Najis!
Sedetik kuterhenyak melihat kata itu, disusul dengan senyum kepahitan.
Sakit hati? Tidak lagi. Aku adalah sebuah benda tak bernyawa, dan semua orang tahu, benda mati tak memiliki perasaan.
Pengap dan sesak, ini bukan apa-apa dibandingkan siksa yang mendera jiwa. Aku tak sengaja berkaca pada sebuah cermin yang telah retak dan teringat pada sebuah cerita mengenai seorang pelukis yang pernah meminta seseorang untuk menjadi model Kristus dan bertahun-tahun kemudian kembali meminta seseorang untuk menjadi model Yudas, dan ternyata orang itu adalah orang yang sama. Tentu aku tak pernah menjadi sesuci Kristus, tapi kini aku lebih menjijikan daripada Yudas. Mungkin beberapa orang berpikir begitu, atau minimal dua orang, dia dan diriku sendiri. Kembali aku tersenyum pahit. Kembali aku tergoda untuk bertanya, 'dimana kesalahanku?' tapi kalimat itu segera kutepis jauh karena itu berarti aku menyangkal permohonan maafku padanya.
Kulirik kembali sederet kalimat bertuliskan 'cinta tak pernah salah' yang dulu sangat kuyakini kebenarannya, hingga kuukir dalam lembaranku yang paling indah, namun kini mengucapkannya saja aku tak mampu. Mungkin aku sangat berharap kalau kalimat tersebut hilang dari benakku selama-lamanya.
Kubaca kembali lembar-lembar yang pernah tertulis dari hati, yang kini telah sulit terbaca, namun ada satu kata yang terpampang jelas dan akan selalu aku ingat, najis.
Aku adalah lembaran-lembaran kertas yang dulu indah, yang kini teronggok diantara tumpukan sampah dan sebentar lagi akan lenyap terbakar api. Dan aku akan bisa tersenyum lega, lepas dari semua beban. Bencilah aku, sebenci mentari pada salju, yang membuatnya mencair tanpa tersisa.
Ye Qu - Jay Chou