Page 12 of 14 FirstFirst ... 2891011121314 LastLast
Results 166 to 180 of 200
http://idgs.in/569960
  1. #166
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    If my memory serves me correctly, sifat Tenebria disini jadi berubah banget sejak Pardes
    mungkin efek beberapa chapter sebelumnya, (pas sama Atra, kabur dari Papa, dapet Charles) dari yang kejam, dingin, binal, menganggap manusia itu sampah, sampe jadi moe-moe kyun gini

    Terus muncul lagi dua Loliaaaaaaa.. lama2 subur juga populasi loli di universe cerita ini.

    Adegan kamar mandinya nge-refresh memori gua jadi inget anime2 lama dimana ada cowok niupin kayu bakar pake bambu dari luar, sementara cewe2 lagi melakukan.. stuff2 cewe didalem kamar mandi.

    Terus Raqia kok jadi tambah cemburuan aja, potensi yandere kah

  2. Hot Ad
  3. #167
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Sengaja, karena gw butuh karakter buat di-bully dan di-abuse
    Dan entah kenapa gw amat sangat bergairah ngebully Tenebria sampe dia berubah jadi moe... #ditimpuksendal

    Si kembar itu adalah loli terakhir yang disebut namanya di cerita ini (Nuachiel sempet disebut kmaren" kan, meski loli juga)

    NAH
    Bener, gw emang keinget adegan gituan
    Tapi karena Da'ath itu leader, ga mungkin lah gw suruh niup" sampe muka gantengnya berubah item kena asep... cukup nyante aja

    AAAAAA YANDERE KWOAKWOAKOSAKOKAOKA
    NUOOOOOOOOOO
    Takkan kubiarkan
    Kan ini sebenernya udah tau lah sama" suka, cuma ga sempet ngomongnya aja (dipotong mulu )
    Jd wajar kalo cemburu


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  4. #168
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    gue...baru baca
    jadi sebenernya agak lupa chapter sebelomnya...dan gue...males baca ulang

    oh well, eniwei... muncul lagi 3 indagator, sebelomnya udah ada..3 yah, gue inget ada yang duduk diatas benda melayang itu... berarti, tinggal 2?
    jujur gue paling pusing sama mereka ini. soalnya di cerita si Da'ath udah kenal dari kecil, makanya pas dateng langsung nyelonong aja... secara timeline sih nyambung2 aja, cuman secara gue baca nya kadang bikin bingung. lah ini siapa...itu siapa pula...
    kok bisa begitu? kebiasaan, kalo lu munculin karakter baru pasti didepan udah dijelasin lengkap, ato seengganya lebih sedikit dari sekedar deskripsi tampakan doang.

    teruusss..chapter ini sih nggak ada apa2 yang terlalu berarti juga... berhubung otak gue lagi nggak mesum, dan lagi agak trauma loli... jadi nggak deh

    kenapa trauma loli? KARENA KAMOH!! ATRAAAA!!!

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  5. #169
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Yang belom keliatan penampakannya ada 3 (Clio, Erato, Euterpe)
    Ntar ada flashbacknya kok pas 13 taun lalu itu ada apaan dan gimana Da'ath bisa kenal ke-9 Indagator itu
    Jadi tenang aja


    ada apa dengan Atra?


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #170
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Mari update

    Spoiler untuk Tehillim 38 :


    ==============================================
    Tehillim 38: Daughters of the Sea Part II || Throw the Dice
    ==============================================




    Yang kukhawatirkan benar-benar terjadi. Thalia dan Melpomene…

    …menghilang.



    Dua hari setelah aku dan yang lainnya tiba di tempat ini, si kembar itu lenyap tanpa jejak. Beberapa jam kami semua mencari hingga jarak beberapa kilometer dari desa, keduanya tidak juga ditemukan. Tak ada satupun yang melihat kapan dan ke mana mereka pergi, bahkan Raqia sekalipun. Sudah pasti keduanya menyalakan Lightpath Diffuser saat pergi. Dan… parahnya lagi, berhubung alat itu bukanlah Divine Technology, maka mustahil bagi Plasma atau Biblos untuk mendeteksi keberadaan mereka.

    “Jadi tak ada satupun dari kalian yang melihat?”, tanya Raqia.

    Aku, dia, Plasma, Biblos, Tenebria, dan Kalliope, sekarang sedang berada di ruang tamu rumah Eleutherian-class berambut biru itu. Dan tidak ada satupun yang bisa menjawab Raqia dengan sebuah “ya”.

    Well, kalau sudah begini, yang dapat kita lakukan hanyalah mengumpulkan petunjuk sebanyak mungkin.”, kata Plasma sambil bangkit berdiri.

    Dia melangkah keluar dari area tempat sofa-sofa berjajar. Berdiri tepat di depan kami semua.

    “Waktu kejadiannya adalah antara pagi ini hingga kurang dari dua belas jam yang lalu. Yang menjadi prioritas untuk kita cari tahu saat ini adalah apa motif mereka sehingga pergi begitu saja tanpa kabar. Itu bisa diketahui dengan adanya gelagat aneh yang mereka lakukan belakangan. Mungkin ada yang menyadari sesuatu?”

    Tenebria menggeleng, Raqia juga. Kalliope nampak agak ragu. Biblos hanya menyahut, “Tidak tuh.”

    Sepertinya aku yang harus angkat bicara.

    “Entah apa yang kuketahui ini ada hubungannya atau tidak, tapi sepertinya layak untuk kuberitahu.”

    “Hmm… baiklah. Ceritakan saja, Da’ath.”

    Kukatakan kejadian dua hari yang lalu itu.

    “Begitu rupanya. Ini bisa jadi petunjuk bagus. Artinya, kita harus mencari sarang mereka.”

    Raqia memotong, “Itu cukup sulit. Kudengar para Argonaut cepat sekali dalam bergerak. Operasi mereka berjalan secepat kilat dan setelah itu hilang tanpa jejak. Memang ada kemungkinan mereka memiliki basis di bagian selatan Olympia, jauh di sebelah barat tempat ini. Tapi… belum ada seorangpun Angel-class yang bisa menemukan tempat tersebut.”

    “Hmm…” Plasma mendengung sesaat sembari menaruh tangan kanan di dagu. “Bisa jadi mereka memiliki Lightpath Diffuser juga. Hanya itu penjelasan yang mungkin.”

    “Bagaimana kalau kita kembali ke cara tradisional?”, sahut Biblos. “Kita hanya perlu bertanya pada sebanyak mungkin orang tentang keberadaan para bajak laut itu. Mungkin ada cara khusus yang tidak kita ketahui untuk bisa sampai ke tempat mereka. Yah, tidak perlu seratus persen pasti. Petunjuk saja sudah cukup.”

    “Sepertinya memang tidak ada jalan lain. Bagaimana? Yang lain setujukah?”, tanya Plasma.

    Kali ini gelagat Kalliope makin mencurigakan.

    “Kalliope, ada masalah?”

    Pertanyaanku membuatnya sedikit terkejut.

    “A-Ah, tidak. Tidak. Hanya saja… aku khawatir. Mudah-mudahan mereka tidak kembali seperti dulu…”

    Jadi itu yang membuatnya gugup.

    “Mudah-mudahan saja tidak.”, jawabku.

    Raqia bangkit berdiri. “Baiklah, kalau begitu jangan ditunda lagi. Aku dan Tenebria akan mencoba bertanya ke pemukiman-pemukiman terdekat.”

    “Eh? Aku ikut?”, Tenebria merespon kebingungan.

    “Sekarang kamu adalah bagian dari kami. Tenang saja, ini pasti akan menyenangkan.”

    Tugaspun dibagi. Raqia dan Tenebria segera melesat setelah melihat peta holografik yang ditunjukkan Plasma. Keduanya akan mencari tahu pada areal pemukiman lain yang terdekat. Duet buku-kaleng itu sendiri akan menanyai orang-orang di tempat ini. Tentu saja aku juga ikut. Sementara Kalliope… dia terlihat benar-benar cemas. Kurasa itu wajar, apalagi dialah yang membuat Mel dan Thalia tidak lagi menjadi pelanggar hukum. Maka kuminta dia untuk menenangkan diri saja.


    *


    “Aku dapat petunjuk bagus.”

    Itulah yang pertama kali dikatakan Raqia saat mengambil duduk. Kami kembali berkumpul di rumah yang sama pada malam harinya.

    “Jauh di selatan sana, di pantai, ada satu kota kecil yang sering sekali dikunjungi para kriminal. Sewaktu domain Elilim-class di Olympia belum kuhancurkan, ternyata sesekali malaikat-malaikat pemberontak itu mengunjungi kota yang kumaksud.”

    “Yang kita hadapi bajak laut, bukan Elilim-class.”, sahutku.

    “Mereka diam-diam mendukung para Argonaut hingga bisa bertahan sampai detik ini. Artinya, orang-orang di sana pastilah tahu mengenai keberadaan sarang para bajak laut dari para makhluk bersayap itu. Sekaligus, kita bisa mengakhiri kejahatan laut ini sekali untuk selamanya.”

    Benar apa katanya. Dengan hilangnya domain para Elilim-class, mereka hanyalah ranting kering yang rapuh.

    Namun… aku merasa bukan perihal dukungan dari Elilim-class itu yang kulupakan. Yah, apapun itu, menemukan Mel dan Thalia adalah yang terpenting untuk saat ini.


    *


    Kakiku sudah berpijak di kota yang Raqia maksud. Kuartet yang biasa, plus Tenebria.

    Argh, bau amis.

    Asalnya dari 2 kapal yang berdiri di dekat dermaga-dermaga kayu. Ukurannya yang lebih besar dari kapal nelayan biasa menambah dayanya untuk membunuh penciuman. Semerbaknya benar-benar menyengat, walau aku masih berdiri cukup jauh dari onggokan kayu mengambang itu. Tapi harus kuakui bentuk keduanya nampak cukup megah. Meski jelas sekali jarang dibersihkan. Entah apakah semuanya itu adalah kapal para Argonaut atau bukan.

    “Lalu… kenapa kepalaku harus ditudungi begini?!”

    Begitulah keluh Raqia. Di kepalanya bersarang sebentang kain agak lusuh yang lebar. Cukup untuk menutup ujung kepala hingga betisnya. Sebenarnya aku kasihan melihatnya kepanasan, karena sekitar satu jam lagi sudah masuk tengah hari. Tapi…

    “Sabarlah sedikit. Rambut perakmu itu terlalu mencolok, jadi harus ditutup agar mereka tidak kabur sebelum kita sempat bicara.”

    Karena kupikir ciri fisik para Archangel sudah diketahui orang banyak… ya sudah, kututup saja kepalanya dengan kain. Apa mungkin terlalu besar?

    Hanya sebuah “Hmmph” sebagai respon darinya.



    Investigasi dimulai.

    Beberapa kali aku bertanya pada orang-orang yang lewat. Tentu saja bukan pertanyaan mengenai para Argonaut yang kusampaikan. Tetapi siapa pemilik kapal-kapal besar itu, yang sudah kucurigai sejak awal. Tidak hanya diriku, ternyata Plasma juga menaruh curiga terhadap kedua benda itu. “Ukuran kelewat besar, tetapi jorok. Jelas bukan kapal angkatan laut apalagi nelayan biasa.”, begitulah komentarnya.

    Argos.

    Nama itu yang selalu diberikan sebagai jawabannya. Artinya, dia pastilah tahu mengenai keberadaan Mel dan Thalia.
    Beberapa orang menyampaikan kata itu dengan ekspresi agak takut, namun ada juga yang malah menyeringai. Orang-orang yang terakhir itu nyaris sama joroknya dengan kedua kapal.

    Hanya memerlukan waktu kurang dari satu jam untuk mengerucutkan semuanya. Dan harus kuakui Tenebria cukup mahir dalam hal interogasi. Sepertinya tidak perlu kukatakan terlalu detail bagaimana caranya.


    *


    “Di sini tempatnya?”

    Di hadapanku berdiri sebuah bangunan besar yang agak lumutan, letaknya sekitar 200 meter dari dermaga. Tidak ada papan nama, tidak ada petunjuk apapun mengenai apakah fungsi dari kombinasi batu dan kayu yang nampak seperti nyaris rubuh itu. Beberapa jendelanya juga sudah lepas.

    Aku sempat ragu ketika melihat kondisinya. Tapi semua petunjuk hanya mengarah ke sini, agar aku bisa menemukan seseorang yang bernama Argos itu. Jadi… dicoba saja.

    “Biblos, kuminta tenanglah sebentar di genggaman Tenebria. Oke?”

    “Mmm.”, jawab buku itu singkat.

    Agak gugup, tangan kananku mendorong pintu kayu coklat pudar yang Plasma sebut ‘mirip pintu bar abad ke-19’ itu. Kakiku segera melangkah masuk, diwarnai derit pintu.

    Ew.



    Belasan pasang mata seketika menusuk penglihatanku. Bulu kudukku merinding sesaat ketika berbagai pantulan warna bola mata menatap tajam ke sini. Beberapa bersayap putih ---jelas Eleutherian-class---, beberapa lagi tidak punya sama sekali. Persamaan mereka semua hanya satu: nampak beringas. Oh, juga seperti 3 bulan tidak pernah mandi dan ganti baju.

    Seorang pria bersayap putih, bertubuh tinggi besar, berkulit gelap, dan berkepala botak di sudut kiri ruangan bangkit berdiri. Celana panjang kulit dan rompi compang-campingnya meyakinkanku kalau dia termasuk ke dalam golongan orang-orang liar itu. Langkahnya yang tegas memecah kesunyian. Menuju kemari. Makin dekat posisi orang itu dariku, aku jadi tahu kalau dirinya nyaris sama tinggi dengan Plasma.

    “Apa yang sedang kau cari, bocah?”, tanyanya dengan suara yang dalam. Menatapku rendah.

    Sial, aku dibilang bocah.

    “Kami… mencari seseorang yang bernama Argos---“

    Belum selesai aku bicara…

    “Argos? Argos katamu? HAHAHAHAHAHA!!!!! Hei kawan-kawan!! Orang ini mencari Argos!!!! BWAHAHAHAHA…!!!!” Orang itu menunjuk diriku.

    Tawa jeleknya menular ke seluruh ruangan. Semuanya ikut menertawai, keras-keras. Malah ada yang sambil menggebrak-gebrak meja. Duh, aku jadi ingin mendengar Kalliope bernyanyi untuk mengobati kupingku.

    “Pergi.”

    Jawaban singkat itu membuatku bingung sesaat. “Eh?”

    “Apa kau tuli? Pergilah jika masih sayang dengan nyawamu!!”

    Sorot matanya yang tajam membuatku benar-benar takut. Argh, aku memang tidak berpengalaman berhadapan dengan kriminal kelas kakap.

    “Maaf, Tuan.”, ujar Plasma sambil menaruh tangannya di pundak orang itu. “Kami bertanya secara baik-baik. Jika anda tidak tahu, katakan saja di mana kami bisa menemukan orang itu.”

    Mata bulat Plasma nampak lebih terang ketika bicara. Wajahnya juga didekatkan.

    “Cih.” Wajah si botak nampak gusar. “Baik kalau itu maumu, manusia kaleng. Akan kuberitahu. Tapi! Dengan satu syarat.”

    “Katakan, Tuan.”

    “Jika kalian menang dalam permainan yang kuberikan.”

    “Kami siap dengan apa yang anda berikan.”

    Plasma… arghhhh!!!! Apa dia tidak tahu kalau kita sedang berhadapan dengan makhluk-makhluk picik?!



    Berhubung tempat ini sudah penuh ---jelas sekali adalah tempat untuk minum-minum---, maka si botak itu memanggil salah seorang lainnya ---nyaris sama besar dengan si botak--- untuk mengambilkan sesuatu sebagai ganti meja dan kursi. Dia mengajak 2 orang lagi. Ketiganya segera beranjak menuju pintu yang berseberangan dengan tempatku berdiri sekarang. Tak lama, 3 buah kotak kayu dibawa dari dalam. Dua kecil, satu besar.

    Eleutherian-class tak berambut itu menarik kotak yang kecil, lalu duduk di sebelah kotak besar. “Permainannya mudah saja--- Hei!! *****!! Ke mana dadu dan mangkoknya?!”

    Makian itu membuat orang yang mengambilkan kotak tadi berlari ke salah satu meja jauh di kananku. Dia kembali dengan membawa sebuah mangkok dan dua dadu. Kalau kuperhatikan, ukuran rusuk kedua dadu itu hampir sama dengan 2 ruas jari kelingkingku. Tergolong besar untuk dadu.

    “Tebaklah jumlah mata dadu yang akan keluar. Tidak perlu sama persis. Cukup sebut genap atau ganjil.”

    Plasma menyentuh dagunya sesaat. Kemudian dia mengangguk-angguk. “Hanya itu?”

    “Ya, hanya itu saja.”, tegas si botak. “Karena aku sedang baik hari ini, kuijinkan kalian berempat maju satu persatu. Tiap orang kuberi kesempatan menebak tiga kali. Kalian hanya perlu menebak total tepat dua kali.”

    “Dua dari dua belas kesempatan…”, gumam Plasma. “Baik. Kami terima.”

    Aku tak bisa berkata apapun. Hanya telapak tangan menepuk dahi.

    “Hahahaha!! Bagus, bagus. Siapa yang akan maju lebih dulu?”

    Plasma melangkah ke kotak kecil yang satunya, menyeretnya dekat kotak besar. Keduanya duduk berhadap-hadapan.

    “Berani juga kau. Oke, akan kumulai.”

    Belum sempat si botak itu menutup kedua dadu dengan mangkok, Plasma mencegahnya. “Sebentar, boleh saya lihat mangkok itu?”

    Geram, pria itu memperlihatkan bagian dalamnya. “Puas kau?!”

    Tak ada apapun yang mencurigakan. Hanya mangkok biasa.

    Entah bagaimana bisa Plasma tetap tenang, namun dijawabnya singkat, “Silakan dimulai, Tuan.”

    Beberapa orang berdiri, melangkah ke sekitar si botak.

    Ditutupnya kedua dadu dengan mangkok. Digerakkan ke kiri, ke kanan. Memutar. Tangannya tergolong cepat, bahkan bentuk alat yang biasa digunakan untuk makan itu tak terlihat jelas ketika bergerak.

    Plasma menebak. “Ganjil.”

    Salah.

    Yang menghadap ke atas adalah dua dan enam. Artinya, genap.

    Kedua kali. “Genap.”

    Salah lagi. Kali ini satu dan empat. Totalnya ganjil.

    Ketiga kali. “Genap.”

    Tiga kali salah. Tiga dan empat. Ini… agak sulit kupercaya. Kupikir Plasma dapat memprediksinya.

    “Payah. Berikutnya!!!!”



    “Boleh aku duluan?”, tanya Tenebria padaku.

    Aku hanya mengangguk. Diapun melangkah dan duduk.

    “Manis juga kau. Siapa namamu, cantik?”

    Cih, gombal kelas teri. Aku masih lebih baik. Setidaknya untuk Raqia.

    “Tenebria.”, jawabnya ramah.

    “Nama yang bagus… bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan sebentar---“

    “Cepat. Dimulai. Tuan.”, potongnya. Nada suaranya kontras dengan yang tadi, terdengar dingin. Kedua mata merahnya juga membuka lebar, menatap kosong. Cocok jika ada miasma di sekitarnya.

    Si botak itu langsung kaku. Tanpa banyak bicara lagi, dikocoknya kedua dadu itu seperti tadi.

    Tiga kali Tenebria menyebut “Ganjil”, tiga kali itu pula yang muncul adalah satu dan satu, tiga dan lima, lalu empat dan empat.

    “Huh… ternyata aku memang payah bermain yang seperti itu.”, keluhnya sambil melangkah kembali ke dekatku.

    “Sering main juga?”

    “Ya, biasanya dengan Atra. Entah bermain kartu atau dadu. Dan dia nyaris selalu menang…”, jawabnya murung.

    Kalau begitu kenapa tidak minta maju terakhir saja…



    “Raqia, kamu atau aku?”, tanyaku pelan.

    “Kamu duluan saja.”

    Agak gugup, akupun duduk berhadap-hadapan dengan bajak laut itu.

    “Siap, bocah?”

    “Mmm.” Aku mengangguk, lalu menelan ludah.

    Dikocoknya kedua dadu…

    “Genap.”

    Lima dan enam. Dikocoknya lagi. Peluh mulai mengaliri pelipisku.

    “Genap.”

    Dua dan lima. Argh, aku tidak boleh salah lagi! Setidaknya aku harus satu kali tepat menebak agar Raqia tidak begitu terbeban. Tatapan orang-orang itu juga benar-benar mengganggu! Kenapa tertawa segala pula…

    Tangannya kembali menggerakkan mangkok.

    “G-Ganjil---“

    *dhug*

    Mungkin karena terlalu gugup, tak sengaja kutendang kotak besarnya.

    Tiga dan enam. Tebakanku tepat!

    Kesal, ditendangnya kotak besar itu hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Tapi tidak sampai bergeser.

    “Terakhir!!”, teriaknya.



    Ketika berpapasan denganku, Raqia berkata, “Melawan perempuan sadis tidak takut, sementara dipelototi cecunguk bau saja sudah pucat begitu. Payah.”

    Mereka semua lebih pendek dariku, Raqia! Sementara yang itu punya wajah mengerikan dan postur raksasa! Argh. Benar-benar ingin kucubit pipinya.

    “Bilang apa kau anak kecil?!”, teriak Eleutherian-class itu.

    “Seperti yang kamu dengar, botak.”

    “Sekali lagi kurang ajar, akan kubuat kau jadi makanan hiu.”

    Raqia duduk. “Jangan banyak omong. Mulai saja.”

    Kain lusuh itu masih menutup sempurna ujung kepala hingga kakinya. Aku sendiri tidak bisa melihat bagaimana ekspresinya saat ini.

    Kembali dadunya dikocok dengan cara yang sama. Jantungku makin tak karuan berdetak. Keringat dingin juga makin banyak.

    “Da’ath, ini aneh. Seharusnya permainannya sangat mudah untuk dimenangkan. Kemungkinan tepat menebak adalah lima puluh persen.”, bisik Plasma.

    “Tapi tidak ada yang salah dengan mangkoknya kan?”

    “Maka dari itu… aku juga bingung.”

    “Ganjil.”, ujar Raqia.

    Lima dan lima. Si botak itu dan kawan-kawan di sekitarnya melotot tajam sambil tersenyum licik.

    Tebakan kedua. “Genap.”

    Tiga dan empat. Sekarang semuanya nampak seperti ingin menelan Raqia bulat-bulat.

    Tebakan ketiga. Raqia menendang pelan kotak besar sambil berkata, “Genap.”

    Kumohon muncullah!!

    ……


    Dua dan dua!!!!


    “Kami menang kan?”, ujar Raqia puas.

    Begitu kompak, semuanya berseru, “Curang! Curang! Curang!”

    “Untuk apa kau menendang kotak, anak kecil?! Apa kau sengaja agar dadunya berbalik?!”, tanya si botak. Marah, menggebrak kotak.

    “Ha!! Kamu bercanda? Dadu sebesar itu tidak akan bisa terbalik dengan mudah hanya karena tendangan kecil! Kalian semualah yang licik dalam permainan ini!”

    Tunggu. Kotaknya ditendang… Tadi juga kulakukan meski benar-benar tak sengaja. Namun sepertinya tidak dengan Raqia. Dia sengaja.

    “Apa buktinya, hah?!”

    Raqia mengambil kedua dadu, kemudian dilempar-lemparkannya ke udara. “Peluang untuk mendapatkan jumlah mata dadu ganjil atau genap pada dua buah dadu adalah sama. Sama-sama delapan belas per tiga puluh enam.”



    Kucoba mencerna kata-kata Raqia. Sepertinya akan mudah jika kubayangkan sebuah tabel.



    Seandainya sejak tadi kami semua menebak genap saja atau ganjil saja, maka anggota kejadiannya sebanyak 18, dengan ruang sampel sebanyak 36. Artinya, peluang kejadiannya adalah 18/36. Sepertinya hitung-hitungan yang begini pernah kubaca dalam salah satu buku yang kutemukan di bengkel Merkava Barzel.

    Raqia melanjutkan, “Total ada dua belas kali percobaan. Artinya, aku dapat mengharapkan enam tebakan yang tepat. Dan karena peluang ganjil dan genap adalah sama, maka nilainya takkan berubah apapun yang kami tebak.”

    18/36 x 12 percobaan = 6.

    Plasma berbisik padaku, “Yang dikatakannya disebut frekuensi harapan, yaitu kemunculan kejadian yang mungkin ada dalam percobaan sebanyak n kali. Formulasinya selalu sama. Jumlah kejadian per ruang sampel dikalikan jumlah percobaan.”

    Raqia berdiri, lalu melangkah ke sisi kotak besar. “Akupun heran, kenapa tidak ada satupun dari kami yang dapat menebak dengan tepat dalam nilai peluang sebesar itu? Kecuali…”

    Kecuali saat…

    “…sewaktu kotak ini…”

    Tunggu. Jangan bilang kalau Raqia akan…?!

    “…DITENDANG?!”

    Ini benar-benar gila!! Dia benar-benar menendang kotak itu, melesat hingga menabrak tembok!! Kotak itupun hancur.

    Tetapi yang lebih mengejutkanku adalah…


    …ada orang di dalamnya!!


    Semua tertegun kaku. Tidak bergerak. Apalagi orang yang tadi ada di dalam kotak itu, hanya bisa menggeliat tak sanggup berdiri. Apa mungkin sejak tadi dia ada di ruang belakang, lalu bersembunyi ke dalam kotak ketika si botak itu berteriak-teriak memaki?!

    “Dan keping ini…” Raqia mengambil sebuah kepingan hitam seukuran uang logam, tergeletak di lantai. Benda itu terpental dari tangan orang yang di dalam kotak.

    Sekarang digenggamnya erat kedua dadu itu.

    “…ada juga di dalam sini…”

    *KRRRRRRK*

    “…kan?”

    Raqia benar. Ada keping-keping hitam di balik serpihan kedua dadu. Ukurannya sedikit lebih kecil, sesuai luas sisi dadu.

    “Magnet!!”, seru Plasma. “Jadi itu alasannya kenapa kita tidak bisa menebaknya secara tepat?!”

    “Hmm. Benar sekali, Plasma. Jawaban kita adalah kuncinya. Orang jelek di dalam kotak besar akan membolak-balik magnetnya dekat permukaan kotak, berlawanan dengan apa yang kita katakan. Tentu agar dadu yang ada di atasnya berubah posisi. Sementara di dalam dadu telah dipasangkan magnet pada posisi kutub-kutub yang diinginkan.”, ujar Raqia sambil mencoba menarik dua keping yang tertempel. “Benda ini juga cukup kuat.”

    “Artinya, tendanganmu yang awal tadi…”

    “Itu agar suaraku tersamarkan. Yah, memang setengah bertaruh antara terdengar atau tidak sih. Tapi namanya juga mencoba, apalagi setelah kuperhatikan Da’ath tadi. Dan ternyata berhasil.”

    Tunggu. Berarti kecurangan ini sudah direncanakan sejak kami masuk!! Sial, mereka harus diberi pelajaran!!



    Si botak berdiri, disertai amarah. “Kurang ajar!!!! Beraninya kau---“

    “Siapa yang kurang ajar, hei…”

    Raqia melemparkan kain yang menutupi dirinya.

    “…Argos??!! Atau harus kusebut, Master Shipbuilder?”

    Oke, aku tercengang.

    “Jadi si botak itu??!!”

    “Uh-huh. Dia Argos.”

    “Kalau begitu kenapa tidak bilang sejak tadi haaaahh??!!” Kujambak rambut di kedua sisi kepalaku keras-keras.

    Argos terbelalak. “T-Tunggu. Rambut perak itu… Kau…”

    Raqia menginjak punggung orang yang tadi berada di dalam kotak. Lalu dia melipat kedua tangan di depan dada. Berdiri sombong.

    “Raqia Gibboreth. Angel Knight. Apa kamu masih ingat, botak? Hei, seingatku dulu kepalamu tidak begitu.”

    “Aku tidak peduli apakah kau Archangel atau bukan, karena ini adalah daerah kami!! Kalian semua!! Cepat serang mereka!!!!”

    “O-Ow. Da’ath!! Tenebria!!”

    Sorot mata Raqia mengisyaratkan agar…

    “Angel Knight form, release!!”
    “Battle armor, materialize!!”
    “Heavenly… Saint!!!!”




    Suasana langsung ricuh. “Sayap hitam itu siapa?!”, “Jangan-jangan Nephilim?!”, “Manusia kaleng itu mana?!”, “Kita pasti mati!!”. Begitulah kira-kira beberapa kalimat yang sempat mampir ke telingaku.

    “Tunggu apa lagi *****!! Kita ada banyak, mereka cuma bertiga!!”, seru Argos pada rekan-rekannya.

    “Siapa bilang cuma tiga haaaahhh???!!!”, teriak Biblos.

    *BLETAK*

    Partner bukuku melesat tepat pada kilau eksotik di kepala bajak laut itu. Akurasi maksimum. Mata Argos nampak berputar-putar sesaat sesudahnya. Ada bintang-bintang juga. Eh…

    “Argh… kalian semua tunggu apa lagi?! Kenapa diam saja?!”

    “HEAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!”

    Entah berapa orang yang berlari menerjang kemari sambil mengangkat senjata setelah diteriaki Argos. Refleks kutahan mata pedang dan mata kapak yang terayun dengan Energy Blade. Setelahnya, kuhantam semuanya sekaligus dengan Hypermassive Defenser. Telak.

    Sambil mengangkat sebuah meja tinggi-tinggi, Raqia berteriak, “Jangan sampai mati! Kita masih butuh informasi!”

    Pertunjukan meja terbang diperlihatkan dengan indah oleh sang Archangel. Lima terpental sekaligus setelah mencium meja mentah-mentah. Mejanya juga hancur… Astaga.

    “Da’ath, belakang!!”, seru Plasma.

    “HIYAAAAAAAAA!!!!”

    Biblos segera melesat dan menghantam wajah orang di belakangku. Orang itupun langsung tergeletak.

    “Aaaa… pusing…” keluh Biblos sambil berputar-putar di udara.

    “Siapa suruh menabrakkan diri begitu… huh.”, sahut Plasma.

    “Yang penting tidak ada yang rusak kan?”

    “Mmm! Tentu saja tidak, Da’ath. Ditembak Plasma Rifle juga tidak akan hancur kok… hihihihi…”, jawab Biblos semangat.

    Kutengok sebentar ke arah Tenebria. Dia menginjak salah seorang bajak laut. Ujung Charles ditekan ke lehernya.

    “Jangan dipenggal. Dilempar saja.”, ujarku sambil tersenyum. Tapi setengah terpaksa.

    Tenebria menatapku polos. “Umm… begitu ya? Ya sudahlah.”

    Diangkatnya orang itu dengan satu tangan, lalu dilempar keluar. Pintu depan tertabrak. Lepas dari engselnya. Wajahku langsung kaku melihat hal itu…

    “Tenebria, awas!!” Kuperingatkan dirinya karena ada seseorang dari kiri belakangnya.

    Dia menengok sebentar ke arah situ. Direnggutnya pakaian orang tersebut, lalu… lagi-lagi dilempar. Kali ini ke arah sebuah meja tak jauh di sebelah kananku.

    *BRAAAAAAKKKK*

    Meja seketika berubah menjadi puing.

    “Wuaaaah!! Strike!!”, seru Tenebria kegirangan.

    Raqia langsung mengangkat jempol, mengedipkan mata, dan tersenyum memperlihatkan barisan gigi-giginya. “Nice job!!

    Plasma hanya bisa menghela nafas. “Memangnya kita sedang main bowling…?”



    Dan ada satu orang jelek lagi ---kali ini bersayap--- nekat menerjang ke arahku. Goloknya diangkat tinggi-tinggi. Yah… hanya perlu sekali ciuman dari Hypermassive Defenser untuk membuatnya melayang di udara.

    Belum selesai.

    Kali ini tiga sekaligus menyerang dari kiri, kanan, dan belakang. Perisaiku bergerak dengan indah menahan yang di kiri. Kutangkis serangan dari kanan dengan pedang. Yang belakang? Berhubung yang bebas hanya kakiku, maka kuputar tubuhku sekitar 180 derajat agar mengenai langsung yang di kanan dan belakang.

    Aku merasa tubuhku makin mudah digerakkan. Apa mungkin karena beberapa kali menghadapi musuh yang jauh lebih kuat? Sepertinya tidak juga. Meski musuh-musuh yang kuhadapi tergolong ---sangat--- kuat, namun aku selalu bergerak berdasarkan insting. Tidak seperti kali ini. Seakan aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.

    “Sepertinya ketakutanmu jauh menurun jika sudah mengenakan senjata lengkap, eh?”, tanya Plasma padaku.

    Ah, itu dia. Aku merasa makin nyaman setiap kali Sacred Armor melindungi tubuhku.

    “Begitulah. Pengalaman bertarungku masih sedikit, jadi masih perlu bantuan-bantuan yang canggih seperti ini.”

    Well, I think it’s okay… for now. Tapi ingat, jangan bergantung seratus persen padaku. Siapa tahu nanti ada saatnya kita harus berjalan sendiri-sendiri meski hanya sebentar.”

    Untuk sesaat, kata-kata Plasma membuat jiwaku merinding. Mungkin… benar. Aku tidak bisa bergantung selamanya pada partner kalengku ini. Aku harus melakukan semua hal semampuku, sementara Plasma mendukung dari belakang. Dan tentu saja sambil memohon kekuatan dari-Nya. Baiklah, yang jelas saat ini aku harus fokus. Fokus.

    Satu meja terbang nyaris menghantam kepalaku ---karena memang tidak selalu terlindung, hanya pada saat tertentu saja---. Untunglah dapat segera kutebas dengan Energy Blade, tepat di tengah. Hoho… kurasa kemampuan berpedangku makin baik.

    Sekarang, Raqia.

    Setiap gelas dan piring terbang dengan sigap dipukulnya dengan sisi lebar dari pedangnya. Beberapa pecah, tetapi ada juga yang malah berbalik arah dan menghantam wajah, perut, atau… ew. Tidak perlu kukatakan. Pokoknya ada di bawah perut.

    Namun karena kecenderungannya sebagai seorang Archangel…

    “A-A-Aaaa… maaf, maaf!! M-Masih utuh kan?”, tanyanya ragu setelah sebuah piring menghantam “itu” milik salah seorang bajak laut.

    Mungkin karena yang menjadi korban amukan piring tersebut adalah manusia, Raqia nampak setengah khawatir.

    Yah, apapun alasannya… kuharap dia tidak melakukan hal itu padaku. Tidak akan pernah.



    Selama beberapa menit, tak terhitung berapa gelas, piring, botol, kotak kayu, dan meja yang menari di udara. Ruangan ini benar-benar porak-poranda dari ujung hingga ujung. Hingga semuanya terkapar. Argh, berapa ganti ruginya nanti?!

    Ditancapkannya pedang di lantai, Raqia berseru, “Sekarang katakan di mana Thalia dan Melpomene!!”

    “C-Cih…” Argos berusaha bangkit, bertumpu pada pedangnya. “Apa urusanmu dengan kedua putri Jason itu…”

    Ah, itu dia nama ayah mereka. Jason. Emm… tapi kenapa aku merasa bukan hal itu yang menjadi “hal penting” yang kulupakan?

    Raqia balas berteriak, “Tentu untuk menjemputnya pulang!! Tidak akan kubiarkan mereka kembali menjadi sama seperti kalian!!”

    “Dan membiarkan kami hancur? Tidak akan pernah!!”

    Tiba-tiba saja Argos tersenyum licik.

    Tunggu. Aku mendengar ada bunyi di lantai, seperti benda dilempar. Lalu ada yang mendesis---

    *BHUMMM*

    Ledakan terjadi tak jauh dari belakang kananku. Tidak besar, tetapi asapnya amat sangat mengganggu. Kepulannya tidaklah hitam, tetapi putih. Jumlahnya juga tidak wajar dan memenuhi ruangan hanya dalam waktu singkat. Penglihatanku lumpuh, menjadi amat terbatas. Yang bisa kulihat hanya asap putih dan beberapa bayangan hitam.

    Seketika saja terdengar gemuruh langkah kaki. Aku juga merasa ada yang mendorong tubuhku berkali-kali. Kemudian…

    *BAMMMM*

    Terdengar suara yang keras. Seperti ada logam berat yang menumbuk tanah.

    Tunggu.

    Ada yang aneh. Kenapa… mendadak sepi? Aku hanya bisa mendengar suara Raqia dan Tenebria terbatuk-batuk. Ke mana mereka semua---

    Astaga.



    Asap mulai menipis. Akupun bisa melihat apa yang ada di hadapan--- tidak, lebih tepatnya di sekelilingku.

    Ruangan ini tertutup oleh tembok logam!!


    ===========================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Secara literal, Argonaut berarti: "Argo sailors". Argo adalah nama kapal yg dipake dalam mitologi aslinya (literally: "swift"), sementara pembuatnya bernama Argus.
    • Lagi-lagi di myth aslinya, Jason adalah orang yang memimpin para Argonaut tersebut.



    Tehillim berikutnya akan ada sesuatu yg bisa dipraktekkan oleh semuanya, dengan sesuatu yg bisa didapat di sekitar kita ~

    meski super berbahaya dan kalo gak ati" bisa ada bagian tubuh yg ilang
    Last edited by LunarCrusade; 20-09-13 at 13:48.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  7. #171
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Pintu bar abad 19 itu maksudnya kayak pintu bar jaman koboy di daerah amerika selatan? kocak juga bayangin ada sekelompok malaikat yang tampangnya kayak om2 begundal hobinya mabok sambil nongkrong di bar

    ---

    Mereka semua lebih pendek dariku, Raqia! Sementara yang itu punya wajah mengerikan dan postur raksasa! Argh. Benar-benar ingin kucubit pipinya.
    lebih tinggi kali ?

    ---

    Biblos in action.. ada bintang2 juga.. wtf

    ---

    Untuk sesaat, kata-kata Plasma membuat jiwaku merinding. Mungkin… benar. Aku tidak bisa bergantung selamanya pada partner kalengku ini. Aku harus melakukan semua hal semampuku, sementara Plasma mendukung dari belakang. Dan tentu saja sambil memohon kekuatan dari-Nya. Baiklah, yang jelas saat ini aku harus fokus. Fokus.
    pernah disebutin kali dikomen2 sebelumnya. Daath itu ibarat newbie level cupu yang dikasi equip level mantep. Dibiarin begini pun dia udah kuat, tapi makin kedepan musuh bakal makin kuat. Gua jadi mikir kalo suatu saat.. suatu saat ya di chapter2 depan, Daath bisa memasterkan penggunaan armornya, gak kayak sekarang. Tapi yang lebih ngebuat gua tertarik, gimana prosesnya sampe dia bisa berkembang ke tahap itu. (apakah latihan spesial, ato dapet ilahi dari tuhan, siapa tahu?)

    ---

  8. #172
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk begitulah :

    iya kayak bar jaman koboi gitu
    padahal bajak laut ye, kenapa gw malah pasang setting tempat kek gitu

    bener dong lebih pendek
    Ketika berpapasan denganku, Raqia berkata, “Melawan perempuan sadis tidak takut, sementara dipelototi cecunguk bau saja sudah pucat begitu. Payah.”

    Mereka semua lebih pendek dariku, Raqia! Sementara yang itu punya wajah mengerikan dan postur raksasa! Argh. Benar-benar ingin kucubit pipinya.
    itu maksudnya samakan warna

    ntar di New Testament major arc (Tehillim 40-66) udah pasti jadi makin imba
    karena ada "rahasia" mengenai Plasma sendiri
    tapi ya itu, ditunggu aja gimana bisa begitu



    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  9. #173
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Old Testament major arc finished


    Spoiler untuk DIBACA DULU :

    WARNING:

    Bagi yang mau mempraktekkan apa yang dicoba di sini, HARUS meminta bantuan dan pengawasan profesional.

    Cara untuk dapetin bahannya secara mudah gak akan gw kasih tau di sini, bisa dicari pake Google. (search at your own risk)



    Spoiler untuk Tehillim 39 :


    ==================================================
    Tehillim 39: Daughters of the Sea Part III || Sparkling Thermite
    ==================================================





    Perlahan tapi pasti, asap mulai menipis. Memang tidaklah lenyap seluruhnya karena tidak adanya satupun ventilasi, namun sudah cukup bagiku untuk dapat melihat semuanya dengan lebih jelas. Dan tentu saja bernafas tanpa merasa terlalu sesak.

    Tidak salah lagi. Tembok logam. Hitam keabu-abuan.

    Hei, tapi kenapa aku bisa melihat sekelilingku? Kupikir akan gelap total---

    Ah, ternyata tidak menutup sempurna. Ada celah setebal 2 jariku yang didempetkan, antara batas tembok dengan langit-langit.

    “Mainan apa lagi ini…”, komentar Raqia, lalu menghela nafas. Dia seperti sudah bisa membaca trik para bajak laut itu.

    Argh. Aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini!!

    “Spatial---“

    Kulemparkan Energy Blade begitu saja. Kakiku otomatis bergerak ke arah Raqia.

    “Stop.”

    Dia mengurangi tenaga sesaat setelah tanganku mengunci pergelangannya.

    “Heh, kalau begini kita bisa kehilangan jejak mereka!!”

    Awalnya aku juga berpikiran sama dengannya. Tapi…

    “Ingat bagaimana kondisi dan lokasi tempat ini?”

    Mendengar ucapanku, matanya teralih sejenak. Dia teringat sesuatu. Agak tertunduk, dia menjawab, “Oke, oke. Aku mengerti. Maaf.”

    Bangunan ini terlihat seperti nyaris rubuh. Sekali saja Spatial Breaker, maka puing-puingnya akan mengenai penduduk kota. Tidak semua orang di sini adalah kriminal, karena itu aku takut jika ada orang yang tidak bersalah menjadi korban. Apalagi jika sudah berhubungan dengan menghancurkan sesuatu. Raqia tidak akan menahan diri untuk mengeluarkan kekuatan penuh.

    “Punya ide yang lebih baik?”

    “Aku hanya bergerak berdasarkan refleks…”, ujarku lesu.

    Plasma bicara, tetap terdengar tenang. “Kalian berdua tenanglah sejenak. Da’ath, aku akan mematikan mode Heavenly Saint-nya.”

    Kujawab ya, kemudian dia melangkah ke tembok. Dirabanya sebentar. Diketuk.

    “Cukup untuk menahan laser dari jariku lebih dari dua puluh menit.”

    Tersenyum lebar, Raqia berkata, “Jadi, kita ledak---“

    “Ti. Dak.”, potong Plasma. “Tempat ini tidak begitu jauh dari keramaian. Kecuali jika kamu ingin ada orang yang tidak bersalah ikut mati.”

    “Uuuh~ Lalu kita harus bagaimana?!”

    Well…”, Plasma memandang sekitarnya sejenak. Satu hal mengunci perhatiannya.

    Tenebria.

    “Maaf, nona Tenebria. Apa mungkin anda sudah…”

    “Mmm. Aku sedang mencari apa yang bisa kugunakan untuk menjebol temboknya.”, jawabnya sambil tersenyum.

    Biblos, yang sepertinya sudah tahu apa yang ada di kepala gadis mata merah itu, ternyata ikut mencari. Diawali tawa agak mengerikan, buku itu lalu berkata, “Plasma, kamu pasti juga… sudah tahu kan?”

    Kenapa… ini terasa mencurigakan?

    Tetapi aku hanya diam dan memperhatikan. Rasa penasaran mengontrol kakiku hingga tidak mampu melakukan manuver apapun untuk mencegah mereka. Raqia juga nampak tertarik meski geraknya nihil, sama denganku. Sesaat kami saling melempar pandangan kebingungan.

    “Ah, ini sepertinya bisa dipakai.”, ujar Tenebria pada dirinya sendiri. Dia berdiri sambil membawa beberapa mata pedang dan kapak. Astaga, dia mencabutnya dari gagang.

    “Hei… apa ini?”, gumam Biblos ketika dia berada di pojok kanan ruangan yang sudah hancur lebur ini. “Kaleng?”

    Plasma segera menghampiri. “Kaleng aluminium…? Bagaimana mungkin?”

    Tenebria segera menghapus kebingungan Plasma. “Oh, di rumahku ada tempat untuk memproduksi aluminium. Aku ingat Inferna pernah membawa beberapa ton ke Olympia, entah apa tujuannya. Mungkin para bajak laut itu mendapatkan beberapa.”

    Beberapa ton. Kenapa di kepalaku timbul bayangan Inferna membawa semua itu dengan kedua tangan sambil terbang dan tertawa kesetanan…?

    Plasma terdiam sejenak. Di wajahnya seperti tertulis pertanyaan, “Untuk apa ada pabrik aluminium di sana?”. Tapi, seperti yang kuharapkan dari partner kalengku yang bijak, dia hanya mengiyakan dan membawa kaleng-kaleng itu demi efisiensi waktu.

    Oke, sekarang di dekatku ada beberapa bilah pedang dan kapak karatan. Seingatku memang banyak senjata yang melayang ke sana kemari saat perkelahian tadi. Semua itu ditambah beberapa kaleng aluminium, yang seingatku unsurnya berada di nomor urut 13 dalam tabel periodik. Aku masih mengerenyitkan dahi melihat tumpukan logam itu. Sementara Archangel kecil ini… sudah berbinar-binar. Ekspresi tanpa suaranya itu seakan berteriak, “Aku ingin tahu!! Aku penasaran!!”.

    “Sudah kuduga. Besi murni.”, komentar Plasma saat memegang sebuah mata kapak. “Nona, apa anda sudah tahu kalau…”

    Tenebria menjawab, “Mmm. Aku bisa merasakan tingkat kekerasan benda hanya dengan mencengkramnya, dan mengetahui apa unsur yang membentuknya. Lagipula karatnya mudah kukenali.”

    Setidaknya kekuatan “badak liar”nya itu masih disertai kemampuan lain yang ilmiah. Tidak seperti Raqia yang… KRRRKKK DHUAAARR. Begitulah.

    “Tapi…”, lanjut Tenebria. “Kalau kita tidak tahu ukuran pastinya---“

    Nafas lega lolos dari bibirnya ketika menengok ke arah Plasma.

    “Mungkin kamu bisa, Plasma?”

    Jawaban Plasma? Hanya mengatakan, “Dua ribu delapan ratus enam puluh satu koma dua dua tiga tujuh delapan gram. Pembulatan lima digit.”, dengan mata kapak masih di tangannya. Ternyata tangannya bisa berfungsi sebagai timbangan.

    “Oke. Kamu keruk karatnya, sementara aku akan menggilas kaleng-kaleng ini menjadi bubuk.”

    Instruksi Tenebria membuatku makin merasa jauh seperti penonton sebuah drama yang duduk di tribun paling belakang. Biblos juga, dia sepertinya sedang menghitung sesuatu. Mungkin ukuran yang tepat untuk menjebol tembok ini. Tapi… tidak secuilpun ide yang muncul di kepalaku mengenai apa yang akan mereka buat. Bubuk mesiu? Sepertinya bukan.

    “Boleh kubantu?” Raqia menawarkan diri. Tanpa basa-basi Tenebria mengiyakan.

    “Jangan lupa pakai masker dan sarung tangan yaaa~” Ucapan Biblos diikuti dengan munculnya sepotong kain kecil yang menutup mulut dan hidung kedua gadis itu, memiliki tali penggantung yang terkait ke telinga. Plus, sepasang sarung tangan, sepertinya dari karet. Setelah mengucapkan terima kasih, Tenebria mulai melumat satu kaleng dengan kedua tangan.

    Diriku tercabik-cabik antara perasaan bersyukur dan ketakutan ketika melihatnya melakukan hal itu. Bersyukur, karena sekarang dia adalah bagian dari tim ini. Ketakutan, karena aku tidak mau ---apapun alasannya--- tangan itu menghancurkan tulangku hanya dengan meremas sesaat. Sedikitpun.

    “Mmm… Da’ath, tolong menjauh sedikit.”, pinta Tenebria.

    “Huh?”

    Wajah kebingunganku berubah setelah Plasma mengatakan, “Aluminium adalah salah satu logam paling reaktif di muka Bumi. Sedikit saja debu aluminium masuk ke dalam aliran darahmu, kamu akan keracunan.”

    Akupun mengambil jarak lebih jauh, namun masih bisa melihat jelas apa yang mereka lakukan.

    Dan… suara ini lagi.



    Suara yang lembut namun tetap berwibawa, seperti seorang ayah yang sedang bicara pada anaknya.

    Thermite.”

    Kali ini suara itu hanya memberitahukan namanya. Tentu saja karena aku sudah tahu benda apa itu dari buku kimia yang sama. Yap, itu adalah nama serbuk ajaib yang mampu melelehkan nyaris semua jenis logam di Bumi.

    Seingatku, aku pernah mempelajarinya dengan Raqia di malam ke-5 pengerjaan Merkava Barzel. Mungkin itu alasannya dia mau membantu, karena sudah menyadari apa yang akan dibuat Tenebria. Waktu itu aku memang tidak sempat mempraktekkannya bersama karena terlalu sibuk.

    Hmm… biar kuingat-ingat lagi dasar teorinya. Untuk mudahnya, mungkin aku harus memulai dari persamaan reaksi thermite. Yang digunakan adalah serbuk karat besi dan aluminium. Jadi…

    Fe2O3 + Al ---> Fe + Al2O3

    Yep, itu dia. Samakan koefisien reaksi…

    Fe2O3 + 2 Al ---> 2 Fe + Al2O3

    Setiap unsur memiliki massanya sendiri-sendiri, yang selalu ada dalam tabel periodik unsur. Angka massa tiap unsur yang tertera di situ sebenarnya adalah perbandingan massa unsur tersebut dibandingkan massa 1 atom karbon. Dari situ sepertinya aku bisa mencari tahu perbandingan massa yang dibutuhkan per bahannya.

    Fe2O3 disusun oleh 2 atom Fe dan 3 atom O. Seingatku, massa 1 atom Fe dalam tabel periodik kira-kira bernilai 56, sementara 1 atom O kira-kira 16. Artinya:

    Fe2O3 = 2 x 56 + 3 x 16 = 160

    Atom Al tunggal memiliki massa kira-kira 27. Karena koefisien reaksinya 2, maka:

    2 Al = 2 x 27 = 54

    Dengan demikian, rasio massa antara serbuk karat alias Fe2O3 dan aluminium yang digunakan adalah 160:54. Disederhanakan, kira-kira 2,96:1. Dibulatkan, 3:1. Artinya, jika ingin membuat 100 gram, maka dibutuhkan sekitar 75 gram Fe2O3 dan 25 gram Aluminium.

    Setiap reaksi memiliki 2 kemungkinan: endotermik atau eksotermik. Endotermik berarti reaksinya akan menyerap kalor dari lingkungan. Eksotermik? Kebalikannya, melepas kalor ke lingkungan. Reaksi thermite kali ini termasuk golongan eksotermik dan akan menghamburkan sejumlah panas, yang dimanfaatkan untuk membuat lubang pada tembok logam itu. Nilainya kalau tidak salah sekitar 3,98 kilojoule per gramnya.



    Kulihat ke arah mereka. Ternyata semua bahan sudah dilumat habis menjadi serbuk.

    Serbuk-serbuk aluminium dan besi itu ditaruh di dalam sebuah mangkuk besar yang Plasma temukan ---entah bagaimana bisa lolos dari penghancuran saat keributan tadi---, lalu diaduk hati-hati dengan jarinya. Beberapa detik kemudian, diapun menaburkannya dekat tembok, lokasi di mana pintu seharusnya berada. Gundukan bubuk thermite pun terbentuk.

    Segera mereka semua menyingkirkan sejauh mungkin semua puing yang ada dari sisi tembok yang akan dilubangi. Baiklah, kalau sekedar bersih-bersih mungkin bisa kubantu. Dengan cepat kami semua menggeser segala sisa benda yang berserakan. "Tidak perlu terlalu rapi, yang penting jaraknya lebih dari empat meter dari tembok.", kata Plasma.

    Yap, selesai sudah.

    Akupun menyadari kalau… keberadaanku benar-benar tidak ada artinya selama beberapa menit terakhir. Uh, aku jadi ingin membenturkan kepalaku ke tembok…

    Ini tidak boleh terjadi!! Setidaknya aku harus sedikit berperan kali ini.

    “Tunggu, Plasma. Biasanya pita magnesium digunakan untuk menyalakan thermite karena kemampuannya untuk menghasilkan suhu tinggi. Jadi dengan apa ingin kamu nyalakan bubuk itu?”

    Plasma hanya mengangkat telunjuk kanan tanpa bicara. Dan aku lupa kalau jarinya bisa menembakkan sesuatu untuk menyalakan api. Mungkin energinya cukup untuk menyalakan serbuk itu.

    Raqia menyikutku pelan.

    “Hehehe… tidak kebagian peran yang ilmiah ya sejak tadi?”, ledeknya.

    Sial, dia mampu membaca pikiranku…

    “Mundurlah hingga tembok. Aku akan menyalakannya.”, ujar Plasma sambil menunjuk ke arah tembok di seberang guncukan kecil thermite. “Dan supaya lebih aman… Raqia, lebih baik kamu pasang Magen-mu.”

    Raqiapun menuruti perkataan Plasma.

    “Tunggu dulu tunggu dulu! Jangan dinyalakan dulu!”, potong Biblos semangat. “Sebaiknya kalian…”

    Lemparan huruf-angka-simbol dari tubuh Biblos mengarah ke dekat mataku, Raqia, dan juga Tenebria. Seketika muncul sesuatu yang menutupi mata. Hitam namun agak transparan. Di telingaku juga terasa ada yang menggantung.

    “…pakai kacamata hitam dulu. Nanti silau lho~”

    Menurut apa yang pernah kubaca, thermite memang dapat menyala terang ketika dibakar. Tapi… karena belum pernah melihatnya secara langsung, tidak terbayang sebesar apa kekuatan cahayanya. Akupun agak meragukan fungsi kacamata hitam ini---


    *WHOOOOOOOOOOOOOSHHHH!!!!!!*


    Atau tidak.

    Maksudku, INI GILA. Aku seperti sedang melihat nyala api dari langit yang siap membumihanguskan korban sembelihan beserta mezbahnya sendiri!!!! Kekuatannya bahkan dapat menjilat bagian tembok logam itu hingga meleleh tanpa arti… Ugh, ludahku tertelan tidak sengaja.

    Dan kedua gadis di sebelahku ini malah bertepuk tangan seperti sedang melihat pertunjukan sambil berseru, “WOOOOOOOO!!!! KEREEEENNN!!!!”

    Only needs ten minutes overall. Lebih sedikit.”, kata Plasma ketika seluruh kobaran telah berhenti.

    Sebuah celah telah terbentuk di tembok, setidaknya cukup untuk Plasma lewat meski harus sedikit membungkuk.

    “Baiklah, ke dermaga!!”, seru Raqia.

    Kacamata, sarung tangan, dan masker pun menghilang, berubah kembali menjadi deret huruf-angka-simbol yang kembali pada Biblos.


    ***


    Sayang sekali kapal mereka sudah menghilang begitu kami tiba.

    “GAAAAHHH!!!!”, seru Raqia, frustasi menginjak-injak tanah. “Kita terlambat!!”

    Hanya 10 menit lebih sedikit untuk mempersiapkan kapal dan berangkat? Meskipun mereka pelaut profesional, aku yakin waktu sesempit itu tidaklah cukup untuk lolos sepenuhnya. Pastilah mereka belum jauh. Masalahnya adalah ke arah mana mereka pergi?

    “A-Anu…”

    Suara malu-malu itu memecah kebingungan. Charles.

    “Yap? Ada ide?”, tanya Biblos.

    “Aku bisa melacak mereka.”

    Wow. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan Plasma dan Biblos, bisa diperbuat olehnya?

    “Wohohooo!! As expected from Chaos Restriction.”, seru Biblos girang. “Tapi kenapa sejak tadi diam saja?”

    “A-A-Aku benar-benar takut tadi!! Terlalu ramai dan berisik… Apalagi terbayang olehku kalau ada yang cedera parah… Uuuuhh… ”

    Ironis. Padahal dia pernah menembus perut seorang Angel-class.



    Tanpa cahaya aneh-aneh, tanpa amukan udara, bahkan tanpa Tenebria menyebut apapun, pedang hitam itu berkata, “Barat daya, satu sembilan tujuh. Mereka di udara.”

    Plasma merespon tanpa keraguan dan menghadap ke arah yang dimaksud. “Ke sana rupanya. Tapi kenapa di udara…?”

    Jelas sudah penyebab kenapa Charles dapat mendeteksi keberadaan Thalia sewaktu Lightpath Diffuser dalam kondisi aktif. Ternyata sudah kemampuan alaminya. Entah bagaimana penjelasan ilmiahnya, sepertinya harus menunggu. Dan sudah bisa ditebak, yang wajahnya paling bersemangat setelah mendengar arahan itu adalah…

    “Itu tidak penting. Yang penting sudah ada arahnya. Spatial Breaker: Long-Range Shockwave!!!!”

    Sepertinya Spatial Breaker yang dikeluarkan Raqia sedikit lebih keras dari biasanya. Ah… anginnya sejuk sekali.

    Tak lama, bentuk kedua kapal itupun terlihat. Ternyata memang belum terlalu jauh.

    “Huh, meleset.” Raqia terdengar kecewa.

    “Tidak apa-apa. Setidaknya fungsi Lightpath Diffuser terganggu karena getaran yang terlalu kuat dari Spatial Breaker.”

    Sekarang aku tahu alasan kenapa Melpomene dapat muncul akibat… tersandung. Ternyata alat itu sensitif terhadap getaran kuat.

    “Apa perlu sekali lagi ku---“

    Belum sempat Raqia mengangkat pedangnya kembali, sesuatu yang menghebohkan nampak olehku.


    Ombak.


    Begitu tinggi, bahkan memaksaku untuk mendongak nyaris 90 derajat. Plus mulut menganga dan nada do rendah dari pita suaraku selama beberapa saat.

    Ombak itupun bergerak maju. Melaju. Terus hingga… menghantam kedua kapal. Tidak sedetikpun kubiarkan pandanganku luput dari pergerakannya.

    Wow. Ada yang jatuh satu. Tercebur.

    Perasaan terkagum-kagum inipun hilang ketika kudengar suara seseorang.

    “ANAK NAKAL!!!! APA LAGI YANG MAU KALIAN PERBUAT HAAAAAHHHH???!!!”

    Kupikir suara itu memakiku, Raqia, dan Tenebria. Ternyata…

    “Bukannya berbalik arah, malah terus kabur!! HEI KALIAN CEPAT KEMARI!!!!”

    Tebak siapa yang berteriak seperti ibu-ibu yang dikerjai segerombolan anak-anak iseng?


    Kalliope.


    “Anak nakal harus dihukum anak nakal harus dihukum anak nakal harus dihukum ANAK NAKAL HARUS DIHUKUUUUMMM!!!!”

    Ucapannya begitu cepat seperti sedang mengucapkan mantra. Tangan kanannya menggenggam sesuatu mirip pensil, tapi bahannya jelas sekali bukan kayu. Sementara yang kiri memegang sesuatu serupa buku tipis berwarna biru lembut, bentuknya sangat simpel. Kedua benda itu juga nampak ‘tidak sesuai jaman’.

    Aku… tak bisa bicara apapun. Ini adalah kedua kalinya citra diri seorang malaikat super-anggun runtuh seketika di hadapanku setelah Polyhymnia. Bahkan diriku, yang jelas sekali bukan merupakan sasaran amukannya, juga merasa merinding hingga ke sela-sela tulang.

    “Ah, itu kan Divine---“

    Sorot mata biru Kalliope seketika menghanyutkan ucapan Plasma. Seperti sebuah tsunami yang menyapu pantai.

    “O-Oke, oke. Aku diam.”

    Baru kali ini ada yang dapat membungkam Plasma tanpa harus beradu argumen secara logis.



    “Hei Plasma, kita makan ini saja yuk.”, ujar Raqia yang memegang sebuah kantung kulit kecil berisi… kacang?

    “Hah? Dapat dari mana?”, tanyaku.

    “Tadi di dalam. Sayang kan kalau dibuang. Kamu juga mau?”

    “Uh… huh. Boleh lah.”

    Daripada ikut dimarahi, lebih baik aku duduk diam sambil makan kacang saja.

    “Yah, aku tidak bisa ikut makan.”, keluh Biblos.

    “M-Mmm… aku juga tidak kok.”, sahut Charles. Setidaknya kamu tidak sendirian.”

    “Uwaaa~ Kamu memang teman yang baik…” Biblos mengelus-eluskan dirinya pada pedang itu.

    Maka kami berempatpun duduk di tepi dermaga, menyaksikan tontonan gratis yang berjudul “Cambuk Ombak Lautan, Terceburnya Para Awak”, ditemani sebungkus cemilan. Mungkin lebih cocok kalau ada teh hangat. Kopi juga boleh.

    “Ah, jatuh tiga dari kapal.”, komentar Tenebria sambil ikut mengambil kacang. Sebelumnya ada satu kali ---lagi--- ombak tinggi yang menghantam kapal.

    Lagi-lagi seperti saat makan ikan bakar, dia mengambilnya satu demi satu, lalu mengunyahnya perlahan. Tidak seperti Raqia yang kadang… membuka mulut lebar-lebar sambil melemparkan kacang itu ke atas, lalu ditangkap dengan mulut.

    Tanpa ampun, beberapa kali ombak terus menghajar kedua kapal yang tidak juga berbalik arah.

    “Whoa!! Ada satu yang terbang dari dek!!”, seru Raqia riang.

    “Jadi… sebenarnya itu alat apa? Dan kenapa kapal mereka bisa terbang?”, tanyaku pada Plasma dengan suara agak pelan.

    Plasma menjawab dengan suara yang nyaris sama pelannya, “Yang seperti buku dan pensil itu adalah Vector Controller with Drawing Utility Synchronization. Disingkat Vecondrius. Hanya dengan menggambar arah vektor gaya, kamu bisa mengendalikannya sesuka hati. Itu juga termasuk gaya yang bekerja pada ombak laut.”

    Plasma mengambil lima butir kacang.

    “Dan kedua kapal itu… mungkin ada Anti-Gravity Platform di dalamnya. Seperti punya Urania.”

    “Kalau begitu, bukankah seharusnya kamu bisa melacaknya dari awal?”

    Plasma menggeleng. “Tidak ada sinyal dari sana. Mungkin ada DSCM Container ekstra besar yang menutupi Anti-Gravity Platformnya.”

    “Mereka itu…” Kalliope terdengar geram.

    Sapuan tangannya menjadi makin liar. Dan kalau diperhatikan baik-baik, sepertinya dia menggambar sesuatu yang besar---
    Oh tidak.

    Lagi-lagi sebuah ombak, ukurannya adalah yang paling besar terhitung sejak yang pertama. Tanpa ampun amukan airnya MEMBELAH kedua kapal tepat di tengah. Dan benar dugaan Plasma, ada sebuah kotak hijau semi-transparan yang tercebur. Seluruh sisa kapalpun ---lebih tepatnya puing kapal--- jatuh ke permukaan air.

    “Kalian, cepat ambil anak-anak nakal itu.”, perintah Kalliope dengan nada dingin.

    Kupikir dia mengatakannya padaku atau yang lainnya, ternyata bukan. Karena terlalu fokus pada pertunjukan akrobatik yang ditunjukkan para bajak laut, aku tidak memperhatikan kalau sudah ada beberapa puluh Angel-class, beberapa belas langkah di belakangku. Merekapun segera menuju ke arah sisa-sisa kapal dan memungut siapapun yang masih hidup kembali ke dermaga.

    “Ternyata kemampuan sang Hydro Blaster belum tumpul juga.”, kata Raqia, lalu menumpahkan seluruh sisa kacang ke dalam mulutnya.

    Sebenarnya aku ingin protes karena kacangnya dihabiskan begitu saja, tapi…

    “Hydro… Blaster?”

    “Mmm. Kamu tidak pernah dengar ya? Dia itu…”


    ***


    “Dia itu adalah penjaga lautan!! Tidak ada satupun bajak laut yang bisa bertahan di hadapannya!!”

    Begitulah cerita ayah. Dia mengisahkan semuanya dengan semangat. Siapa lagi kalau bukan tentang seorang Angel-class pemburu bajak laut, Hydro Blaster.

    “Woaaahh… pasti Hydro Blaster itu orang hebat ya, Yah?”

    “Hmm.” Ayah mengangguk mantap. “Kamu tahu? Salah satu kelompok bajak laut berhasil dimusnahkannya tanpa sisa!! Hal itu juga membuat kelompok lainnya takut, sehingga mereka lenyap tanpa jejak. Tinggal satu lagi, maka seluruh lautan akan aman sepenuhnya.”


    ***


    Itu dia yang aku lupakan!!!!

    Sewaktu kecil dulu aku tergila-gila dengan sosoknya, Hydro Blaster, yang konon katanya bisa menghancurkan armada dua puluh kapal sekaligus hanya dalam satu kedipan mata. Waktu itu ayah tidak menyebutkan namanya ---atau lupa karena faktor umur---, sehingga aku tidak tahu kalau malaikat anggun ---mantan malaikat anggun, maksudku--- di sebelahku ini adalah… Astaga.

    “…di Pardes juga ada lukisannya kok. Coba kamu ingat-ingat lagi.”

    Raqia benar. Aku sempat melihat deretan para Angel-class yang dianggap sebagai para pahlawan Pardes di salah satu koridor istana. Tapi wajahnya cukup berbeda!! Mata orang di lukisan itu… terlihat tajam dan serius meski tetap indah. Yang dikenakannya juga lebih menyerupai armor Viridia dibanding pakaiannya yang sekarang.

    Berarti alasan kenapa hanya para Argonaut saja yang dapat bertahan hingga hari ini adalah…

    …semuanya sudah dapat kuingat jelas.


    ***


    Masing-masing awak kapal yang basah kuyup sudah diangkat ke daratan. Semuanya duduk berlutut di depan Kalliope, dikawal para Angel-class di sekitarnya. Menghadap searah. Sementara itu, Plasma dan Biblos langsung menuju ke DSCM Container raksasa berisi Anti-Gravity Platform dan menyelidiknya.

    “Di mana anak-anak itu, Argos?!”, tanya Kalliope, setengah marah.

    Sudah kuduga. Keduanya saling kenal.

    “Haruskah kuberitahu---“

    Kata-kata Argos tak selesai karena tiba-tiba ada aliran air yang mengguyur kepalanya. Dihasilkan dari gerakan cepat tangan Kalliope di atas Vecondrius.

    “Cepat. Jawab.”

    Hanya ada keheningan.

    “Jadi kalian benar-benar ingin ditangani langung oleh Yang Mulia Tselemiel.”

    Mendengar hal itu, para Argonaut berubah pucat pasi.

    Argos memohon, “J-Jangan lakukan hal itu!!”

    “Bukankah sudah ada perjanjian? Tidak kusangka yang melanggarnya malah kalian sendiri. Aku benar-benar salah mempercayai kata-kata kalian.”

    “Kau tak mengerti kondisi kami!!!!” Argos memukulkan tangan ke tanah. “Apalagi setahun terakhir ini…”

    Kalau boleh kumisalkan, Kalliope ini berbeda 180 derajat dengan Tenebria. Jika Nephilim itu awalnya dingin dan mengerikan namun ternyata hanyalah seorang gadis biasa yang dapat bersikap feminin dan menggemaskan sewaktu-waktu, maka Kalliope… Ah sudahlah.

    Tiba-tiba Raqia menyelak.

    “Tunggu dulu. Perjanjian? Aku tidak pernah mendengar hal ini.”

    Ekspresi Kalliope menjadi gusar. Karena aku sudah bisa menebak ‘perjanjian’ apa yang dimaksud…

    “Biar aku yang tangani.” Kutaruh tanganku di pundak Raqia. “Bagaimana denganmu, Kalliope?”

    “M-Mmm…” Diapun menghela nafas panjang. “B-Baiklah. Aku menyerah.”

    “Oke. Tapi aku tetap harus tahu di mana Mel dan Thalia. Argos, bisa tunjukkan di mana mereka?”

    Meski masih nampak agak ragu, dia tetap menjawab, “Aku tak tahu menahu siapa dirimu, tapi… jika kau memang ingin membantu menyelesaikan masalah ini, baiklah. Mereka ada di markas kami. Tapi kapal kami sudah…”

    Maka kupanggil dia.

    “Plasmaaa!!”


    ***

    Setelah sekitar 2 jam hanya melihat laut, timku dan seluruh Argonaut ---plus Kalliope--- tiba di ‘markas’ yang dimaksud. Menurut peta, tempat ini berada di ujung selatan Olympia. Banyak sekali karang-karang tinggi menjulang di lepas pantainya. Kapal biasa pastilah kesulitan untuk memasuki daerah ini tanpa mengalami karam. Untunglah Merkava Barzel tiruan tidak perlu melalui rintangan itu.

    “Tapi tidak ada apapun di sini.”, komentar Tenebria ketika kami mendarat tak jauh dari sebuah tebing curam.

    Argos pun melempar sebuah batu ke arah kanan depannya. Menabrak sesuatu.

    Sekejap, sebuah desa kecil muncul di hadapan kami. Ternyata yang terkena batu adalah Lightpath Diffuser yang digantung pada suatu palang kayu. Rupanya dia sudah hafal tempat benda itu digantung meski tidak kelihatan. Dari jauh aku juga bisa melihat jajaran batu nisan. Pemakaman.

    “Wah, mirip Anti-Photonic Curtain saja.”, gumam Tenebria.

    Tidak jauh berbeda dengan kebanyakan area pemukiman, rumah-rumah kayu berdiri dalam jarak yang tidak begitu berdekatan. Hanya saja yang di depanku ini sedikit lebih... jelek. Kayu-kayunya tidak lagi terawat. Terlihat lapuk.

    Berjalan makin dekat, pintu-pintu rumah dibuka dari dalam. “Mereka pulang!”, “Wah, itu ayah!”, “Bawa apa ya mereka kali ini?”, itulah beberapa kalimat yang sempat kudengar. Banyak di antara mereka yang nampak kurus dan lusuh. Beberapa orang yang sudah lanjut usia juga terlihat begitu renta, berjalanpun sulit. Bahkan aku dan Plasma harus membantu seorang nenek berjalan menuju salah satu anggota Argonaut. Cucunya, mungkin. Mata mereka semua berharap secercah kehidupan, yang mungkin dibawa pulang oleh anggota keluarga mereka yang melaut.

    Ferrenium... seakan kolam emas dibanding desa ini.

    “Jadi… bisa kalian lihat sendiri…”, ujar Argos lesu.

    Raqia menggeleng-gelengkan kepala, terlihat tidak percaya. “Aku tidak mengerti dengan tukang galau yang satu itu. Bisa-bisanya meninggalkan rakyatnya sendiri.”

    Bukannya aku tidak setuju. Hal ini memang sebuah aib bagi sang Archangel keenam. Tapi mengetahui sifatnya yang mementingkan masalah cinta pribadi, aku tidak terlalu heran melihatnya.

    Raqia bertanya padaku, “Baiklah, apa idemu untuk hal ini?”

    “Sudah jelas kan? Tentu saja Tselemiel harus tahu tempat ini dan kondisinya yang buruk.”

    “Kau ingin kami mati, bocah?!” Argos terdengar tak sabaran.

    “Tenanglah dulu. Tentu saja aku tidak akan membiarkan kalian diperlakukan buruk. Bagaimanapun juga, apa yang ada di depan mataku ini tidak mungkin menipu. Kalian hanya terpaksa melakukan tindak kriminal demi bertahan hidup.”

    “Ya… kau benar. Sejak para malaikat bersayap warna itu habis total, tidak ada lagi makanan untuk kami. Kondisi pantai yang berbatu menyulitkan mereka untuk mencari ikan. Sementara agak ke utara hanya ada pegunungan yang medannya sulit serta berbahaya. Itulah kenapa…”

    Argos bersujud di hadapanku.

    “Kumohon!! Tolonglah kami semua!! Aku hanya mohon satu hal, jangan biarkan kami berada dalam hukuman yang terlalu berat!! Tidak semua sanggup untuk menanggungnya!!”

    Semua mata menatap heran ke arahku. Maka akupun memintanya berdiri.

    “Hmm… tapi harus ada sesuatu yang diberikan untuk Tselemiel.”, ujar Raqia sambil menaruh tangan kanan di dagu. “Ingat kasus Athena? Dia bersedia pulang karena tawar-menawar dengan Tselemiel.”

    Benar juga. Tapi apa yang bisa diharapkan dari desa semiskin ini---

    “Ah! Bagaimana kalau…”

    Di luar dugaan, malah Tenebria yang punya ide.

    “…kaleng-kaleng itu?”

    Ekspresi Raqia berubah, setengah meremehkan. “Hukuman mau ditukar kaleng? Yang benar saja…”

    Tenebria menggeleng. “Tidak. Itu pasti bisa. Karena aku tahu apa yang pernah diberikan Inferna pada para Elilim-class di Olympia.”

    Sekarang Raqia nampak tertarik.

    “Ya, kurasa juga demikian.”, sahut Plasma sambil melangkah kemari. “Yang akan diberikan adalah teknik cara mengolah aluminium, benar begitu?”

    “Mmm, kamu benar. Di jaman seperti ini, mengolah aluminium membutuhkan proses yang sulit dan rumit. Tanpa ada pabriknya di rumahku, mungkin kaleng-kaleng itu tidak akan pernah kita temui. Dan seingatku, dari kata-kata para Elilim-class di Asgard, sepertinya Archangel keenam itu cukup terpelajar dan pintar. Jika aluminium-aluminium itu plus cara mengolahnya diberikan padanya, pastilah dia akan senang sekali.”

    Dan Avodah adalah kota para blacksmith. Jelas saja rakyatnya juga akan tertarik. Baiklah, sepertinya ide Tenebria bisa digunakan.

    “Bagaimana, Argos? Kurasa itu juga dapat membuatmu bekerja kembali di Avodah dan tak perlu merampok lagi di pantai.”, tanya Raqia.

    Si botak itu tercengang dan menganga.

    “Heh, jawab pertanyaanku.”

    “A-Aku tidak percaya… Semudah ini?”

    Menepuk-nepuk lenganku, Raqia menjawab bangga, “Yah, bocah ini kan Crusader-Saint.”

    Dan sekarang aku melihat celah terlebar yang dihasilkan rahangnya.

    “BOCAH INI???!!!”

    Lama-lama aku merasa kalau tampangku tidak pantas untuk disebut Crusader-Saint. Mungkinkah perlu dipoles supaya agak sangar sedikit?

    Sesaat, dia menaruh telapak tangannya di dahi. “A-Astaga. Tidak kusangka… Aku selalu mengira kalau Crusader-Saint punya wajah lebih kaku dan serius, mirip si gila dari Ohr-Nisgav itu.”

    Uriel, maksudnya.

    “Setidaknya aku juga melihat kualitas seorang pemimpin ada pada dirimu. Apalagi kau punya teman kaleng begitu… Aku jadi ingat dia, Lord of Iron Angels.”

    Nama itu terdengar asing. Maka aku bertanya, “He? Siapa dia?”

    “Hah?! Kau tidak tahu?! Sepertinya kau perlu belajar banyak tentang sejarah dunia!! Dia itu pimpinan kelompok saingan kami, Varuna, yang sering beroperasi di sekitar Chalal hingga Batavia sana!!”



    Sebelum ini berubah menjadi kelas sejarah, Raqia memotong, “Jadi, mau atau tidak?”

    “Tentu!! Bagaimana mungkin kubiarkan keluarga rekan-rekanku mati begitu saja?!”

    “Jika ada kertas, bisa kubuatkan suratnya sekarang. Nanti dia akan menandatanganinya juga.”

    Raqia menunjuk diriku dengan jempol.

    “Dan kamu sendiri yang harus menyerahkannya ke Avodah. Biar Kalliope ikut---”

    Tiba-tiba dua suara terdengar, serempak dan harmonis.

    “K-Kalian…?”

    Si kembar itu rupanya, melangkah dari arah perkuburan. Ternyata Argos tidak berbohong mengenai keberadaan keduanya.


    ***


    Sekarang kami berada dalam salah satu dari rumah-rumah kumuh itu, peninggalan sang kapten besar Argonaut, Jason. Yang tidak ada di sini adalah Biblos, Tenebria, dan Charles. Ketiganya mungkin sedang bermain dengan anak-anak di luar.

    Akar masalah ternyata dimulai tepat sehari setelah kedatanganku. Seseorang datang menemui Mel dan Thalia pada tengah malam, suruhan Argos. Tiga makhluk yang tidak butuh terpejam ---Raqia, Plasma, dan Biblos--- sama sekali tidak mengetahui kedatangannya karena berkonsentrasi menyempurnakan Temporal Backslide. Sementara Tenebria ---yang hanya butuh tidur setiap 2 atau 3 minggu--- masih belum pulih 100 persen, sehingga Plasma menyuruhnya untuk tidur saat itu.

    Sebuah surat diberikan oleh orang itu. Sederhana, hanya satu kata “Tolong” dan tanda tangan Argos yang tertoreh di kertas. Berhubung si kembar sudah menganggap Argos sebagai ayah kedua, maka hal itu dianggap serius dan mendesak. Tanpa pikir panjang keduanya melesat ke tempat ini. Dan… yang mereka temui adalah kematian. Ya, penduduk desa ---sebagian besar manusia--- sudah berkurang hampir setengahnya akibat kelaparan hanya dalam waktu setahun. Kuburan di sebelah desa adalah buktinya.

    “Jadi… begitu.”

    Raqia mengangguk beberapa kali. Sepertinya dia bisa memaklumi alasan si kembar.

    Argos menimpali sambil menggaruk-garuk botaknya, “Maaf jika pesannya terlalu singkat. Jika harus kupaparkan, pasti akan panjang sekali.”

    Benar. Jika dijelaskan secara lengkap, maka Argos harus menceritakan segala sesuatunya dimulai dari invasi Raqia dan Tselemiel terhadap Olympia setahun yang lalu. Sementara itu, desa ini bergantung pada para Elilim-class dalam banyak hal, termasuk pangan. Dengan hancurnya mereka, maka…

    “Tapi kamu harus menjelaskan semuanya pada Tselemiel nanti sambil menyerahkan surat yang kutulis. Aku yakin dia mau mengerti. Dan…” Raqia menunduk sedikit pada Argos. “Sepertinya aku juga harus minta maaf. Sedikit banyak, aku berperan dalam kehancuran desa ini.”

    Argos tertegun sejenak, namun tersenyum lega setelahnya.

    “Sekarang aku mengerti kenapa tak ada Elilim-class yang berasal dari tempatmu.”

    Raqia merespon, “Terima kasih untuk pujiannya.”

    Arah pandangan Raqia berubah, kali ini ke arah Kalliope yang sejak tadi nampak sangat gusar.

    “Baiklah, sekarang giliranmu. Aku belum mendengar tentang ‘perjanjian’ yang kamu maksud tadi. Apa kamu membuat kontrak dengan mereka, melangkahi keputusan Tselemiel? Kupikir kamu bukan orang yang seperti itu.”

    Masalah yang itu… sebaiknya kupotong saja.

    Kutaruh tanganku di kepala Raqia, sedikit kutekan-tekan. “Akan kujelaskan semuanya nanti.”

    Setengah marah setengah malu-malu, dia membalas, “H-Hei!! Apa maksudmu?! Aku kan perlu mendengar---“

    Sebenarnya ‘perjanjian’ itu sudah jadi rahasia umum. Aku yakin banyak dari orang-orang Shamayim juga mengetahuinya. Satu-satunya alasan kenapa Raqia tidak tahu adalah… terlalu berbahaya jika kabar itu sampai ke telinganya.

    “Sebagai Crusader-Saint, sudah selayaknya kamu mendengar perintahku.” Makin kuacak-acak rambutnya.

    “AAAAHHH!! Oke, oke!! Tapi tolong hentikan!! Jangan keras-keras begini!! Uuuhh…”, protesnya, berusaha menjauhkan tanganku.

    Keluhannya segera disambut gelak tawa oleh semua yang hadir. Tak terkecuali Kalliope, meski hanya tersenyum kecil.


    ***


    “Jadi kami minta ijin untuk tinggal di sini hingga sebulan ke depan. Bolehkah?”, tanya Thalia pada Kalliope, ketika kami sudah berada di luar. Ternyata bulan depan adalah peringatan 96 tahun meninggalnya ayah mereka.

    “Iya, kami juga janji tidak akan kabur lagi. Maafkan kami…”, kata Mel, setengah berkaca-kaca.

    “Mmm… baiklah. Semua juga sudah selesai. Satu saja pesanku, tetap awasi mata kalian terhadap Argos, jangan sampai dia melanggar janjinya kali ini. Aku tidak mau terlibat masalah yang lebih jauh dengan Yang Mulia Tselemiel nantinya.”

    Keduanya mengangguk cepat, sangat sinkron.

    “Kalau ada waktu, aku juga akan memberitahu Clio tentang hal ini agar dia tidak khawatir.”, tambahnya.

    Raqia menimpali, “Kamu tahu di mana Clio berada?”

    “Dia ada di benua selatan, di seberang laut. Erato dan Euterpe sekarang sedang bersamanya, dan mungkin juga Yang Mulia Nuachiel.”

    “Hmm… begitu ya. Sepertinya dia bisa menunggu belakangan. Baiklah, kami harus berangkat kembali.”

    “Sekali lagi terima kasih untuk semuanya… Yang Mulia Raqia.” Argos menunduk hormat. “Dan kau juga, bocah.”

    Kali ini tidak ada aura hinaan yang terpancar dari kata-katanya. Dia tersenyum lebar, maka kubalas dengan cara yang sama.

    “Semoga sukses menghadapi tukang galau yang satu itu.”, ujarku.

    “Hahaha!! Cocok juga gelar ‘tukang galau’ untuknya. Dan… terima kasih juga untuk idemu, nona.” Kali ini Argos menunduk pada Tenebria.

    Sedikit kaku, Tenebria menjawab, “T-Tidak apa-apa kok. Bukan masalah besar untukku.”

    Pelan ---nyaris tak terdengar, untunglah aku ada di sebelahnya---, Argos bergumam, “Mirip sekali dengan istriku sewaktu masih ada.” Diapun mengangkat kepalanya, lalu mengatakan “Selamat jalan” pada kami.

    Namun baru juga kakiku beranjak dua langkah, sesuatu terbersit di pikiranku.

    “Kalliope, sebelum kamu mengantarkan surat itu bersama Argos… bisakah ikut dengan kami sebentar?”

    Dari gelagat semua yang ada di sini, yang nampak mengerti hanya Plasma seorang.


    ***


    “Cukupkah sebesar iniii???!!!”, tanya Kalliope, berteriak sekeras mungkin. Dia melayang beberapa belas meter di depan.

    Ombak laut berdiri gagah di hadapan kami yang berada di dalam Sonic Glider. Membentang sekitar 500 meter dari utara ke selatan. Tingginya kurang lebih 10 meter.

    Setelah Plasma memberi instruksi padaku, maka kujawab Kalliope, “Yaaaaa!! Sudaaaaaah!!!”

    Yap, hanya Vecondrius milik Kalliope yang mampu membuka segel Divine Barrier yang dibentuk pimpinan Ohr-Nisgav, Uriel Yehiy’or. Sekarang kami semua berada beberapa puluh kilometer lepas pantai.

    Sebelumnya Biblos telah mendeteksi kejanggalan pada pelindung tak kasat mata tersebut, yang ternyata konsentrasinya sedikit berbeda pada areal yang ada di depan kami. Tak salah lagi, itu adalah “lubang kunci” yang dimaksud saat Plasma menjelaskan cara membuka Divine Barrier di desa aneh berpenduduk roh termaterialisasi itu.

    Tangan Kalliope bergerak-gerak di atas Vecondrius, dan…


    *WHOOOOOOOOOOOOOOOZZZZZZZZZZ*


    Gemuruhnya gagah perkasa, mengamuk dalam keselarasan. Berkecamuk mencabik-cabik udara di sekitarnya. Air berkecepatan 10 m/s siap menghantam Divine Barrier.

    Tiga.

    Dua.

    Satu.


    *BHHRRRRRRRRRRRRRRRRRR*


    Medan energi Divine Barrier bergejolak ketika dihantam seketika. Pemandangan di depan buram sesaat, kemudian sisa kekuatan arus mengalir begitu saja. Ya, Divine Barriernya sudah hilang.

    “Terima kasih ya.”, ujar Raqia.

    “Suatu kehormatan bisa membantu anda dan juga Crusader-Saint.”, balas Kalliope sambil sedikit membungkuk.

    “Ya sudah, kami harus segera ke Ohr-Nisgav. Ingat, jangan terlalu keras pada para bajak--- maksudku, orang-orang itu. Kesusahan mereka jangan ditambah lagi. Dan berikan suratnya secepat mungkin.”

    Sonic Glider pun kembali bergerak maju, ditemani senyum anggun dari sang Aqua Tranquility. Atau… Hydro Blaster. Sambil berdiri di atas jok, Raqia melambaikan tangannya sejenak ke arah Eleutherian-class itu.



    Menghela nafas panjang, Raqia membanting diri di kursi. “Selesai juga.”

    Kaca kokpit Sonic Glider pun menutup.

    “Ternyata saran Tselemiel tidak salah. Untung saja Kalliope punya sesuatu yang bisa membuka barrier.”

    Raqia membalasku, “Mungkin dia sudah tahu mengenai alat milik Kalliope itu, jadinya dia menyarankan kita untuk menemuinya.”

    Ekspresinya berubah seketika, seperti mengingat sesuatu.

    “Plasma, tolong jangan masuk ke kota lewat pantai timurnya. Memutarlah lewat utara atau selatan, lalu masuk lewat gerbang barat. Uri tidak suka ada orang yang masuk melalui pintu yang salah.”

    Archangel yang satu itu… sepertinya akan merepotkan.

    Suara dari panel kontrol membalas, “Roger, Ma’am.

    “Dan… sekarang aku butuh penjelasanmu, Da’ath.”

    “Hmm? Tentang apa?”

    “Jangan pura-pura bodoh…”

    Oh… itu.

    “Bagaimana kalau tanya rakyatmu sendiri---“

    Oke, matanya berkobar. Ampuni aku, wahai penguasa Shamayim!!


    “Cinta segitiga.”


    Raqia menganga lebar sambil berbunyi, “Haaah?”

    “Bisa tebak kelanjutannya?”

    “Laut di bawah siap menerima jasadmu, wahai Crusader-Saint.”, ucap Raqia sambil tersenyum lebar.

    “O-Oke. Sebenarnya… Kalliope menyimpan perasaan cinta pada kapten para Argonaut terdahulu, Jason. Sayang sekali cintanya ditolak. Jason lebih memilih untuk menikah dengan ibu dari Mel dan Thalia.”

    Menggaruk-garuk kepalanya sesaat, Raqia bertanya, “Apa… hubungannya?”

    Gemas, kugenggam kedua pundaknya erat-erat.

    “Tentu saja ada!! Karena Jason adalah cinta lama Kalliope, maka apapun yang terjadi, sang Hydro Blaster itu tidak akan mau menghancurkan para Argonaut!! Dan untuk alasan yang sama pula dia mau mengawasi dua putri dari sang kapten, yang adalah pesannya sebelum meninggal!! Dan perjanjiannya dengan Argos adalah agar tidak menarik Mel dan Thalia untuk kembali menjadi bajak laut, karena itu juga termasuk pesan terakhir Jason sendiri!!”

    “Hee… jadi begitu.”, jawabnya polos.

    “Hanya itu responmu? Hanya sebuah ‘Jadi begitu’?! Pikirkan betapa besar hati Kalliope, yang meski sudah hancur dan ditolak, namun tetap mau melakukan segala sesuatunya demi orang yang dicintai!!!!”

    “Lalu kenapa aku tidak pernah tahu?”

    “Tentu saja tidak ada yang memberitahumu, mengetahui sifatmu yang suka main tebas sembarangan!!!! Apa kamu lupa ketika kita berurusan dengan Maoriel dan Omoikane??!! Kamu NYARIS membunuh mereka karena mereka saling mencintai!!!”

    “Mmm… kamu marah?”

    “Aku tidak marah!! Hanya gemas saja!! Apa perlu kucium dulu bibirmu supaya mengerti?!”

    “HAH?! Coba saja kalau berani!---“



    Tanpa aba-aba, kepalaku bergerak secara otomatis. Kupejamkan mata sesaat sebelum…

    “Mmmff!---“


    Bibirkupun bersentuhan dengan bibirnya.


    Sebentuk merah muda pucat yang kecil itu terasa liat, begitu nyaman bagiku. Di luar dugaanku, dia tidak menolak apa yang kulakukan. Perlahan, kehangatannya merasuki diriku. Makin dalam. Lidah kami menari bersama, saling membelai dalam kelembutan. Dunia serasa melebur dalam asmara di tiap detiknya. Nafas kecilnya seakan berkata, “Aku mencintaimu”.

    Benang keperakan nan bening menjadi saksi antara bibirku dan bibirnya. Saksi dua insan yang melupakan segala sesuatunya karena gairah cinta.



    Wajahnya begitu merah. Sorot matanya penuh harap. Dua detik kemudian, dia segera mengusap bibirnya.

    “Sudah mengerti sekarang?”, tanyaku lembut.

    “Mmm…” Raqia menangguk pelan.

    “Apapun yang terjadi, perasaanku tidak akan berubah.”

    “Begitu ya…” Beberapa kali pandangannya beralih ke arah lain. “Aku juga… sebenarnya… makin lama…”

    Mata kami pun bertemu.

    “…makin cinta padamu…”

    Aliran kata-kata yang selalu kutunggu akhirnya keluar juga. Terdengar sangat lembut. Membuatku tersadar kalau yang ada di depanku sebenarnya juga punya hati seorang perempuan.

    “T-Tapi lain kali jangan tiba-tiba begitu…”, jawabnya malu.

    “M-M-Maaf untuk yang itu.”



    Astaga. Kerasukan apa diriku barusan?! Aku melakukannya nyaris tanpa sadar!!

    Masih amat sangat merah, dia bertanya, “B-Bagaimana kalau Tenebria lihat---“

    Kata-katanya terhenti karena ternyata… orang yang dimaksud sedang tertidur. Cepat sekali terlelapnya? Apa mungkin masih terlalu lelah?

    “…untunglah.”, ujarnya lega.

    Tunggu. Yang tidak melihat kan hanya Tenebria…

    “Halo halo? Sudah selesai belum?”, sahut Biblos.

    Charles menimpali, “E-Emm… mesra sekali ya kalian..”

    “Asal jangan keterusan saja.”, tambah Plasma.

    Sial!! Semua yang bukan makhluk hidup sudah pasti melihat yang barusan!! Argh, kenapa kulakukan tanpa pikir panjang?! Pipiku juga terasa panas begini…

    Mulut Raqia bergerak-gerak kaku. Darah juga terpompa penuh ke seluruh wajahnya. Kemudian…


    “HYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA…!!!!!!”


    Sebenarnya gaya teriakannya cukup menggemaskan, hanya saja volumenya sangat membunuh. Telingaku tak luput dari keganasannya, menjadi korban dan langsung mendengung.

    “K-K-K-Kurang ajar!!!! Kenapa main cium segala hah??!! A-Apa kamu tidak tahu kalau yang lain juga lihat????!!!!”

    Aw. Aw. Aw. Aku dipukul bertubi-tubi. Tidak begitu sakit sih. Tapi terpaksa aku berlindung, menangkisnya dengan lengan.

    “T-Tapi kenapa kamu tidak menolak??!! Kalau kamu memang tidak mau, pasti tidak akan kuteruskan!!!!”

    “Ya itu salahmu!!!! Kenapa tidak menarik diri??!! Aku kan juga… juga… rasanya… emmm…”

    Raqia terdiam sesaat, nampak geram tapi malu-malu.

    “Enak?”

    “DA’AAAAAAAATHHHH!!!! JANGAN BILANG SEPERTI ITUUUU…!!!! AAAAAAAAAAHHHHH!!!!!”

    Aw. Aw. AAAAAAGGGHHH!!!! TANGANKU DIGIGIT!!!!


    ***


    Dan dimulailah perjalanan cinta diriku, Da’ath Ruachim, sebagai seorang Crusader-Saint. Bersama Archangel kecil yang lucu menggemaskan namun kadang mengesalkan ---dan berbahaya---, Raqia Gibboreth, sang Angel Knight penguasa Shamayim. Yang pastinya akan penuh cubitan, pukulan, dan tendangan. Mungkin sesekali digigt. Semoga saja aku bisa bertahan hidup untuk seterusnya… Huh.

    Anyway, tujuan berikutnya sudah nampak di depan mata. Ohr-Nisgav, kota raksasa penuh cahaya yang dipimpin oleh Guidance Light, Uriel Yehiy’or, Archangel pertama. Full speed ahead!!!!


    ===============================

    Spoiler untuk Trivia :


    Last edited by LunarCrusade; 22-08-13 at 01:12.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  10. #174
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    New Testament major arc started


    Spoiler untuk Tehillim 40 :


    ===============================================
    Tehillim 40: Majestic Harshness ~ City of Unreachable Light
    ===============================================




    “Yuhuuuu~ Bangunlah, hei nonaaaa~”

    Astaga. Gadis yang satu itu sulit sekali dibangunkan. Padahal sudah berkali-kali Biblos menabrakkan diri ke pundaknya, tapi hasilnya nihil. Maka dia meminta Plasma menghilangkan jok yang digunakan Tenebria.

    *GUBRAAAAKK!!*

    “U-Uuuh…” Tenebria menggeliat sebentar. “A-Ada apa ini…? Kita tabrakan?”

    “Tentu saja bukan, sleeping beauty. Jokmu sengaja dihilangkan.”, jawab Biblos santai.

    “E-Eh?! Kenapa---“

    “Hampir lima belas menit aku berusaha membangunkanmu!!”

    Wajah Tenebria kaku sesaat. Kemudian dijawabnya lesu, “M-Maaf…”

    “Oke, stop. Kita tidak boleh terlambat masuk ke Ohr-Nisgav.”, ujar Raqia, kemudian mengulurkan tangan pada Tenebria. “Berdirilah.”

    Aku sendiri tidak tahu banyak mengenai kota itu selain kekuatan militernya yang sangat kuat. Jika Tzayad memiliki ksatria-ksatria tangguh yang memiliki jiwa petarung yang tidak takut mati sejak lahir, maka para tentara Ohr-Nisgav mendapatkannya melalui disiplin yang luar biasa dan latihan keras. Maka dari itu, aku sedikit bertanya-tanya ketika Raqia berkata ‘tidak boleh terlambat’. Apa mungkin ada semacam jam malam di sana?



    Kamipun turun dari Sonic Glider, ditudungi kanvas jingga yang telah merekah di atas sana.

    Permadani pasir menyambut telapak kaki. Uh-huh, kota itu memang dikelilingi gurun, dengan laut di sebelah timurnya. Gurun ini membentang hingga sejauh 1000 kilometer ke arah barat, hingga sekitar desa aneh yang waktu itu.

    Di kejauhan nampak tembok raksasa yang mengular dari utara ke selatan. Berwarna keemasan. Bersinar, sama seperti tembok Shamayim. Begitu panjang, bahkan aku tidak bisa melihat ujung-ujungnya. Dengan penduduk sekitar 21 juta orang, pastilah butuh tempat yang luas untuk menampung semuanya. Seingatku luasnya hanya sedikit lebih kecil dari kota yang diperintah Raqia.

    Makin dekat, aku bisa melihat banyak penjaga ---Angel-class pastinya--- berdiri setiap beberapa meter di atas temboknya. Berdiri tegap, memegang senjata. Di kiri dan kanan gerbang emasnya yang bertahtakan batu-batu rubi, juga dijaga oleh dua Angel-class yang nampak gagah.

    “Hmm… sepertinya belum terlambat.”, gumam Raqia. “Baiklah, akan kutanya sebentar pada penjaga.”

    Tetapi, baru saja Raqia maju dua langkah…

    Terdengar suatu suara seperti sangkakala dari tempat yang agak jauh, namun masih cukup keras untuk dapat terdengar dari sini.

    “Ah… terlambat.”, keluhnya. “Ya sudah, kita tunggu dulu sebentar.”

    Kami berhenti sekitar 100 meter dari gerbang. Kuperhatikan gelagat Plasma dan Biblos…

    “Divine Technology?”, tanyaku.

    Plasma mengangguk, kemudian terdiam. Dia hanya memandangi tembok Ohr-Nisgav. Tak bergeming. Aneh, biasanya dia langsung menyebutkan namanya.

    Kutepuk lengannya. “Hei, ada apa?”

    “Ada lebih dari seratus device di sini… Field Energizer, Recovery Orbiter, dan Artificial Dimensional Storage juga terlacak dari dalam sana.”

    Jelas aku terbelalak, bersamaan dengan pandangan Raqia yang otomatis teralih pada Plasma.

    “Dan yang terbesar ada di hadapan kita.”

    Bersamaan, aku dan Raqia berteriak, “TEMBOK ITU?!”

    “Betul.” Plasma mengangguk “Seingatku, Lightpath Diffuser dibuat dengan memodifikasi blueprint tembok besar itu meski tidak sempurna.”

    Raqia segera menyelak, “Tunggu, tunggu. Artinya selama ini Ohr-Nisgav dapat tersamarkan karena tembok itu?”

    “Eh? Maksudmu, yang di depan kita sekarang…”

    “Uh-huh. Ilusi. Ohr-Nisgav yang sebenarnya masih agak jauh. Seandainya saja bunyi sangkakala tadi tidak kudengar, mungkin aku sudah mengira kalau yang di depan itu adalah kota yang asli.”

    Plasma hanya mengangguk-angguk, menaruh tangan di dagu.

    Hei. Kalau begitu, tembok yang di Shamayim…

    Kepalaku otomatis menoleh pada Raqia. Seakan bisa membaca pikiranku, dia tertegun sejenak, menelan ludah.

    “Jadi Shamayim juga bisa disamarkan??!!” Kembali, kami berdua berada dalam posisi sangat sinkron.

    Sekarang giliran Plasma terheran-heran. “Apa maksud kalian?”

    Raqia menjawab sambil menunjuk ke arah kota, “Tembok kotaku juga berbentuk sama persis!!”

    “Biblos, bagaimana jangkauan scannermu?”, tanya Plasma cepat, menghiraukan keheranan yang menyelimuti kepalaku dan Raqia.

    “Sebentar, sebentar~ Hmm, sepertinya sudah bisa setengah keliling Bumi.”

    “Nyalakan sekarang. Maksimum. Dan… Raqia, tolong tunjuk kira-kira di mana letak Shamayim.”

    Raqia menunjuk arah timur. Sedikit menyerong ke utara.

    “Biblos, aktifkan sensor Divine Energy ke arah yang dimaksud. Samakan medan Divine Energy-nya dengan yang dipancarkan tembok.”

    Buku itu bersenandung sejenak, kemudian membisu. Seperti ada yang membungkam mulutnya. Lalu…

    “…bagaimana mungkin tembok sebesar itu dipindahkan dalam jarak ribuan kilometer???!!!”

    Panik, Raqia segera bertanya, “Apa maksudnya?!”

    “Singkat kata, tembok yang mengelilingi Ohr-Nisgav dan Shamayim adalah sama. Masing-masing mendapat setengah bagian.”, jawab Plasma.

    Biblos menimpali, “Apa mungkin sebenarnya dulu keduanya merupakan satu kota?”

    Plasma menggeleng. “Terlalu cepat untuk mengatakannya demikian, meski kemungkinan itu juga harus diperhitungkan. Hanya satu hal yang jelas.”

    Aku dan Raqia menelan ludah bersamaan.

    “Pusat operasimu di masa lalu, Da’ath, kemungkinan besar berada di kedua kota. Atau seperti asumsi sebelumnya, di kota hasil bersatunya Ohr-Nisgav dan Shamayim.”

    Jika kuperluas kesimpulan Plasma, kemungkinan salah satunya adalah tempat asalku yang sesungguhnya. Lebih dari 2000 tahun yang lalu tentunya.



    Tiba-tiba terdengar suatu suara dari arah Ohr-Nisgav, dari kiri hingga kanan. Kali ini bukan sangkakala. Yang masuk ke telingaku adalah suara kumpulan orang yang sangat, sangat, SANGAT banyak. Menggema. Menyatu dengan langit. Kata demi kata yang terdengar seakan ingin mengguncang surga. Mereka sedang…

    …berdoa.

    “Kamu tidak ikut?”, tanya Biblos pada Raqia.

    “Aku tidak terbiasa. Aku juga tidak pernah memaksa rakyatku untuk berdoa serentak pada waktu-waktu tertentu secara rutin setiap hari. Hanya menganjurkan supaya mereka melakukannya setiap hari secara pribadi.”

    HAH?!

    “Orang-orang Ohr-Nisgav melakukannya serentak setiap hari?!”

    “Uh-huh, Da’ath. Lebih tepatnya lagi dua kali sehari, setiap matahari terbit dan terbenam.”

    Berdoa memang sudah selayaknya dilakukan setiap hari. Tapi, jika dilakukan secara SERENTAK DUA KALI SEHARI di SELURUH Ohr-Nisgav… astaga. Disiplin mereka benar-benar terlalu tinggi. Bukan hanya dalam hal militer, namun juga spiritual. Seperti ada saklar yang menggerakkan roh mereka secara harmonis.

    “Yah, dalam hal disiplin… harus kuakui rakyatku masih kalah jauh. Ahaha…”, ujar Raqia lesu sambil menggaruk-garuk kepala.

    Plasma berkomentar, “Well, discipline is good selama mereka tidak kehilangan esensi doa yang sebenarnya. Semoga saja itu bukan menjadi sekedar rutinitas. Tidak ada gunanya jika demikian.”

    Ada yang lain dari kata-kata Plasma. Auranya terasa berbeda meski warna suaranya tidak berubah. Perasaanku sajakah? Atau…

    Kami terus menunggu. Setelah 15 menit, temboknya menghilang. Digantikan tembok yang jaraknya lebih jauh ke depan. Bentuknya sama persis.

    “Nah, kalau begini kita sudah bisa masuk. Ayo, ikuti aku.”, ajak Raqia. Kamipun mengekor langkahnya.

    Raqiapun mengaktifkan mode Angel Knight. Pastilah agar lebih mudah mendapat ijin masuk.

    Sambil menunduk sesaat, Raqia mengucapkan, “Shalom aleichem”.

    Kupikir kami akan disambut dengan damai pula, tetapi…

    “Hah? Apa maksudmu?!”, seru Archangel kecil itu pada salah seorang penjaga gerbang.

    Aku salah. Penjaga tidak mengijinkan kami masuk. Beberapa waktu belakangan ini memang tidak ada siapapun yang diperbolehkan melangkahkan kaki memasuki kota penuh cahaya itu. Kalau boleh menebak, sepertinya sejak Divine Barrier itu terpasang. Tapi aku salut dengan kepatuhan mereka. Jika aku jadi penjaga, mungkin aku sudah gugup mengetahui Divine Barrier yang berhasil ditembus. Bisa jadi yang masuk adalah musuh.

    “Cepat panggil Uri kemari!! Kami sudah menuruti prosedur, dan tidak salah pintu masuk!!”

    Mereka tidak bergeming.

    “Aku bisa melawan seratus ribu dari kalian sekaligus tanpa kesulitan!!!! Gerbang kalian yang indah itupun bisa hancur kurang dari tiga detik!!!!”

    Mereka mulai mengucurkan keringat dingin.

    “HEH, KALIAN DENGAR ATAU TIDAK????!!!!”

    Menyerah, salah satu penjaga yang berdiri di atas tembok akhirnya terbang ke arah dalam kota. Sudah kuduga kalau Archangel yang satu itu akan merepotkan.

    “Mereka itu kenapa sih…?! Agh…”

    Kutaruh tanganku di kepalanya. “Sudah, tenangkan dirimu. Lagipula dia sudah kenal denganmu kan? Pastilah dia akan mengijinkan kita masuk. Kuharap yang tadi hanyalah kesalahpahaman.”

    “Uh-huh… semoga saja…”, jawabnya lesu.



    Dan ternyata aku melakukan kesalahan pendugaan yang kedua.

    Beberapa menit kami menunggu, pintu gerbang emas itupun dibuka dari dalam. Perlahan, sosoknya nampak. Sosok seorang pria bersayap enam yang posturnya mirip denganku.

    Ya, sang Archangel pertama, Uriel Yehiy’or, Guidance Light.

    Di bawah langit yang mulai kelam, helaian-helaian rambutnya yang sedikit lebih panjang dari pinggang itu nampak bercahaya indah. Seperti ada sungai emas mengalir dari ujung kepalanya. Bola matanya tajam bagai mata elang, berwarna seperti batu rubi yang menyala-nyala dalam api, memancarkan aura serius dan disiplin yang ekstra ketat. Apalagi kacamata keperakan dengan lensa kecil berbentuk persegi yang menaungi, menambah kesan kalau dia juga adalah seseorang yang sangat rajin.

    Langkah tegasnya diwarnai ketukan tongkat emas yang beradu dengan tanah. Panjangnya mungkin sekitar 160 sentimeter. Pada bagian atasnya ada dua buah sayap putih mengembang, ukurannya membuat ornamen itu nampak selaras dengan tongkat. Puncaknya dihiasi batu rubi sekepalan tangan yang diasah sempurna layaknya pada sebuah perhiasan. Hanya saja…

    …batunya mengambang. Tidak menyambung dengan tongkat.

    Kulirik Plasma sebentar. Dia merespon, mengangguk satu kali. Tebakanku benar. Divine Technology.

    “Ini sudah malam. Ada urusan apa kalian ke tempat ini?”, tanyanya tegas. Warna suaranya sudah seperti seorang nabi yang sedang menyampaikan nubuatan.

    “Aku tidak pernah tahu Ohr-Nisgav punya jam malam.”, jawab Raqia santai. Tidak ada bedanya dengan sedang bicara denganku.

    Aku hanya bisa menggaruk-garuk kepala melihat keduanya. Berbeda jauh!

    “Aku tidak mau rakyatku terganggu!!”, serunya sambil melempar tangan kirinya ke arah samping. Jubah putih panjangnya berjahitkan benang-benang emas serta merah itu sedikit melambai. Nyaris menyapu pasir.

    “Heh, aku juga tidak mau mengganggu. Hanya ingin bertanya sebentar kok. Bagaimana kalau di dalam? Di sini mulai dingin---”

    “Beritahu padaku lebih dulu, siapa saja yang bersamamu.”

    “Oh… yang berbadan besi itu namanya Plasma.”

    Plasma membungkuk hormat. Uriel memperhatikannya dengan amat sangat teliti dari ujung kepala hingga ujung kaki.

    Raqia mengangkat buku terbang itu. “Yang ini Biblos.”

    “Halooo~”

    Kembali Uriel mengamati. Dia mengangguk-angguk pelan.

    “Yang jelek itu Da’ath Ruachim.”

    “Yang penting cinta kan?”, sahutku.

    Kata-kata tertelan kembali ke lehernya. Kemudian… kurasakan suatu sentuhan di kaki---

    “AAAAAAHHH~!@#$%^&*()_+!!!!! HEH!! Jangan main injak segala!!”

    “Salahmu kenapa bilang begitu sembarangan!!”

    “Yang penting tidak bohong kan??!!“

    Uriel memukulkan tongkatnya beberapa kali ke tanah.

    “Jangan teriak-teriak!” Dia segera berubah tenang. “Tidak berubah sejak dulu.”

    Rasa sakit di kakiku seakan lenyap seketika. Segera kusambar, “Kamu ingat?!”

    Dia mengangguk tegas. “Aku ingat kalau Crusader-Saint memang agak cerewet. Wajahmu juga tidak banyak berubah, hanya sedikit lebih muda.”

    “Maaf menyelak, Yang Mulia.”, potong Plasma. “Apa ada lagi kejadian-kejadian yang dapat anda ingat?”

    “Hanya sedikit. Masih sangat banyak yang kulupakan, tetapi aku bisa merasakan kalau semua itu pernah kuingat.”

    Mata Uriel segera beralih pada Tenebria.

    “Lalu yang setengah mengantuk itu siapa?”

    Biblos segera menepuk-nepukkan badannya pada helaian rambut ungu itu.

    “U-Uh? Ah? Eh…?”

    Jadi itu alasannya kenapa dia diam saja. Masih mengantuk rupanya. Gadis itupun kembali ke alam sadarnya. Kemudian, mata keduanya bertemu.

    Tunggu. Kenapa tatapan Uriel jadi…

    “Cepat. Katakan. Siapa. Perempuan itu.”

    Sepertinya Raqia juga sudah menyadarinya. Mendadak dia berubah kaku.

    Mungkin karena baru saja tersadar, Tenebria segera menjawab, “T-Tenebria Erebus…”

    “Jadi itu namamu…” Uriel mengeratkan genggamannya pada tongkat.

    Kemudian…


    “ENYAHLAH, NEPHILIM!!!!!!”


    Tongkatnya mengayun, batu rubinya menghantam perut Tenebria dalam kondisi menyala terang. Mulut Uriel sempat membuka sebentar, tetapi tak terdengar olehku apa yang dikatakannya.

    “NGHHH!!---“

    Sesaat, raut wajah Tenebria menunjukkan rasa nyeri yang luar biasa. Tubuhnyapun terpental beberapa langkah. Menggeliat kesakitan di atas pasir. Refleks, aku dan Raqia segera berlari padanya.

    “M-M-Master!! Master…!!!!”, teriak Charles. Terdengar pilu.

    Raqia segera berteriak, “Heh, Uri!!!! Apa masalahmu???!!!”

    “Aku yang seharusnya bertanya!! APA KALIAN SUDAH GILA?! Ingin menghancurkan Ohr-Nisgav, HAH???!!!”

    “Tapi tidak seharusnya kamu memukulnya begitu saja!!!!!!”

    Sedikit darah menyembur dari mulut Tenebria. Ini… INI KETERLALUAN!!!! Benar-benar ingin kuhajar si gondrong bermata merah itu!!!!

    “PLASMA!! Heavenly---“

    Tangan logamnya menahan diriku. Kemudian menggeleng. “Pemimpin yang bijak selalu tahu apa yang harus diprioritaskan.”
    Geram, kulampiaskan kekesalanku pada padang pasir. Meninjunya.

    Tenebria nampak makin berantakan. Juga tak henti-hentinya darah keluar dari mulutnya. Jerit kesakitannya membuatku mengurungkan niat untuk membombardir kediaman Archangel sialan itu.

    Telunjuk kiri Uriel mengarah pada kami. “Kuperingatkan kalian!!!! JANGAN PERNAH LAGI MENGINJAKKAN KAKI DI KOTA SUCI INI!!!! Aku tidak mau ada darah orang tidak bersalah tertumpah sia-sia!!!!”

    Kata-kata peringatannya begitu keras. Selama ini belum ada satupun Archangel yang berlaku demikian padaku.

    Dia berbalik menghadap kotanya. “Kalian semua!!!! Jangan ijinkan mereka masuk apapun yang alasannya!!!! Beritahukan juga pada semua penjaga gerbang!!!! SEGERA!!!!!!”

    Tanpa merasa bersalah, dia kembali melangkah kembali menuju gerbang Ohr-Nisgav. Aku… tidak habis pikir. Maksudku, apa iya aku pernah memilih orang semacam itu untuk dipercayakan sebuah Archangel Core?

    Sambil menangis, Charles berseru, “K-Kumohon!! Plasma!! Biblos…!! Tolong…”

    Tetap tenang, Plasma berujar, “Biblos, coba cari sumber air terdekat. Kita akan lakukan operasi di sana.”

    Ini adalah kesekian kalinya perilaku Plasma membuatku terkagum. Jujur saja, lama-lama aku ragu kalau aku pernah menciptakannya di masa lalu.

    “A-Ada oasis sekitar tiga puluh kilometer arah barat daya!! Cepatlah, kita harus ke sana!!” Bahkan Biblospun terdengar panik ketika memeriksa peta.


    ***


    Sonic Glider mengantar cepat hingga ke titik yang dimaksud. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya tangis Charles terdengar, seperti seorang anak yang meraung-raung di samping jasad orang tuanya. Sementara itu, Raqia terus berada di sebelah Tenebria. Biblos hanya dapat terus mondar-mandir, gusar. Aku sendiri… jika ada apapun yang bisa kupukul, mungkin sudah kulakukan sekarang. Sayangnya tidak mungkin kuhajar panel kontrol Sonic Glider.

    “Da’ath, Raqia, turunlah. Buatlah sesuatu untuk membaringkan nona Tenebria. Permukaan pasir di bawah tidak begitu rata, sementara aku harus melakukan operasi.”, pinta Plasma ketika burung besi ini telah mendarat, dekat oasis kecil berhiaskan beberapa belas pohon palem tinggi menjulang.

    Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku dan Raqia ketika 3 pohon rubuh beruntun setelah ditebas. Begitu pula saat ketiganya dipotong menjadi lebih kecil, agar sesuai dengan tinggi badan Tenebria. Hening. Langit di atas sana memang semarak, penuh bintang. Tapi… yang ada di wajahnya saat ini hanyalah mata sayu dan kelelahan. Jika ada cermin saat ini, mungkin ekspresiku juga tak berbeda jauh.

    “Ini.”

    Raqia memberikan seutas tali panjang. Dari mana…? Ah sudahlah. Kupakai saja untuk mengikat batang-batang kayunya. Bentuknya menjadi serupa rakit. Selesai, kutaruh di dekat Sonic Glider.

    “Terima kasih banyak.”, ujar Plasma ketika kembali menjadi manusia kaleng, menggendong Tenebria di depan. “Sekarang… serahkan saja semuanya padaku dan Biblos. Lebih baik kalian menenangkan diri.”

    Dibaringkannya gadis malang itu di atas benda yang kubuat. Dan… aku tidak berani melihat apa yang terjadi selanjutnya. Maka aku melangkah ke sebuah batu besar di tepi oasis, kemudian duduk bersandar.



    “Biblos bilang, dia tidak punya obat bius.”, ujar Raqia lesu, duduk di sebelah kananku. “Jadi tahan sebentar ya.”

    Meski belum pernah kudengar apa itu ‘obat bius’ ---atau mungkin pernah, 2000 tahun yang lalu---, namun dari pernyataan Raqia aku bisa tahu kalau itu adalah sesuatu untuk membuat Tenebria tidak dapat merasakan sakit. Artinya, mau tak mau telingaku harus tersiksa selama beberapa saat. Menutup telinga, percuma. Pergi lebih jauh, aku takut tiba-tiba Plasma atau Biblos meminta bantuan. Terpaksa aku bertahan di bawah hujan jeritan perih selama beberapa lama, bercampur tangis pilu kalung hidup itu. Sesekali juga aku menoleh ke arah kedua temanku. Kudapati Plasma satu kali mengambil air dari oasis dengan sebuah mangkuk entah dari mana. Sementara itu… bibirku terus terkunci.

    Perkataan Raqia segera memutus lenyapnya perbincangan.

    “Lebih baik kamu tidur saja.”

    Satu jerit kesakitan terdengar, lebih keras dari yang sudah-sudah. Tanpa sadar, kugertakkan gigiku…

    “Bagaimana mungkin aku tidur mendengar suaranya…”

    …dan kupukul keras-keras batu yang menjadi sandaranku.

    Raqia meraih tanganku. “Tanganmu merah. Kalau berdarah bagaimana…?”

    “Aku tidak peduli.”, jawabku dingin.

    “Kamu… suka padanya ya?”, tanyanya sedih.

    Pertanyaannya menusuk jiwaku. Sebenarnya aku hanya kasihan pada Tenebria, apalagi setelah mengalami kejadian-kejadian yang membuatnya terluka secara fisik maupun batin. Bisa jadi refleks yang sejak tadi termanifestasi adalah sifatku yang sebenarnya di masa lalu.

    “Hei, jawab aku…”

    “Aku hanya menganggapnya sebagai seseorang yang harus ditolong. Tidak lebih.”

    “Benar hanya itu?”

    Aku mengangguk tegas. “Mmm. Aku bersedia melakukan lebih untukmu.”

    Namun jika kupikir baik-baik, mungkin reaksiku memang berlebihan untuk seseorang yang bukan siapa-siapa bagiku.

    “Maaf kalau membuatmu khawatir.” Kusentuh pipinya.

    “Aku… juga. Mungkin semua ini terlalu membebani pikiranku, sampai-sampai berpikiran begitu. Maaf sudah meragukanmu, Da’ath.”

    Diapun tersenyum. Lekukan bibirnya yang kecil bagai obat mujarab untuk menyembuhkan segala kelelahanku saat ini.



    “Hei!~”

    Kehadiran Biblos yang tiba-tiba itu nyaris membuatku terbentur batu.

    “Astaga. Membuat kaget saja…” Raqia melepaskan nafas kecil.

    “Operasinya sudah selesai. Setidaknya pendarahan dalamnya sudah berhasil ditangani. Sekarang dia sedang tidur di dalam Sonic Glider.”

    Kubelai Raqia sebentar. “Lihat? Karena kamu ada di sampingku, bahkan aku tidak sadar kalau Tenebria sudah tenang.”

    “Iya, iya.” Raqia meninju pelan pipiku sambil tersenyum. “Sekarang istirahatlah. Biar aku yang berjaga.”

    Dan kalau kuingat-ingat, ini adalah pertama kalinya aku tidur di dalam Sonic Glider. Tenebria sendiri sudah tenang di jok belakang, pulas.

    Baru saja kubaringkan diri di atas jok yang sandarannya kuatur lurus, sebentang selimut memeluk tubuhku. Dihasilkan dari… tangan Raqia. Rasa kantukku melarikan diri karenanya.

    “Sudah, tidurlah.”

    “Tidak sebelum kamu menjawabku, dari mana selimut ini.”

    “Uh? Kamu tidak tahu ya? Aku dan banyak penduduk Shamayim memang bisa melakukan hal itu. Itu juga alasannya kenapa kotaku tidak memerlukan blacksmith.”

    Bagaimana bisa dia memunculkan--- tidak, lebih tepatnya menciptakan benda dari sesuatu yang tiada? Aku tahu Biblos juga keheranan, terlihat jelas dari sampul depannya yang terus mengarah kemari. Dan aku 100% yakin kalau Plasma juga sedang berpikir mengenai penjelasan logis atas kemampuan yang belum sempat diceritakan Raqia ini.

    Namun semua pemikiranku langsung buyar ketika bibirnya mengecup bibirku sesaat. Hanya butuh kurang dari 5 menit bagiku untuk memasuki alam tidur.


    ***


    Kurasakan sesuatu menepuk-nepuk pipiku.

    “Da’ath, hei… Da’ath! Bangunlah!”

    Raqia. Suaranya terdengar terburu-buru, sehingga badanku berubah tegap dalam waktu yang instan. Kucoba rileks sejenak, memandang keluar kaca. Langit masih gelap. Tenebria hanya duduk di belakang, terlihat lelah.

    “Turunlah dan cuci mukamu. Aku mendeteksi pergerakan dari Archangel Core.”, ujar Plasma.

    “Eh? Dia pergi ke suatu tempat?”

    “Ya, ke arah barat. Cepatlah, kita harus mengikutinya.”

    “Sudaaah… jangan banyak tanya!!” Raqia menarikku dari jok, membuatku nyaris terpelanting.

    “I-Iya, sabar sebentar!!”

    Setelah aku kembali dari menghilangkan rasa kantuk dengan air dingin, Sonic Glider segera terbang ke arah yang dimaksud. Hingga akhirnya benda ini dapat mendekat hingga jarak kira-kira 20 kilometer di belakang Uriel, dan terbang lebih tinggi dari biasanya untuk menghindari jangkauan pandang.



    Cahaya keemasan mulai bersinar dari arah timur, membuka segala kegelapan yang masih hinggap di depan. Dan… aku benar-benar terkejut--- tidak, bukan hanya diriku. Semua terkejut ketika melihat siluet sebuah bangunan di depan. Sebuah menara, menyerupai kerucut dengan jalur seperti tangga melilitnya dari dasar hingga puncak. Menurut pengamatan jarak jauh Plasma, struktur itu memiliki tinggi sekitar 300 meter, meski dari sini hanya sebesar telapak tangan.

    “Menara apa lagi itu…”, gumam Raqia.

    “Kamu tidak tahu?”

    Dia menggeleng. “Uri tidak pernah memberitahu---“ Raqia terdiam sejenak. “Ah, jelas sekali dia menyembunyikannya…”

    “Biar nanti Uriel sendiri yang menceritakan. Yang jelas dia harus diberi pelajaran lebih dulu atas kejadian kemarin. Plasma, kita susul dia.”

    Roger, boss.”

    Sudah kuduga, Archangel yang satu itu benar-benar tajam. Hanya 2 detik setelah Plasma berakselerasi, kepalanya menoleh pada Sonic Glider. Diapun berhenti di udara. Kami bertiga segera mengatifkan mode tempur masing-masing. Bersamaan, beberapa Angel-class datang dari arah menara, mengenakan seragam pasukan Ohr-Nisgav yang merupakan gabungan antara armor logam dan potongan garmen.

    “Berhenti.”, ujar Uriel pada para Angel-class itu. “Lebih baik kalian menjauh. Ini urusan pribadiku dengan mereka.”

    Tanpa sedikitpun keraguan atas perintah Uriel, mereka pergi jauh dari titik tempatku berada.

    “Kalian lagi.”, ujar Archangel itu dingin. “Dengar. Selama kalian masih bersama Nephilim itu, aku tak sudi diajak bicara.” Telunjuknya mengarah pada Tenebria.

    “Tenebria tidak seburuk yang kamu kira!! Dia sendiri tidak mau kembali ke rumahnya untuk menerima perintah lebih lanjut!!” balas Raqia, setengah berteriak.

    “Apa jaminannya kalau dia tidak menipu kalian?”

    “Kamu… benar-benar minta dihajar.” Raqia mengepalkan tangan erat-erat.

    “Menghajarku? Tiga lawan satu? Tidak tahu malu.”

    “Raqia, sudah.” Kucegah dirinya maju lebih jauh. “Biar aku yang tangani. Lebih baik kamu temani Tenebria. Jangan lupa pasang Magen, siapa tahu ada serangan nyasar.”

    “Buat dia menangis keras-keras.” Raqia tersenyum licik.

    “Tidak bisa kujamin. Tapi aku akan memaksanya membuka mulut.”

    Akupun maju beberapa meter.

    Uriel menatapku sombong. “Ah, Crusader-Saint sendiri rupanya. Bagus. Aku juga ingin tahu apakah kamu masih sehebat dulu.”

    “Jika aku menang, kamu harus minta maaf pada Tenebria sambil membungkuk sedalam-dalamnya. Dan jelaskan tentang menara itu.”

    “Kalau aku pemenangnya, akan kubunuh Nephilim itu.”

    Sial, penawarannya tidak adil begini. Tapi jika kutolak, pasti akan lebih sulit lagi untuk bicara nantinya. Terpaksa…

    “Oke, kuterima tawaranmu. Pertarungan udara. Yang pertama kali menyentuh tanah dianggap kalah.”

    Selama ada Warp Drive, seharusnya syarat yang kuajukan tidak akan menjadi masalah.

    “Kutambah syaratnya. Tidak ada satupun yang boleh berada kurang dari satu kilometer dari sisi terluar menara. Yang masuk pada jangkauan itu dianggap kalah. Photonica, aktifkan sensor jaraknya.”

    Tongkat yang kemarin kulihat sekarang muncul di tangannya. Jadi itu nama Divine Technology miliknya?

    “Siap, Tuan.”

    Device bicara lainnya. Suaranya terdengar seperti wanita berumur 20-30 tahun. Tenang, elegan, dan tak terburu-buru.

    “Bicara juga akhirnya.”, ujar Plasma, terdengar lega.

    “Kemarin sleep mode-ku sedang aktif karena Tuan sedang berdoa bersama rakyat. Maaf atas ketidaksopanannya.”, jawab tongkat itu ramah, seakan keduanya adalah teman lama--- tidak. Keduanya pastilah sudah saling kenal di masa lalu.

    “Seingatku kamu tidak punya sleep mode.”

    “Tuan Uriel yang menambahkannya.”

    “Uh?” Plasma terdengar bingung. “Ah sudahlah. Da’ath, bersiap-siaplah.”

    Uriel angkat bicara. “Bisa kita mulai?”

    “Kapanpun kamu mau.”

    “Sampai kalah, tidak ada lagi good night kiss untukmu!!!!!!”, teriak Raqia, seketika menarik perhatianku.

    Oke, aku BENAR-BENAR tidak boleh kalah.



    Tenebria hanya bisa tersenyum kecil, sepertinya masih ketakutan melihat sosok Uriel. Raqiapun segera mengajaknya untuk mundur lebih jauh. Baiklah…

    Commencing attack!!!!

    ======================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Shalom aleichem adalah ucapan salam dlm bahasa Ibrani. Literally, artinya "peace be upon you"

    Last edited by LunarCrusade; 12-09-13 at 23:38.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  11. #175
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    halo... seudah sekian lama akirnya gue baca ini lagi.
    sebenernya tab udah kebuka sejak update chapter 38, tapi...gue keasikan baca manga

    ahem...oke...oke

    sejujurnya gue udah cukup lupa sama detil chapter 30an. makanya gue agak bingung begitu baca 38. gue cuman inget Tenebria udah join party.
    indagator aja gue lupa semua. cuman inget yang duduk ngelayang2 itu doang tapi lupa namanya. ah...banyak yang gue gak inget.
    ah...pokonya gitu deh. komennya nih komen...

    Spoiler untuk kayaknya panjang... spoiler ah :
    kesan pertama baca 38...gue udah nebak si botak itu Argos dari cukup awal... tapi terus tiba2 namanya muncul mendadak bahkan sebelom si Raqia nyebut.
    Semua tertegun kaku. Tidak bergerak. Apalagi orang yang tadi ada di dalam kotak itu, hanya bisa menggeliat tak sanggup berdiri. Apa mungkin sejak tadi dia ada di ruang belakang, lalu bersembunyi ke dalam kotak ketika Argos berteriak-teriak memaki?!
    oh...karena masih "linglung" cerita makanya gue gak gitu ngeh apa yang terjadi. pas baca 38 itu gue juga lagi dalam kondisi gak siap cerna materi...baru belakangan gue sadar itu matematika kelas 10. eh...ada berantemnya. entah kenapa gak gitu enjoyable. situasi ceritanya lagi gak terlalu gahar, tapi deskripsinya lumayan... jadi malah terkesan santai gimana gitu.

    nah...terus baca 39 gue baru ngeh apa yang terjadi di 38. gue baca 39 sambil manggut2 doang sih, sambil nginget2 apa yang ada di >37...tapi gak terlalu inget juga soalnya gak gitu berhubungan, yah. cuman inget itu mel sama thalia si nyengir sama si sedih doang

    nah...40.........ini sedikit banyak bikin galau.
    kesan pertamanya Uriel itu kayak bersahaja banget, tapi kok belakangan malah jadi nyebelin? awanya kayak udah senior kalem gitu, loh kok akirnya malah semacem nyolot sombong gak jelas.
    tapi itu semua tidaklah penting. pas si Tenebria digetok-sekali-doang-tapi-muntah-darah-berarti-lukanya-parah itu gue langsung bingung... ini si Tenebria yang ngantuk jadi lemah, apa Uriel yang kelewat badak? Tenebria aja kan...ah...
    tapi lagi, itu juga tidaklah penting. sejujurnya, entah kenapa pas baca si Tenebria kesakitan itu gue kebawa sedih. rasanya gak tega gitu. mungkin gegara dia masih sodara...emaknya Atra pokonya gue ikutan galau sama si Da'ath.
    galau terakir...iya juga, kok si Da'ath galau banget sama si Tenebria... gue mencium bau2 harem bau2 gak jelas nih...ah, tapi biarlah...


    maraton 3 chapter panjang juga edun...
    udah lama gak baca panjang2

    nah..udah ada sampe 43, kan?
    KELUARKAN! I DEMAND ATRAA!!!!!!

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  12. #176
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk duar :

    anjrit blunder
    gw fix kalo Office di laptop udah keinstall lagi deh (kmaren" pake laptop bokap, layarnya kecil sakit mata gw klo kelamaan )

    Brantemnya emang lawak"an doang, ga ada niat bikin serius dari awal
    Soalnya secara power udah ga imbang banget, kalo dibikin serius jadinya pembantaian beneran

    Uriel itu emang sengaja gw bikin rada nyebelin
    Well, tapi loe tau kan gw cukup seneng yang namanya "personality twist"
    Jadi kita tunggu sajah akan diapain ini si Uriel sama gw


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  13. #177
    Chasonoren's Avatar
    Join Date
    Nov 2012
    Location
    dimana mana hatiku senang!
    Posts
    7,923
    Points
    77.00
    Thanks: 229 / 246 / 221

    Default

    ini buatan sendiri kan niel?

    biasa nya kalo cerita2 begini ada buku nya gak sih?
    kalo ada, di cetak dong niel

    kan lumayan dapet income :P

    #ekh maaf oot

  14. #178
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Spoiler untuk wwkwkwkwk :
    39 : reaksi eksotern dari aluminium sama iron oxide, gua udah perna liat di utube dari jaman sma dulu. Biar dibilang ledakan juga, bunyinya hampir mirip kayak flame thrower, jadi Sound epek wooooooosshh uda pas lah

    Tentang persaman reaksi kimia & penjelasan bla2ya gua baru tau. (dan karena gua lemah kimia, gua cuma ngerti di bagian nyamain reaksi doang )

    ending arc ada french kiss

    IMO, kayaknya kurang ngeh kalo ciuman tiba2 gitu langsung pake lidah. Soalnya kalo cewe blom pernah pake lidah, tiba2 di serang gitu pasti langsung kaget & otomatis langsung bereaksi (nampar, nendang, german suplex kek) tapi ini raqia anteng2 aja deh. Mungkin gara2 sebegitu sukanya sama daath?

    40 : lumayan nangkep reaksi gua pas tenebria di pentalin sama uriel. Nginget teneb dari chapter2 awal yang badaknya sepadan sama raqia, tapi ini sekali hit kok langsung loyo gitu. Meski diserang tiba2 & lagi lengah tapi sampe di operasi + reaksi daath sama raqia, si raqia sampe cemburu gitu.. semuanya jadi lebay deh.

    (dan gua ngerasa uriel cuma blangsat pertama2 doang. Tar akhir2 jadi jinak ala melo drama gitu)

    Oke, sementara ini dulu!

  15. #179
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by chosenoren View Post
    ini buatan sendiri kan niel?

    biasa nya kalo cerita2 begini ada buku nya gak sih?
    kalo ada, di cetak dong niel

    kan lumayan dapet income :P

    #ekh maaf oot
    sampe gw ga buat sendiri silakan gorok gw di depan Istana Merdeka

    baca dulu, baru ngerti alesannya kenapa cerita ini *kemungkinan besar* agak susah untuk keluar ke publik
    lagian enakan kasih fresh script klo mo terbitin, alias gw bikin cerita laen lagi

    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Spoiler untuk wwkwkwkwk :
    39 : reaksi eksotern dari aluminium sama iron oxide, gua udah perna liat di utube dari jaman sma dulu. Biar dibilang ledakan juga, bunyinya hampir mirip kayak flame thrower, jadi Sound epek wooooooosshh uda pas lah

    Tentang persaman reaksi kimia & penjelasan bla2ya gua baru tau. (dan karena gua lemah kimia, gua cuma ngerti di bagian nyamain reaksi doang )

    ending arc ada french kiss

    IMO, kayaknya kurang ngeh kalo ciuman tiba2 gitu langsung pake lidah. Soalnya kalo cewe blom pernah pake lidah, tiba2 di serang gitu pasti langsung kaget & otomatis langsung bereaksi (nampar, nendang, german suplex kek) tapi ini raqia anteng2 aja deh. Mungkin gara2 sebegitu sukanya sama daath?

    40 : lumayan nangkep reaksi gua pas tenebria di pentalin sama uriel. Nginget teneb dari chapter2 awal yang badaknya sepadan sama raqia, tapi ini sekali hit kok langsung loyo gitu. Meski diserang tiba2 & lagi lengah tapi sampe di operasi + reaksi daath sama raqia, si raqia sampe cemburu gitu.. semuanya jadi lebay deh.

    (dan gua ngerasa uriel cuma blangsat pertama2 doang. Tar akhir2 jadi jinak ala melo drama gitu)

    Oke, sementara ini dulu!
    Spoiler untuk BLEDARRRR :

    Thermite emang gila

    Coba lu inget" lagi, sebelumnya mereka udah brapa kali mau kisu tapi ga jadi"
    Jadi begitu sekalinya maknyess harusnya gapapa (kalo buat gw gitu sih)
    Well, tapi ada alasan lain lagi kok
    Ditunggu saja


    Tehillim 40 ntar ada yg gw fix sedikit juga (slaen blunder di 38 kek kata menyon), khususnya di bagian digebuk ntuh

    Gondrong" melow... keren juga keknya
    Last edited by LunarCrusade; 01-09-13 at 23:30.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  16. #180
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Update

    42 in revision, 43 in progress.


    Spoiler untuk Tehillim 41 :


    ==============================================
    Tehillim 41: Master of Light Manipulation ~ Desert Frontier
    ==============================================




    “Defenser, auto mode!!”

    Dengan begini Uriel harus menghadapi 2 entitas sekaligus yang berbeda otak.

    Tapi… dia hanya tersenyum licik.

    Multibeam Lightdrone, system activation.”, begitulah yang dikatakan Archangel itu ketika Hypermassive Defenser mengambil manuver memutar melalui sebelah kirinya.

    Affirmative.

    Jawaban Photonica disertai munculnya beberapa bola cahaya keemasan sebesar kepala manusia di sekitar Uriel. Dia mengepakkan keenam sayapnya kuat-kuat, menyebabkannya mundur dalam sekali hentakan. Serangan perisaikupun meleset.

    Semua bola cahaya itu segera menembak. Lurus.

    Karena Plasma masih mengontrol perisai itu untuk mengejar Uriel, kuaktifkan Atmosphere Freezer tepat di depanku. Udara gurun di hadapanku seketika berubah menjadi balok es besar yang lebih besar dari tubuhku, menahan seluruh serangan Archangel itu.

    Kupikir berhasil kutahan semuanya, tetapi…



    Satu garis cahaya lurus muncul dari sebelah kiri. Aku benar-benar tak siap untuk serangan itu, sehingga dengan mudahnya sinar itu mengenai dada kiriku. Hasilnya, tubuhku terhempas. Untunglah konsentrasiku tidak buyar. Masih aman di udara.

    Aneh. Kupikir sudah kutahan semuanya. Apa mungkin dia menembak untuk kedua kalinya?

    Tenang, Da’ath. Tenang. Ini baru dimulai.

    “Plasma, tolong gerakkan perisainya ke belakang Uriel. Usahakan ada sedikit tipuan.”

    “Beres.”

    Gelombang berikutnya. Hypermassive Defenser melesat tinggi ke udara, segaris dengan matahari.

    Bagus. Uriel tidak mampu menatap ke arah situ.

    Segera kuaktifkan Frost Column, menciptakan beberapa pilar es di kiri dan kanan untuk mengurungnya. Karena tingginya, pilar-pilar itu segera runtuh dan mengurung jalur melarikan diri ke atas. Bersamaan dengan itu, Hypermassive Defenser segera menukik ke arah yang kuminta tadi dengan kecepatan tinggi.

    “Warp Drive!!”

    Tepat di depan lawanku.

    Kuayunkan Energy Blade sekuat-kuatnya. Sial, masih dapat ditahannya dengan tongkat.

    Karena aku sudah bersiap untuk kemungkinan tembakan berikutnya, maka aku bergerak secepat kilat ke bawah dirinya. Tapi…

    Astaga. Hypermassive Defenser juga dapat ditangkis dengan tongkat itu!

    Secepat kilat, dia membombardir pilar-pilar bentukan Frost Column dengan tembakan dari bola-bola cahaya. Kabut es segera terbentuk, memburamkan pandangan di depanku.

    Seketika kabut es tersibak.



    Lurus, dia menerjang ke arahku yang masih kebingungan. Tangannya siap mengayunkan Photonica, dan…

    …uh?

    Dia menggandakan diri??!!

    Mataku tidak salah, ada lima Uriel di depan, kiri, dan kananku. Gerakan semuanya selaras.

    “Tipuan murahan.”, komentar Plasma.

    Dari arah kiri, Hypermassive Defenser melaju untuk menghantam salah satu “Uriel” yang ada. Empat sisanya segera dilenyapkan hanya dalam waktu kurang dari 1 detik.

    Tapi… tidak ada satupun yang merupakan Uriel yang asli. Kelimanya menghilang bagai angin ketika perisaiku menabraknya.

    Tak ada kesempatan bagiku untuk berpikir terlalu lama mengenai trik tersebut. Dari arah kabut es muncul serbuan tembakan cahaya. Di belakangnya, Uriel ---hanya satu--- menerjang. Menggenggam erat Photonica dengan kedua tangan, dan…

    *TRANNGGG*

    …segera beradu dengan Energy Blade.

    Hal itu membuat tubuhku terdorong ke bawah, mendekati permukaan pasir. Untuk beberapa saat dia terus mendorongku. Tidak ada jalan lain. Hanya Warp Drive yang memungkinkan diriku untuk lolos agar tidak menumbuk pasir. Kuaktifkan, kemudian tubuhku berpindah agak jauh dari lokasi.



    As expected from Photonica. Ketahanannya luar biasa, hampir menyamai tubuhku.”, komentar Plasma.

    Terengah-engah, kuajukan pertanyaan, “Punya ide bagus untuk menghentikan benda itu?!”

    “Tidak ada untuk saat ini. Teruslah menyerang. Sementara itu akan kupikirkan cara terbaik untuk menembus pertahanannya. Hanya saja---”

    Belum juga tiang-tiang es runtuh seluruhnya, serbuan tembakan cahaya itu muncul lagi. Kali ini perisaiku yang menghalangi semua itu, sedikit membesar. Tapi lagi-lagi…

    Satu berkas sinar muncul dari atas. Releks, kutebas dengan pedang besarku.

    “Hanya begitu saja kemampuanmu?!”, ledek Uriel. “Kupikir kamu bisa melakukan yang lebih baik!”

    Belum sempat aku menjawab atau bergerak sejengkalpun, seluruh bola cahaya di sekitar Uriel bersinar sedikit lebih terang.

    O-Ow. Serangan dataaaang!

    Entah berapa banyak yang mengarah kemari, tidak bisa kuhitung. Tapi seharusnya mudah kuhindari---

    Eh?

    SINARNYA BERBELOK??!!

    Apa mataku tidak salah?! Garis-garis cahaya itu BERKELOK dengan sudut-sudut tertentu, membuat lintasan mereka makin acak!! Semua menari layaknya orang mabuk, tak bisa dibaca dan diprediksi. Device gila apalagi yang kuhadapi sekarang?!

    Tak sempat menghindar ---karena efek terkejut---, banyak yang mengenai tubuhku secara telak. Hanya tiga empat yang berhasil ditahan perisai atau kutebas. Anehnya lagi, senjata itu sukses membuat luka-luka pada tubuhku meski tidak ada secuilpun serpihan Sacred Armor yang terlepas. Untunglah nyerinya tidak membuatku lumpuh total. Mungkin armor ini masih berfungsi dengan baik sesuai kodratnya.

    “Oi, Da’ath!! Da’ath!!!!”

    Teriakan Plasma seketika mengembalikan konsentrasiku.

    “A-Agh… b-bagaimana bisa…”

    “Ini aneh, Da’ath. Aneh. Aku tidak pernah tahu kalau beam yang ditembakkan dapat menembus Sacred Armor, bahkan melukai permukaan kulitmu. Mungkin sistem yang sama pula yang telah melukai nona Tenebria hingga parah. Sleep mode yang dikatakan Photonica tadi juga tidak kuketahui. Sejak awal pertarungan Biblos melakukan crosscheck data, dan ternyata kemampuan itu tidak tercantum di daftar yang kami punya.”

    “Apa maksudmu?!”

    “Photonica sudah dimodifikasi.”

    Tiba-tiba Uriel berseru, “Kamu baru menyadarinya sekarang?! Betapa jauh kemampuanmu menurun!!!!”

    Jalan pikiran di kepalaku makin simpang siur. Tak hanya dapat mengingat hal mengenai masa lalu, dia dapat memodifikasi Divine Technology di jaman yang ---menurut Plasma--- tergolong kuno ini? Ditambah lagi, dia tahu kalau kemampuan Plasma sudah menurun jauh.

    “Tidak bisa kupercaya.”, tambahnya sambil menyentuh frame kacamata. “Bahkan kacamataku tidak sempat jatuh.”

    Argh, apa yang harus kulakukan sekarang?! Mengaktifkan Warp Drive ratusan kali hingga dia pusing? Dari serangan sebelumnya aku bisa tahu kalau dia selalu sigap menghadapi serangan dari arah manapun. Lagipula sebenarnya aku kalah jumlah. Setiap bola cahaya seperti memiliki otaknya sendiri-sendiri, menghasilkan jalur sinar yang benar-benar acak dan tak terbaca seperti tadi.



    Serbuan cahaya berikutnya kembali dilancarkan si Archangel pertama. Kali ini kepalaku kacau total. Aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana cara untuk menembus pertahanannya tanpa terkena satu tembakanpun. Yang terjadi malah sebaliknya. Setiap kali aku mencoba mendekat, pastilah ada satu dua yang mengenai tubuhku.

    Beberapa kali juga kucoba Warp Drive, tetapi Photonica ---aku yakin bukan Uriel sendiri--- sukses membuat kalkulasi akurat tentang ke mana aku akan berpindah. Dalam jumlah yang sama pula Uriel mampu menghindar dengan membuat tipuan holografik, sehingga Plasma semakin berhati-hati dalam melancarkan manuver.

    Sekarang sudah ada jarak antara matahari dan kaki langit, tetapi aku tak berhasil menjatuhkannya sama sekali. Begitu juga sebaliknya. Sekuat mungkin aku berusaha agar tidak berada terlalu dekat dengan tanah. Sedikit saja aku kehilangan konsentrasi, tamat sudah. Ditambah lagi titik-titik luka ini… sangat mengganggu. Memang tidaklah seberapa, tapi cukup untuk membuatku lengah.

    Tiba-tiba sebuah suara keras menghampiri telingaku, saluran telepati. Suara Raqia yang terdengar tidak senang.

    “Kenapa lama sekali hah??!!”

    Kujawab dalam pikiran, “Aku sedang berpikir cara untuk mengalahkannya!!!!”

    “Ck… kalau aku yang bertarung, sudah pasti sejak tadi dia kalah!! Sekarang cepat jatuhkan dia atau kita tukar tempat!!!!”

    Transmisi langsung dimatikan. Cih, aku ya aku, dia ya dia!! Bagaimana bisa aku menjatuhkan Uriel seperti dia---

    Tunggu.

    Bukankah Raqia adalah yang terkuat di antara bertujuh…? Maksudku, pastilah Raqia punya cara tersendiri yang memungkinkannya menjatuhkan Uriel secara pasti. Dia dapat dikatakan sebagai yang terkuat karena tidak ada satupun Archangel yang bisa mengalahkannya jika…

    …baiklah. Sepertinya harus kucoba. Hanya perlu momentum yang tepat untuk melakukannya.



    Kuaktifkan Warp Drive untuk berpindah ke belakang Archangel berambut emas itu. Perisaiku segera melesat untuk menghajarnya dari sisi kiri, sementara tangan kananku berayun agar Energy Blade dapat mengenai tubuhnya.

    Seperti perkiraanku, dia berbalik dengan cepat dan menahan Energy Blade. Hujan rentetan cahaya aktif hanya dalam tempo sepersekian detik ketika pedangku beradu dengan Photonica. Warp Drive, akupun mundur cukup jauh.

    Bersamaan dengan itu, dia berhasil memukul Hypermassive Defenser keras-keras hingga menabrak tanah. Debu pasir yang cukup banyak terbentuk sebagai akibatnya.

    Benar dugaanku. Dia tidaklah cepat, bahkan dapat kukatakan tidak ada apa-apanya dibanding Tenebria, apalagi Atra. Jika cukup gesit ---setidaknya segesit Raqia---, sudah pasti sekarang dia ada tak jauh di sekitarku untuk melakukan serangan balasan. Segala pergerakan yang dilakukannya pastilah mengandalkan perhitungan tongkat ajaib itu.

    Oke, cukup sudah berpikirnya.



    Uriel segera keluar dari gumpalan debu, menerjang ke arahku ditemani hujan--- tidak, lebih tepatnya badai cahaya. Tidak hanya dari depan, namun juga dari atas. Kali ini dia tidak mengeluarkan trik multiplikasi holografiknya, mungkin sudah terlalu percaya diri dapat membuatku kalah.

    Warp Drive? Tentu saja tidak.

    Kuperintahkan Plasma memperbesar perisai dan memayungiku dari atas. Kepalaku juga ditutup sempurna. Tanpa basa-basi aku melesat ke arah Uriel. Kuabaikan segala sakit karena menelan mentah-mentah berkas-berkas cahaya itu. Persetan dengan rasa nyeri. Aku sudah beberapa kali mengalami kejadian-kejadian super berbahaya dan tidak mengeluh sama sekali.

    Sekali lagi dia berhasil menahan sabetan Energy Blade. Tetapi, kali ini dibumbui sedikit ekspresi terkejut.

    “PLASMAAAAA!!! PERISAI KE BELAKANG!!!”

    Rogeeeeeerrrrr!!!!

    Kapabilitas otak Plasma mampu mengolah maksudku dengan baik. Hypermassive Defenser langsung menghantam punggung Uriel.

    “K-K-Kamu… benar-benar gila!!!!”, teriaknya, nampak menahan sakit.

    Terjepit seperti irisan tomat dalam sandwich. Dengan begini dia tidak mungkin lolos. Membuat ilusipun percuma, karena yang asli sudah terjebak.

    Maka kudorong dirinya kuat-kuaaaaaattttttt…!!!!

    “HEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!”

    Entah berapa kecepatan yang kucapai, tapi sepertinya cukup untuk membuat udara di sekitarku bersuara seperti ombak.

    Warning. Distance, nine hundred metres. Eight hundred. Seven hundred. Six hundred…

    Bagus. Photonica malah memberitahu jarak yang tersisa supaya aku menang.

    …three hundred. Two hundred. One hundred…

    GAME OVER, URIEEEEEEEELLLLLL!!!!!!”

    *BHUUUUMMMMMMMMMMMMMMMMM!!!!!!*

    ……

    ……



    Distance, zero. Tuan, anda kalah. Lagipula anda menabrak tanah lebih dulu. Dua faktor kekalahan.”

    Untuk sementara waktu, yang dapat kudengar hanya suara Photonica. Semuanya terasa berputar-putar selama beberapa saat. Perlahan kukumpulkan segenap kekuatanku yang tersisa, lalu bertumpu pada Energy Blade untuk berlutut. Lapisan logam yang menyelimuti kepalaku menghilang. Selimut debu pasir di sekitarku perlahan lenyap.

    Well done, my buddy. Kita menang. Terima kasih juga untukmu, Photonica. Dua ribu tahun berlalu, ternyata tidak sedikitpun truth-speaking circuitmu yang rusak.”

    “Terima kasih untuk pujiannya… mmm…” Tongkat hidup itu terdengar ragu.

    “Plasma. Well, it’s not my real name. Tapi karena nama asliku belum kuketahui, panggil saja dengan nama itu.”

    “Oh begitu. Baiklah, Tuan Plasma.”

    Tak lama, para Angel-class bawahan Uriel segera menghampiri pimpinan mereka yang sedang tergeletak di pasir.

    “Ggghh… ukkhh…” Uriel menggeliat, kemudian berusaha bangkit dibantu oleh 2 Angel-class. Ada seorang lain memberikan kacamatanya yang sempat terjatuh entah di mana tadi. “T-Tidak bisa kupercaya…” Diambilnya kacamata itu.

    Pertarungan berakhir, maka kuminta Plasma mematikan mode Heavenly Saint.

    Tak lama kemudian kurasakan sesuatu di kepalaku. Sebentuk tangan yang kecil.

    Suara pemilik tangan itu bertanya lembut, “Lama sekali sih baru terpikir seperti tadi?”

    “Untung saja tadi kamu menghubungi. Jika tidak, mungkin aku tidak akan tahu kalau satu-satunya cara untuk mengalahkannya adalah jangan terlalu banyak berpikir. Hanya perlu nekat sedikit.”

    “Huh… kamu ini.” Melepas nafas lega sambil tersenyum, kemudian dia bertanya, “Ada yang sakit?”

    “Banyak. Nanti tolong diobati ya.”

    “Huuu… dasar manja.” Dipukulnya pipiku, pelan. “Setelah kita bicara pada Uri, oke?”

    Aku berdiri dibantu oleh Plasma. Memang masih sakit di sana sini, namun partner kalengku itu berkata kalau tidak ada yang parah dari cederaku. Hanya memar biasa dan goresan-goresan.



    Raqia maju sedikit, lalu mengarahkan pedang besarnya pada Uriel. “Sekarang, jawab semua yang akan kutanyakan.”

    “Kamu pikir aku mau menjawab di bawah ancaman?”, ujarnya sinis.

    “Akan kuruntuhkan menara kesayanganmu itu dalam tiga detik.”

    Uriel kehabisan kata-kata. Mulutnya langsung kaku.

    “Jadi, siap menjawab?”, tambah Archangel kecil itu sambil tersenyum lebar, lalu mematikan mode Angel Knight.

    “Aku tidak pernah bisa mengerti caramu.” Uriel menggeleng-gelengkan kepala.

    Mungkin dia tidak. Tapi aku bisa. Hehehe.

    “Kalian, kembalilah ke posisi masing-masing. Biar aku yang urus semua ini.”, ujarnya pada semua Angel-class di sekitarnya.

    “Oke, kita sudahi basa-basinya. Pertama, jelaskan tentang bangunan di depanku itu. Aku bertaruh tidak ada satupun Archangel yang tahu selain dirimu.”

    “Sok tahu.”, sahut Uriel, sinis. “Nuachiel juga tahu perihal menara ini.”

    “Itu tidak menutup kenyataan kalau lima lainnya, termasuk diriku, tidak tahu apa-apa.”

    Kedua mata Uriel sedikit berpaling.

    “Katakan apa yang kamu sembunyikan di bangunan itu.”, ucap Raqia tajam, seakan sudah tahu arti dari sudut pandang yang hanya beralih beberapa derajat itu.

    “Lebih baik kalian lihat sendiri ke dalam kalau benar-benar ingin tahu. Akan terlalu panjang jika kuceritakan sekarang.”

    “Baiklah. Setidaknya kamu sudah punya niatan baik untuk menceritakannya. Kami akan masuk dan melihat sendiri seperti katamu. Tapi sebelum ke sana, kita selesaikan dulu segala urusan. Pertanyaan kedua, soal yang kemarin. Apa kamu tahu kalau pukulanmu membuat Tenebria harus dibedah? Bahkan ketika tidurpun… sesekali dia masih mengerang kesakitan…”

    “Aku tidak akan minta maaf soal itu.”, jawab Uriel dingin.

    “Tapi!---“

    “JANGAN MEMAKSA!!!!”

    Seruannya langsung membungkam mulut Raqia. Hanya hembusan angin yang dapat kudengar setelahnya.

    Dan… aku mendengar sesuatu. Asalnya dari belakangku, lebih tepatnya dari belakang Plasma.


    Tenebria. Kembali ke penampilannya yang biasa.


    Bersandar pada punggung besar Plasma, dia nampak berusaha sekuat tenaga menahan tangis. Memang yang mengalir tidaklah banyak. Namun aku yakin, jika dia sendiran… maka tangisannya akan meledak. Biblos yang biasanya cerewet, kali ini hanya diam dan menyandarkan diri pada pundak Tenebria. Charles tidak mengatakan apapun. Tetapi jika dia punya tubuh, kurasa dia akan memeluk pemiliknya itu.

    So she’s still traumatized…”, gumam Plasma.

    Aku yakin Tenebria ketakutan setengah mati karena melihat sikap Uriel yang kemungkinan besar mirip dengan ayahnya. Dalam hal memukul, maksudku.

    Lagi-lagi kakiku refleks ingin bergerak, ingin meninju Archangel bermata merah itu.

    “Da’ath, stop.” Plasma menggenggam bahuku. “Tidak perlu memulai keributan baru.”

    “Plasma.” Kuangkat pergelangan tangannya itu. “Kumohon. Dia tidak menaati perjanjiannya.”

    Terdiam sejenak, dia menjawab, “Jangan panggil mode Heavenly Saint.”

    “Tentu saja tidak.”

    Kakiku melangkah tanpa keraguan ke arah Uriel. Sebenarnya aku tidak ingin melakukannya. Tetapi… tak ada jalan lain. Aku harus…

    *BUAAAAAAAAAGGHHH*

    Kutinju sebelah kiri wajahnya, hingga dirinya jatuh ke tanah. Mungkin dia tidak menduga pukulanku. Kacamatanya juga melayang entah ke mana.

    “HEI!!! Apa maksudmu---“


    “AKU YANG SEHARUSNYA BERTANYA!!!!”


    Dia tertegun, membisu.

    “Apa kamu lupa perjanjiannya??!! Aku menang, dan kamu harus minta maaf sedalam-dalamnya!!!!”

    Uriel berdiri, bertumpu pada Photonica. Diambilnya kacamata yang tergeletak di pasir, lalu menjawab, “Yang kulakukan adalah sudah seharusnya!!!! Seseorang yang berbahaya seperti dirinya tak boleh dibiarkan hidup!!!! Apalagi memohon maaf dari makhluk semacam dia… itu adalah sebuah penghinaan!!!!”

    “Heh, apa kamu tidak dengar perkataan Raqia yang memberitahu kalau Tenebria sudah tidak berbahaya lagi?! Bukankah Tuhan sendiri lebih menginginkan pertobatan seseorang supaya orang itu hidup, dibanding kematiannya?! Adalah memalukan bagi seorang Archangel jika tidak mengetahui hal tersebut!!!! Ataukah kamu sudah merasa menjadi orang paling suci di muka Bumi, sehingga merasa harga dirimu terlalu tinggi untuk mau mengakui kesalahanmu???!!!!”

    Sepertinya tepat sasaran. Wajahnya berubah marah, sangat marah.

    “TUTUP MULUTMU!!!!!”

    Lengannya diayunkan. Batu rubi pada ujung Photonica tidak menyala kali ini.

    Aku tidak sempat menangkap apa yang terjadi setelahnya, tetapi…

    “AAAHHHHH!!!”

    Raqia sudah terduduk di tanah, memegangi pipi kanan.

    …..


    Putus sudah akal sehatku.


    “BRENGSEEEEEEEEEEEKKKK!!!!!!!”

    Kurang ajar kurang ajar kurang ajar kurang ajar kurang ajar kurang ajar KURANG AJAAAAAAAAARRR!!!!!

    “BERANI-BERANINYA KAMU MEMUKUL RAQIA!!!!!!”

    Kulayangkan tinjuku sekali lagi ke arah wajahnya. Tetapi…

    “Hmmph. Tanpa armormu, kamu bukan tandinganku.”

    Uriel hanya menjawab santai sambil menahan kepalan tanganku dengan mudah. Senyum licik terbentuk di wajahnya.

    Dihantamnya perutku dengan lutut. Tanpa kesulitan dia melempar tubuhku dengan sebelah tangan saja. Sebelum aku sempat bangkit, tongkat itu berayun lagi---


    “HENTIKAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAANNNN!!!!”


    Jeritan itu seketika menarik perhatianku dan Uriel. Photonica hanya berjarak sejengkal sebelum membuat wajahku berantakan.

    “K-Kumohon… berhentilah…”

    Tenebria. Berlutut, air matanya mengucur deras.

    “Sudah cukup… Ini salahku… I-I-Ini semua salahku…”

    Dan… dia melakukan sesuatu yang tidak terduga.

    Bersujud. Hingga dahi menyentuh pasir.

    “A-Aku memang tidak pantas hidup… K-Kumohon, bunuh saja diriku jika kamu berkehendak…”

    Suasana mendadak hening selama beberapa saat.

    Uriel melangkah mendekati Tenebria. Oh tidak… apa dia benar-benar akan membunuh Tenebria?! Argh, aku tidak bisa bangun cepat-cepat pula!! Padahal Raqia juga sudah membantuku berdiri!!

    “J-Jangan sakiti Master lagi!!!”, seru Charles.

    “J-J-Jika kamu membunuhnya, akan kumatikan paksa Archangel Core-mu!!”, ujar Biblos membela.

    Archangel itu mengacuhkan keduanya, lalu menghentakkan tongkat ke tanah.

    “Berdiri.”, ujarnya dingin.

    Tenebriapun mengangkat kepalanya, masih berurai air mata.

    “Hanya kepada Tuhanlah kamu boleh bersujud seperti tadi.”

    “K-Kamu… k-k-kamu tidak jadi---“

    “Tidak.”, potong Uriel tegas. “Tapi kamu!” Dia menunjuk Plasma. “Kamu!” Sekarang Biblos. “Dan kalian berdua!” Giliranku dan Raqia. “Jika terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan, kalianlah yang harus bertanggung jawab!!!!”


    Heh?


    “Mana jawaban kalian?!”

    “Uh… huh…”, jawabku dan Raqia. Kami saling melempar pandangan keheranan, lalu mengangkat bahu bersamaan.

    Err… selesai? Ini membingungkan. Ini karena aku yang bodoh atau Archangel gondrong itu memang aneh? Bahkan kemarahanku lenyap total karena melihat sifatnya. Raut wajahnya tak berubah, nada bicaranya tetap keras, tapi… duh, otakku tak cukup cepat untuk mengerti kelakuannya.

    “Sekarang kita masuk.”, ujar Uriel sembari melangkah ke arah menara.

    Kutanya pada Raqia, “Dia suka begitu?”

    Dia menggeleng, lalu menjawab sambil menggaruk-garuk kepala, “Aku juga bingung. Belum pernah kulihat dia seperti itu sebelumnya.”

    “Jadi atau tidak?!”, seru Uriel.

    “O-Oke, oke!”, jawabku dan Raqia serempak. Kemudian Archangel kecil itu membantuku berdiri.

    Seketika muncul cahaya di tangan si Archangel pertama. Hanya sebentar, lalu muncul sebuah bola kuning… Recovery Orbiter?

    “Crusader-Saint belum boleh mati.”, kata Uriel sambil melempar bola penyembuh itu ke arahku.

    Seperti sudah diatur, Divine Technology kuning keemasan itu berhenti beberapa jengkal di depanku, kemudian mulai mengitari diriku. Hanya butuh waktu sebentar bagiku untuk tak lagi merasakan sakit sedikitpun. Luka-luka yang tertoreh pada tubuhku juga lenyap tanpa jejak.

    Kutengok ke arah Tenebria. Maksudku ingin mengajaknya ikut masuk, tetapi Plasma berkata, “Kalian saja. Biar aku dan Biblos bersamanya di sini. Akan kuhubungi lewat Archangel Core Raqia kalau ada apa-apa.”

    Benar juga. Tenebria butuh ketenangan saat ini.

    “Ya… sudahlah. Kami janji tidak akan lama-lama.”, respon Raqia, lalu meraih tanganku. ”Ayo, kita masuk.”

    Kami berdua berjalan mengikuti Uriel. Selagi melangkah, kuperhatikan menara itu baik-baik. Bentuknya menyerupai kerucut berwarna mirip pasir, dililit oleh sesuatu menyerupai tangga dari dasar hingga puncak. Namun aku yakin itu hanyalah hiasan, karena tidak ada pintu apapun yang berada di sisi tembok yang terlilit tangga tersebut.

    Tetapi yang paling menarik perhatianku adalah sesuatu di puncaknya. Sesuatu seperti tiang yang memiliki beberapa ‘duri’ mencuat ke sisi dan kanannya. Tidak begitu jelas terbuat dari bahan apa karena letaknya yang tinggi.

    Rasa terkejutku makin bertambah ketika melihat pintu menara. Pintu geser otomatis, berwarna putih bersih dengan garis warna merah mengelilingi tepian pintu. Ada panel merah bening di sebelah kanannya.

    “Photonica, kode aksesnya.”

    Oke, ini terlalu mengagetkan. Ternyata tongkat itu juga bisa melakukan hal yang sama seperti Biblos, melempar deretan huruf-angka-simbol ke arah panel. Hanya saja yang dihasilkannya berwarna kuning.

    Pintu itupun terbuka perlahan…


    ==================================

    Spoiler untuk Trivia :

    Kosong
    Last edited by LunarCrusade; 15-09-13 at 00:00.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 12 of 14 FirstFirst ... 2891011121314 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •