===============================================
Tehillim 30: Ice, Iron, Intelligence Part III || This Is An Atom
===============================================
Sembilan hari.
Karya kolosal itu akhirnya selesai total dalam jangka waktu tersebut, terhitung sejak aku menginjakkan kaki di Avodah. Selama itu pula, selain menyampaikan saran-saran dari Plasma atau Biblos, kadang aku menunjukkan pada para pekerja tentang trik-trik tertentu dalam mengolah logam. Malah bisa dikatakan kalau aku bertukar ilmu dengan mereka yang juga menceritakan bagaimana cara menempa, ataupun mencetak sesuatu dari logam cair. Mungkin karena komposisi batuan di Ferrenium dan Avodah yang berbeda, maka perlu teknik mengolah yang berbeda pula.
Ketika Plasma menyatakan bahwa kapal itu sudah siap diluncurkan, semua pekerja yang berada di gedung langsung bersorak. Teriakan mereka begitu menggema, menghiasi setiap sudut bangunan dengan keceriaan yang meluap. Kebahagiaan tak dapat lagi mereka tutupi, bahkan kulihat ada beberapa yang menangis terharu. Kerja keras mereka selama berbulan-bulan akhirnya menjadi kenyataan. Hari masih siang saat itu.
Segera Tselemiel memerintahkan semua Angel-class yang bisa dia panggil saat itu juga untuk memberitahu kabarnya ke seluruh Avodah.
“Kita akan berpesta malam ini!! Besok juga kunyatakan sebagai hari libur bagi seluruh Avodah!!”
Begitulah titahnya, yang langsung dijalankan tanpa ditunda oleh seluruh makhluk bersayap itu.
Tentu saja aku akan ikut dalam pesta nanti malam. Tapi untuk saat ini, aku ingin tidur sebentar. Beberapa hari ini jam tidurku memang berkurang sedikit. Sekarang tubuhku memaksa agar aku merebahkan diri di ranjang empuk istana Tselemiel.
Seketika, aku masuk ke dalam lelapnya alam tidur.
Hingga sebuah suara mengusik ketenanganku. Ketukan pintu.
Sejenak kukumpulkan kesadaranku yang masih melayang. Selagi menuju ke pintu ---yang tepat bersebrangan dengan ranjang---, kuperhatikan ke arah jendela di sisi kanan…belum gelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur, namun sepertinya belum terlambat untuk mengikuti pesta.
“Raqia…?”
Ternyata dia yang mengetuk.
“A-Ah, maaf. Apa aku mengganggu tidurmu?”, dia terlihat sedikit kaget.
Menggaruk-garuk kepala, kujawab dengan malas, “Oh-hoh. Masih mengantuk, sedikit.”
“Mmm…begitu ya.”, responnya. Kudapati alisnya sedikit turun.
Kedua tangannya memeluk erat sebuah buku, sedikit lebih tipis dari Biblos.
“Ya sudah, maaf kalau mengganggu.”
Aku sudah bisa menebak maksud kedatangannya. Baiklah, mungkin tidak jadi masalah untuk mengisi waktu hingga malam nanti.
“Tunggulah di dalam. Aku mau cuci muka dulu.”
Mendadak raut wajahnya berubah ceria. “Mmm! Aku tunggu.”
Ketika aku kembali, kudapati dia sudah duduk di kursi kayu, berdampingan dengan meja di sudut ruangan yang tak jauh dari pintu masuk. Buku itu ditaruhnya di atas meja, tepat di depannya.
“Introduction to Chemistry - Book I”
Itulah yang terbaca di sampul hijaunya, tulisan berwarna putih kecoklatan ---mungkin karena umur bukunya sudah tua---. Maka kuambil kursi lainnya agar dapat duduk di sebelah Raqia.
“Jadi, di mana kamu temukan buku ini?”
“Di tempat Merkava Barzel. Ada gudang tempat banyak buku di sana. Aku merasa yang satu ini sepertinya menarik.”
“Baiklah, kita mulai saja.”, tangankupun meraih buku itu, lalu membuka halaman terdepannya. Tentu aku harus hati-hati karena warna bukunya sudah kusam.
Dan benar ucapan Raqia tadi. Begitu sampai di halaman daftar isi, ada satu frasa yang menarik perhatianku.
“Atomic Structure”
Sub-bab itu ada di awal. Yang artinya, aku harus memahaminya terlebih dahulu untuk meneruskan ke bagian-bagian selanjutnya. Lembar demi lembar yang tak penting kulewatkan, hingga berhenti pada bagian tersebut.
“Struktur…atom?”, tanya Raqia dengan pose khasnya. Matanya tetap berfokus pada buku.
“Apa kamu ingat? Sudah beberapa kali Plasma mengatakan ‘teori atom’. Mungkin ini yang dimaksud olehnya.”
“Ah!”, dia memukulkan tinju kanannya ke telapak tangan kiri. “Mungkin juga ya. Ya sudah, apa yang ada di situ?”
Yang terlihat di kalimat pertama adalah definisi mengenai apa itu atom. Tertulis bahwa atom adalah satuan dasar materi. Semua benda yang memiliki massa tersusun dari atom-atom. Atom-atom dikelompokkan dalam jenis-jenis unsur tertentu, sementara dua atau lebih unsur akan membentuk senyawa.
“Unsur? Senyawa?”, gumam Raqia, memandang ke langit-langit.
“Ah, di sini ada contohnya. Besi adalah unsur yang tersusun dari atom-atom Fe saja. Sementara udara yang kita hembuskan adalah senyawa, tersusun dari unsur karbon dan unsur oksigen, terdiri dari satu atom C dan dua atom O.”
“Oh! Jadi persamaan reaksi fotosintesis yang dijabarkan Plasma sewaktu di Pardes, hampir semuanya adalah senyawa kecuali oksigen yang berdiri sendiri itu?”
“Jika membaca definisinya, seharusnya sih begitu.”
Kulanjutkan. Penjelasan mengenai unsur dan senyawa akan dibahas di…bab berikutnya. Bah.
Yang selanjutnya kutemui adalah kalimat yang mengusik pikiranku.
“Setiap atom tunggal terdiri dari inti dan dikelilingi oleh awan elektron bermuatan negatif di sekitarnya. Inti atom tersusun atas proton yang bermuatan positif dan neutron yang tidak bermuatan. Kecuali pada atom hidrogen alami, dimana inti atom tidak memiliki neutron sama sekali.”
Aku merasa amat sangat akrab dengan nama-nama tersebut. Mungkinkah pernah kupelajari di masa lalu?
“Jadi sebenarnya ada lagi partikel-partikel yang menyusun atom? Yaitu ketiga jenis partikel itu?”
“Uh-huh.”
“Lalu yang dimaksud ‘bermuatan’ itu apa?”
Muncul suara yang di pikiranku.
“Maksudnya bermuatan listrik. Petir adalah contoh loncatan muatan listrik dalam skala besar.”
“Ooo…begitu. Lalu kenapa banyak benda tidak menghasilkan lompatan listrik begitu?”
Selanjutnya tertulis bahwa jumlah proton dan elektron pada atom-atom yang alami adalah sama, sehingga mereka saling menetralkan. Jadi itu alasannya. Archangel kecil di sebelahku inipun mengangguk-angguk mengerti begitu melihat kalimat tersebut.
“Kalau begitu, seharusnya sifat-sifat sebuah atom pada jenis unsur tertentu bisa ditentukan dari jumlah tiga macam partikel itu ya…”, gumamnya.
Kuperhatikan bagian selanjutnya, lalu menjawab, “Yap, kamu benar. Jika berbeda jumlah proton, yang artinya juga berbeda jumlah elektron, maka sifat atomnya juga akan berbeda.”
Beberapa contoh tertulis di sini, dengan asumsi adalah unsur yang terbanyak ditemui secara alamiah.
Hidrogen, dengan simbol H, memiliki proton dan elektron = 1
Helium, dengan simbol He, memiliki proton dan elektron = 2
Oksigen, dengan simbol O, memiliki proton dan elektron = 8
Belerang, dengan simbol S (Sulfur), memiliki proton dan elektron = 16
Besi, dengan simbol Fe (Ferrum), memiliki proton dan elektron = 26
Emas, dengan simbol Au (Aurum), memiliki proton dan elektron = 79
Hanya dengan berbeda jumlah partikel, banyak unsur berbeda sifat sama sekali. Oksigen, gas. Belerang, padat dan mudah hancur menjadi mirip pasir. Besi, logam keras mudah ditempa. Emas murni, logam tapi lunak. Entah bagaimana dengan hidrogen dan helium, tapi menurut tebakanku pastilah secara alamiah akan berwujud gas.
Kubacakan lanjutannya. Para ahli sudah mengelompokkan unsur-unsur tersebut menjadi sebuah tabel khusus, dengan menomori unsur-unsur berdasarkan jumlah proton yang dimiliki. Unsur-unsur yang memiliki kemiripan sifat diletakkan pada satu kolom, disebut golongan. Sementara kenaikan nomor atom disusun dalam lajur horizontal, disebut periode.
Tapi, baru saja aku ingin membuka halaman tempat tabel yang dimaksud berada…
“Yah, robek…”, keluhnya.
Hanya ada H dan He yang masih terlihat, keduanya terpisah cukup jauh. Namun benar, keduanya memiliki nomor atom 1 dan 2. Angkanya ditaruh tepat di atas singkatan nama unsurnya. Keduanya berada dalam baris yang sama, artinya mereka satu periode. Ada satu deretan angka lagi yang menarik perhatianku, yaitu yang berada di bawah singkatan nama unsur. Masing-masing 1,0079 dan 4,0026 untuk H dan He.
“Hei, Da’ath, lanjutkan.”, Raqia menepuk bahuku.
“A-Ah. Maaf, maaf.”
“Ada yang mengganggu pikiranmu?”
“Angka-angka ini…”, kutunjuk 1,0079 dan 4,0026.
“Lanjutkan saja dulu. Siapa tahu akan dijelaskan di halaman setelahnya.”.
Raqia benar. Ternyata penjelasan mengenai angka-angka itu ada pada bagian selanjutnya. Massa atom, itulah makna angka-angka desimal tersebut.
Dari sini dapat kuketahui bahwa massa elektron nyaris tidak dianggap dalam penghitungan total massa atom, karena massanya yang 1840 kali lebih kecil dibanding proton. Massa 1 proton sendiri mendekati massa 1 atom hidrogen, sementara massa 1 atom helium mendekati jumlah 2 massa proton dengan 2 massa neutron. Kasihan sekali elektron diabaikan begini…
Artinya, total neutron dalam atom dapat diketahui dengan mudah. Tinggal mengurangi massa atom dengan nomornya.
N = Z – A
Begitulah yang tertulis. N untuk jumlah neutron, Z untuk massa atom, dan A adalah nomor atom.
“Sayang sekali tabelnya hilang ya. Kalau tidak, kita bisa tahu mengenai massa dan jumlah neutron unsur-unsur lainnya juga.”, ujarnya.
“Yah, mau bagaimana lagi. Lanjut?”
“Mmm, mmm.”, dia mengangguk cepat. “Sekarang lagi seru-serunya nih…”
Aku tidak bisa menyangkalnya, karena aku juga merasakan hal yang sama. Sejak tadi ada yang berkobar dalam dadaku. Aku berpikir, akan banyak sekali misteri alam yang bisa dipecahkan dengan mengetahui perihal tentang atom ini.
Akhirnya, ini dia, struktur atom.
Penjelasan sebelumnya mengatakan bahwa atom terdiri dari inti ---tersusun atas proton dan neutron---, dan awan elektron yang menyelimuti namun tidak pernah menyentuh inti. Ternyata lapisan awan elektron ini disebut dengan ‘kulit’, mulai dari kulit terdekat sampai terjauh disimbolkan dengan: K, L, M, N, dan seterusnya. Kulit-kulit itu sendiri sebenarnya adalah tingkatan energi, yang harus dimiliki si elektron agar tetap berada di kulit tertentu. Kulit ke-1, alias K, maksimal berisi 2 elektron; kulit ke-2, L, 8 elektron; ke-3, M, 18 elektron; ke-4, N, 32 elektron; dan seterusnya, selalu mematuhi rumus 2x
2 dengan x adalah jumlah elektron.
“Mungkin analoginya mirip atmosfer Bumi yang kita lihat waktu itu ya?”, tanyanya.
Sewaktu ke luar angkasa, memang kulihat ada bentuk lapisan udara yang menyelimuti Bumi.
“Sepertinya begitu. Tapi…”
“Tapi?”
“Mungkin lebih mirip cintaku padamu. Selalu menyelimuti…selalu melindungi…tapi tidak bisa menyentuh hatimu…”
Ew. Sepertinya aku sedikit tertular Tselemiel.
“H-H-HAAAAAHHH????!!! J-Jangan bercanda!! Bukankah s-sudah kubilang kalau aku butuh waktu?!”
“Wajahmu merah. Tersipu ya? Ataukah awan elektron sudah berhasil memeluk permukaan hati sang inti atom?”
“H-Hentikan gombalan ilmiahmu dan teruskan penjelasannya!!”
Keheningan tercipta seketika. Kali ini kelopak matanya sedikit melebar. Aku juga merasa ada pukulan sejenak di dadaku.
“Hei…apa kita pernah melakukan hal ini sebelumnya?”, Raqia terdengar heran.
“Aku juga merasa begitu. Mungkinkah…”, kata-kataku terhenti sedetik. “Dua ribu tahun yang lalu?”
“Apa iya ya…”, tangan kanannya ditaruh di dagu. “Tapi aku tidak terima kalau dulu kamu juga menggombal dengan cara yang sama!! Gombal ilmiah itu terlalu…!! Terlalu… Uuuhh…”, pipinya menggembung.
“Hahaha…maaf, maaf. Itu supaya tidak tegang saja. Lanjut atau tidak?”
“Mmm. Lanjutkan.”
Sayangnya, penjelasan berikutnya tidak lengkap karena halaman berikutnya yang lagi-lagi robek. Halaman berikutnya lagi, kusam total. Yang dapat kulihat pada halaman-halaman seterusnya adalah gambar bentuk-bentuk aneh mirip balon, beberapa kali kata ‘orbital’ disebut, kotak-kotak berisi panah ke atas dan ke bawah, serta huruf-huruf: s, p, d, f. Ada juga tulisan s = +½ atau s = –½ . Entah apa maksudnya.
“Aaaahhh!! Kenapa harus robek lagi…!!”, gerutunya.
“Kalau begini aku juga tidak bisa mengerti. Penjelasannya melompat cukup jauh.”
“Huh…ya sudahlah, sebentar lagi juga mau gelap. Tidak baik membaca terlalu lama jika cahayanya tidak cukup. Toh yang tadi juga sudah kupahami dengan baik.”
*BRAK*
Tiba-tiba Biblos muncul dan jatuh ke atas meja. Mengisi halaman seperti prosedur biasa.
“Eh…? He? Raqia? Da’ath? Aku…di mana?”, tanyanya kebingungan setelah beberapa halaman terisi.
“Di istana, tepatnya di kamarku. Maaf ya kalau terlalu mendadak.”, jawabku.
“Oh tidak apa-apa kok. Plasma kan punya sensor agar bisa tahu posisi diriku. Berarti, Raqia sudah berhasil mengerti sesuatu ya?”
“Yap, gambaran mengenai struktur atom secara umum.”, jawab Raqia dengan bangga.
“Hooo~ Hebat juga ya. Diajari Da’ath?”
“Uh-huh.”, dia mengangguk sekali.
“Sudah tahu mengenai prosedur mengisi jumlah elektron pada orbital-orbital tertentu?”
“Itu…tidak. Bukunya tidak lengkap sih, ada yang robek dan kusam.”
“Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti akan ada waktunya kamu bisa mengerti.”
“Sebentar.”, sahutku. “Sebenarnya masih ada yang mengganggu pikiranku.”
“Mmm? Katakan saja~”
“Jika atom adalah materi, maka elektron adalah materi. Kenapa elektron mengitari inti pada sesuatu yang bukan berbentuk lintasan? Bukankah materi bisa mengelilingi materi lainnya dengan lintasan tertentu selama ada sesuatu yang mengikat keduanya? Misalnya saja ketika aku mengikat sebuah batu kecil dan memutar talinya dengan tangan, batunya akan bergerak memutar mengitari tanganku.”
Biblos berlagak batuk sejenak.
“Begini. Sebenarnya semua partikel punya dualisme sifat, partikel dan gelombang. Sifat itu paling jelas dapat diamati pada partikel-partikel yang sangaaattt kecil, elektron misalnya. Untuk mengakomodasi sifatnya tersebut, maka model atom haruslah menggambarkan kedua-duanya sekaligus. Nah, sekarang aku mau tanya. Menurutmu gelombang itu sifatnya seperti apa? Aku beri contoh, misalnya ombak atau suara.”
“Hmm…”, aku diam sejenak untuk berpikir. “Tidak…bergerak menurut garis tertentu?”
“Ting tong! Benar sekali~ Begitu juga dengan elektron di dalam atom, perilaku gelombangnya akan muncul. Artinya elektron HARUS berada di sekitar inti, mengakomodasi sifat partikelnya; tapi TIDAK BOLEH bergerak menurut garis lintasan tertentu, mengakomodasi sifat gelombangnya. Satu-satunya yang memungkinkan hal itu adalah model atom dengan DAERAH yang memiliki bentuk tiga dimensi tertentu untuk menggambarkan letak elektron di dalam atom.”
Daerah… Bentuk…
“Orbital?”
“Seratus! Orbital. Itu dia. Dan inilah keanehan elektron. Sebenarnya, orbital itu hanya menggambarkan kemungkinan elektron ditemukan pada daerah tersebut.”
“Jadi itu alasannya kenapa definisi atom menggunakan istilah ‘awan elektron’?”
“Fufufu~ Sudah pintar ya. Awan elektron yang dimaksud adalah daerah yang mungkin untuk menemukan elektron. Karena sifatnya yang juga merupakan gelombang, menentukan posisi elektron pun sebenarnya tidak bisa seratus persen dijamin. Kalau kamu melihat ada bentuk orbital yang mirip bentuk tertentu, itu sebenarnya hanya cakupan daerah terbesar untuk menemukan elektron, katakanlah di atas sembilan puluh persen. Bentuk-bentuk orbital untuk kulit yang makin menjauhi inti atom akan lebih rumit, tapi tetap indah~ Nah, sebagai konsekuensi sifatnya yang partikel sekaligus gelombang, maka akan mustahil menentukan posisi dan momentum elektron secara sekaligus.”
“A-Anu… aku pusing…”
Tutur kata Raqia terdengar lemah. Kepalanya juga sudah tergeletak lesu di atas meja.
“Ahaha…sepertinya Raqia sudah
overheat~ Ya sudah, sampai sini saja. Tadi aku sedang bersama Plasma dan Glaukos di tempat pesta yang di depan istana, sampai tiba-tiba pindah ke sini. Kalau begitu aku kembali dulu yaaa~”
Diapun membuka pintu ---menjepit gagangnya, menariknya ke bawah---, lalu melesat dengan cepat keluar begitu terbuka.
“Mmmhh…”, Raqia meluruskan kedua tangannya kuat-kuat ke atas. “Selesai juga.”
Senyum puas terbentuk di bibir indahnya.
Sekarang, saatnya aku bertanya padanya. Aku heran, kenapa dia tidak minta Plasma atau Biblos yang mengajari?
“Raqia.”
“Hmm?”
“Ngomong-ngomong, kenapa minta aku yang mengajari? Aku yakin Plasma atau Biblos bisa menjelaskan semuanya dengan lebih baik.”
“Kamu tidak senang?”, tanyanya ketus.
“Bukannya begitu. Aku hanya heran saja. Mungkin…kamu menginginkan sesuatu dariku?”
Sekarang gilirannya berperilaku seperti Athena malam itu. Tidak menatapku, dia mulai membuka mulutnya. Kaku.
“Mmm… s-sebenarnya…iya. Itu…”
“Itu?”
“J-Janji tidak akan tertawa, apalagi berubah besar kepala duluan?”, suaranya terdengar ragu namun lembut. Rona merah membuat dirinya amat sangat menggemaskan saat ini.
“Iya, iya.”
“A-Aku hanya…ingin pergi…”
Kata-katanya terhenti.
“Hah? Pergi? Mau ke mana?”
“Emm…i-itu…ke depan…”
“Ke depan?”
“D-Depan istana…”
Pesta malam nanti memang akan diadakan di depan gerbang timur istana. Tidak hanya di sana, beberapa lokasi di Avodah juga akan digunakan sebagai tempat ajang kemeriahan berlangsung.
“Haaahh…”, kutepuk dahiku. “Kenapa tidak bilang saja sih? ‘Da’ath, aku mau pergi denganmu ke pesta nanti’. Begitu saja repot.”
“Aku m-mana bisa bilang terang-terangan begitu…”, dia membentur-benturkan kedua jari telunjuknya. “B-Bagaimana…?”
“Tentu saja mau. Aku tidak akan melewatkan kencan pertama kita.”
“I-I-INI BUKAN KENCAN, D-DASAR *****!!”, dia melempar buku kimia itu tepat ke wajahku.
Hanya butuh dua detik untuk mendengar perubahan nada suara dan ekspresinya.
“M-Maaf… bukan maksudku…”
Sambil memegangi hidung aku berkata, “Aku sudah biasa dengan kelakuanmu itu. Selama tidak membunuhku atau mencederaiku secara permanen, aku tidak akan protes. Tapi gara-gara kamu, bukunya jadi lepas dua lembar begini…”
Kuambil dua lembaran yang jatuh itu, kemudian menyelipkannya kembali ke buku.
“Jadi, m-mau atau tidak?”
Kutarik nafas panjang.
Berdiri. Dan…
…berlutut di depannya, bertumpu pada sebelah kaki.
Kuraih tangan kanannya.
“Of course, my adorable queen.”
Kukecup sejenak tangannya itu.
*POOFFFFF*
Dia meledak.
“Di antara para Archangel, kamu adalah yang paling menggemaskan.”
“DA’AAAATH!! Sudah cukuuuppp!!!! Uhhhh…”
Teriakannya itu dibarengi dengan pukulan dari kedua tangannya yang terus-menerus menghantam dadaku, namun dengan tenaga yang tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang anak umur 8 tahun. Melihat itu, aku hanya tertawa sambil membelainya.
Balutan gaun simpel biru muda berlengan panjang dengan bagian bahu atas yang tersingkap ---
detached sleeves, maksudku---, itulah yang dikenakannya sekarang. Tidak kelewat mewah, mungkin agar tidak terlalu menarik perhatian banyak orang. Walau begitu, tak bisa kupungkiri kalau malam ini dirinya nampak 7 kali lipat lebih cantik dibanding biasanya. Dia juga memintaku agar tidak berpakaian terlalu mencolok namun tetap rapi.
Beberapa puluh meter dari gerbang timur istana, di situlah tempat terdekat diadakannya perayaan selesainya Merkava Barzel. Areal lapangan hijau kini berubah menjadi pusat kegembiraan, lengkap dengan hiruk pikuk manusia yang memancarkan senyuman puas. Cahaya dari banyak lampu menghiasi, mengalahkan terangnya bulan di langit malam. Beberapa meja besar dan stand berdiri di beberapa titik. Ada juga sebuah panggung kayu cukup besar, sebagai tempat para pemain musik memainkan alunan melodi yang makin mewarnai kemeriahan malam ini.
Meski sudah berusaha untuk tidak terlalu mencolok, keberadaanku dan Raqia tetaplah menarik mata banyak orang. Kamipun disambut dengan tepuk tangan meriah dan menggelora, layaknya pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Tidak hanya itu, mereka juga berseru, “Salut!”, sambil mengangkat tinggi gelas-gelas besar di tangan. Beberapa di antara merekapun tak ragu untuk memberi selamat padaku secara langsung.
Begitu musik yang dimainkan menjadi lebih lambat dan romantis, beberapa pasangan mulai berdansa tak jauh dari panggung.
“E-Emm…mau…mencoba berdansa?”, ujarnya malu-malu.
“Sayangnya aku tidak bisa. Belum pernah mencoba.”
“Tidak masalah. B-Bisa kuajari. Nanti tinggal sesuaikan saja dengan gerakanku.”
“Jika kamu memaksa, baiklah.”, kugenggam lembut tangan kanannya. “Mohon bantuannya.”
Kami berdua mulai bergerak bersama, seirama, menyatu dalam alunan harmonis musik yang diperdengarkan. Keindahan suara violin, biola, cello, dan juga bass, berpadu dengan indah. Seakan memberi kehangatan bagi semuanya, menenggelamkan mereka dalam nada-nada cinta.
Akupun ikut hanyut dalam suasana. Tubuhku bergerak dengan sendirinya, makin selaras dengan anggunnya gerakan Raqia.
Benar apa katanya. Meski agak kaku di awal, namun tidak lagi setelah beberapa menit berlalu, karena jari-jemari dan suara lembutnya terus menuntun. Yah, meski jangan dibandingkan dengan gadis cantik di hadapanku ini. Setiap langkahnya begitu sempurna. Begitu gemulai. Aku hanya bisa menahan nafas setiap kali sudut-sudut tubuhnya melekuk indah, berpadu sempurna dengan kemilau rambut peraknya yang sesekali menari lembut di udara.
Kedua pasang mata kami terus saling menatap, begitu dalam. Dua biru langit itu menimbulkan nafas baru di dalam diriku, seberkas pemikiran. Jauh dari sifat kekanak-kanakannya, Raqia memancarkan sesuatu yang berbeda malam ini. Kecantikan, keanggunan, dan kelembutan yang ditunjukkannya padaku, membuatku merasa kalau Raqia…
…benar-benar Archangel sejati.
*
Jika kubandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya, perilaku Raqia kali ini memang berbeda. Namun itu terjadi bukan tanpa alasan.
Sembilan hari itulah penyebabnya.
Emm…bukan penyebab. Lebih tepatnya, dalam jangka waktu itulah Raqia perlahan menunjukkan perubahan. Selama jangka waktu itu, dia sering sekali memperhatikanku. Setiap harinya pastilah ada saat-saat dimana dia hanya diam dan memandangiku dari jauh, meski dia langsung pergi jika mataku menangkap keberadaannya. Tak jarang pula sorot matanya memancarkan kekaguman.
“Jelas sekali, dia sudah jatuh ke dalam genggamanmu sepenuhnya.”
Begitulah kata-kata Tselemiel 2 hari lalu. Ternyata dia juga memperhatikan kelakuan Raqia.
Kalau boleh menebak, sepertinya pemicunya hanya satu, yaitu sifat kepemimpinanku yang terus kutunjukkan selama 9 hari itu. Jelas saja, karena proyek Merkava Barzel sudah kuambil alih. Meski agak kaku untuk hari pertama, namun seiring berjalannya waktu semua berjalan makin lancar. Setiap perkataan dan perintah yang kusampaikan keluar begitu saja secara alamiah. Akupun bukan asal perintah sana-sini seenaknya, namun benar-benar mempertimbangkan apa yang dibutuhkan saat itu.
Senang? Tentu saja!! Meski aku tidak boleh terus-menerus menyudutkannya, namun kesempatanku sudah dapat dikatakan 99,99% untuk mendapatkan cintanya. Sabar saja Da’ath. Sabar. Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang sabar.
*
Setelah lagu berakhir ---dan disambut tepuk tangan banyak orang---, aku mengajaknya menyingkir dari pusat keramaian. Duduk di hamparan rumput, pada titik yang sedikit lebih tinggi dari lapangan. Raqia ada di sebelah kananku.
“Tidak buruk untuk pemula.”, komentarnya.
“Untung saja aku tidak terpeleset.”
“Ahaha…bagaimana mau terpeleset? Melangkah saja kecil-kecil begitu.”
“Heh, aku kan hanya mengikuti apa yang kamu suruh.”
Dia tersenyum. Lengkap dengan sedikit darah naik ke pipinya.
Kutaruh tanganku di kepalanya. Membelainya pelan, aku berkata, “Tapi aku tetap harus berterima kasih padamu untuk pelajaran dansanya.”
“Tidak apa-apa. Anggap saja sebagai terima kasih sudah diajari tadi sore.”
Entah kapan dia melakukannya, namun kali ini tangan kiriku sudah digenggamnya. Kedua pasang mata kami kembali bertemu. Sorot matanya seperti menginginkan sesuatu, sesuatu yang tidak jadi kulakukan waktu itu.
Selama 5 detik aku dan dia sama-sama membisu, hanya mata yang saling bicara. Nyaris bersamaan, kami saling mempererat genggaman. Seakan ada kekuatan yang mendorong tubuhku. Tanpa kusadari wajahnya sudah kurang dari sejengkal dari wajahku. Kilau bibirnya yang kecil itu makin jelas. Matanya juga sudah terpejam, seakan siap untuk segala sesuatu yang akan terjadi. Momen ini sudah kutunggu sejak lama…
…akhirnya---
“Athena! Itu mereka!”
Suara itu terdengar dari arah langit.
Dua mata kuning. Bulat. Besar. Mengambang di udara.
“Oh. Maaf mengganggu.”
Kepakan sayap itupun membuat badannya berbalik. Glaukos.
Raqiapun pingsan. Eh, bukan. Maksudku, langsung terkulai lemas dan jatuh ke dekapanku. Hanya butuh 2 detik hingga matanya terbuka, lalu mengambil batu terdekat. Dilemparnya ke arah Glaukos…
*DHUG*
Tepat sasaran.
“BURUNG HANTU SIALAN!! KENAPA HARUS DATANG SEKARANG HAH?!”
Burung hantu itupun langsung…bersujud?
“M-M-Maaf. Aku tidak tahu. Aku hanya membantu Athena mencari kalian.”
“Tapi waktumu benar-benar tidak tepaaaattt!!”
Marah? Sepertinya bukan. Raqia hanya dihantam rasa malu yang luar biasa.
“Da’ath!! Katakan sesuatu juga!!”
Sebenarnya aku juga nyaris sama malunya. Tapi, suara Glaukos tadi seperti tergesa-gesa, membuatku sedikit curiga.
Athenapun datang menghampiri, setelah sebelumnya mendarat tak jauh dari Glaukos.
“Haaah…haaah…untunglah.”
Dia nampak lelah. Anehnya lagi, dia mengenakan armor lengkap dan membawa tombak dengan ujung besar berbentuk mirip daun. Perasaan malu dalam dirikupun lenyap seketika, digantikan dengan khawatir.
Akupun berdiri. “Athena, ada apa?”
Dia mendekat sedikit lagi, lalu berkata pelan, “Bisa…kita menyingkir lebih jauh?”
Kutengok Raqia, sepertinya sekarang dia sama bingungnya denganku.
Melangkah agak ke jalanan yang sepi, Athenapun mulai mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku…tidak bisa menemukan Yang Mulia Tselemiel.”
“Eh? Apa dia tidak ada di salah satu lokasi pesta?”
Raqia itu terdengar lebih tenang kali ini.
Athena menggeleng. “Plasma dan Biblos juga sudah mencari hingga keluar batas kota dengan sesuatu yang mereka sebut dengan ‘sensor Divine Energy’, tapi…nihil.”
“Oke, tenangkan dirimu dulu. Sekarang, di mana Plasma dan Biblos?”
“Mereka ada di istana.”
Kedua temanku itu menunggu di dalam, tak jauh dari pintu utama istana. Kondisinya sepi sekarang.
“Akhirnya kalian datang juga…”, ujar Biblos.
“Ada apa ini sebenarnya? Benarkah Tselemiel menghilang?”, tanyaku.
“Begitulah.”, sahut Plasma. “Padahal satu jam yang lalu masih sempat kulihat. Karena itulah aku tidak menyalakan sensorku.”
“Berarti dia belum lama pergi… tapi ke mana?”, gumam Raqia.
“Apa tidak ada satupun yang melihat ke mana arah perginya Tselemiel?”
“Sepertinya tidak ada, Da’ath. Beberapa penjaga gerbang istana sempat kutanyai, namun mereka mengaku tidak tahu. Angel-class lainnya pun sedang larut dalam suasana pesta, sehingga tidak kutanya supaya tidak merusak acara. Hanya saja… Glaukos menemukan sesuatu di ruangan Yang Mulia Tselemiel.”
Athena membuka sebuah tas kulit di pinggang kanannya, lalu mengeluarkan sebuah gulungan kertas yang diberikan kepadaku. Maka kubukalah kertas itu.
“Angka…?”, komentar Raqia. Yang lainnya juga ikut memperhatikan isi dari kertas itu.
23 – 13 – 1 – 13 – 57
“Hanya ini isinya?”
“Begitulah. Tak ada benda baru lainnya yang kutemui di ruangannya.”, jawab Glaukos.
Mungkin karena hal itu baru saja kupelajari bersama Raqia, maka yang pertama kali muncul di ingatan adalah…
“Da’ath, apa mungkin…”
“Bisa jadi, Raqia. Plasma, apa kamu punya tabel yang berisi daftar-daftar nama unsur di Bumi?”
“Oh, tabel periodik unsur, maksudmu? Tentu saja ada. Sebentar…”
Kali ini muncul kotak-kotak yang terisi huruf dan angka. Pojok kiri atas, hidrogen. Pojok kanan atas, helium. Berarti ini adalah tabel yang benar. Mulailah mataku menyusuri keseluruhan tabel aneh itu yang tidak berbentuk sempurna. Ada elemen-elemen yang memiliki nomor berurutan, namun jaraknya terpisah jauh pada tabel.
23. V. Vanadium
13. Al. Aluminium.
1. H. Hidrogen.
13. Al. Aluminium.
57. La. Lanthanum.
“Valhalla…”
Athena terbelalak. Tatapannya kosong.
“Athena, ada apa?”, tanya Plasma. “Apa kamu tahu tempat itu?”
“Letaknya agak jauh di utara Asgard…”, jawabnya, dengan pandangan yang masih kosong.
“Tunggu.”, potong Raqia. “Bukankah itu pusat kekuatan Valkyrie Corps?! Mau apa si gila itu ke sana?! Jangan-jangan…”
Bahkan akupun bisa menebak.
“Sudah pasti dia pergi menemui Brynhilde…”
Aku punya firasat buruk tentang ini. Semua terlalu mendadak dan terlalu mulus, jika memang ini rencana untuk memancing Tselemiel keluar dari Avodah. Apa mungkin…Merkava Barzel?
Share This Thread