Hah.. beludak tu bahasa apaan dah
ew, Atra back in action abis di brainwash. Sebenernya plot gini gak bikin kaget2 amat (buat gua),
karena uda dari dulu, gua sering ngayalin skenario yang beginian juga![]()
Hah.. beludak tu bahasa apaan dah
ew, Atra back in action abis di brainwash. Sebenernya plot gini gak bikin kaget2 amat (buat gua),
karena uda dari dulu, gua sering ngayalin skenario yang beginian juga![]()
NOOOO, anything but that
jangan Atra ku dikorbankaaan
ah udah tau gue sedikit bagian menuju endingnya... spoiler lu kemaren agak kebanyakan lun
cuman baca jebret2nya ajanih jadinya gue... seperti biasa kalo ilmunya kelewat ngaco gue skip![]()
Beludak = uler viper
korbankan ga yaaa
----------
Sesuai janji, triple release
Sekaligus arc Ice, Iron, Intelligence selesai
Spoiler untuk Tehillim 32 :
================================================== ====
Tehillim 32: Ice, Iron, Intelligence Part V ~ But, Harmful Unlike Dove
================================================== ====
Sorot matanya tak memancarkan energi kehidupan. Jika dia tidak bergerak, akupun takkan tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Apalagi di tengah hujan salju begini---
Tunggu.
Apa itu di lehernya…?
Seingatku, dulu Atra mengenakan kalung yang bentuknya dapat dikatakan menyerupai ikat pinggang kulit. Asesoris. Sekarang, benda itu sudah tidak ada, digantikan oleh kalung abu-abu setebal tiga jariku yang didempetkan. Terlihat solid. Logamkah?
Titik hijau kecil yang menyala di sisi kanan lehernya membuatku makin curiga.
Dari atas sana, Inferna berteriak sekeras-kerasnya, “Tunggu apa lagi??!! CEPAT CINCANG DIA!---” Teriakannya segera termakan suara keras, sepertinya ledakan Spatial Breaker.
Titik itupun berubah warna menjadi merah.
Genggaman pada sabitnya dieratkan. Posisinya sudah seperti seorang yang siap menebas.
“Atra!! Hei, Atra!! Ini aku!! Da’ath!!!!”
Tak menghiraukan teriakku, sabitnya mengayun dengan indah menuju kemari. Refleks, tangan kananku bergerak agar Energy Blade dapat menahannya, berbenturan dengan bagian atas gagangnya.
“ATRA!!!! KUMOHON JAWABLAH!!!!”
Belasan bola hitam muncul di sekitarku. Dia terbang mundur sedikit, dan…
*DHUAAAARRRRRRRR*
Argh, ada apa ini sebenarnya?!
Plasma angkat bicara, “Da’ath, sepertinya dia dikendalikan.”
“Apa mungkin benda aneh itu?!”
“Pasti. Ulurlah waktu sedikit, aku akan melakukan scanning pada kalung itu.”
Sekali lagi kuteriakkan keras-keras namanya. Tetapi, yang merespon adalah tebasan mata sabit keperakan. Senjata kami terus beradu, sesekali diselingi ledakan bola-bola hitam dan hantaman Hypermassive Defenser. Sebenarnya aku tidak tega menghajarnya, tapi aku tak boleh mati di sini. Warp Drive juga…mustahil kuaktifkan sesukaku karena tak bisa kuketahui kapan rantai sabit itu akan membelitku lagi.
Mendadak, kata-kata Tenebria yang waktu itu terbersit dalam pikiranku.
“Dia baik-baik saja. Maksudku, secara fisik.”
Dan yang kupikirkan setelahnya adalah apakah ada yang salah dengan kejiwaannya. Ternyata inilah jawabannya. Atra dikendalikan layaknya sebuah marionet.
Kembali, terjangan perisaiku tepat mengarah padanya. Ditahannya dengan sabit, namun itu membuatnya mundur di udara beberapa belas meter.
“Plasma, bagaimana?”
“Tidak salah lagi. Kalung itu terkoneksi pada tulang belakang, menyebabkan otaknya berada dalam kendali penuh.”
“Hancurkan?”
“You can’t, my friend. Itu sama saja dengan membuat otaknya berceceran.”
Mata sabitnya terlepas, rantai hitam pun melesat tepat ke arahku.
“HEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”
Entah sejak kapan, Raqia melaju segila mungkin ke arah ujung mata sabit itu dari kanan atasku. Dihajar sekeras-kerasnya, melontarkan lengkungan logam itu ke arah yang berlawanan darinya.
Seketika, belasan bola hitam mengelilingi dirinya.
Tetap tenang, Raqia mengaktifkan Magen. Belum juga hilang sisa-sisa ledakan di udara, dia maju menerjang Atra. Berhasil ditahan dengan gagang sabit, tetapi Spatial Breaker sukses menghempaskan tubuh Atra cukup jauh di udara. Walau begitu, ekspresi Atra tidak berubah sama sekali. Tetap kosong.
“MAKHLUK BAJINGAAAAAAAAAAAANNNN!!!!!”
Dari sisi kanan belakang Raqia, Inferna berteriak demikian selagi terbang cepat, ingin menyerang Raqia.
Sial, dia tidak sigap kali ini!!
Warp Drive, lalu kuposisikan diriku di depannya selagi masih jauh dari Raqia. Kutahan tebasan tangan kanannya yang masih berupa Ereshkigal Blade.
“Sekali lagi menghina Raqia, akan kucincang lidahmu!!!!”
“HA!! Besar mulut juga rupanya!!”
Sekejap, tangan kirinya menjadi Phelgethon Bombard. Sayang sekali untuknya, aku sudah mengerti bagaimana cara menghadapi silinder logam berdaya ledak tinggi tersebut. Belum sempat energinya terisi penuh, kuposisikan perisaiku tepat di depan larasnya, menempel. Aku bertaruh dia takkan berani menembak jika tak ingin menghancurkan tangannya sendiri.
Bagus. Sorot matanya berubah, mungkin tak mengira apa yang akan kulakukan.
Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Raqia untuk menyerang Inferna. Nephilim berambut hitam panjang itu mendorongku kuat-kuat memanfaatkan titik temu senjata kami, lalu mengalihkan tangan kanannya menangkis pedang besar milik si Archangel mini.
Namun, baru saja ingin kulempar perisaiku untuk menghajar Inferna, rantai hitam itu muncul lagi. Bukan mengikatku, tetapi Raqia. Ditariknya tanpa ampun, menghempaskan tubuh kecilnya ke punggung gunung di sebelah utara.
Mendadak, Brynhilde yang menyerangku dari bawah. Ujung Gungnir-nya diarahkan tepat padaku. Maksudku ingin menghajarnya dengan perisai, namun tidak kena. Dia mampu menghindari lemparannya. Untunglah Athena segera melesat dan menghentikan laju Brynhilde. Sayang sekali hanya tiga detik dia membuat jeda. Mungkin karena perbedaan kemampuan keduanya, tanpa nampak kesulitan Brynhilde mampu menangkis serangan tersebut dan malah membuat Athena menghantam Bumi.
Sekarang aku sadar. Aku sendirian, dikepung tiga musuh sekaligus.
Argh, yang mana yang harus kuserang lebih dulu?!
Belum sempat kuambil keputusan, mata sabit itu bergerak ke depan mataku. Seketika tubuhku dibelit rantai yang mengikutinya. Lemparan Hypermassive Defenser yang kuarahkan pada Atra malah ditepis Brynhilde. Parahnya lagi, Inferna sudah bersiap dengan Ereshkigal Blade dari atas sana.
Dan…ini dia yang kutakutkan.
“Charon’s Drive: Hades’ Judgement!!!!”
Sinar hitam yang amat kuat terpancar, diiringi butiran-butiran hitam yang menari bersama salju di udara.
“Plasma!! Lakukan sesuatu!!!!”
“Mustahil, Da’ath!! Warp Drive mati total, sementara aku juga tak bisa melepaskan Sacred Armor ini secara paksa!!!!”
“Checkmate.”
Senyum liciknya menambah kengerian, menyertai ujung pedang-tangan kanannya yang sudah mengarah padaku.
Di tengah situasi kacau ini, malah terdengar suara Biblos di telingaku.
“Halo halo haloooo? Kami sudah berhasil menemukan mesinnyaaa~ Yang Mulia Tselemiel ternyata ada di ruangan yang berbeda. Sekarang cepatlah---“
*WHUUUUUUUUZZZZZZ*
……
……
Hei…?
Dia mundur?
Tunggu, tunggu. Ini aneh. Aku amat sangat yakin, bahkan terlalu yakin jika Inferna melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku, dan hanya dalam tempo dua detik akan mengenai tubuhku. Sekarang dia malah mundur, atau lebih tepatnya, kembali ke tempatnya semula seperti tak pernah bergerak. Ada apa ini…?
“Spatial Breaker: Long-Range Shockwave!!!!”
Suatu bentuk getaran mengganggu udara dan salju yang turun. Inferna, yang nampak masih bingung dengan apa yang terjadi barusan, menelan serangan itu mentah-mentah. Diapun terpental beberapa meter, yang langsung disambar lagi oleh gelombang kedua Spatial Breaker, menyebabkannya jatuh menumbuk Bumi disertai bunyi yang sangat keras. Siapa lagi yang dapat melancarkan serangan itu selain Raqia?
Mengetahui Raqia yang sekarang mendekat ke arahnya, Atra langsung menarik rantai yang melilitku agar mata sabit kembali pada tempatnya. Senjata keduanyapun berbenturan. Sekali lagi Spatial Breaker…
*DHUUUMMMMMMMM*
Aku sempat mendengar teriakan “Limiter, release!!!!” dari Raqia. Tak mengherankan jika sekitarnya ikut bergetar hebat, bahkan Brynhilde terpaksa mendarat karena udara tak mampu lagi bertiup normal. Atra pun bernasib sama seperti kakaknya. Kutarik nafas panjang, lega.
Kudekati Raqia yang diselimuti butiran-butiran cahaya perak, terbang mengelilinginya. Dia nampak lelah.
“D-Di mana Athena?”, tanyanya, terengah-engah.
“Seingatku di sana…”, pandanganku kualihkan ke tempat Athena terjatuh.
“Kita ke sana---“
Keseimbangannya goyah. Refleks, kutahan tubuhnya. Butiran-butiran perak itupun lenyap.
“Makanya, jangan berlebihan.”
“Bukannya berterima kasih…malah lebih memilih mati daripada ditolong.”
“Iya, iya.”, kucubit pipi kirinya. “Terima kasih banyak.”
“Ooooii!! Halooo??!! Dengar tidaaakk??”, suara Biblos kembali terdengar.
Plasma menjawab, “Transmisimu masuk di saat yang tidak tepat!!!! Sekarang cepat beritahu posisimu!!”
Akupun berusaha menenangkan, “Emm…Plasma, jangan marah-marah begitu. Mungkin Biblos tidak tahu situasi kita tadi.”
“Uuuu~ Iya, Plasma jahat… Cuma aku yang selalu dimarahi…”, ujar Biblos, seperti ingin menangis.
“Haaahh…”, suara Plasma seperti menghela nafas. “Oke, maaf, maaf. Sekarang---”
*BLAAAAARRRRRRRRR*
Dari bawah terdengar suara ledakan. Jangan-jangan…Athena?!
“Masih kuat?”
“Mmm!”, dia mengangguk semangat.
Segera kami turun ke sumber ledakan. Sementara itu, Plasma menginstruksikan Biblos untuk mengirim peta lokasi tempatnya dan Glaukos berada.
“Kenapa kamu masih juga keras kepala?!”
Terdengar suara Athena. Berarti benar, dia ada di sana.
“Diam!!!! Apapun yang kamu katakan---“
Kata-kata Brynhilde terhenti ketika aku dan Raqia mendarat dekat Athena.
“Aku tidak suka mengganggu urusan keluarga. Tapi, sepertinya anak nakal yang satu itu harus dibawa pulang secara paksa.”, Raqia meledek, mengarahkan ujung pedangnya pada Elilim-class berambut putih itu.
“Sudah tahu demikian, masih juga ingin mengganggu?”
Jawaban Brynhilde diikuti dengan tangannya yang mengangkat Gungnir tinggi-tinggi.
Dari arah batang-batang pohon tak berdaun di belakangnya, aku melihat banyak sosok bersayap violet. Semuanya membawa crossbow dengan anak panah yang sudah terpasang. Satu lagi, semuanya perempuan.
Tangan kanannya diturunkan. Serentak, semuanya menembakkan panah ke arah sini. Segera kuperbesar sedikit perisaiku agar dapat melindungi kami semua dengan sempurna.
“Aku akan melakukan sesuatu. Coba tahan mereka sebentar.”, ujar Plasma.
Athena nampak lemah, sehingga Raqia yang memutuskan maju untuk menghajar semua yang ada di hadapannya. Spatial Breaker jarak jauhnya mampu meruntuhkan beberapa pohon tak berdaun, menghalangi hujan panah untuk sementara. Sementara itu, entah apa yang Plasma lakukan, yang jelas tiba-tiba Absolute Zero merasuki Energy Blade.
Kumpulan Elilim-class itu ternyata tidak hanya mereka. Setelah menembakkan panah, mereka mundur, digantikan barisan yang sudah siaga di belakangnya. Raqia terlihat kesulitan karena tidak bisa maju terlalu dekat, apalagi Brynhilde siaga untuk menerjang kapan saja. Jelas sekali Elilim-class yang satu itu mengincar Athena, yang merupakan sasaran paling empuk di antara kami bertiga.
Posisi demikian membuat Raqia harus menyalakan dan mematikan Magen beberapa kali. Uh-huh, itulah kelemahan kemampuannya yang satu itu. Jika Magen aktif, tidak ada satupun yang bisa keluar dan masuk, termasuk ayunan pedangnya sendiri.
Beberapa detik kemudian, Plasma berkata, “Sudah siap. Kamu bisa melancarkan Frost Column.”
“Frost Column?”
“Heh, jangan banyak tanyaaaaa!!!!”, seru Raqia. “Lakukan saja apa yang disuruh Plasma!!”
Ya sudahlah, dicoba saja.
Athena mundur sedikit saat kuangkat tangan kananku setinggi bahu. Kuminta Raqia mundur dengan cepat ke belakangku, kukecilkan perisai, lalu…
“Frost Column!!!!”
Kuayunkan Energy Blade menebas udara di hadapanku. Sinar biru cerah menyeruak darinya sesaat. Dan…
*DRRRRRRRRRRRRRRRR*
Pilar es. Ya, pilar-pilar es muncul seketika, bangkit dan menjulang dari permukaan tanah bersalju. Menurut pengamatanku, tiap pilarnya memiliki tinggi kira-kira 14 meter dengan diameter kurang lebih 2 meter. Ada belasan yang muncul. Enam pilar besar menjadi penghalang antara kami bertiga dengan musuh. Sisanya menjulang di sebelah kiri dan kanan mereka, dan juga di tengah-tengah formasi Elilim-class yang ada di balik pepohonan. Karena ukuran yang terlalu tinggi, beberapa pilar segera tumbang dan makin menghamburkan formasi musuh yang tidak siap. Segera kami manfaatkan kekacauan itu untuk terbang menjauh secepatnya.
Plasma memberitahu, “Aku sudah dapat lokasinya. Masih sekitar sembilan kilometer lagi, di tengah-tengah pegunungan.”
“Haaaaahhhhh…” Kuhela nafas panjang. “Lolos juga.”
“Kamu tidak apa-apa?”, tanya Raqia yang terbang di sebelah kananku, terdengar khawatir.
“Hanya pegal-pegal saja kok. Dan…” Terputusnya kata-kataku memicu kebingungan di wajahnya. “Yang tadi itu apa?”
“Yang…tadi? Oh, yang itu?”
“Aku nyaris mengira kalau mataku sudah rabun.” Kugaruk-garuk pipi kiriku.
“Temporal Backslide.”, jawabnya bangga. “Aku bisa memindahkan objek apapun yang kuinginkan kembali pada posisi maksimal 5 detik sebelum dia bergerak.”
Plasma menambahkan, “Sebenarnya serupa dengan Warp Drive, hanya saja dia menggunakan patokan waktu untuk memindahkan sesuatu selain dirinya sendiri. Sementara yang kumiliki berpatokan pada kalkulasi jarak dan hanya bisa memindahkan dirimu, Da’ath.”
“Ya, terima kasih juga untukmu, Plasma. Kalau bukan karenamu dan Biblos, mungkin kemampuanku tadi tidak akan sempurna tepat waktu.”
“Jadi itu yang kalian lakukan malam-malam ketika aku tidur?”
Beberapa kali Raqia mengangguk cepat.
Tunggu.
“Plasma, kamu tidak melakukan yang aneh-aneh terhadapnya kan?”
“Itu mustahil terjadi karena sebenarnya aku ini tak punya jenis kelamin, berujung pada tak adanya nafsu duniawi dalam diriku. Hanya output suara dari tubuh buatanku yang terdengar seperti suara lelaki. Dan kamu makin protektif saja…”
Reaksi Athena ---yang terbang di sebelah kanan Raqia--- agak tegang ketika Plasma menyebut ‘nafsu duniawi’. Mengetahui hal tersebut, aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Apa itu tempatnya?”, kutunjuk sebuah bangunan yang berdiri dekat kaki sebuah gunung. Arsitekturnya mirip seperti beberapa yang ada di sekitar Avodah, sempat kulihat di sebelah barat kota ketika terbang menuju ke sana. Sebuah puri besar bertembok kelabu, memiliki beberapa menara, dan halamannya dikelilingi tembok tebal yang bagian atasnya dapat dilalui dengan berjalan kaki.
“Yap, itu dia. Sayang sekali kita tak bisa berharap jamuan kopi atau teh hangat. Bersiaplah.”
Benar apa katanya. Pada tembok tebal yang mengelilingi puri, telah berderet Elilim-class. Entah berapa banyak. Yang jelas semuanya mengarahkan sesuatu ke arah sini, nampak seperti silinder logam kecil. Musket. Kami segera berhenti di udara pada jarak beberapa ratus meter dari mereka untuk menghindari jarak tembak.
Baru saja aku ingin menyebut Warp Drive, Athena memotong, “Kumohon, jangan bunuh mereka. Siapa tahu aku bisa mengorek informasi lebih banyak dari mereka nantinya.”
Meski aku ragu apakah yang sejak tadi kuhajar ada yang mati atau tidak… tapi ya sudahlah. Warp Drive.
Dan sesuai permintaan, aku tidak menusuk atau menebas mereka, hanya memukul tengkuk hingga pingsan. Jika masih nakal juga, kupaksa mereka mencium perisaiku keras-keras. Sepertinya ada beberapa puluh di sisi tembok ini. Awalnya, aku khawatir akan membuat nyawa mereka keluar dari tempat yang semestinya. Tetapi Raqia memberitahu ---dengan berteriak--- bahwa Valkyrie Corps adalah sekumpulan wanita cantik yang tahan banting, jadi aku tak perlu ragu untuk menghajar telak mereka sebanyak dua tiga kali.
Masuk ke halamannya, sambutan makin meriah. Mereka menembaki kami berulang-ulang dengan membentuk formasi garis yang maju bergiliran. Terpaksa kali ini Raqia melancarkan Spatial Breaker jarak jauhnya ---yang ternyata dilatih bersamaan dengan Temporal Backslide---, menumbangkan lebih dari seratus sekaligus.
Rontok semua.
“A-Anu…permisi…” Begitulah yang diucapkan Athena ketika berjalan melalui para Elilim-class yang tergeletak itu. Sangat sopan.
Gerbang utama puri yang terbuat dari kayu sekarang sudah ada di hadapan kami. Raqia membukanya…
“Whoa, ada lagi.”, ujarnya.
Beberapa Elilim-class telah siaga di balik pintu utama, menodongkan musket.
“Sepertinya banyak juga musket yang diproduksi di sini, eh?”, komentar Plasma.
Segera kuaktifkan Warp Drive lalu membelah senjata-senjata mereka. Berhubung yang ada di hadapanku hanya 12 orang, maka semuanya dapat kulakukan dengan cepat. Apalagi begitu melihat Raqia. Wajah mereka seperti melihat malaikat maut datang menjemput.
“Keluar.”
Hanya butuh satu kata dari Archangel mini itu. Merekapun terbang keluar dengan panik.
Plasma berkata, “Baiklah, sekarang kita ke bawah. Biblos ada di sana.”
Koridor-koridor menuju lantai bawah tidaklah terlalu sempit, bahkan kami bertiga dapat melaluinya dengan terbang berdampingan. Meski demikian, lorong tetaplah nampak gelap. Hanya ada obor-obor tergantung di tembok setiap jarak beberapa meter. Terus diarahkan oleh Plasma hingga beberapa menit kemudian ---sambil ‘mendidik’ setiap Elilim-class yang kami temui---, tibalah kami di sebuah pintu kayu besar. Raqia menendang keras-keras pintunya hingga lepas dari kusen.
“Bisakah kamu membukanya lebih lembut?”, kataku, memukul pelan kepala Raqia.
“Maaf, keterusan.” Dia tersenyum kecil, menujulurkan lidahnya sedikit, sambil menggaruk-garuk kepala.
Dan…wow. Benda macam apa itu yang ada di tengah-tengah ruangan? Apakah itu yang disebut Catastrophic Weatherphaser?
Cukup sulit menggambarkannya dengan kosakata jaman ini, apalagi tak ada suara di kepalaku. Yang jelas, ada suatu benda berbentuk silinder berwarna perak keabu-abuan setinggi tubuhku, namun diameternya sekitar 3 kali lipatnya. Di atasnya terpasang sebuah kubah ---mungkin dari kaca--- berwarna hijau transparan. Pada tiga titik di tepi silinder ada platform setinggi perutku dengan tombol-tombol dan layar bening entah apa fungsinya. Ketiganya terpisah sangat teratur, berbeda jarak 120 derajat tiap platform-nya. Ada juga dua buah pipa keluar dari sisi bawahnya pada arah yang bertolak belakang.
Kupanggil mereka, karena tak kulihat keduanya berada di ruangan sementara Plasma jelas memberitahu bahwa mereka ada di sini. “Biblos!! Glaukos!! Keluarlah!! Ini kami!!”
Keduanya muncul dari celah dekat langit-langit sebelah kiri.
“Akhirnya.”, ujar Glaukos lega. “Kupikir ada musuh lagi yang datang.”
“Sykurlah…”, sahut partner bukuku. “Kukira siapa. Sejak tadi banyak yang berseliweran di koridor. Beberapa juga memeriksa ke dalam. Untung saja ada lubang itu, jadinya kami sembunyi saja.”
“Bagaimana dengan Tselemiel?”, tanya Raqia dengan cepat.
“Ada di atas.”, jawab Biblos. “Kami belum periksa, karena tadi banyak sekali Elilim-class. Kalau ketahuan kan bisa bahaya. Aku mungkin tak bisa mati, tapi Glaukos…aku tidak rela jika dia dijadikan burung panggang oleh mereka.”
“Well, I think it’s a good idea.”, kata Plasma. Disambung dengan pertanyaan, “Dan kenapa belum kamu matikan mesinnya?”
“Aku tidak berani. Dua pipa itu…terlalu mencurigakan. Siapa tahu disambung pada *** atau senjata aneh-aneh.”
“Hmm…benar juga. Apalagi dengan adanya Inferna, kita harus sangat berhati-hati. Bisa jadi dia memang memasang jebakan di mesin ini. Baiklah. Da’ath, coba taruh tanganmu di situ.”
“Begini?” Kuletakkan telapak kiriku.
“Yap, begitu.”, Plasma mengiyakan. “Biblos, coba kembali hack sistemnya.”
Telapak kiriku memancarkan cahaya. Biblos sendiri melemparkan deretan huruf-angka-simbol ke mesin.
“Pipa yang satu sepertinya keluar, mungkin berisi kabel yang terhubung ke antena atau pemancar. Logikanya, pengendali cuaca seperti ini membutuhkan alat eksternal untuk mengirim sinyal pada atmosfer agar cuacanya berubah.”
“Yang satunya?”, tanyaku.
“Jamming signal-nya terlalu kuat. Tak bisa kutembus meski berdua dengan Biblos.”
“Bagaimana dengan sumber energinya? Bahan bakar, maksudku.”
“Hei, ada benarnya juga pikiranmu itu, Da’ath. Yang satu itu…mungkin ke sumber energinya. Ini bukan Divine Technology, jadi masih membutuhkan asupan energi dari luar. Dan wajar jika ditutup dengan keamanan berlapis.”
“Kenapa tidak diledakkan saja sih? Kan semuanya langsung beres.”, sahut Raqia.
“Ti. Dak. Bo. Leh.” Kusentil dahinya. “Ruangan ini tidaklah besar dan terletak di bawah puri. Meledakkannya bisa jadi meruntuhkan ruangan, membuat fondasi tidak stabil, dan…dhuar. Purinya ikut hancur. Apalagi kalau kamu yang melakukan.”
Plasma menyelak, “Daripada diledakkan, coba kamu sentuhkan Energy Blade pada mesin. Di mana saja.”
Nah, kalau itu sepertinya tidak berbahaya. Kusentuhkan ujung Energy Blade pada sisi yang dekat denganku.
“Sudah. Lalu?”
“Katakan Atmosphere Freezer.”
Maka kulakukan. Dan…
Beku.
Seluruh permukaan mesin diselimuti es. Instan. Lima detik setelahnya, terdengar suara seperti retakan. Jalur-jalur retakan mulai terbentuk pada es, dan…runtuh. Semua komponen mesin, mulai dari bagian terluar hingga terdalam, hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan. Kecuali Plasma dan Biblos, semuanya terkagum. Namun yang paling penasaran sudah jelas adalah Raqia.
“Bagaimana bisa demikian?!” Dia terdengar begitu bersemangat.
“Semua materi akan rapuh jika melewati batas suhu tertentu, menjadi mudah hancur. Bahkan logam yang kuat seperti baja pun dapat berubah menjadi kepingan. Atmosphere Freezer mampu melakukan hal itu, membekukan materi mendekati nol mutlak. Jelas, kebanyakan bahan yang umum ditemui takkan sanggup bertahan.”
Tanpa api, tanpa ledakan. Tanpa getaran, tanpa ada yang runtuh. Mesinnya berhasil dibereskan dengan sangat rapi.
Tetapi…
Biblos menyelak, “Tunggu. Ada apa ini?”
Yang lain, termasuk diriku, hanya bisa saling memandang kebingungan.
“Lantai atas…aku mendeteksi instabilitas ruang-waktu!!”, serunya.
Tadi hanya terdiam, sekarang Plasma angkat bicara. “Astaga. Kamu benar!! Dan asalnya dari ruangan tempat Yang Mulia Tselemiel berada!!!!”
Semua tercengang. Apalagi diriku.
“Glaukos, cepat naik ke punggungku!! Kita terbang ke atas dengan kecepatan penuh!! Kalian juga!! Ini darurat!!” Biblos terdengar panik.
Segera kami terbang mengikutinya secepat mungkin. Dan karena terlalu cepat pula, aku tak bisa mengingat jalan dari bawah hingga ke atas sini. Namun sepertinya ini lantai kedua teratas. Hingga lagi-lagi pintu kayu besar. Kali ini aku tidak protes meski Raqia membukanya dengan jauh lebih kasar.
Cincin.
Maksudku, gerbang seperti cincin. Itu…
“Portal?!”
Karena bentuknya unik, wujud benda itu masih menempel dengan baik di ingatanku. Apalagi caraku menemukannya pertama kali sangatlah spektakuler, pergi ke Golden Arrow dan Bulan. Dan satu hal yang berbeda. Bukan lapisan keperakan yang ada di sisi dalam cincin, namun…hitam. Pekat. Layaknya langit tanpa benda penerang.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah…
…Tselemiel.
Sang Archangel keenam duduk pada kursi keabu-abuan di belakang portal, berpakaian sederhana berwarna serba hitam. Kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya dipasangi kabel-kabel yang tersambung ke gerbang di depannya. Duduk, diam, kaku. Nampaknya dia tak sadarkan diri.
“Yang Mulia!!!! Yang Mulia Tselemiel!!!!”, panggil Athena. Dia terlihat seperti ingin menangis dan berlari untuk membebaskan pimpinannya itu.
“Tunggu dulu, nona Athena.”, cegah Plasma. “Segala sesuatu yang terpasang pada Yang Mulia Tselemiel tak boleh dicabut sembarangan. Belum diselidiki fungsinya.”
Misalnya, seperti sistem kalung yang terpasang di leher Atra. Dan jelas sekali ini bukan perbuatan Brynhilde ataupun anggota Valkyrie Corps lainnya. Hanya ketiga Nephilim dan, mungkin, ayah mereka yang mampu melakukannya.
Seakan panik, Biblos terus-menerus melemparkan deretan huruf-angka-simbol pada portal.
“AAAAAAHHHH!!”, teriak Biblos, terdengar stress. “Ini gila!! Sistem antara sumber, portal, dan Archangel Core tidak bisa diputus salah satu begitu saja!!”
“Tidak bisa dimatikan?”, tanyaku.
Plasma menjawab, “Sayangnya tidak. Sama seperti Biblos, dari balik portal…aku merasakan kekacauan. Chaos. Segala vektor dimensional yang tidak ikut dibentuk menjadi frame alam semesta yang sekarang, ada di sana. Minimal ada enam dimensi. Yang artinya, jika kamu masuk ke dalam…”
Biblos menimpali, “Hancur. Tubuhmu hanya dirancang untuk dapat aktif dan bekerja pada empat dimensi. Tiga ruang, satu waktu. Dan kalau sumber kita matikan paksa, menghancurkan portalnya, atau mencabut apapun yang terpasang pada Yang Mulia Tselemiel, dimensi berlebih itu akan bercampur baur dengan alam semesta ini. Kondisi pun akan berubah menjadi sama sebelum Tuhan menciptakan alam semesta.”
“Tapi untuk apa mereka memodifikasi portal sedemikian rupa untuk melakukan hal itu? Ah, tidak bisa kumengerti.”
“Apapun itu, kita sudah termakan jebakan mentah-mentah.”, ujar Biblos, terdengar berat tak lagi ceria. “Dia pasti sudah mengira kalau kita akan mencurigai satu pipa lagi sebagai akses ke sumber energi. Yang ternyata…saklar otomatis. Jika kita matikan mesin cuaca itu, maka portalnya akan aktif. Apalagi tidak kudeteksi keanehan pada Archangel Core…”
Kondisi ini membuat Raqia ikut gugup. Diapun bertanya pelan, “Jadi…sama sekali mustahil untuk ditutup?”
Apalagi diriku. Jujur saja, aku tak bisa tenang.
“Ayolah!! Kalian pasti bisa melakukan sesuatu!!” Bahkan suarakupun sedikit gemetar.
Biblos menghadapkan sampul depannya padaku. “Sebenarnya ada… tapi---“
“Kalau begitu cepat lakukan!!!!” Athena berteriak.
Glaukos berusaha menenangkan. “Athena, sabarlah.”
“Tidak!!!! BIBLOS, CEPAT LAKUKAN JIKA MEMANG BISA…!!!!!”
Karena emosi, ditambah tadi sudah beberapa kali menelan serangan Brynhilde, pijakannya pun goyah. Berlutut lemas, berlinang air mata. Tombak dan perisainya dibiarkan tergeletak di lantai.
“K-Kumohon… aku mohon dengan sangat…”
“Plasma, apa harus kuberitahu?”, tanya Biblos, masih terdengar lemah.
“Tidak ada jalan lain.”, jawab partner kalengku itu dengan nada datar.
“Divine Energy.”, ujar Biblos. “Dalam kondisi seperti ini, memang tidak ada yang bisa dimatikan paksa atau dihancurkan. Tapi…portal tetap dapat ditutup dengan prosedur normal. Hanya saja karena terhubung pada dimensi lain, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang mampu menutupnya, hanya Divine Energy saja yang bisa. Dan satu-satunya cara menggunakan Divine Energy pada benda lain adalah ‘membocorkan’ energi tersebut dari ‘wadah’ yang menampungnya. Jadi…”
“Tunggu.”, sahutku. “Jangan bilang kalau ada yang harus mengorbankan diri?!”
“Mmm…begitulah, Da’ath. Apa aku saja ya? Mungkin---“
“Dan membiarkan apa yang tersegel di dunia ini tak bisa dibuka untuk selamanya?”, Raqia menyelak.
Jangan bilang kalau dia…
“Tidak. Kamu dan Plasma harus tetap hidup. Tselemiel juga, dia tidak boleh mati. Avodah bisa kacau balau nanti.”
“Raqia, stop. Aku tidak rela jika kamu---“
“Da’ath…”, panggilnya dengan lembut. “Tolonglah, ini tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Maksudku, aku ini Archangel. Bukankah memang sudah tugasku untuk melindungi semuanya? Lagipula Shamayim tidaklah seperti Avodah. Kotaku selalu aman, makmur, penduduknya pun bahagia. Aku yakin mereka mau jika diperintah olehmu.”
“Kamu bersikap tenang di saat yang tidak tepat.”
Aku tidak mengerti. Perasanku benar-benar sedih, hancur. Namun entah kenapa ujung-ujung bibirku naik. Tersenyum.
“Kamu sendiri seperti anak kecil di waktu yang begini.”
Nada bicara Raqia terdengar biasa saja. Tetap tenang. Tapi aku merasa kalau hatinya sudah menangis.
“Haaaahhh…”
Glaukos menghela nafas panjang, mengalihkan perhatian kami semua padanya.
“Kalian lupa jika di sini ada satu lagi yang memiliki Divine Energy?”
Dan jelas sekali yang dimaksud adalah dirinya sendiri.
“Aku tidak bisa.”, ujar Biblos, berputar bolak-balik seperti seseorang yang menggelengkan kepala.
“Jangan egois, temanku. Jika dipikir baik-baik, hanya aku yang memiliki resiko paling kecil. Mengorbankan Archangel akan membuat keseimbangan dunia ini rusak lebih jauh. Kamu dan Plasma juga tak mungkin, karena benar yang dikatakan Yang Mulia Raqia.”
“Tidak, Glaukos. Pokoknya tidak boleh!!!!” Tangis Athena makin menjadi.
“Athena.”
“POKOKNYA TIDAK!!!!”
“ATHENA!!!!!!!”
Teriakan Glaukos membuat dadaku sedikit terpukul. Seketika kesunyian tercipta. Bahkan suara angin dari luar pintupun dapat kudengar.
“Tapi…t-tapi…”
“Biblos, Plasma, cepat jalankan prosedurnya.”
Tunggu. Apa tadi aku mendengar suara…angin? Bukankah badai saljunya sudah berhenti? Jika masih, wajar kalau kudengar suara itu. Tapi…
“Ketemu juga akhirnya.” Sosok seseorang berdiri dan bersandar di palang pintu.
Brynhilde!! Jadi yang kudengar tadi adalah sayapnya?!
Suasana makin kacau dengan kehadiran Inferna dan Atra. Keduanya muncul dari lingkaran hitam, dari sisi kiri dan kanan kami.
“Cepat jalankan!!!!”, seru Glaukos.
Inferna segera menerjang. Kedua tangannya sudah berada dalam mode pedang. “MATILAH KALIAN!!!!”
Dengan gesit, Raqia menahannya. “Kenapa tidak dirimu saja, hah??!!”
“Atra!!!!”
Atra segera menyerangku setelah seruan Inferna mengubah warna lampu pada kalungnya dari hijau menjadi merah. Aneh, dia sedikit goyah saat maju selangkah sebelum menyerang. Masih tanpa ekspresi.
Tepat waktu kuposisikan perisaiku. Mata sabitnya berhasil kutahan. Tak kusia-siakan kesempatan itu untuk menggunakan Warp Drive, berpindah ke belakangnya selagi perhatiannya teralih.
“Maaf, Atra.” Kuucapkan itu, benar-benar menyesal. Sebenarnya tak sedikitpun ingin kulukai dirinya, tapi…
Kupukul keras-keras tengkuknya. Tubuhnya langsung ambruk, tetapi hanya untuk 1 detik. Dia segera berbalik dan mengayunkan sabitnya. Akupun melompat mundur untuk menghindari jangkauannya.
“ATHENAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!”
Teriakan Brynhilde begitu menggelegar. Sambil melesat, ujung Gungnir diarahkan tepat pada adiknya itu. Athena masih belum terlalu sigap sehingga dia menahannya dengan perisai, tak sempat balas menyerang.
Fatal.
*BHUUUUUMMMMMMMMM*
Meski ledakannya tak seberapa, namun asapnya sudah cukup untuk membuat Angel-class berambut coklat itu makin lengah, menutup mulut agar tidak menghirupnya. Glaukos dan Biblos terhempas hingga dekat portal. Atra juga tidak jadi melesat menyerangku.
“BIBLOS!! CEPATLAH!! INI DARURAT!!!!”, teriak burung hantu itu.
Kali ini tidak ada pertanyaan lagi dari Biblos.
“Tidak perlu dibantu Plasma?!”
“Tidak usah.”, jawab Biblos. “Cepat pindah ke belakangku.”
Apa yang dilakukan Biblos belum pernah kulihat sebelumnya. Ketika membuka diri, hembusan angin yang begitu kuat menyeruak di ruangan ini. Inferna, yang kukira dapat bertahan, ternyata tak mampu juga untuk terus bergerak. Bahkan tak ada satupun dari kami yang sanggup. Begitu kerasnya hingga menghempaskan beberapa benda lain di ruangan ini seperti obor dan karpet, ke luar ruangan. Aku sendiri harus bertumpu pada Energy Blade yang kutancapkan ke lantai. Semua juga bertumpu pada senjatanya masing-masing. Hanya Glaukos, yang berada di belakang Biblos, yang tidak bergeming. Mungkin angin hanya bertiup ke arah depan partner bukuku itu.
“Senang berkenalan denganmu. Terima kasih ya untuk beberapa hari belakangan.”, ujar Biblos. Dengan jelas kudengar karena hembusan angin membawa suaranya itu pada arah yang tepat melewati telingaku.
“Maaf juga kalau aku merepotkan, dan tidak banyak berguna.”
“Ahaha… tidak apa-apa kok. Oh ya, jangan lupa pamit pada Athena.”
“Athenaaaaaa!!!!”, teriak burung hantu itu. “Terima kasih untuk segalanyaaaa!!!!”
Aku tak bisa mendengar apa balasan Athena. Mungkin arah anginnya berbeda, membawa kata-kata ke arah lain. Hanya bibirnya saja bergerak-gerak. Itupun tak mungkin kuperhatikan terlalu lama karena aku juga harus melindungi mataku dari hembusan angin.
Seketika cahaya keemasan yang amat terang bersinar, begitu menyilaukan. Barangkali prosedurnya sedang dijalankan. Aku hanya dapat menerka karena angin dan cahaya ini mengunci gerakan dan indera semua orang yang ada di ruangan.
“Maaf, Athena. Maafkan aku.”
Hanya itu yang dikatakan Biblos setelah segalanya berakhir. Di belakangnya, aku melihat seonggok daging yang tercabik-cabik. Tak berbentuk. Lengkap dengan beberapa bulu burung berwarna putih layaknya salju bertebaran di sekitarnya. Ketika kulihat ke arah buku hidup itu, darah mewarnai sampulnya. Tetes demi tetes membasahi lantai.
Namun satu hal, lapisan hitam pada sisi dalam portal telah lenyap. Hanya ada bingkai logam tiga perempat cincin yang sudah non-aktif. Kosong.
Artinya, prosedur berhasil.
Spoiler untuk Tehillim 33 :
================================================
Tehillim 33: Ice, Iron, Intelligence Part VI ~ The Sisters’ Fate
================================================
“Tidak… apa-apa… Biblos. Bukan kamu…”
Athena bangkit berdiri, bersuara lemah. Dan entah kenapa, Brynhilde nampak begitu lelah. Padahal belum ada satupun serangan dari siapapun yang mengenai dirinya.
“ATRA!!!! CEPAT---“
“JANGAN BANYAK OMOOOONNNGGG!!!!”
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Inferna dihempaskan oleh Raqia ke tembok. Kulihat juga butir-butir perak itu sudah mengelilingi Raqia.
Namun terlambat. Sepertinya hanya dengan menyebut nama, Atra akan bergerak. Seperti sekarang. Tetapi dirinya juga aneh, nampak tak stabil pada awal serangan, bahkan ada jeda 2 detik antara perintah kakaknya dan gerakan kakinya. Apa mungkin dia dan juga Brynhilde terluka?
Sayapnya mengepak kuat, tetapi setelah itu, gerakan Atra makin tak terkoordinasi dan melambat. Bahkan tanpa perlu usaha keras dapat kuraih gagang sabitnya, kemudian melemparnya jauh-jauh. Kuaktifkan Atmosphere Freezer ---dengan suhu yang tidak segila tadi, tentunya---, lalu membekukan kakinya pada lantai. Segera saja kudekap tubuhnya. Semua usahanya untuk melepaskan diri sia-sia saja, karena tenaganya sudah lemah. Sekali lagi, apa yang kurasakan terhadap Atra berbeda dengan perasaan cintaku pada Raqia. Semua karena belas kasihan semata.
“Atra, sudah. Cukup. Aku tahu kamu lelah. Tenanglah, Da’ath onii-sama ada di sini.”, bisikku di telinga kanannya.
Ajaib. Kata-kataku membuat dirinya berhenti berontak. Cahaya kecil di kalungnya berubah hijau. Keseimbangannya goyah, lalu berlutut lemas di lantai. Aku bisa sedikit bernafas lega. Kukikis es di kakinya dengan Energy Blade mode normal, kemudian kusandarkan dirinya di tembok. Matanya terpejam. Tertidur, mungkin?
Sementara itu, tanpa ampun Raqia mengayunkan pedangnya, membuat tebasan dari bahu kanan hingga perut kiri Inferna. Semburan darah pun membasahi armornya. Segera Raqia meninju perut terluka Nephilim itu, dan menghempaskannya ke tembok.
“AAAAAAAAAAAHHHHHHH!!!!” Inferna meraung keras ketika tubuhnya menabrak tembok, menciptakan cekungan di situ.
Gilanya lagi, Raqia menginjak bagian bawah leher Nephilim berambut hitam itu meski hanya sebentar. Noda gelap terpercik ke boot logamnya. Darah. Tak kudapati lagi gerakan tubuh Inferna setelahnya. Matikah? Atau hanya pingsan? Jujur saja, aku merasa ngeri melihatnya. Tak kusangka Raqia punya sifat demikian. Aku tahu kadang dia bisa kasar ---meski kebanyakan hanya karena rasa malunya---, namun… ini benar-benar seperti seorang algojo. Tanpa ampun menghukum siapapun yang melanggar peraturan. Kuharap Inferna tidak benar-benar mati, karena akan lebih baik jika dia bicara banyak dan mengungkap semuanya.
“SEMUANYA SALAH SI BRENGSEK ITU!!!!!”
Teriakan Athena sangat keras, mengalihkan pandanganku ke arahnya. Tombak dan perisai sudah siap di genggaman. Diselimuti amarah, dengan liar dia melakukan serangan. Sorot matanya bagaikan tsunami yang siap menghancurkan apapun yang ada di depannya. Dan kali ini aku sangat yakin kalau Brynhilde cedera, karena gerakannya sudah tak segesit tadi. Tapi kapan? Kapan hal itu terjadi? Sebelum kulancarkan Frost Column, dia masih cukup lincah. Ataukah salah satu pilar melukai dirinya ketika runtuh?
Satu hal pernah dikatakan Tselemiel beberapa hari lalu. Athena…sangat berbahaya jika sudah marah seperti itu. Telinganya seperti disumpal 7 lapis tembok besi. Tak satupun kata-kata yang akan dihiraukannya. Dan itu benar. Bahkan teriakanku dan Raqia pun diacuhkannya.
Sayang sekali Biblos tergeletak di lantai, tak sadarkan diri. Padahal Plasma berkata bahwa dia punya sesuatu yang bisa mengikat Athena dan Brynhilde.
“Sial. Kalau begini akupun tak bisa membangunkannya. Dia depresi berat. Sama seperti Archangel Core, sistemnya akan mati otomatis jika mengalami hal itu.”
Raqia berteriak, “Kalian berdua, hentikan!!!! Athena, bukankah kamu ingin bicara---“
*BHUMMMMMMMMM*
Ujung Gungnir menghantam perisai. Langit-langit menjatuhkan beberapa batu kecil.
Kembali Raqia berseru, “STOP!! KALIAN BERDUA STOP!!!! Tempat ini bisa runtuh!!!!”
Tidak ada yang mendengarkan. Keduanya terus beradu senjata seperti kesetanan. Semuanya berlangsung cepat. Seperti ada dua kilatan cahaya yang saling serang. Kualihkan pandangan ke arah Tselemiel, karena aku takut ada reruntuhan atau benda lain melukai tubuhnya.
Tunggu. Tselemiel…mulai bergerak?
“Tselemiel!! HEI SADARLAAAHHH!!!!” Kuberteriak sekeras-kerasnya. Aku yakin hanya Venerable Humanist yang bisa menghentikan kakak-beradik itu.
Tapi…belum. Dia belum sadar sepenuhnya. Hanya sedikit gerakan tangannya yang tadi tertangkap pandangan.
Ah sudalah. Kuharap Inferna tetap tak sadarkan diri sebelum keduanya berhasil dihentikan. Aku tak mau dia membuat Atra terbangun dan kembali menggila.
“Plasma, bagaimana? Apa Tselemiel sudah bisa dilepaskan?”
“Tentu. Portalnya sudah mati secara normal.”
“Raqia!! Cepat bangunkan Tselemiel!!”, teriakku. Dia mengangguk. Kuharap dia bisa membuat Archangel keenam itu terbangun.
Sekarang lebih baik kuhentikan dua saudari itu sebelum mereka benar-benar saling bunuh.
Sayangnya, Warp Drive kuaktifkan pada tempo yang kurang tepat. Ledakan terjadi tak jauh dari batang hidungku, membuatku harus mengalihkan pandangan sesaat. Konsentrasiku juga buyar sesaat karenanya.
Tak sempat kulihat apa yang terjadi akibat adanya ledakan, sekarang keduanya sudah berada pada pojok ruangan, sebelah kiri bawahku. Brynhilde terpojok. Gungnirnya terlepas dari genggaman, cukup jauh pula. Athena berhasil membalik keadaan.
“PERGILAH KE NERAKAAAA!!!!!!”
Argh!! Dia sudah ingin melemparkan tombaknya ke wajah Brynhilde!!!!
“Warp---“
……
……
…meleset? Dari jarak sedekat itu?
Perlahan kudekati keduanya. Tidak, ternyata bukan karena meleset. Athena sengaja, sehingga tombaknya hanya tertancap beberapa sentimeter di sebelah kiri kepala kakaknya itu.
Dia menangis.
Genggamannya melemah. Perisai perunggunya itupun jatuh disertai bunyi keras. Pijakannya goyah. Diapun berlutut lemas di lantai.
“Dulu Yang Mulia… sekarang Glaukos…”
Permukaan lantai mulai dilukis oleh titik-titik air mata.
“Apalagi… apalagi yang ingin kamu ambil dariku…?”
Mulut Brynhilde terkunci. Dia tak berani menatap Athena.
“Apalagi, Brynhilde??!! Aku tahu kamu belum puas!!!! Sekalian bunuh saja diriku---“
“Diam. Aku tak butuh nyawamu.”, jawabnya dingin.
“Lalu kenapa?! Kenapa kamu begitu egois dengan mengambil semuanya?! Apa hanya karena rasa hausmu akan pengetahuan, kamu berlaku seperti itu??!!”
Tangan kanan pimpinan Valkyrie Corps itupun mendarat di pipi Athena. Menamparnya keras-keras. Kali ini dia terlihat marah.
“TUTUP MULUTMU!!!! Apa hakmu berkata seperti itu?!”
“Karena aku tahu itu bukan alasanmu yang sebenarnya!!!!!!”
Elilim-class berambut putih salju itu kembali terdiam. Bibirnya kelu. Matanya terbelalak. Kata-kata Athena seakan membangkitkan sesuatu yang tak ingin diingatnya lagi.
Masih berurai air mata, Athena melanjutkan, “Tentu saja… tentu saja itu mustahil. Suara itu muncul seratus tahun yang lalu, sementara kamu pergi begitu saja tiga ratus tahun sebelumnya…”
Ah, kalau sudah begini, mau menyela pun aku tidak bisa.
“Kumohon… katakan apa alasanmu sebenarnya…” Diraihnya tangan kakaknya itu. “Aku ingin kamu kembali… aku ingin membicarakan semuanya baik-baik seperti layaknya seorang saudara…”
Tunggu. Sepertinya aku bisa tebak…
“Brynhilde.”, kupanggil dirinya. “Katakan saja.”
“Jika Crusader-Saint sendiri yang sudah memerintahkan…baiklah.”
Wow. Dia sudah tahu kalau aku Crusader-Saint. Mungkinkah Inferna yang memberitahu?
“Karena… pada awalnya, aku juga mencintai Yang Mulia. Dia pernah mengungkapkan keinginannya untuk menikahiku seandainya Crusader-Saint sudah kembali.”
Sebuah pengakuan yang tidak dibuat-buat. Sorot matanya bicara jujur. Kukira Athena juga bisa menebaknya, ternyata tidak. Dia membatu sejenak.
“T-Tapi, bukankah waktu itu kamu bilang…”
“Sudah kubilang, pada awalnya. Tapi tidak lagi karena aku sangat muak dengan satu sifatnya. Dan semua anggota Valkyrie Corps juga berpendapat sama denganku.”
“Jangan bicara sembarangan!! Yang Mulia tidak mungkin---“
Seketika Brynhilde memotong, “Tetap dekat dengan banyak wanita, padahal sudah mengatakan perasaan cinta pada satu orang, apa itu bisa dibenarkan?!”
Kutengok ke arah Raqia, ternyata masih mencabut beberapa kabel lagi yang terpasang. Aku jadi ingat malam itu… ternyata memang aku yang salah. Baiklah, sepertinya aku juga tidak boleh terlalu akrab dengan terlalu banyak perempuan. Kalaupun terpaksa, akan kuceritakan pada Raqia.
“Apa kamu tahu kalau SEMUA anggota Valkyrie Corps juga menyimpan perasaan yang sama? Dan si playboy yang satu itu terus saja merayu dan menggombal pada semuanya!! Memang, dia tidak pernah melakukan perilaku immoral. Mencium bibir seorang perempuan pun belum pernah. Aku dan kamu sama-sama tahu hal itu. Tapi tetap saja!! Kelakuan semacam itu… menjijikkan. Memberi harapan palsu untuk semua!! Aku ingin muntah jika mengingatnya lagi!! Dan kamu, bisa-bisanya mencintai orang semacam itu?!”
“Mau bagaimana lagi… sudah terlanjur. Perasaanku tidak mungkin kubuang begitu saja.”
“Ah…begitu. Tapi kudengar kamu juga ikut-ikutan menjadi Elilim-class!! Seorang bawahanku sempat memberitahukan hal itu sekitar dua ratusan tahun lalu. Jelas saja aku benar-benar marah ketika mendengar hal tersebut, dan bersumpah akan memukuli bokongmu jika batang hidungmu nampak!! Argh, ayah dan ibu bisa gila mendengar ini semua!!”
“Uuuhh…maaf…” Athena tertunduk lesu. “Aku tidak mau lagi dipukul di situ…”
“Tidak. Kamu harus dihukum kalau kita pulang. Dan sialnya lagi ketiga Nephilim itu ikut memperkeruh suasana setelah suara itu menghipnotis diriku!! Yang satu sih lumayan, aku cukup suka gayanya. Kuat, berani, dan terhormat. Tak berbeda jauh dengan anggota Valkyrie Corps lainnya. Tapi yang setengah kaleng itu, astaga!! Kadang kelakuannya tak manusiawi!! Aku heran kenapa bisa kuturuti saja perintahnya mulai dari memproduksi senjata hingga menghasut Yang Mulia supaya mau ke benteng Valhalla ini. Lalu yang kecil itu juga, bawel sekali!! Untung saja kalian datang. Kalau tidak mungkin aku bisa makin *******!!”
Tidak kusangka Brynhilde cukup cerewet bahkan berganti topik terus menerus. Jika diam dan tenang, dia nampak begitu indah, anggun, dan juga kuat. Jika seperti ini, dia lebih mirip ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya, dengan rentetan kata-kata serupa air terjun.
Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka, karena sekarang kelakuan keduanya lebih mirip seperti kakak beradik yang sedang beradu argumen di rumah.
“Tapi yah… ya sudahlah. Semuanya sudah lewat, dan tidak ada gunanya lagi untuk terlalu diingat-ingat. Dan kalau cintamu memang begitu besar, akupun tidak bisa menghentikan. Dia buatmu saja. Toh aku juga sudah tak menaruh perasaan apapun padanya.”
Terdiam sesaat, seperti menyadari sesuatu. Dia melanjutkan.
“Tunggu. Crusader-Saint sudah kembali. Artinya, aturan itu---“
“Sudah tidak ada, kak.”
Brynhilde sempat terkejut mendengar sebutan itu. Pasti sudah 400 tahun tak didengarnya.
“Aturannya memang sudah tidak ada lagi. Benar begitu?” Athena tersenyum padaku.
“Hmm. Benar sekali.”, jawabku bangga. “Sudah kuhapus.”
“Ah…ya. Anda memang berhak mengubahnya. Tapi untuk tujuan apa aturannya dihapuskan?”
“Mmm… itu…”
Duh. Aku agak malu menjawabnya.
“Si brengsek itu bernafsu sekali ingin menikahiku.”, jawab Raqia, berjalan kemari sambil memapah Tselemiel yang masih terlihat lemah.
“Astaga. Kenapa banyak darah begitu…” Kulihat noda darah di armor, sepatu boot, dan sedikit di rambut.
“Nanti juga kubersihkan kok.”
“Bagaimana jika kubantu?”
“Kamu lihat? Nafsunya begitu luar biasa sampai-sampai menawarkan diri untuk mandi denganku.”, katanya pada Elilim-class berambut putih itu.
Bukannya tersenyum atau tertawa, malah raut ketakutan yang terbentuk di wajah Brynhilde ketika kedua Archangel itu mendekat.
“Sudah, tidak usah takut. Aku tidak berhak menghukum dirimu. Jika ingin bicara, bicaralah.”
“D-Dan hanya karena hal itu, Yang Mulia Raqia, Anda setuju jika aturannya dihapus? Seingat saya, Anda dan Yang Mulia Uriel adalah yang paling mendukung aturan itu.”
Lidah Raqia langsung kaku. Wajahnya merah.
“Well, sebenarnya Raqia juga---“
“PLASMA!! Tutup mulutmu!!!!”
“Aaaa… oke, oke.”
Athena tertawa kecil mendengarnya. Tentu saja karena dia sudah tahu lanjutannya.
Sekarang Tselemiel yang angkat bicara. “J-Jadi… begitu. Maaf, Brynhilde. A-Aku tidak pernah menyadarinya.”
Brynhilde bangkit berdiri perlahan, lalu berjalan menghampiri Tselemiel.
*PLAAAAKKKK*
Ditamparnya sang Archangel keenam. Ternyata yang satu ini juga senang menampar orang. Astaga.
“Itu untuk kelakuan Anda yang brengsek. Dan…”
O-Ow. Dia mencium bibir Tselemiel!! Memang tidak begitu lama, namun itu sudah berhasil membuat Athena berdiri dengan cepat.
“…terima kasih untuk pernyataan cinta Anda waktu itu. Tapi maaf, aku tidak bisa. Semua perasaanku terhadap Anda sudah hilang. Sekarang ada seseorang yang sangat mencintai Anda, yaitu adikku sendiri. Jadi, mulai sekarang tolong jaga Athena baik-baik, Yang Mulia.”
“K-K-K-Kakaaaaakkkkkk!!!!”, teriak Athena.
“Maaf, adikku sayang. Tapi first kiss-nya tetap harus untuk yang lebih tua.” Diapun tersenyum licik.
Athena tidak lagi marah seperti tadi, hanya perasaan kesal yang dilampiaskan dengan ekspresi setengah manja.
“Baiklah, sepertinya kita bisa pulang sekarang.” Kakiku melangkah ke tempat Biblos tergeletak. “Akan kuambil Biblos---“
Tidak. Ini tidak mungkin.
Inferna…masih bisa berdiri??!! Ini gila!! Kukira dia nyaris mati setelah menelan serangan Raqia bertubi-tubi!!
“CECUNGUK BEDEBAH!! MAU KE MANA KALIAN??!!”, teriaknya, amat sangat marah.
Semua langsung siaga.
“ATRA!!!! CEREBRAL OVERDRIVE!!!!!”
Bagaikan ditarik senar-senar dari langit-langit, Atra kembali bergerak. Tak sempat kulihat secara pasti apa yang terjadi satu hingga dua detik setelahnya. Yang jelas rantai hitam segera melilit dan membanting tubuhku ke tembok, hingga batu-batunya hancur dan berlubang. Terjadi sangat cepat. Aku terhempas ke koridor luar ruangan. Seketika seperti ada angin ribut berkecamuk dalam otakku, terasa begitu pusing. Aku juga…sudah sangat lelah. Ingin bangun saja rasanya sulit sekali.
Rentetan tembakan terdengar, gatling gun. Beberapa ledakan juga. Entah Gungnir, bola-bola hitam Atra, ataukah Phlegethon Bombard. Ketiganya terdengar sama saja. Ditambah ada suara batu jatuh cukup keras…sepertinya langit-langitnya makin rusak.
Belum juga seluruh debu akibat tembok yang hancur lenyap, Raqia terhempas, tepat menabrakku. Tak ayal, itu membuatku terpental makin jauh.
“S-Sial…”, Raqia mencoba bangkit, bertumpu pada pedang. Susah payah, aku juga berusaha berdiri dibantu olehnya.
“KAKAAAAAAAAAAAAK!!----“
Raqia mendadak kaku setelah teriakan itu terdengar. Itu…suara Athena?!
Tepat ketika berhasil kusandarkan diriku pada sisi tembok yang masih utuh…
“BRYNHILDE!! ATHENA!!!!”, teriak Raqia.
Mengerikan.
“N-Nephilim terkutuk…!!!!!!! AAAAAAAAAAAAGGGGHHHH!!!!!!!---”
Teriakan Brynhilde lenyap ketika Inferna makin dalam menekan Ereshkigal Blade kanannya pada punggung pimpinan Valkyrie Corps itu. Ujung senjata itu juga berhasil menembus tubuh Athena yang berada di depannya. Parahnya lagi, dari sisi yang berlawanan, Choshech Arcblade milik Atra melakukan hal yang sama, namun menusuk punggung Athena hingga menembus perut Brynhilde. Ini gila. Kedua senjata itu dengan mudah menembus logam biasa.
Tanpa pikir panjang Raqia melesat, siap menghajar Inferna. Sayang sekali gerakannya tertahan ketika kedua tangan Nephilim berubah menjadi Phlegethon Bombard, menembaki Raqia. Magen memang berhasil diaktifkan, namun itu berarti dia juga tak dapat melakukan apapun.
“Plasma…”
“Alright, buddy. Aku tahu.”
Tubuhku bergerak dengan sendirinya, seperti yang pernah Plasma lakukan sewaktu di kepulauan Yamato. Yep, kuserahkan kendali tubuhku padanya, kecuali gerakan tangan.
Mengetahui aku yang bergerak menyerang, Atra mencabut sabitnya dengan kasar. Kedua saudari itu langsung ambruk. Dan…kulihat jejak darah mengalir di mulut kecilnya. Apa mungkin yang disebut Cerebral Overdrive tadi membebani tubuh Atra?!
Ledakan belasan bola-bola hitam di sekitarku berbarengan dengan ayunan sabitnya. Untunglah Plasma memindahkanku ke atas, menjauhi area ledakan. Tapi…Inferna segera menembakiku berulang-ulang.
“JANGAN SAKITI DIA….!!!!!”, seru Raqia, begitu murka.
Dia sudah berada dekat Inferna. Namun, Atra berhasil menariknya dengan rantai dan melemparnya hingga menabrak tembok.
Inferna berkata, “Hmmph. Tidak ada gunanya lagi aku berada di sini.”
Ditendangnya Brynhilde.
“Sudah kubilang, jangan pernah melanggar perjanjian. Sekarang mati saja sana!! Ha… haha… HAHAHA… HAHAHAHAHAHA…!!!!!” Beberapa kali dia menginjak-injak Brynhilde sambil menyeringai puas. “Dan kamu!! Makhluk tidak tahu diri!! Malah menghasutnya untuk melanggar!! Kamu juga pantas mati!!!!” Sekarang, Athena yang diinjak-injak. Keduanya tak lagi sanggup melawan.
Atra mendekat pada kakaknya itu, memapahnya ---karena Inferna juga nampak lelah---, lalu mengaktifkan portal dimensional yang biasa digunakan Nephilim untuk pergi. Begitu lingkaran hitam muncul di lantai, Nephilim kecil itu batuk darah satu kali. Jelas sekali kalau perintah Inferna tadi memang berakibat buruk bagi dirinya.
“Ingat!! Aku akan membuat perhitungan atas luka ini!!!!”
Aku yakin yang dimaksudnya adalah luka akibat tebasan Raqia. Emosi, Raqia langsung bangkit tanpa menghiraukan puing-puing. Siap menyerang.
Namun…mereka pergi begitu saja. Lenyap bersama butiran-butiran hitam.
“A-A-Athena…!! B-Brynhilde…!!”
Teriakan lemah itu ternyata berasal dari Tselemiel, yang terhempas ke sisi tembok yang lain. Maka Plasma menggerakkan tubuhku untuk menghampirinya.
Kubantu dia berdiri. “Ada yang sakitkah?”
“S-Sedikit, di bahu kanan. Aku juga m-merasa tubuhku lelah sekali…” Sang Archangel keenam memang nampak kacau. Nafasnya juga terengah-engah.
Plasma menimpali, “Divine Energy dalam tubuhnya belum stabil, membuat Yang Mulia Tselemiel merasakan kelelahan yang amat sangat. Nampaknya Archangel Core telah dipaksa bekerja keras untuk membuka portal itu.”
Plasma menggerakkan diriku yang sedang memapah Tselemiel, melayang menghampiri Athena dan Brynhilde. Butir-butir keemasan terus keluar dari luka yang menganga pada tubuh keduanya.
“Maaf… aku… aku gagal. Aku tidak becus melindungi kalian…”, ujar Raqia lesu. Sekarang dirinya sudah berlutut dekat kepala kedua saudari itu.
Lagi-lagi dia menyembunyikan kesedihannya. Meski wajahnya nampak tegar, namun aku tahu, jika dia pergi menyendiri, tangisnya akan meledak kapan saja.
Brynhilde menjawab lemah, “T-T-Tidak apa-apa, Yang M-Mulia R---“
“Sudah, jangan memaksakan diri.” Dibelainya kedua saudari itu. “Jika sudah lelah, beristirahatlah.”
Sekarang giliran Tselemiel yang berlutut, tepat di sebelah kanan Raqia.
Archangel keenam itu berujar, “Maaf… ini salahku… a-aku…”
Kakak beradik itu berusaha menggapai Tselemiel, terlihat begitu lemah. Tak ada lagi tenaga yang dipunyai mereka. Sang Venerable Humanist meraih kedua tangan itu dengan lembut.
“Kumohon… maafkan aku… hanya karena ketololanku, semua jadi seperti ini…”
Tselemiel mulai menangis. Diletakkannya tangan kedua saudari itu pada dahinya.
Brynhilde tersenyum kecil. “L-Lihat sisi baiknya, Yang Mulia. S-Sekarang… kami berdua… sudah berbaikan…”
“Mmm…b-benar…”, jawab Athena. “K-Kakak… sepertinya… sudah waktunya ya…”
Sesaat Athena menoleh ke arahku. “D-Da…ath… terima kasih banyak… ya… ”
Brynhilde juga tersenyum sesaat padaku, seperti orang yang ingin pamit pulang.
Keduanya saling menatap. Butiran-butiran emas menyeruak dalam jumlah makin besar, menari-nari, membumbung ke langit-langit.
“M-Maaf, aku… sudah jadi kakak yang b-buruk…” Air mata pertama dan terakhir dari Brynhilde tertangkap pandanganku.
“A-Aku juga… kak… maaf…”
Keduanya saling memberi senyum terakhir, senyum terbaik mereka.
“N-nanti… akan kuperkenalkan… pada G-Glaukos…”
“Mmm… terima… kasih…”
Dua pasang biru laut itupun terpejam. Selamanya.
Perlahan tubuh keduanya makin hilang, terus berubah menjadi debu emas berkilauan. Sekejap, ruangan yang berantakan ini berubah menjadi panggung besar pertunjukan cahaya. Nampak begitu indah. Bola-bola kecil keemasan itu adalah keduanya yang menari bersama, bahagia dalam perjalanan menuju alam sana. Namun, segala keindahan ini dibayar dengan harga yang amat mahal. Dengan nyawa.
Entah apa yang menggerakkan diriku, namun kuraih tangan keduanya dari genggaman Tselemiel. Keduanya makin tak kasat mata. Matakupun terpejam. Berdoa.
Kumohon, ya Tuhan, aku mohon dengan sangat. Terimalah keduanya di sisi-Mu. Aku tahu aku tak berhak mengampuni dosa mereka, hanya Engkau yang berhak. Namun, aku merasa tak ada tempat yang pantas di neraka bagi mereka. Setidaknya…kasih yang mereka tunjukkan di saat-saat terakhir… tolongah, Tuhan. Lihatlah hal itu.
Sepasang bola emas menyertai akhir dari doaku. Mataku terus mengikuti gerakannya, hingga ke atas sana.
Keduanya seakan berkata, “Terima kasih banyak. Kami… benar-benar bahagia.”
Spoiler untuk Tehillim 34 :
================================================== ==
Tehillim 34: Ice, Iron, Intelligence Part VII ~ Archangels’…Failure?
================================================== ==
Salju tak lagi turun.
Keluar dari puri, langit biru cerah menyambut ceria. Udara hangat ini seakan tak mengerti akan tragisnya kematian yang baru kusaksikan.
Selain Catastrophic Weatherphaser, portal itu juga dihancurkan. Oleh Raqia, tepatnya. Kami tidak mau jika benda itu digunakan lagi untuk kedua kalinya, dan mengulang kejadian hari ini.
Sekitar dua ratus anggota Valkyrie Corps ---yang kondisinya sama buruknya sepertiku dan Tselemiel---, bertebaran lemas di halaman. Ada yang duduk saja, ada yang menangis, ada yang duduk berdua bertiga dengan wajah muram, namun lebih banyak yang langsung siaga dengan senjatanya. Apalagi begitu Raqia masuk dalam jangkauan pandangan mereka.
Dan… Tselemiel mengajak mereka pulang. Kembali ke Avodah.
Selain berjanji akan mengembalikan mereka ke posisi sebelum memberontak, dia juga bersumpah tidak akan berlaku seperti dulu lagi. Bahkan dia merelakan diri untuk dihukum oleh semuanya. Dia juga memohon pada mereka untuk membantu memberitahu pada yang lainnya di hari-hari berikutnya karena dia tahu, masih ada lebih dari 69.000 rekan-rekan mereka di luar sana, di seluruh penjuru Asgard, yang tidak ada di benteng Valhalla ini. Semua diucapkannya sambil berlutut, nampak begitu menyesal. Ada wajah-wajah tidak percaya, namun kebanyakan langsung menangis terharu.
“Sekali saja kamu melanggar janjimu…”
Kupukul bahu Tselemiel yang sakit. Tidak keras, namun karena ada cedera di situ, rasa sakitnya pasti bertambah.
“…akan kuhajar lebih keras dari ini.”
Dia hanya meringis sesaat, lalu malah tersenyum.
“Pukulanmu payah.”, ledeknya.
“Jadi, minta dilempar?”
“Sekarang kamu jadi mirip Raqia.”
Dengan Biblos di genggamannya ---masih pingsan---, orang yang dimaksudpun menyahut, “Heh, kenapa bawa-bawa namaku segala?”
Wajah cemberutnya membuat kami berdua tidak bisa untuk tidak tertawa.
Setelah kumatikan mode Heavenly Saint, Plasma segera mengambil tempat lapang di halaman untuk berubah menjadi Merkava Barzel. Yang tidak terkejut hanya diriku dan Raqia. Berhubung kapal besi itu sanggup menampung 300 orang, maka semua yang ada di halaman puri diijinkan untuk pulang hari itu juga, sisanya akan dijemput di hari-hari berikutnya. Aku juga tidak tega menyuruh mereka terbang mengikuti, karena beberapa di antara mereka bahkan sudah tak sanggup untuk mengepakkan sayap.
Untunglah Biblos segera sadar tak lama setelah lepas landas. Dia mohon diri untuk menemui Tselemiel, beralasan ingin memeriksa kondisi Archangel Core nya. Sayang sekali keceriaannya belum kembali. Suaranya masih rapuh, dapat lenyap ditelan angin dengan mudah.
Begitu tiba di ruang kokpit, langsung kulemparkan tubuhku dan bersandar. Begitu melelahkan. Belum pernah kurasakan yang seperti ini. Mungkin disebabkan karena kerja 9 hari secara terus-menerus, kadang bisa 12 jam sehari. Durasi tidurku kemarin belum cukup untuk membayar semuanya. Ingin rasanya kupejamkan mata, namun Raqia tiba-tiba duduk di sisi kananku, tak lagi mengenakan armor. Aroma darah dari rambutnya masih tercium.
“Tolong pijati dong.”, kataku.
“Seenaknya.”, jawabnya ketus. “Mau dilempar keluar?”
“Huh… emosimu tinggi sekali sih.”
Dia hanya diam. Matanyapun tak menatapku.
“Da’ath…”, panggilnya. Terdengar depresi.
“Hmm?”
“Aku… mengerikan ya?”
Rasa kantukku langsung hilang mendengar pertanyaan itu. Kujawab tidak, aku bohong. Kujawab ya, bisa-bisa perasaannya terluka.
“Jangan diam saja…”
Akhirnya kuputuskan untuk menjawab “ya”, apapun resikonya.
“Kamu membuatku ketakutan setengah mati tadi. Apalagi begitu darah terciprat, bulu kudukku langsung berdiri. Membuatku bergidik. Mungkin karena baru pertama kali melihatnya.”
“Jadi…”
“Kamu mengira perasaanku akan berubah karena hal tersebut?”
“Eh…?”
Dua biru langit itu menatapku dengan penuh harap.
“Kamu tidak…”
Aku menggeleng. “Itu hanya rasa ngeri sesaat. Tidak lebih. Cintaku tidak akan berubah apapun yang terjadi.”
“Maaf jika membuatmu ketakutan.” Pandangannya teralih sejenak. “Aku benar-benar lepas kendali.”
“Oh, ayolah. Dia tidak mati kan? Lain hal jika kamu benar-benar membunuhnya. Mungkin aku akan memarahimu.”
Raqia menghela nafas. “Syukurlah. Kupikir kamu akan membenciku.”
“Tapi bukan berarti kamu boleh mengulanginya di depanku. Jangan sering-sering, seperlunya saja jika amat sangat mendesak sekali.”
“Terima kasih ya.” Diapun bersandar pada lenganku. Diraihnya tanganku dengan lembut.
“Kamu memang pria terbaik yang pernah kutemui.”
Suaranya begitu pelan, nyaris termakan raungan udara yang dibelah kapal besi ini.
“Terima kasih juga untuk pujiannya.”
Pipinya memerah. Tetapi, tak seperti biasanya, dia tidak marah. Hanya menepuk dahi lalu berkata, “Ah… aku salah bicara.”
Sebenarnya aku ingin tertawa. Namun mulut, dada, dan perutku sudah terlalu lelah untuk melonjak kegirangan.
Maka aku berkata tenang, “Kalau ingin memuji, jangan sembunyi-sembunyi begitu.”
“Heh, aku kan bukan istri atau pacarmu.”, ujarnya ketus.
“Mau kupaksa dirimu membuka mulut?”
Lag-lagi reaksinya berbeda.
“Tidak sekarang.” Tatapannya lurus ke depan, ke arah langit melalui kaca kokpit. Sinar matanya nampak kosong. “Waktunya… tidak tepat.”
“Hmm… benar juga. Lain kali saja. Sepertinya kamu terlalu lelah.”
“Jangan bercanda.”, sahutnya. “Menghajar puluhan, bahkan ratusan ribu Elilim-class pun tak pernah berakibat cedera. Yah, memang agak lelah dan pusing sedikit sih tadi, apalagi sempat mengaktifkan kemampuan itu, ditambah berkali-kali dilempar dan dihempaskan. Aku hanya…”
Sisa kemungkinan hanya satu hal. Kakak beradik itu.
“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Raqia. Jangan menghukum dirimu sendiri.”
“Tidak. Aku tahu aku bisa melakukan lebih.”, jawabnya. “Ah… kenapa aku terlalu lemah tadi…” Kedua tangannya mengepal, merenggut pakaiannya sendiri.
“Jangan terlalu dipikirkan---“
Kerah bajuku direnggut kasar. “Apa katamu? ‘Jangan terlalu dipikirkan’? Apa kamu sudah gila?! Kita bicara nyawa, Da’ath. Nyawa!! Mereka itu makhluk hidup!! Mereka bersedia pulang dan bertobat, dan aku gagal melindungi mereka untuk melakukan sesuatu yang lebih baik!!!!”
“Aku juga tahu hal itu!!”, kubalas meneriaki.
Argh, aku memang sudah lelah. Emosiku naik dengan mudah begini. Oh Tuhan, sanggupkan diriku supaya dapat berkata dengan tenang…
“Maaf, Raqia. Sebenarnya aku tidak ingin marah. Maaf.”
Meski wajahnya masih kesal, genggamannya dilepaskan dari bajuku. Maka kutarik nafas panjang.
“Yah… mungkin itu sudah waktunya bagi mereka?”
“Hah? Apanya yang ‘sudah waktunya’?! Aku masih bisa mencegahnya, Da’ath. Aku merasa kemampuanku lebih dari itu!!!!”
“Kamu ‘merasa’, atau benar-benar tahu? Bagaimana jika itu memang batas kemampuanmu untuk saat itu? Aku sendiri bisa lihat kemarahanmu yang meledak-ledak tadi. Jika diteruskan, kamu akan tidak fokus dan makin kacau dalam menyerang.”
“Lalu… kenapa… kenapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi…? Bisa saja Dia membuatmu mendadak mendapatkan kekuatan ilahi atau semacamnya…”, ujarnya lemah.
“Dan membuat tubuhku hancur berantakan?”
“Tapi bukankah Dia maha kuasa? Apapun tak ada yang mustahil bagi-Nya!!”
“Memang tidak mustahil. Tapi apa iya Dia mau membatalkan segala hukum alam yang bekerja di tubuhku hanya untuk pemikiranmu? Untuk apa Tuhan mendadak membuat keajaiban pada diriku dengan alasan selain demi kemuliaan-Nya sendiri? Lagipula apa hakmu memberitahu apa yang harus Dia lakukan?”
“Tapi yang kupikirkan adalah keselamatan nyawa mereka berdua!! Bukankah itu hal yang baik?!”
“Namun bagaimana jika Dia punya rencana lain, Raqia? Baru menyaksikan peristiwa yang menurutmu mengerikan selama beberapa belas menit saja, kamu langsung berpikiran begitu.”
Raqia terdiam.
“Yah, aku setuju jika Tuhan itu maha kuasa--- tidak. Bukan setuju. Faktanya memang demikian. Ingat ketika kita pergi ke Golden Arrow? Kita mendapat kesempatan lebih besar untuk melihat karya-Nya yang lain secara lebih dekat. Jelas, kita hanyalah sebutir debu dibandingkan Dia yang mampu menciptakan semua itu. Aku yakin Plasma dan Biblos dapat menjelaskan segala hukum alam dengan lebih sempurna, dan menunjukkan lebih jelas bahwa tidak ada yang sanggup seperti Dia, Sang Pencipta.”
Fokus matanya beralih, tak lagi terkunci pada bola mataku.
“Satu hal yang kumengerti, Raqia. Maha kuasa bukan berarti mampu melakukan semua hal. Kemahakuasaan yang sejati adalah kuasa-Nya yang bekerja dan berlaku sesuai keinginan-Nya, yang sudah pasti selaras dengan kekudusan-Nya. Bukankah banyak hal yang tidak bisa Dia lakukan, jika kita perhatikan Kitab Suci lebih teliti?”
Aku berlagak menghitung dengan jari.
“Dia tidak bisa berdosa, tidak bisa berdusta, tidak bisa menyangkal diri-Nya, dan lain-lain selama itu menyangkut kontradiksi atas sifat-Nya yang kudus.”
Dia kembali memperhatikan, meski nampak masih ragu.
“Dan lewat sifat-Nya yang maha kuasa itulah, dia mengijinkan semua ini terjadi. Karena aku yakin, semua rancangan-Nya adalah yang terbaik bagi kita, rancangan damai sejahtera yang penuh harapan. Jika kamu mengatakan bahwa yang terjadi tadi adalah hal jahat, itu karena kamu membayangkan seandainya itu terjadi padamu tanpa menyadari akan adanya rencana Tuhan yang jauh lebih besar. Mungkin kita belum tahu untuk saat ini, tapi suatu hari nanti… pasti, aku yakin itu. Semua akan indah pada waktunya, Raqia.”
Tunggu. Kenapa kata-kataku lancar sekali…? Ah, ini pasti seperti perbincanganku malam itu dengan Athena. Tidak salah lagi.
“Mmm… iya…”, dia mengangguk lesu. “Haaahh…”, dia menghela nafas panjang. “Sepertinya aku terlalu lelah. Pikiranku berantakan, sehingga hal mendasar seperti itupun kulupakan. Maaf, Da’ath. Maaf sudah agak kasar tadi.”
“Ternyata Archangel bisa lelah juga ya?”
“Bukan lelah secara fisik, tapi pikiran. Kepalaku terasa berat sekali. Seandainya saja aku bisa tidur seperti manusia biasa…”, keluhnya.
“Coba saja minta pada Biblos nanti. Siapa tahu dia bisa melakukan sesuatu pada Archangel Core dalam tubuhmu, membuatmu bisa tidur.”
“Hmm…benar juga ya.”, dia mengangguk beberapa kali. “Ya sudah, nanti saja kutemui Biblos. Dan kotbahmu makin tajam saja, pak pendeta.”
“Tunggu. Kenapa cara bicaramu menunjukkan seakan aku pernah menasehatimu seperti itu?”
“Athena sempat memberitahu kalau kamu melakukan hal yang sama padanya.”
“Duh, kenapa dia harus bilang-bilang segala…” Kugaruk-garuk kepalaku.
“Ya sudahlah.” Dia tertawa kecil. “Toh bukan hal yang buruk. Dan itu makin membuatmu seperti Crusader-Saint yang sesungguhnya.”
“Jadi, sudah bisa merelakan?”
“Sepertinya sudah. Sekarang aku yakin kalau kematian mereka tidak akan sia-sia.”
“Baguslah.” Diikuti mulutku yang menguap panjang.
“Ah… mengantuk ya? Baiklah, kutinggal dulu.” Diapun bangkit berdiri.
“Makin lembut saja kamu.”
“Huuuuu…” Dia mencubit pipiku keras-keras. “Jangan mimpi.”
“Hahaha… ya sudah, yang jelas jangan lupa cuci rambut nanti. Bau amis tuh.”
Raqiapun melangkah pergi, mungkin untuk menemui Biblos. Aku sendiri tertidur hanya beberapa saat setelahnya.
Mataku terbuka ketika aku merasakan sesuatu, hangat. Sebentang kain menutupi badanku. Dan…Raqia bersandar di sisi kananku. Tertidur pulas. Bisa jadi ini adalah tidur pertamanya dalam 2000 tahun terakhir. Mungkin Biblos sudah melakukan sesuatu ketika aku tidur. Wajahnya nampak begitu polos, begitu tenang, begitu damai. Segala beban dan kekhawatirannya tak berbekas sama sekali. Kalau sudah begini, dia benar-benar nampak seperti anak-anak.
Kukecup dahinya sesaat.
Perlahan aku berdiri, karena aku ingin melihat kondisi Tselemiel juga. Segera kumelangkah setelah menegakkan posisi tubuh Raqia.
Bagian bawah lambung kapal ini cukup luas dan banyak yang kosong. Di situlah dia berada. Biblos juga. Entah apa yang sedang dilakukan Tselemiel--- ew…
“Dia… ditampari?”, gumamku.
Biblos, yang menyadari keberadaanku, segera menghampiri. “Begitulah. Itu adalah bentuk penyesalannya.”
“Tapi apa pipinya tidak akan bonyok nanti…?”
Yang terjadi di hadapanku adalah, sambil berlutut Tselemiel memohon pada semua anggota Valkyrie Corps yang ada untuk menamparnya. Terserah, boleh pipi kiri, boleh pipi kanan. Dan setiap kali ditampar, dia akan menunduk hormat sambil mengucapkan terima kasih. Beberapa menamparnya sekuat tenaga, wajahnya benar-benar marah seperti ingin menelan sang Archangel bulat-bulat. Tapi, kebanyakan tidak demikian, lebih banyak yang mengayunkan tangannya dengan pelan. Malah ada yang terbalik. Si penampar yang kemudian mengucapkan maaf, bahkan sampai menangis. Mungkin tidak semuanya membenci Tselemiel sampai berkepanjangan.
“Baiklah, akan kubangunkan Raqia. Sebentar lagi kita tiba.”
“Tunggu.”, cegahku, membuat Biblos berhenti di udara.
“Mmm?”
“Jangan terlalu lama bersedih. Aku lebih suka kamu yang agak cerewet, namun tetap cerdas.”
“Begitu… ya.”, jawabnya lemah. “Mungkin nanti. Aku masih benar-benar sedih dengan kepergian Glaukos… Aku butuh waktu karena emosiku dapat bermanifestasi jauh lebih mudah dibanding Plasma. Tapi aku janji, takkan lama-lama aku terus begini.”
“Plasma bisa menyesal dan kecewa juga?”
“Ya, tapi akan jarang sekali kamu temui. Kami sudah saling meneliti satu sama lain, dan itulah yang kutemukan. Dia mementingkan pengetahuan, logika, dan pertimbangan yang matang dalam nyaris segala hal. Apalagi nada bicaranya yang selalu tenang itu, menambah aura seorang yang bijak dalam dirinya.”
“Benar juga ya.” Kupandang langit-langit sejenak. “Ya sudah, kalau kamu mau membangunkan Raqia, silakan. Aku mau di sini sebentar.”
*
Akhirnya, kembali ke Avodah.
Selama 4 hari berikutnya kami masih berada di kota besar ini. Ada dua hal kenapa demikian.
Pertama, aku jatuh sakit. Dua hari demam, tepatnya. Bekerja berhari-hari lebih lama dari biasanya, ditambah bertarung habis-habisan, membuat kondisi fisikku jatuh. Wajar saja, aku ini masih manusia. Untunglah Raqia dengan senang hati merawatku. Masih sedikit malu-malu sih, tapi…ya sudahlah. Begini saja aku sudah senang. Disuapi, dikompres, dibantu duduk, dan banyak lagi.
“Bagaimana? Sudah baikan?”, tanya Raqia yang duduk di dekatku. Setidaknya aku sudah bisa mengangkat tubuhku sendiri hingga dapat duduk di ranjang.
“Uh-huh. Besok pasti sudah sembuh total. Mungkin kehadiranmulah yang menyembuhkan tubuhku. Cinta memang obat yang paling manjur untuk segala penyakit.”
“Sudah sakit masih saja bisa menggombal!!” Dilemparnya bantal ke wajahku. Namun, setelahnya dia malah tersenyum ceria.
Kedua, kami juga tidak bisa begitu saja meninggalkan kota ini sebelum Tselemiel kembali bersemangat. Biblos sudah kembali seperti sediakala, namun tidak dengan tukang galau yang satu itu. Memang, tidak pernah dirinya secara gamblang bersedih atas peristiwa itu, namun wajahnya nampak selalu muram.
“Bagaimana?” Kutinju pelan pipi kanan Tselemiel, yang sedang termenung di sisi jendela ruang kerjanya.
“Agh!” Refleks wajahnya menjauh.
“Mwahahahahaha…!!!!” Akupun terpingkal-pingkal. “Dasar gila. Siapa suruh minta ditampari dua ratus orang lebih. Jangan-jangan kamu masochist?”
“Sembarangan.”, jawabnya ketus.
“Ayolah, jangan berkepanjangan begini. Jika pimpinan galau, maka rakyat akan ikut galau nantinya. Kegalauan pun berubah menjadi pembodohan masyarakat.”
“Makin besar mulut saja.”
“Yah… aku juga tidak tahu kenapa. Sering kata-kata yang keluar dari mulutku mengalir lancar begitu saja di saat-saat penting.”
“Jadi, ada urusan apa kamu ke ruanganku?”
“Heh, secara tingkatan, aku ini atasanmu.”, jawabku sinis.
“Sombong sekali.”, ujarnya cepat. “Tapi tak apalah. Memiliki bos sepertimu tidak buruk juga.”
“Sebenarnya aku hanya ingin memeriksa keadaanmu saja. Masih terpikir mereka?”
“Mmm…”, dia mengangguk pelan. “Sesekali. Aku memang pria bodoh…”
“Ya, kamu memang salah satu pria paling ***** yang pernah kulihat. Tapi aku takkan memberimu ijin pensiun hanya gara-gara hal ini. Tidak ada lagi yang pantas memegang Archangel Core itu selain dirimu. Meski aku belum ingat apa alasanku mengangkatmu dua ribu tahun yang lalu, tapi aku yakin betul sudah mepertimbangkannya matang-matang.”
Satu kata yang keluar dari lidahnya mengejutkanku.
“Diplomat.”
“Uh?”
“Tidak dengar? Dulu aku ini seorang yang selalu ditugaskan untuk berunding dengan musuh.”
Aku terbelalak. “Bagaimana…kamu bisa ingat?”
“Sewaktu pulang, Archangel Core dalam diriku beresonansi dengan Biblos, mengungkap apa fungsi dari para pemegang Archangel Core. Tapi aku hanya ingat sedikit.”
Dengan antusias aku berkata, “Katakan lagi apa yang kamu tahu.”
“Baiklah. Archangel pertama dan kedua sudah seperti tangan kanan dan kirimu. Archangel ketiga bertugas di garis belakang, berlawanan dengan Archangel keempat yang merupakan pejuang garis depan. Archangel kelima punya tugas yang serupa denganku, hanya saja terkadang turun bertempur.”
“Yang ketujuh?”
“Khusus yang itu aku tidak ingat. Hal yang lain-lain juga tidak.”
“Kenapa aneh sekali…” Kuhela nafas panjang. “Ya sudahlah, lupakan untuk sekarang. Dan sepertinya besok aku dan yang lainnya akan melanjutkan perjalanan. Aku sudah pulih total.”
“Oh…begitu. Tapi kudengar Divine Barrier yang mengurung Ohr-Nisgav belum diangkat juga, menurut kabar dari salah seorang bawahanku kemarin. Apa mungkin kalian ingin menemui Nuachiel dulu?”
“Tapi dia jauh lebih sulit ditemukan, menurut Raqia. Mungkin kami tetap akan ke Ohr-Nisgav lebih dulu. Cara memecahkan Divine Barriernya akan kami pikirkan di jalan.”
“Yah, semoga sukses. Divine Barrier yang dibentuk Uriel memang selalu yang paling menyusahkan untuk dibuka.”
Ekspresinya seperti menyadari sesuatu.
“Oh ya, kudengar kalian juga mencari Divine Technology? Plasma sempat menjelaskan tentang hal itu beberapa hari lalu.”
Aku mengangguk. “Uh-huh.”
“Cobalah ke selatan, melewati pegunungan salju di selatan kota ini. Kudengar Kalliope, Thalia, dan Melpomene pergi ke arah sana. Siapa tahu salah satu, dua, atau ketiganya memiliki benda tersebut. Apa salahnya mampir sebentar untuk menemui mereka. Siapa tahu juga mereka bisa membantu memecahkan masalah Divine Barrier itu.”
“Hmm…benar juga katamu. Oke, akan kuberitahu yang lainnya mengenai hal ini. Terima kasih untuk informasinya.”
Dia mengangguk. Karena aku tak mau mengganggunya terlalu lama, ya sudah, akupun pergi. Selagi kakiku melangkah, kudengar lagu itu lagi, dinyanyikan olehnya. Ritmenya dituntun oleh ketukan jarinya pada kusen jendela.
“…terpenjara tujuh puluh tahun lamanya... dalam cahaya... karena cinta…”
“Hei, Tselemiel.”
Seketika dia menghentikan nyanyiannya. “Hmm? Ada apa lagi?”
Kuputar sedikit leherku ke belakang. “Lagu itu… apakah ciptaanmu?”
“Sepertinya ya.”
“Sepertinya?”
“Aku sudah tahu lagu itu sejak lama. Dan seingatku, sepanjang dua ribu terakhir, akulah orang pertama yang tahu tentang lagu itu. Sangat mungkin kalau akulah pengarangnya.”
“Ah…begitu.”
Kasus lain dari kesemerawutan memori di dunia ini, eh?
*
Esoknya, kamipun pergi. Karena semua setuju dengan saran Tselemiel untuk mencari tiga Eleutherian-class itu terlebih dahulu, maka Sonic Glider pun terbang ke selatan. Berhubung hanya ada beberapa kota kecil di wilayah selatan Avodah, menemukan mereka takkan menghabiskan waktu terlalu banyak.
Dengan mudah Sonic Glider dapat melewati pegunungan bersalju di selatan Avodah karena cuacanya tergolong tenang. Berselang beberapa puluh menit, laut mulai nampak. Banyak di antara kota-kota yang berada di bawah kontrol Tselemiel berada di pantai, sehingga aku berpikir dapat bertemu ketiganya pada salah satu kota pantai tersebut.
Namun belum juga tiba di salah satu kota, kami menemukan hal lain yang tidak kalah menarik…
=====================================
Spoiler untuk Trivia :
- Frost Column diambil dari nama spell card Cirno dalam game Touhou series: Perfect Cherry Blossom dan juga Touhou Hisoutensoku. Di cerita, dimodifikasi sedikit lebih heboh. (Hisoutensoku game screenshot: http://en.touhouwiki.net/images/1/12...CirnoPSC08.png )
- Atmosphere Freezer diambil dari nama device penurun suhu planet dan kepadatan atmosfer (sebagai alat untuk terraforming) dalam game SPORE.
- Few Biblical references:
- Judul Tehillim 32, setengahnya adalah pernyataan negatif dari Matius 10:16.
"Behold, I send you forth as sheep in the midst of wolves: be ye therefore wise as serpents, and harmless as doves." (King James Translation)
Judulnya begitu karena mereka menjalankan misi dengan banyak ledakan... Ibrani 6:18 - "supaya oleh dua kenyataan yang tidak berubah-ubah, tentang mana Allah tidak mungkin berdusta..."“Dia tidak bisa berdosa, tidak bisa berdusta..." 2 Timoitus 2:13 - "jika kita tidak setia, Dia tetap setia karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya.""...tidak bisa menyangkal diri-Nya...” Yeremia 29:11 - "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan."....semua rancangan-Nya adalah yang terbaik bagi kita, rancangan damai sejahtera yang penuh harapan.
Last edited by LunarCrusade; 12-04-13 at 15:16.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk 32 :Awal-awal langsung diteriakin Inferna, padahal previous chap lagaknya Inferna yang bawa atra masi cengengesan picik (padahal waktu itu lagi dikeroyok) kayak penjahat cool. Jadi agak aneh, baru beberapa saat mesinnya masi dingin, tiba-tiba langsung meledak pengen ngecincang orang aja bawaannya (beda sama raqia yang emang dari pertama udah kalap)
Menurut gua, coolnya mending di liatin dikit diawal2, ngetawain Da'ath dulu bentar, yang masi kaget liat Atra dikasi kalung ****** supaya nurut.
Eh, Da'ath cemburu sama Plasma? tapi Plasma bisa ngerti nafsu duniawi juga ya, meski ga punya. Gua jadi ngebayangin kalo kapan2 raqia di raep orang, Da'athnya ntar gimana ya reaksinya
Buat Glaukos, sayang sekali saat2 terakhirmu kurang keren kawanEnaknya kalo gua, dibagian sini :
Da'ath lagi gak berantem (Atra di lempar kemana dulu kek) supaya dia bisa liat 'prosedur' lengkap, terus jelasin 'prosedur' tsb dengan 'kalimat indah' lu, biar lebih berkesan. Minta maaf terakir2nya itu udah bener, emang senjata paling ampuh sebelum mati tu ya minta maafSeketika cahaya keemasan yang amat terang bersinar, begitu menyilaukan. Barangkali prosedurnya sedang dijalankan. Aku hanya dapat menerka karena angin dan cahaya ini mengunci gerakan dan indera semua orang yang ada di ruangan.
Abis mati tercabik2 gitu, emang kalo masuk ke-dimensi lain tubuh bisa kecincang gitu ya. Gua nggak diajarin di bab ruang vektor & dimensi ke-n tentang begituan sih
Spoiler untuk 33 :Semua karena kasihan semata? duh, kok gua rada kasian liat sama Atra kalo Da'ath mikirnya begini. Lebih appropriate menurut gw kalo pake kata/frasa yang lebi alus. (Otak gua lagi males mikir, jadi coba cari sendiri deh bagusnya gimana)
Brynhilde! (wtf, gua ga bisa nulis sendiri, harus kopas dari chapternya) bisa cerewet gitu aaaa imej lu jadi ancur gitu. Eh gapapa si, kalo gua bilang malah bagus, jadi personality twist (wkakak apaan tu persona twist, malah bikin istilah sendiri). Tapi, straight forward-nya Brynhilde(ea.. kopas lagi) malah jadi penghambat buat deskripsi lu. Jadi kalo dia ngomong, full dialog, ga ada deskripsi tambahan. Sebenernya gapapa juga kegini, tapi ada saatnya dimana bagian cerita tu lebi keren dideskripsiin, daripada diomongin pake dialog. Contohnya kalo menurut gua :
Dideskripsiin dikit gerak-gerik Brynhilde pas lagi ngomong. Bagian yang gua bold merah, enaknya jangan langsung jelas banget gitu. Mungkin diganti jadi dia ngelirik Athena sambil senyum kah, ato dia ngomongnya pake perumpamaan apalah, gak langsung sebut merek (kasian malu Athena-nya x_x)“…terima kasih untuk pernyataan cinta Anda waktu itu. Tapi maaf, aku tidak bisa. Semua perasaanku terhadap Anda sudah hilang. Sekarang ada seseorang yang sangat mencintai Anda, yaitu adikku sendiri. Jadi, mulai sekarang tolong jaga Athena baik-baik, Yang Mulia.”
Athena and sister menyusul Glaukos, (duh banyak banget korban di arc ini). Kalo gua bilang, kematian mereka agak lebi bagus dari Glaukos, but still.. I know you're better than this. (ato jangan2 yang kerennya disimpen buat kematian lain, wew..)
Spoiler untuk 34 :Ga banyak yang bisa gua komen disini, selain cliche-nya raqia yang takut Da'ath ga sayang lagi setelah ngeliat sosok mengerikannya. (yang dapet peran begini kan harusnya yang cowo, duh.. raqia)
Terus, sikap suci sang Da'ath, sama Naif-nya Raqia. Kok naif? soalnya menurut gua gak rasional aja ngeliat raqia yang udah ngebantai 'entah berapa banyaknya' eilim-class. Tapi bisa dibuat down dengan kematian Athena (yang bekas eilim) dan sister-nya yang baru dia temuin (seinget gua dulu di kotanya mama desiel gak gini2 banget down-nya)
Spoiler untuk assdsaweqw :Mencangkup keseluruhan, balik lagi ke chapter 31, lu buat cliff hanger tentang Atra yang back-in action, tapi uda dirubah jadi boneka sirkus yang bisa diperintah2. Tapi di 3 chapter ini, cliff hanger-nya cuma diobatin dikit pake penjelasan kalung ****** yang bisa ganti warna ijo-merah di awal chapter 32. Akankah cliff hanger, kalung ****** atra-atau lebih tepatnya apa aja yang udah atra alamin dirumahnya (kekerasan terhadap anak kah? wew, harus panggil kak seto ni) bakal dijelasin di chapter selanjutnya? kita nantikan sajah
P.S. kebetulan lu ngeluarin sekaligus banyak, gua kasi liat model komen 'gua' buat event MoV (bukan berarti juri lain begini juga ya model komennya)
Komen persatuan chapter + komen overall.
Last edited by -Pierrot-; 13-04-13 at 22:15.
NO!!! ATRA NOOOOOOOOO!!!!!!!
kenapa Atra harus jadi begituuuuuuu
PENGARANGNYA SADISTIK INI PASTI
euh...meskipun udah menduga, tetep aja rese banget bacanya... Atra...duh...
oke...mulai menggila
Spoiler untuk -mungkin- panjang :mulai 32, ya... gue jujur udah agak lupa gimana ending 31, udah agak lama sih, jadi atmosfir baca nya langsung ke 32.
TERUS ATRA
32 itu kalo menurut gue galau... tempur tergalau sepanjang 32 chapter, dan galau nya galau busuk... kacau banget pokonya. si Da'ath nyerang kaya ga niat, yang laen juga sama.
oh, model baru itu, frost column sama atmosphere freezer, gak se wah biasanya ada senjata model baru
chapter itu lagi fokus ke masalahnya sih, ya...
tapi kalo dibaca secara ceritanya (gak liat Atra), imo 32 itu datar banget. satu bagian yang agak begelombang pas Glaukos kecabik2. yak, tepat di ending. dan gue masih ga ngerti kenapa ekstrak divine energy badannya ancur gitu. berasa paling kacaunya disitu, si Inferna dll masih pada seger, masih bebacot ria dll...
oke, 33... Raqia nya sangar banget... ini sih gue doang, tapi gue beneran gak suka liat dia kasar2
lupa diri nya parahtapi gokil, Inferna langsung udahan
dan mendadak Brynhilde (gak kayak peyot, gue bisa ngetik sendiri) mendadak cerewet. itu gak pas banget. Athena nya juga, dari gahar edan mendadak lesu gitu.... imo sih lebih oke kalo bertahap gitu....gak langsung blek mendadak berubah suasananya. terus si Brynhilde nya juga nurut banget sama si Da'ath...
yang gak kekira...mendadak 2 2nya udahan... astaga... kayak biasanya, deskripsi nya maut~
tapi 33 jadi ekstrim banget dibanding 32. bacanya bener2 turun naek, seru. klimaks chapternya pas abis, keren luar biasa. sayang dialog terakir nya bedua begitu,gak penuh cinta...pokonya gitu deh.
34...balik datar lagi. aneh nya si Raqia kaya over galau. jadi kayak, makin dia gahar, bakal makin galau seudahnya...
gue ngerasa kayak dia galau cuman demi bikin scene si Da'ath dapet peran pendeta
tapi gue mau liat muka Raqia tidur...
Tselemiel digampar bolak balikentah kenapa gue ketawa pas baca paragraf itu
terus akirnya ada penjelasan soal archangel -dikit-, dan soal si nomer tujuh yang aneh sendiri. duh, spoiler, duh
daaan....selesai.
keseluruhan arc, masih bukan yang tergila menurut gue. tapi ceritanya bagus, sayang ending arc nya kurang nancep... oh, ini arc yang galaunya paling negatif, imo...
oke, sekian komentar saya
ATRA GUE BALIKIN WOE!!!!
sasuga triple release~ besok2 1 aja biar gue nyante bacanya ya
ini mau belajar jadi buang buku baca GSA![]()
Bujug komennya pada banyak
Oke gw pisahin aja dari post ceritanya dah
Spoiler untuk 32 :Awal-awal langsung diteriakin Inferna, padahal previous chap lagaknya Inferna yang bawa atra masi cengengesan picik (padahal waktu itu lagi dikeroyok) kayak penjahat cool. Jadi agak aneh, baru beberapa saat mesinnya masi dingin, tiba-tiba langsung meledak pengen ngecincang orang aja bawaannya (beda sama raqia yang emang dari pertama udah kalap)
Menurut gua, coolnya mending di liatin dikit diawal2, ngetawain Da'ath dulu bentar, yang masi kaget liat Atra dikasi kalung ****** supaya nurut.
Eh, Da'ath cemburu sama Plasma? tapi Plasma bisa ngerti nafsu duniawi juga ya, meski ga punya. Gua jadi ngebayangin kalo kapan2 raqia di raep orang, Da'athnya ntar gimana ya reaksinya
Buat Glaukos, sayang sekali saat2 terakhirmu kurang keren kawanEnaknya kalo gua, dibagian sini :
Da'ath lagi gak berantem (Atra di lempar kemana dulu kek) supaya dia bisa liat 'prosedur' lengkap, terus jelasin 'prosedur' tsb dengan 'kalimat indah' lu, biar lebih berkesan. Minta maaf terakir2nya itu udah bener, emang senjata paling ampuh sebelum mati tu ya minta maaf
Abis mati tercabik2 gitu, emang kalo masuk ke-dimensi lain tubuh bisa kecincang gitu ya. Gua nggak diajarin di bab ruang vektor & dimensi ke-n tentang begituan sih
Spoiler untuk 33 :Semua karena kasihan semata? duh, kok gua rada kasian liat sama Atra kalo Da'ath mikirnya begini. Lebih appropriate menurut gw kalo pake kata/frasa yang lebi alus. (Otak gua lagi males mikir, jadi coba cari sendiri deh bagusnya gimana)
Brynhilde! (wtf, gua ga bisa nulis sendiri, harus kopas dari chapternya) bisa cerewet gitu aaaa imej lu jadi ancur gitu. Eh gapapa si, kalo gua bilang malah bagus, jadi personality twist (wkakak apaan tu persona twist, malah bikin istilah sendiri). Tapi, straight forward-nya Brynhilde(ea.. kopas lagi) malah jadi penghambat buat deskripsi lu. Jadi kalo dia ngomong, full dialog, ga ada deskripsi tambahan. Sebenernya gapapa juga kegini, tapi ada saatnya dimana bagian cerita tu lebi keren dideskripsiin, daripada diomongin pake dialog. Contohnya kalo menurut gua :
Dideskripsiin dikit gerak-gerik Brynhilde pas lagi ngomong. Bagian yang gua bold merah, enaknya jangan langsung jelas banget gitu. Mungkin diganti jadi dia ngelirik Athena sambil senyum kah, ato dia ngomongnya pake perumpamaan apalah, gak langsung sebut merek (kasian malu Athena-nya x_x)
Athena and sister menyusul Glaukos, (duh banyak banget korban di arc ini). Kalo gua bilang, kematian mereka agak lebi bagus dari Glaukos, but still.. I know you're better than this. (ato jangan2 yang kerennya disimpen buat kematian lain, wew..)
Spoiler untuk 34 :Ga banyak yang bisa gua komen disini, selain cliche-nya raqia yang takut Da'ath ga sayang lagi setelah ngeliat sosok mengerikannya. (yang dapet peran begini kan harusnya yang cowo, duh.. raqia)
Terus, sikap suci sang Da'ath, sama Naif-nya Raqia. Kok naif? soalnya menurut gua gak rasional aja ngeliat raqia yang udah ngebantai 'entah berapa banyaknya' eilim-class. Tapi bisa dibuat down dengan kematian Athena (yang bekas eilim) dan sister-nya yang baru dia temuin (seinget gua dulu di kotanya mama desiel gak gini2 banget down-nya)
Spoiler untuk assdsaweqw :Mencangkup keseluruhan, balik lagi ke chapter 31, lu buat cliff hanger tentang Atra yang back-in action, tapi uda dirubah jadi boneka sirkus yang bisa diperintah2. Tapi di 3 chapter ini, cliff hanger-nya cuma diobatin dikit pake penjelasan kalung ****** yang bisa ganti warna ijo-merah di awal chapter 32. Akankah cliff hanger, kalung ****** atra-atau lebih tepatnya apa aja yang udah atra alamin dirumahnya (kekerasan terhadap anak kah? wew, harus panggil kak seto ni) bakal dijelasin di chapter selanjutnya? kita nantikan sajah
P.S. kebetulan lu ngeluarin sekaligus banyak, gua kasi liat model komen 'gua' buat event MoV (bukan berarti juri lain begini juga ya model komennya)
Komen persatuan chapter + komen overall.Spoiler untuk duaaarrr :
Spoiler untuk 32 :
Oke jujur itu gara" efek ditinggalin kelamaanMakanya agak aneh nyambungnya
Maap
Ngerti dongs, Plasma kan... bentar, ga bole spoileeerr
Ngapain gw bikin burung mati keren
Btw dia mati bukan gara" masuk ke portal, tapi:
Glaukos harus disembelih biar Divine Energynya bisa diambil buat nutup portal.“Divine Energy.”, ujar Biblos. “Dalam kondisi seperti ini, memang tidak ada yang bisa dimatikan paksa atau dihancurkan. Tapi…portal tetap dapat ditutup dengan prosedur normal. Hanya saja karena terhubung pada dimensi lain, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang mampu menutupnya, hanya Divine Energy saja yang bisa. Dan satu-satunya cara menggunakan Divine Energy pada benda lain adalah ‘membocorkan’ energi tersebut dari ‘wadah’ yang menampungnya. Jadi…”
Spoiler untuk 33 :
Masalah 'belas kasihan' itu konotasinya positif kalo dalam teologi kekristenan. Dan karena cerita ini semi-divine, maka...
Ga ngerti kenapa, gw cukup seneng kalo satu char itu punya sifat tersembunyi. Jadi keluarnya belakangan. Bener sih, mungkin personality twist sebutan cocoknya (ngarang gapapa laa)
Ah...okeIni gw nulisnya macem kejer setoran juga sih, jadi mungkin kurang dihayati
Ini baru setengah jalan bung, yang lebih keren memang buat yang lain-lain
Spoiler untuk 34 :
Masalah sifatnya Raqia yang kayak double-edged sword itu bakal diterangin lebih lanjut. Ntar di 1-2 Tehillim gw sisipkan alesannya.
Masalah lain lain itu tunggu tanggal mainnyaDan ga selalu di chapter selanjutnya.
Ini banyak banget yang harus dibikin konvergennnn... jadi sabarlah...
NO!!! ATRA NOOOOOOOOO!!!!!!!
kenapa Atra harus jadi begituuuuuuu
PENGARANGNYA SADISTIK INI PASTI
euh...meskipun udah menduga, tetep aja rese banget bacanya... Atra...duh...
oke...mulai menggila
Spoiler untuk -mungkin- panjang :mulai 32, ya... gue jujur udah agak lupa gimana ending 31, udah agak lama sih, jadi atmosfir baca nya langsung ke 32.
TERUS ATRA
32 itu kalo menurut gue galau... tempur tergalau sepanjang 32 chapter, dan galau nya galau busuk... kacau banget pokonya. si Da'ath nyerang kaya ga niat, yang laen juga sama.
oh, model baru itu, frost column sama atmosphere freezer, gak se wah biasanya ada senjata model baru
chapter itu lagi fokus ke masalahnya sih, ya...
tapi kalo dibaca secara ceritanya (gak liat Atra), imo 32 itu datar banget. satu bagian yang agak begelombang pas Glaukos kecabik2. yak, tepat di ending. dan gue masih ga ngerti kenapa ekstrak divine energy badannya ancur gitu. berasa paling kacaunya disitu, si Inferna dll masih pada seger, masih bebacot ria dll...
oke, 33... Raqia nya sangar banget... ini sih gue doang, tapi gue beneran gak suka liat dia kasar2
lupa diri nya parahtapi gokil, Inferna langsung udahan
dan mendadak Brynhilde (gak kayak peyot, gue bisa ngetik sendiri) mendadak cerewet. itu gak pas banget. Athena nya juga, dari gahar edan mendadak lesu gitu.... imo sih lebih oke kalo bertahap gitu....gak langsung blek mendadak berubah suasananya. terus si Brynhilde nya juga nurut banget sama si Da'ath...
yang gak kekira...mendadak 2 2nya udahan... astaga... kayak biasanya, deskripsi nya maut~
tapi 33 jadi ekstrim banget dibanding 32. bacanya bener2 turun naek, seru. klimaks chapternya pas abis, keren luar biasa. sayang dialog terakir nya bedua begitu,gak penuh cinta...pokonya gitu deh.
34...balik datar lagi. aneh nya si Raqia kaya over galau. jadi kayak, makin dia gahar, bakal makin galau seudahnya...
gue ngerasa kayak dia galau cuman demi bikin scene si Da'ath dapet peran pendeta
tapi gue mau liat muka Raqia tidur...
Tselemiel digampar bolak balikentah kenapa gue ketawa pas baca paragraf itu
terus akirnya ada penjelasan soal archangel -dikit-, dan soal si nomer tujuh yang aneh sendiri. duh, spoiler, duh
daaan....selesai.
keseluruhan arc, masih bukan yang tergila menurut gue. tapi ceritanya bagus, sayang ending arc nya kurang nancep... oh, ini arc yang galaunya paling negatif, imo...
oke, sekian komentar saya
ATRA GUE BALIKIN WOE!!!!
sasuga triple release~ besok2 1 aja biar gue nyante bacanya ya
ini mau belajar jadi buang buku baca GSASpoiler untuk dorrr :
32 itu emang gw niatnya jadiin chapter 'swashbuckler'.
Ga ada ilmunya, ga banyak penjelasan, ga banyak romantis"an, POKOKNYA SIKAT CINCANG BRAK BRAK DUAR JEDER BLARRRRR
Masalah Glaukos, dah gw jawab di komen buat jawab peyot-chan.
Gw malah PALING SENENG kalo ngeliat Raqia udah meng-imba bacokin orang
Ini emang udah fetish, jadi agak susah gw ngubahnya.
Iya ya...harusnya lebih bertahapAda benernya juga
Cuma gw mikirnya gini.
Kalo bertahap, tar Infernanya keburu bangun selagi mereka ngobrol, malah jadi putus dialognya. Kan ga masuk akal juga gw bikin mereka ngobrol lama, tapi musuhnya (yg udah jelas mo dibanting macem gimana juga tetep aja idup) goler dolo yg lama demi kepentingan dialog.
Gak penuh cinta...? lo ngarep ada incest yuri yetakkan kuberikan
YEP, BETUL.
Makin gahar Raqia, makin lama di samping Da'ath, MAKIN GA STABIL EMOSINYA. Ntar gw perdalam bagian itu.
Tselemiel
Tapi kayaknya kasian amat gw nulis "Aku dibuat terguling-guling sementara Tselemiel menderita karena ditampari"
Lebih kontradiktif lagi sama scene sebelumnya, dimana dia nampak amat ilahi #plak
Nunggu yang tergila itu sih nanti... tapi memang makin gila kan tiap arcnya?
Masalah Atra, nanti akan terungkap semuanya
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk Tehillim 35 :
====================================
Tehillim 35: Welcome to the Light Side Part I
====================================
Cahaya jingga keemasan merasuk melalui kaca burung besi ini. Menyinari sudut-sudut kokpit, dan juga memberi kemilau baru pada mahkota perak itu. Tak terkecuali kedua mata biru langitnya, yang ikut terhisap oleh keindahan cahaya matahari senja. Ini adalah kedua kalinya aku melihat pemandangan sore hari dari dalam Sonic Glider. Selama ini aku lebih sering berangkat pagi atau siang hari.
“Aku ingin suasana yang lain.”
Begitulah yang dikatakan Raqia kemarin.
Aku bisa mengerti. Mungkin ada kalanya dia butuh pemandangan berbeda, apalagi setelah berminggu-minggu dia harus berkutat dengan urusan yang kelewat tak biasa.
Entah sudah berapa lama pandangan Raqia hanya tertuju keluar. Joknya juga sedikit diputar agar tepat menghadap jendela kaca. Setiap nafasnya dilakukan perlahan, terkadang diselingi terpejamnya mata.
Selama itu pulalah aku terus diam. Sesekali mataku juga menikmati indahnya langit, diwarnai kepakan sayap burung-burung camar yang hendak pulang. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Sedikitpun. Sungguh tenang, begitu damai. Biblos dan Plasma juga tak berkomentar apapun. Mereka mengerti kalau Raqia dan juga diriku butuh waktu-waktu sunyi.
Akhirnya, bibir kecilnya angkat bicara.
“Indah…ya.”
“Tak seindah dirimu.”, kataku.
“Huh, gombal.”
Namun, ejekan itu diucapkannya dengan wajah ceria. Bahkan ditutup dengan senyuman, memantulkan kemilau mentari senja.
“Rasanya…”, ujar Raqia pelan. “…sudah lama sekali aku tidak merasakan yang seperti ini. Seperti ratusan tahun berlalu, padahal belum juga dua bulan berlalu sejak kedatanganmu.”
“Maksudmu, aku yang merusak hari-harimu yang penuh kedamaian?”, tanyaku sinis.
Dia menggeleng. "Kamu tidak pernah merusak apapun.”
Kembali bibirnya melekuk anggun, berhasil memeluk hatiku yang terdalam. Cahaya jingga keemasan yang menerpa wajahnya menambah gejolak dalam diriku. Tak bisa kusangkal, senyuman itu adalah salah satu yang terbaik darinya.
“Pipimu merah.”, ujarnya, lalu tersenyum kecil.
“Ternyata rasa malumu itu menular.”
Senyum masih menggantung di bibirnya, dia menarik nafas panjang.
“Sepertinya…” Dia menatap ke luar. “…aku kalah ya?”
“Eh? Kalah?”
“Jangan bilang kalau kamu sudah lupa.”
“Sebentar. Maksudmu…”
Sorot matanya yang malu-malu itu memandang ke arah lain. “Iya, yang itu.”
Jantungku mulai berdegup kencang. Anehnya, aku tak merasa gugup. Malah ujung-ujung bibirku naik.
“Pasang telinga baik-baik ya. Aku tidak mau mengulanginya.”, tuturnya.
Aku mengangguk pelan. “Mmm.”
Aku menatap jauh ke dalam matanya. Sebuah pandangan penuh kebahagiaan. Tanganku juga merasakan sebentuk kehangatan yang kecil.
“Aku… aku sudah yakin, Da’ath…”
Kata-kata yang mengalir begitu lembut.
“Aku juga…”
Sedikit lagi.
“…men---“
Seketika dia mengerutkan dahi. Lehernya sedikit menoleh ke belakang. Matanya waspada.
“Kenapa harus di saat begini sih…”, ujarnya kesal, tangannya ditaruh di dahi.
Sial. Gagal lagi…argh. Setidaknya dia juga berharap agar kata-katanya tak terputus sih…
“Plasma, bisa kamu melacaknya?”
Jika Raqia sudah merasakan keberadaan sesuatu, kemungkinan besar adalah…
“Raqia, siapa yang---“
“Dia.”, ujarnya cepat.
Wajahnya menunjukkan kalau yang dia rasakan bukanlah keberadaan orang-orang yang kami cari. Sekarang sudah jelas siapa yang dimaksud.
Inferna sepertinya masih kacau balau setelah kejadian itu. Mungkin Atra juga, mengingat darah sempat keluar beberapa kali dari mulutnya. Artinya…
Nyaris saja aku melonjak dari jok. Aku memang ingin bicara dengannya sejak dia menghilang begitu saja di Tzayad.
“Heh, kenapa langsung semangat begitu?”
“T-Tidak apa-apa kok.”, jawabku ragu.
Untunglah Plasma segera bicara, “Aku akan mendarat. Sepertinya memang tidak jauh dari sini.”
Mendarat di sebidang tanah lapang, aku segera melompat turun. Hanya ada sedikit pepohonan yang nampak, itupun cukup jauh. Begitu juga dengan laut. Terlihat kecil di barat sana, disertai matahari yang seperti mau tenggelam ke dalamnya. Terasa sejuk dan tenang dengan kehadiran angin sepoi-sepoi dan suara ombak.
Semua itu begitu kontras dengan Raqia, yang langsung mengaktifkan mode Angel Knight. Armor dan pedang besarnya yang berkilauan itu bagai duri dalam kedamaian.
“Di sana.”, ujar Raqia, menghadap ke arah barat daya.
Maka Biblos mengikutinya, lalu aku mengekor di belakang setelah mengaktifkan mode Heavenly Saint. Meski tak berharap sebuah pertarungan, namun aku harus tetap waspada. Bisa saja Tenebria akan langsung menyerang, dengan asumsi ada yang aneh dengan pikirannya, seperti halnya Atra.
Namun aku salah.
Tenebria, yang mengenakan pakaian yang sama sewaktu di padang rumput Tzayad, tergeletak begitu saja tak jauh dari pantai. Tidak bergerak. Tidak sadarkan diri. Makin dekat, jelas sekali kalau air membasahi seluruh tubuhnya. Mungkinkah dia sempat tercebur ke laut? Beberapa titik di pakaiannya itu juga tergores entah kenapa. Melihat hal itu, segera kumatikan mode Heavenly Saint.
Agak panik, segera aku duduk di sebelahnya.
Sambil kugoncangkan bahunya, aku berteriak, “Tenebria!! Oi, Tenebria!!!!”
Beberapa kali kulakukan hal itu, namun tidak ada respon darinya. Sekilas juga kuamati tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Untunglah tak ada benda yang mencurigakan terpasang. Juga tak ada satupun sayap yang mencuat di punggungnya.
“Da’ath, tenang sedikit. Dia masih hidup kok. Perhatikan baik-baik. Dia masih bernafas kan?”, ujar Biblos.
“Ah…syukurlah. Tapi dia tidak mungkin kita biarkan di sini kan?”
“Benar juga ya. Coba kulihat dulu…” Kemudian muncul bidang datar holografik di depan Plasma. Peta. “Oh, beberapa belas kilometer ke selatan sepertinya ada pemukiman.”
“Bagus. Kita ke sana.”
“Hei hei heeeeeeeiii!!!! Kenapa kalian memutuskan seenaknya saja?!”, teriak Raqia. Wajahnya terlihat marah.
Kubalas berteriak, “Dan membiarkannya di sini? Bagaimana jika Tenebria mati begitu saja?!”
“Ada urusan apa tiba-tiba kamu peduli padanya, hah?!”
“Dia itu terluka parah!! Apa salahnya menolong orang lain meski itu musuh sendiri, yang memang butuh bantuan?! Bukankah di Kitab Suci sudah ada contohnya?!”
“Korbannya berbeda, Da’ath!! Yang ini bisa melenyapkan nyawa dengan mudah!! Bagaimana jika dia sadarkan diri lalu menyerang kita semua?! Bagaimana jika dia membunuhmu?!”
“Aku jamin hal itu tidak akan terjadi!!!! Dia tidak seburuk yang kamu kira!!!!”
“Atas dasar apa kamu bisa berpikir demikian?!”
Bibirku langsung kaku. Maksudku, aku tak mungkin menceritakan semua kejadian di padang rumput itu…benar kan?
“Ah, jadi ada yang masih kamu sembunyikan. Tidak kusangka---“
Plasma menepukkan tangannya satu kali dengan keras. “Oke, oke, stop. Maaf, Raqia. Tapi kali ini aku setuju dengan Da’ath. Kalian berdua bisa mengimbanginya jika memang Tenebria berniat menyerang ketika sadarkan diri. Lagipula…kita butuh dirinya. Maksudku, informasi darinya.”
“Uh-huh. Pasti banyak yang bisa dikorek.”, sahut Biblos. “Apalagi aku masih penasaran dengan pedangnya setelah kejadian di Tzayad itu…” Sampul depannya menghadap pada sebuah benda di batas antara laut dan darat, sesekali dibelai ombak yang berkejaran. Chereb HaNephilim.
“Tiga lawan satu. Mengalah saja.”, ujarku meledek.
Nampak frustasi, Raqia menjambak rambutnya sendiri. “Terserah kalian sajalah!!!!”
Plasma kembali menjadi Sonic Glider ---sedikit lebih besar---, sementara kugendong gadis berambut ungu itu ke dalam kokpit. Sudah ada satu jok tambahan di belakang. Maka kududukkan dia di situ, lalu mengatur sandaran jok hingga posisi hampir horizontal. Sementara itu, Chereb HaNephilim dibawa oleh Biblos, yang entah bagaimana dibuat agar terbang mengikuti dirinya setelah bersinar sesaat. Raqia, meski masih amat sangat kesal, tetap ikut masuk dan membanting diri di tempat duduk.
Benar apa kata Plasma. Ada pemukiman di selatan, di pantai. Rumah-rumah dari batu yang dicat dengan berbagai warna ---kadang berbeda warna tiap rumah--- berdiri dalam jarak yang tidak begitu beraturan. Arsitekturnya tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah di Avodah. Menjorok ke pantai, ada beberapa dermaga kayu, namun tak ada satupun kapal yang merapat. Anehnya lagi, kotanya gelap. Tidak kutemui sama sekali yang menyalakan lampu minyak, entah di dalam maupun di luar rumah untuk penerang jalan. Padahal hanya sesaat lagi sebelum langit beranjak malam. Kota mati kah? Apapun yang terjadi, kami tetap memutuskan untuk mendarat.
“Sepertinya… tidak ada orang di sini.”, ujar Plasma, setelah berubah menjadi manusia kaleng. Sengaja kuminta dia yang membawa Tenebria. Aku tak mau ribut lebih besar lagi dengan Raqia karena rasa cemburu atau semacamnya.
“Hmm… tapi sepertinya belum terlalu lama ditinggalkan.”, kata Biblos, lalu terbang ke salah satu rumah. Hebatnya, pedang itu masih mengikuti dirinya.
Aku setuju dengan buku itu. Rumah-rumah yang ada di sini, meski jumlahnya dengan Avodah berbeda bagai jarak antara Bulan dan Bumi, semuanya belumlah nampak rusak.
Biblos mengetuk salah satu rumah terdekat. Caranya lumayan aneh, menabrakkan dirinya sendiri berulang-ulang pada pintu kayu.
“Halooooo~ Excuse meee~ Yuuhuuuuu~”, panggil Biblos selama beberapa saat.
Tidak ada jawaban. Rumah berikutnya yang hanya beberapa meter jauhnya juga sama saja. Hening. Rumah ketiga, tidak ada respon.
“Kita dobrak saja.”, kata Plasma sambil berjalan ke salah satu pintu. Ditendangnya keras-keras. Pintu langsung rubuh.
Argh, kenapa aku bisa dekat dengan orang-orang yang suka menendang pintu hingga jebol?!
“P-Plasma!! Bagaimana jika ada orang di dalam?!”, kataku setengah panik.
“Tidak mungkin. Tiga rumah kita kunjungi, diketuk berulang-ulang hingga berisik, namun tak ada satupun penghuni rumah lain yang merespon. Hanya ada sekitar seratus rumah di sini. Membuat keributan di satu rumah sama saja dengan membangunkan seluruh kota, jika memang kota ini ada isinya.”
Benar juga sih. Yah, kadang aku memang tidak mengerti jalan pikiran Plasma, meski ujung-ujungnya selalu benar.
Dengan santainya Plasma melangkah masuk. Pintu yang terdekat dari pintu utama didobrak dengan cara yang sama. Ditendang hingga lepas. Ternyata adalah sebuah kamar, dengan ranjang yang masih utuh dengan spreinya walaupun agak kotor. Segera kukebaskan debunya hingga cukup bersih, lalu Plasma membaringkan Tenebria di situ. Raqia? Cemberut di teras. Biar sajalah. Aku sedang tidak ingin beradu mulut.
“Hmm…sepertinya bajunya harus dilepas. Terlalu basah.”, gumam Plasma.
*plok*
Tangan kalengnya diletakkan di depan mataku. “Cukup waktu itu saja melihatnya. Sekarang lebih baik tolong carikan baju atau kain lebar. Mungkin ada di kamar-kamar lainnya.”
Biblos sepertinya masih asyik dengan Chereb HaNephilim. Di sudut kamar, dia berhadap-hadapan dengan pedang itu, keduanya melayang. Biblos bersinar keemasan, sementara pedangnya kehitaman. Sesekali deretan huruf-angka-simbol merasuk ke dalam logam panjang berhiaskan huruf-huruf aneh itu.
Keluar, lalu aku melangkah ke satu pintu lainnya, kudobrak. Nah, yang ini sepertinya kamar. Kutemukan satu ranjang yang serupa, masih tertutup sprei berdebu. Aneh, lemari di kamar ini tak terkunci. Dapat dengan mudah kubuka. Namun…kosong. Yang menyambutku hanyalah jalinan sarang laba-laba. Laci di bawahnya…kosong juga. Ya sudah, kutarik saja spreinya. Satu ruangan lagi yang kumasuki juga merupakan kamar, dengan kondisi yang nyaris sama. Lemarinya kosong, namun kasurnya masih tertutup sprei. Kuambil saja.
“Maaf aku tidak bisa menemukan pakaian. Hanya ini saja.” Kuserahkan semuanya pada Plasma.
“Baiklah, tidak apa-apa.” Tangan kaleng itu menerimanya. “Sekarang, menyingkirlah dan balikkan badanmu.”
“Hah?”
“Aku akan membuka pakaiannya!! Apa kamu masih ingin melihat?!”
“E-Eh… oke…”
Maka aku berjalan ke jendela yang posisinya berlawanan dengan ranjang. Di sebelah kiriku, Biblos masih nampak sibuk.
“Bagaimana pedangnya?”
“Menariiikk~ Menarik sekali, Da’ath.”, jawab Biblos riang. “Ada sesuatu yang unik di dalam pedang ini. Memang sulit menjebol firewall yang terpasang pada sistem keamanan pedangnya, tapi aku yakin bisa meruntuhkannya dalam satu atau dua jam.”
“Lalu kenapa kamu begitu panik saat di Valhalla?”
“Itu lain kasus. Kita amat sangat terburu-buru dan terdesak, tidak bisa santai-santai begini. Kalau tidak dikejar waktu, mungkin mesin dan portalnya juga bisa kujebol.”
“Ooo… begitu…” Maka kualihkan tatapanku ke luar jendela, ke arah langit.
Selagi Biblos melanjutkan aksinya, kudengar Plasma bergumam, “Hmm…sepertinya luka-lukanya bertambah dari waktu itu…”
Kali ini Biblos bereaksi. “Eh? Mana mana, aku mau lihat.” Segera dia terbang menjauhiku. Chereb HaNephilim masih saja mengikutinya.
*bam*
Suara itu menarik perhatianku. Ternyata pedang itu terjatuh.
“I-Ini… k-kenapa mengerikan begini…”, ujar Biblos lemah.
Mataku nyaris saja melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat, sampai akhirnya Plasma memarahiku. “Heh, sudah kubilang balikkan badanmu.”
“A-A-Aaaa… iya, iya…”, jawabku kaku. Karena masih penasaran, maka aku bertanya sambil berbalik badan, “Tapi apa benar katamu tadi, Plasma?”
“Uh-huh, dan ada beberapa luka baru juga. Entah apa yang terjadi padanya sejak hari itu.” Suara gesekan kain menyertai jawabannya. “Well, aku keringkan pakaiannya dulu. Di luar sempat kulihat cerobong perapian pada rumah ini, jadi akan kukeringkan di depan perapiannya. Sekalian aku minta ijin keluar untuk mencari kayu atau ranting jika perapiannya kosong.”
“Jangan lama-lama.” Kuucapkan dengan sedikit menoleh.
“Beres.”, jawab Plasma seraya melangkah keluar.
“Sudah tidak apa-apa kok. Balikkan badanmu kalau mau.”, ujar Biblos.
Ternyata benar, sudah aman. Plasma sudah melilitkan sehelai sprei putih pada tubuh Nephilim itu sedemikian rupa, lengkap menutupi bagian dada ke bawah. Sisa sprei direntangkan sebagai selimut. Namun, bekas luka tidaklah tertutup sepenuhnya. Baik di bahu kiri maupun kanan, goresan merah kecoklatan masih nampak. Ada beberapa, tidak hanya satu dua guratan. Tenebria sendiri masih terpejam. Nafasnya lemah. Berbeda dengan Tenebria yang dua kali kuhadapi dengan susah payah, kali ini dia nampak amat rapuh.
“Da’ath… dia kenapa sih? Kenapa sampai luka-luka begitu?”
Sambil duduk bersandar pada tembok, kuceritakan apa yang terjadi pada Tenebria, akibat melindungi adiknya.
“Itulah kenapa kukatakan kalau dia tidaklah seburuk yang dikira. Aku merasa sejak kecil dia hanya dididik secara salah, sehingga awalnya dia bersikap demikian. Mungkin pertemuan dengan kitalah yang sedikit mengubah sifatnya.”
“Begitu ya… aku jadi kasihan padanya. Kalau punya tangan, mungkin sudah kupeluk dirinya sekarang.”
“Ya, sama denganku. Aku hanya tergerak oleh rasa belas kasihan, tidak lebih. Tidak tega rasanya jika kubiarkan dirinya membusuk di pantai.”
Selama beberapa menit setelahnya, Biblos tak lagi bersuara. Lenyapnya intonasi cerewet itu membuatku terpejam tanpa sadar. Tidur.
Tetapi, yang membangunkanku adalah buku itu juga. Beberapa kali Biblos menabrakkan tubuhnya pada bahuku. Tidak terlalu keras, namun cukup untuk mengembalikan alam sadarku.
“A…Ada apa…?”, tanyaku lesu. Disusul dengan menguap lebar-lebar.
“Dia bergerak, Da’ath!! Tenebria sepertinya sudah sadar!!”, ujarnya riang.
“Uh? Eh?” Kepalaku masih linglung. Menoleh kiri, menoleh kanan. Kalimat itu begitu lambat menyetrum kepalaku, hingga refleks aku merespon cukup keras. “EH?! Benarkah?!”
Kucoba berdiri, lalu menoleh ke arah Nephilim itu. Dahinya mengkerut. Jemarinya menggenggam erat sprei yang menjadi selimutnya. Peluh mengalir membasahi dahi dan pelipisnya.
“Papa… kumohon… jangan…”
Ucapan Tenebria layaknya orang ketakutan. Mengigau.
“Tidak. Jangan… JANGAAAAAANNNN!!!!!!!”
Refleks, dirinya segera terduduk. Matanya yang bagai bola kristal darah itu terbuka lebar. Setiap tarikan nafasnya menggambarkan kesesakan yang mendalam. Terengah-engah. Beberapa detik dia nampak sangat kelelahan.
Perlahan, kepalanya menoleh, mengamati sekitarnya.
“I-Ini… di… mana---“
Seketika lehernya membeku saat menatapku.
“K-Kamu… b-bagaimana bisa…”
Maka kujawab, “Kamu terdampar di pantai. Karena tidak tega… ya kami bawa saja ke sini.”
“Uh-huh, benar.”, Biblos menimpali. “Oh ya, pedangmu ada di sana.” Biblos mencondongkan tubuh ke arah sebelah kanan jendela.
Satu hal yang berbeda dari senjata itu, tidak ada lagi tulisan-tulisan aneh pada mata pedangnya.
“A-Ah…begitu ya…”, ujarnya. Aku bisa membaca sedikit kelegaan di wajahnya. “Apa… dia itu temanmu, Crusader-Saint?”
“Yep, benar. Waktu itu kamu tidak sempat melihatnya ya?”
“M-Mmm.” Tenebria mengangguk lemah.
Melihatnya yang masih nampak kelelahan, akupun berkata, “Kalau masih lelah, tidur saja.”
Dia menggeleng. “Tidak apa-apa. Biar aku bersandar saja.”
Karena nyaris jatuh tergeletak, refleks kutahan tubuhnya dan kuraih tangan kanannya. Aku… nyaris tidak percaya. Telapaknya begitu lembut. Bahunya juga sangatlah halus, pada bagian dimana jemariku tak menyentuh bekas lukanya. Benar-benar tidak cocok dengan citra dirinya yang kuat dan mengerikan.
“Ehem!! Da’ath!!” panggil Biblos. “Jangan dinikmati begitu memegangnya.”
“E-Eh? M-Maaf, maaf.” Maka segera kutarik tanganku setelah Tenebria benar-benar bersandar pada tembok.
Langkah kaki yang tidak biasa terdengar menuju kemari. Beberapa saat kemudian, sosoknya muncul.
“Bagaimana? Sudah baikan?”, tanya Plasma dengan santai, bersandar pada kusen pintu.
“S-Sedikit…”
“Jadi, sudah siap memberikan keterangan?”
Tenebria sedikit terkejut. “Keterangan…?”
“Plasma, jangan keterlaluan begitu ah.”, sahut Biblos. “Dia kan baru sadar.”
“Makhluk yang mewarisi gen Archangel akan pulih dengan cepat. Saat ini sakit, bisa jadi dalam empat hingga enam jam sudah pulih total. Jadi, tidak ada gunanya kamu khawatir berlebihan.” Plasma pun menatap Tenebria, lurus. “Benar begitu, nona Tenebria?”
“Kamu…tahu?”
Sekali lagi, pertanyaan Plasma seperti menghentak batinnya.
“Uh-huh. Meski baru hipotesis saja.”
Plasma melangkah mendekat, lalu bersandar pada tembok di sisi kanan ranjang.
“Jadi apa benar kata-kataku tadi, nona Tenebria? Benarkah anda mewarisi gen Archangel?” Diucapkannya pertanyaan itu dengan sopan.
Entah apa yang merasuki dirinya, Tenebria menengok padaku. Sorot matanya seakan bertanya, “Haruskah kujawab?”, meski secara kasat mata tak ada yang berubah dari ekspresinya.
“Jawablah sebisamu.”, kataku pada Nephilim itu.
Sesaat, dia menggigit bibir bawahnya. Dia menunduk, rambut ungunya itu menutupi sisi wajahnya. Tak bisa kulihat ekspresinya saat menjawab, “”Ya”.
“Ayah anda?”
“Mmm.” Kepalanya mengangguk pelan.
“Hmm… tidak salah lagi.” Plasma menaruh tangan di dagu. “Ibunya pasti manusia biasa. Tapi untuk alasan apa…?” Sekarang dia menatap langit-langit.
Aku makin tidak paham ketika Tenebria menyebutkan satu nama.
“Inferna.”
Perhatian kami bertiga bagaikan ditarik oleh kekang ke arah yang sama.
“Dia…”
Terhenti sesaat. Ditariknya nafas panjang.
“…ibuku.”
Jawaban Tenebria merasuk hingga ke sela-sela tulang. Memukul dadaku. Menghalangi nafasku sesaat. Bahkan Plasma ikut tersentak. Kata-kata seperti menyangkut di mulutnya.
Masih tak percaya akan apa yang kudengar, maka kutanyakan padanya, “Tenebria… apa maksudmu…?”
Menoleh kemari, dia tersenyum. Namun, tidak ada sedikitpun tanda-tanda kebahagiaan di wajahnya. Bibirnya dibentuk oleh kesengsaraan, terpaksa memberikan senyum palsu.
“Aku jujur, Crusader-Saint. Inferna… dia ibuku.”
Dua kristal darah itu berubah menjadi mata air kesedihan. Tetes demi tetes membasahi sebentang kain putih yang membalut tubuhnya.
Plasma kembali bertanya, kali ini nadanya agak ragu. “T-Tunggu, nona Tenebria. Apa mungkin… yang satu lagi---“
“Mmm.”
Dia mengangguk, masih dengan senyum kebohongan dan air mata.
“Atra…”
Jawaban berikutnya menambah keterkejutanku berkali-kali lipat.
“…dia anak perempuanku.”
Terdengar sesuatu menghantam lantai dari arah pintu.
“Apa…?”
Suara itu mengejutkan semua yang ada di kamar ini.
“Itu…bohong kan?”
Raqia. Dia berlutut lemas, bersandar pada kusen.
========================================
Spoiler untuk Trivia :
Ndak adaaa
Last edited by LunarCrusade; 23-04-13 at 00:51.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Tinggal Tehillim 37, 38, 39, maka selesailah Old Testament major arc
Entar di New Testament bakal fokus ke Archangel 1 sama 7, Chrono Scroll, dan tentu saja endingnya~
Spoiler untuk Tehillim 36 :
====================================
Tehillim 36: Welcome to the Light Side Part II
====================================
“T-Tunggu. Bagaimana mungkin?!”, potongku. Nyaris saja kutinju tembok mendengar pernyataan Tenebria. “Kamu dan Atra sendiri bilang waktu itu kalau kalian bertiga adalah---“
Jawaban Tenebria yang berikutnya makin membuatku tersentak.
“Itu juga… tidak bohong.”
Raqia, masih lemas di lantai, berkata, “Jadi… yang kupikirkan tadi…”
“Mmm. Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Angel Knight. Dan itu benar.”, jawab Tenebria. Aku bisa menangkap nada kesedihan dari ucapannya meski dia bicara seperti biasa.
“Ini…” Raqia menjambak sisi rambutnya. “Ini tidak mungkin…”
Maka kuhampiri Raqia, mengulurkan tangan. “Berdirilah. Kalau mau bicara, jangan di lantai begini.”
Diraihnya tanganku.
“Memangnya apa yang tadi kamu pikirkan?”, tambahku.
“Sebenarnya aku kemari ingin bicara denganmu, Da’ath. Aku tak mau terus dikuasai emosi karena hal tadi. Dan… kudengar kalian bicara tentang itu. Entah, kakiku berhenti dengan sendirinya, dan kuputuskan untuk masuk setelah kalian selesai. Tepat ketika dia mengungkapkan pernyataan itu dan mengaku jujur, langsung terlintas di kepalaku mengenai…”
“…incest.”, ujar Plasma pelan, tidak menatapku, Raqia, maupun Tenebria. Seakan berat sekali bagi temanku itu untuk mengatakannya.
Tidak salah lagi. Yang disebut sebagai ‘Papa’ ini berhubungan badan dengan anak-anaknya sendiri. Dengan demikian, tidak ada kebohongan jika Tenebria mengatakan bahwa ketiganya memiliki hubungan saudara, sekaligus orang tua dan anak.
Suara Tenebria terdengar begitu berat ketika menjawab, “Ya.”
Teringat kata-kata Atra waktu itu, mulutku tiba-tiba bicara, “Lalu semua luka itu… apa dia juga?!”
Tenebria mengangguk pelan. “Papa tidak mentolerir kegagalan. Karena itulah…”
Tak tahan lagi, aku benar-benar meninju tembok.
“Gila. INI GILA!! BENAR-BENAR *******!!!! Berhubungan badan dengan anaknya sendiri, lalu mencambuki seenaknya??!! Makhluk macam apa dia???!!!”
Ekspresi Tenebria masih terlihat amat sangat depresi, namun dia berusaha berkata, “Kumohon… jangan hina dirinya. Dia masih keluargaku, Crusader-Saint.”
“Apa yang bisa kamu harapkan dari orang tua seperti itu?! Dia tak pantas sama sekali---“
“Aku mohon dengan sangat, Crusader-Saint. Tolong hentikan.”
Aku tak bisa bicara lagi. Jawabannya yang tegar mengurungkan niatku untuk mencaci maki makhluk bedebah itu lebih lanjut.
Meski Plasma tidak menyuruhnya bicara, namun Nephilim itu melanjutkan ceritanya. Kapan ketiganya dilahirkan, Tenebria mengaku tidak tahu pasti, karena ‘Papa’nya berkata bahwa waktu di rumahnya berbeda dengan di Bumi. Dan karena hal itu jugalah penuaan fisik ketiganya berlangsung dengan sangat lambat. Akupun terpikir, bisa-bisa keempatnya sudah berusia sekitar 2000 tahun juga.
Mengenai asal-usul ‘Papa’nya sendiri, Tenebria juga tidak tahu. Yang dia ingat adalah sejak pertama kali dilahirkan, yang ada hanyalah ‘Papa’nya dan juga Inferna. Satu hal yang sangat dia ingat, ‘Papa’nya selalu mengatakan bahwa Inferna adalah anaknya juga, namun dirinya lahir dari rahim kakaknya tersebut. Dia menerima begitu saja ucapan orang tuanya itu. Beberapa lama waktu berlalu ---waktu di rumahnya---, ‘Papa’nya melakukan tindakan imoral tersebut. Maka lahirlah Atra, anak sekaligus adiknya.
“Awalnya, kupikir itu adalah hal biasa. Hingga beberapa tahun lalu, ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di Bumi… tidak ada satupun yang sama dengan keluargaku. Akupun makin ragu dengan kondisi keluargaku sendiri…”
“Tunggu dulu.” Ekspresi Plasma berubah menyadari sesuatu. “Bagaimana dengan ibu dari Inferna?”
“Kudengar sudah meninggal lama sekali, sebelum pindah ke rumah yang sekarang.”
“Rumah… rumah…” Plasma nampak berpikir keras. Aku tak tahu apa yang muncul di kepala besinya, namun tiba-tiba diajukannya pertanyaan, “Apakah di rumah anda ada portal atau semacamnya?”
“Mmm. Ada. Bentuknya seperti cincin besar. Ada juga benda serupa yang ditaruh di daerah bersalju sana.”
Asgard. Benteng Valhalla.
“Tidak salah lagi. Semuanya pastilah tinggal di lebih dari enam sisa dimensi itu. Lalu, sejak kapan anda pindah ke rumah yang sekarang?”, Plasma lanjut menanyakan.
“Entah. Aku sudah berada di sana sejak lahir. Mungkin Inferna lebih tahu mengenai hal tersebut karena dia sudah ada sebelumnya. Begitulah yang Papa katakan mengenai dirinya.”
“Hmm… Nephilim lahir karena persilangan Archangel dan manusia. Asumsiku, tidak ada seorangpun Nephilim pada lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Dan beradasarkan kesaksian nona Tenebria, Inferna sudah ada kala itu. Itu artinya, Inferna…”
Raqia langsung menelan ludah. Pelajaran genetika sewaktu di Tzayad juga muncul kembali di ingatanku.
“…manusia?!”
Tak ada penyangkalan dari Tenebria. “Benar. Dia tidak memiliki gen Archangel sama sekali.”
“Lalu bagaimana dia begitu kuat?!”, tanya Raqia setengah berteriak. “Akupun kewalahan menghadapinya!!”
“Bagian-bagian tubuh mesinnya.”, jawab Plasma. “Aku yakin itulah yang memperkuat tubuhnya ratusan kali lipat.”
“Mmm. Tapi sepanjang yang kuingat, sejak awal tubuhnya sudah demikian.”
“Dia melahirkan anda dengan sudah dipasangi bagian tubuh buatan?!” Plasma terdengar kaget. “Hmm… tapi jika bagian itu belum diganti, masih sangat mungkin…”
Anggukan Tenebria makin lemah.
“Plasma… sudah ya. Cukup.”, kata Biblos, terdengar sedih.
“Baiklah. Aku… minta maaf. Maaf sudah bertanya hal yang terlalu privat.”
Tenebria menggeleng. “Aku tidak selemah itu. Percayalah, aku baru tiga kali menangis seumur hidup jika yang sekarang ini dihitung, dengan mengabaikan sewaktu masih bayi. Jika masih ingin bertanya…”
Ajaib, Raqia menghampiri perempuan bermata merah itu. Dia duduk di ranjang, di sebelah Tenebria, lalu menatapnya dalam-dalam.
“Jangan dipaksakan.”
Digenggamnya tangan Tenebria dengan lembut.
“Aku ingin tanya satu hal saja. Kamu jujur? Sejujur-jujurnya?”
Mungkin karena tidak percaya jika Raqia akan bersikap demikian, Tenebria membatu sesaat. Namun, dijawab juga olehnya.
“Jika aku berbohong, silakan potong leherku kapanpun kalian mau.”
Sorot mata Tenebria nampak begitu tegas. Air matanya juga sudah lenyap. Apalagi ini sampai mempertaruhkan nyawa sendiri. Aku yakin tidak ada yang ditutup-tutupinya.
“Aku pegang kata-katamu itu.”
Respon Raqia itu membuatku terkejut. Aku benar-benar tidak percaya dia melakukan hal itu. Bukankah dia benci setengah mati terhadap ketiganya? Ah sudahlah, toh yang demikian adalah hal yang baik.
Dan… sekali lagi, air mata mengalir dari dua merah darah itu.
“T-Terima kasih, Angel Knight… terima kasih… padahal aku s-sudah…”
Hal mengejutkan berikutnya terjadi.
Dengan lembut, Raqia memeluk Tenebria sambil membelainya. “Tidak apa-apa, Tenebria. Setidaknya, kamu sudah memberikan pertarungan yang paling terhormat untuk Viridia. Aku juga… minta maaf. Maaf sudah meragukanmu. Padahal Da’ath sudah bilang…”
Tangis Tenebria makin menjadi. Terus menerus kata ‘maaf’ terucap dari mulut perempuan bermata merah itu. Mungkin ini adalah pertama kalinya dia merasakan kelembutan dari seseorang, meski telah melakukan hal yang salah.
“Mmm. Sudah tak apa-apa. Semua sudah kumaafkan.”
Kadang aku sendiri bingung, Raqia dapat berubah dari algojo berdarah dingin menjadi sosok serupa ibu yang penuh kasih. Malah aku sempat mengira Raqia akan menamparinya habis-habisan, atau ---skenario terburuk--- mengakhiri nyawa Tenebria sekarang juga. Namun aku salah. Yah, mungkin benar jika Raqia sudah ‘membunuh’ kali ini. Tetapi, yang dibunuh dan diruntuhkan adalah tembok hati sang Nephilim, begitu telak. Sewaktu di Tzayad pun, Tenebria tidak nampak hancur dan menyesal seperti sekarang ini. Baru Raqia yang berhasil…
Kutengok ke arah jendela, ternyata langit mulai berubah. Tidak lagi kelam, tidak lagi gelap, tidak lagi hitam. Sedikit demi sedikit cahaya hangat mengubah warna bentangan kanvas di atas sana menjadi biru cerah, seperti mata Raqia.
“…terima kasih, Angel Knight… sekali lagi… terima kasih…” Tenebria terus mengusap air matanya.
Sambil tersenyum, Raqia berkata, “Hei, aku ini punya nama. Bahkan rakyatku tak kuijinkan memanggilku demikian.”
“Nama…?”
“Yup, benar sekali. Raqia. Raqia Gibboreth. Jangan panggil nama yang lain-lain.”
Sambil mendekati keduanya, akupun menimpali, “Dan juga jangan memanggilku Crusader-Saint terus. Kupingku gatal rasanya. Namaku Da’ath Ruachim, panggil saja Da’ath.”
Dia memandang kami berdua dengan sebuah senyuman.
“Mmm. Baiklah, Da’ath, Raqia.”
Meski jejak air mata masih membasahi, namun tak dapat kusangkal ini adalah senyuman terindah darinya. Tetes air matanya nampak berkilau karena cahaya matahari pagi mulai menyinari seluruh kamar. Pemandangan ini membuatku tidak percaya, jika perempuan di hadapanku ini pernah membuatku dan Raqia kewalahan dalam pertarungan.
Aku jadi makin paham mengenai satu hal. Terkadang, senjata terbaik untuk menghadapi kejahatan bukanlah pedang, kekuasaan, ataupun kekuatan. Hanya satu yang dibutuhkan.
Kasih sayang.
*
“Well, sekarang saatnya sarapan.” Sepasang kaki besi itu beradu dengan lantai, melangkah meninggalkan ruangan. “Jangan membiarkan ikan yang kutangkap tadi malam membusuk sia-sia. Kutunggu di ruang tengah. Oke?”
Setelah Raqia mengambilkan pakaian Tenebria, yang lalu kembali dikenakan Nephilim itu ---sudah kering total---, kami semua melangkah menuju ruang yang dimaksud. Ternyata, perapian yang cerobongnya dilihat tadi malam oleh Plasma ada di tepi ruang tengah ini. Di depannya, ada sebatang kayu kira-kira sepanjang tanganku yang diikat di bagian tengah pada sebuah tali, terhubung dengan langit-langit. Oh, aku tahu. Pastilah itu yang digunakan Plasma untuk menggantung pakaian Tenebria.
Masih ada setumpuk ranting di sebelah kanan perapian, yang kemudian dilemparkan Plasma ke dalamnya. Ditembaknya semua itu dengan sebuah berkas sinar merah dari jari, lalu semuanya terbakar. Satu-satu ditaruhnya beberapa ekor ikan yang sudah ditusuk oleh batang kayu setebal jari. Menunggunya matang, kami semua duduk di dekat perapian, di lantai. Nyaris tidak ada apapun lagi di ruangan ini.
“Maaf, aku tak bisa menemukan panci atau alat masak lain. Jika ya, mungkin bisa kubuatkan sesuatu yang lebih enak. Terlalu banyak barang tak berguna di kota ini. Hanya ada sisa kayu, tali, paku, kawat, dan sejenisnya.”, kata Plasma.
“Yah, mau bagaimana lagi. Aku yakin semua sudah pergi dari kota ini dengan membawa barang-barang yang bisa dibawa.”, ujar Raqia santai.
“Hei, kamu sudah tahu apa yang terjadi di kota ini?”, tanyaku keheranan.
“Uh-huh.” Dia mengangguk. “Pantai barat semenanjung ini rawan serangan bajak laut. Frekuensinya makin meningkat saja setiap tahun. Aku yakin orang-orang di sini sudah menyingkir jauh dari pantai, tapi belum terlalu lama karena rumah-rumahnya saja masih bagus.”
“Dan kenapa tidak bilang kemarin…?”
“Heh, kemarin malam aku masih marah denganmu.”
“Jadi, belum bisa memaafkan?”
“Hmmph. Belum.” Raqia memalingkan wajahnya.
“Huh… kupikir sudah.” Kutepuk dahiku. “Ayolah, jangan cemberut terus. Aku minta maaf sudah meneriakimu.”
Terdengar suara tawa darinya. “Aku cuma bercanda kok. Seharusnya aku yang minta maaf lebih dulu. Maaf yaaaaa…” Dicubitnya pipiku.
“Aaaaaaaggghhh!!!! J-Jangan keras-keraaaasss!!!”
Sekarang, giliran Tenebria tertawa. Bukan hanya aku dan Raqia, bahkan Plasma mendadak hening dan memandangnya.
“Kalian ini… lucu sekali… ahahaha…”
Dan percayalah. Tertawanya JAUH lebih elegan dibanding Raqia yang hampir selalu tertawa keras-keras, kecuali suasananya kelewat romantis. Bibirnya tidak terbuka terlalu lebar. Suaranya juga tidak menggelegar memenuhi ruangan. Bahkan tangan kanannya diposisikan sedemikian rupa di depan mulutnya, sehingga yang melihatnya pun merasa kalau yang sedang tertawa di hadapannya ini adalah seorang putri atau semacamnya.
“Hei, Raqia…”
“Uh?”
“Tukar posisi saja dengan Tenebria. Biarkan dia jadi Archangel. Lebih cocok rasanya.”
“Maksudmu apa haaaaahhhhh???!!!” Pipiku ditarik makin keras.
Aw. Aw. AAAAAAWWWW.
*
Dan, saatnya makan.
Satu hal, cara makan Atra dan Tenebria bisa dikatakan sangat mirip. Dicuil sedikit-sedikit. Ketika kusinggung mengenai hal itu, dijawabnya, “Aku tak mau menelan durinya.” Yah, buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya.
“Bagaimana lukanya? Sudah tidak sakit?”, tanya Raqia, sambil mengambil batang kayu dengan ikan yang sudah matang.
“Masih, sedikit. Tapi sudah berkurang jauh.”, jawab Tenebria. “Benar kata…” dia menengok ke arah Plasma.
“Panggil saja Plasma, nona.”
“…Plasma, aku punya kemampuan regenerasi tinggi.”
“Tapi apa benar Papamu setega itu memukulimu hingga seperti itu? Aku sendiri maksimal hanya memukul empat belas kali jika ada pelanggaran berat di Shamayim, itupun di tangan saja…”
“Hah?”, sahutku. “Kamu suka mencambuki orang juga?”
“Heh, sembarangan.” Dia memukul pelan bahuku. “Kamu mengatakannya seakan aku benar-benar sadis saja… Tapi benar, hukuman semacam itu tercatat di peraturan. Sudah beberapa orang yang mendapatkan hukuman itu. Aku juga tidak pandang bulu. Manusia ataupun Angel-class yang melanggar, akan dihukum demikian. Tenang saja, jarang sekali kok ada kejadian seperti itu. Lagipula aku sendiri yang mengobati mereka setelah proses hukuman selesai. Jadi tidak ada satupun yang merasa dendam.”
“Kalau yang ini… sepertinya tidak ada tanda-tanda diobati.”, ujar Plasma sambil mengamati Tenebria. “Untunglah tanganku bisa membuat steril benda-benda, sehingga luka yang kemarin tidak infeksi.”
“Ah… jadi kamu…” Tenebria menelan potongan kecil. “Terima kasih banyak. Aku berhutang budi padamu.”
“Hahaha… tidak usah, tidak usah. Pada dasarnya aku memang diciptakan untuk membantu. Memang sudah demikian tugasku.”
“Dan kamu tidak protes sedikitpun tentang hukuman itu?”, tanya Raqia lagi.
“Tidak. Maksudku… tidak terpikir sedikitpun tentang hal itu. Aneh ya?” Tenebria tersenyum, tetapi lagi-lagi aku merasa itu bukan senyum bahagia.
“Berarti… Atra juga tidak---” Mulutku bergerak sendiri.
“Mmm. Dia juga tidak melawan sama sekali. Kami sudah dididik demikian sejak kecil.”
“Tidak masuk akal.” Agak kesal, kugigit ikan di genggamanku.
“Tidak, Da’ath. Itu sangat masuk akal.”, ujar Plasma. “Bahkan anak pendetapun bisa berbuat keji jika sejak kecilnya dididik seperti itu oleh seorang penjahat. Sebagian besar sifat seseorang ditentukan dari bagaimana dia diajar sejak kecil dan interaksinya dengan sekitar.”
“Ya, benar. Dan baru satu kali ini saja aku melawan. Lebih tepatnya, bertarung dengan Papa. Karena aku tahu di luar sana tidak ada anak yang diperlakukan sekejam itu.”
“Dan anda kalah?”
“Begitulah, Plasma. Seperti yang bisa kamu lihat.”
“Berarti dia terlalu berbahaya… Lalu, bagaimana anda bisa lolos?”
“Pedang itu.”
“Chereb HaNephilim…?” Plasma terdengar setengah tidak percaya.
“Ya, betul. Pedangkulah yang menyelamatkanku, mendadak memindahkanku ke Bumi. Jika tidak… mungkin aku sudah mati sekarang.”
“Sudah kuduga ada yang unik dengan pedang itu. Biblos…!!”, panggilnya. Hanya dia satu-satunya yang tetap berada di kamar ketika kami semua keluar. “Oi, Bibloooss…!!”
“Yuhuuuu~ Yaaaa? Ada apaaa?” Suaranya terdengar makin keras, yang artinya dia sedang menuju kemari.
Pedang itu ternyata masih mengikutinya.
“Maaf, nona Tenebria, bolehkah saya periksa pedang anda?”
“Ya, silakan.”
“Tolong kemarikan pedangnya.”, pinta Plasma pada Biblos.
Pedang itu melayang sendiri ke tangan kalengnya. Diamatinya senjata hitam itu beberapa saat dari segala sisi. Dan mataku tidak salah, tulisan-tulisan aneh pada mata pedangnya telah hilang.
Tenebria menyadarinya, lalu berkata, “Hei… kenapa jadi seperti ini…?” Dirabanya mata pedang itu.
“Ohoho… tenang saja, tidak ada yang rusak kok. Heran ya, tidak ada tulisannya lagi?”
“Ya… benar. Apa yang kamu lakukan?”
“Boleh kukatakan kalau tulisan-tulisan itu adalah masalah sebenarnya dari pedang tersebut. Plasma, ingat tidak kalau ada dua Divine Technology yang namanya hilang dari daftar?”
“Jangan bilang kalau…” Jika Plasma punya ludah, mungkin dia akan menelannya sekarang.
“Yup!! Itu adalah salah satunya. Chaos Restriction.”
“Chaos… Restriction…” Tenebria memandang pedangnya dengan penuh kekaguman.
Tiba-tiba muncul sebuah layar holografik berwarna biru kehijauan di hadapan Plasma, berisi angka dan beberapa kata berwarna putih yang disusun rapi. Daftar kah? Seketika deretan kata itu turun dengan cepat, lalu berhenti di satu titik dengan tulisan “---N/A—“. Ada satu lagi tulisan yang sama di bawahnya. Tangan Plasma bersinar sejenak, lalu satu tulisan “---N/A---“ tersebut berubah menjadi Chaos Restriction.
“Ternyata benar. Ini… ini Divine Technolgy yang hilang!!”, seru Plasma kegirangan. “Jangan-jangan huruf aneh itu yang membuatku tak bisa melacak keberadan Divine Energy di dalam benda ini?!”
“Yup, sepertinya begitu. Dan kamu pasti tahu kalau…”
Plasma mengangguk. “Baiklah, boleh diaktifkan.”
Aku dan Raqia hanya saling berpandangan kebingungan, sesekali menggigit ikan. Kuangkat bahuku, tanda tidak mengerti apa yang keduanya lakukan. Tenebria sendiri terus mengamati dengan serius.
Biblos melempar beberapa deret huruf-angka-simbol pada pedang itu. Dan…
“U-Uh…?”
PEDANGNYA BICARA?! Astaga. Nyaris saja ikanku jatuh!!
“A-Anu… i-ini di mana…?”
Dan suaranya seperti anak laki-laki pemalu berumur 7 atau 8 tahun!! Divine Technology macam apa lagi ini??!!
“K-K-Kalian… siapa…? Master… di mana---”
“Aku di sini. Tenanglah.” Tenebria membelai pedang itu layaknya anak sendiri.
“Raqia… aku minta ijin pingsan…”, ujarku lesu.
“Ya sudah, kita pingsan sama-sama saja…” Raqia langsung bersandar pada bahuku, nampak tidak percaya juga. Kuikuti dengan meletakkan pipiku di kepalanya.
“M-Master… mereka semua siapa…?”
Diambilnya pedang itu dari genggaman Plasma. Sekarang Tenebria memeluk senjatanya itu erat-erat.
“Jangan takut. Mereka orang baik.”
“Yap!! Tepat sekali~ Malah sudah tugas kami untuk membantu dan menjagamu.”, ujar Biblos riang, mungkin untuk meredakan rasa takut pedang itu.
Plasma menambahkan, “Mmm. Kami tidak akan menyakitimu. Sekarang, bagaimana perasaanmu? Apa kamu merasa ada yang aneh dengan tubuhmu?”
“S-Sepertinya tidak… baik-baik saja.”
“Baguslah kalau begitu. Tapi… sepertinya nama Chaos Restriction terlalu sulit diucapkan… hmm…”
Biblos mondar-mandir beberapa saat. “Ah!!” Dia berhenti di udara. “Bagaimana kalau Charles?”
“E-Eh…?”
“Yup!! Supaya mudah dipanggil saja kok. Contohnya yang di sebelahku ini. Namanya Plasma, mengambil nama salah satu modenya, yaitu Plasma Rifle. Sebenarnya bisa saja kamu dipanggil Chaos, tapi kok rasanya seram sekali… Jadi, bagaimana?”
“Master… b-bagaimana menurutmu?”
“Kenapa tidak?” Tenebria tersenyum. “Itu nama yang bagus, dan tidak terlalu menyimpang dari nama aslimu.”
“Oke!!~ Mulai sekarang kamu akan kami panggil ‘Charles’. Bagaimana Da’ath? Raqia?”
“Uh… huh…” Aku hanya bisa mengangguk pelan. Aku masih setengah bingung.
“Ya, boleh saja jika Tenebria sudah setuju.”
Raqia sepertinya kembali ke alam sadarnya.
“Oh ya, Charles punya satu mode lagi. Dia bisa berubah menjadi kalung, supaya lebih mudah dibawa.”, ujar Biblos.
“Bagaimana caranya?”
“Katakan ‘Portable phase, activate’. Kalau ingin dikembalikan menjadi pedang, katakan ‘Sword phase, activate’.”
Tenebria melakukan tepat seperti perintah Biblos. Pedang itupun benar-benar berubah menjadi sebuah kalung salib merah darah setinggi kira-kira 7 sentimeter, rantai kalung hitam, dengan intan bening di tengahnya. Tapi… kenapa harus kalung sih…
“Halo, Charles. Kenalkan, namaku Raqia.”
“M-Mmm… iya, salam kenal juga, Raqia.”
“Da’ath, sapa dirinya juga.”
“E-Emm…”
Lihat, tidak, lihat, tidak, lihat, tidak… lihat.
Ew. Besar…
“Oke baiklah tidak usah.” Raqia menutup mataku ---setengah memukul--- lalu mendorong kepalaku. Mungkin dia sudah menyadari apa yang ada di pikiranku. “Namanya Da’ath.”
“O-Oh… Da’ath ya? Salam kenal… Tapi Raqia, kenapa dia tidak diijinkan melihatku?”
“Ahaha… tidak apa-apa kok.”
Jelas sekali tertawanya dipaksakan.
“Kenapa punyamu besar sekali sih?! Itu bisa memancing matanya yang mesum itu!!”
Entah karena telingaku yang sensitif atau bagaimana, suara Raqia yang dipelankan tadi terdengar cukup jelas.
“E-Eh? Mau bagaimana lagi? Ini memang sudah dari sananya…”, jawab Tenebria, nampak sedikit malu. “Lagipula…”
Kuberi isyarat pada Tenebria untuk diam. Kumohon jangaaaannn!!
“…dia sudah pernah lihat tanpa kututupi.”
Argh. Terlambat.
Tamat sudah riwayat Crusader-Saint, sampai di sini saja.
“DA’AAAAAAAAAATTTHHHHH!!!!!”
Dijambaknya rambutku keras-keras. Aku dicubit, diinjak, dipukuli, bahkan tanganku digigit!! Ikan yang masih setengah ekor itupun terpental entah ke mana.
“Jadi ini yang tidak kamu ceritakan??!! Kamu sudah lihat yang besar-besar itu??!! Kurang ajar!! KURANG AJAAAARRRR!!!!! Dasar mesum!! Brengsek!! BEDEBAAAHHH!!!!!!” Dicekiknya leherku sambil digoyang-goyangkan.
Ah, Tuhan… ampuni dosaku… jika memang sudah waktunya untukku…
“E-Emm… Raqia…”
“Biarkan saja. Yang begini sudah biasa terjadi.”
Aku masih bisa mendengar suara Tenebria dan Biblos. Artinya aku belum mati.
Plasma menarik Raqia menjauhiku. “Oke, oke, sudah. Jangan berlebihan. Jika Da’ath mati sungguhan, bisa repot jadinya.”
“Akh… terima kasih, Plasma…” Aku masih memegangi leherku beberapa detik setelahnya.
Syukurlah aku tidak mati. Untuk menghindari salah paham, akhirnya Tenebria menceritakan kejadian lengkap di padang rumput itu.
“Jadi… sebenarnya aku yang salah. Maaf, Raqia.” Tenebria menunduk hormat.
“Begitukah? Ya sudah, tidak apa-apa. Toh maksudmu juga bukan untuk menggodanya atau bagaimana.”
Kenapa dia bisa tenang sekali mendengar penjelasan Tenebria, sementara aku harus babak belur duluan?! Argh…
“Huh… oke, aku minta maaf, Da’ath.”
“Minta maafmu tidak tulus. Yang ini benar-benar menyakitkan…”
“Eh? Tapi kamu tidak apa-apa kan?”
Ekspresinya sekarang berubah setengah panik. Diapun mendekatkan wajahnya ke leherku. Dan…
*puk*
Elus sana… elus sini…
“Ahaha… tentu saja tidak. Aku sudah biasa menerima yang lebih parah dari ini kok.”
Yak, kepalanya berasap.
“Jadi, Tenebria, jika Raqia bersikap kasar, cukup begini saja yang perlu kamu lakukan.”
“D-D-Da’aaath…!!!!” Lagi-lagi Raqia memukuliku, tapi tenaganya seperti anak-anak. Lengkap dengan ‘saus tomat’ yang mendidih di pipinya.
Dan tawa kembali ke bibirnya, Tenebria. Demikian juga dengan Charles, ikut menyuarakan keceriaan. Plasma? Menghela nafas panjang, seperti orang tua yang pusing melihat kelakuan anak-anaknya yang bandel. Hanya Biblos yang tertawa keras-keras.
“Jadi, nona Tenebria, apa yang akan anda lakukan setelah ini?”, tanya Plasma.
“Aku ikut.”, jawabnya tegas, kemudian berdiri. “Aku ikut dengan kalian. Sword phase, activate.”
Tenebria berlutut dengan sebelah lutut, dan bertumpu pada pedang yang digenggam dengan tangan kanan. Disilangkannya tangan kiri di depan dadanya.
“Mulai sekarang, aku, Tenebria Erebus, bersumpah akan mengikuti kalian kemanapun kalian pergi. Entah ke langit ke tujuh ataupun jurang maut, aku akan menyertai kalian. Dan mulai detik ini juga, nyawaku sepenuhnya menjadi milik kalian. Jika kalian mendapati diriku berkhianat, kalian bebas mencabut nyawaku kapan saja. Terima kasih atas segala kebaikan yang telah kalian berikan. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk membalasnya.”
Semua yang ada di ruangan ini tertegun, terkagum, tak bersuara. Termasuk diriku. Aku belum pernah melihat seseorang bersikap dengan penghormatan setinggi ini. Terlihat sangat ksatria.
Hingga akhirnya, Raqia mengaktifkan mode Angel Knight-nya. Ditaruhnya sisi lebar pedang peraknya pada bahu kiri Tenebria.
“Sumpahmu kuterima, Tenebria Erebus. Tuhan Semesta Alam dan seluruh balatentara surga menjadi saksi atas kata-katamu. Hanya saja…”
Raqia menatap langit-langit sesaat.
“…daripada jadi bawahan, lebih baik kita berteman saja. Bagaimana?”
“T-Tapi, apa aku pantas…”, jawabnya ragu.
“Kalian, bagaimana?”, tanya Raqia padaku, Plasma, dan Biblos.
Tidak ada sanggahan. Kami bertiga mengangguk selaras.
“Jadi, mulai sekarang kamu adalah teman kami. Oh, tentunya kamu juga, Charles.” Raqia membelai sesaat mata pedang itu.
“M-Mmm. Terima kasih banyak ya.”, jawab pedang itu.
Tetapi, baru saja Raqia mematikan mode tempurnya itu…
“Ada yang datang.”, ujar Charles.
“Siapa---“
Belum sempat Tenebria menyelesaikan pertanyaannya, sosok bersayap putih tiba-tiba sudah berada di belakang dirinya. Dengan cekatan sosok asing itu menarik kedua tangan Tenebria ke belakang, membuat genggamannya atas Charles terlepas. Tak sampai sedetik, mata pisau berbentuk aneh sudah menempel tepat di sisi kanan lehernya. Sedikit saja bergerak, bilah keperakan itu akan memotong urat leher Tenebria dengan mulus.
Kemunculan yang tiba-tiba itu membuat kami semua membeku sesaat.
======================================
Spoiler untuk Trivia :
Kagak ada
Last edited by LunarCrusade; 23-04-13 at 00:51.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
GSA TAMAT WOE!Tamat sudah riwayat Crusader-Saint, sampai di sini saja.![]()
Tenebria akirnya muncul lagi, ya... dan 2 chapter bikin gila
err... yang di 35 itu... beneran gak kepikiran lho... gue pikir masih ada 1 lagi diatasnya si Inferna
eeh..mirip sama cerita keluarga Mongol itu, ya...
tapi...BERARTI ATRA!???
ah ini penulisnya sadistik bener.
terus bagian akir 36 juga udah lu spoiler kemaren ini... gak kaget dah
sebenernya dari awal 35 gue udah langsung terbesit... wah ternyata beneran yang itu...
oh...
Spoiler untuk asd :lo ngarep ada incest yuri ye takkan kuberikanhei...hei... incest yuri hei, kenapa munculnya malah straight
mustinya gw bikin tamat, terus ganti char utama... atau tuker gender #plakGSA TAMAT WOE!![]()
Tenebria akirnya muncul lagi, ya... dan 2 chapter bikin gila
err... yang di 35 itu... beneran gak kepikiran lho... gue pikir masih ada 1 lagi diatasnya si Inferna
eeh..mirip sama cerita keluarga Mongol itu, ya...
tapi...BERARTI ATRA!???
ah ini penulisnya sadistik bener.
terus bagian akir 36 juga udah lu spoiler kemaren ini... gak kaget dah
sebenernya dari awal 35 gue udah langsung terbesit... wah ternyata beneran yang itu...
oh...
Spoiler untuk asd :
hei...hei... incest yuri hei, kenapa munculnya malah straight
asal usulnya Inferna ntar makin terkuak, sante aja
Atra...
udah anu apa belom hayooo
oh tenang, ntar ada twist yang lebih menggairahkan lagi kok
dijamin langsung salto 720 derajat pas baca
Spoiler untuk dor :
gw gak ngefans" amat sama yuri sebenernya, jadi...
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk dsxcvawe :bukan main twistnya.. i didn't see a thing
dua chapter ini santai kalo dibandingin sama yang sebelum2nya. gak ada pelajaran, gak ada berantem, tapi lebih fokus kebr satu lagi 'rahasia cerita' (istilah buat sendiri lagi.), dibumbui pake love-comedy sama sedikit fan servis dari Tenebria
hee.. jadi tenebria gabung sama party, tiba2 gua langsung liat death flag dikepalanya
---
sedikit koreksi
inferna kali maksudnya“Dia melahirkan anda dengan sudah dipasangi bagian tubuh buatan?!” Plasma terdengar kaget. “Hmm… tapi jika bagian itu belum diganti, masih sangat mungkin…”
Last edited by -Pierrot-; 21-04-13 at 19:11.
incest.. incest dimana" (wait, gue ngga berhak ngomong gitu ya, hehe..)
tapi luar biasa ini inces ayah anak uda main rape"an. Ngga kebayang deh atra yang kecil gitu jadi korban papanya![]()
NOOOOOOO!!!! jangan ingatkan saya pada hal sialan itu!
ATTTRRRRAAAAA
*kemudiankembalikeperadaban
![]()
Kenapa mulai bahas incest raep ini![]()
Last edited by -Pierrot-; 02-06-13 at 17:42.
AKHIRNYA UPDATE SODARA SODARA SEKALEAN
btw ilmunya disimpen buat 2 Tehillim berikutnya yaw
Spoiler untuk Tehillim 37 :
================================================
Tehillim 37: Daughters of the Sea Part I ~ Shore of Serenity
================================================
Tenebria tidak terlihat panik. Dengan wajah santai, dia menghentakkan tangan kanannya. Terlepas. Secepat kilat, tangan kanannya yang tak lagi terkunci meraih pergelangan tangan orang yang ada di belakangnya. Dijauhkannya pisau itu dari lehernya. Meski ekspresi Tenebria tetap tenang, namun jelas sekali orang di belakangnya menunjukkan rasa kesakitan yang amat sangat. Pisau aneh itupun terjatuh.
Sebenarnya aku ingin memanggil mode Heavenly Saint, tapi…
Raqia menepukkan kedua tangannya beberapa kali, lalu berdiri. “Oke, oke. Cukup.”
…aku dan Raqia sudah tahu betul siapa orang yang di belakang Tenebria.
“Uuuu~ Sakit…” Makhluk bersayap putih itu meringis kesakitan. Dia berlutut di lantai sambil memegangi pergelangan tangan kanannya.
“Da’ath, Raqia, boleh… kupenggal kepalanya?” tanya Tenebria dengan nada mengerikan. Charles sudah kembali dalam genggamannya, sementara ujung pedang itu ditaruh dekat leher orang yang tadi menodongnya.
Menggeleng cepat, Raqia menjawab, “Jangan, jangan, jangan. Dia tidak berbahaya, hanya saja sering ceroboh seperti tadi.”
Sosok bersayap itupun menatap Raqia. Mata bulat hijaunya yang seperti daun tua nampak berair. “Uh…? Yang Mulia Raqia…?”
“Sejak tadi aku duduk tidak jauh, kamu baru menyadari keberadaanku sekarang?”
Raqia menghela nafas panjang, kemudian menaruh telapak tangan kanannya di dahi.
“Thalia… Thalia.” Raqia menggeleng. “Selalu saja begini.”
Yap, tidak salah lagi. Rambut berwarna merah muda sebahu yang sedikit dikuncir pada sisi kanan itu sudah pasti miliknya, Thalia, Eleutherian-class yang merupakan salah satu anggota Indagator. Apalagi dengan adanya topeng merah berekspresi tersenyum yang selalu terpasang di kiri atas kepalanya itu, membuatku terlalu yakin. Dia memang dikenal sebagai yang paling sering terburu-buru dalam melakukan sesuatu diantara delapan lainnya.
“Tenebria, singkirkan pedangmu.”, ujar Raqia.
“Dia bukan musuh atau orang berbahaya?”, tanya Tenebria dengan wajah polos.
“Bukan. Aku kenal dengannya dan aku yakin Da’ath juga demikian. Benar begitu?”, tanya Raqia sambil menoleh ke arahku.
Pertanyaan Raqia kujawab dengan mengangguk dua kali.
“Begitu rupanya. Baiklah jika kamu sudah berkata demikian.” Tenebriapun mundur sedikit.
Thalia bertanya sambil menunjuk Tenebria, “Yang Mulia, d-dia itu siapa sih…?” Wajahnya masih menunjukkan rasa ngeri.
“Perkenalkan dirimu, Tenebria.”
“Tenebria Erebus. Nephilim.”, ujarnya tegas.
Wajah Thalia makin pucat pasi mendengarnya. “HIIIII?! N-N-NEPHILIMM???!!!”
“Ada masalah dengan itu?”
Nada datar Tenebria memperparah ketakutan Eleutherian-class itu. Bibir Thalia hanya membuka menutup kaku tanpa suara.
Tenebria lanjut bertanya, “Tanganmu sakit?”
Dengan pipi agak cemberut, Thalia menjawab setengah berteriak, “Tentu saja sakit!! Tenagamu seperti badak liar, tahu!!!!”
“Hmm… padahal cukup pelan. Jauh di bawah kekuatanku yang biasa.”, gumam gadis Nephilim itu.
“Permisi.” Plasma berdiri, tak menghiraukan perdebatan antara Thalia dan Tenebria. Dia berjalan untuk mengambil senjata yang tergeletak di lantai itu.
Jika kuperhatikan lebih seksama, bentuk mata pisau putihnya menyerupai taring hewan predator, dengan gagang berwarna hitam yang bentuknya sangat geometris.
“Ini…”
Segera kupotong, “Biar kutebak. Alat aneh lagi?”
“Yeah, right. Anti-Divine Technology. Lightpath Diffuser. Inilah yang menyebabkan tidak ada satupun dari kita yang melihat keberadaannya tadi karena kemampuannya untuk memanipulasi refraksi dan refleksi cahaya. Seingatku ini merupakan bagian dari alat yang lebih besar lagi… tapi aku tidak punya data tentangnya. Hilang.”
Ekspresi kesakitan Thalia sudah lenyap ketika dia bertanya, “Uh? Apa kamu tahu banyak tentang benda itu?”
“Sebenarnya tidak untuk saat ini. Tapi aku bisa menyelidikinya lebih lanjut jika kamu mau.”
Eleutherian-class itu segera berdiri, ekspresinya berubah gembira. Mengangguk-angguk cepat, dia menjawab, “Mmm! Tentu saja aku ingin tahu!”
Senyum cerianya membuatku sejenak melupakan kalau dia nampak begitu kesakitan beberapa saat lalu. Harus kuakui kalau hanya dengan sedikit senyuman darinya, semua yang melihatnya akan ikut merasa gembira. Suatu kemampuan ---bukan kemampuan bertempur--- yang hanya dimiliki oleh anggota Indagator berjuluk Cheerful Gale itu.
Thalia berdiri, mengibaskan debu pada pakaian merah cerah tanpa lengan dan celana pendek coklat tua yang dikenakannya, kemudian membetulkan posisi scarf merah tua yang memeluk lehernya. Dia mengulurkan tangan kirinya yang dibalut sarung tangan kulit berwarna coklat muda pada Plasma. Kalau kulihat-lihat, ternyata tinggi badannya hanya kira-kira sejengkal lebih tinggi dari Raqia.
“Namaku Thalia. Kalau kamu?”, tanyanya ramah sambil sedikit menengadah karena tubuh Plasma yang jauh lebih tinggi. “Oh, maaf kalau pakai tangan kiri. Tangan kananku masih sakit.”
Balas menjabat tangan dengan tangan kiri, Plasma menjawab, “Panggil saja Plasma. Itu nama yang diberikan orang di sebelah kananku ini.”
Aku maksudnya.
“Jadi sebelumnya kamu tidak punya nama?”
“Begitulah. Lebih tepatnya aku belum bisa mengingat nama asliku.”
“Hee… begitu ya. Baiklah, akan kupanggil Plasma seperti yang kamu katakan tadi.”
Buatku, pemandangan ini agak sulit dipercaya. Biasanya Plasma selalu memanggil siapa saja ---manusia biasa sekalipun--- dengan hormat. Tapi kali ini… tidak. Mereka nampak akrab dan santai. Apa mungkin aura yang dipancarkan Eleutherian-class yang satu itu juga mampu mempengaruhi makhluk buatan seperti Plasma?
Raqia angkat bicara. “Jadi, Thalia, di mana Melpomene dan Kalliope? Kudengar dari Tselemiel kalau mereka sedang bersamamu.”
“Oh… ya, ya, benar. Mereka ada di---“
*GUBRAK*
Pandangan kami semua teralih pada sosok gadis Eleutherian-class berikutnya yang entah dari mana tiba-tiba muncul tak jauh dari sebelah kiri Plasma. Tubuhnya berada dalam keadaan tengkurap dengan bokong agak melekuk ke atas. Kenapa aku bisa tahu kalau dia adalah seorang Eleutherian-class? Tentu saja karena aku sudah pernah bertemu dengannya sekitar 13 tahun lalu di Ferrenium, sama seperti semua anggota Indagator lainnya.
“Uuuu~ Sakit…”
Warna suaranya hanya berbeda setipis kertas dengan Thalia. Kenapa demikian? Karena yang satu itu adalah saudari kembarnya, Melpomene, Crying Breeze. Cara membedakan keduanya? Cukup ganti semua yang berwarna merah pada pakaian Thalia menjadi biru. Sisi rambut yang dikuncir berada di sebelah kiri. Topeng biru di sebelah kanan atas kepalanya juga memiliki ekspresi yang berkebalikan. Mata turun, bibirnya melengkung ke arah bawah. Raut wajah murung.
“Panjang umur…”, gumam Raqia sambil menggaruk-garuk pelipis kanan. Bibirnya hanya tersenyum masam.
“M-Maaf, maaf! Tadi kamu tersandung tubuhku ya?”, tanya Biblos yang posisinya memang tepat sekali berada di sisi kanan kaki Melpomene.
Konon katanya, kadang-kadang dia bisa terjatuh sendiri tanpa sebab meski punya sepasang sayap. Karena itulah aku agak ragu dengan pernyataan Biblos. Yep, natural airhead. Lengkap sudah kombinasi dua saudari Eleutherian-class super ceroboh.
“Uuuu~ Tidak apa-apa kok…” Melpomene berusaha duduk sambil memegangi pinggulnya.
Kulihat ada pisau yang sama persis menggantung di pinggang kanannya. Yap, Lightpath Diffuser. Tidak mengherankan jika tidak ada satupun yang melihatnya tadi. Mata Plasma juga tak kalah cepat denganku. Dia sudah fokus pada benda aneh itu.
“Ada yang terluka? Ada yang sakit?”, tanya Biblos panik.
Sebenarnya aku sempat heran melihat Mel ---panggilan Melpomene--- yang tidak terkejut melihat buku terbang dan bicara. Tapi… ya sudahlah.
“Mmm… iya tidak apa-apa. Tadi memang aku yang terpeleset… ahahaha…”
Thalia mendekat pada saudari kembarnya, membantunya berdiri… dan malah ikut terjatuh. Astaga.
“A-aaa… maaf, Thalia. Aku tidak sengaja…”
“Tak masalah, Mel. Tanganku memang agak--- ukh…” Kembali Thalia menunjukkan raut kesakitan.
“K-Kamu kenapa??” tanya Melpomene panik. Sesuai julukannya, matanya langsung meneteskan air mata hanya dengan melihat saudarinya merasakan nyeri.
“Sepertinya kamu benar-benar terlalu keras tadi.”, ujar Raqia pada Tenebria.
“Huh? Benarkah?” Diraihnya tangan kanan Raqia. “Coba tahan sebentar.”
Tenebria mencoba menggesernya, namun… astaga. Tak terlihat sama sekali perubahan pada ekspresi Archangel kecil itu.
“Bahkan kamu sanggup menahannya. Tenagaku sama seperti tadi.”, komentar Tenebria.
“Jangan samakan aku dengannya.”, jawab Raqia. “Kekuatannya jauh di bawahku. Apa kamu tidak pernah menyadarinya sewaktu mampir ke domain-domain Elilim-class?”
“Apa iya ya…?”, Tenebria merespon polos, menatap langit-langit.
“Apapun itu, yang jelas kamu harus bicara dengan Thalia nanti.”
Sekarang pandangan Raqia beralih pada kedua saudari itu.
“Baiklah, sebaiknya kita cepat menemui yang satu lagi. Kalliope, maksudku. Bisa tolong antarkan?”
Keduanya mengangguk selaras. Kami keluar dari rumah kosong ini dengan mode tempur masing-masing, sementara si kembar itu memandu jalan di depan.
Kupikir aku akan terbang cukup jauh, ternyata tidak. Hanya sampai pantai. Di luar, kulihat ada beberapa pria. Mungkin belasan hingga dua puluhan orang. Lima enam orang membawa gerobak, sementara yang lain masuk ke beberapa rumah dan mengambil barang. Beberapa yang menengok kemari sempat menunduk hormat sebentar sambil tersenyum. Oh, aku tahu. Pastilah mereka adalah penduduk asli kota ini yang pindah ke tempat lain. Mungkin ada barang-barang yang tidak sempat terangkut sewaktu pindah, sehingga mereka mengambilnya sekarang. Jelas mereka bukan pencuri. Jika ya, sudah pasti akan diringkus oleh Thalia dan Melpomene.
Laut nampak sangat tenang pagi ini. Matahari belum terlalu tinggi di langit, seakan berdiri ditopang barisan bukit di sebelah timur. Burung-burung camar bersahutan kesana kemari, angin sepoi-sepoi membelai lembut wajahku, dan…
…suara ini…
Nyanyiannya menuntun kakiku hingga menyentuh permukaan tanah. Suaranya begitu lembut dan menyatu dengan belaian angin, mampu merasuk ke bagian jiwaku yang terdalam. Bagaikan terikat sebuah senar, telingaku tak lagi fokus pada apa yang ada di sekelilingku.
Ya, inilah suara Aqua Tranquility, Kalliope.
Aku hanya bisa menarik nafas dalam ketika sosoknya menghampiri penglihatanku. Dia duduk di sebuah batu karang yang tak begitu besar, menghadap ke arah laut. Helaian biru lembut yang hampir sama panjangnya dengan rambut Raqia dibiarkan terurai, menutupi sedikit bagian atas batu. Kedua mata bulat birunya memantulkan bentang lautan tenang yang luas di depan. Cahaya hangat pagi hari ikut menambah kemilau keanggunan yang dipancarkan kulit putih cerahnya.
Nyanyiannya terus mengalun. Untaian nada-nada yang memancar bahkan mampu menarik perhatian beberapa burung di udara, membuatnya mendarat tak jauh dari kaki sang Eleutherian-class itu. Semuanya nampak begitu tenang, tenggelam dalam melodi kedamaian. Suara indahnya mampu memeluk lembut semua yang hidup dan bernafas di pantai ini.
Segala beban dan pikiran penatku belakangan ini lenyap begitu saja seperti sebuah mujizat. Harmoninya membawa semua itu pergi bersama angin pada setiap tarikan nafasku.
Ah… Tuhan, terima kasih, aku dapat mendengar sesuatu seindah ini di awal hari. Seakan ada penghuni rumah-Mu yang turun dan bernyanyi di hadapanku.
Tunggu.
Astaga, bahkan aku tak sadar kalau mode Heavenly Saint sudah dimatikan oleh Plasma!
Nada terakhir mengalir, kemudian disambut oleh tepuk tangan dari orang-orang yang tadi sempat kulihat. Suara riuh itu mengalihkan perhatian Kalliope. Sempat terkejut sedikit, namun dia segera tersenyum ke arah mereka lalu melambaikan jemari lentiknya sejenak.
“Wow… ini… ini luar biasa…” gumam Plasma, tidak menatapku. Mulutnya bahkan tak segera menutup setelah dia mengatakan itu.
“Uhuhuhu… ini… kenapa bagus sekali…” kata Biblos, terdengar terharu. Jika dia punya air mata, mungkin tanah sudah basah karenanya.
“Mmm. Sudah tiga belas tahun aku tak mendengarnya, dan masih sama indahnya seperti dulu.”
“Tidak salah jika dia dan Polyhymnia dikenal sebagai Graceful Duo.”, sahut Raqia. Bibirnya tersenyum lebar, mungkin ikut merasakan aura damai yang dimiliki suara Kalliope.
Yap, aku setuju. Duet keduanya di Ferrenium 13 tahun lalu berhasil membuat seluruh desa menangis bahagia. Sayang sekali, sulit untuk meminta Polyhymnia bernyanyi jika tak ada acara apapun. Itulah alasannya kenapa tak sedikitpun kudengar nyanyiannya sewaktu di desa gurun itu.
Menyadari keberadaan kami, Kalliope melompat turun dari karang. Kepakan sepasang sayap putihnya menahan tubuh indahnya sejenak di udara. Untaian rambutnya jatuh dengan elegan, kakinya menapak anggun di permukaan. Setelah sebentar mengibaskan debu pada toga putih berornamen bergaris hijau muda yang dikenakannya, dia melangkah kemari. Segera kedua saudari itu berlari menyambut Kalliope.
Terdengar suara isak tangis. Itu…
…Tenebria?
Entah sejak kapan air mata mengalir dari mata merahnya, aku tak tahu karena terlalu terlena dengan keindahan suara Kalliope. Dia terus berusaha menghapus jejak tangisnya dengan lengan baju. Ketika Eleutherian-class itu hanya berjarak beberapa langkah, Tenebria segera menghampirinya.
“Bagaimana… bagaimana bisa suaramu begitu indah seperti tadi…?”, tanyanya, masih setengah terisak.
“Ahaha… terima kasih banyak.”, jawab Kalliope ramah. “Tapi aku hanya memanfaatkan kemampuan yang Tuhan berikan saja, tidak lebih.”
Kedua saudari itu nampak agak kesal.
Thalia segera menyambar, “Jangan percaya dengan air mata palsunya!! Dia bahkan membuat tanganku sampai memar!!”
“Iya, benar.”, sahut Mel. “Kalau tidak percaya, coba lihat pergelangan tangan kanan Thalia. Bengkaknya cukup besar.”
Terlihat bingung, Kalliope merespon, “Uh? Benarkah?”
“Jangan seratus persen dipercaya.”, sahut Raqia. “Itu karena si ceroboh yang satu itu menyerang begitu saja tanpa memperhatikan sekitar.”
“Salam hormat, Yang Mulia.” Kalliope menunduk sebentar pada Archangel penguasa Shamayim itu. “Jadi… ini semua cuma kesalahpahaman?”
“Begitulah. Siapapun pasti akan melakukan hal yang sama jika tiba-tiba ditodong pisau dari belakang.”
“Apa benar apa kata Yang Mulia Raqia, Thalia?”
“Ng… itu… anu…” Mata hijau Thalia hanya melirik ke sana kemari.
“Jangan marahi Thalia.”, sahut Melpomene. “Dia… dia hanya tidak tahu…” Ekspresinya segera berubah seperti mau menangis.
Kalliope menghela nafas panjang. “Kalian ini. Untung saja ada Yang Mulia Raqia yang bisa meluruskan kesalahpahaman. Ya sudah, nanti bisa diobati.”
“Tapi aku juga harus minta maaf. Mungkin aku kelewat keras tadi.”, ujar Tenebria, agak membungkuk.
“Tidak apa-apa. Maafkan juga anak-anak ini. Mereka kadang suka kelewat batas.”
Senyum ramah Eleutherian-class bermata biru itu membuat Tenebria tak mampu bicara apa-apa lagi. Hanya mengangguk pelan.
“Dan kamu… ah!!”
Begitulah reaksinya ketika melihat ke arahku.
“Kamu yang dulu itu kan? Sudah tinggi sekali rupanya ya…”
Kata-kata Kalliope seperti seorang anggota keluarga yang sudah lama sekali tidak bertemu. Meski aku tak punya hubungan darah dengannya, tapi ucapannya mampu membuat siapapun merasa dekat dengan dirinya. Aku sendiri heran kenapa dia masih bisa mengingat diriku.
“Ya... begitulah.”
Aku menjawab sambil menggaruk-garuk kepala, agak tersipu menatap dirinya yang sekitar 10 sentimeter lebih pendek dariku. Dulu aku hanyalah bocah pengecut yang hanya bisa terpana melihat dia bernyanyi di atas panggung tanpa berani untuk sekedar bersalaman dengannya ---padahal sudah setengah dipaksa oleh Clio---. Namun, sekarang aku menyambutnya dengan status sebagai Crusader-Saint yang diberkati kekuatan ilahi dari Tuhan untuk memulihkan dunia ini, tanpa ada lagi ketakutan.
Tapi… sepertinya aku tidak bisa memandangnya seperti itu terlalu lama. Ada suatu lirikan membunuh dari seseorang yang membuat alam sadarku kembali mengambil kontrol penuh atas diriku. Tanpa melihat ke arahnya pun aku sudah tahu.
Alur pembicaraan segera berubah ketika Raqia bertanya mengenai orang-orang yang tadi kami lihat. Usut punya usut, ternyata benar dugaanku, semuanya adalah penduduk asli tempat ini yang pindah lebih dekat ke daerah gunung sekitar 1 bulan lalu.
“Ah… masih sering terjadi juga rupanya. Untunglah tadi malam tidak ada serangan sewaktu kami menginap di salah satu rumah---“
“A-A-Aaaa… rumah itu kan…”
Plasma segera menyadari kalau pintunya sudah dijebol ---lebih tepatnya ditendang--- olehnya kemarin malam. Tanpa basa-basi, dia segera mohon diri untuk memperbaiki pintunya. Mungkin sekalian membersihkan sisa-sisa yang tadi.
“Maaf, kami tidak tahu kalau mereka akan kembali ke sini.”, ujar Raqia sambil tersenyum agak dipaksakan.
“Ya… sudahlah. Yang sudah terjadi biarlah terjadi.”, jawab Kalliope sambil tersenyum anggun.
*
Sekitar 40 kilometer ke arah perbukitan di sebelah tenggara ---menurut peta petunjuk Plasma---, ke sanalah orang-orang dari pantai itu pindah. Memang terbilang aman dari serbuan bajak laut yang menyerang, namun bukit-bukit yang bertindak sebagai penghalang alami antara desa lama dan baru cukup menyulitkan orang-orang untuk mengambil barangnya kembali. Membawa gerobak menyusuri jalanan mendaki sangatlah melelahkan, apalagi saat perjalanan pulang.
Tapi kali ini jelas berbeda.
“Ternyata temanmu itu serbaguna juga ya?”, komentar Thalia ketika Plasma mendarat tak jauh dari desa.
Yap, Plasma berubah menjadi Merkava Barzel, membawa semuanya hingga ke tujuan. Dengan demikian segalanya menjadi lebih mudah dan praktis. Aku juga bicara pada Raqia agar tidak melanjutkan perjalanan hingga seluruh barang selesai dipindahkan. “Tinggal sedikit lagi.”, begitulah kata Kalliope, mempengaruhi keputusanku akan hal tersebut. Dan kali ini tak ada penolakan sedikitpun.
Lewat tengah hari, seluruh barang hampir selesai diturunkan dari kapal. Dan aku tidak habis pikir bagaimana Raqia bisa membawa 2 kotak besar-besar sekaligus pada masing-masing tangannya sambil sedikit dilempar-lempar…
Baru saja aku menaruh satu buah kotak kayu, tiba-tiba Kalliope menghampiri.
“Da’ath, bisa minta tolong sebentar?”
Aku memang meminta semuanya memanggil diriku dengan nama saja, tidak usah pakai gelar aneh-aneh.
Entah apa namanya, tapi Eleutherian-class nan anggun itu punya sesuatu yang mampu membatalkan semua keengganan yang timbul dalam diri siapapun yang diajak bicara. Tidak terkecuali diriku yang langsung mengangguk dengan senang hati. Kuikuti dirinya ke salah satu rumah bercat putih sekitar beberapa belas langkah di sebelah kiriku.
“Jadi, ingin minta tolong apa?”
“Itu.”
Kalliope menunjuk pada celah seukuran tubuh manusia di dasar tembok rumah. Tepiannya dibingkai oleh susunan bata merah.
“Bisa… tolong carikan beberapa kayu kering? Tidak perlu terlalu banyak. Kalau sudah, nanti tolong taruh di situ.” Kemudian dia mengambil sesuatu dari balik toganya yang berlipat-lipat itu. “Dan juga tolong dinyalakan.”
Sekotak kecil korek api rupanya. Aku mengerti. Mungkin dia ingin berendam air panas. Bersantai sejenak setelah bekerja memang yang terbaik.
Lekuk bibirnya seperti saklar yang mengaktifkan langkah kakiku ke arah pepohonan. Kurasa tak ada satupun manusia yang mampu menolak permintaannya. Kukumpulkan sebanyak mungkin kayu dan ranting yang bisa kubawa dengan kedua tanganku. Aku segera kembali ke rumah tadi, menaruh kayu-kayunya di dalam celah, lalu menyalakan api. Karena tidak kudapati dirinya di dekat celah itu, maka akupun berjalan ke depan rumah.
Oh itu dia, sedang duduk di teras. Dengan… Tenebria?
Mata birunya beralih kemari, mungkin mendengar langkah kakiku.
“Sudah?”, tanya Kalliope.
“Ya, sudah. Kukumpulkan sebanyak yang kubisa.”
“Terima kasih banyak ya.”, jawabnya sambil tersenyum. “Kalau lelah, kamu bisa duduk-duduk di sini. Ini rumahku meski hanya untuk sementara. Jadi tidak perlu sungkan.”
Diapun meraih tangan Tenebria dan mengajaknya ke dalam. Cepat sekali mereka akrab...? Ya sudahlah, aku duduk saja di salah satu kursi rotan. Kakiku memang agak pegal.
Entah ke mana Raqia, Plasma, dan juga Biblos, tak kudapati mereka di tanah lapang di depan rumah ini. Bentuk desa ini agak melingkar dengan setiap rumah menghadap ke lapangan bulat di tengah-tengah desa. Rumah di belakangku ini langsung berbatasan dengan lapangan itu, sehingga aku bisa melihat rumah-rumah lainnya. Ternyata tidak begitu berbeda dengan yang ada di pantai, hanya saja tak memiliki warna-warna semarak. Kudengar semua rumah yang berada di pantai selalu berwarna-warni agar mudah dikenali orang-orang yang sedang melaut dari kejauhan. Tapi karena desa ini tidak berbatasan dengan laut, apa gunanya menaruh corak tersebut---
Perbincangan dari dalam rumah seketika merantai perhatianku.
“Hmm… begitu. Rumit juga ya. Jadi intinya ayahmu melakukan semua itu untuk mendapatkan keturunan seorang Archangel murni?”
“Ya, sederhananya seperti itu.”
Hei… apa maksudnya? Bagaimana bisa si brengsek itu ingin menghasilkan seorang Archangel tanpa Archangel Core---
“H-Hyaaaa!!!!~”
Teriakan menggemaskan terdengar dari dalam rumah, disertai suara cipratan air. Pikiranku langsung menguap.
“Maaf, maaf. Sakit ya?”
Itu… pertanyaan dari Kalliope. Warna suaranya memang mudah dikenali. Artinya, yang menjerit tadi…
“E-Emm… t-tidak. Hanya agak geli saja…”
…Tenebria??!! Apa telingaku tidak salah dengar? Bagaimana bisa gadis seganas dan sekuat dia bisa mengeluarkan suara yang membuat pria manapun membayangkan hal yang aneh-aneh??!!
“Oh… kupikir karena bekas lukanya masih sakit. Sayang sekali ya, kulit seindah ini harus rusak begini. Padahal di bagian-bagian yang tidak luka semuanya benar-benar halus dan lembut. Aku jadi iri…”
“T-Tapi, kulitmu juga--- HYAAAAAAAA!!!!~” Jerit menggemaskan itu lagi.
“Ternyata tidak hanya besar, padat, dan berisi, tapi juga sensitif.”
“K-K-Kalliope!!”
“Kamu lucu sekali sih… ahaha…”
Hening sejenak.
“Oh ya, aku punya ramuan khusus dari tumbuh-tumbuhan yang bisa menghilangkan bekas luka seperti ini. Apa kamu mau?”
“U-Uh…? Benarkah?”
“Kalau memang berminat, nanti akan kuambilkan. Apa perlu kuoleskan juga?”
“T-T-Tidak usah!! A-Aku bisa memakainya sendiri!!” Tenebria menjawab setengah berteriak, tapi nada suaranya… argh…
Sial, sekarang benar-benar terbayang hal yang aneh-aneh di kepalaku! Ah, lebih baik aku segera menyingkir sebelum godaan ini menarik diriku jauh lebih dalam. Kakiku menuntun hingga ke satu titik dengan pemandangan bentuk permukaan tanah yang menurun landai di depan. Kurebahkan diri di atasnya.
“Huh… lebih lama di situ aku bisa gila…”
“Gila kenapa?”
Sebentuk bayangan menutupi pemandangan langit. Ternyata itu Thalia, berdiri di belakang kepalaku. Begitu aku duduk, kulihat juga sosok Melpomene di kiri belakangnya.
“Kalian rupanya.”
“Lihat Kalliope?”, tanya Thalia.
“Di rumahnya. Sedang mandi.”
Matanya melirik tajam. “Kamu mengintip?” tanyanya menggoda.
“Mengintip apanya hah?! Justru aku menyingkir kemari untuk menjauhi godaan *****!!”
“Bwahahahaha!!!! Langsung merah begitu…!! Hahahahaha…!!”
Mulutnya masih terbahak-bahak selama beberapa saat. Beberapa detik kemudian, diapun duduk di sebelah kiriku, sementara Mel di sebelah kanan.
“Maklum sajalah. Dia memang suka begitu kalau sudah merasa cocok dengan seseorang. Mungkin gadis mata merah itu punya sesuatu yang membuatnya tertarik.”
“Bagaimana tanganmu?”
“Sudah lumayan. Tadi Kalliope sempat memberikan obat racikannya sendiri.”, jawab Thalia sembari menunjukkan pergelangan tangan kanannya.
Tadi kudengar Eleutherian-class berambut biru itu juga mengatakan sesuatu tentang ramuan dari tumbuhan.
“Dia senang membuat obat-obatan ya?”
Thalia mengangguk cepat. “Yap, benar. Di kampung halamannya dulu, banyak sekali tanaman yang bisa dijadikan obat untuk berbagai penyakit.”
Tunggu. Aku tidak pernah tahu kampung halaman Kalliope.
“Memangnya dia berasal dari mana?”
“Hah? Kamu tidak tahu? Dia itu dari Pardes! Sewaktu kabar tentang diserangnya kota itu sampai ke telinganya, dia berubah murung selama nyaris tujuh hari.”
Bah. Tidak mengherankan dia tahu banyak tentang tanaman obat. Sekelilingnya saja hutan lebat begitu.
Thalia melanjutkan, “Tapi dia bukan dari ibukota, jadi tidak ada kerabatnya yang ikut celaka. Rumah lamanya ada di pinggir laut yang berbatasan dengan Ya’ar HaMalakh, lebih tepatnya lagi di muara sungai yang melewati kota pohon itu.”
“Kamu banyak tahu juga ya. Tidak seperti penampilanmu.”
Ledekanku tidak efektif karena fokusnya sedang mengarah kepada Mel. Begitu kepalaku menoleh ke kanan, kedua tangan Mel nampak seperti sedang memberi isyarat pada Thalia untuk diam, namun segera ditariknya setelah dirinya masuk dalam jangkauan pandangku.
Kepalaku bergantian menengok kedua saudari itu. “Ada yang kalian sembunyikan?”
Mulut Mel membuka sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu.
Dia menggeleng. “Tidak jadi. Maaf.”
“Kalau belum ingin cerita, tidak apa-apa. Jangan dipaksakan.”
Keduanya saling pandang sejenak, kemudian Thalia mengangguk. “Cerita saja. Bagaimanapun juga, sekarang Da’ath adalah bos kita secara tidak langsung.”
“Begitu… ya. Sebenarnya tadi aku tidak mau pembicaraan berlanjut terlalu jauh, lalu sampai pada sesuatu yang tidak ingin kuingat lagi. Tapi… kalau Thalia sudah bilang… baiklah. Akan kuceritakan sebisaku..”
Mel menarik nafas dalam-dalam. Agak tenang, dia melanjutkan bicara.
“Aku… takut.”, ucapnya, plus ekspresi sedih.
Sangat sinkron, Thalia juga terlihat sedikit murung.
Sebenarnya aku agak ragu untuk bertanya lebih lanjut. Namun rasa penasaranku malah makin bergejolak. Ah, sepertinya aku mulai tertular Raqia.
“Takut?”
“Ya, takut. Aku takut kalau di sini masih ada orang yang mengingat kejadian itu…”
Ceritapun dimulai.
Masa lalu dua saudari ini perlahan terkuak. Aku nyaris tidak percaya kalau ternyata keduanya adalah anak dari pimpinan suatu kelompok bajak laut.
Argonaut.
Itulah tiga suku kata yang mampu menakuti seluruh penghuni pantai. Kecuali Ohr-Nisgav, barangkali.
Dulu ayah pernah bercerita kalau ratusan tahun lalu sebenarnya ada tiga kelompok bajak laut yang kuat dan cukup merepotkan. Argonaut hanyalah salah satunya, dan satu-satunya yang mampu bertahan hingga hari ini. Yang kedua memiliki wilayah operasi di lepas pantai Pardes hingga benua yang jauh di sebelah baratnya, namun telah habis diserang berulang-ulang oleh patroli gabungan kota-kota besar. Satu lagi? Lenyap tanpa jejak puluhan tahun lalu, entah apa alasannya. Menurut cerita ayah, yang terakhir itu sering beroperasi di lepas pantai Chalal, Batavia, hingga domain Elilim-class di sebelah selatan pegunungan Mahameru. Cocok dengan cerita Mel sekarang.
Dan detik ini, di kiri kananku duduk dua gadis yang hampir saja menjadi kapten para Argonaut. Jika bukan karena Kalliope, mungkin sekarang aku sedang beradu senjata dengan mereka. Eleutherian-class yang anggun itu bertemu dengan keduanya tepat ketika pimpinan para Argonaut terdahulu ---ayah mereka--- sudah tak bisa lagi berlayar karena kondisi kesehatan yang makin memburuk.
“Itu juga tepat saat kami menjalankan aksi. Seingatku tak jauh dari kota kosong itu, sama-sama di pantai. Beberapa manusia dan Angel-class ada yang menjadi korban. Itulah kenapa… aku takut ada yang masih mengingat sosok diriku ataupun Thalia…” Dia segera membenamkan wajahnya di antara lutut.
“Hal itu sudah lama sekali berlalu kan?”
“Memang benar.”, sahut Thalia. “Tapi bukan berarti keturunan para korban tidak bisa mengingatnya. Mungkin mereka mendengar cerita atau semacamnya.”
“Bagaimana selama singgah di sini? Apa ada yang mengetahui hal itu lalu menuduh kalian?”
“Tidak. Atau mungkin belum. Entah kenapa Kalliope ingin mampir di sini sebentar, padahal dia tahu kalau daerah sekitar sini… membawa kenangan buruk buat kami.”, jawab si periang, namun tidak seriang biasanya.
“Kalau begitu santai saja.” Kutepuk-tepuk bahu keduanya. “Lagipula aku yakin kalian tidak akan kembali menjadi bajak laut. Citra diri kalian benar-benar tidak cocok untuk itu.”
“Semoga saja.”, kata Mel yang sudah menegakkan kembali kepalanya.
Terdengar langkah kaki dari arah belakang.
“Di sini rupanya.”
Suatu ucapan terdengar. Terdapat sedikit warna kekesalan di situ. Sosoknya sudah berdiri tegak di belakangku, melipat kedua tangan di depan dada.
Sudah bisa ditebak siapa dia. Archangel mini.
“Aku repot-repot mencari tahu apa yang terjadi di tempat ini, sementara kamu malah enak-enakan saja di sini.”
“I-Iya… ampun…”
Dicengkeramnya kerah belakang bajuku.
“Sekarang, ikut denganku!! Wajahmu harus diketahui seluruh penduduk!! Dan tidak boleh ada kata ‘tidak’!!”
“Y-Yes, ma’am!!!!!!”
Akupun meninggalkan tempat kejadian perkara seperti domba yang dibawa ke pembantaian. Hanya senyum setengah terpaksa dari si kembar yang mengiringi. Huh…
Terlepas dari hal itu, aku merasa kalau cerita Mel dan Thalia belum lengkap. Selagi setengah diseret Raqia, aku berusaha mengingat-ingat cerita ayahku dulu. Sayang sekali cerita itu disampaikan ketika aku masih kecil sehingga tidak banyak yang masih menempel pada memoriku saat ini. Namun, jejak ingatan dalam kepalaku mengatakan bahwa apa yang kulupakan ---yang tidak sempat diceritakan si kembar itu--- adalah hal yang penting.
Tapi apa…?
========================================
Spoiler untuk Trivia :
- Seperti yang pernah gw ungkapkan dalam trivia beberapa Tehillim lalu, nama-nama Indagator disesuaikan dengan nama-nama anggota Muse. Dan kali ini adalah jatah dari Kalliope, Thalia, dan Melpomene.
- Sedikit trivia mengenai alasan kenapa Thalia dan Melpomene dibikin kembar:
Seperti pada link di atas, Thalia dan Melpomene mewakili 2 sisi bertolak belakang dalam emosi manusia.
Thalia, berhubungan dengan komedi, segala sesuatu yang ceria.
Melpomene, berhubungan dengan tragedi, segala sesuatu yang sedih.
Dengan dibuat kembar, gw membuat sebuah simbolisme dimana kesedihan dan keceriaan itu seperti 2 hal yang bisa datang kapanpun, dan hanya butuh sedikit kejadian untuk membolak-balik keduanya.- Argonaut merupakan kelompok pelaut dalam mitologi Yunani, dengan misi mencari bulu domba emas.
Last edited by LunarCrusade; 12-06-14 at 01:12.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Share This Thread