berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang berada di sekitar luka telah
disedot oleh batu itu ! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di
atas api, nenek itu kembali menggunakan batu mujijat untuk menyedot
darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah
merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk dituangkan ke dalam
luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah
sebuah ikat pinggang.
Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya
memang hebat sehingga ia seakan‐akan keluar kembali dari lubang kubur,
terlepas dari cengkraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh
pingsan itu, selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar.
Ia tidak tahu betapa luka‐lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek
tua, tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang
malam, tidur sambil duduk bersila di dekat pembaringan batu.
Pada hari keempat, pagi‐pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia
merasa tubuhnya sakit‐sakit dan lemah, ketika ia membuka matanya, ia
melihat langit‐langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari
dinding batu itu yang penuh dengan tulisan lebih tepat ukiran karena dinding
itu penuh tulisan huruf yang agaknya diukir. Huruf‐hurufnya halus dan indah,
jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia
bahwa tulisan‐tulisan itu merupakan syair‐syair yang amat indah pula
walaupun mengandung peluapan hati berduka. Ketika mendapat kenyataan
bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di dalam sebuah "kamar" batu
seperti gua, teringatlah Kwee Seng dan cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu
ia melihat seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat pembaringan
batu.
"Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi.
Berbaringlah, aku akan masak ikan dan sayur untukmu."
Suara itu halus sekali, teratur dan sopan‐santun. Kwee Seng terbelalak kaget.
Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping
ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang
tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap
-
PART 166
orang‐orang kang‐ouw, pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam
istana raja‐raja !
Ketika merasa pundaknya sakit dan ketika diliriknya ia melihat pundaknya
sudah dibalut, dan tidak ada rasa kaku maupun gatal tanda bahwa pengaruh
racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan
penolongnya. Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja
ia terjungkal saking lemahnya tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena
nenek itu tetap duduk bersila.
"Locianpwe (Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada
saya orang muda yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi
kebaikan ini."
Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi
mulutnya, gerakan khas wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara
terbuka di depan siapapun juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang
halus dengan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan,
"Saling tolong tidak mengenal tua dan muda, dan akupun tidak bermaksud
menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan membutuhkan
pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, mahluk berjiwa apapun juga yang
terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan tetapi
engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah ***** yang
mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"
"Maaf, Locianpwe, saya kira bukan ***** yang Locianpwe maksudkan. Tentu
Tuhan yang telah melindungi saya..."
"Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan,
terlalu banyak hati ini memohon, terlalu sering mulut ini menyebut, akan
tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada
diriku...." Bukan main pahitnya suara dalam kata‐kata ini dan Kwee Seng
dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup
yang amat luar biasa sehingga hatinya seakan‐akan menjadi beku dan penuh
penyesalan mengapa hidupnya selalu menderita seakan‐akan Tuhan tidak
mempedulikannya. Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti
dan malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walaupun ia
merasa penasaran dan terheran‐heran mengapa seorang nenek tua yang
-
PART 167
sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, begitu dangkal pandangannya
tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.
"Bolehkah saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?" akhirnya ia
bertanya.
"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah
berada di sini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama
untukku. Sipa saja terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut
menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan
cekatan, "Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar, untung pada musim seperti
ini, daun kelabang di bawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan suburnya.
Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat
kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih bukan main
lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu
yang duduk bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga
jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentusaja
amat janggal, seorang nenek berbau harum ? Apakah memakai minyak bunga
? Dan mata nenek itu. Bukan main ! Diam‐diam meremang bulu tengkuk
Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih
hidupkah dia ? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka
dimana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang iblis betina ?
Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka
Bumi ! Gerak‐geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi
suaranya begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari
perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada
cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal
mata ini ! Ah, tak mungkin !
Tiba‐tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya
bergema di seluruh ruangan, "Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar
kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab‐kitab
tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara ini menyadarkan Kwee Seng daripada lamunannya. Mengapa ia harus
merasa ngeri ? Manusia maupun *****, nenek itu telah membuktikan niat
-
PART 168
baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai,
merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan
makanan untuknya. Kitab‐kitab kuno ? Lebih baik melihat‐lihat daripada
duduk menanti orang masak, karena teringat akan masakan, perutnya yang
perih akan makin terasa. Ia bangkit berdiri, menahan napas dan
mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa lemahnya
tubuh, seakan‐akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat
baik, kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini,
tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan
terhuyung‐huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan
terowongan mencari kamar kitab‐kitab itu.
Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum.
Dinding kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri banyak sekali
kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat
tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal ! Sebelum menjadi ahli silat,
Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitabkitab
kuno yang mengandung filsafat‐filsafat berat. Kini melihat kitab kuno
berderet‐deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa
ia akan semua kelemahan tubuhnya, setengah tubuhnya, setengah meloncat
ia mendekati rak buku batu itu dan jari‐jari tangannya gemetar ketika ia
memeriksa judul‐judul buku. Ternyata kitab‐kitab itu adalah kitab‐kitab
mengenai Agama To, sebagian pula merupakan kitab dongeng‐dongeng rajaraja
jaman dahulu, kitab berisi syair‐syair para pujangga kuno. Sampai
bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan.
Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau mengambil sebuah
diantaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab
untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu
kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak dan
gerakan‐gerakan bintang‐bintang.
Yang mula‐mula ia buka dan baca adalah kitab tentang samadhi itu dan
alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu
benar‐benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana
dijelaskan tentang pelbagai ilmu samadhi, cara‐caranya dan segala yang
berhubungan dengan samadhi mengenai peredaran jalan darah, pernapasan
dan lain‐lain. Ia pernah melatih diri bersamadhi untuk melatih lwee‐kang dan
memperkuat sin‐kangnya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu
amatlah dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini.
Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai
harganya, Kwee Seng membawa kitab Samadhi dan Perbintangan itu keluar
dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapapun juga, ia harus
-
PART 169
minta ijin dulu dari Si Pemilik Kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata
wanita itu bukan sembarang orang ! Dengan memiliki kitab‐kitab seperti ini,
jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi !
Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya
nama, bahkan minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya !
Ia sedang tekun membalik‐balik lembaran kitab Samadhi ketika nenek itu
yang muncul membawa mangkok‐mangkok batu dengan masakan yang
masih mengebul dan masih menyiarkan bau yang sedap‐sedap aneh. Cepat
Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata, "Mohon maaf
sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu Locianpwe yang
budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia mengambil dua
buah kitab ini. Apabila Locianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua
ini untuk saya baca."
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok‐mangkok masakan
di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab
itu, "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit‐sedikit berlutut seperti
itu. Kita berdua seakan‐akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia
ramai, mengapa harus memakai banyak tatacara yang palsu? Kwee Seng,
duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab‐kitab itu ? Hemm, kitab
tentang Samadhi dan kitab Perbintangan ? Ah, justeru dua kitab itu yang aku
sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimatkalimatnya
amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau
bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng. "Locianpwe amat mulia, terima kasih
atas pemberian ...." "Siapa memberi ? Kitab‐kitab itu sudah berada di sini
sebelum aku lahir ! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan
bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng
tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu
adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur‐sayuran yang berwarna
hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa
malu‐malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan
bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan
hidangan aneh itu.
-
PART 170
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok
batu, akan tetapi cepat‐cepat Si Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok
adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai
membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi."
Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng mengikutinya,ternyata Neraka
Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang
jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daundaunnya
berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Tidak kekurangan
kayu bakar di situ, agaknya dari kayu‐kayu dan ranting‐ranting yang terbawa
aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana terdapat
sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan
tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali ! Mereka
telah terkurung hidup‐hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu
saja jalan keluar masuk neraka ini ! Untuk memasukinya saja
mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu
deras, agaknya tidak mungkin lagi. Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu
dan duka, akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta,
ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk
menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak
kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti
penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih
terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal‐tebal yang agaknya tak mungkin
dapat habis biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi
?
Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng.
Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi,
setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk‐petunjuk isi kitab,
Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya
cepat pulih kembali, behkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab
itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya
terasa nyaman selalu. Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadangkadang
saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun
menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintangbintang
ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang
ilmu pedangnya Cap‐jit‐seng‐kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) !
-
PART 171
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu
kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya
yang robek‐robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng
memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau
mengaku namanya maupun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk
mendesak, nenek itu bersungut‐sungut dan menjawab dengan suara kesal.
"Sudahlah, kausebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kausebut
sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?"
Tertegun Kwee Seng kadang‐kadang menyaksikan sikap nenek ini. Begitu
mudah ngambul dan marah, kadang‐kadang diam termenung seperti orang
menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia
menghilangkan panggilan locianpwe dan memanggilnya nenek. Anehnya
kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan
yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu
memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat
bernyala‐nyala dan amat tajam, ia merasa seakan‐akan pernah melihat mata
macam ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi
karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang
nenek yang begini aneh.
Dengan mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak terasa lagi oleh
Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam samadhi dan
memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah
terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari ! Tiga tahun
lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan
kemajuan ilmu silatnya. Tenaga sin‐kangnya hebat sekali sehingga ketika ia
mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air
yang deras untuk beberapa detik ! Dengan latihan‐latihan berdasarkan ilmu
perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk "mendaki" naik
sepanjang dinding tebing yang licin dan keras dengan cara menancapnancapkan
dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor
kelabang !
Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu Si Nenek
memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar‐benar ia merasa
seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri !
Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan
keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu‐sedu !
-
PART 172
"Kalau kau pergi ... aku... aku mati saja..." Si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa
mendapatkan jalan keluar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini
dan..."
"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai ? Aku mau mati
di sini!"
Kwee Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu.
"Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!"
"Jangan sentuh aku!" Tiba‐tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan
Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang
cukup hebat. Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang
hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu
tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sin‐kang nenek ini
agaknya tidak akan melebihi tenaga sin‐kangnya sendiri. Hal ini amatlah
mengherankan.
"Nenek yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu
bertumpuk‐tumpuk, sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu.
Oleh karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan keluar dan membawamu
di dunia ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek
atau ibu sendiri, dan aku akan berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu
untuk membalas budi..."
"Cukup ! Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan
sikap marah. Kwee Seng duduk terlongong, terheran‐heran. Akan tetapi sikap
nenek itu tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari jalan keluar.
Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur diri
sampai mati di tempat itu ?
-
PART 173
Tiba‐tiba terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan
menjadi gelap. Cepat‐cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari minyak yang
dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi remang‐remang.
Nenek itu datang berjalan perlahan.
"Suara apakah itu, Nek?" "Hujan ! Agaknya akan datang musim hujan besar.
Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak cahaya matahari, gelap di sini
dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."
"Wah, celaka ! Tentu di sini terendam air, Nek?"
"Jangan kuatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan.
Tak pernah banjir di sini, akan tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum
banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumulkan ikan untuk
bahan makan, juga mengumpulkan sayur."
Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan
mengumpulkan kayu bakar, sayur‐sayur. Kemudian tibalah musim gelap dan
hujan yang dikuatirkan. Air yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi
liar dan besar, batu‐batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan
itu, bergema menakutkan. Lubang di atas melalui tebing‐tebing tinggi itu
tidak dijenguk matahari lagi. Gelap pekat, hanya diterangi lampu minyak
yang hanya kadang‐kadang kalau perlu saja dinyalakan, harus seringkali
dipadamkan, apalagi di waktu mereka tidur, untuk menghemat minyaknya. Si
Nenek tidak marah‐marah lagi. Dalam keadaan terancam itu mereka
seringkali duduk bercakap‐cakap.
Pada hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan,
nenek itu bertanya suaranya halus menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng,
apakah masih ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"
Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat kuatir
ditinggalkan. "Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus
mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar
harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat
pula keluar bersamaku."
-
PART 174
Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau
lebih tepat melihat matanya, karena wajah nenek yang keriputan itu tak
pernah membayangkan isi hatinya. Akan tetapi matanya dapat
membayangkan. Namun di dalam gelap itu ia hanya menanti, tak dapat
melihat apa‐apa.
"Kwee Seng..." tertahan lagi. "Ya, Nek ? Ada apa ?" "Kau bilang hendak
merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang macam apa
kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di tempat
ini. Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."
Kwee Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita.
Bukankah nenek itu pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula
menceritakan tentang dirinya ? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan.
Agaknya Si Nenek hendak menimbang‐nimbang untuk ia ajak keluar di dunia
ramai !
"Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil.
Aku hidup mengabdi kepada orang‐orang, menjadi buruh tani, menggembala
kerbau. Di dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang
mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta
huruf pun bukan. Lebih senang ilmu silat, itu pun serba tanggung‐tanggung."
"Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu." Bantah Si
Nenek.
"Ah, agaknya mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau
pinjamkan, Nek." Kemudian Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya,
karena makin banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia menganggap
seakan‐akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri. Segala
dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia tumpahkan karena justeru selama ini
ia membutuhkan seorang yang dapat ia ceritakan untuk menumpahkan
semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang‐siauw‐hwa,
kembangnya ******* di see‐ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia bercerita
pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan
-
PART 175
pertempurannya melawan Pat‐jiu Sin‐ong yang mengakibatkan ia terjungkal
ke dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.
"Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng
mendongkol dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya
sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas !
Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara
yang serak seperti orang menangis.
"Nek, mengapa kau menangis?" "Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng.
Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas kaucinta ? Agaknya... agaknya
lebih patut kau mencinta Ang‐siauw‐hwa."
"Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami
kebahagiaan yang takkan terlupa olehku selamanya bersama Ang‐siauw‐hwa,
walaupun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia
muda..."
"Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi *******, apakah baiknya ? Hina
sekali itu ! Lebih baik mati ! Akan tetapi, apakah... kau dapat mencintanya
andai kata ia tidak mati?"
"Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat ! Dan wataknya... ah,
jauh lebih menyenangkan daripada Liu Lu Sian..."
Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu
terisak‐isak menangis, ia mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu
masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak
menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya,
seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga mendengar semua
penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka ! Akan tetapi setelah lewat
satu jam nenek itu masih saja terisak‐isak, Kwee Seng menjadi kuatir juga.
"Nek, apa kau menangis ? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan
hati, Nek."
-
PART 176
Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir.
Jangan‐jangan nenek yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena
kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering,
menyalakan pelita. Akan tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin
yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam. Kiranya Si Nenek
meniupnya dari jauh, memadamkan api.
Kwee Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkuatirkan hatiku karena
menangis sejak tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"
Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda,
akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri
telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa
menit kemudian terdengar suara Si Nenek, agak jauh dari tempat ia
berbaring.
"Kwee Seng..." "Ya, Nek. Ada apa?" "Kalau kau keluar dari sini..." berhenti
seakan sukar dilanjutkan. "Ya....?" Kwee Seng mendesak. ".... Aku tidak akan
ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan..." "Ya... ? Permintaan
apa, Nek ? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan
sanggup untuk membalas budi dengan merawatku selamanya?"
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut..."
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama
hidup. Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit.."
"Apa, Nek ? Katakanlah." Hening kembali sampai lama, menegangkan hati
Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek itu.
-
PART 177
"Ya, Nek ? Bagaimana kehendakmu?" "Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap
ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."
"Ya, betul agaknya. Lalu?" "Selama itu kau tidak boleh mencoba keluar..."
Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya ? Gila benar. Mengapa
bersusah‐susah mengucapkannya ? "Ha‐ha‐ha ! Tentu saja, Nek. Tidak usah
meminta pun bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat
mengamuk?"
"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini dan..." "Ya... ??" Kwee Seng mulai
tidak sabar. ".... dan ... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa ??" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah.
Begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu, saking kagetnya. Ia
terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak
dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat
keluar dari mulutnya hanya, "... apa ...? ?... ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya
kepada telinganya sendiri.
Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu.
"Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau
berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya.
"Apa ?? Gila ini ! Tak mungkin!!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu‐sedu menangis, ditahantahan
sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang
kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras.
Kemudian terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara tangisnya,
"Ah, aku tahu...kau tentu menolak..."
-
PART 178
Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu, ada sejam lebih tak bergerakgerak,
seakan‐akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu‐sedan
nenek itu seakan‐akan pisau menusuk‐nusuk jantungnya. Apakah nenek itu
sudah menjadi gila ? Nenek‐nenek yang melihat keriput di mukanya tentu
berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya ?
Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila‐gilaan ini ? Menjemukan
sekali ! Sialan ! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang
mencintanya, seorang nenek‐nenek hampir mati ! Mana mungkin ia
membalas cinta seorang nenek‐nenek yang buruk rupa ? Teringat ia akan
Ang‐siauw‐hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis puteri Beng‐kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila‐gila
kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut
teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci,
sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguhsungguh
penuh kasih sayang selama seribu hari ! Dan dia menolak cinta
nenek itu. Menolak begitu saja ! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki
pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya ! Ah, betapa sakit hati
nenek itu, dapat ia membayangkannya. Ia menjadi seorang yang tak kenal
budi ! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya
ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih daripada itu. Mungkin nenek itu,
ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang‐kenangan manis
untuk dibawa mati ! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian
pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti
bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai ! Sebagai
wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul
keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku
sebagai suaminya ! Ah, betapa bodohnya. Apa sih artinya pengorbanan
sekecil ini ? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri,
bicara manis dan menghibur dengan kata‐kata penuh sayang. Kiranya cukup
bagi Si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih daripada itu.
Berjam‐jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya
sendiri, sedangkan suara sedu‐sedan nenek itu tetap terdengar olehnya
makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan pengalamannya
bersama Ang‐siauw‐hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih
dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan
seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus
yang menyatakan cinta kasih Ang‐siauw‐hwa, melihat mata indah dari dekat,
mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata
yang..! Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu ! Mata nenek itu ! Itulah mata
Ang‐siauw‐hwa ! Tak salah lagi. Mata Ang‐siauw‐hwa Si Kembang *******
-
PART 179
Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya
pun sama. Mata Ang‐siauw‐hwa ! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal
mata itu apabila Si Nenek memandangnya.
"Ahhh...!" terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya. Akan
tetapi Ang‐siauw‐hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja.
Banyak mata wanita yang cantik‐cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini
dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik
jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa
artinya usia ? Apa artinya keburukan rupa ?
Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu
bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali
nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling
jauh dalam "rumah tinggal" itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit
dan mati, maka akulah pembunuhnya ! Aku membalas budinya dengan
menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini !
Kwee Seng berdiri, meraba‐raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api,
akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalaukalau
nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena untuk
melakukan "sandiwara" yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di
dalam gelap, tanpa melihat wajah Si Nenek! Ia meraba‐raba dan akhirnya
kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ, membawanya ke depan
pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak‐isak perlahan.
"Nek... aku datang..." "... pergi ! Mau apa lagi kau datang ? Kalau kau
mengejekku, mau menghinaku..., demi *****... akan kubunuh kau!"
"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku
sampai hati melukai hatimu ? Aku datang kepadamu untuk... untuk
memenuhi permintaanmu..."
Tiba‐tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali.
Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan‐akan nenek itu tidak hanya
berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas ! Kemudian tedengar gerakan
nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.
-
PART 180
"Apa...? Kau.. kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai...
sebagai isterimu...?"
"Ya!" jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara
terbaik untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku
menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walaupun kita sama
tahu bahwa aku tidak mencintamu." Hal inilah yang mengganggu perasaan
hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak
merasa seperti seorang penipu.
"Ah, terimakasih...!" Nenek itu tahu‐tahu sudah merangkulnya dan menangis,
mendekapkan muka pada dadanya, berbisik‐bisik, "Terimakasih... Kwee‐koko
(Kanda Kwee)... sekarang matipun aku tidak akan penasaran lagi..."
Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin
mendapatkan kenang‐kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia
memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena
bukankah tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi
permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama sekali bukan karena cinta ?
Betapapun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek
itu menyebutnya "kakanda"!
"Niocu.." katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang
bersandar di dadanya. Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya
itu ketika mendengar sebutan "niocu". "Karena keadaan tidak mengijinkan,
maka kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan
pernikahan kita tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku,
Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."
"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi
suamiku... ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini ! Hampir gila
aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!"
Nenek itu memeluknya makin erat.
-
PART 181
Biarpun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya !
Akan tetapi hidungnya kembang‐kempis, bau harum yang selalu ia rasakan
apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum
mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan
lengan yang merangkulnya begitu halus ! Begitu halus dan hangat. Dan ia
teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya. Di dalam gelap itu,
terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali
dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang‐siauwhwa.
Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia
menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang
menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.
Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang‐siauwhwa
ketika dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia
mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati !
Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan
seorang nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk
Ang‐siauw‐hwa ! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya
ini, tangannya meraba‐raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini
Ang‐siauw‐hwa ! Akan tetapi Ang‐siauw‐hwa sudah meninggal dunia ! Mana
mungkin ?
"Kwee‐koko... ah, betapa cintaku kepadamu..." Nenek itu berbisik‐bisik dan
terisak penuh kebahagiaan dan haru.
Suaranya pun suara Ang‐siauw‐hwa ! "Kwee‐koko, betapa rindunya aku
kepadamu..."
Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai.
Tangannya meraba‐raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga
bunga api berpijar‐pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar
terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar
bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung bibir
merah mata indah. Muka Ang‐siauw‐hwa!
"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu..." Dalam gelap Kwee Seng
terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang,
penuh kerinduan yang selama ini ditekan‐tekannya.
-
PART 182
"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang‐siauw‐hwa... alangkah rinduku
kepadamu!"
Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan
cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu
Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu ! Kesadarannya kadang‐kadang
memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang
nenek akan tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut
perasaannya ia berkasih‐kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang
dalam anggapannya kadang‐kadang seperti Ang‐siauw‐hwa dan kadangkadang
seperti Liu Lu Sian !
Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia,
mahluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan‐penyelewengan,
mahluk yang selemah‐lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja
kelemahannya di samping kebaikan‐kebaikannya. Pemuda ini dahulunya
tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan
tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng‐kauw,
ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya,
seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasihkasihan
dengan seorang nenek ? Dalam anggapannya, ia memperisteri
seorang wanita yang muda dan cantik jelita ! Inilah kelemahan Kwee Seng,
pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah,
mudah terpengaruh.
Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih‐kasihan dengan
nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Angsiauw‐
hwa setengah Liu Lu Sian ! Tak pernah nenek itu membolehkan dia
menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab,
dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan
makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng
merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua
renta yang berkeriputan kedua pipinya.
Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasihkasihan
itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan
senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti
wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur
-
PART 183
dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu
cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita !
Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sum‐sum, membuatnya
setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan
remang‐remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba‐raba
dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk
isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.
Tiba‐tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi ! Ia berada dalam
kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi ? Ada
cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti ! Ia
dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibatlibat
tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya.
Kegelapan yang mengerikan telah pergi !
Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak
memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia
membungkuk dan... tiba‐tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur
seakan‐akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin,
tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau,
pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia
anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh
keriput !
Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora
nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasihkasihan
dengan seorang nenek‐nenek ! Bukan lagi mengorbankan diri untuk
menyenangkan hati nenek‐nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk
membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah
yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra ! Dialah yang seakan‐akan
tergila‐gila, dan ternyata ia telah tergila‐gila kepada seorang nenek‐nenek !
Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya
sendiri, "Plak‐plak‐plak‐plak!" Begitu terus menerus berkali‐kali sampai
kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak‐bengkak, kemudian ia lari
keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa‐tawa. Cepat sekali ia lari
seperti dikejar *****. Memang ia dikejar *****. ***** bayangan pikirannya
sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi *****
yang mengejar‐ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu ! Malu dan
harus ia pergi dari situ cepat‐cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak
-
PART 184
mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggilmanggilnya.
Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut
yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir
panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran ***** itu segera
meloncat ke tengah.
"Byuuur!" Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun ke dalam
air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejarngejarnya
dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan
kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sin‐kangnya.
Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan
menangis, memanggil‐manggil namanya dengan suara mengharukan,
seorang wanita yang rambutnya riap‐riapan; rambut yang hitam halus dan
panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal‐tambalan, yang mukanya
basah air mata, muka yang cantik jelita kedua pipinya kemerahan hidungnya
mancung bibirnya merah matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee
Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di
tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia
terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan
kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit yang amat
halus buatannya, topeng seorang nenek‐nenek tua renta..!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya
merupakan tokoh penting, kalau tidak yang terpenting, dalam cerita ini.
Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak
gara‐gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti
perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut
pulang dengan ayahnya, Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan, yang memeberi waktu satu
tahun kepadanya untuk merantau dan "memilih suami". Gadis itu masih
berdiri termangu‐mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang
dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapapun juga, ia merasa kasihan
kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia
menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu
sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik."
Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia
kembali menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan
berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena penduduknya
-
PART 185
mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak
jauh dari situ.
Sewaktu Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat
menentramkan pikirannnya yang terguncang dan sambil makan ia
mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya, ia
mendengar derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung
kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar orang berteriak‐teriak. Tadinya
Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda,
mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan
bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia
menengok ke jalan, orang‐orang sudah lari cerai‐berai bersembunyi.
"Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan
takut.
"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera barsembunyi
dan kalau nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."
"Ada apakah ? Barisan apa yang datang itu?"
"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang
banyak sekali lewat kampung ini, dan pada saat seperti sekarang ini, semua
pasukan merupakan perampok‐perampok yang jahat, apalagi kalau melihat
wanita cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti
Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang !
Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia
takutkan ? Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik‐baik,
akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah ? Boleh coba‐coba ganggu
kalau hendak berkenalan dengan pedangnya ! Akan tetapi ketika mendengar
derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya
untuk ke luar warung menonton.
-
PART 186
Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan
berkuda, dengan kuda yang bagus‐bagus, dipimpin oleh seorang komandan
muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian
keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana
terdapat seorang wanita muda sedang membetot‐betot tangan puteranya
yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya
orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda,
usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya
kuning bersih.
"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku,
malam ini bersenang‐senang denganku. Ha‐ha‐ha!" Penunggang kuda itu
membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu
sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit
ketakutan.
"Tar‐tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat
tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan
kembali ! Di wilayah Kam‐goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan
namaku ? Orang *****!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah
Si Opsir Muda. Wanita itu cepat‐cepat menggendomg anaknya yang menangis
dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian,
jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi
agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin
barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan
tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke
arahnya, tersenyum‐senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia
masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk
termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar‐benar
seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu
suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri
dari orang‐orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan
serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.
-
PART 186
Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan
berkuda, dengan kuda yang bagus‐bagus, dipimpin oleh seorang komandan
muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian
keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana
terdapat seorang wanita muda sedang membetot‐betot tangan puteranya
yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya
orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda,
usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya
kuning bersih.
"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku,
malam ini bersenang‐senang denganku. Ha‐ha‐ha!" Penunggang kuda itu
membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu
sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit
ketakutan.
"Tar‐tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat
tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan
kembali ! Di wilayah Kam‐goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan
namaku ? Orang *****!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah
Si Opsir Muda. Wanita itu cepat‐cepat menggendomg anaknya yang menangis
dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian,
jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi
agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin
barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan
tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke
arahnya, tersenyum‐senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia
masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk
termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar‐benar
seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu
suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri
dari orang‐orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan
serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.
-
PART 187
Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur‐angsur penduduk kembali
ke rumah masing‐masing jalan penuh lagi oleh orang‐orang yang hilir mudik.
Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran‐heran melihat Lu Sian
masih duduk di situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona ? Hebat, benar‐benar
Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat
dengan benteng Kam‐goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun
ini sejak lama seperti dusun‐dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti
itu terhadap rakyat?"
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si
komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti
Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang
seperti Kam‐goanswe diberi panjang umur!"
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari
keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan
Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal‐hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau
dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam
Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya
berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika
panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng‐kauw untuk menolong
seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang di telinganya kata‐kata Kam Si
Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi
pemenang .... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah
aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata‐katanya, kata‐kata yang jelas
merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati"
terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah
menghias diri serapi‐rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat
menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa
penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin,
bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan
sedang bermain kartu di bawah sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu
melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit
kemudian ia telah berloncatan ke atas genteng.
-
PART 188
Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek
yang berada di tengah‐tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara
orang berkata‐kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia
berindap dan dengan hati‐hati melayang ke bawah memasuki gedung dari
belakang, dan di lain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan
di mana terjadi pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba
putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui
Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya
kemerahan metanya berapi‐api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga
orang perwira, dengan muka tertawa‐tawa mengejek. Seorang di antaranya,
yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat
Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
"Lai Li‐hiap , sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li‐hiap (Nona Yang
Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami,
Li‐hiap tidak berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah
kekerasan Kam‐goanswe. Sekarang Phang‐ciangkun (Panglima Phang) yang
memegang komando di benteng ini, Lai‐hiap tidak berhak mencampuri
urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah
terlalu banyak Li‐hiap biasanya mencampuri urusan ketenteraan, sewenangwenang
menghukum anak buah kami padahal biarpun Li‐hiap adalah kakak
sepergurun Kam‐goanswe namun Li‐hiap tetap seorang biasa, bukan
anggauta ketentaraan."
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang
bekas pembntu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia‐manusia yang
pada dasarnya sesat ! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum
tentara menyeleweng, itu sudah semestinya ! Dan aku membantu Suteku
menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan
penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang
gagah. Di depan Sute, kalian berpura‐pura baik, sekarang , baru setengah hari
Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya
serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang
buruk ! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta
benda rakyat. Orang‐orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara ?
Pantasnya dikirim ke neraka !"
-
PART 189
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok
mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata,
memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di
mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi
komandan baru benteng itu, Phang‐ciangkun yang tinggi besar dan berkulit
hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan
"Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa
semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi
komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona,
sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu
akan peraturan‐peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah
tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona
sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona
melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada
komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita
bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal‐hal tidak baik dan memalukan
kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum
bersama dan bersenang‐senang!" Setelah demikian, komandan muda itu
memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri‐seri
mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu
bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam
kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul
Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah
berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam
rumah itu.
Tiga orang perwira itu tertawa‐tawa bergelak. "Ha‐ha‐ha, perempuan galak
itu pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau
tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha‐ha‐ha!" kata
seorang yang duduk di kiri.
Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang
ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul,
biarlah ditangkap sekali. Phang‐ciangkun, mari kita bersenang‐senang makan
minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa
ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha‐ha‐ha!"
-
PART 189
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok
mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata,
memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di
mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi
komandan baru benteng itu, Phang‐ciangkun yang tinggi besar dan berkulit
hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan
"Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa
semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi
komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona,
sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu
akan peraturan‐peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah
tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona
sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona
melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada
komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita
bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal‐hal tidak baik dan memalukan
kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum
bersama dan bersenang‐senang!" Setelah demikian, komandan muda itu
memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri‐seri
mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu
bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam
kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul
Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah
berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam
rumah itu.
Tiga orang perwira itu tertawa‐tawa bergelak. "Ha‐ha‐ha, perempuan galak
itu pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau
tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha‐ha‐ha!" kata
seorang yang duduk di kiri.
Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang
ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul,
biarlah ditangkap sekali. Phang‐ciangkun, mari kita bersenang‐senang makan
minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa
ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha‐ha‐ha!"
-
PART 190
Mereka bertiga tertawa‐tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena
secara tiba‐tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata.
Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas
sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung
ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan
sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul,
ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang
pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.
Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada
sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga
terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phangciangkun
agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari
sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami
pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman,
maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan
berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ?
Apakah hendak menemaniku makan minum?"
Akan tetapi tiba‐tiba ia berteriak kaget karena tahu‐tahu meja di depannya
telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya
kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya,
Phang‐ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua
sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah
sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali.
Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di
tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!" teriak Phang‐ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada
gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan
ingin menawannya hidup‐hidup. Dua orang temannya menahan golok dan
meloncat mundur.
-
PART 190
Mereka bertiga tertawa‐tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena
secara tiba‐tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata.
Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas
sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung
ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan
sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul,
ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang
pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.
Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada
sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga
terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phangciangkun
agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari
sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami
pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman,
maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan
berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ?
Apakah hendak menemaniku makan minum?"
Akan tetapi tiba‐tiba ia berteriak kaget karena tahu‐tahu meja di depannya
telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya
kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya,
Phang‐ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua
sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah
sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali.
Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di
tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!" teriak Phang‐ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada
gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan
ingin menawannya hidup‐hidup. Dua orang temannya menahan golok dan
meloncat mundur.
-
PART 191
"Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada
permusuhan di antara kita!"
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka
hitam itu. "Ihh, manusia ******* ! Kau masih bisa bilang tidak ada
permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya,
menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa‐apa?"
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahutahu
pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung‐gulung
dan menyambar ke arah Phang‐ciangkun. Perwira ini kaget bukan main.
Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang
kiam‐hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya,
dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri
membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang‐orang kasar yang
pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran
untuk bertindak sewenang‐wenang, yang hanya berani dan sombong karena
mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang
Toa‐hong‐kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng
secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phangciangkun
sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun
terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi
sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum
roboh tiga orang itu sempat berteriak‐teriak memanggil bala bantuan, akan
tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya
melihat Pang‐ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak
bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para
penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela
yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan
gebreng dipukul bertalu‐talu karena tadinya mereka itu semua bersenangsenang
karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si
Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil
mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba
di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas
tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang
menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut mintaminta
ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa
bertindak sewenang‐wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di
-
PART 191
"Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada
permusuhan di antara kita!"
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka
hitam itu. "Ihh, manusia ******* ! Kau masih bisa bilang tidak ada
permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya,
menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa‐apa?"
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahutahu
pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung‐gulung
dan menyambar ke arah Phang‐ciangkun. Perwira ini kaget bukan main.
Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang
kiam‐hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya,
dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri
membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang‐orang kasar yang
pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran
untuk bertindak sewenang‐wenang, yang hanya berani dan sombong karena
mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang
Toa‐hong‐kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng
secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phangciangkun
sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun
terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi
sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum
roboh tiga orang itu sempat berteriak‐teriak memanggil bala bantuan, akan
tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya
melihat Pang‐ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak
bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para
penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela
yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan
gebreng dipukul bertalu‐talu karena tadinya mereka itu semua bersenangsenang
karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si
Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil
mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba
di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas
tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang
menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut mintaminta
ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa
bertindak sewenang‐wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di
-
PART 192
tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya,
ia tidak akan merasa malu‐malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.
"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phangciangkun
untuk mencelakakan Kam Si Ek ! Sekali kau membohong, pedangku
akan memenggal lehermu!"
Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara
tergagap‐gagap perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar
Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut‐ikut...! Yang mengatur
semua adalah Phang‐ciangkun dan teman‐temannya di Shan‐si. Karena iri
terhadap nama besar dan kekuasaan Kam‐goanswe, untuk diajak berunding
mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang‐ciangkun
yang mengundang Kam‐goanswe ke ibu kota, akan tetapi di sana ia telah
bersekongkol dengan teman‐temannya untuk menangkap Kam‐goanswe dan
melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam‐goanswe tidak mau menghadap
dan malah merencanakan pemberontakan."
"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. Hayo katakan
di mana Kam Si Ek akan di tahan !"
"Saya... saya tidak tahu betul, hanya ... hanya mendengar dari Phang‐ciangkun
bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam
Kelenteng Tee‐kong‐bio di kota itu ... dan ... ahh!!" jerit terakhir ini
mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Yoa‐hong‐kiam
memisahkan kepala dari badannya.
Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya
ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya
mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan
pakaiannya, bahkan memukuli Si Pemilik rumah penginapan dan merampas
harta benda orang itu pula.
Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang
terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa kuatir sekali karena Jenderal
Kam sudah pergi, dan diam‐diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian.
Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang‐orang tua
-
PART 193
para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian
untuk membebaskan gadis‐gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap ke
dalam gelap, dengan hati panas ia kembali ke benteng !
Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam
benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda
yang paling baik, tunggangan Phang‐ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan,
telah lenyap ! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib
gadis‐gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu
mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati‐matian untuk
membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan
orang lain ia sama sekali tidak peduli.
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan‐si, kota yang cukup besar dan
ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan
makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin‐ling‐san, juga di sebelah
selatan kota ini mengalir Sungai Wei‐ho yang airnya cukup untuk keperluan
para petani di daerah itu. Pintu gerbang‐pintu gerbang kota selalu terbuka
lebar dan orang‐orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikutkereta‐
kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota
pelabuhan sungai, banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan
sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia
tunggangi adalah kuda milik Pang‐ciangkun yang mungkin akan dikenal
orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia
menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah
selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah
perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai
itu sambil berjalan perlahan.
Akan tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada,
selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota
Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki‐laki, yang terpesona
oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini
sungguhpun keadaan macam ini selau mendatangkan rasa bangga di dalam
hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki‐laki
menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu
masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar.
Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang
-
PART 194
di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan
tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan !
Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil
seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah
tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee‐kong bio di kota
ini ? Aku hendak pergi bersembahyang ke sana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut‐kerut, lalu Si Pelayan
menengok ke kanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan.
"Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng‐kelenteng ternama
di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan‐im‐bio di sebelah
timur jembatan besar, atau ke Hai‐ong‐bio di dekat sungai atau..."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee‐kong‐bio." Jawab Lu Sian
yang sudah menduga bahwa agaknya Tee‐kong‐bio merupakan tempat yang
tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku
hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee‐kong‐bio. Di
manakah letaknya kelenteng itu?" Memang tentu saja tidak sukar mencari
kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanyatanya
orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah
mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"memang, Siocia (Nona), bukan sekali‐kali saya hendak mencampuri urusan
nona. Akan tetapi sungguh‐sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk
didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah
ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah
kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah
orang‐orang gelandangan, hwesio‐hwesio yang suka minta derma paksa
dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di
sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona
jangan pergi ke sana..."
"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu
Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu
-
PART 195
melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi
sambil mengangkat pundak.
Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar
dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di
punggung. Kembali banyak pasang mata laki‐laki menoleh ke arahnya,
bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang
mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya
memperlihatkan senyum mengejek. Ketika ia lewat di jalan yang menuju ke
utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari
lima orang yang tadinya bercakap‐cakap di pinggir jalan, saling berbisik
ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap
yang menjemukan. Melihat mereka itu ia tidak takut biarpun ia membawabawa
pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang‐orang yang
mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka
hendak menggodanya.
Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan‐urusan kecil. Ia
menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa
gunanya melayani segala macam laki‐laki kurang ajar seperti mereka itu ! Ia
mengerahkan lwee‐kangnya dan terus melangkah dengan tindakan gagah,
sama sekali tidak melirik ke arah mereka. Sebaliknya, lima orang laki‐laki itu
membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti
dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih
melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar
melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan
seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang
diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya ? Seekor gajah pun takkan
meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya !
Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh.
Genteng‐gentengnya banyak yang pecah dan sepasang ukiran naga di atas
genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya dan mustika naga di
tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah‐pecah pula.
Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng
Tee‐kong‐bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat,
maka menjadi amat buruk. Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga
terdapat kebun yang luas, bangunannya besar, akan tetapi di depan
kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah
menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun, di tembok besar masih
-
PART 196
terdapat ukiran dengan huruf‐huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya,
yaitu huruf TEE KONG BIO (Kelenteng Malaikat Bumi).
Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan‐akan tidak ada
penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat
besar dan tebal, juga tertutup. Tanpa ragu‐ragu lagi Lu Sian memasuki
pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya
mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang
lama tidak dibuka tutup. Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap
lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun
pintu yang terdepan itu daja yang terkunci. Dari luar kin tampak jendelajendela
dan daun‐daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka
separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini
pernah dikunjungi orang‐orang, malah bekas telapak kaki pada debu di lantai
masih baru. Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu
dan kotor tidak terpelihara. Di sana‐sini tampak kertas‐kertas butut, ada pula
tikar‐tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi,
dan tempat toapekong juga kosong. Hanya arca‐arca yang sudah hampir
rusak, singa‐singaan batu yang tiada harganya, masih tetap di tempatnya.
Barang‐barang lain yang berharga tidak tampak lagi.
Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga
kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati‐hati ia melangkah lagi.
Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut
pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan
tengah itu. Di atas meja yang terbuat daripada bata tampak sebuah pot
kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan
terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa‐apa lagi. Lu
Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.
"Wer‐wer‐wer ......!!" Tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan
dadanya. Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap
pada dinding di belakangnya. "Hui‐to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru
kaget karena maklum bahwa hanya orang‐orang pandai saja yang dapat
melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia
maklum menghadapi lawan tangguh.
"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya
marah.