Page 9 of 14 FirstFirst ... 5678910111213 ... LastLast
Results 121 to 135 of 200
http://idgs.in/569960
  1. #121
    PUTRACENTER's Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    Depan Komputer
    Posts
    155
    Points
    29.00
    Thanks: 2 / 1 / 1

    Default

    Wah baru cek lagi forum idgs, ternyata ada sf cerita" yg kreatif dan keren.

    Post dlu ah, baru baca .. panjang juga ini story.


    Bro LunarCrusade kayanya u ada bakat nulis..
    ga mau nyoba buat novel tru di jual?

  2. Hot Ad
  3. #122
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by PUTRACENTER View Post
    Wah baru cek lagi forum idgs, ternyata ada sf cerita" yg kreatif dan keren.

    Post dlu ah, baru baca .. panjang juga ini story.


    Bro LunarCrusade kayanya u ada bakat nulis..
    ga mau nyoba buat novel tru di jual?
    belom berani, gw lagi menyelidiki selera pasar dulu


    -------------------------------------


    Spoiler untuk Tehillim 26 :


    ===============================================
    Tehillim 26: Blocked Passage Part I || False Fluid Dynamics
    ===============================================




    “Ooo…begitu rupanya.”, beberapa kali aku mengangguk, setelah Plasma menjelaskan mengenai apa yang dilakukan Inferna terhadap Golden Arrow. Mekanismenya secara umum ternyata tidak begitu rumit.

    Pertama, Quantum Transmitter menerima sinyal perubahan entropi dari Absolute Zero pada Golden Arrow, kemudian mengirimkannya pada yang dipegang Inferna ---yang sekarang ada pada Plasma---, menyebabkan suhunya turun ke nol mutlak juga. Kedua, begitu kita semua ada di Bulan, Inferna mengirim balik entropi Absolute Zero di tangannya dalam bentuk sinyal ke Quantum Transmitter, yang selanjutnya dikirimkan pada core mesin penembak Golden Beam. Lengkap sudah. Dia dapat mengendalikan Golden Arrow sesuka hati.

    “Tapi tenang saja. Jika benar mesin penembak Golden Beam dipercepat dan rusak, lalu Quantum Transmitter juga sudah dibakar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.”

    Begitulah akhir dari penjelasan Plasma. Meski Raqia ---yang ada di jok sebelah kananku--- mengaku tidak paham sepenuhnya, namun sebagian besar dapat dimengertinya.



    “Kalian terbiasa mendengar penjelasan rumit seperti itu?”, Terpsichore terdengar bosan. Dia sedang duduk pada jok tengah dari tiga jok yang ada di belakang.

    Karena kurasa tidak sopan jika menjawab dengan tidak menghadap lawan bicara, maka kutekan tombol di bawah jok, memutarnya ke belakang. Tetapi belum juga mulutku sempat terbuka, suara setengah berbisik itu terdengar lagi.

    “Dasar bodoh.”

    Ucapan sarkastik keluar dari mulut Urania yang duduk di jok sebelah kirinya, sambil mendekap boneka kelinci.

    “Heh, itu wajar saja!! Aku mana pernah dengar kata-kata aneh seperti ‘Quantum Transmitter’, ‘Absolute Zero’, ‘entropi’, atau apalah itu!!”

    “Kalian bisa tenang atau tidak?”, Polyhymnia nampak merasa terganggu. “Hanya ada dua hal yang harus dilakukan jika tidak mengerti. Diam, atau bertanya. Bukan berkomentar. Mengerti?”

    “Uh-huh…”, Terpsichore menjawab dengan lemas. “Sudah seratus tahun berlalu tapi didikan Uriel tidak sedikitpun luntur dari sifatmu…”

    Pandangan biru laut itupun berubah tajam.

    “A-a-aa…oke, oke. Maaf. Maksudku, Yang Mulia Uriel.”, ralat Terpsichore. Raut wajahnya agak kaku.

    “Maafkan kelakuan rekan saya yang satu ini, Yang Mulia Crusader-Saint. Dia memang agak sulit dikendalikan.”

    “Err…panggil Da’ath saja. Aku tidak terbiasa dipanggil demikian.”, aku berusaha merendah. “Sebenarnya ada satu orang lagi yang sulit dikendalikan…”, kulirik ke arah---

    Oke. Lenganku dicubit. Lagi. AGGGHHH!!!

    Tidak perlu ditanya siapa yang melakukannya. Namun melihat responnya yang seperti itu, aku tahu kalau hatinya melunak. Maksudku, jadi sedikit lebih feminin. Respon perempuan normal kebanyakan pastilah seperti itu jika diledek atau digoda seseorang yang dekat dengannya. Duh, aku jadi girang sendiri begini.

    “Heh, kenapa senyum-senyum?”, tanya Raqia ketus.

    “Ah, tidak...tidak apa-apa.” Selanjutnya, aku masih tersenyum kecil.



    Sebelum tingkat percaya diriku melewati ambang batas normal, mendadak Terpsichore menyahut.

    “Mmm…”, dia memperhatikan wajahku sambil menggaruk-garuk dagu. “Tapi kenapa aku merasa pernah melihatmu ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Karena terlalu konsentrasi menghadapi musuh, kemarin aku tidak berusaha mengingat-ingatnya lagi…”

    Yap, dia benar.

    Maka kujawab, “Uh-huh. Kalian bersembilan pernah datang ke Ferrenium sekitar tiga belas tahun yang lalu.”

    Wajah ketiga orang di hadapanku sedikit berubah.

    Kulanjutkan, “Aku masih ingat dengan baik malam itu, sewaktu kalian membuat pertunjukkan. Bagaimana boneka-bonekamu menari bersama Erato dan Euterpe, duet nyanyian Polyhymnia dan Kalliope yang begitu indah, hingga akting luar biasa Melpomene dan Thalia. Apalagi butiran-butiran cahaya mirip bintang yang dibuat Urania waktu itu…begitu menakjubkan.”

    Kelopak mata Polyhymnia mendadak melebar. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah. Pikirannya seperti dibawa melayang ke langit ketujuh. Namun begitu kutengok ke arahnya, dia langsung berusaha menenangkan diri.

    Seakan terkena penyakit ‘ingat mendadak’, Urania menyahut, “Ah. Daa…-kun?”

    “Ya, benar. Kamu selalu memanggilku demikian saat itu.”

    “Jadi kamu anak manja yang dulu itu??!!”, Terpsichore ikut terkejut. “WAAAA!! Tidak kusangka kita bisa bertemu lagi!!”, diapun melemparkan tubuhnya padaku. Ew. Empuk juga sih…

    “A-Ahaha…begitulah.”, aku berusaha tersenyum meski dipaksakan. ”Kalau Clio tidak mengajakku menonton, mungkin aku hanya berdiam diri saja di rumah…”

    “Tapi kamu berubah jauh!! Dari lucu menggemaskan, sekarang jadi pria tampan begini… Harus kuakui, sekarang dirimu tergolong keren untuk seorang lelaki muda!! Jadi pacarku saja bagaimanaaa?”, Terpsichore menggoda, merangkulku dari sisi kiri. Lengan kiriku masih dapat merasakan sepasang benda empuk itu…

    “E-Eh…? T-Tapi aku sudah--- itu, Raqia---“, bicaraku makin gelagapan.

    Mungkin karena tidak mau kalah, Urania berdiri, lalu mengelus-elus kepalaku dari sisi kanan. “Sudah besar ya. Anak baik. Anak baik.”

    “Ng…j-jangan melakukan hal yang sama seperti waktu itu. A-Aku sudah bukan anak kecil lagi…”

    Begitu kuperingati, bukannya dia berhenti…eh malah sebaliknya. Dia memelukku lembut, lalu pipinya ditempelkannya pada pipiku. Tidak buruk juga sih. Setidaknya dia berubah tersenyum, suatu hal yang ---menurut rumor--- jarang dilakukannya. Dia lebih sering berekspresi datar.

    “AAAHHH!! SUDAH CUKUP!!”, Polyhymnia bangkit dengan cepat. “AKU TIDAK TAHAN LAGI!!”

    Melihat wanita berambut merah itu mendekat, kedua Eleutherian-class di kiri kananku refleks menyingkir. Sekarang dia memeluk diriku tepat dari depan.

    “HHMMMFFF!! MMFFF!!”

    Siapapun pasti bisa menebak apa yang sekarang membuatku kesulitan bernafas, sekaligus menutup akses cahaya ke mataku. Tapi ukurannya…wow. Raqia sangat tidak sepadan dengan yang ini. Eh…

    “Haaa~ah. Tidak kusangka, kamu anak laki-laki lucu yang waktu ituuu~ Sayang aku tidak sempat bertanya namamu, tapi sekarang... Kyahahaha~”, ujarnya girang, mendekapku erat sambil membelaiku.

    Hancur sudah citra anggunnya di mataku. Seingatku dulu Polyhymnia tidak segila ini. Untunglah dia segera melepaskan pelukannya sebelum sukses membunuhku.

    Aku berusaha mengambil nafas beberapa kali, lalu kutanya Terpsichore selagi alam sadar Polyhymnia masih melayang-layang. “A-Apa dia selalu begitu?”

    Berbisik di telingaku, dia menjawab, “Clio pernah memarahinya karena hal itu. Terlalu berbahaya untuk anak-anak, katanya. Aku sendiri kaget begitu tahu kalau dia punya obsesi berlebihan terhadap apapun yang kecil dan menggemaskan mulai dari anak-anak, hewan peliharaan yang masih kecil, bahkan hingga boneka-boneka. Jika aku lengah sedikit saja, mungkin Urania juga sudah menjadi korban…”

    Ah, sekarang aku paham kenapa waktu itu Clio tidak pernah terlalu lama melepaskan pengawasannya terhadapku. Tidak lain adalah untuk memastikanku aman dari ‘keganasan’ Polyhymnia.

    “Ternyata orang brengsek ini playboy sejak kecil.”, ujar Raqia, terdengar marah. Kedua tangannya terlipat di depan dada, wajahnya nampak benar-benar kesal. O-Ow…gawat.



    Untunglah, Biblos ---menempel di sisi kanan kokpit--- memotong pembicaraan sebelum terjadi pertumpahan darah. Fiuh, syukurlah.

    “Mmm…sensorku merasakan konsentrasi Divine Energy yang cukup besar tak jauh lagi. Sudah dekat tujuan ya?”, tanyanya.

    Terpsichore menengok ke luar, memperhatikan paparan tanah kering dihiasi beberapa tebing tinggi dan jurang.

    “Ya, benar. Tempatnya di sekitar sini.”, jawabnya. Sejenak dia mengamati lebih seksama, lalu berkata, “Itu, di sana.” Dia menunjuk sesuatu di kejauhan.


    Sebuah desa?


    Uh-huh, mataku tidak salah. Ada pemukiman kecil jika kulayangkan pandangan ke sebelah kiri. Makin dekat, aku bisa melihat beberapa rumah dari tanah liat berbentuk balok-balok. Sangat asing bagi mataku yang terbiasa melihat deretan rumah-rumah kayu atau batu. Satu lagi yang menarik perhatianku, yaitu sebuah tangki logam besar yang ditopang menara besi di sebelah timurnya. Kendaraan terbangku inipun mendarat di tanah lapang, sebelah utara desa.

    “Jadi, desa itu yang menjadi alasan kalian ingin menemui Kana?”, tanya Raqia begitu kami semua turun.

    “Uh-huh. Mereka mengalami kesulitan air.”, jawab Terpsichore.

    “Lalu oasis itu apa?”, tanya Plasma, menunjuk ke arah timur. Mataku menangkap sekumpulan kecil tumbuhan pada arah yang ditunjuk, mungkin sekitar 1 kilometer jauhnya.

    “Justru itulah masalahnya. Urania, coba tunjukkan.”

    Menangguk satu kali, kemudian Eleutherian-class mini itu berdiri di atas Anti-Gravity Platform.

    Tenshi no Ryuusei.”

    Serbuan cahaya bintang jatuh melesat menuju oasis itu. Tetapi, masih jauh dari oasis, serangan Urania meledak saat menghantam sesuatu yang tak kasat mata. Divine Barrier.

    “Lihat? Kalau sudah begitu, tidak ada satupun dari kami yang bisa menjebolnya. Masalahnya adalah sumber air lainnya yang cukup jauh. Karena tidak tega membiarkan penduduk desa terus-menerus kekurangan air, kamipun segera menuju Tzayad untuk meminta bantuan Yang Mulia Kanaphiel supaya mendobrak Divine Barrier.”, kata Terpsichore.

    “Bagaimana dengan Avodah? Bukankah kota itu lebih dekat dari sini?”, tanya Raqia.

    “Tselemiel sedang tidak bisa diganggu. Aku tidak tahu kenapa, tidak ada Angel-class yang mau memberitahu. Kami baru saja ada di sana sekitar 2 minggu lalu.”

    “Satu hal lagi. Apa kalian menemukan hal yang aneh di sekitar barrier? Maksudku, sesuatu yang tidak ada sebelum barrier ini dipasang. Apa saja.”

    Mendengar pertanyaan Raqia, ketiganya saling berpandangan sebentar.

    “Batu…ya, batu. Ada batu besar di luar barrier sebelah utara, masih jauh dari tempat ini. Kami bertiga menemukannya sewaktu mengelilingi barrier untuk mencari celah masuk. Sejak saya dilahirkan, baru pertama kalinya saya melihat bongkahan batu itu pada daerah yang berada di bawah perlindungan Ohr-Nisgav.” jawab Polyhymnia sambil menyentuh ujung dagunya.

    Dia menjelaskan lebih lanjut mengenai batu itu. Menurutnya, bentuk batu itu tergolong normal untuk bebatuan yang biasa ada di daerah kering. Ukurannya juga tidak menghebohkan, hanya sedikit lebih tinggi dibanding Terpsichore. Yang membuatnya aneh adalah ada ukiran pada permukaannya.

    “Ada lima pahatan berbentuk garis bergelombang, kelimanya sejajar. Di sebelah kanannya ada huruf L kapital.”, jelasnya.

    “Itu saja?”

    “Ya, itu saja, Yang Mulia Raqia.”

    Guru kalengku langsung menyambar, “Kelima garis itu kemungkinan besar melambangkan air, sehingga kita perlu itu untuk membukanya. Yang jadi masalah adalah berapa banyak yang dibutuhkan.”

    “Apa mungkin jumlah garis itu adalah kunci untuk jumlahnya?”, sahutku.

    “Sangat mungkin demikian. Belajar dari pengalaman di Ya’ar HaMalakh, trik untuk menjebol Divine Barrier pastilah memiliki suatu nilai yang pasti. Air yang dibutuhkan bisa lima liter, lima puluh liter, atau lebih. Yang penting satuannya tetap liter karena adanya huruf L tersebut.”

    Biar kutebak. Sebentar lagi akan ada yang bereaksi…



    Dengan mata berbinar-binar, Raqia langsung menyambar, “Sudah, langsung saja jelaskan cara menghitungnya.”

    “Sudah tidak sabar, eh? Baiklah. Sebelumnya, apa kamu sudah mengerti konsep volume dengan benar?”

    “Tentu saja. Formula dasar untuk menghitung banyak benda ruang adalah luas alas dikali tinggi. Yang berbeda hanya pada kerucut dan limas, yang punya konstanta sepertiga sebagai pengali.”, jawabnya dengan lancar.

    “Sejak kapan kamu pintar begitu?”, ledekku.

    Dia tidak menjawab, hanya membuang muka dengan wajah kesal. Kurasa dia masih marah karena kejadian di Sonic Glider tadi. Uh…ya sudahlah, aku diam saja kali ini.

    “Uh-huh, benar sekali. Tetapi perlu diingat bahwa kemungkinan besar diperlukan sesuatu yang bergerak untuk mendobrak barrier, seperti ketika kamu melakukan beberapa tebasan saat itu. Artinya, yang dibutuhkan saat ini adalah volume air yang mengalir dan mengenai barrier dalam waktu tertentu.”

    Papan tulis melayang itu muncul lagi di depan Plasma. Yang ditulisnya kali ini adalah:

    Q = V/t

    “Dengan V adalah volume cairan, biasa kusebut fluida, dan Q adalah debit. Untuk t, kamu pasti sudah tahu artinya.”

    “Satuan waktu, betul?”

    “Yap. Lima garis itu bisa jadi adalah volumenya, total waktunya, keduanya, atau mungkin debitnya sendiri.”

    “Hmm…begitu ya. Jadi seandainya ada satu liter air kulewatkan melalui pipa selama dua detik, maka debitnya adalah setengah liter per detik?”

    “Hahaha…makin pintar saja kamu. Jawabanmu benar.”

    Plasma terdiam sejenak, menengok ke arah barrier.

    “Namun ada satu masalah. Kita tidak tahu apakah air tersebut harus dituangkan ke seluruh barrier atau pada luas daerah tertentu saja.”

    “Apa…bedanya?”, dengan pose khas Raqia.

    “Konyol rasanya jika barrier dapat dibuka dengan menuangkan air di titik manapun pada luas permukaannya tanpa kecuali. Bagaimana jika tiba-tiba hujan? Bukankah barrier akan terbuka dengan sendirinya karena ada volume air hujan yang mengenainya dalam waktu tertentu?”

    “Benar juga ya.”, beberapa kali Raqia mengangguk. “Kalau begitu, pastilah ada luas permukaan tertentu pada barrier sebagai ‘lubang kunci’nya. Hei…itu artinya bisa dihitung dengan cara lain.”

    Tanpa basa-basi, dia menuju ke papan tulis melayang itu. Di bawah Q = V/t, dia menulis dengan telunjuknya:

    Q = A . h / t

    “A adalah luas alas dan h adalah tinggi. Karena h memiliki satuan yang sama dengan jarak, maka h dibagi t adalah kecepatan…”

    Dilanjutkannya:

    Q = A . v

    “Debit bisa dihitung dengan mengalikan luas permukaan yang dilalui fluida dengan kecepatan alirannya. Dengan begini, berapapun luas barrier yang menjadi ‘lubang kunci’nya nanti, harus dialirkan air dengan kecepatan tertentu tanpa susah-susah harus mengukur waktunya.”, diapun tersenyum bangga.

    “Argh…apa pula itu. Membuatku pusing saja.”, sahut Terpsichore sambil memegangi kepalanya.

    “Mudah begitu, kamu tidak mengerti? Itu hanya membagi dan mengali saja.”, ledek Polyhymnia.

    “Jangan bilang kalau kamu…”

    “Yang Mulia Uriel sering mengajar anak-anak sewaktu di Ohr-Nisgav, termasuk aku sewaktu kecil dulu. Yah, memang konsep yang dijelaskan Yang Mulia Raqia baru kudengar kali ini. Namun sisanya tidak sulit karena adanya dasar hitungan yang sempat diajari Yang Mulia Uriel.”, Eleutherian-class berambut merah itu menyombong.

    “Iya. Gampang.”, sahut Urania pelan.

    “He?! Kamu juga mengerti?!”

    “Omoikane punya buku. Banyak hitungan. Pernah kubaca.”, jawab Urania sambil memainkan telinga boneka kelincinya.

    Oh, seingatku Luna juga pernah mengatakan hal yang sama.

    “D-Da’ath, jangan bilang kalau---“

    Belum selesai Terpsichore bicara, kupotong, “Aku biasa mendengar yang lebih rumit.”

    “GAAAHHH!! Jadi kali ini hanya aku makhluk tololnya?!”

    Mendadak Urania bersuara, “Ah.”, sambil mengangkat jarinya.

    “Ada apa?”, tanya Plasma.

    “Semua harus dikali sepuluh juta. Ada di kiri bawah batu.”

    “Eh? Yang benar? Kenapa tidak sempat kulihat?”, tanya Polyhymnia ragu.

    “Kamu tinggi. Tidak perhatikan.”

    Berlutut lemas di tanah, Plasma berujar, “Ah…kalau begitu akan mustahil dibuka sekarang. Di tempat kering begini mana ada air yang setidaknya bisa dialirkan dengan nilai debit lima puluh juta liter per detik…”

    Dan…seperti biasa, Biblos mengisi dengan sendirinya. Satu hal yang agak janggal, ketiga gadis itu tidak keheranan sama sekali. Apa mungkin karena mereka pernah melihat produk Divine Technology lainnya, yaitu Chrono Scroll?

    “Baiklah, dipikirkan belakangan saja. Lebih baik kita menemui penduduk dahulu.”, kata Raqia sambil berjalan ke arah desa.



    Orang-orang desa nampak normal, tanpa sayap. Semuanya manusia. Begitu melihat ke arah sini, nampak beberapa anak kecil langsung berlari menghampiri Urania, lengkap dengan wajah gembira. Sepertinya Eleutherian-class mini itu punya daya tarik tersendiri bagi anak-anak. Sesekali tangannya membelai lembut beberapa dari mereka. Dia juga lebih banyak bicara dibanding biasanya.

    “Heh, khusus kamu tidak boleh.”, ujar Terpsichore, saat melihat Polyhymnia yang terlihat begitu gemas ketika anak-anak itu datang.

    “Tapi, tapi…”, jawab Polyhymnia manja.

    “Diam atau kuhajar kepalamu dengan gitar!!”

    “Uuuuhh~”

    Ternyata bisa galak juga si periang yang satu ini. Namun jika demi keselamatan anak-anak itu, kurasa dia sudah melakukan hal yang tepat.

    “Baiklah, akan kuperkenalkan kalian dengan kepala desa.” Terpsichore pun mulai melangkah, diikuti olehku dan yang lainnya. Sambil berjalan santai di atas tanah kering dan memetik senar-senar gitar, dia bernyanyi, “Terpenjara tujuh puluh tahun lamanya~ Dalam cahaya~ Karena cintaaaa~

    Seingatku semua anggota Indagator memang senang bernyanyi, dan semuanya memiliki suara indahnya masing-masing. Untuk Terpsichore, suaranya seakan membangkitkan pemandangan sebuah sungai kecil yang mengalir membelah padang rumput hijau. Ah, aku jadi kangen Tzayad. Berbeda sekali dengan gurun ini.



    Sejak para penduduk keluar, entah kenapa Plasma dan Biblos terus memperhatikan mereka. Akupun merasa tergelitik untuk bertanya.

    “Hei, ada apa?”

    “Bukan apa-apa. Maaf, mungkin perasaanku saja.”, jawab Plasma ragu.

    Ya sudahlah, kuabaikan saja untuk saat ini.

    Senyum penduduk yang menyambut kami seakan membawa kesejukan di tengah padang kering ini. Dengan ramah, kepala desa ---mungkin seumuran tuan Arya--- menunjukkan sebuah rumah kecil bertembok tanah liat yang bisa kutempati. Yang ternyata…digunakan juga oleh 3 anggota Indagator. Rumah itu katanya kosong sejak beberapa tahun yang lalu, sehingga tidak masalah jika digunakan oleh tamu yang datang.

    Meski Raqia tetap merespon dengan ‘terima kasih’ pada kepala desa, namun begitu dia menengok ke arahku, aku merasakan hawa membunuh yang luar biasa. Seakan bicara, “Awas jika kamu macam-macam”. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada rumah kosong lainnya. Kuharap kepalaku masih ada di tempatnya esok hari…

    Hari ini hanya kami habiskan dengan membagikan air pada para penduduk, yang ternyata ditampung di tangki logam besar yang sempat menarik perhatianku tadi. Selama seminggu belakangan ketiganya melakukan hal itu, mengambil air dari sumber-sumber yang jauh dan mengumpulkannya di tangki itu. Dengan kemampuan Terpsichore, semua tidak jadi masalah.



    Malampun beranjak, dengan tanpa ada sepatah katapun dari Raqia sejak pagi tadi. Ah, aku jadi tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Tapi itu kan bukan salahku sepenuhnya. Mereka yang melemparkan diri padaku begitu saja… Sudahlah. Sebaiknya aku keluar sebentar. Kalau sudah lelah berjalan-jalan, mungkin aku bisa terlelap.

    Melihat ketiga Indagator itu sudah tertidur pada dua dari tiga ranjang yang ada di rumah ini, akupun beranjak keluar. Dingin juga rupanya. Ternyata gurun lebih dingin di malam hari dibanding kampung halamanku.

    Setelah kukenakan baju tambahan berlengan panjang, akupun melangkah keluar. Tempat ini kosong, sunyi. Begitu hening. Aku sempat kaget dengan kehadiran Plasma dan Biblos yang ternyata sedang berkeliling. Entah apa yang mereka cari, mereka tidak memberitahuku. Karena mereka tidak memintaku membantu…ya sudah. Akupun berjalan menjauhi desa.

    Bintang, bintang, dan bintang. Seakan taburan debu emas mewarnai langit malam. Meski jauh dari jumlah yang sempat kulihat di luar angkasa, namun harus kuakui yang nampak malam ini mampu menarik perhatianku selagi berjalan. Bulan belum nampak penuh, mungkin malu karena kalah indah dengan hamparan cahaya kelap-kelip itu. Hahaha…jelas saja bukan. Sekarang memang belum waktunya Bulan purnama.

    Pandanganku teralih oleh satu hal. Beberapa puluh meter di depan sana, tepatnya di pinggir tebing yang agak menjorok, aku melihat sosok…oh, itu Raqia. Entah apa yang dilakukannya. Dia hanya berdiri memandang langit, dikelilingi tarian butir-butir cahaya perak yang jauh lebih terang dibanding bintang di atas sana.

    Kakiku mendadak kaku. Dekati. Tidak. Dekati. Tidak. Dekati. Tidak. Dekati… huh. Baiklah. Aku tidak mau dia terus-menerus tidak bicara padaku.

    Entah karena masih marah denganku atau terlalu berkonsentrasi, matanya sama sekali tidak beralih ke arah sini. Bahkan saat diriku tinggal beberapa langkah---


    *KRRRRRK*


    Suara apa itu---

    “Da’ath, AWAAAAASSS!!”



    Otakku tidak mempu mengolah apa yang telah terjadi. Terlalu cepat. Yang kutahu saat ini adalah tubuhku terbaring, disusul kudengar bunyi sesuatu membentur tanah di kejauhan. Aku juga merasakan sesuatu berada di atasku. Begitu aku berhasil duduk…

    *PLAAAK!!~ Sebuah tamparan mendarat di pipi kananku.

    “DASAR BODOH!!!! Untuk apa kamu mendekat kemari?!”

    Sebenarnya ingin kumarahi dirinya, tapi…

    “Bagaimana seandainya kamu tidak sempat kuselamatkan?! Seandainya…s-seandainya kamu terperosok…”, matanya sudah berkaca-kaca.

    Kutengok ke arah tebing, ternyata bagian tebing yang kuinjak sudah runtuh. Tidak ada lagi bagian yang menjorok.

    Kedua tangannya melingkari tubuhku dengan erat. Kurasakan juga bajuku basah.

    “K-Kamu…dasar *****…”, ujarnya sambil terisak-isak.

    Kata-kata seakan lenyap dari mulutku. Bibirku terkunci. Aku hanya dapat balas memeluk dirinya. Awalnya tubuhku memang terasa lemas begitu Raqia mengatakan hal tadi. Namun aku berusaha menguatkan diri, karena yang sekarang ada dalam dekapanku merasakan ketakutan yang jauh lebih dalam.

    Hingga satu ucapan akhirnya dapat keluar setelah beberapa lama aku hanya terdiam.

    “Maaf.”

    Hanya itu.

    Raqia mengangkat kepalanya, memandangku dengan kilauan tetes air mata yang masih mengalir. Seperti bintang-bintang di atas sana yang jatuh dengan indah dari matanya.

    “J-Jangan…lakukan itu lagi. Setidaknya b-bertanyalah dulu…”

    “Kupikir kamu masih marah padaku sampai-sampai tidak mendengar langkahku.”

    “S-Siapa pula yang marah. Aku hanya kesal sedikit saja kok…”

    Tanganku bergerak menyentuh pipinya, menghapus jejak air mata. Terasa begitu halus dan lembut.

    “Jadi, aku tidak perlu meminta maaf untuk kejadian tadi pagi?”

    “Seenaknya saja.”, telunjuknya menekan hidungku. “Aku tidak suka dengan lelaki yang diam saja dipeluk banyak wanita, sementara dia sudah menyatakan perasaaannya pada wanita lain.”

    Itu namanya kamu maraaaahhh!! Argh, dasar perempuan.

    “Ah…kenapa aku jadi kacau begini sih…berubah gampang menangis pula. Ini semua salahmu, tahu.”, kembali dia membersihkan sisa air mata di pelupuknya.

    “Karena sukses membuatmu akhirnya jatuh hati padaku?”, ledekku.

    “Tidak, belum sampai begitu.”

    “Tapi jelas-jelas kamu tersenyum begitu…”

    “Ah, perasaanmu saja.”

    Dia jelas sekali nampak gembira!! AAAAAGGGHH!! Lama-lama aku pusing dibuatnya.

    “Dasar keras kepala.”

    “Iya, terserah kamu saja.”

    Seketika kami terdiam, kehabisan kata-kata untuk saling membalas. Tak ayal, pandangan kamipun bertemu dalam kesunyian. Tatapanku hanya tertuju pada bulatnya dua biru langit yang memantulkan cahaya bintang-bintang. Kedua matanya yang begitu indah...

    …perlahan ditutup oleh kelopaknya yang mungil.

    Apa yang dilakukannya seakan memberi sinyal bagiku. Akupun teralih melihat ke arah bibir kecilnya. Perlahan namun pasti, jarak antara wajahku dengannya mengecil. Terus, terus, terus, hingga…


    Ah, tidak jadi deh.


    Tanganku menyingkirkan poni peraknya. Bibirkupun menuju dahinya, menciumnya lembut. Terasa begitu hangat. Berbeda jauh dengan hawa dingin gurun ini.

    “Eh? Kupikir kamu…”, tanyanya keheranan.

    “Jadi kamu berharap kucium di bibir? Oke, kita ulangi sekali lagi.”

    “Jurangnya hanya beberapa langkah lho.”, jawabnya dengan senyum lebar, seakan tidak akan ragu untuk benar-benar melemparku ke bawah sana.

    “Kalau begitu untuk apa kamu menutup mata segala, hah?!”

    “Hanya tes saja kok. Dan kamu sudah memilih dengan tepat.”

    “Seandainya benar-benar di bibirmu, kamu tega melemparku ke bawah sana?”

    “Tidak.”, lagi-lagi dia menjawab tanpa keraguan.

    “Lalu kenapa mengancam ingin melempar segalaaa?!”

    “Aku hanya bilang, jurangnya dekat. Aku tidak bohong kan?”

    “Lantas kenapa heran saat kucium di kening…”

    “Hanya tidak menduga saja, karena seingatku kamu pernah nyaris melakukannya. Tidak boleh ya?”

    Kuhela nafas panjang. “Kamu ini…ah, sudahlah.”



    Err…posisi seperti ini lama-lama…

    “Sekarang, tolong menyingkir.”

    “He?”

    Kujawab pelan, “K-Kamu sudah terlalu lama duduk di pangkuanku. Berbahaya jika yang di bawah sini tiba-tiba---”

    Ekspresinya berubah kesal. “Dasar mesum.”

    “Kalau begitu jangan banyak omong!! Cepat berdiri!!”

    “Iya…iya.”, Raqia beranjak, lalu mengibaskan debu pada pakaiannya. “Awas saja kalau sehabis ini kamu berbuat macam-macam. Benar-benar akan kulempar.”

    Akupun ikut berdiri. “Dan kehilangan kesempatan untuk menikahimu? Yang benar saja.”, jawabku santai.

    “Siapa juga yang mau menikah denganmu.”, lagi-lagi dia tersenyum ceria.

    Kesal? Sedikit. Namun jauh di dalam diriku, sebenarnya ada sebuah senyuman lebar. Hanya tidak kutunjukkan saja saat ini.



    Sekarang, masih ada hal yang membuatku penasaran.

    “Oh ya, tadi itu…sebenarnya apa? Kulihat ada banyak butiran cahaya perak mengelilingimu. Tebingnya juga tidak runtuh ketika kamu injak.”

    Sambil melangkah dia menjawab, “Membuat kemampuan baru. Aku merasa kalau Chereb HaMemad dan Spatial Breaker tidaklah cukup untuk menghadapi para Nephilim itu. Tadi kakiku tidak menyentuh tanah karena ada jarak sedikit, karena itulah tebingnya tidak runtuh. Sebelumnya sudah kuperiksa dan ternyata tebingnya rapuh.”

    “Ah…begitu rupanya. Tapi untuk apa kemampuan baru itu? Kurasa kamu sudah cukup mengerikan---“

    Oke, wajahnya benar-benar mengerikan sekarang.

    “Maksudku, sudah cukup kuat dengan kemampuan yang sudah kamu punya.”

    Entah apa yang merasukinya, pipinya berubah merah meski nampak samar-samar di bawah kegelapan malam.

    “A-Aku hanya…mmm…”, jawabnya seraya menatap ke arah lain.

    “Katakan saja.”

    “Ng…t-tidak jadi deh. Tidak akan kuberitahu.”

    Saat yang tepat untuk menepuk dahi dan menghela nafas panjang…bah.



    Baru saja terbersit di pikiranku untuk mengucapkan selamat tidur pada Raqia, kembali Plasma dan Biblos tertangkap pandanganku. Mereka hanya berjalan-jalan, sesekali berhenti memperhatikan rumah-rumah dan memandang sekitar. Keduanya bahkan tidak menghiraukan kami berdua ketika mendekat.

    “Plasma! Biblos!”, panggil Raqia.

    Keduanya menghadap kemari.

    “Kalian rupanya. Kamu, Da’ath, belum tidur juga?”, tanya Plasma.

    “Aku ada sedikit urusan dengan Raqia. Kalian sendiri bagaimana?”

    “Sudah, beritahu pada mereka.”, ujar Biblos.

    “Baiklah. Jadi begini, sebenarnya sejak awal aku dan Biblos sudah merasa aneh dengan tempat ini.”

    “Aneh…? Apanya yang aneh? Biasa-biasa saja tuh. Tidak ada yang mengeluh, tidak ada yang berisik.”, kata Raqia.

    “Justru itulah masalahnya. Apa kalian perhatikan sejak tadi kalau penduduk desa terus tersenyum tanpa mengubah ekspresinya? Tersenyum memang punya efek positif. Tapi tersenyum nyaris sepanjang waktu adalah hal yang gila.”

    “Kamu melihat mereka begitu?”, tanya Raqia padaku.

    “Begitulah, seperti yang sudah dikatakan Plasma. Mereka tidak berbeda jauh dengan orang-orang di Shamayim yang juga demikian ketika aku baru tiba. Mereka semua ramah.”

    “Bukankah Shamayim terletak di daerah makmur dan semua penduduknya memang punya tingkat kesejahteraan yang tinggi? Da’ath, coba kamu ingat-ingat lagi. Aku tidak pernah melihat mereka secara langsung, jadi koreklah ingatanmu lebih dalam. Lima menit terus menerus tersenyum, apa pernah hal itu dilakukan oleh mereka?”

    Tunggu.

    Plasma benar. Orang-orang Shamayim memang ramah, tapi bukan berarti tersenyum sepanjang waktu. Aku memang tidak sempat memperhatikan wajah penduduk desa terlalu lama karena hanya sempat membantu membagikan air, kemudian beristirahat di rumah.

    Biblos menimpali, “Mereka…seakan bukan manusia.”

    Nampak kaget, Raqia menyahut, “Hah?! Yang benar?!”

    Terdengar suara langkah kaki dari balik sebuah rumah di sebelah kiri kami.



    “Sudah saya duga.”

    Suara itu…

    Kemilau rambut yang bagaikan kobaran api itupun nampak. Polyhymnia.

    “Memang ada yang aneh dengan desa ini.”


    Spoiler untuk Tehillim 27 :


    ================================================
    Tehillim 27: Blocked Passage Part II || Hydrostatics Pressure
    ================================================




    “Kukira kamu sudah terlelap.”, ujarku.

    “Semua Angel-class dari Ohr-Nisgav sudah terlatih agar butuh tidur hanya dua hingga tiga jam sehari. Termasuk saya sebagai mantan Angel-class.”

    Tidak mengherankan kalau kota itu adalah kota terkuat di dunia, menurut cerita Raqia beberapa waktu lalu. Jika dijaga ketat nyaris dua puluh empat jam dalam sehari, siapa pula yang berani menjebolnya?

    “Kamu sudah tahu? Kenapa tidak bilang?”, tanya Raqia.

    “Maaf, Yang Mulia. Saya hanya ingin memastikan saja. Lagipula tidak sopan jika saya mendahului keputusan anda sekalian.”

    “Huh…kamu ini. Sesekali santailah sejenak dan jangan terlalu kaku. Baiklah, kalau begitu katakan apa yang kamu tahu.”

    Terakhir kali Polyhymnia datang ke desa ini adalah sekitar 40 tahun yang lalu. Di kala itu, menurut ceritanya, orang-orang tempat ini tidaklah seramah sekarang dan memang selalu seperti itu. Maksudnya, mereka masih bisa tersenyum dan tertawa, namun tidak sesering saat ini. Setiap musim kering selalu saja ada yang mengeluh kekurangan air. Sementara sekarang? Tidak ada sama sekali, murungpun tidak.

    “Selama seminggu inipun saya tidak sempat menyelidikinya karena harus mengelilingi barrier untuk mencari celah, bergantian setiap dua hari dengan Urania.”

    “Jika penduduk asli Ohr-Nisgav sudah berkata begitu… Da’ath, bagaimana?”, tanya Raqia.

    “Hah, kenapa bertanya padaku?”

    “Kamu pimpinannya. Perintahkan apapun yang kamu mau.”

    “Yang Mulia Raqia benar. Jika anda memerintahkan saya dan yang lainnya untuk pergi, maka kami akan pergi. Jika kami diminta menyelidiki, maka akan kami lakukan. Kami memang Eleutherian-class, namun kami tetaplah menaruh hormat pada para Archangel. Apalagi anda, Crusader-Saint Yang Agung.”, Polyhymnia membungkuk hormat.

    “Oke, oke. Kita selidiki sampai tuntas. Lebih cepat lebih baik, sehingga kita bisa ke Avodah sesegera mungkin. Plasma, Biblos, apa yang sudah kalian temukan sepanjang hari ini selain ekspresi para penduduk yang aneh?”

    “Ng…sebenarnya tidak ada lagi. Kami juga tidak berani mendobrak masuk ke rumah-rumah yang ada. Jika hipotesisku dan Plasma salah, nanti kami dan kalian juga yang malu.”, jawab Biblos. “Oh, tapi ada sesuatu yang sangat mungkin melakukan ini semua, seandainya…”

    Biblos berhenti berkata-kata.

    “Lanjutkan.”, Plasma menepuk buku terbang itu.


    “Mmm…seandainya semua orang di sini sudah mati.”


    Kali ini giliran mulutku yang terkunci.

    “Mati? Maksudmu, mereka semua hantu?!”, Raqia terdengar tidak sabar.

    “Divine Technology. Tipe core. Spirit Materializer. Hanya itu yang bisa melakukannya seandainya asumsiku dan Biblos benar.”

    Nampak bingung, Polyhymnia berkata, “Maaf jika saya memotong. Tapi apa yang anda maksud dengan Divine Technology? Sejak di Tzayad saya mendengarnya beberapa kali, namun sengaja saya urungkan niat saya untuk bertanya hingga saat yang tepat.”

    “Aku dan Biblos adalah contoh benda-benda yang tergolong Divine Technology. Butuh waktu panjang untuk menjelaskannya dari awal. Yang jelas, itu adalah benda-benda super canggih yang diciptakan lebih dari dua ribu tahun yang lalu.”

    “Hmm…baiklah, saya bisa mengerti. Lalu apa hubungannya dengan sesuatu yang anda sebut dengan Spirit Materializer itu?”

    “Benda itu merupakan salah satu produk Divine Technology. Fungsinya adalah mematerialisasi roh-roh orang yang sudah mati dalam area tertentu. Jaman dahulu sering digunakan untuk mengorek informasi dari korban-korban yang tewas dalam peperangan.”

    “Kalau begitu, bukankah akan mudah untuk menemukannya?”, tanyaku. “Setahuku kamu dan Biblos bisa mendeteksi keberadaan Divine Technology selama berada dalam jangkauan.”

    “Betul, Da’ath. Namun ada satu lagi produk Divine Technology yang dapat menutupi keberadaan Divine Technology lain yang tersimpan di dalamnya. Tipe storage. DSCM Container - Divine Signal Counter Measure Container. Jika asumsi sebelumnya tepat, sangat mungkin jika Spirit Materializer berada di dalam DSCM Container sehingga aku dan Biblospun mustahil mendeteksinya. Satu hal yang pasti, Spirit Materializer tidak mungkin berada lebih dari lima kilometer dari tempat ini. Mudah-mudahan saja tidak terkurung di dalam Divine Barrier.”

    “Kami juga tidak menemukan apapun di permukaan tanah sewaktu memeriksa sejak pagi tadi. Bisa jadi ada di dalam tanah atau di bawah tebing-tebing curam di sana itu. Uuuuh~”, ujar Biblos lesu.

    “Hmm…”, Raqia memasang pose berpikir. “Menggali di banyak tempat sekaligus juga tidak mungkin, karena kita tidak mau mengganggu penduduk yang belum tentu sudah mati. Bagaimana ya…”

    Akupun menimpali, “Bagaimana dengan kemampuan Polyhymnia dan Terpsichore? Mungkinkah keduanya bisa membantu menemukan DSCM Container?”

    “Polyhymnia…mungkin bisa dicoba.”, jawab Plasma. “Coba keluarkan tongkatmu.”

    Sekejap tongkat emas sepanjang hampir 2 meter muncul di tangan wanita bermata biru laut itu.

    “Struktur datanya sedikit berubah. Tapi tidak masalah, bisa kami perbaiki malam ini.”, ujar Biblos.

    Hei, jangan bilang kalau tongkat itu…

    “Itu produk Divine Technology juga?”, tanyaku.

    “Yap, benar sekali. Tipe support. Field Energizer. Kebalikan dari DSCM Container, fungsi sebenarnya adalah untuk menyebarkan Divine Energy pada suatu daerah tertentu. Semua device Divine Technology lain akan memiliki kemampuan yang meningkat jika berada di dalam pengaruh Field Energizer. Namun entah kenapa struktur datanya berubah, sehingga yang dihasilkan bukan Divine Energy melainkan kobaran api. Sebenarnya aku ragu apakah bisa dipakai, tapi...baiklah, akan kuusahakan bersama Biblos.”

    “Jadi tongkat saya juga…wow.”, Polyhymnia memandang tongkatnya dengan penuh kekaguman. “Baiklah. Jika ini bisa membantu, silakan dipergunakan sebaik mungkin.”

    “Oke. Malam ini aku dan Biblos akan mencoba memperbaiki Field Energizer. Besok pagi, kita mulai mencari DSCM Container dan Spirit Materializer. Jangan lupa beritahukan pada Terpsichore dan Urania mengenai hal ini.”



    Paginya, di rumah yang menjadi tempat singgah kami untuk sementara. Plasma, Biblos, dan Polyhymnia sedang berada di luar untuk menjalankan operasi yang sudah kami rencanakan.

    “HAH?! Jadi, orang-orang di sini---“

    “Sssshhh!!”, Raqia memberi isyarat pada Terpsichore agar tidak terlalu berisik. “Meski sudah bisa dipastikan, tapi belum seratus persen benar. Bagaimana jika salah?”

    Di luar dugaan, reaksi Urania adalah yang paling…

    “Mereka…sudah mati?”

    Kelopak matanya melebar. Tubuhnya gemetar. Bibirnyapun mendadak kaku dan hanya bergerak-gerak tanpa suara. Air matanya jatuh, lalu dia segera mengambil boneka kelincinya dan duduk di atas Anti-Gravity Platform. Sekejap dia terbang entah ke mana.

    Raqia dan Terpsichore mendadak tertunduk lesu. Sepertinya mereka tahu sesuatu yang tidak kuketahui.

    “Da’ath, susul dia.”

    “Eh? Raqia, benar tidak apa-apa?”

    Tersenyum kecil, dia menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah, aku tidak akan marah. Mungkin hanya kamu yang bisa membuatnya tenang.”

    Ya sudahlah kalau begitu. Segera aku keluar, kemudian menemui Plasma untuk melacak keberadaan Anti-Gravity Platform. Ternyata tidaklah jauh, hanya 1 kilometer sebelah selatan tempat ini. Maka segera aku berjalan ke titik tersebut.



    Ah, itu dia. Bando telinga kelincinya mencuat dari balik sebuah batu besar. Ketika sosoknya sudah nampak, hanya ada air mata di pipinya. Tatapannya kosong, memandang ke arah tebing di kejauhan. Akupun duduk di sisi kirinya. Kesulitan membuka pembicaraan, kuputuskan untuk diam saja sampai dia lebih tenang.

    Akhirnya, dia bicara.

    “Daa..-kun…”, dia menatapku. “Apa benar yang tadi itu…”

    “Kalau boleh jujur, sebenarnya sudah bisa dipastikan begitu.”, aku setengah hati menjawabnya. Tapi aku tidak boleh berbohong mengenai hal ini.

    “Jadi…yang lainnya sudah…”

    Air matanya turun makin deras. Dengan lembut, kusandarkan kepalanya di dadaku. Maaf, Raqia. Ini hanya bagian dari belas kasihanku saja. Tidak lebih.

    “Kenapa…mereka…”

    Hei, apa mungkin anak-anak itu?

    “Mereka masih terlalu muda untuk mati…”

    “Jadi, kamu mengkhawatirkan teman-temanmu di sana?”

    “I-Iya…jika hal itu benar, aku…aku…”

    Kembali tangisnya meledak, terisak-isak seakan dirinya kehilangan orang yang sangat dicintai. Aku bisa menerka kalau dia punya suatu pengalaman yang buruk, yang mungkin memiliki kemiripan dengan fenomena aneh kali ini. Kesedihannya seperti masuk ke dalam diriku sehingga aku dapat ikut merasakannya.

    “Starlight Cannon.”

    Kusebut gelarnya itu dengan lembut, menatap jauh ke dalam matanya yang bagaikan emas murni.

    “Kuatkan dirimu. Aku memang tidak tahu alasanmu hingga berubah begitu sedih seperti saat ini. Aku hanya bisa merasakan kalau kamu pernah mengalami sesuatu yang sangat memberatkan hatimu. Tapi…”

    Kuletakkan tanganku di atas kepalanya, membelainya lembut.

    “…apapun itu, jangan terlalu lama terjebak di dalamnya.”

    Berkaca-kaca, dia memandangku, seakan tertarik oleh kekuatan kata-kataku.

    “Percaya atau tidak, aku juga pernah mengalami kejadian yang mengerikan empat belas tahun yang lalu.”

    “Kamu…pernah?”

    Kuceritakan apa yang kualami waktu itu. Lengkap, tak ada yang kututupi. Seakan memberi energi baru baginya, perlahan air matanya berhenti mengalir.

    “Aku diijinkan hidup dengan keluarga yang baru, dan orang-orang yang membuatku bisa terus bergerak maju. Apalagi ada Raqia sekarang.”

    “Kamu benar-benar mencintainya ya…”

    “Ahaha…yah, begitulah. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah menyerah menghadapi masalah-masalah yang kualami sekarang. Kehadiran orang yang bisa mendukungmu setiap saat memang sangat penting dalam situasi demikian.”

    “Kata-katamu itu…”, diapun tersenyum kecil. “Tidak heran jika Raqia juga punya perasaan yang sama.”

    “Tapi susah sekali memaksanya mengaku. Padahal sudah jelas begitu…”, jawabku ketus.

    Tunggu. Kenapa Urania jadi banyak bicara begini?

    “Terima kasih banyak ya, Daa-kun. Sekarang aku sudah baikan.”, ujarnya sambil berdiri.

    “Sama-sama, Urania. Senang mendengarmu berkata-kata lebih banyak dari biasanya.”, akupun ikut berdiri.

    “Sejak lima ratus tahun yang lalu, aku jadi lebih sering diam. Hanya bicara banyak pada orang-orang yang memang sudah dekat denganku saja. Pengecualian, terhadap anak-anak.”

    “Uh? Termasuk aku? Padahal kita baru bertemu sebentar lho.”

    “Kamu punya sesuatu yang lain. Entah apa namanya, yang jelas seakan ada aura pada dirimu yang membuat orang banyak menyayangimu. Bawaan seorang Crusader-Saint, mungkin?”

    “Hmm…mungkin juga ya. Sebelumnya juga ada beberapa orang yang mendadak menganggapku seperti keluarganya sendiri, padahal baru juga bertemu saat itu. Yah…ya sudahlah. Lupakan hal itu untuk sekarang.”

    “Wajahmu agak merah.”, dia tertawa kecil.

    Sekejap kuambil boneka kelincinya, lalu memukul pelan wajahnya dengan boneka itu. “Heh, jangan meledek saja.”

    “Uuuh~ Kamu kasar sekali sih.”, gerutunya. Namun, seketika wajahnya berubah ceria. “Tapi akan kumaafkan untuk sekarang.”

    “Tetaplah pasang senyummu itu pada yang lain. Jika benar mereka memang sudah mati dan hanya dimanfaatkan oleh sebuah alat, lebih baik kalau kamu mengirim mereka kembali beristirahat dengan sebuah senyuman.”

    Sepanjang sisa hari, tidak ada jejak kesedihan yang terpancar. Seperti kemarin saat kulihat dia tersenyum pada anak-anak, begitu pulalah yang dilakukannya sekarang.



    “Ah…ini dia.”

    Matahari berada sedikit di atas tapal horizon ketika Plasma membawa kotak DCSM Container. Ternyata berada tidak jauh dari pinggir desa, hanya sekitar 200 meter di sebelah utara, terkubur cukup dalam. Bentuknya balok berukuran kira kira 50 x 30 x 15 sentimeter, setengah transparan dengan warna hijau. Di dalamnya ada sebuah benda berbentuk limas segitiga sama sisi seukuran genggaman tangan, nampak begitu mulus berwarna merah.

    “Ternyata semuanya jadi lebih mudah dengan pemetik gitar milik Terpsichore. Tidak kusangka kalau pemetik itu adalah Anti-Divine Technology layaknya Quetzalcoatl, Material Vibrance Generator. Wajar saja jika benda itu bisa membuat banyak boneka bergerak sekaligus.”

    “Haha! Benda kecil ini hebat juga rupanya.”, sahut Terpsichore, tersenyum bangga sambil mengangkat segitiga kecil kuning itu setinggi mata.

    “Jadi, sebenarnya apa yang kalian lakukan hingga dapat menemukannya?”, tanya Raqia.

    “Begini mudahnya. Field Energizer milik Polyhymnia diaktifkan hingga memancarkan Divine Energy pada daerah dalam radius sekitar lima kilometer. Otomatis, seluruh benda yang ada di dalam jangkauannya menjadi terpapar medan Divine Energy.”

    “Ah…ya. Aku memang merasakannya tadi.”, Raqia mengangguk beberapa kali. “Lalu?”

    “Dan jelas, satu-satunya benda yang tidak akan terpapar Divine Energy adalah DSCM Container karena fungsinya yang justru menyembunyikan medan energi tersebut. Nah, dengan Material Vibrance Generator, semua materi yang berada dalam jangkauan dibuat bergetar dengan frekuensi tertentu yang seragam, yang sinyal getarannya akan dilacak olehku dan Biblos. Materi yang ikut bergetar namun tidak memancarkan balik medan Divine Energy, itulah DSCM Container.”



    Segera Biblos membuka diri, kemudian melemparkan deretan huruf-angka-simbol ke arah kotak. Limas segitiga merah itu, Spirit Materializer, keluar dari kotak dan melayang beberapa sentimeter di atasnya.

    “Jadi benda itu…”, Urania menatapnya, begitu fokus.

    “Sudah tidak apa-apa kan?”, tanyaku lembut.

    “Mmm.”, dia mengangguk.

    “Baiklah. Biblos, tolong matikan alatnya.”

    Masih dalam kondisi membuka, Biblos membawa terbang Spirit Materializer ke atas tangki logam besar di timur desa itu. Bersamaan dengan itu, kulihat beberapa anak datang menghampiri Urania. Tetap tersenyum. Begitu juga dengan beberapa orang yang masih berada di luar rumah. Mereka melihat ke arah kami semua, seakan ingin memberikan senyuman terakhir sebagai tanda terima kasih.

    Tanpa ragu, gadis berambut ungu pucat itu berlutut di tanah dan memeluk anak-anak di depannya.

    “Kalian…tidur yang tenang ya.”

    Meski kudapati jejak air mata, Urania tetap menengok ke arahku sambil tersenyum. Diapun mengangguk satu kali.

    Biblos menjatuhkan kristal itu ke dalam tangki…

    Perlahan, semua orang yang nampak olehku berubah tembus pandang. Bayangan mereka menghilang ditelan cahaya senja. Urania masih berusaha menggapai mereka, namun sia-sia. Tangannya seperti menjaring angin.

    Tubuh mereka semua berubah menjadi butir-butir cahaya kecil berwarna putih. Beberapa di antaranya mengelilingi Urania sesaat, seperti mengucapkan selamat tinggal. Begitu banyak. Ada juga yang keluar dari dalam rumah-rumah. Semuanya bergerak dengan indah di udara, menari seirama dengan cahaya jingga sore hari. Pemandangan ini bisa kukatakan seperti…


    …Pardes di tengah padang gurun.


    Kemunculan bintang pertama di langit seakan memberi tanda pada semua butir cahaya itu untuk pulang. Beristirahat untuk selamanya, menghilang bersama malam.

    Raqia melangkah menghampiri Urania yang masih berlutut di tanah, lalu memeluknya.

    “Keluargamu di alam sana pasti bangga.”

    Begitulah yang diucapkan Raqia dengan lembut di telinga Eleutherian-class itu.


    *


    “Haaaah…selesai juga.”, ujar Raqia, terdengar lega. Diapun melemparkan tubuhnya pada sandaran jok Sonic Glider. Kembali mode 2 penumpang.

    Tuntas sudah tugas kali ini, termasuk mengubur tulang-belulang para penduduk desa. Semua kami temukan di dalam rumah-rumah. Ketika diselidiki oleh Plasma, ternyata jasad-jasad yang ada di desa sudah membusuk kira-kira 2 tahun. Anehnya, semua memiliki kerusakan yang serupa, yaitu bekas tebasan yang merusak tulang-tulang yang melindungi bagian vital. Kemungkinan besar terjadi pembunuhan massal di sana. Kemarin, seharian penuh kami menguburnya dari pagi hingga sore hari, sehingga baru bisa melanjutkan perjalanan ke Avodah hari ini.

    “Tapi tidak kusangka, mematikan Spirit Materializer ternyata semudah itu.”, ujarku.

    “Begitulah. Sebenarnya benda itu dirasa tidak manusiawi karena memaksa orang-orang yang seharusnya sudah tertidur menjadi hidup kembali untuk tujuan tertentu. Untuk itulah, mekanisme untuk mematikannya dibuat semudah mungkin, cukup dicelupkan ke dalam air sedalam minimal kira-kira satu koma tiga tiga meter.”, Plasma merespon.

    “Plasma, bisa kamu jelaskan kenapa bisa demikian?”, tanya Raqia.

    Papan tulis hitam itu muncul beberapa sentimeter di depan kokpit, dengan tulisan:

    P = ρ . g . h

    “Dengan P adalah tekanan hidrostatik fluida, rho adalah massa jenis fluida alias massa per volume, g kalian sudah tahu, dan h adalah kedalaman fluida. Untuk mematikan Spirit Materializer dibutuhkan tekanan hidrostatik sebesar kira-kira tiga belas ribu Pascal. Artinya, jika fluidanya air biasa…”

    Muncul tulisan lagi di bawahnya. Berturut-turut:

    13000 Pa = 1000 kg/m3 . 9,8 m/s2 . h
    13000 Pa = 9800 kg/m2s2 . h
    13000 Pa / 9800 kg/m2s2 = h
    h = 1,326 meter

    “Tinggi tangki yang kemarin sekitar satu koma delapan meter, dengan air berkedalaman satu koma lima meter. Untuk itulah Spirit Materializer dapat dimatikan dengan mencemplungkannya ke situ.”

    Seperti biasa, Biblos mengisi beberapa halaman. Sudah lumayan banyak juga rupanya.

    “Tapi aku heran. Jika memang dirasa tidak manusiawi, kenapa harus diciptakan?”, tanya Raqia.

    “Menurut data yang kupunya, benda itu diciptakan di awal peperangan. Belakangan barulah dibuat mekanisme untuk menonaktifkannya. Bagaimanapun juga, kegunaan Spirit Materializer tidak bisa diragukan kala itu karena keberadaan musuh bisa diketahui lebih cepat. Yang jelas setelah diproduksi beberapa puluh, semuanya dimusunahkan dengan membuangnya ke laut yang dalam, sehingga benda itu akan hancur dengan sendirinya karena keganasan tekanan air laut berkedalaman ribuan meter. Tidak kusangka ada yang tersisa…dan malah ada di dalam DSCM Container.”

    “Bagaimana dengan alat milik Terpsichore itu? Apakah berbahaya juga?”, Raqia kembali bertanya.

    “Yang itu tidak berbahaya. Fungsi awalnya memang hanya untuk menggerakkan benda-benda mati dengan membuat atom-atom mereka bergetar selaras, melalui pengenal suara. Tidak ada kekuatan destruktif, tidak akan ada yang meledak.”

    “Lupakan itu untuk sekarang. Aku lebih penasaran dengan siapa yang membantai mereka semua.”, sahutku.

    “Ya, kamu benar. Hasil investigasiku menunjukkan kalau kerusakan pada jasad mereka disebabkan oleh benda tajam. Sayang sekali mereka sudah mati terlalu lama, sehingga tidak banyak yang dapat data yang kuperoleh.”

    “Aku heran kenapa Uri bisa membiarkan hal itu terjadi…makin mencurigakan saja dia.”, gumam Raqia.

    Well, kita bisa membuka Divine Barrier yang mengurung Ohr-Nisgav nanti. Yang jelas, Avodah tidak kalah mencurigakan. Ingat kata-kata Terpsichore?”

    “Hmm…benar juga. Apa pula yang disembunyikan Tselemiel sampai-sampai semua Angel-class tidak ada yang mau membuka mulut…? Dia bukan tipe orang seperti itu. Selalu berisik dan banyak omong.”, Raqia memandang ke arah langit di luar.



    Ada lagi yang membuatku penasaran. Biblos tidak banyak omong sejak 2 hari lalu.

    “Hei, Biblos. Kenapa diam saja?”, tanyaku.

    “Mmm…itu…aku masih sedih dengan peristiwa itu. Kalau punya air mata, mungkin mataku sudah banjir.”

    “Tentang Urania?”

    “Uh-huh. Memangnya apa sih yang sudah terjadi padanya?”

    Aku juga ingin tahu. Belum ada yang menceritakannya sejak kemarin, dan aku juga tidak mau bertanya. Aku takut kalau terlalu sensitif untuk diceritakan langsung di depan Eleutherian-class yang menggemaskan itu.

    Raqia bertanya, seperti sengaja ingin memancing rasa penasaran. “Kamu benar-benar ingin tahu?”

    “Iya…kalau boleh.”

    Raqia mulai menceritakan kisah hidup Urania. Sekitar 500 tahun yang lalu, bertepatan dengan pemberontakan di Chalal, kedua orang tua serta adik perempuannya terbunuh. Suasana kota cukup kacau waktu itu. Sejak itulah Urania berubah liar, bahkan sering mengacau di luar Chalal. Kehilangan yang dialaminya berefek jauh lebih parah daripada diriku karena tidak ada siapapun yang menguatkannya kala itu.

    Hingga akhirnya sekitar 100 tahun yang lalu, bertepatan dengan perjalanan Clio untuk membentuk Indagator, keduanya bertemu. Entah bagaimana detailnya, namun Raqia mengatakan kalau keduanya bertarung ketika pertama kali melihat wajah masing-masing. Clio dapat mengalahkan Urania. Sejak itu, mereka malah jadi teman akrab dan Urania bersedia ikut dengan mantan panglima pasukan Shamayim itu.

    “Kudengar hanya pada Clio dan Kalliope dia bicara lebih banyak. Sementara dengan yang lain, bahkan terhadap para Archangel, dia hanya membuka mulut seperlunya saja.”

    Sekarang aku mengerti kenapa dia nampak akrab dengan anak-anak. Mungkin dia teringat dengan adiknya yang sudah meninggal setiap kali melihat mereka.

    “Begitu ya…”, Biblos menunduk.

    “Sudah, sudah.”, Raqia menepuk-nepuknya pelan. “Kurasa dia sudah baikan sejak peristiwa kemarin.”, sekarang dia menengok ke arahku. “Benar begitu?”

    Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Jelas sudah alasan kenapa Raqia tidak marah dan malah menyuruhku menyusul Urania waktu itu. Itu karena Urania tidak punya maksud sama sekali untuk menggodaku atau semacamnya, berbeda dengan Terpsichore yang jelas sengaja ataupun Polyhymnia yang memang punya sedikit kelainan.

    “Ya sudah, kalau Raqia sudah bilang begitu…aku bisa tenang.”



    “Baiklaaah… Plasma, berapa lama lagi kita akan sampai ke tujuan?”, tanya Raqia dengan semangat, mungkin untuk mengurangi aura melankolis di pesawat ini.

    “Empat hingga lima jam lagi. Kira-kira tengah hari waktu setempat.”

    “Hmm, hmm.”, dia mengangguk dua kali, lalu menengok ke arahku. “Oh ya, Da’ath. Persiapkan dirimu sebelum sampai.”

    “Hah? Memangnya ada apa?”

    “Aku tahu kamu akan girang setengah mati begitu melihat Avodah. Yah, asal jangan sampai berbuat yang kelewat bodoh saja nanti.”

    Senyuman Raqia itu membuatku makin penasaran. Sebenarnya ada apa sih di kota yang menjadi pusat pemerintahan Archangel keenam, sang Venerable Humanist itu?


    ==============================

    Spoiler untuk Trivia :

    Gak ada

    Kalo keinget pasti ditambahin
    Last edited by LunarCrusade; 04-02-13 at 22:57.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  4. #123
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    horee dual release

    pas chapter 26 itu gue sempet mikir aneh2 eh ternyata enggak juga. tapi sedikit gokil juga itu desa.
    ngg Da'ath ama Raqia nya... hahaha, ketularan musim Februari nih
    btw materi 'pelajaran'nya ribet, yah. otak gue gak nyampe
    tapi jadinya lima ukiran itu bikin penasaran

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  5. #124
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    horee dual release

    pas chapter 26 itu gue sempet mikir aneh2 eh ternyata enggak juga. tapi sedikit gokil juga itu desa.
    ngg Da'ath ama Raqia nya... hahaha, ketularan musim Februari nih
    btw materi 'pelajaran'nya ribet, yah. otak gue gak nyampe
    tapi jadinya lima ukiran itu bikin penasaran
    sebenernya desa itu plot device doang (buat gerakin plot biar maju), jadi bukan bagian dari inti ceritanya

    gak ada desa itu = pasti ke Ohr-Nisgav duluan, dan plot yg dah gw susun jd berantakan
    gak ada desa itu = developmentnya Raqia x Da'ath bakal nanti lagi, kelamaan
    gak ada desa itu = gak ketauan sifat 3 Indagator yg ada secara detail
    gak ada desa itu = gak akan ketemu orang yang bisa ngedobrak Divine Barriernya (ntar ketemu setelah arc di Avodah)
    gak ada desa itu = device Divine Technology nya...wait. Ini masih rahasia


    5 ukiran itu artinya:

    air dgn debit 50 juta liter/detik
    atau
    air dgn volume 50 juta liter, tapi gak ketauan harus disemprot dalam selang waktu berapa lama ke Divine Barrier


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #125
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Spoiler untuk duarrrbledarrbumKAboom :
    Awal 26, ohh.. fantasi lelaki, lagi2 harem in action
    Disini sifat2 indagator juga jadi keliatan, sip lah.

    Dengan mata berbinar-binar, Raqia langsung menyambar, “Sudah, langsung saja jelaskan cara menghitungnya.”
    gua jadi ngebayangin rakia punya mata berbinar2 kayak chitanda

    Akhir 26, Mesra2an under the starry sky - jadi inget hoshimemo.

    27, ohh unexpected event.. jadi semua penduduk itu udah mati? tapi kenapa dibuat tersenyum terus pas udah jadi mayat idup? despite dari cara mati yang masing2 ditebas di organ penting, yang notabene mati gara2 ditebas itu sakitnya bukan main & ga ada damai2nya

    Trus, gua juga pernah kepikir bikin arc kota mati persis begini. Tapi dibayangan gua, kenyataan kalo mereka da mati itu dikasi tau pas terakir2. Kalo disini, mungkin gara2 karakter2nya kelewat pinter jadi uda pada tau, tapi bisa juga di modif jadi.. misalnya di hang dulu kegini :

    Spoiler untuk sample :
    Ng…sebenarnya tidak ada lagi. Kami juga tidak berani mendobrak masuk ke rumah-rumah yang ada. Jika hipotesisku dan Plasma salah, nanti kami dan kalian juga yang malu.”, jawab Biblos. “Oh, tapi ada sesuatu yang sangat mungkin melakukan ini semua, seandainya…”

    Biblos berhenti berkata-kata.

    “Lanjutkan.”, Plasma menepuk buku terbang itu.

    ...

    Kali ini giliran mulutku yang terkunci. Ekspresi Raqia berubah, ia menentang hipotesa Biblos, tampak tidak sabar.

    "Tapi.. memangnya ada Divine Technology yang bisa melakukan hal seperti itu?", kataku pada Biblos, sekaligus untuk menghentikan emosi Raqia. Bagaimanapun, secanggih apapun Divine Techonolgy kuragaukan jika ada yang memiliki kekuatan yang mungkin hanya menjadi hak tuhan semata.

    Melihat mereka yang hanya terdiam mendengar pertanyaanku, ahh.. aku tahu tidak ada gunanya bertanya.

    dst..


    fakta kalo mereka mati disembunyiin kegitu sampe bagian akhir, (disini mungkin sampe spirit materializationnya ditemuin). Kalo di bayangan gua sih modelnya kegitu.

    Terus, 5 lambang garis bergelombang yang dikali sejuta itu, ampe akhir ga digunain ya. Oasisnya juga ga dibuka, ato gua ada yang miss bacanya ?

  7. #126
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk ngeeeennnggg :

    kalo Chitanda jadinya "Watashi, ki ni narimasu" doooonnggg
    boleh juga sih, Raqia = mini-Chitanda KWOAKEOAKSOAKWOKEO
    oke mulai ngayal yg nggak" dah gw



    Post 1:
    Spirit Materializer
    Description:
    Tetrahedron-shaped red crystalline. Summons the spirits of the dead, and materialize them with real and solid body. The spirits will only have one type of emotion.
    Gak dibilang toh emosinya apa? Mau diset seenaknya sama yg nyalain devicenya juga bisa



    Jujur aja gw gak kepikiran pake ngepause begitu
    Ntar jadi kepanjangan, padahal gw udah butek sendiri nulis2 chapter ini gara" ditinggal kelamaan



    Berlutut lemas di tanah, Plasma berujar, “Ah…kalau begitu akan mustahil dibuka sekarang. Di tempat kering begini mana ada air yang setidaknya bisa dialirkan dengan nilai debit lima puluh juta liter per detik…”
    Plasma bilang mustahil, semua ngikut ga usaha buat ngebuka
    Sementara oasisnya ada di balik Divine Barrier, ga bisa masuk ke sana utk sekarang.
    Tenang aja, ntar Divine Barrier nya dibuka dengan cara yang amat sangat imba sekali



    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  8. #127
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    soalnya-soalnya, raqia juga kan suka 'penasaran' sama pengetahuan baru. Bedanya protagonis disini bukan tipe cool-lazyass, & heroinenya bisa ngebacok sang protagonis kalo macem2 gak langsung diajarin

    wtf, itu penjelasan sprit materialnya kapan ditulis, gua uda ga perna lagi cek pejawan
    Last edited by -Pierrot-; 05-02-13 at 14:38.

  9. #128
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    kayak aaaar aja dah
    tar tau2 bagian "the secrets" nya nambah sendiri tanpa pemberitahuan~ MISTERIUS~
    *kebawatritsebelah

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  10. #129
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Tehillim 28 :


    ===============================================
    Tehillim 28: Ice, Iron, Intelligence Part I || Heat, Expansion
    ===============================================




    *KLANG*

    Sebuah suara. Tidak, bukan sebuah.

    *KLANG* *KLANG*

    Sejak memasuki Avodah, suara itu mendominasi apa yang masuk ke telingaku. Banyak. Semuanya seakan untaian melodi yang indah. Ditambah lagi aroma pembakaran itu…



    “HEEEHHH!! Mau ke manaaa??!!”

    Raqia menarik bajuku begitu kakiku berbelok ---secara refleks--- ke salah satu bangunan yang ada. Bagaimana tidak? Banyak sekali orang-orang yang seprofesi denganku di tempat ini!! Uh-huh, blacksmith!!

    “Bukankah sudah kubilang jangan melakukan hal bodoh?!”, dia memakiku.

    “T-Tapi…tapi…”

    Sekarang giliranku yang bersikap layaknya anak kecil. Uh, aku benar-benar kangen dengan palu dan besi-besi membara itu. Sudah berapa minggu ya aku tidak mengolah logam?

    “Ingat tujuan kita kemari?!”

    “I-Iya…maaf.”, jawabku lesu.

    Ini dia, Avodah, kota raksasa berpenduduk 49 juta orang. Membentang nyaris 100 kilometer dari utara ke selatan dan barat ke timur, kota ini adalah kota terluas di dunia, sedikit lebih besar dari Chalal.

    Secara arsitektur, sebagian besar bangunan di kota mirip dengan apa yang ada di Shamayim. Hanya ada dua perbedaan. Pertama, lagi-lagi nampak sangat manusiawi. Rumah-rumah dari batu dan kayu, tanpa adanya bola-bola cahaya melayang. Kedua, profesi penduduknya. Karena dua pertiga penduduk adalah manusia biasa, tidak mengherankan jika orang-orang dengan profesi seperti pedagang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pertukangan sangat umum ditemui. Meski demikian, segala sesuatunya diimbangi dengan nuansa seni yang kental. Misalnya papan nama jalan yang diukir dengan indah, serta beberapa patung marmer yang berdiri anggun di taman-taman yang kulewati.



    Sekarang kami berada sekitar 2 kilometer dari kediaman Archangel keenam, Tselemiel Adamah. Di sebelah timur nampak olehku sebuah istana megah bertembok batu, memiliki beberapa menara menjulang di sisi-sisinya, dikelilingi hamparan hijau yang berpadu sempurna dengan bangunan itu. Meski kakiku melangkah ke arah sana, namun tak hentinya mataku menengok ke kiri dan kanan memperhatikan bengkel-bengkel para blacksmith. Ah, rasanya aku ingin…

    “Sekali lagi berbelok, akan kulempar dari atap istana Tselemiel. Mengerti?”

    Wajah Raqia sudah menyeramkan begitu. Duh.

    Kalau kuperhatikan, ada satu hal yang janggal dari orang-orang di kota ini. Berhubungan dengan…

    “Hahaha…yah, dimaklumi saja. Belasan tahun bekerja dengan besi, lalu mendadak melepaskannya selama beberapa minggu terakhir. Kurasa wajar saja jika Da’ath jadi berlaku demikian.”

    …Plasma. Tidak ada SATUPUN penduduk keheranan melihat kaleng yang bisa berjalan dan berbicara. Apa mungkin hal mencurigakan yang diceritakan ketiga Indagator itu memiliki kemiripan dengan Plasma? Atau…ada Divine Technology tersembunyi lainnya yang bisa bicara di tempat ini?



    Selagi aku memikirkan hal itu, terdengar suara lainnya selain besi-besi yang beradu.

    “A-A-Aaaa…m-maaf, Tuan. M-Maaf. Saya tidak sengaja.”

    Suara perempuan.

    “Anda tidak apa-apa?”, tanya Plasma, terdengar sangat sopan.

    Ketika kutengok ke arah Plasma, ternyata ada yang menabraknya dari belakang. Seorang perempuan bersayap putih. Angel-class. Kedua mata bulatnya itu memancarkan warna layaknya lautan luas. Dia mengenakan armor yang modelnya berbeda dari kota-kota yang sudah kukunjungi. Seragam khusus Avodah pastinya, karena sama persis dengan beberapa Angel-class yang kulihat sejak tadi. Lekuk tubuhnya yang sempurna tetap terbayang walau tersembunyi oleh lapisan logam itu, apalagi dengan mata yang dapat mengira-ngira segala sesuatu yang terbuat dari logam seperti mataku. Sangat ideal untuk tinggi badannya yang kira-kira tidak sampai 2 jengkal lebih pendek dariku. Di punggung tangan kanannya juga ada sebuah batu berwarna violet. Amethyst, mungkin?

    Harus kuakui helaian rambut coklat kemerahan sepunggungnya itu begitu indah, bagaikan tanah yang puas akan curahan hujan dari langit. Nampak sempurna dengan paduan poni rapi yang menutupi dahi. Tak bisa disangkal, dirinya memiliki suatu bentuk kecantikan yang berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah kutemui. Meski parasnya di atas rata-rata, aku tidak akan goyah. Hatiku hanya untuk Raqia seorang.

    “Uh? Athena?”

    Pertanyaan Raqia jelas menandakan kalau dia mengenal Angel-class yang satu itu.

    “Y-Yang Mulia Raqia?! Saya pikir anda berada di Pardes?”

    “Dan membiarkan kota-kota lain berada di bawah ancaman? Jangan bercanda.”, jawabnya santai.

    “A-Ah…begitu ya. Berarti anda ingin ke tempat Yang Mulia Tselemiel?”

    “Uh-huh.”, Raqia mengangguk. “Bisa tolong temani kami ke sana?”

    “Mmm…maaf, bukannya saya menolak. Tapi ada suatu hal yang tidak bisa saya tinggalkan sekarang.”

    “Oke, tidak apa-apa kok. Jika memang penting---“

    Biblos mendadak bicara, setelah sejak tadi diam dalam genggamanku. “Plasma, apa kamu merasakan sesuatu? Coba aktifkan sensor Divine Energy-mu.”

    “Sebentar…”, Plasma terdiam 2 detik. “Benar. Ada konsentrasi Divine Energy dari dua titik. Satu berasal dari istana, hampir sama besarnya dengan yang dimiliki Raqia. Satu lagi...terlampau kecil. Mencurigakan sekali.”, tangannya ditaruh di dagu.

    “Divine Energy? Apa itu?”, tanya Athena.

    “Butuh waktu panjang untuk menjelaskannya, nona Athena. Tapi hal ini jelas sebuah kejanggalan yang harus diperiksa terlebih dulu. Siapa tahu dapat membahayakan kota.”, jawab Plasma.

    “Kalau begitu kita cari saja.”, Raqia menimpali. “Masih tengah hari, masih sempat untuk mencarinya terlebih dulu. Dekat atau tidak?”

    “Kurang dari seratus meter.”, jawab Biblos. “Da’ath, coba permisi sebentar.”

    Akupun melepaskan genggamanku pada buku hidup itu. Setelah memastikan posisinya, kamipun bergegas bergerak ke sana. Divine Technology? Sepertinya bukan. Baik Biblos maupun Plasma dapat mengetahui keberadaan alat-alat ajaib itu dalam sekejap, dan selalu menyebutnya dengan nama yang benar. Sementara kali ini hanya ‘Divine Energy’ saja dan tidak ada embel-embel lain.



    Menyusuri jalanan selama beberapa saat, akhirnya kami sampai pada target. Sejak tadi Athena juga nampak cemas. Mungkinkah kami mengganggunya ketika bekerja?

    Sambil memperhatikan sekeliling, Plasma berujar, “Di sini…harusnya.”

    Di depan kami ada sebuah bangunan 2 lantai, tidak berbeda jauh dengan yang kulihat sejak mendarat. Tembok batu, kusen kayu, atap tanah liat, cerobong asap, dan beberapa jendela kaca. Bedanya, ada sebuah papan besi dengan tulisan “Eisen Metallverarbeitung” berwarna kekuningan tergantung di atas pintu kayu. Tercium bau yang sangat akrab dengan hidungku. Sudah pasti pemilik rumah ini juga seorang blacksmith.

    Athena menawarkan diri untuk mengetuk pintunya. Setelah 3 kali mengetuk, ada yang membukanya dari dalam, seorang pria setengah baya. Eh, bukan hanya manusia…

    “Glaukoooosss!!”

    Suara Athena terdengar gembira. Wajahnyapun tidak lagi cemas seperti tadi. Kedua lengannya memeluk…

    …burung hantu?

    “Jadi ini ‘urusan’ yang kamu bilang tadi?”, tanyaku.

    “Mmm, benar. Tak lama sebelum kalian datang, dia mendadak hilang begitu saja.”, diapun beralih menatap burung hantu bermata kuning dan berbulu putih mirip salju itu. “Kalau pergi bilang-bilang dong…jangan membuatku panik begini.”

    “Maaf, Athena. Tuan ini hanya minta tolong sebentar.”, sayap kirinya menunjuk ke arah pria yang sepertinya merupakan pemilik rumah ini.

    Kaleng bicara. Buku bicara. Sekarang, BURUNG BICARAAAA??!! Pantas saja sejak tadi tidak ada penduduk yang keheranan!!

    Hebatnya lagi, Plasma dan Biblos hanya terpaku, seakan tidak percaya melihat burung hantu yang bisa berkata-kata layaknya manusia. Heh, kalian itu sama anehnya dengan burung itu!!

    “Oh…begitu. Tuan, ada masalah apa?”, tanya Athena pada pria itu.

    Pada tembok yang berseberangan dengan pintu, pria itu menunjuk pada sesuatu yang berserakan di lantai. Pecahan kaca. Di tembok, ada kusen jendela kosong tak berkaca.

    “Mmm…pecah ya. Glaukos, apa ada yang melempar batu atau benda lain?”

    Dengan suara yang terdengar sangat elegan dan gentlemen ---bahkan sorot mata yang nampak pasrah---, burung itu menjawab, “Tak ada satupun benda aneh, pecah dengan sendirinya. Ah, mungkinkah ini pertanda buruk?”

    “Jangan aneh-aneh begitu ah.”, Athena memukul pelan kepala burung hantu itu. Kemudian dia masuk untuk memeriksanya dengan burung itu, Glaukos, bertengger di pundak kirinya.

    Sejak pintu rumah dibuka, hawa panas terasa sekali dari dalamnya. Ternyata seluruh lantai bawah digunakan untuk mengolah logam.

    “Ini kejadian yang sangat wajar. Mungkin tuan itu---“



    Belum selesai kata-kata Plasma, Athena memotong, “Tuan, memang tidak ada orang yang sengaja merusak kaca jendela anda. Masalahnya hanya satu, anda memasang kaca terlalu rapat dengan kusen. Kacanya memuai karena suhu ruangan ini yang naik, tapi tidak ada ruang yang cukup untuknya memuai. Karena itulah kaca jendela anda pecah, Tuan.”

    Tanpa basa-basi, dia mengambil secarik kertas dan botol tinta lengkap dengan bulu penulisnya yang ada pada meja di pojok ruangan, jauh dari tungku pembakaran. Menulis-nulis sebentar, dan…

    “Anda dapat menggunakan rumus ini untuk menghitungnya.”

    Athena menunjuk sebuah baris persamaan. Lengkap dengan senyuman yang mampu mendinginkan hawa panas ruangan ini.

    Δl = α l0 ΔT

    “Delta l di sini adalah penambahan panjang benda yang memuai karena panas, dan l nol adalah panjang awalnya. Delta T adalah perubahan suhu. Sementara alpha sendiri adalah koefisien muai panjang, berbeda-beda pada setiap bahan..”

    Dia menunjuk baris di bawahnya.

    Δl = 9x10-6 oC-1. 2 m . 50 oC

    “Untuk kaca, inilah nilai koefisien muai panjangnya, yaitu sembilan kali sepuluh pangkat minus enam. Sisi panjang kaca jendela anda kalau saya lihat sekitar dua meter. Kenaikan suhunya juga terlalu ekstrim, Tuan. Berhubung tidak jauh dari jendela adalah tungku pembakaran, suhu udara bisa naik dari dua puluh menjadi hampir tujuh puluh derajat di dekat jendela saja. Jadi…”

    Dia menunjuk lagi 1 baris di bawahnya.

    Δl = 0,0009 m
    Δl = 0,9 mm

    “…anda harus memberi jarak aman setidaknya satu milimeter, jangan terlalu rapat. Apalagi panas dari tungku pembakaran dapat menaikkan suhu udara lebih tinggi lagi. Dua atau tiga milimeter akan lebih baik.”

    Ajaib, si pemilik rumah mengangguk-angguk mengerti dan mengatakan akan mengganti kusen serta kacanya.

    “Ini…mimpi kan?.”, Raqia terdengar tidak percaya, pastilah keheranan dengan Athena yang mampu menjelaskan semua itu dengan lancar.

    “Mungkin…?”, kujawab dengan kaku.

    “Ini menarik. Akan kutanya sesuatu padanya nanti.”, ujar Plasma. Matanya masih berfokus pada Athena, Glaukos, dan pemilik rumah.

    Pamit pada pemilik rumah, pintupun ditutup.

    Plasma bertanya, “Maaf, nona Athena. Boleh tanya sesuatu?”

    “Mmm? Ya, silakan.”

    “Saya punya sebatang besi dengan massa satu kilogram. Jika saya ingin menaikkan suhunya dari dua puluh hingga lima ratus derajat Celcius, berapa banyak kalor yang saya butuhkan? Jika perlu papan tulis, anda bisa menulisnya di sini. Cukup gerakkan jari.”, Plasma menunjuk pada papan tulis holografik yang muncul di depan badannya.

    “Umm…besi, ya? Kalau begitu…”

    Dengan cepat dia menulis baris-baris persamaan berikut:

    Q = m c ΔT
    Q = 1 kg . 450 J/Kg oC . (500 – 20) oC
    Q = 1 . 450 . 480
    Q = 216000 J

    “Begini kan?”, ditunjuknya tulisan itu sambil tersenyum lebar. “Untuk menghitung kalor saat suatu benda mengalami kenaikan ataupun penurunan suhu, digunakanlah formula tersebut. Q untuk total kalornya, m untuk massa benda, delta T untuk perubahan suhu, dan c yaitu kalor jenis, berbeda-beda untuk bahan yang berlainan.”

    “Sudah kuduga ucapan Inferna waktu itu bohong belaka. Tidak ada pengetahuan yang disegel sama sekali dari dunia ini.”, Plasma terdengar puas.

    “Kalau begitu, reaksiku waktu itu…”

    “Tidak salah lagi, Da’ath. Mungkin masih berhubungan dengan lenyapnya banyak pengetahuan di dunia. Hanya satu penjelasan yang masuk akal. Yang disegel adalah rasa ingin tahu dari manusia, bukan pengetahuan itu sendiri.”



    “Ng…maaf. Kalian kenal Inferna?”

    Athena nampak gusar setelah melontarkan pertanyaan itu.

    “Tunggu. Dia sempat ke Olympia?!”, Raqia langsung bernafsu.

    “Sebelum anda datang, Yang Mulia. Dia memang sempat berjanji ingin memberikan pengetahuan yang pernah ada di dunia secara lengkap. Begitulah yang kudengar.”

    “Hmmph. Makhluk setengah rongsokan sialan itu rupanya.”

    Kali ini Glaukos yang berkomentar. Kedua sayapnya terlipat di depan dada. Astaga, burung yang satu ini kenapa kelakuannya juga mirip manusia?!

    “Datang seenaknya, pergi seenaknya. Athenaku tersayang ini ditinggal begitu saja. Dasar gila.”, sayap kanannya…membelai Athena?

    “Stop, stop. Kita kesampingkan dulu urusan Nephilim itu. Masih ada dua keanehan di sini.”, ujar Raqia.

    Tanpa keraguan, dia mengangkat telunjuknya.

    “Pertama!! Bagaimana bisa kamu mendadak pintar seperti itu?”

    “E-Emm…”, sejenak Athena mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Glaukos, apa harus kukatakan---“

    “Nona manis yang satu itu juga Archangel, benar? Dia memiliki aura yang sama dengan Yang Mulia Tselemiel. Jika demikian, tak ada masalah.”

    “Baiklah. Yang Mulia, sebenarnya ada sesuatu yang kami temukan di Olympia setelah anda dan pasukan Shamayim yang menyertai anda pergi.”

    “Apa?”

    “Beberapa buku. Sejak semua kembali ke Avodah, Yang Mulia Tselemiel langsung mempelajarinya dan mengurung diri hingga beberapa hari. Setelah keluar, diapun mulai mengajarkan apa yang diketahuinya pada semua Angel-class.”

    Jadi ada Archangel jenius lainnya di kota ini.

    “Oke, alibi diterima. Kedua!! Bagaimana caranya dia bisa bicara?!”, Raqia menunjuk ke arah burung hantu itu. “Tahun lalu dia hanyalah seekor burung biasa!!”

    Glaukos pun terbang menghampiri Raqia, berhadap-hadapan.

    “Ohoho, sebegitu besarkah rasa penasaranmu, wahai gadis cantik?”, tangannya menyingkirkan…poni? Burung itu kan tidak punya rambut…

    “Penyakit Tselemiel ternyata menular pada burung busuk ini…”

    “Ah, dirimu bagaikan mawar liar. Begitu cantik, namun mampu menusuk siapapun yang menyentuh---“

    “Da’ath, bagaimana kalau malam ini kita makan burung hantu panggang?”, Raqia tersenyum lebar.

    “Oke. Maaf.”, nada suara gombal burung itu langsung berubah. “Sebenarnya semacam perjanjian. Tahun lalu, Yang Mulia Tselemiel meminta Athenaku yang cantik ini untuk pulang. Dan atas permintaannya, Yang Mulia Tselemiel memberikan sedikit kekuatan padaku. Bagaimanapun juga aku ini hewan kesayangan Athena.”

    ‘Meminta Athena pulang’? Hmm…sepertinya aku mengerti. Kutembak saja langsung.

    “Athena, apa mungkin kamu…salah satu Elilim-class yang sempat dihadapi Raqia tahun lalu di Olympia?”

    “B-Bagaimana bisa--- ?!”, raut wajahnya berubah terkejut.

    “Raqia pernah bercerita padaku mengenai kejadian di Olympia itu. Memang dia tidak menyebutkan nama-nama siapa saja yang dihadapinya. Namun dari kata-kata peliharaanmu tadi, aku jadi tahu. Dan alasan kenapa kamu dengan sukarela membantu pria tadi adalah…”

    “…kerja sosial.”, sambungnya. “Iya, kamu benar. Aku harus menunjukkan kelakuan baik selama empat puluh tahun pada para penduduk, tanpa boleh meminta bayaran. Tidak kusangka, kamu pintar juga ya. Siapa namamu?”

    “Da’ath Ruachim. Panggil saja Da’ath.”

    Tiba-tiba Glaukos menatap ke arahku.

    “Hmm…aku merasakan aura seorang pemimpin besar memancar dari dalam dirimu. Boleh kutahu siapa dirimu sebenarnya?”

    “Raqia, boleh?”

    “Itu hakmu. Yah, meski pujian ‘pemimpin besar’ sepertinya masih terlalu berlebihan untuk sekarang.”, jawabnya santai, tersenyum kecil.

    “Baiklah. Sebenarnya, aku ini…Crusader-Saint.”

    Selama beberapa saat, Athena dan Glaukos seperti terpenjara dalam pilar es. Tak bergerak, tak berkata-kata. Hanya mata mereka yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

    “Crusader…”, ujar Glaukos kaku.

    “…-Saint.”, Athena menimpali, sama kakunya.


    “HEEEEEEEEEEEEEE?????!!!!!!”


    Teriakan keduanya membuat telingaku berdengung. Duh.

    “M-Maaf, maaf…!! Saya mohon maaf dengan sangat!! S-Saya tidak tahu hal itu!!”, Athena bolak-balik membungkuk hormat beberapa kali.

    Menatap ke arah langit, Glaukos mengambil sikap…berdoa?

    “Tak kusangka, nubuatan telah menjadi nyata. Sosok agung itu sekarang berdiri di hadapanku. Ah, tak ada lagi yang kusesali dalam hidup. Wahai Elohim Yang Mahatinggi, terimalah nyawaku sekarang---“

    “Glaukos!! Jangan mati dulu!! Jangan mati duluuuuu!!!! Uwaaaaa…!!”, Athena memeluk Glaukos erat-erat, wajahnya seperti ingin menangis.

    Kalau seperti itu, bisa-bisa Glaukos mati sungguhan karena tidak bisa bernafas…


    *


    Sekarang, di dalam istana. Lebih tepatnya pada suatu koridor besar dengan lebar kira-kira 4 meter. Terlihat olehku beberapa lukisan besar digantung di dindingnya, ditemani patung-patung yang berdiri pada pilar pendek setinggi perutku setiap selang 2 meter. Baik bingkai maupun pilar, semuanya terbuat dari emas. Sepertinya Tselemiel punya cita rasa seni yang tinggi. Tidak heran jika Avodah juga didesain demikian.

    “Hmm, hmm. Ternyata kamu memang punya Divine Energy yang sama dengan orang yang sebentar lagi kita temui. Yah, meski hanya satu persennya. Tapi ini menarik. Satu persen saja bisa membuat seekor hewan bisa bicara.”

    Sejak tadi Biblos terus berbincang-bincang dengan Glaukos.

    “Hahaha…tentu saja, tentu saja. Jika benar ceritamu tadi, wahai kitab pengetahuan, tidaklah mengherankan jika terjadi demikian. Kuasa-Nya memang penuh misteri yang mungkin takkan pernah sanggup kita mengerti.”

    Kenapa dia jadi rohani begini…

    “Betul sekali~ Kalau begitu, tidak keberatan kan jika aku dan Plasma menelitimu lebih lanjut?”

    “Tidak jadi masalah. Sebuah kehormatan jika aku dapat memberikan sesuatu yang baru bagi kalian.”

    Tak terasa, di hadapan kami sudah berdiri sebuah pintu besar dengan gagang keemasan. Dari dalam aku mendengar suara seseorang sedang bicara, namun tidak terlalu jelas karena masih terhalang pintu. Athenapun membukanya.

    Sosok seorang pria muda berambut perak dan jabrik nampak berdiri di dekat jendela. Mengenakan kemeja putih lengan panjang yang terlihat longgar, celana panjang hitam, dan sepatu kulit berwarna coklat. Sepertinya lebih tinggi dariku, namun belum sampai setinggi Plasma.

    “Penari…flamenco?”, gumam Plasma. Entah apa yang dimaksud, tetapi kurasa penampilan Archangel yang satu itu menyerupai apa yang dikatakannya.

    “…terpenjara tujuh puluh tahun lamanya---“

    Uh? Sajak itu…sempat kudengar pada nyanyian Terpsichore. Apa mungkin dia pencipta liriknya?

    Pandangannya segera teralih ke arah kami, ketika pintunya terbuka dan menimbulkan suara.

    “Ah, Athena. Ada apa gerangan, hingga menghampiriku di ruang pribadiku ini?”

    “Maaf, Yang Mulia Tselemiel. Saya membawa tamu untuk anda.”

    Kedua pipi Athena memerah. Sedikit. Hmm…

    Sekarang tatapan mata violet Archangel itu mengarah pada Raqia.

    “Ohoho!! Raqia rupanya.”

    Diapun melangkah, lalu berlutut di hadapan Raqia. Meraih tangan kanannya, lalu…



    “OI OI OI!! STOP!! Seenaknya ingin langsung mencium tangan begitu!!”

    Teriakanku menggema di ruangan ini. Jelas saja, aku mana terima Raqia disentuh seenaknya seperti itu!!

    “Ah, kobaran api cemburu sangat terasa darimu, anak muda. Namun, apa hakmu hingga menghentikan penghormatanku atas Raqia?”, tanyanya sambil berlagak sok ganteng.

    “Diam atau kupecat dirimu dari jabatan Archangel.”, jawabku, terbungkus dengan hawa menusuk.

    “Dasar anak muda jaman sekarang. Begitu bernafsu dan tak mampu mengendalikan emosi. Hingga terdengar begitu arogan, padahal hanya manusia biasa?”

    “Dia itu Crusader-Saint.”, sahut Raqia.

    Tselemiel seakan berubah menjadi patung marmer. Kaku.

    “J-JADI DIA?!”

    “Uh-huh. Tidak bisa dibantah lagi, buktinya sudah terlalu banyak untuk kukatakan.”, jawab Raqia santai. “Mereka berdua sudah jadi salah satu buktinya.”, Raqia menunjuk Plasma dan Biblos.

    “Oh, kupikir mereka hanya benda bicara serupa Longinus milik Nuachiel.”

    Longinus? Hmm, mungkinkah nama Divine Technology yang dimiliki sang Archangel ketujuh?

    “Tetapi, walaupun dia adalah Crusader-Saint, apa haknya untuk menghentikanku---“

    “Raqia itu calon istriku.”

    Kedua kalinya Tselemiel mematung.

    “H-HAH?! S-Siapa pula yang---“, Raqia terdengar gugup. Darah naik ke pipinya.

    “Jangan bawel.”, kupukul pelan kepalanya.

    “I-Ini terlalu mengejutkan.”, tangan kanan Tselemiel ditaruh di dahi. “Tapi…baiklah. Menurut pandanganku, kalian berdua sudah cukup dekat. Apalagi sorot matamu, Crusader-Saint, begitu berapi-api ketika aku mendekati Raqia. Mungkin memang sudah saatnya adikku yang menggemaskan itu berada dalam perlindungan seorang pria yang gagah sepertimu.”, ditutup dengan senyuman puasnya.

    “Dia kakakmu?”, tanyaku.

    “Tidak kok. Hanya saja sering berlagak demikian.”

    “Hooo…”

    “Jadi, tujuan kalian kemari hanya untuk memberitahu kabar gembira tentang pernikahan kalian?”, tanya Archangel bermata violet itu.

    “TENTU SAJA BUKAN, DASAR *****!!”, Raqia menendang perut Tselemiel keras-keras. “Sekarang katakan, apa yang kamu sembunyikan di kota ini sehingga para Indagator pun tidak boleh mengetahuinya!!”

    Tersungkur di tanah, Tselemiel berusaha menjawab dengan susah payah, “J-Jadi itu a-a-alasannya…b-b-baiklah, akan kutunjukkan---.”

    Diapun pingsan, meski aku ragu jika sungguhan. Raqia, terkadang kamu harus mengurangi kekuatanmu.


    *


    Keluar istana, kami segera terbang mengikuti Tselemiel ---bersayap 6 dengan armor keperakan yang membuatnya nampak gagah--- ke pantai utara. Avodah memang berbatasan dengan laut di utaranya. Sesuatu yang disembunyikan olehnya dan penduduk kota ada di sana.

    Tujuan kami ternyata sebuah bangunan besar yang nampak simpel. Di luar pagar depannya, dijaga ketat oleh beberapa puluh Angel-class yang berpatroli. Suasana bangunan lebih menyerupai sebuah bengkel kerja blacksmith, menurutku. Tembok batu yang polos, atap logam, dan cerobong-cerobong asap, membuatku berpikir demikian. Ada beberapa pintu di sekelilingnya, namun yang paling besar adalah gerbang logam yang tertutup menghadap ke arah laut. Papan logam yang sangat lebar menjorok keluar dari gerbang itu ---mungkin selebar 50 meter--- hingga beberapa ratus meter ke arah laut.

    Banyak orang juga berlalu-lalang keluar masuk gedung. Beberapa terlihat membawa palu, gerobak, dan batangan-batangan logam. Semuanya mengenakan pin emas bertahtakan batu berwarna violet di dada kiri, mungkin sebagai tanda pengenal agar diijinkan masuk ke tempat ini.

    Melalui salah satu pintu, kamipun masuk. Woah, panas juga di dalam sini. Sesekali kudengar suara logam yang sedang dihantam, mungkin ada di ruangan tersendiri.

    “Jangan terkejut dengan apa yang akan kalian lihat.”

    Begitulah kata-kata Tselemiel, ketika kami berada di depan sebuah pintu geser dari logam. Dia membukanya, cahayapun menyeruak perlahan…



    As. Ta. Ga.

    Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang ada di hadapanku.

    Sebuah kapal, bentuk dasarnya mirip kapal laut biasa. Bahannya? Dari logam. Punya 4 cerobong di buritan, mengarah ke belakang. Ada sepasang kincir besar di bagian atas buritan. Pada kedua sisinya terdapat sepasang…sayap?

    “Inilah proyek rahasia Avodah. Merkava Barzel.”

    =========================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Eisen Metallverarbeitung (German)
      ---> Eisen = iron/besi
      ---> Metallverarbeitung = metalworking/pengolahan logam
    • Glaukos (literally, glaring eyes. Latinized: Glaucus) adalah nama burung hantu milik dewi Athena dalam mitologi Yunani.
    • Merkava Barzel (Hebrew)
      ---> Merkava = chariot/kereta
      ---> Barzel = iron/besi

    Last edited by LunarCrusade; 20-02-13 at 20:57.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  11. #130
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    wiiiiiiiih chapter baruuuuuuuu!

    errr...gue masih ada yang gak ngerti... sebenernya manusia, angel, sama elilim itu bisa bolak balik?
    ada archangel awalnya manusia, itu si Athena asalnya elilim..
    wuih, riweuh...

    btw... kok si Da'ath kesannya di chapter ini power abuse banget, ya...
    *digampar

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  12. #131
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    wiiiiiiiih chapter baruuuuuuuu!

    errr...gue masih ada yang gak ngerti... sebenernya manusia, angel, sama elilim itu bisa bolak balik?
    ada archangel awalnya manusia, itu si Athena asalnya elilim..
    wuih, riweuh...

    btw... kok si Da'ath kesannya di chapter ini power abuse banget, ya...
    *digampar
    Bisa.

    Coba trace back dari Tehillim" sebelumnya, ini perbedaan 3 kelas tsb:
    • Angel-class: sayap putih, ada kristal pengenal di tangan kanan (dipasang langsung sama Archangel pimpinan kotanya sewaktu dia lahir - Tehillim 19)
    • Eleutherian-class: sayap putih, gak ada kristal pengenal di tangan kanan (inget Chloros pas nunjukin tangan kanannya di Tehillim 11?), DENGAN SYARAT yg nyabut harus Archangel pimpinan kotanya (Tehillim 18, pas Raqia ngomong "Betul, Da’ath. Dia dulunya adalah salah satu panglima terbaikku, sebelum akhirnya dia memintaku untuk melepas safir di tangan kanannya...")
    • Elilim-class: sayap berwarna, tergantung dari warna kristal pengenal yang pernah ada di tangan kanan, DENGAN SYARAT kristal pengenalnya *sensor* (bakal gw jelasin di arc ini). Bisa balik lagi jadi Angel-class kalo kristalnya dipasang lagi sama Archangel pimpinan kota asal si Elilim-class (inget Omoikane?).


    Archangel itu emang asalnya manusia, cuman nelen Archangel Core aja (gak nelen juga sih, lebay aja bahasanya pokoknya ada di dalem badannya).



    Emang, sengaja di arc ini gw pengen bikin Da'ath rada gahar dan abuse, tapi tetep tujuannya bakalan ngarah ke yg baik.

    Istilahnya "karisma" dia sewaktu masih jadi Crusader-Saint 2000 taun yg lalu gw munculin lagi.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  13. #132
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Spoiler untuk Ikuze' :
    - Cewe baruuu, cakep pula. Btw ga dijelasin tinggi ato fitur lain, cuma mukanya doank. So, menimbang TS-nya Lolicon, gua asumsiin Athena itu Loli.

    - Anu hantu bisa ngomong, putih, bisa nge-gombal pula. Mirip yang di anime apa gitu.

    - Btw waktu plasma sama biblos keheranan liat Glaukos, itu asik juga kalo di bayangin. Humor kegini sekali2 lumayan lah

    - Jadi ada jendela yang pecah gara2 memuai, dan jelas misteri langsung terpecahkan tanpa buang2 waktu. Itu gak aneh, karena emang satu rombongan otaknnya encer semua. Tapi tiba2, plasma langsung hajar rumus, dan gua langsung - Lho?

    Ibaratnya gua orang **** yang gau tau apa2 tentang cara masang jendela, dan tiba2 ada sekelompok orang asing yang mecahin masalah gua ga pake basa-basi. Uda gitu mereka langsung ngajarin gua fisika? Orang waras pasti langsung kaget diperlakuin kegini.

    - Kapal empat cerobong, hmm.. Titanic kah?

  14. #133
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk dooorrrrr :

    EH YAOWOH TINGGINYA GUA LUPA
    Gak loli kok, gw bayanginnya medium" aja. Bentar gw edit

    Nonton Tamako Market, liat Dera Mochimazzi, terus ganti spesiesnya jadi burung hantu. Nah, itu Glaukos.


    Athena itu gak waras. Ntar diceritain lagi kenapa bisa gitu.

    Titanic muke lu mbledug
    Cerobongnya di buritan terus ngadepnya ke belakang, lebih ke arah knalpot itu


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  15. #134
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    aaah...
    oke mengerti sebagian. tinggal lu lanjut aja
    buru! buru!


    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  16. #135
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Tehillim 29 :


    ===========================================
    Tehillim 29: Ice, Iron, Intelligence Part II || How to Fly
    ===========================================




    “Ini dirancang untuk terbang?!”, seru Plasma.

    “Hmm. Benar.”, Tselemiel mengangguk mantap. “Inilah buah kerja kami selama beberapa bulan terakhir.”

    Ini mustahil. Hanya berbekal beberapa buku, Tselemiel dan orang-orang Avodah dapat membangun kendaraan kolosal seperti ini? Bahkan aku, yang terkadang mendengar petunjuk-petunjuk ilmiah di kepalaku, belum tentu bisa merancang yang demikian!!

    Archangel bermata violet itu melanjutkan, “Rakyatku ternyata mudah sekali untuk diajar. Mereka juga begitu bersemangat. Yah, memang tidak semua penduduk Avodah langsung mendapat pengajaran dariku. Namun, dengan ini kami semua bisa membuktikan kalau kota kami memiliki sesuatu yang spesial. Setidaknya kapal besar ini dapat menjadi simbol tersendiri bagi kota ini, simbol kerja keras dan kebersamaan kami.”

    “Gila. Ini gila.”, Raqia menggelengkan kepala beberapa kali, nampak masih shock. “Kurang dari satu tahun, kamu bisa mengajak orang-orang untuk membangun kapal besar ini. Dirancang untuk bisa terbang segala pula… tidak masuk akal.”

    “Hahaha…!!”, Tselemiel tertawa bangga. “Tapi semua ini tidak lepas dari bantuanmu, Raqia. Jika kita tidak bersama-sama menyerang Olympia, mungkin buku-buku itu tidak akan pernah ditemukan.”

    “Maaf, Yang Mulia.”, potong Plasma dengan sopan. “Saya ingin bertanya, sebenarnya buku-buku apa yang anda temukan? Nona Athena juga sempat mengatakan hal yang sama tadi.”

    “Jika kamu penasaran, baiklah. Athena, tolong ambilkan beberapa buku. Ada di lantai atas.”, perintahnya. Athenapun segera menuju lantai atas tanpa banyak tanya.

    Tak lama, Athena kembali membawa 3 buah buku. Jika tebal ketiganya ditotal, maka akan lebih tebal dari Biblos.

    Plasma mengambil dan memperhatikan semuanya itu sebentar, lalu memanggil, “Biblos, coba kemari sebentar.”
    Dengan hati-hati, Plasma membuka salah satunya.

    “Uh? Ini kan buku-buku untuk anak sekolah menengah atas puluhan tahun sebelum jaman kita… masih bisa terbaca pula, meski halaman-halamannya sudah agak coklat.”, komentar Biblos setelah memperhatikan isinya sejenak.

    Plasma terus membuka-buka halaman, hingga seluruh buku itu dibabat habis olehnya. Terkadang dia berhenti pada halaman yang robek atau rusak parah sambil memperhatikan sejenak ke arah kapal.

    Menutup buku terakhir, Plasma bertanya, “Dan hanya berbekal ini, anda membangun Merkava Barzel?”

    “Betul sekali.”, jawab Tselemiel tanpa ragu.

    “Pernahkah anda melakukan uji coba?”, tanyanya lagi.

    “Belum. Kapal ini belum sepenuhnya selesai. Masih ada beberapa plat logam yang harus dipasang pada bagian depan lambung.”

    “Kita periksa?”, Plasma bertanya pada Biblos.

    “Boleh saja. Nanti akan kubuat simulasinya sekalian. Terlalu berbahaya jika kapal itu dibiarkan terbang begitu saja.”

    “Kalian berdua sepertinya asyik sekali…”, sahut Raqia.

    Dijawab oleh Biblos, “Mmm…bukannya begitu, Raqia. Kami hanya khawatir jika ada perhitungan-perhitungan yang meleset ketika kapalnya dibangun. Nanti kan bisa bahaya kalau kapalnya meledak di langit.”

    “Intinya, Tselemiel itu sok tahu?”, ledeknya, menunjuk ke arah orang yang dimaksud. Senyuman licik pun terbentuk di bibirnya.

    “Raqia.”, aku memotong. “Jangan berkata seperti itu. Apapun hasilnya, aku tahu membuat benda sebesar itu tidaklah mudah. Jika ada sesuatu yang kurang, jelaskan secara baik-baik. Bukannya menghina.”

    “Ah, sang Crusader-Saint memang penuh pengertian. Suatu kehormatan bisa mengenalmu.”, ujar Archangel jabrik itu sambil membungkuk sedikit.

    “Panggil Da’ath saja, dan tidak perlu sampai membungkuk begitu. Bagaimanapun juga aku ini hanyalah blacksmith biasa sebelum masuk ke dalam rentetan peristiwa gila belakangan ini.”

    Kutarik nafas panjang.

    “Baiklah, kuambil alih proyek ini. Plasma, Biblos, periksa kembali keseluruhan kapal secara teliti, jangan sampai membahayakan penumpang nantinya. Jika ada yang perlu diganti, katakan saja padaku. Aku akan bertanggung jawab penuh. Bagaimana, Tselemiel?”

    “Tentu, tentu saja boleh!!”, jawabnya cepat. “Proyek ini ditangani langsung oleh Crusader-Saint…ah, tiada lagi kata-kata yang dapat menggambarkan kebahagiaanku.”

    “Hahaha…ternyata tanganmu memang sudah gatal ingin memegang besi, eh?”, Plasma terdengar gembira. “Oke, akan kami lakukan sekarang.”

    “Nanti malam juga sudah selesai kok. Tenang saja.”, sahut Biblos.

    “Ah…bagus, bagus. Terima kasih banyak mau membantu.”

    Akupun mengangguk, memberi isyarat pada keduanya agar mulai memeriksa kapal.

    “Sekarang…Tselemiel, bisa kutemui para pekerja?”

    “Tentu. Akan kukumpulkan mereka di halaman luar. Terlalu sesak jika di dalam. Tunggulah sekitar lima belas menit agar berkumpul semuanya, nanti akan kuberitahu padamu jika sudah siap. Dan…Athena, tolong bawa buku-bukunya kembali ke ruangan.”



    Sekarang, tinggal Raqia yang ada di sebelah kananku.

    “Da’ath.”, panggilnya. Nada suaranya agak naik.

    “Hmm?”

    “Aku tidak habis pikir kali ini. Bisa-bisanya kamu mengambil alih semuanya, sementara masih ada tugas yang lebih penting yang harus kita lakukan.”

    Dia marah. Sungguhan. Artinya, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk beradu argumen hingga emosi.

    “Aku hanya…tidak tahan.”, jawabku sambil mengambil duduk di lantai. Agar lebih santai, tentunya. Posisi yang lebih santai membantu pikiran agar lebih tenang.

    “Tidak tahan ingin memegang besi-besi itu lagi, hah?”

    “Itu hanya alasan sampingan. Sebenarnya aku hanya tidak ingin melihat Tselemiel dan semua yang ikut membangun kapal ini menjadi kecewa.”

    Raut wajahnya berubah, bertanya-tanya. Diapun ikut duduk di lantai. “Maksudnya…?”

    “Plasma dan Biblos sempat khawatir jika kapal itu rusak atau membahayakan penumpang, benar? Coba kamu pikirkan. Berbulan-bulan mereka membangunnya, kemudian rusak dalam sekejap hanya karena sedikit perhitungan yang tidak teliti, malah beresiko akan membunuh penumpang nantinya. Apa kamu tahu rasanya?”

    “Mmm…tidak. Aku tidak pernah mengerjakan yang seperti itu.”

    “Oh ya, kamu bisa masak?”

    “Ya, bisa. Kamu lihat sendiri aku yang membantu sewaktu di rumahmu waktu itu.”

    “Pernahkah kamu memasak sesuatu yang memakan waktu lama, hanya untuk menerima respon ‘tidak enak’ dari orang lain yang makan masakanmu? Misalnya karena kamu lupa menaruh garam atau bumbu lainnya.”

    “Uh-huh, beberapa kali, meski seingatku bisa dihitung dengan jari. Dan jelas saja aku kecewa. Rasanya…seperti mau menangis saja.”

    “Nah, begitulah kira-kira yang akan dirasakan mereka semua, jika nantinya kapal itu gagal bergerak ataupun rusak. Apalagi hingga ada nyawa yang hilang. Karena itu, aku tidak tega membayangkan wajah sedih orang-orang yang terlibat dalam menciptakannya. Melihat senyum puas mereka adalah yang terbaik.”

    Raqia hanya diam, namun kedua biru langit itu terus terpaku padaku. Kata-kataku bagaikan benang emas yang mengikat perhatiannya.

    “Begitu…ya.”

    Ujung-ujung bibirnya naik sedikit.

    “Oke, aku mengerti. Mungkin mereka juga perlu bonus. Sedikit dari keuangan Shamayim sepertinya pantas.”

    Terdiam sejenak. Satu kalimat diucapkannya dengan pelan.


    “Kamu berubah lebih baik.”


    Kutaruh tangan di telinga kanan ---berlagak tidak mendengar---, lalu mendekatkannya ke arah Raqia.

    “Apaaaa~? Coba kamu ulang?”, ledekku.

    “H-HAH?! Suaraku kedengaran?!”

    Tomat segar, udang rebus, apel ranum, atau apalah itu, sekarang seakan bersarang di seluruh wajahnya.

    “Kalau mau memuji bilang saja~ Tidak usah malu-malu.”

    “T-Tidak mau!! Pokoknya tidak---“

    *puk*

    Trik biasa, tangan kananku di kepalanya. Gerak-gerakkan sedikit…

    “Kepalamu berasap tuh.”

    Jelas saja tidak. Hanya bercanda. Bisa-bisa aku histeris jika kepalanya berasap sungguhan. Hehehe…

    *


    Malamnya, ketika semua sudah pulang. Di bangunan ini hanya ada aku, Plasma, dan Biblos. Raqia dan Tselemiel sepertinya sedang ke istana. Oh, Athena juga masih berada di lantai atas gedung, sedang mencatat apa saja yang terpakai hari ini. Glaukos? Mungkin sedang bersamanya.

    Berbekal lampu minyak di tangan kanan, aku menatap ke arah kapal besar itu.

    Merkava Barzel. Kapal logam terbesar yang pernah kulihat seumur hidup. Mendengar namanya, aku jadi ingat ayah. Yah, namanya kan memang berarti ‘besi’.

    Mendengar langkah kaki Plasma mendekat, aku bertanya, “Bagaimana?”

    Plasma menjawab, “Aku kagum dengan mereka. Material yang digunakan sangat cocok, mesin uapnya nyaris sempurna. Hanya bagian pendinginnya saja nanti yang perlu sedikit diubah agar mesin bisa bekerja lebih efisien. Kincir pendorongnya juga mungkin perlu ditambah sepasang lagi. Yang sangat bermasalah hanya satu.”

    “Apa itu?”

    “Sayapnya.”, jawab Biblos. “Mereka sudah sangat pintar dengan membuat bahan yang kuat namun ringan, mencampur besi dengan karbon. Baja, maksudku. Hanya saja luasnya terlalu kecil untuk menghasilkan gaya angkat.”

    Err…

    “Tidak ada suara di dalam kepalamu?”, tanya Plasma, mungkin keheranan melihat wajah bengongku.

    “Sayangnya tidak. Sayap? Gaya angkat? Kupikir dua kincir besar itu yang akan melakukannya. Maksudku, kincir selalu menghasilkan dorongan udara. Jika diputar menghadap ke bawah…”

    “Salah. Total.”, Plasma menegaskan. “Yang digunakan untuk membuat sebuah pesawat agar bisa terbang, termasuk Merkava Barzel, adalah gaya angkat yang dihasilkan sayap. Sejak jamanku juga selalu seperti itu. Ingin kujelaskan?”

    “Tentu. Aku juga penasaran dengan hal itu. Nanti akan kuajari Raqia setelahnya.”

    Plasma memunculkan gambar holografik. Yang kulihat adalah sebuah pipa yang berbeda ketinggian dan diameter pada kedua ujung, dengan notasi-notasi khusus tertulis di situ. Aku sudah akrab dengan arti-arti dari notasinya. Notasi p untuk tekanan, h untuk ketinggian, dan v untuk kecepatan.


    “Nah, aku punya sebuah pipa dengan air mengalir di dalamnya. Fluida yang mengalir memiliki energi, bergantung pada beberapa faktor yang dapat kurumuskan sebagai berikut.”

    Tanpa papan tulis holografik, di sebelah kanan gambar tiba-tiba muncul persamaan:

    p1 + ρgh1 + ½ ρv12 = p2 + ρgh2 + ½ ρv22

    Wow. Panjang juga. Ada variabel massa jenis fluidanya pula.

    “Ini artinya, penjumlahan dari tekanan fluida, energi potensial gravitasi per satuan volume, dan energi kinetik per satuan volumenya akan selalu konstan pada titik pertama maupun kedua. Dari sini dapat kita lihat bahwa kecepatan aliran fluida sangat berhubungan dengan tekanannya. Makin besar kecepatannya, makin kecil tekanannya. Begitu sebaliknya. Satu lagi sifat fluida, selalu mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.”

    “Lalu apa hubungannya dengan Merkava Barzel? Memangnya ada aliran air yang membuat kapal itu terbang?”

    “Perlu kamu ketahui, udara juga merupakan fluida. Persamaan tersebut juga berlaku pada aliran udara.”

    “Hmm…kalau begitu, bagaimana cara menerapkan penghitungannya untuk aliran fluida pada sayap?”

    “Nah, akan kujelaskan pelan-pelan untuk menarik hubungannya.”

    Gambar pipa itupun berganti menjadi gambar penampang sayap yang dilihat dari samping. Ada notasi p1 dan p2 masing-masing pada bagian bawah dan atas sayap.


    “Jika Merkava Barzel bergerak maju, apa yang terjadi pada udara di sekitar sayap?”

    “Mengalir melalui atas dan bawahnya, seperti di gambar."

    “Apa lagi yang bisa kamu dapatkan dari gambar? Katakan apapun yang ada di pikiranmu.”

    “Sayapnya lumayan tipis…tunggu. Dapat kukatakan hampir tidak ada perbedaan ketinggian pada aliran fluida di atas maupun di bawah sayap. Bisa diabaikan.”

    That’s right.”, Plasma menjentikkan jarinya, bunyinya jelas berbeda dengan jentikan jari manusia. “Nilai h satu sama dengan h dua. Akan kusamakan saja dengan variabel h.”

    p1 + ρgh + ½ ρv12 = p2 + ρgh + ½ ρv22
    p1 + ½ ρv12 = p2 + ½ ρv22

    “Pengurangan biasa. Selanjutnya, agar mudah, akan kukelompokkan variabel-variabel yang ada.”

    p1 – p2 = ½ ρ (v22 – v12)

    “Ada satu persamaan lagi yang harus kamu ketahui. Yaitu, persamaan dasar untuk tekanan.”

    Muncul persamaan p = F/A di sebelah kiri gambar sayap.

    “Tekanan adalah gaya yang bekerja pada luas bidang tertentu. Jika luas bidangnya adalah sayap pesawat yang nilainya dianggap sama pada bagian atas maupun bawahnya, maka persamaan fluida akan berubah menjadi…”

    F1/A – F2/A = ½ ρ (v22 – v12)
    (F1 – F2)/A = ½ ρ (v22 – v12)
    F1 – F2 = ½ ρ (v22 – v12) A

    “Dengan selisih antara F satu dan F dua adalah gaya angkat yang dihasilkan. Tentu saja, harus lebih besar dari gaya berat pesawat yang sudah kamu ketahui perumusannya. Jika kecepatan pada bagian atas sayap lebih tinggi alias bertekanan lebih rendah, maka udara di bawahnya yang berkecepatan lebih rendah alias bertekanan lebih tinggi akan mengangkat sayap.”

    “Oh, jadi dari sini kalian bisa mengatakan kalau luas sayap Merkava Barzel tidak cukup untuk menimbulkan gaya angkat yang besar?”

    Correct. Sebenarnya desain sayap kapal itu sudah sempurna untuk membelah udara, sehingga udara pada bagian atas sayap akan memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibanding bagian bawahnya, yang juga berarti bertekanan lebih kecil. Hanya saja sayapnya kurang besar untuk menimbulkan gaya angkat yang cukup. Ini hanya garis besarnya. Untuk perhitungan lebih telitinya dibutuhkan analisis vektor mengenai aliran fluida yang menabrak sayap, yang belum pernah kuajari padamu. Kurasa kamu belum siap.”

    “Hmm…begitu ya. Baiklah, aku paham.”

    “Kalau begitu, kami akan segera ke istana untuk memberitahu Yang Mulia Tselemiel. Kamu mau ikut?”, tanya Biblos.

    “Tidak usah, kalian saja. Aku masih ingin melihat-lihat kapalnya. Toh aku juga akan tidur di gedung ini.”

    “Ya sudah. Tapi jangan iseng menarik atau menekan yang aneh-aneh yaaa~”, Biblos merespon ceria.

    Keduanyapun beranjak dari ruang tempat kapal berada. Sekarang hanya aku dan kapal ini yang tersisa, ditemani temaram cahaya lampu minyak yang sejak tadi kugenggam.

    *


    Setelah puas mengamati kapalnya, aku merasa perutku memanggil. Lapar. Seharusnya memang sudah lewat jam makan malam. Akupun memutuskan untuk keluar, ingin membeli makanan di tempat yang dekat. Tapi…

    Athena.

    Aku melihat sosoknya memasuki ruangan ini, memakai long dress lengan panjang berwarna merah muda yang lembut. Sepatu boot logamnya digantikan sandal kulit sederhana. Tangan kirinya membawa kantong kertas berwarna coklat, sementara tangan kanannya membawa lampu minyak serupa dengan yang ada di tanganku. Sebuah botol air juga nampak tergantung di bahu kirinya.

    “Ah, Da’ath. Mau ke mana?”, tanyanya.

    “Ingin cari makan di luar. Ada apa memangnya?”

    “Kebetulan, aku baru saja beli makanan. Aku juga membelikan untukmu.”, dia mengangkat kantong kertas itu setinggi bahunya.

    “Eh? Tidak usah repot-repot begitu…”

    “Sudah, ikut saja.”

    Karena baru beberapa jam ada di sini, ditambah lagi gelapnya bangunan, aku tidak mau meresikokan diri untuk kabur seenaknya. Bisa-bisa aku masuk ke ruangan yang tidak seharusnya, atau malah menabrak sesuatu yang membahayakan. Uh… maaf, Raqia. Aku harus berduaan lagi dengan seorang perempuan. Tidak enak menolak ajakannya, apalagi dia sudah membelikan sesuatu untukku. Aku janji tidak akan macam-macam. Aku janji.

    Menapak menyusuri kegelapan, aku terus mengekor hingga sebuah pintu geser. Dia membukanya, dan nampak samar-samar deretan meja dan kursi di dalam ruangan. Cukup banyak. Ini pasti ruang makan para pekerja. Dia duduk di kursi paling dekat dengan pintu. Akupun duduk berhadap-hadapan dengannya.

    Athena mengeluarkan apa yang ada di dalam kantong kertas itu, kemudian memberikan sebuah roti panjang berisi sosis yang ukurannya tidak wajar jika dibandingkan ukuran sosis di Ferrenium ataupun Shamayim. Ada juga beberapa helai selada dan tomat terjepit di antaranya.

    “Ini, makanlah.”

    “Mmm…terima kasih.”

    Meski agak ragu awalnya, tetapi kuterima saja karena perutku seperti makin berteriak, ‘Cepat berikan makanannyaaa!!’. Begitulah kira-kira.

    Hmm, enak sekali!! Sosis besar yang masih hangat menyatu sempurna dengan mulutku, menyebarkan kelezatannya ke sela-sela lidah pada gigitan pertama. Gurihnya daging yang meleleh, dipadukan dengan rasa segar dari selada dan tomat, membuatku lupa sejenak akan kehadiran Athena di hadapanku. Sepasang roti panjangnya juga menambah kesempurnaan makanan ini.

    Ternyata ada satu buah roti lagi di dalam kantong kertas, yang dilahap habis oleh Athena dengan kecepatan yang nyaris sama denganku.

    “Bagaimana?”, tanyanya, setelah aku minum dari botol yang disodorkannya.

    “Mmm. Lezat sekali. Apalagi ditambah perutku yang sudah lapar, sulit sekali untuk mengatakan tidak enak.”

    “Ahaha…syukurlah.”, dia tersenyum. “Baguslah kalau kamu suka.”



    Hmm, gelagat seperti ini sih…

    “Kamu menginginkan sesuatu?”

    “E-Eh? He? T-Tidak kok, tidak.”, Athena terdengar gelagapan.

    Kutatap matanya dengan tajam. “Yang benar?”

    “Mmm…”, matanya beberapa kali menatap ke arah yang berbeda-beda. “Sebenarnya, iya…”

    “Ceritakan saja.”

    “Soal…”

    Terdiam sejenak, dia memainkan ujung rambut panjangnya itu. Meski dalam kondisi remang-remang, aku bisa melihat darah naik ke pipinya.

    “…Yang Mulia Tselemiel.”

    “Dia? Ada apa memangnya?”

    Sebenarnya aku sudah bisa menerka. Tetapi kuputuskan untuk mengontrol ucapanku, menunggu dia mengucapkan hal yang sebenarnya.

    “A-A-Aaa!! Maksudku Yang Mulia Raqia!! A-Aku hanya ingin t-tanya bagaimana kalian jadi bisa d-d-dekat seperti itu a-apalagi kamu sempat bilang kalau dia a-adalah c-calon istrimu padahal setahuku Yang Mulia R-Raqia orangnya sangat susah untuk d-di---“

    Tidak ada koma, tidak ada titik. Kepalaku benar-benar pusing mendengar rentetan kata-kata yang seperti gatling gun Inferna itu.

    Akupun mencoba menenangkannya. “Emm…Athena, coba tarik nafas dulu. Yang dalam.”

    “Haaaaaahhhh…”

    “Sekarang, pelan-pelan. Yang kamu maksud sebenarnya Raqia atau Tselemiel?”

    “Mmm…”, pandangannya beralih. “D-Dua-duanya…”

    “Yang mana yang ingin kamu mulai lebih dulu?”

    “Baiklah…Yang Mulia Raqia dulu. Aku benar-benar heran. Dia jadi jauh lebih lembut. Maksudku, kelakuannya. Dulu mana ada yang berani membelainya seperti yang kamu---“

    “Tadi kamu melihatnya?!”

    Refleks, kugebrak meja. Bukan marah, hanya kaget saja. Kukira tadi sudah sepi sewaktu dia mengembalikan buku-buku itu.

    “I-Iya. Seingatku, bahkan Yang Mulia Tselemiel pun tidak pernah melakukannya. Apa yang sudah kamu lakukan terhadapnya?”

    Agak ragu, kujawab, “Aku hanya…memberikan cinta saja.”

    Athena seperti ingin meledak, mungkin karena mendengar kata itu, ‘cinta’. Cocok sekali jika ada asap yang keluar dari kedua telinganya.

    “M-M-Maksudmu, kamu mengungkapkan perasaan cintamu pada Yang Mulia Raqia?!”

    Kugaruk-garuk pipi kananku. “Yah, begitulah.”

    “Maaf jika aku asal tebak. Tapi…itu artinya, larangan bagi para Archangel untuk membina hubungan cinta…”

    “Sudah kuhapuskan. Tepatnya ketika aku berada di Chalal.”

    Kelopak mata Athena melebar sedikit. “Jangan bilang kalau Yang Mulia Maoriel dan nona Omoikane…”

    “Uh-huh, keduanya sudah kurestui. Memang sempat ada keributan kecil dengan Raqia, namun dapat kuatasi. Sejak itu pula dia jadi makin terbuka terhadapku.”



    Aura yang dipancarkan Athena berubah. Seakan ada penyesalan mendalam.

    “Kenapa…baru datang sekarang…”

    Tangan kirinya menggenggam erat amethyst yang menghiasi punggung tangan kanannya. Bahkan sempat kulihat kertak giginya sesaat.

    “Hei, kamu kenapa?”

    Secepat kilat, dia mengubah ekspresinya menjadi tersenyum. “Tidak ada apa-apa. Maaf membuatmu khawatir.”

    “Yakin?”, kudekatkan sedikit wajahku ke arahnya.

    “Mmm…”, dia menoleh ke arah kursi di sebelahnya.

    “Kalau belum siap cerita, ya sudah. Aku tidak akan memaksa.”

    “Jika…aku menceritakannya, apa kamu janji tidak akan sembarangan mengatakannya pada orang lain, bahkan termasuk Yang Mulia Raqia dan Yang Mulia Tselemiel?”

    Kujawab dengan mantap, “Pasti. Aku janji. Bahkan sebuah janji dengan musuhpun kutepati. Sang Elohim Yang Mahatinggi, yaitu Tuhan Semesta Alam, dan juga malaikat-malaikat surga menjadi saksi dari kata-kataku ini.”

    Terdengar lega, dia berkata, “Baiklah. Aku percaya kata-katamu. Sebenarnya, kedua Archangel itu sudah tahu, bahkan kelima Archangel lainnya dan banyak Angel-class Avodah juga sudah mengetahuinya. Bisa dibilang rahasia umum. Alasanku memintamu untuk tidak mengatakannya sembarangan karena…”

    Bibirnya terkunci sejenak.


    “…itu adalah sebuah aib.”


    Pengakuan dosa rupanya. Aku belum pernah mendengarkannya dari siapapun sebelumnya. Tapi, sesekali berperan menjadi pendeta…sepertinya boleh juga.

    “Lanjutkan, Athena.”



    Ceritanya dimulai lebih dari 400 tahun yang lalu, mendahului dimulainya pemberontakan oleh Valkyrie Corps, suatu kumpulan pasukan khusus Angel-class wanita. Pimpinan Valkyrie Corps ternyata adalah kakak perempuan dari Athena sendiri, seorang Angel-class yang kemampuannya diakui oleh banyak Angel-class dan juga Tselemiel.

    Brynhilde. Itulah nama orang itu.

    “Kudengar dia juga cukup dekat dengan Clio, mantan panglima pasukan Shamayim itu. Kakakku selalu menganggapnya sebagai sahabat sekaligus rival.”

    “Wow, begitukah? Itu artinya dia bisa mengimbangi Clio?”

    “Hampir. Kemampuan menggunakan tombaknya benar-benar mengagumkan. Namun…di sinilah masalahnya.”

    Bakatnya itu berpadu sempurna dengan kecantikannya yang bagai malaikat surgawi. Tidak ada satupun Angel-class yang tidak mengagumi dirinya, baik perempuan maupun laki-laki. Itu termasuk…

    “…Yang Mulia Tselemiel.”

    Uh-huh, Tselemiel jatuh cinta pada Brynhilde. Namun, lagi-lagi karena hukum absurd itu, diapun terus menahan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada sang pimpinan Valkyrie Corps. Sayangnya cinta Tselemiel bertepuk sebelah tangan. Menurut Athena, kakaknya sama sekali tidak menaruh perasaan pada sang Archangel penguasa Avodah itu. Yang terjadi malah…

    “Kamu menaruh perasaan pada Tselemiel?”

    “B-Bagaimana kamu bisa tahu?!”, keterkejutannya menggema ke seluruh ruangan.

    “Wajahmu memerah ketika di istana tadi siang, ketika kita semua menghadap Tselemiel. Raqia juga bersikap begitu jika malu-malu terhadapku. Jadinya ya bisa kutebak.”

    “B-Begitu…ya.”

    “Mau melanjutkan?”

    “Mmm. Akan kuteruskan.”

    Maka mulai timbul benih iri hati dalam diri Athena. Kekesalannya memuncak ketika Brynhilde memimpin 70.000 anggota Valkyrie Corps untuk memberontak dan melarikan diri ke Asgard, tanah bersalju di utara Avodah. Dia menganggap kakaknya itu menganggap remeh ketulusan hati sang Archangel. Walaupun demikian, cinta Tselemiel akan kakaknya itu tidak berubah. Athena, yang pasrah karena mengetahui perasaannya takkan dianggap, akhirnya memutuskan untuk ikut dengan rekan-rekannya sekitar 300 tahun yang lalu untuk mendirikan pemerintahan sendiri di Olympia. Yup, dia menjadi Elilim-class.

    “Mmm…maaf memotong. Tapi ada satu hal yang belum kumengerti. Bagaimana bisa seorang Angel-class menjadi Elilim-class? Aku hanya tahu kalau sayap mereka akan berubah warna. Maklum, aku baru saja mengetahui identitasku sebagai Crusader-Saint belakangan ini, jadi belum tahu banyak.”

    “Mereka…”, Athena membisu dua detik. “Harus melakukan salah satu dari tiga hal berikut.”

    Ah, hukum itu rupanya.

    “Menghina dan melecehkan nama Tuhan, membunuh tanpa dasar hukum yang sah, dan…”

    Dia ragu untuk melanjutkan. Sebenarnya tiga hukum itu sudah menjadi hal mendasar bagi setiap makhluk berakal budi yang bernafas dan berpijak di muka Bumi, sehingga aku dapat menerka apa yang akan Athena katakan selanjutnya.

    “Sudah, tidak perlu kamu katakan kalau memang tidak kuat. Aku juga sudah tahu apa yang terakhir. Jadi, karena emosimu yang tak tertahankan, kamu melakukan yang ketiga itu?”

    “Ya, benar. Pernah kulakukan dengan beberapa pria.”

    Dia tidak menyangkalnya. Kepalanya tertunduk lesu ketika menjawab, begitu terbeban.

    “Kebencianku terus bertumpuk selama dua ratus tahun berikutnya, hingga aku mendengar suara di kepalaku sekitar seratus tahun yang lalu. Menurut kabar angin, ada juga beberapa dari kelas malaikat yang mendengar suara itu.”

    “Suara…? Seperti apa?”

    Menarik nafas panjang, kemudian dia berkata, “Suara itu berjanji untuk memberikan pengetahuan pada kami. Dia juga mengatakan bahwa para Archangel adalah penipu, menyembunyikan keagungan teknologi manusia di masa lalu. Rumornya, kakakku juga mendengar suara tersebut.”

    Seratus tahun yang lalu? Kenapa waktunya bertepatan sekali dengan mulai dibentuknya Indagator…

    “Akupun menjadi makin marah pada Yang Mulia Tselemiel, kemudian berusaha mencari apapun di Olympia yang merupakan sisa-sisa peninggalan masa lalu. Dan…”

    “Buku-buku itu yang kamu temukan?”

    “Mmm. Tapi membutuhkan waktu sekitar sembilan puluh tahun untuk menemukannya, karena kami juga harus mempertahankan diri dari serangan yang sesekali datang dari Avodah maupun Ohr-Nisgav. Hingga aku menemukan dia. Glaukos.”

    “Eh? Jadi burung hantu itu yng membuatmu bertobat?”

    “Pemicunya memang dirinya. Aku menemukannya dua tahun sebelum Yang Mulia Raqia mengobrak-abrik Olympia dan membuat kami semua menyerah. Tepat pada suatu siang, Glaukos yang masih kecil terjatuh dari sarangnya di atas pohon. Seperti yang kamu tahu, burung hantu lebih aktif pada malam hari. Induknyapun tidak menyadari kalau ada anaknya yang terjatuh. Entah, ada sesuatu yang menyentuh perasaanku ketika melihat Glaukos yang tidak berdaya. Melihat tatapan lemahnya waktu itu…”

    Kudapati kilauan cahaya memantul dari matanya. Berkaca-kaca.

    “…tanpa sadar, aku meneteskan air mata. Hampir tiga ratus tahun air mataku digantikan dengan amarah. Sejak itu aku sadar. Untuk menuai cinta, kamu harus menabur cinta terlebih dahulu. Akupun mulai menyayangi Glaukos layaknya keluargaku sendiri. Tentu saja, tidak diketahui rekan-rekanku sesama Elilim-class waktu itu.”



    Entah kenapa, aku benar-benar tertarik dengan ceritanya. Kata demi kata mengalir keluar dari mulutnya dengan lancar tanpa dibalut nada kepalsuan.

    “Yang Mulia Raqiapun datang bersama Yang Mulia Tselemiel dan pasukan gabungan Avodah-Shamayim. Dia…terlalu mengerikan.”

    Memang mengerikan. Aku juga beberapa kali menjadi korban keganasannya.

    “Dia memancing perhatian banyak Elilim-class sendirian, sementara Yang Mulia Tselemiel dan tentara Angel-class menyerang dari sisi lain. Banyak rekanku yang habis ditelan pedang besarnya itu. Dan…maaf, Da’ath, sebenarnya hingga sekarang aku masih menyimpan sedikit kekesalan pada calon istrimu itu.”

    Jelas saja. Rekan-rekanmu habis dibantai hanya dalam sekejap. Walaupun hal itu tidak melanggar hukum Kitab Suci sama sekali karena sudah selayaknya pemerintah menegakkan hukum, sekalipun dengan pedang.

    “Ya, aku bisa mengerti.”, ujarku. “Tidak heran dia dikatakan sebagai yang paling ditakuti oleh seluruh Elilim-class. Tapi aku tidak akan mengijinkanmu menaruh dendam terhadap Raqia di hatimu, seperti yang pernah kamu lakukan pada Tselemiel.”

    Dia menggelengkan kepala. “Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya butuh waktu. Terima kasih pada Glaukos, aku tidak lagi menjadi orang yang terlalu meledak-ledak. Namun…tetap saja…”

    Tangan kanannya bergerak meraih sayap kirinya. Digenggamnya erat-erat.

    “…aku hanyalah…”

    Tetes demi tetes air mata mulai turun layaknya curahan kristal.


    “…pendosa…”


    Hatinya benar-benar hancur.

    “Sekalipun nanti aku berhasil mendapatkan cinta Yang Mulia Tselemiel…”

    Makin deras. Sungai kesedihan itu terus mengalir. Terisak-isak, dia masih berusaha melanjutkan kata-katanya,


    “A-Aku tidak menyambutnya sebagai perempuan yang suci… terlalu banyak noda dan kekotoran yang ada p-padaku…”



    Kuhela nafas sejenak.

    “Athena.”

    Kusebut namanya dengan lembut.

    “Kamu melupakan sesuatu.”

    Suaraku mengunci perhatiannya. Diapun menoleh sambil mengusap air mata.

    “Apakah…kamu sudah mengaku dosa di hadapan Tuhan dan juga Tselemiel sendiri?”

    Dia mengangguk pelan.

    “Kalau begitu, apalagi yang kamu khawatirkan? Sebusuk apapun dosamu, seburuk apapun kesalahanmu, sekotor-kotornya dirimu, jika mulut dan hatimu sudah mengakui dosa dan bertobat dengan tulus, seharusnya hal itu tidak lagi jadi masalah. Bukankah ada tertulis di Kitab Suci, ‘Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju’? Aku yakin bukan hanya Tuhan, sang Elohim Yang Mahatinggi, namun Tselemiel juga sudah mengampuni dirimu. Buktinya dia tidak ragu mengangkatmu kembali menjadi Angel-class.”

    Tangisannya perlahan terhenti.

    Tidak ada suara apapun di dalam kepalaku. Kata-kata itu keluar begitu saja. Aku tahu, pasti Tuhan sendiri yang menggerakkan bibirku.

    “Sekarang aku ingin tanya. Bagaimana perlakuan Tselemiel sejak hari itu? Burukkah?”

    “T-Tidak… seperti biasa, dia selalu ramah dan baik pada semuanya. Termasuk padaku… tidak ada bedanya seperti lebih dari tiga ratus tahun yang lalu.”

    “Nah! Itu sudah jadi bukti kalau dia tidak menganggapmu sebagai seorang yang najis ataupun pendosa. Sejak kamu bertobat, kamu sudah pulih dan menjadi pribadi yang baru. Tuhanpun tidak akan lagi melihat masa lalumu yang buruk. Jika Dia saja sudah melupakan dosamu, apalagi Tselemiel yang hanya sekedar Archangel, salah seorang hamba-Nya yang ditugaskan di muka Bumi?”

    “B-Begitukah…”

    “Ngomong-ngomong, umurmu berapa?”

    “Tahun ini…tepat seribu empat puluh delapan tahun.”

    “Artinya hampir seribu empat puluh delapan tahun kamu mengetahui isi Kitab Suci. Seharusnya kamu bisa lebih yakin dariku, yang baru dua puluh satu tahun menjalani hidup.”



    Aku berdiri. Berlagak batuk sedikit…

    “Sekarang, Athena, kuperintahkan dirimu untuk bangkit, jangan lagi terpuruk dalam masa lalumu. Biarlah masa lalu itu menjadi pelajaran yang berharga, bukan untuk diulangi.”

    Akupun tersenyum lebar padanya.

    “Awas saja kalau diulangi. Akan kubawa Glaukos bersamaku.”

    Jelas saja hanya bercanda. Itu hanya agar keceriaannya kembali.

    Ujung-ujung bibir Athena nampak sedikit naik.

    “Benar-benar… Crusader-Saint sejati.”

    Diapun tersenyum lega. Meski air mata masih ada di pelupuk mata, namun lekukan indah di bibirnya itu memancarkan sesuatu yang berbeda.


    Kelegaan.
    Kelepasan.
    Kebahagiaan.

    Perasaan merdeka dari seseorang yang telah diampuni dosanya.


    Diapun berdiri, lalu membungkukkan badan di hadapanku. Nampak begitu hormat.

    “Terima kasih banyak, Da’ath. Sekali lagi, aku tidak tahu bagaimana hidupku ke depannya jika tidak bertemu denganmu hari ini.”

    “Ahaha…anggap saja sebagai rasa terima kasihku untuk makanannya.”

    Athena hanya tertawa kecil mendengar ucapanku.



    Berhubung malam makin larut, diapun mohon pamit untuk pulang. Tentu saja, kutemani dirinya hingga pintu depan.

    “Oh ya, aku tidak melihat Glaukos bersamamu sejak tadi. Ke mana dia?”

    “Mencari makan malam, mungkin tikus atau semacamnya. Yah, namanya juga burung hantu. Tapi sebelum matahari terbit biasanya dia sudah pulang.”

    Lalu kenapa siang tadi dia masih bangun…? Jangan-jangan karena ada Divine Energy dalam dirinya?

    “Sekali lagi, terima kasih untuk nasihatnya, Da’ath. Kamu benar-benar nampak bijaksana tadi. Padahal aku hanya ingin meminta saranmu bagaimana agar aku bisa dekat dengan Yang Mulia Tselemiel seperti halnya kamu dan Yang Mulia Raqia, eh…aku malah dikhotbahi.”

    “Hahaha…jangan begitu. Mungkin itu hanya sebagian kecil hikmat yang diberikan Tuhan padaku dua ribu tahun yang lalu.”

    “Uh? Dua ribu tahun? Katanya tadi kamu masih dua puluh satu…”

    “Sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan kalau umurku sebenarnya adalah lebih dari dua ribu tahun. Anehnya…dua puluh satu tahun yang lalu, aku ditemukan saat masih bayi oleh orang tua angkatku.”

    “Huh? Aneh sekali… Maksudmu, kamu berubah lagi menjadi bayi, begitu?”

    “Mana aku tahu? Itu misteri yang belum terungkap.”


    “Jangan-jangan kamu melompati waktu, lalu terdampar dua puluh satu tahun yang lalu? Tapi karena ada sesuatu yang aneh dalam perjalanan waktunya, kamupun menjadi bayi lagi…”


    Suasana hening seketika.

    “Maaf, aku hanya bercanda. Mendengar tentang asal-usul Crusader-Saint pun tidak pernah sama sekali.”

    “Astaga. Kupikir kamu tahu sungguhan…”, kutaruh tangan di dahi.

    “Ahaha…kamu langsung pucat begitu. Ya sudah, aku pulang dulu. Jangan lupa kunci gerbang utamanya. Jika ada yang mengetuk, lihat-lihat dulu apakah ada pin di dada kirinya. Kalau tidak ada, jangan diijinkan masuk.”

    “Mmm. Beres.”

    “Baiklah. Sampai bertemu besok ya.”

    Mengepakkan sayap, terbang ke arah langit selatan. Sosoknyapun perlahan lenyap ditelan gelap malam.


    =================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Sebenernya itu persamaan Bernoulli pengen gw turunin dari hukum ttg kerja-energi kinetik, tapi tar kepanjangan
    • Brynhilde berasal dari nama Brynhildr (literally, "bright battle"), salah satu Valkyrie dalam Norse mythology.
    • “Mereka…”, Athena membisu dua detik. “Harus melakukan salah satu dari tiga hal berikut.”

      Ah, hukum itu rupanya.

      “Menghina dan melecehkan nama Tuhan, membunuh tanpa dasar hukum yang sah, dan…”

      Dia ragu untuk melanjutkan. Sebenarnya tiga hukum itu sudah menjadi hal mendasar bagi setiap makhluk berakal budi yang bernafas dan berpijak di muka Bumi, sehingga aku dapat menerka apa yang akan Athena katakan selanjutnya.
      Tiga hukum itu dalam Jewish law disebut juga dengan "Yehareg ve'al ya'avor" (literally: lebih baik mati dibanding melanggarnya)
      Lanjutannya juga liat sendiri deh
    • Bukankah ada tertulis di Kitab Suci, ‘Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju’?
      Yesaya 1:18 (Terjemahan Baru).

    Last edited by LunarCrusade; 25-02-13 at 06:11.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 9 of 14 FirstFirst ... 5678910111213 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •