Haruskah ada Hukuman Mati ???
Edited
AKARTA, KOMPAS.com - Penerapan hukuman mati di Indonesia masih menuai perdebatan hingga saat ini. Di satu sisi, hukuman mati dinilai oleh sebagian kalangan ampuh mengurangi tingkat kejahatan. Namun, sebagian lainnya justru menganggap hukuman mati tidak dapat diterima dengan alasan apapun karena merampas hak hidup seseorang.
Di sini negara telah bertindak sebagai pemilik dari hak hidup itu sendiri
Terkait kontroversi penerapan hukuman mati, Imparsial The Indonesian Human Rights Monitor pun ikut menyatakan sikapnya melalui sebuah buku berjudul "Menggugat Hukuman Mati di Indonesia". Buku baru ini diluncurkan Kamis (25/2/2010), di Hotel Santika Jakarta.
Direktur Program Imparsial, Al Araf mengungkapkan, hadirnya buku "Menggugat Hukuman Mati di Indonesia" merupakan penegasan Imparsial bahwa hukuman mati sudah tidak relevan lagi untuk diberlakukan di Indonesia.
Dikatakan Al Araf, dengan hukuman mati, hidup dan esensi para terpidana mati sebagai manusia telah berubah menjadi angka-angka dan bendera dari upacara simbolik kekuasaan. Putusan hukuman mati telah mengantarkan pencabutan identitas terpidana sebagai manusia, dia segera berubah menjadi benda-benda eksperimen mengatasi kejahatan ataupun hanya sekadar benda di etalase penguasa.
"Di sini negara telah bertindak sebagai pemilik dari hak hidup itu sendiri," ujarnya.
Karena alasan tersebut jugalah buku "Menggugat Hukuman Mati di Indonesia" diterbitkan. Melalui buku tersebut, Imparsial mencoba merekomendasikan beberapa hal terkait penerapan hukuman mati di Indonesia.
Rekomendasi-rekomendasi tersebut antara lain Indonesia sebagai bangsa yang beradab sebaiknya menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum yang berlaku, Indonesia harus melakukan penghentian eksekusi mati terhadap terpidana hukuman mati serta mengubah hukuman mereka menjadi pidana penjara, terutama bagi mereka yang mengalami penindaan eksekusi mati lebih dari lima tahun.
Di samping itu, dalam konteks moratorium terhadap praktik hukuman mati, presiden juga seharusnya dapat memberikan grasi terhadap setiap permohonan dari terpidana mati sebagai cerminan penghormatan terhadap konstitusi dan hak asazi manusia atau HAM.
http://megapolitan.kompas.com/read/2...i.di.Indonesia
JAKARTA, KOMPAS.com - Hukuman mati tidak memiliki landasan empiris, yakni membuat pelaku kejahatan jera atau jumlah kejadian kejahatan itu makin menurun. Bahkan, pelaksanaan hukuman mati potensial melanggar konstitusi.
Peringatan itu diutarakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zein, Rabu (20/1/2010), di Jakarta. Ia menanggapi tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum kepada tiga terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Ketiga terdakwa yang dituntut hukuman mati itu adalah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Wiliardi Wizar, dan pengusaha Sigit Haryo Wibisono. Terdakwa lainnya, pengusaha Jerry Hermawan Lo, dituntut hukuman 15 tahun penjara (Kompas, 20/1).
Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kamal Sofyan menegaskan, tuntutan hukuman mati terhadap Antasari, Wiliardi, dan Sigit adalah wajar. Tuntutan hukuman mati itu sudah melewati proses panjang yang diyakini benar.
Kamal menegaskan, sejak dinyatakan lengkap, kejaksaan meyakini perkara itu akan terbukti. Jaksa yang berasal dari berbagai daerah pun solid dalam merumuskan tuntutan hukuman mati itu. Riwayat Antasari sebagai jaksa tak bisa dipakai sebagai rujukan guna meringankan tuntutan.
Selain itu, imbuh Kamal, tuntutan seumur hidup terhadap lima terdakwa eksekutor Nasrudin di Pengadilan Negeri Tangerang juga menjadi acuan tuntutan bagi Antasari, Wiliardi, dan Sigit. ”Masak otaknya disamakan. Kan, tidak mungkin,” ujarnya.
Jaksa tertekan publik
Patra menegaskan, tuntutan mati yang diajukan jaksa adalah peringatan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di negeri ini. Kalau dilaksanakan, hukuman mati potensial melanggar hak sipil yang fundamental dan melanggar konstitusi.
Pasal 28I UUD 1945, kata Patra, jelas menyatakan hak untuk hidup adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tahun 2005, Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang menyebutkan setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak itu wajib dilindungi dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang.
”Hukuman mati juga tidak bisa dikoreksi,” ujar Patra. Penegak hukum yang menuntut dan melaksanakan hukuman mati dapat saja melakukan kesalahan. Walau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih mencantumkan hukuman mati, tetapi sudah kehilangan makna. Hukum Belanda, yang menjadi acuan KUHP, sudah menghapuskan hukuman mati.
Menurut Patra, tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa dalam kasus Antasari bukan untuk menegakkan hukum, melainkan pembalasan dendam. ”Model penghukuman yang bersifat retributif (pembalasan) sudah selayaknya ditinggalkan,” katanya lagi.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang Arief Hidayat berpendapat, penerapan penuntutan maksimal terhadap terdakwa pembunuhan Nasrudin menunjukkan jaksa dalam tekanan publik. ”Tekanan publik itu muncul karena perkara ini tidak hanya semata kasus kriminal, tetapi juga sarat politik,” tuturnya.
Selain itu, tuntutan hukuman mati itu bukti jika jaksa sampai saat ini masih berkeyakinan kasus Nasrudin adalah pembunuhan berencana. ”Jaksa yakin fakta tindak pidana dalam pembunuhan berencana terbukti. Itu baru keyakinan jaksa. Tentunya pandangan dan pembelaan penasihat hukum dan terdakwa juga akan membuktikan sebaliknya,” papar Arief lagi.
Arief Hidayat menyatakan, situasi tekanan publik yang begitu besar terhadap perkara ini menyebabkan jaksa terbebani secara psikologis.
”Kalau kasus pembunuhan itu menyangkut terdakwa yang tak terkenal, tentu mudah diproses secara normatif. Proses hukum Antasari dan kawan-kawan adalah kasus khusus dalam sejarah hukum kita,” ucap Arief.
Jaksa Agung Hendarman Supandji menolak memberikan komentar terkait pro-kontra atas tuntutan itu. (INK/WHO/TRA)
http://megapolitan.kompas.com/read/2...gar.Konstitusi
AKARTA, KOMPAS.com - Dari data yang berhasil dikumpulkan Lembaga Swadaya Masyarakat Imparsial hingga tahun 2009, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara di dunia yang cukup banyak menjatuhkan hukuman mati bagi warga negaranya.
Sementara itu, berdasarkan catatan berbagai lembaga HAM internasional, angka orang yang dihukum mati di Indonesia termasuk cukup tinggi setelah China, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran.
Selama masa reformasi saja, yakni sejak tahun 1998 hingga Desember 2009, data Imparsial menunjukkan lebih kurang 21 orang terpidana mati telah dieksekusi, dan di antaranya telah menunggu lebih dari 10 tahun. Sementara 119 orang terpidana lainnya telah menerima vonis mati dari otoritas pengadilan dan sebagian besar di antaranya hingga kini sedang dalam proses upaya hukum lanjutan.
Menanggapi tingginya angka hukuman mati di Indonesia, Direktur Program Imparsial, Al Araf, menyayangkan hal tersebut.
"Sayang sekali, pembenaran terhadap penerapan hukuman mati telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang cukup banyak menjatuhkan hukuman mati bagi warga negaranya," ujar Al Araf.
Padahal menurutnya, hukuman mati sudah tidak relevan lagi untuk diberlakukan di Indonesia karena amandemen kedua UUD 1945 telah menjamin penghormatan hak untuk hidup sebagai hak yang bersifat nonderogable rights dan dikuatkan juga oleh adanya ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik ke dalam UU No. 12 Tahun 2005 yang melarang pemberlakuan hukuman mati.
Di samping itu dia menambahkan, pencabutan nyawa manusia atas dasar apapun sangat ditentang oleh setiap agama mengingat hal tersebut merupakan hak prerogatif serta di luar kehendak Tuhan
http://megapolitan.kompas.com/read/2...donesia.Tinggi
Bagaimana pelaksanaan hukuman mati di indonesia ini? Apakah memang diperlukan atau tidak?
Post from Trademaks
Hak Asasi Manusia yaitu hak hidup yang merupakan pemberian dari Yang Mahakuasa? Pantaskah kita mencabut hak hidup para pelanggar hukum itu?
Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap hukuman mati, satu hal yang menggelantung di pikiran gw, murnikah pemberian hukuman mati itu untuk membela korban dan menegakkan hukum ?::argue::