===========================================
Tehillim 29: Ice, Iron, Intelligence Part II || How to Fly
===========================================
“Ini dirancang untuk terbang?!”, seru Plasma.
“Hmm. Benar.”, Tselemiel mengangguk mantap. “Inilah buah kerja kami selama beberapa bulan terakhir.”
Ini mustahil. Hanya berbekal beberapa buku, Tselemiel dan orang-orang Avodah dapat membangun kendaraan kolosal seperti ini? Bahkan aku, yang terkadang mendengar petunjuk-petunjuk ilmiah di kepalaku, belum tentu bisa merancang yang demikian!!
Archangel bermata violet itu melanjutkan, “Rakyatku ternyata mudah sekali untuk diajar. Mereka juga begitu bersemangat. Yah, memang tidak semua penduduk Avodah langsung mendapat pengajaran dariku. Namun, dengan ini kami semua bisa membuktikan kalau kota kami memiliki sesuatu yang spesial. Setidaknya kapal besar ini dapat menjadi simbol tersendiri bagi kota ini, simbol kerja keras dan kebersamaan kami.”
“Gila. Ini gila.”, Raqia menggelengkan kepala beberapa kali, nampak masih
shock. “Kurang dari satu tahun, kamu bisa mengajak orang-orang untuk membangun kapal besar ini. Dirancang untuk bisa terbang segala pula… tidak masuk akal.”
“Hahaha…!!”, Tselemiel tertawa bangga. “Tapi semua ini tidak lepas dari bantuanmu, Raqia. Jika kita tidak bersama-sama menyerang Olympia, mungkin buku-buku itu tidak akan pernah ditemukan.”
“Maaf, Yang Mulia.”, potong Plasma dengan sopan. “Saya ingin bertanya, sebenarnya buku-buku apa yang anda temukan? Nona Athena juga sempat mengatakan hal yang sama tadi.”
“Jika kamu penasaran, baiklah. Athena, tolong ambilkan beberapa buku. Ada di lantai atas.”, perintahnya. Athenapun segera menuju lantai atas tanpa banyak tanya.
Tak lama, Athena kembali membawa 3 buah buku. Jika tebal ketiganya ditotal, maka akan lebih tebal dari Biblos.
Plasma mengambil dan memperhatikan semuanya itu sebentar, lalu memanggil, “Biblos, coba kemari sebentar.”
Dengan hati-hati, Plasma membuka salah satunya.
“Uh? Ini kan buku-buku untuk anak sekolah menengah atas puluhan tahun sebelum jaman kita… masih bisa terbaca pula, meski halaman-halamannya sudah agak coklat.”, komentar Biblos setelah memperhatikan isinya sejenak.
Plasma terus membuka-buka halaman, hingga seluruh buku itu dibabat habis olehnya. Terkadang dia berhenti pada halaman yang robek atau rusak parah sambil memperhatikan sejenak ke arah kapal.
Menutup buku terakhir, Plasma bertanya, “Dan hanya berbekal ini, anda membangun Merkava Barzel?”
“Betul sekali.”, jawab Tselemiel tanpa ragu.
“Pernahkah anda melakukan uji coba?”, tanyanya lagi.
“Belum. Kapal ini belum sepenuhnya selesai. Masih ada beberapa plat logam yang harus dipasang pada bagian depan lambung.”
“Kita periksa?”, Plasma bertanya pada Biblos.
“Boleh saja. Nanti akan kubuat simulasinya sekalian. Terlalu berbahaya jika kapal itu dibiarkan terbang begitu saja.”
“Kalian berdua sepertinya asyik sekali…”, sahut Raqia.
Dijawab oleh Biblos, “Mmm…bukannya begitu, Raqia. Kami hanya khawatir jika ada perhitungan-perhitungan yang meleset ketika kapalnya dibangun. Nanti kan bisa bahaya kalau kapalnya meledak di langit.”
“Intinya, Tselemiel itu sok tahu?”, ledeknya, menunjuk ke arah orang yang dimaksud. Senyuman licik pun terbentuk di bibirnya.
“Raqia.”, aku memotong. “Jangan berkata seperti itu. Apapun hasilnya, aku tahu membuat benda sebesar itu tidaklah mudah. Jika ada sesuatu yang kurang, jelaskan secara baik-baik. Bukannya menghina.”
“Ah, sang Crusader-Saint memang penuh pengertian. Suatu kehormatan bisa mengenalmu.”, ujar Archangel jabrik itu sambil membungkuk sedikit.
“Panggil Da’ath saja, dan tidak perlu sampai membungkuk begitu. Bagaimanapun juga aku ini hanyalah
blacksmith biasa sebelum masuk ke dalam rentetan peristiwa gila belakangan ini.”
Kutarik nafas panjang.
“Baiklah, kuambil alih proyek ini. Plasma, Biblos, periksa kembali keseluruhan kapal secara teliti, jangan sampai membahayakan penumpang nantinya. Jika ada yang perlu diganti, katakan saja padaku. Aku akan bertanggung jawab penuh. Bagaimana, Tselemiel?”
“Tentu, tentu saja boleh!!”, jawabnya cepat. “Proyek ini ditangani langsung oleh Crusader-Saint…ah, tiada lagi kata-kata yang dapat menggambarkan kebahagiaanku.”
“Hahaha…ternyata tanganmu memang sudah gatal ingin memegang besi, eh?”, Plasma terdengar gembira. “Oke, akan kami lakukan sekarang.”
“Nanti malam juga sudah selesai kok. Tenang saja.”, sahut Biblos.
“Ah…bagus, bagus. Terima kasih banyak mau membantu.”
Akupun mengangguk, memberi isyarat pada keduanya agar mulai memeriksa kapal.
“Sekarang…Tselemiel, bisa kutemui para pekerja?”
“Tentu. Akan kukumpulkan mereka di halaman luar. Terlalu sesak jika di dalam. Tunggulah sekitar lima belas menit agar berkumpul semuanya, nanti akan kuberitahu padamu jika sudah siap. Dan…Athena, tolong bawa buku-bukunya kembali ke ruangan.”
Sekarang, tinggal Raqia yang ada di sebelah kananku.
“Da’ath.”, panggilnya. Nada suaranya agak naik.
“Hmm?”
“Aku tidak habis pikir kali ini. Bisa-bisanya kamu mengambil alih semuanya, sementara masih ada tugas yang lebih penting yang harus kita lakukan.”
Dia marah. Sungguhan. Artinya, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk beradu argumen hingga emosi.
“Aku hanya…tidak tahan.”, jawabku sambil mengambil duduk di lantai. Agar lebih santai, tentunya. Posisi yang lebih santai membantu pikiran agar lebih tenang.
“Tidak tahan ingin memegang besi-besi itu lagi, hah?”
“Itu hanya alasan sampingan. Sebenarnya aku hanya tidak ingin melihat Tselemiel dan semua yang ikut membangun kapal ini menjadi kecewa.”
Raut wajahnya berubah, bertanya-tanya. Diapun ikut duduk di lantai. “Maksudnya…?”
“Plasma dan Biblos sempat khawatir jika kapal itu rusak atau membahayakan penumpang, benar? Coba kamu pikirkan. Berbulan-bulan mereka membangunnya, kemudian rusak dalam sekejap hanya karena sedikit perhitungan yang tidak teliti, malah beresiko akan membunuh penumpang nantinya. Apa kamu tahu rasanya?”
“Mmm…tidak. Aku tidak pernah mengerjakan yang seperti itu.”
“Oh ya, kamu bisa masak?”
“Ya, bisa. Kamu lihat sendiri aku yang membantu sewaktu di rumahmu waktu itu.”
“Pernahkah kamu memasak sesuatu yang memakan waktu lama, hanya untuk menerima respon ‘tidak enak’ dari orang lain yang makan masakanmu? Misalnya karena kamu lupa menaruh garam atau bumbu lainnya.”
“Uh-huh, beberapa kali, meski seingatku bisa dihitung dengan jari. Dan jelas saja aku kecewa. Rasanya…seperti mau menangis saja.”
“Nah, begitulah kira-kira yang akan dirasakan mereka semua, jika nantinya kapal itu gagal bergerak ataupun rusak. Apalagi hingga ada nyawa yang hilang. Karena itu, aku tidak tega membayangkan wajah sedih orang-orang yang terlibat dalam menciptakannya. Melihat senyum puas mereka adalah yang terbaik.”
Raqia hanya diam, namun kedua biru langit itu terus terpaku padaku. Kata-kataku bagaikan benang emas yang mengikat perhatiannya.
“Begitu…ya.”
Ujung-ujung bibirnya naik sedikit.
“Oke, aku mengerti. Mungkin mereka juga perlu bonus. Sedikit dari keuangan Shamayim sepertinya pantas.”
Terdiam sejenak. Satu kalimat diucapkannya dengan pelan.
“Kamu berubah lebih baik.”
Kutaruh tangan di telinga kanan ---berlagak tidak mendengar---, lalu mendekatkannya ke arah Raqia.
“Apaaaa~? Coba kamu ulang?”, ledekku.
“H-HAH?! Suaraku kedengaran?!”
Tomat segar, udang rebus, apel ranum, atau apalah itu, sekarang seakan bersarang di seluruh wajahnya.
“Kalau mau memuji bilang saja~ Tidak usah malu-malu.”
“T-Tidak mau!! Pokoknya tidak---“
*puk*
Trik biasa, tangan kananku di kepalanya. Gerak-gerakkan sedikit…
“Kepalamu berasap tuh.”
Jelas saja tidak. Hanya bercanda. Bisa-bisa aku histeris jika kepalanya berasap sungguhan. Hehehe…
*
Malamnya, ketika semua sudah pulang. Di bangunan ini hanya ada aku, Plasma, dan Biblos. Raqia dan Tselemiel sepertinya sedang ke istana. Oh, Athena juga masih berada di lantai atas gedung, sedang mencatat apa saja yang terpakai hari ini. Glaukos? Mungkin sedang bersamanya.
Berbekal lampu minyak di tangan kanan, aku menatap ke arah kapal besar itu.
Merkava Barzel. Kapal logam terbesar yang pernah kulihat seumur hidup. Mendengar namanya, aku jadi ingat ayah. Yah, namanya kan memang berarti ‘besi’.
Mendengar langkah kaki Plasma mendekat, aku bertanya, “Bagaimana?”
Plasma menjawab, “Aku kagum dengan mereka. Material yang digunakan sangat cocok, mesin uapnya nyaris sempurna. Hanya bagian pendinginnya saja nanti yang perlu sedikit diubah agar mesin bisa bekerja lebih efisien. Kincir pendorongnya juga mungkin perlu ditambah sepasang lagi. Yang sangat bermasalah hanya satu.”
“Apa itu?”
“Sayapnya.”, jawab Biblos. “Mereka sudah sangat pintar dengan membuat bahan yang kuat namun ringan, mencampur besi dengan karbon. Baja, maksudku. Hanya saja luasnya terlalu kecil untuk menghasilkan gaya angkat.”
Err…
“Tidak ada suara di dalam kepalamu?”, tanya Plasma, mungkin keheranan melihat wajah bengongku.
“Sayangnya tidak. Sayap? Gaya angkat? Kupikir dua kincir besar itu yang akan melakukannya. Maksudku, kincir selalu menghasilkan dorongan udara. Jika diputar menghadap ke bawah…”
“Salah. Total.”, Plasma menegaskan. “Yang digunakan untuk membuat sebuah pesawat agar bisa terbang, termasuk Merkava Barzel, adalah gaya angkat yang dihasilkan sayap. Sejak jamanku juga selalu seperti itu. Ingin kujelaskan?”
“Tentu. Aku juga penasaran dengan hal itu. Nanti akan kuajari Raqia setelahnya.”
Plasma memunculkan gambar holografik. Yang kulihat adalah sebuah pipa yang berbeda ketinggian dan diameter pada kedua ujung, dengan notasi-notasi khusus tertulis di situ. Aku sudah akrab dengan arti-arti dari notasinya. Notasi p untuk tekanan, h untuk ketinggian, dan v untuk kecepatan.
“Nah, aku punya sebuah pipa dengan air mengalir di dalamnya. Fluida yang mengalir memiliki energi, bergantung pada beberapa faktor yang dapat kurumuskan sebagai berikut.”
Tanpa papan tulis holografik, di sebelah kanan gambar tiba-tiba muncul persamaan:
p
1 + ρgh
1 + ½ ρv
12 = p
2 + ρgh
2 + ½ ρv
22
Wow. Panjang juga. Ada variabel massa jenis fluidanya pula.
“Ini artinya, penjumlahan dari tekanan fluida, energi potensial gravitasi per satuan volume, dan energi kinetik per satuan volumenya akan selalu konstan pada titik pertama maupun kedua. Dari sini dapat kita lihat bahwa kecepatan aliran fluida sangat berhubungan dengan tekanannya. Makin besar kecepatannya, makin kecil tekanannya. Begitu sebaliknya. Satu lagi sifat fluida, selalu mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.”
“Lalu apa hubungannya dengan Merkava Barzel? Memangnya ada aliran air yang membuat kapal itu terbang?”
“Perlu kamu ketahui, udara juga merupakan fluida. Persamaan tersebut juga berlaku pada aliran udara.”
“Hmm…kalau begitu, bagaimana cara menerapkan penghitungannya untuk aliran fluida pada sayap?”
“Nah, akan kujelaskan pelan-pelan untuk menarik hubungannya.”
Gambar pipa itupun berganti menjadi gambar penampang sayap yang dilihat dari samping. Ada notasi p1 dan p2 masing-masing pada bagian bawah dan atas sayap.
“Jika Merkava Barzel bergerak maju, apa yang terjadi pada udara di sekitar sayap?”
“Mengalir melalui atas dan bawahnya, seperti di gambar."
“Apa lagi yang bisa kamu dapatkan dari gambar? Katakan apapun yang ada di pikiranmu.”
“Sayapnya lumayan tipis…tunggu. Dapat kukatakan hampir tidak ada perbedaan ketinggian pada aliran fluida di atas maupun di bawah sayap. Bisa diabaikan.”
“
That’s right.”, Plasma menjentikkan jarinya, bunyinya jelas berbeda dengan jentikan jari manusia. “Nilai h satu sama dengan h dua. Akan kusamakan saja dengan variabel h.”
p
1 + ρgh + ½ ρv
12 = p
2 + ρgh + ½ ρv
22
p
1 + ½ ρv
12 = p
2 + ½ ρv
22
“Pengurangan biasa. Selanjutnya, agar mudah, akan kukelompokkan variabel-variabel yang ada.”
p
1 – p
2 = ½ ρ (v
22 – v
12)
“Ada satu persamaan lagi yang harus kamu ketahui. Yaitu, persamaan dasar untuk tekanan.”
Muncul persamaan p = F/A di sebelah kiri gambar sayap.
“Tekanan adalah gaya yang bekerja pada luas bidang tertentu. Jika luas bidangnya adalah sayap pesawat yang nilainya dianggap sama pada bagian atas maupun bawahnya, maka persamaan fluida akan berubah menjadi…”
F
1/A – F
2/A = ½ ρ (v
22 – v
12)
(F
1 – F
2)/A = ½ ρ (v
22 – v
12)
F
1 – F
2 = ½ ρ (v
22 – v
12) A
“Dengan selisih antara F satu dan F dua adalah gaya angkat yang dihasilkan. Tentu saja, harus lebih besar dari gaya berat pesawat yang sudah kamu ketahui perumusannya. Jika kecepatan pada bagian atas sayap lebih tinggi alias bertekanan lebih rendah, maka udara di bawahnya yang berkecepatan lebih rendah alias bertekanan lebih tinggi akan mengangkat sayap.”
“Oh, jadi dari sini kalian bisa mengatakan kalau luas sayap Merkava Barzel tidak cukup untuk menimbulkan gaya angkat yang besar?”
“
Correct. Sebenarnya desain sayap kapal itu sudah sempurna untuk membelah udara, sehingga udara pada bagian atas sayap akan memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibanding bagian bawahnya, yang juga berarti bertekanan lebih kecil. Hanya saja sayapnya kurang besar untuk menimbulkan gaya angkat yang cukup. Ini hanya garis besarnya. Untuk perhitungan lebih telitinya dibutuhkan analisis vektor mengenai aliran fluida yang menabrak sayap, yang belum pernah kuajari padamu. Kurasa kamu belum siap.”
“Hmm…begitu ya. Baiklah, aku paham.”
“Kalau begitu, kami akan segera ke istana untuk memberitahu Yang Mulia Tselemiel. Kamu mau ikut?”, tanya Biblos.
“Tidak usah, kalian saja. Aku masih ingin melihat-lihat kapalnya. Toh aku juga akan tidur di gedung ini.”
“Ya sudah. Tapi jangan iseng menarik atau menekan yang aneh-aneh yaaa~”, Biblos merespon ceria.
Keduanyapun beranjak dari ruang tempat kapal berada. Sekarang hanya aku dan kapal ini yang tersisa, ditemani temaram cahaya lampu minyak yang sejak tadi kugenggam.
*
Setelah puas mengamati kapalnya, aku merasa perutku memanggil. Lapar. Seharusnya memang sudah lewat jam makan malam. Akupun memutuskan untuk keluar, ingin membeli makanan di tempat yang dekat. Tapi…
Athena.
Aku melihat sosoknya memasuki ruangan ini, memakai
long dress lengan panjang berwarna merah muda yang lembut. Sepatu boot logamnya digantikan sandal kulit sederhana. Tangan kirinya membawa kantong kertas berwarna coklat, sementara tangan kanannya membawa lampu minyak serupa dengan yang ada di tanganku. Sebuah botol air juga nampak tergantung di bahu kirinya.
“Ah, Da’ath. Mau ke mana?”, tanyanya.
“Ingin cari makan di luar. Ada apa memangnya?”
“Kebetulan, aku baru saja beli makanan. Aku juga membelikan untukmu.”, dia mengangkat kantong kertas itu setinggi bahunya.
“Eh? Tidak usah repot-repot begitu…”
“Sudah, ikut saja.”
Karena baru beberapa jam ada di sini, ditambah lagi gelapnya bangunan, aku tidak mau meresikokan diri untuk kabur seenaknya. Bisa-bisa aku masuk ke ruangan yang tidak seharusnya, atau malah menabrak sesuatu yang membahayakan. Uh… maaf, Raqia. Aku harus berduaan lagi dengan seorang perempuan. Tidak enak menolak ajakannya, apalagi dia sudah membelikan sesuatu untukku. Aku janji tidak akan macam-macam. Aku janji.
Menapak menyusuri kegelapan, aku terus mengekor hingga sebuah pintu geser. Dia membukanya, dan nampak samar-samar deretan meja dan kursi di dalam ruangan. Cukup banyak. Ini pasti ruang makan para pekerja. Dia duduk di kursi paling dekat dengan pintu. Akupun duduk berhadap-hadapan dengannya.
Athena mengeluarkan apa yang ada di dalam kantong kertas itu, kemudian memberikan sebuah roti panjang berisi sosis yang ukurannya tidak wajar jika dibandingkan ukuran sosis di Ferrenium ataupun Shamayim. Ada juga beberapa helai selada dan tomat terjepit di antaranya.
“Ini, makanlah.”
“Mmm…terima kasih.”
Meski agak ragu awalnya, tetapi kuterima saja karena perutku seperti makin berteriak, ‘Cepat berikan makanannyaaa!!’. Begitulah kira-kira.
Hmm, enak sekali!! Sosis besar yang masih hangat menyatu sempurna dengan mulutku, menyebarkan kelezatannya ke sela-sela lidah pada gigitan pertama. Gurihnya daging yang meleleh, dipadukan dengan rasa segar dari selada dan tomat, membuatku lupa sejenak akan kehadiran Athena di hadapanku. Sepasang roti panjangnya juga menambah kesempurnaan makanan ini.
Ternyata ada satu buah roti lagi di dalam kantong kertas, yang dilahap habis oleh Athena dengan kecepatan yang nyaris sama denganku.
“Bagaimana?”, tanyanya, setelah aku minum dari botol yang disodorkannya.
“Mmm. Lezat sekali. Apalagi ditambah perutku yang sudah lapar, sulit sekali untuk mengatakan tidak enak.”
“Ahaha…syukurlah.”, dia tersenyum. “Baguslah kalau kamu suka.”
Hmm, gelagat seperti ini sih…
“Kamu menginginkan sesuatu?”
“E-Eh? He? T-Tidak kok, tidak.”, Athena terdengar gelagapan.
Kutatap matanya dengan tajam. “Yang benar?”
“Mmm…”, matanya beberapa kali menatap ke arah yang berbeda-beda. “Sebenarnya, iya…”
“Ceritakan saja.”
“Soal…”
Terdiam sejenak, dia memainkan ujung rambut panjangnya itu. Meski dalam kondisi remang-remang, aku bisa melihat darah naik ke pipinya.
“…Yang Mulia Tselemiel.”
“Dia? Ada apa memangnya?”
Sebenarnya aku sudah bisa menerka. Tetapi kuputuskan untuk mengontrol ucapanku, menunggu dia mengucapkan hal yang sebenarnya.
“A-A-Aaa!! Maksudku Yang Mulia Raqia!! A-Aku hanya ingin t-tanya bagaimana kalian jadi bisa d-d-dekat seperti itu a-apalagi kamu sempat bilang kalau dia a-adalah c-calon istrimu padahal setahuku Yang Mulia R-Raqia orangnya sangat susah untuk d-di---“
Tidak ada koma, tidak ada titik. Kepalaku benar-benar pusing mendengar rentetan kata-kata yang seperti
gatling gun Inferna itu.
Akupun mencoba menenangkannya. “Emm…Athena, coba tarik nafas dulu. Yang dalam.”
“Haaaaaahhhh…”
“Sekarang, pelan-pelan. Yang kamu maksud sebenarnya Raqia atau Tselemiel?”
“Mmm…”, pandangannya beralih. “D-Dua-duanya…”
“Yang mana yang ingin kamu mulai lebih dulu?”
“Baiklah…Yang Mulia Raqia dulu. Aku benar-benar heran. Dia jadi jauh lebih lembut. Maksudku, kelakuannya. Dulu mana ada yang berani membelainya seperti yang kamu---“
“Tadi kamu melihatnya?!”
Refleks, kugebrak meja. Bukan marah, hanya kaget saja. Kukira tadi sudah sepi sewaktu dia mengembalikan buku-buku itu.
“I-Iya. Seingatku, bahkan Yang Mulia Tselemiel pun tidak pernah melakukannya. Apa yang sudah kamu lakukan terhadapnya?”
Agak ragu, kujawab, “Aku hanya…memberikan cinta saja.”
Athena seperti ingin meledak, mungkin karena mendengar kata itu, ‘cinta’. Cocok sekali jika ada asap yang keluar dari kedua telinganya.
“M-M-Maksudmu, kamu mengungkapkan perasaan cintamu pada Yang Mulia Raqia?!”
Kugaruk-garuk pipi kananku. “Yah, begitulah.”
“Maaf jika aku asal tebak. Tapi…itu artinya, larangan bagi para Archangel untuk membina hubungan cinta…”
“Sudah kuhapuskan. Tepatnya ketika aku berada di Chalal.”
Kelopak mata Athena melebar sedikit. “Jangan bilang kalau Yang Mulia Maoriel dan nona Omoikane…”
“Uh-huh, keduanya sudah kurestui. Memang sempat ada keributan kecil dengan Raqia, namun dapat kuatasi. Sejak itu pula dia jadi makin terbuka terhadapku.”
Aura yang dipancarkan Athena berubah. Seakan ada penyesalan mendalam.
“Kenapa…baru datang sekarang…”
Tangan kirinya menggenggam erat
amethyst yang menghiasi punggung tangan kanannya. Bahkan sempat kulihat kertak giginya sesaat.
“Hei, kamu kenapa?”
Secepat kilat, dia mengubah ekspresinya menjadi tersenyum. “Tidak ada apa-apa. Maaf membuatmu khawatir.”
“Yakin?”, kudekatkan sedikit wajahku ke arahnya.
“Mmm…”, dia menoleh ke arah kursi di sebelahnya.
“Kalau belum siap cerita, ya sudah. Aku tidak akan memaksa.”
“Jika…aku menceritakannya, apa kamu janji tidak akan sembarangan mengatakannya pada orang lain, bahkan termasuk Yang Mulia Raqia dan Yang Mulia Tselemiel?”
Kujawab dengan mantap, “Pasti. Aku janji. Bahkan sebuah janji dengan musuhpun kutepati. Sang Elohim Yang Mahatinggi, yaitu Tuhan Semesta Alam, dan juga malaikat-malaikat surga menjadi saksi dari kata-kataku ini.”
Terdengar lega, dia berkata, “Baiklah. Aku percaya kata-katamu. Sebenarnya, kedua Archangel itu sudah tahu, bahkan kelima Archangel lainnya dan banyak Angel-class Avodah juga sudah mengetahuinya. Bisa dibilang rahasia umum. Alasanku memintamu untuk tidak mengatakannya sembarangan karena…”
Bibirnya terkunci sejenak.
“…itu adalah sebuah aib.”
Pengakuan dosa rupanya. Aku belum pernah mendengarkannya dari siapapun sebelumnya. Tapi, sesekali berperan menjadi pendeta…sepertinya boleh juga.
“Lanjutkan, Athena.”
Ceritanya dimulai lebih dari 400 tahun yang lalu, mendahului dimulainya pemberontakan oleh Valkyrie Corps, suatu kumpulan pasukan khusus Angel-class wanita. Pimpinan Valkyrie Corps ternyata adalah kakak perempuan dari Athena sendiri, seorang Angel-class yang kemampuannya diakui oleh banyak Angel-class dan juga Tselemiel.
Brynhilde. Itulah nama orang itu.
“Kudengar dia juga cukup dekat dengan Clio, mantan panglima pasukan Shamayim itu. Kakakku selalu menganggapnya sebagai sahabat sekaligus rival.”
“Wow, begitukah? Itu artinya dia bisa mengimbangi Clio?”
“Hampir. Kemampuan menggunakan tombaknya benar-benar mengagumkan. Namun…di sinilah masalahnya.”
Bakatnya itu berpadu sempurna dengan kecantikannya yang bagai malaikat surgawi. Tidak ada satupun Angel-class yang tidak mengagumi dirinya, baik perempuan maupun laki-laki. Itu termasuk…
“…Yang Mulia Tselemiel.”
Uh-huh, Tselemiel jatuh cinta pada Brynhilde. Namun, lagi-lagi karena hukum absurd itu, diapun terus menahan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada sang pimpinan Valkyrie Corps. Sayangnya cinta Tselemiel bertepuk sebelah tangan. Menurut Athena, kakaknya sama sekali tidak menaruh perasaan pada sang Archangel penguasa Avodah itu. Yang terjadi malah…
“Kamu menaruh perasaan pada Tselemiel?”
“B-Bagaimana kamu bisa tahu?!”, keterkejutannya menggema ke seluruh ruangan.
“Wajahmu memerah ketika di istana tadi siang, ketika kita semua menghadap Tselemiel. Raqia juga bersikap begitu jika malu-malu terhadapku. Jadinya ya bisa kutebak.”
“B-Begitu…ya.”
“Mau melanjutkan?”
“Mmm. Akan kuteruskan.”
Maka mulai timbul benih iri hati dalam diri Athena. Kekesalannya memuncak ketika Brynhilde memimpin 70.000 anggota Valkyrie Corps untuk memberontak dan melarikan diri ke Asgard, tanah bersalju di utara Avodah. Dia menganggap kakaknya itu menganggap remeh ketulusan hati sang Archangel. Walaupun demikian, cinta Tselemiel akan kakaknya itu tidak berubah. Athena, yang pasrah karena mengetahui perasaannya takkan dianggap, akhirnya memutuskan untuk ikut dengan rekan-rekannya sekitar 300 tahun yang lalu untuk mendirikan pemerintahan sendiri di Olympia. Yup, dia menjadi Elilim-class.
“Mmm…maaf memotong. Tapi ada satu hal yang belum kumengerti. Bagaimana bisa seorang Angel-class menjadi Elilim-class? Aku hanya tahu kalau sayap mereka akan berubah warna. Maklum, aku baru saja mengetahui identitasku sebagai Crusader-Saint belakangan ini, jadi belum tahu banyak.”
“Mereka…”, Athena membisu dua detik. “Harus melakukan salah satu dari tiga hal berikut.”
Ah, hukum itu rupanya.
“Menghina dan melecehkan nama Tuhan, membunuh tanpa dasar hukum yang sah, dan…”
Dia ragu untuk melanjutkan. Sebenarnya tiga hukum itu sudah menjadi hal mendasar bagi setiap makhluk berakal budi yang bernafas dan berpijak di muka Bumi, sehingga aku dapat menerka apa yang akan Athena katakan selanjutnya.
“Sudah, tidak perlu kamu katakan kalau memang tidak kuat. Aku juga sudah tahu apa yang terakhir. Jadi, karena emosimu yang tak tertahankan, kamu melakukan yang ketiga itu?”
“Ya, benar. Pernah kulakukan dengan beberapa pria.”
Dia tidak menyangkalnya. Kepalanya tertunduk lesu ketika menjawab, begitu terbeban.
“Kebencianku terus bertumpuk selama dua ratus tahun berikutnya, hingga aku mendengar suara di kepalaku sekitar seratus tahun yang lalu. Menurut kabar angin, ada juga beberapa dari kelas malaikat yang mendengar suara itu.”
“Suara…? Seperti apa?”
Menarik nafas panjang, kemudian dia berkata, “Suara itu berjanji untuk memberikan pengetahuan pada kami. Dia juga mengatakan bahwa para Archangel adalah penipu, menyembunyikan keagungan teknologi manusia di masa lalu. Rumornya, kakakku juga mendengar suara tersebut.”
Seratus tahun yang lalu? Kenapa waktunya bertepatan sekali dengan mulai dibentuknya Indagator…
“Akupun menjadi makin marah pada Yang Mulia Tselemiel, kemudian berusaha mencari apapun di Olympia yang merupakan sisa-sisa peninggalan masa lalu. Dan…”
“Buku-buku itu yang kamu temukan?”
“Mmm. Tapi membutuhkan waktu sekitar sembilan puluh tahun untuk menemukannya, karena kami juga harus mempertahankan diri dari serangan yang sesekali datang dari Avodah maupun Ohr-Nisgav. Hingga aku menemukan dia. Glaukos.”
“Eh? Jadi burung hantu itu yng membuatmu bertobat?”
“Pemicunya memang dirinya. Aku menemukannya dua tahun sebelum Yang Mulia Raqia mengobrak-abrik Olympia dan membuat kami semua menyerah. Tepat pada suatu siang, Glaukos yang masih kecil terjatuh dari sarangnya di atas pohon. Seperti yang kamu tahu, burung hantu lebih aktif pada malam hari. Induknyapun tidak menyadari kalau ada anaknya yang terjatuh. Entah, ada sesuatu yang menyentuh perasaanku ketika melihat Glaukos yang tidak berdaya. Melihat tatapan lemahnya waktu itu…”
Kudapati kilauan cahaya memantul dari matanya. Berkaca-kaca.
“…tanpa sadar, aku meneteskan air mata. Hampir tiga ratus tahun air mataku digantikan dengan amarah. Sejak itu aku sadar. Untuk menuai cinta, kamu harus menabur cinta terlebih dahulu. Akupun mulai menyayangi Glaukos layaknya keluargaku sendiri. Tentu saja, tidak diketahui rekan-rekanku sesama Elilim-class waktu itu.”
Entah kenapa, aku benar-benar tertarik dengan ceritanya. Kata demi kata mengalir keluar dari mulutnya dengan lancar tanpa dibalut nada kepalsuan.
“Yang Mulia Raqiapun datang bersama Yang Mulia Tselemiel dan pasukan gabungan Avodah-Shamayim. Dia…terlalu mengerikan.”
Memang mengerikan. Aku juga beberapa kali menjadi korban keganasannya.
“Dia memancing perhatian banyak Elilim-class sendirian, sementara Yang Mulia Tselemiel dan tentara Angel-class menyerang dari sisi lain. Banyak rekanku yang habis ditelan pedang besarnya itu. Dan…maaf, Da’ath, sebenarnya hingga sekarang aku masih menyimpan sedikit kekesalan pada calon istrimu itu.”
Jelas saja. Rekan-rekanmu habis dibantai hanya dalam sekejap. Walaupun hal itu tidak melanggar hukum Kitab Suci sama sekali karena sudah selayaknya pemerintah menegakkan hukum, sekalipun dengan pedang.
“Ya, aku bisa mengerti.”, ujarku. “Tidak heran dia dikatakan sebagai yang paling ditakuti oleh seluruh Elilim-class. Tapi aku tidak akan mengijinkanmu menaruh dendam terhadap Raqia di hatimu, seperti yang pernah kamu lakukan pada Tselemiel.”
Dia menggelengkan kepala. “Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya butuh waktu. Terima kasih pada Glaukos, aku tidak lagi menjadi orang yang terlalu meledak-ledak. Namun…tetap saja…”
Tangan kanannya bergerak meraih sayap kirinya. Digenggamnya erat-erat.
“…aku hanyalah…”
Tetes demi tetes air mata mulai turun layaknya curahan kristal.
“…pendosa…”
Hatinya benar-benar hancur.
“Sekalipun nanti aku berhasil mendapatkan cinta Yang Mulia Tselemiel…”
Makin deras. Sungai kesedihan itu terus mengalir. Terisak-isak, dia masih berusaha melanjutkan kata-katanya,
“A-Aku tidak menyambutnya sebagai perempuan yang suci… terlalu banyak noda dan kekotoran yang ada p-padaku…”
Kuhela nafas sejenak.
“Athena.”
Kusebut namanya dengan lembut.
“Kamu melupakan sesuatu.”
Suaraku mengunci perhatiannya. Diapun menoleh sambil mengusap air mata.
“Apakah…kamu sudah mengaku dosa di hadapan Tuhan dan juga Tselemiel sendiri?”
Dia mengangguk pelan.
“Kalau begitu, apalagi yang kamu khawatirkan? Sebusuk apapun dosamu, seburuk apapun kesalahanmu, sekotor-kotornya dirimu, jika mulut dan hatimu sudah mengakui dosa dan bertobat dengan tulus, seharusnya hal itu tidak lagi jadi masalah. Bukankah ada tertulis di Kitab Suci, ‘Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju’? Aku yakin bukan hanya Tuhan, sang Elohim Yang Mahatinggi, namun Tselemiel juga sudah mengampuni dirimu. Buktinya dia tidak ragu mengangkatmu kembali menjadi Angel-class.”
Tangisannya perlahan terhenti.
Tidak ada suara apapun di dalam kepalaku. Kata-kata itu keluar begitu saja. Aku tahu, pasti Tuhan sendiri yang menggerakkan bibirku.
“Sekarang aku ingin tanya. Bagaimana perlakuan Tselemiel sejak hari itu? Burukkah?”
“T-Tidak… seperti biasa, dia selalu ramah dan baik pada semuanya. Termasuk padaku… tidak ada bedanya seperti lebih dari tiga ratus tahun yang lalu.”
“Nah! Itu sudah jadi bukti kalau dia tidak menganggapmu sebagai seorang yang najis ataupun pendosa. Sejak kamu bertobat, kamu sudah pulih dan menjadi pribadi yang baru. Tuhanpun tidak akan lagi melihat masa lalumu yang buruk. Jika Dia saja sudah melupakan dosamu, apalagi Tselemiel yang hanya sekedar Archangel, salah seorang hamba-Nya yang ditugaskan di muka Bumi?”
“B-Begitukah…”
“Ngomong-ngomong, umurmu berapa?”
“Tahun ini…tepat seribu empat puluh delapan tahun.”
“Artinya hampir seribu empat puluh delapan tahun kamu mengetahui isi Kitab Suci. Seharusnya kamu bisa lebih yakin dariku, yang baru dua puluh satu tahun menjalani hidup.”
Aku berdiri. Berlagak batuk sedikit…
“Sekarang, Athena, kuperintahkan dirimu untuk bangkit, jangan lagi terpuruk dalam masa lalumu. Biarlah masa lalu itu menjadi pelajaran yang berharga, bukan untuk diulangi.”
Akupun tersenyum lebar padanya.
“Awas saja kalau diulangi. Akan kubawa Glaukos bersamaku.”
Jelas saja hanya bercanda. Itu hanya agar keceriaannya kembali.
Ujung-ujung bibir Athena nampak sedikit naik.
“Benar-benar… Crusader-Saint sejati.”
Diapun tersenyum lega. Meski air mata masih ada di pelupuk mata, namun lekukan indah di bibirnya itu memancarkan sesuatu yang berbeda.
Kelegaan.
Kelepasan.
Kebahagiaan.
Perasaan merdeka dari seseorang yang telah diampuni dosanya.
Diapun berdiri, lalu membungkukkan badan di hadapanku. Nampak begitu hormat.
“Terima kasih banyak, Da’ath. Sekali lagi, aku tidak tahu bagaimana hidupku ke depannya jika tidak bertemu denganmu hari ini.”
“Ahaha…anggap saja sebagai rasa terima kasihku untuk makanannya.”
Athena hanya tertawa kecil mendengar ucapanku.
Berhubung malam makin larut, diapun mohon pamit untuk pulang. Tentu saja, kutemani dirinya hingga pintu depan.
“Oh ya, aku tidak melihat Glaukos bersamamu sejak tadi. Ke mana dia?”
“Mencari makan malam, mungkin tikus atau semacamnya. Yah, namanya juga burung hantu. Tapi sebelum matahari terbit biasanya dia sudah pulang.”
Lalu kenapa siang tadi dia masih bangun…? Jangan-jangan karena ada Divine Energy dalam dirinya?
“Sekali lagi, terima kasih untuk nasihatnya, Da’ath. Kamu benar-benar nampak bijaksana tadi. Padahal aku hanya ingin meminta saranmu bagaimana agar aku bisa dekat dengan Yang Mulia Tselemiel seperti halnya kamu dan Yang Mulia Raqia, eh…aku malah dikhotbahi.”
“Hahaha…jangan begitu. Mungkin itu hanya sebagian kecil hikmat yang diberikan Tuhan padaku dua ribu tahun yang lalu.”
“Uh? Dua ribu tahun? Katanya tadi kamu masih dua puluh satu…”
“Sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan kalau umurku sebenarnya adalah lebih dari dua ribu tahun. Anehnya…dua puluh satu tahun yang lalu, aku ditemukan saat masih bayi oleh orang tua angkatku.”
“Huh? Aneh sekali… Maksudmu, kamu berubah lagi menjadi bayi, begitu?”
“Mana aku tahu? Itu misteri yang belum terungkap.”
“Jangan-jangan kamu melompati waktu, lalu terdampar dua puluh satu tahun yang lalu? Tapi karena ada sesuatu yang aneh dalam perjalanan waktunya, kamupun menjadi bayi lagi…”
Suasana hening seketika.
“Maaf, aku hanya bercanda. Mendengar tentang asal-usul Crusader-Saint pun tidak pernah sama sekali.”
“Astaga. Kupikir kamu tahu sungguhan…”, kutaruh tangan di dahi.
“Ahaha…kamu langsung pucat begitu. Ya sudah, aku pulang dulu. Jangan lupa kunci gerbang utamanya. Jika ada yang mengetuk, lihat-lihat dulu apakah ada pin di dada kirinya. Kalau tidak ada, jangan diijinkan masuk.”
“Mmm. Beres.”
“Baiklah. Sampai bertemu besok ya.”
Mengepakkan sayap, terbang ke arah langit selatan. Sosoknyapun perlahan lenyap ditelan gelap malam.
Share This Thread