==================================================
Tehillim 39: Daughters of the Sea Part III || Sparkling Thermite
==================================================
Perlahan tapi pasti, asap mulai menipis. Memang tidaklah lenyap seluruhnya karena tidak adanya satupun ventilasi, namun sudah cukup bagiku untuk dapat melihat semuanya dengan lebih jelas. Dan tentu saja bernafas tanpa merasa terlalu sesak.
Tidak salah lagi. Tembok logam. Hitam keabu-abuan.
Hei, tapi kenapa aku bisa melihat sekelilingku? Kupikir akan gelap total---
Ah, ternyata tidak menutup sempurna. Ada celah setebal 2 jariku yang didempetkan, antara batas tembok dengan langit-langit.
“Mainan apa lagi ini…”, komentar Raqia, lalu menghela nafas. Dia seperti sudah bisa membaca trik para bajak laut itu.
Argh. Aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini!!
“Spatial---“
Kulemparkan Energy Blade begitu saja. Kakiku otomatis bergerak ke arah Raqia.
“Stop.”
Dia mengurangi tenaga sesaat setelah tanganku mengunci pergelangannya.
“Heh, kalau begini kita bisa kehilangan jejak mereka!!”
Awalnya aku juga berpikiran sama dengannya. Tapi…
“Ingat bagaimana kondisi dan lokasi tempat ini?”
Mendengar ucapanku, matanya teralih sejenak. Dia teringat sesuatu. Agak tertunduk, dia menjawab, “Oke, oke. Aku mengerti. Maaf.”
Bangunan ini terlihat seperti nyaris rubuh. Sekali saja Spatial Breaker, maka puing-puingnya akan mengenai penduduk kota. Tidak semua orang di sini adalah kriminal, karena itu aku takut jika ada orang yang tidak bersalah menjadi korban. Apalagi jika sudah berhubungan dengan menghancurkan sesuatu. Raqia tidak akan menahan diri untuk mengeluarkan kekuatan penuh.
“Punya ide yang lebih baik?”
“Aku hanya bergerak berdasarkan refleks…”, ujarku lesu.
Plasma bicara, tetap terdengar tenang. “Kalian berdua tenanglah sejenak. Da’ath, aku akan mematikan mode Heavenly Saint-nya.”
Kujawab ya, kemudian dia melangkah ke tembok. Dirabanya sebentar. Diketuk.
“Cukup untuk menahan laser dari jariku lebih dari dua puluh menit.”
Tersenyum lebar, Raqia berkata, “Jadi, kita ledak---“
“Ti. Dak.”, potong Plasma. “Tempat ini tidak begitu jauh dari keramaian. Kecuali jika kamu ingin ada orang yang tidak bersalah ikut mati.”
“Uuuh~ Lalu kita harus bagaimana?!”
“
Well…”, Plasma memandang sekitarnya sejenak. Satu hal mengunci perhatiannya.
Tenebria.
“Maaf, nona Tenebria. Apa mungkin anda sudah…”
“Mmm. Aku sedang mencari apa yang bisa kugunakan untuk menjebol temboknya.”, jawabnya sambil tersenyum.
Biblos, yang sepertinya sudah tahu apa yang ada di kepala gadis mata merah itu, ternyata ikut mencari. Diawali tawa agak mengerikan, buku itu lalu berkata, “Plasma, kamu pasti juga… sudah tahu kan?”
Kenapa… ini terasa mencurigakan?
Tetapi aku hanya diam dan memperhatikan. Rasa penasaran mengontrol kakiku hingga tidak mampu melakukan manuver apapun untuk mencegah mereka. Raqia juga nampak tertarik meski geraknya nihil, sama denganku. Sesaat kami saling melempar pandangan kebingungan.
“Ah, ini sepertinya bisa dipakai.”, ujar Tenebria pada dirinya sendiri. Dia berdiri sambil membawa beberapa mata pedang dan kapak. Astaga, dia mencabutnya dari gagang.
“Hei… apa ini?”, gumam Biblos ketika dia berada di pojok kanan ruangan yang sudah hancur lebur ini. “Kaleng?”
Plasma segera menghampiri. “Kaleng aluminium…? Bagaimana mungkin?”
Tenebria segera menghapus kebingungan Plasma. “Oh, di rumahku ada tempat untuk memproduksi aluminium. Aku ingat Inferna pernah membawa beberapa ton ke Olympia, entah apa tujuannya. Mungkin para bajak laut itu mendapatkan beberapa.”
Beberapa
ton. Kenapa di kepalaku timbul bayangan Inferna membawa semua itu dengan kedua tangan sambil terbang dan tertawa kesetanan…?
Plasma terdiam sejenak. Di wajahnya seperti tertulis pertanyaan, “Untuk apa ada pabrik aluminium di sana?”. Tapi, seperti yang kuharapkan dari partner kalengku yang bijak, dia hanya mengiyakan dan membawa kaleng-kaleng itu demi efisiensi waktu.
Oke, sekarang di dekatku ada beberapa bilah pedang dan kapak karatan. Seingatku memang banyak senjata yang melayang ke sana kemari saat perkelahian tadi. Semua itu ditambah beberapa kaleng aluminium, yang seingatku unsurnya berada di nomor urut 13 dalam tabel periodik. Aku masih mengerenyitkan dahi melihat tumpukan logam itu. Sementara Archangel kecil ini… sudah berbinar-binar. Ekspresi tanpa suaranya itu seakan berteriak, “Aku ingin tahu!! Aku penasaran!!”.
“Sudah kuduga. Besi murni.”, komentar Plasma saat memegang sebuah mata kapak. “Nona, apa anda sudah tahu kalau…”
Tenebria menjawab, “Mmm. Aku bisa merasakan tingkat kekerasan benda hanya dengan mencengkramnya, dan mengetahui apa unsur yang membentuknya. Lagipula karatnya mudah kukenali.”
Setidaknya kekuatan “badak liar”nya itu masih disertai kemampuan lain yang ilmiah. Tidak seperti Raqia yang… KRRRKKK DHUAAARR. Begitulah.
“Tapi…”, lanjut Tenebria. “Kalau kita tidak tahu ukuran pastinya---“
Nafas lega lolos dari bibirnya ketika menengok ke arah Plasma.
“Mungkin kamu bisa, Plasma?”
Jawaban Plasma? Hanya mengatakan, “Dua ribu delapan ratus enam puluh satu koma dua dua tiga tujuh delapan gram. Pembulatan lima digit.”, dengan mata kapak masih di tangannya. Ternyata tangannya bisa berfungsi sebagai timbangan.
“Oke. Kamu keruk karatnya, sementara aku akan menggilas kaleng-kaleng ini menjadi bubuk.”
Instruksi Tenebria membuatku makin merasa jauh seperti penonton sebuah drama yang duduk di tribun paling belakang. Biblos juga, dia sepertinya sedang menghitung sesuatu. Mungkin ukuran yang tepat untuk menjebol tembok ini. Tapi… tidak secuilpun ide yang muncul di kepalaku mengenai apa yang akan mereka buat. Bubuk mesiu? Sepertinya bukan.
“Boleh kubantu?” Raqia menawarkan diri. Tanpa basa-basi Tenebria mengiyakan.
“Jangan lupa pakai masker dan sarung tangan yaaa~” Ucapan Biblos diikuti dengan munculnya sepotong kain kecil yang menutup mulut dan hidung kedua gadis itu, memiliki tali penggantung yang terkait ke telinga. Plus, sepasang sarung tangan, sepertinya dari karet. Setelah mengucapkan terima kasih, Tenebria mulai melumat satu kaleng dengan kedua tangan.
Diriku tercabik-cabik antara perasaan bersyukur dan ketakutan ketika melihatnya melakukan hal itu. Bersyukur, karena sekarang dia adalah bagian dari tim ini. Ketakutan, karena aku tidak mau ---apapun alasannya--- tangan itu menghancurkan tulangku hanya dengan meremas sesaat. Sedikitpun.
“Mmm… Da’ath, tolong menjauh sedikit.”, pinta Tenebria.
“Huh?”
Wajah kebingunganku berubah setelah Plasma mengatakan, “Aluminium adalah salah satu logam paling reaktif di muka Bumi. Sedikit saja debu aluminium masuk ke dalam aliran darahmu, kamu akan keracunan.”
Akupun mengambil jarak lebih jauh, namun masih bisa melihat jelas apa yang mereka lakukan.
Dan… suara ini lagi.
Suara yang lembut namun tetap berwibawa, seperti seorang ayah yang sedang bicara pada anaknya.
“
Thermite.”
Kali ini suara itu hanya memberitahukan namanya. Tentu saja karena aku sudah tahu benda apa itu dari buku kimia yang sama. Yap, itu adalah nama serbuk ajaib yang mampu melelehkan nyaris semua jenis logam di Bumi.
Seingatku, aku pernah mempelajarinya dengan Raqia di malam ke-5 pengerjaan Merkava Barzel. Mungkin itu alasannya dia mau membantu, karena sudah menyadari apa yang akan dibuat Tenebria. Waktu itu aku memang tidak sempat mempraktekkannya bersama karena terlalu sibuk.
Hmm… biar kuingat-ingat lagi dasar teorinya. Untuk mudahnya, mungkin aku harus memulai dari persamaan reaksi
thermite. Yang digunakan adalah serbuk karat besi dan aluminium. Jadi…
Fe
2O
3 + Al ---> Fe + Al
2O
3
Yep, itu dia. Samakan koefisien reaksi…
Fe
2O
3 + 2 Al ---> 2 Fe + Al
2O
3
Setiap unsur memiliki massanya sendiri-sendiri, yang selalu ada dalam tabel periodik unsur. Angka massa tiap unsur yang tertera di situ sebenarnya adalah perbandingan massa unsur tersebut dibandingkan massa 1 atom karbon. Dari situ sepertinya aku bisa mencari tahu perbandingan massa yang dibutuhkan per bahannya.
Fe
2O
3 disusun oleh 2 atom Fe dan 3 atom O. Seingatku, massa 1 atom Fe dalam tabel periodik kira-kira bernilai 56, sementara 1 atom O kira-kira 16. Artinya:
Fe
2O
3 = 2 x 56 + 3 x 16 = 160
Atom Al tunggal memiliki massa kira-kira 27. Karena koefisien reaksinya 2, maka:
2 Al = 2 x 27 = 54
Dengan demikian, rasio massa antara serbuk karat alias Fe
2O
3 dan aluminium yang digunakan adalah 160:54. Disederhanakan, kira-kira 2,96:1. Dibulatkan, 3:1. Artinya, jika ingin membuat 100 gram, maka dibutuhkan sekitar 75 gram Fe
2O
3 dan 25 gram Aluminium.
Setiap reaksi memiliki 2 kemungkinan: endotermik atau eksotermik. Endotermik berarti reaksinya akan menyerap kalor dari lingkungan. Eksotermik? Kebalikannya, melepas kalor ke lingkungan. Reaksi
thermite kali ini termasuk golongan eksotermik dan akan menghamburkan sejumlah panas, yang dimanfaatkan untuk membuat lubang pada tembok logam itu. Nilainya kalau tidak salah sekitar 3,98 kilojoule per gramnya.
Kulihat ke arah mereka. Ternyata semua bahan sudah dilumat habis menjadi serbuk.
Serbuk-serbuk aluminium dan besi itu ditaruh di dalam sebuah mangkuk besar yang Plasma temukan ---entah bagaimana bisa lolos dari penghancuran saat keributan tadi---, lalu diaduk hati-hati dengan jarinya. Beberapa detik kemudian, diapun menaburkannya dekat tembok, lokasi di mana pintu seharusnya berada. Gundukan bubuk
thermite pun terbentuk.
Segera mereka semua menyingkirkan sejauh mungkin semua puing yang ada dari sisi tembok yang akan dilubangi. Baiklah, kalau sekedar bersih-bersih mungkin bisa kubantu. Dengan cepat kami semua menggeser segala sisa benda yang berserakan. "Tidak perlu terlalu rapi, yang penting jaraknya lebih dari empat meter dari tembok.", kata Plasma.
Yap, selesai sudah.
Akupun menyadari kalau… keberadaanku benar-benar tidak ada artinya selama beberapa menit terakhir. Uh, aku jadi ingin membenturkan kepalaku ke tembok…
Ini tidak boleh terjadi!! Setidaknya aku harus sedikit berperan kali ini.
“Tunggu, Plasma. Biasanya pita magnesium digunakan untuk menyalakan
thermite karena kemampuannya untuk menghasilkan suhu tinggi. Jadi dengan apa ingin kamu nyalakan bubuk itu?”
Plasma hanya mengangkat telunjuk kanan tanpa bicara. Dan aku lupa kalau jarinya bisa menembakkan sesuatu untuk menyalakan api. Mungkin energinya cukup untuk menyalakan serbuk itu.
Raqia menyikutku pelan.
“Hehehe… tidak kebagian peran yang ilmiah ya sejak tadi?”, ledeknya.
Sial, dia mampu membaca pikiranku…
“Mundurlah hingga tembok. Aku akan menyalakannya.”, ujar Plasma sambil menunjuk ke arah tembok di seberang guncukan kecil
thermite. “Dan supaya lebih aman… Raqia, lebih baik kamu pasang Magen-mu.”
Raqiapun menuruti perkataan Plasma.
“Tunggu dulu tunggu dulu! Jangan dinyalakan dulu!”, potong Biblos semangat. “Sebaiknya kalian…”
Lemparan huruf-angka-simbol dari tubuh Biblos mengarah ke dekat mataku, Raqia, dan juga Tenebria. Seketika muncul sesuatu yang menutupi mata. Hitam namun agak transparan. Di telingaku juga terasa ada yang menggantung.
“…pakai kacamata hitam dulu. Nanti silau lho~”
Menurut apa yang pernah kubaca,
thermite memang dapat menyala terang ketika dibakar. Tapi… karena belum pernah melihatnya secara langsung, tidak terbayang sebesar apa kekuatan cahayanya. Akupun agak meragukan fungsi kacamata hitam ini---
*WHOOOOOOOOOOOOOSHHHH!!!!!!*
Atau tidak.
Maksudku, INI GILA. Aku seperti sedang melihat nyala api dari langit yang siap membumihanguskan korban sembelihan beserta mezbahnya sendiri!!!! Kekuatannya bahkan dapat menjilat bagian tembok logam itu hingga meleleh tanpa arti… Ugh, ludahku tertelan tidak sengaja.
Dan kedua gadis di sebelahku ini malah bertepuk tangan seperti sedang melihat pertunjukan sambil berseru, “WOOOOOOOO!!!! KEREEEENNN!!!!”
“
Only needs ten minutes overall. Lebih sedikit.”, kata Plasma ketika seluruh kobaran telah berhenti.
Sebuah celah telah terbentuk di tembok, setidaknya cukup untuk Plasma lewat meski harus sedikit membungkuk.
“Baiklah, ke dermaga!!”, seru Raqia.
Kacamata, sarung tangan, dan masker pun menghilang, berubah kembali menjadi deret huruf-angka-simbol yang kembali pada Biblos.
***
Sayang sekali kapal mereka sudah menghilang begitu kami tiba.
“GAAAAHHH!!!!”, seru Raqia, frustasi menginjak-injak tanah. “Kita terlambat!!”
Hanya 10 menit lebih sedikit untuk mempersiapkan kapal dan berangkat? Meskipun mereka pelaut profesional, aku yakin waktu sesempit itu tidaklah cukup untuk lolos sepenuhnya. Pastilah mereka belum jauh. Masalahnya adalah ke arah mana mereka pergi?
“A-Anu…”
Suara malu-malu itu memecah kebingungan. Charles.
“Yap? Ada ide?”, tanya Biblos.
“Aku bisa melacak mereka.”
Wow. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan Plasma dan Biblos, bisa diperbuat olehnya?
“Wohohooo!!
As expected from Chaos Restriction.”, seru Biblos girang. “Tapi kenapa sejak tadi diam saja?”
“A-A-Aku benar-benar takut tadi!! Terlalu ramai dan berisik… Apalagi terbayang olehku kalau ada yang cedera parah… Uuuuhh… ”
Ironis. Padahal dia pernah menembus perut seorang Angel-class.
Tanpa cahaya aneh-aneh, tanpa amukan udara, bahkan tanpa Tenebria menyebut apapun, pedang hitam itu berkata, “Barat daya, satu sembilan tujuh. Mereka di udara.”
Plasma merespon tanpa keraguan dan menghadap ke arah yang dimaksud. “Ke sana rupanya. Tapi kenapa di udara…?”
Jelas sudah penyebab kenapa Charles dapat mendeteksi keberadaan Thalia sewaktu Lightpath Diffuser dalam kondisi aktif. Ternyata sudah kemampuan alaminya. Entah bagaimana penjelasan ilmiahnya, sepertinya harus menunggu. Dan sudah bisa ditebak, yang wajahnya paling bersemangat setelah mendengar arahan itu adalah…
“Itu tidak penting. Yang penting sudah ada arahnya.
Spatial Breaker: Long-Range Shockwave!!!!”
Sepertinya Spatial Breaker yang dikeluarkan Raqia sedikit lebih keras dari biasanya. Ah… anginnya sejuk sekali.
Tak lama, bentuk kedua kapal itupun terlihat. Ternyata memang belum terlalu jauh.
“Huh, meleset.” Raqia terdengar kecewa.
“Tidak apa-apa. Setidaknya fungsi Lightpath Diffuser terganggu karena getaran yang terlalu kuat dari Spatial Breaker.”
Sekarang aku tahu alasan kenapa Melpomene dapat muncul akibat… tersandung. Ternyata alat itu sensitif terhadap getaran kuat.
“Apa perlu sekali lagi ku---“
Belum sempat Raqia mengangkat pedangnya kembali, sesuatu yang menghebohkan nampak olehku.
Ombak.
Begitu tinggi, bahkan memaksaku untuk mendongak nyaris 90 derajat. Plus mulut menganga dan nada do rendah dari pita suaraku selama beberapa saat.
Ombak itupun bergerak maju. Melaju. Terus hingga… menghantam kedua kapal. Tidak sedetikpun kubiarkan pandanganku luput dari pergerakannya.
Wow. Ada yang jatuh satu. Tercebur.
Perasaan terkagum-kagum inipun hilang ketika kudengar suara seseorang.
“ANAK NAKAL!!!! APA LAGI YANG MAU KALIAN PERBUAT HAAAAAHHHH???!!!”
Kupikir suara itu memakiku, Raqia, dan Tenebria. Ternyata…
“Bukannya berbalik arah, malah terus kabur!! HEI KALIAN CEPAT KEMARI!!!!”
Tebak siapa yang berteriak seperti ibu-ibu yang dikerjai segerombolan anak-anak iseng?
Kalliope.
“Anak nakal harus dihukum anak nakal harus dihukum anak nakal harus dihukum ANAK NAKAL HARUS DIHUKUUUUMMM!!!!”
Ucapannya begitu cepat seperti sedang mengucapkan mantra. Tangan kanannya menggenggam sesuatu mirip pensil, tapi bahannya jelas sekali bukan kayu. Sementara yang kiri memegang sesuatu serupa buku tipis berwarna biru lembut, bentuknya sangat simpel. Kedua benda itu juga nampak ‘tidak sesuai jaman’.
Aku… tak bisa bicara apapun. Ini adalah kedua kalinya citra diri seorang malaikat super-anggun runtuh seketika di hadapanku setelah Polyhymnia. Bahkan diriku, yang jelas sekali bukan merupakan sasaran amukannya, juga merasa merinding hingga ke sela-sela tulang.
“Ah, itu kan Divine---“
Sorot mata biru Kalliope seketika menghanyutkan ucapan Plasma. Seperti sebuah tsunami yang menyapu pantai.
“O-Oke, oke. Aku diam.”
Baru kali ini ada yang dapat membungkam Plasma tanpa harus beradu argumen secara logis.
“Hei Plasma, kita makan ini saja yuk.”, ujar Raqia yang memegang sebuah kantung kulit kecil berisi… kacang?
“Hah? Dapat dari mana?”, tanyaku.
“Tadi di dalam. Sayang kan kalau dibuang. Kamu juga mau?”
“Uh… huh. Boleh lah.”
Daripada ikut dimarahi, lebih baik aku duduk diam sambil makan kacang saja.
“Yah, aku tidak bisa ikut makan.”, keluh Biblos.
“M-Mmm… aku juga tidak kok.”, sahut Charles. Setidaknya kamu tidak sendirian.”
“Uwaaa~ Kamu memang teman yang baik…” Biblos mengelus-eluskan dirinya pada pedang itu.
Maka kami berempatpun duduk di tepi dermaga, menyaksikan tontonan gratis yang berjudul
“Cambuk Ombak Lautan, Terceburnya Para Awak”, ditemani sebungkus cemilan. Mungkin lebih cocok kalau ada teh hangat. Kopi juga boleh.
“Ah, jatuh tiga dari kapal.”, komentar Tenebria sambil ikut mengambil kacang. Sebelumnya ada satu kali ---lagi--- ombak tinggi yang menghantam kapal.
Lagi-lagi seperti saat makan ikan bakar, dia mengambilnya satu demi satu, lalu mengunyahnya perlahan. Tidak seperti Raqia yang kadang… membuka mulut lebar-lebar sambil melemparkan kacang itu ke atas, lalu ditangkap dengan mulut.
Tanpa ampun, beberapa kali ombak terus menghajar kedua kapal yang tidak juga berbalik arah.
“Whoa!! Ada satu yang terbang dari dek!!”, seru Raqia riang.
“Jadi… sebenarnya itu alat apa? Dan kenapa kapal mereka bisa terbang?”, tanyaku pada Plasma dengan suara agak pelan.
Plasma menjawab dengan suara yang nyaris sama pelannya, “Yang seperti buku dan pensil itu adalah
Vector Controller with Drawing Utility Synchronization. Disingkat Vecondrius. Hanya dengan menggambar arah vektor gaya, kamu bisa mengendalikannya sesuka hati. Itu juga termasuk gaya yang bekerja pada ombak laut.”
Plasma mengambil lima butir kacang.
“Dan kedua kapal itu… mungkin ada Anti-Gravity Platform di dalamnya. Seperti punya Urania.”
“Kalau begitu, bukankah seharusnya kamu bisa melacaknya dari awal?”
Plasma menggeleng. “Tidak ada sinyal dari sana. Mungkin ada DSCM Container ekstra besar yang menutupi Anti-Gravity Platformnya.”
“Mereka itu…” Kalliope terdengar geram.
Sapuan tangannya menjadi makin liar. Dan kalau diperhatikan baik-baik, sepertinya dia menggambar sesuatu yang besar---
Oh tidak.
Lagi-lagi sebuah ombak, ukurannya adalah yang paling besar terhitung sejak yang pertama. Tanpa ampun amukan airnya MEMBELAH kedua kapal tepat di tengah. Dan benar dugaan Plasma, ada sebuah kotak hijau semi-transparan yang tercebur. Seluruh sisa kapalpun ---lebih tepatnya puing kapal--- jatuh ke permukaan air.
“Kalian, cepat ambil anak-anak nakal itu.”, perintah Kalliope dengan nada dingin.
Kupikir dia mengatakannya padaku atau yang lainnya, ternyata bukan. Karena terlalu fokus pada pertunjukan akrobatik yang ditunjukkan para bajak laut, aku tidak memperhatikan kalau sudah ada beberapa puluh Angel-class, beberapa belas langkah di belakangku. Merekapun segera menuju ke arah sisa-sisa kapal dan memungut siapapun yang masih hidup kembali ke dermaga.
“Ternyata kemampuan sang Hydro Blaster belum tumpul juga.”, kata Raqia, lalu menumpahkan seluruh sisa kacang ke dalam mulutnya.
Sebenarnya aku ingin protes karena kacangnya dihabiskan begitu saja, tapi…
“Hydro… Blaster?”
“Mmm. Kamu tidak pernah dengar ya? Dia itu…”
***
“Dia itu adalah penjaga lautan!! Tidak ada satupun bajak laut yang bisa bertahan di hadapannya!!”
Begitulah cerita ayah. Dia mengisahkan semuanya dengan semangat. Siapa lagi kalau bukan tentang seorang Angel-class pemburu bajak laut, Hydro Blaster.
“Woaaahh… pasti Hydro Blaster itu orang hebat ya, Yah?”
“Hmm.” Ayah mengangguk mantap.
“Kamu tahu? Salah satu kelompok bajak laut berhasil dimusnahkannya tanpa sisa!! Hal itu juga membuat kelompok lainnya takut, sehingga mereka lenyap tanpa jejak. Tinggal satu lagi, maka seluruh lautan akan aman sepenuhnya.”
***
Itu dia yang aku lupakan!!!!
Sewaktu kecil dulu aku tergila-gila dengan sosoknya, Hydro Blaster, yang konon katanya bisa menghancurkan armada dua puluh kapal sekaligus hanya dalam satu kedipan mata. Waktu itu ayah tidak menyebutkan namanya ---atau lupa karena faktor umur---, sehingga aku tidak tahu kalau malaikat anggun ---mantan malaikat anggun, maksudku--- di sebelahku ini adalah… Astaga.
“…di Pardes juga ada lukisannya kok. Coba kamu ingat-ingat lagi.”
Raqia benar. Aku sempat melihat deretan para Angel-class yang dianggap sebagai para pahlawan Pardes di salah satu koridor istana. Tapi wajahnya cukup berbeda!! Mata orang di lukisan itu… terlihat tajam dan serius meski tetap indah. Yang dikenakannya juga lebih menyerupai armor Viridia dibanding pakaiannya yang sekarang.
Berarti alasan kenapa hanya para Argonaut saja yang dapat bertahan hingga hari ini adalah…
…semuanya sudah dapat kuingat jelas.
***
Masing-masing awak kapal yang basah kuyup sudah diangkat ke daratan. Semuanya duduk berlutut di depan Kalliope, dikawal para Angel-class di sekitarnya. Menghadap searah. Sementara itu, Plasma dan Biblos langsung menuju ke DSCM Container raksasa berisi Anti-Gravity Platform dan menyelidiknya.
“Di mana anak-anak itu, Argos?!”, tanya Kalliope, setengah marah.
Sudah kuduga. Keduanya saling kenal.
“Haruskah kuberitahu---“
Kata-kata Argos tak selesai karena tiba-tiba ada aliran air yang mengguyur kepalanya. Dihasilkan dari gerakan cepat tangan Kalliope di atas Vecondrius.
“Cepat. Jawab.”
Hanya ada keheningan.
“Jadi kalian benar-benar ingin ditangani langung oleh Yang Mulia Tselemiel.”
Mendengar hal itu, para Argonaut berubah pucat pasi.
Argos memohon, “J-Jangan lakukan hal itu!!”
“Bukankah sudah ada perjanjian? Tidak kusangka yang melanggarnya malah kalian sendiri. Aku benar-benar salah mempercayai kata-kata kalian.”
“Kau tak mengerti kondisi kami!!!!” Argos memukulkan tangan ke tanah. “Apalagi setahun terakhir ini…”
Kalau boleh kumisalkan, Kalliope ini berbeda 180 derajat dengan Tenebria. Jika Nephilim itu awalnya dingin dan mengerikan namun ternyata hanyalah seorang gadis biasa yang dapat bersikap feminin dan menggemaskan sewaktu-waktu, maka Kalliope… Ah sudahlah.
Tiba-tiba Raqia menyelak.
“Tunggu dulu. Perjanjian? Aku tidak pernah mendengar hal ini.”
Ekspresi Kalliope menjadi gusar. Karena aku sudah bisa menebak ‘perjanjian’ apa yang dimaksud…
“Biar aku yang tangani.” Kutaruh tanganku di pundak Raqia. “Bagaimana denganmu, Kalliope?”
“M-Mmm…” Diapun menghela nafas panjang. “B-Baiklah. Aku menyerah.”
“Oke. Tapi aku tetap harus tahu di mana Mel dan Thalia. Argos, bisa tunjukkan di mana mereka?”
Meski masih nampak agak ragu, dia tetap menjawab, “Aku tak tahu menahu siapa dirimu, tapi… jika kau memang ingin membantu menyelesaikan masalah ini, baiklah. Mereka ada di markas kami. Tapi kapal kami sudah…”
Maka kupanggil dia.
“Plasmaaa!!”
***
Setelah sekitar 2 jam hanya melihat laut, timku dan seluruh Argonaut ---plus Kalliope--- tiba di ‘markas’ yang dimaksud. Menurut peta, tempat ini berada di ujung selatan Olympia. Banyak sekali karang-karang tinggi menjulang di lepas pantainya. Kapal biasa pastilah kesulitan untuk memasuki daerah ini tanpa mengalami karam. Untunglah Merkava Barzel tiruan tidak perlu melalui rintangan itu.
“Tapi tidak ada apapun di sini.”, komentar Tenebria ketika kami mendarat tak jauh dari sebuah tebing curam.
Argos pun melempar sebuah batu ke arah kanan depannya. Menabrak sesuatu.
Sekejap, sebuah desa kecil muncul di hadapan kami. Ternyata yang terkena batu adalah Lightpath Diffuser yang digantung pada suatu palang kayu. Rupanya dia sudah hafal tempat benda itu digantung meski tidak kelihatan. Dari jauh aku juga bisa melihat jajaran batu nisan. Pemakaman.
“Wah, mirip Anti-Photonic Curtain saja.”, gumam Tenebria.
Tidak jauh berbeda dengan kebanyakan area pemukiman, rumah-rumah kayu berdiri dalam jarak yang tidak begitu berdekatan. Hanya saja yang di depanku ini sedikit lebih... jelek. Kayu-kayunya tidak lagi terawat. Terlihat lapuk.
Berjalan makin dekat, pintu-pintu rumah dibuka dari dalam. “Mereka pulang!”, “Wah, itu ayah!”, “Bawa apa ya mereka kali ini?”, itulah beberapa kalimat yang sempat kudengar. Banyak di antara mereka yang nampak kurus dan lusuh. Beberapa orang yang sudah lanjut usia juga terlihat begitu renta, berjalanpun sulit. Bahkan aku dan Plasma harus membantu seorang nenek berjalan menuju salah satu anggota Argonaut. Cucunya, mungkin. Mata mereka semua berharap secercah kehidupan, yang mungkin dibawa pulang oleh anggota keluarga mereka yang melaut.
Ferrenium... seakan kolam emas dibanding desa ini.
“Jadi… bisa kalian lihat sendiri…”, ujar Argos lesu.
Raqia menggeleng-gelengkan kepala, terlihat tidak percaya. “Aku tidak mengerti dengan tukang galau yang satu itu. Bisa-bisanya meninggalkan rakyatnya sendiri.”
Bukannya aku tidak setuju. Hal ini memang sebuah aib bagi sang Archangel keenam. Tapi mengetahui sifatnya yang mementingkan masalah cinta pribadi, aku tidak terlalu heran melihatnya.
Raqia bertanya padaku, “Baiklah, apa idemu untuk hal ini?”
“Sudah jelas kan? Tentu saja Tselemiel harus tahu tempat ini dan kondisinya yang buruk.”
“Kau ingin kami mati, bocah?!” Argos terdengar tak sabaran.
“Tenanglah dulu. Tentu saja aku tidak akan membiarkan kalian diperlakukan buruk. Bagaimanapun juga, apa yang ada di depan mataku ini tidak mungkin menipu. Kalian hanya terpaksa melakukan tindak kriminal demi bertahan hidup.”
“Ya… kau benar. Sejak para malaikat bersayap warna itu habis total, tidak ada lagi makanan untuk kami. Kondisi pantai yang berbatu menyulitkan mereka untuk mencari ikan. Sementara agak ke utara hanya ada pegunungan yang medannya sulit serta berbahaya. Itulah kenapa…”
Argos bersujud di hadapanku.
“Kumohon!! Tolonglah kami semua!! Aku hanya mohon satu hal, jangan biarkan kami berada dalam hukuman yang terlalu berat!! Tidak semua sanggup untuk menanggungnya!!”
Semua mata menatap heran ke arahku. Maka akupun memintanya berdiri.
“Hmm… tapi harus ada sesuatu yang diberikan untuk Tselemiel.”, ujar Raqia sambil menaruh tangan kanan di dagu. “Ingat kasus Athena? Dia bersedia pulang karena tawar-menawar dengan Tselemiel.”
Benar juga. Tapi apa yang bisa diharapkan dari desa semiskin ini---
“Ah! Bagaimana kalau…”
Di luar dugaan, malah Tenebria yang punya ide.
“…kaleng-kaleng itu?”
Ekspresi Raqia berubah, setengah meremehkan. “Hukuman mau ditukar kaleng? Yang benar saja…”
Tenebria menggeleng. “Tidak. Itu pasti bisa. Karena aku tahu apa yang pernah diberikan Inferna pada para Elilim-class di Olympia.”
Sekarang Raqia nampak tertarik.
“Ya, kurasa juga demikian.”, sahut Plasma sambil melangkah kemari. “Yang akan diberikan adalah teknik cara mengolah aluminium, benar begitu?”
“Mmm, kamu benar. Di jaman seperti ini, mengolah aluminium membutuhkan proses yang sulit dan rumit. Tanpa ada pabriknya di rumahku, mungkin kaleng-kaleng itu tidak akan pernah kita temui. Dan seingatku, dari kata-kata para Elilim-class di Asgard, sepertinya Archangel keenam itu cukup terpelajar dan pintar. Jika aluminium-aluminium itu plus cara mengolahnya diberikan padanya, pastilah dia akan senang sekali.”
Dan Avodah adalah kota para
blacksmith. Jelas saja rakyatnya juga akan tertarik. Baiklah, sepertinya ide Tenebria bisa digunakan.
“Bagaimana, Argos? Kurasa itu juga dapat membuatmu bekerja kembali di Avodah dan tak perlu merampok lagi di pantai.”, tanya Raqia.
Si botak itu tercengang dan menganga.
“Heh, jawab pertanyaanku.”
“A-Aku tidak percaya… Semudah ini?”
Menepuk-nepuk lenganku, Raqia menjawab bangga, “Yah, bocah ini kan Crusader-Saint.”
Dan sekarang aku melihat celah terlebar yang dihasilkan rahangnya.
“BOCAH INI???!!!”
Lama-lama aku merasa kalau tampangku tidak pantas untuk disebut Crusader-Saint. Mungkinkah perlu dipoles supaya agak sangar sedikit?
Sesaat, dia menaruh telapak tangannya di dahi. “A-Astaga. Tidak kusangka… Aku selalu mengira kalau Crusader-Saint punya wajah lebih kaku dan serius, mirip si gila dari Ohr-Nisgav itu.”
Uriel, maksudnya.
“Setidaknya aku juga melihat kualitas seorang pemimpin ada pada dirimu. Apalagi kau punya teman kaleng begitu… Aku jadi ingat dia,
Lord of Iron Angels.”
Nama itu terdengar asing. Maka aku bertanya, “He? Siapa dia?”
“Hah?! Kau tidak tahu?! Sepertinya kau perlu belajar banyak tentang sejarah dunia!! Dia itu pimpinan kelompok saingan kami, Varuna, yang sering beroperasi di sekitar Chalal hingga Batavia sana!!”
Sebelum ini berubah menjadi kelas sejarah, Raqia memotong, “Jadi, mau atau tidak?”
“Tentu!! Bagaimana mungkin kubiarkan keluarga rekan-rekanku mati begitu saja?!”
“Jika ada kertas, bisa kubuatkan suratnya sekarang. Nanti dia akan menandatanganinya juga.”
Raqia menunjuk diriku dengan jempol.
“Dan kamu sendiri yang harus menyerahkannya ke Avodah. Biar Kalliope ikut---”
Tiba-tiba dua suara terdengar, serempak dan harmonis.
“K-Kalian…?”
Si kembar itu rupanya, melangkah dari arah perkuburan. Ternyata Argos tidak berbohong mengenai keberadaan keduanya.
***
Sekarang kami berada dalam salah satu dari rumah-rumah kumuh itu, peninggalan sang kapten besar Argonaut, Jason. Yang tidak ada di sini adalah Biblos, Tenebria, dan Charles. Ketiganya mungkin sedang bermain dengan anak-anak di luar.
Akar masalah ternyata dimulai tepat sehari setelah kedatanganku. Seseorang datang menemui Mel dan Thalia pada tengah malam, suruhan Argos. Tiga makhluk yang tidak butuh terpejam ---Raqia, Plasma, dan Biblos--- sama sekali tidak mengetahui kedatangannya karena berkonsentrasi menyempurnakan Temporal Backslide. Sementara Tenebria ---yang hanya butuh tidur setiap 2 atau 3 minggu--- masih belum pulih 100 persen, sehingga Plasma menyuruhnya untuk tidur saat itu.
Sebuah surat diberikan oleh orang itu. Sederhana, hanya satu kata “Tolong” dan tanda tangan Argos yang tertoreh di kertas. Berhubung si kembar sudah menganggap Argos sebagai ayah kedua, maka hal itu dianggap serius dan mendesak. Tanpa pikir panjang keduanya melesat ke tempat ini. Dan… yang mereka temui adalah kematian. Ya, penduduk desa ---sebagian besar manusia--- sudah berkurang hampir setengahnya akibat kelaparan hanya dalam waktu setahun. Kuburan di sebelah desa adalah buktinya.
“Jadi… begitu.”
Raqia mengangguk beberapa kali. Sepertinya dia bisa memaklumi alasan si kembar.
Argos menimpali sambil menggaruk-garuk botaknya, “Maaf jika pesannya terlalu singkat. Jika harus kupaparkan, pasti akan panjang sekali.”
Benar. Jika dijelaskan secara lengkap, maka Argos harus menceritakan segala sesuatunya dimulai dari invasi Raqia dan Tselemiel terhadap Olympia setahun yang lalu. Sementara itu, desa ini bergantung pada para Elilim-class dalam banyak hal, termasuk pangan. Dengan hancurnya mereka, maka…
“Tapi kamu harus menjelaskan semuanya pada Tselemiel nanti sambil menyerahkan surat yang kutulis. Aku yakin dia mau mengerti. Dan…” Raqia menunduk sedikit pada Argos. “Sepertinya aku juga harus minta maaf. Sedikit banyak, aku berperan dalam kehancuran desa ini.”
Argos tertegun sejenak, namun tersenyum lega setelahnya.
“Sekarang aku mengerti kenapa tak ada Elilim-class yang berasal dari tempatmu.”
Raqia merespon, “Terima kasih untuk pujiannya.”
Arah pandangan Raqia berubah, kali ini ke arah Kalliope yang sejak tadi nampak sangat gusar.
“Baiklah, sekarang giliranmu. Aku belum mendengar tentang ‘perjanjian’ yang kamu maksud tadi. Apa kamu membuat kontrak dengan mereka, melangkahi keputusan Tselemiel? Kupikir kamu bukan orang yang seperti itu.”
Masalah yang itu… sebaiknya kupotong saja.
Kutaruh tanganku di kepala Raqia, sedikit kutekan-tekan. “Akan kujelaskan semuanya nanti.”
Setengah marah setengah malu-malu, dia membalas, “H-Hei!! Apa maksudmu?! Aku kan perlu mendengar---“
Sebenarnya ‘perjanjian’ itu sudah jadi rahasia umum. Aku yakin banyak dari orang-orang Shamayim juga mengetahuinya. Satu-satunya alasan kenapa Raqia tidak tahu adalah…
terlalu berbahaya jika kabar itu sampai ke telinganya.
“Sebagai Crusader-Saint, sudah selayaknya kamu mendengar perintahku.” Makin kuacak-acak rambutnya.
“AAAAHHH!! Oke, oke!! Tapi tolong hentikan!! Jangan keras-keras begini!! Uuuhh…”, protesnya, berusaha menjauhkan tanganku.
Keluhannya segera disambut gelak tawa oleh semua yang hadir. Tak terkecuali Kalliope, meski hanya tersenyum kecil.
***
“Jadi kami minta ijin untuk tinggal di sini hingga sebulan ke depan. Bolehkah?”, tanya Thalia pada Kalliope, ketika kami sudah berada di luar. Ternyata bulan depan adalah peringatan 96 tahun meninggalnya ayah mereka.
“Iya, kami juga janji tidak akan kabur lagi. Maafkan kami…”, kata Mel, setengah berkaca-kaca.
“Mmm… baiklah. Semua juga sudah selesai. Satu saja pesanku, tetap awasi mata kalian terhadap Argos, jangan sampai dia melanggar janjinya kali ini. Aku tidak mau terlibat masalah yang lebih jauh dengan Yang Mulia Tselemiel nantinya.”
Keduanya mengangguk cepat, sangat sinkron.
“Kalau ada waktu, aku juga akan memberitahu Clio tentang hal ini agar dia tidak khawatir.”, tambahnya.
Raqia menimpali, “Kamu tahu di mana Clio berada?”
“Dia ada di benua selatan, di seberang laut. Erato dan Euterpe sekarang sedang bersamanya, dan mungkin juga Yang Mulia Nuachiel.”
“Hmm… begitu ya. Sepertinya dia bisa menunggu belakangan. Baiklah, kami harus berangkat kembali.”
“Sekali lagi terima kasih untuk semuanya… Yang Mulia Raqia.” Argos menunduk hormat. “Dan kau juga, bocah.”
Kali ini tidak ada aura hinaan yang terpancar dari kata-katanya. Dia tersenyum lebar, maka kubalas dengan cara yang sama.
“Semoga sukses menghadapi tukang galau yang satu itu.”, ujarku.
“Hahaha!! Cocok juga gelar ‘tukang galau’ untuknya. Dan… terima kasih juga untuk idemu, nona.” Kali ini Argos menunduk pada Tenebria.
Sedikit kaku, Tenebria menjawab, “T-Tidak apa-apa kok. Bukan masalah besar untukku.”
Pelan ---nyaris tak terdengar, untunglah aku ada di sebelahnya---, Argos bergumam, “Mirip sekali dengan istriku sewaktu masih ada.” Diapun mengangkat kepalanya, lalu mengatakan “Selamat jalan” pada kami.
Namun baru juga kakiku beranjak dua langkah, sesuatu terbersit di pikiranku.
“Kalliope, sebelum kamu mengantarkan surat itu bersama Argos… bisakah ikut dengan kami sebentar?”
Dari gelagat semua yang ada di sini, yang nampak mengerti hanya Plasma seorang.
***
“Cukupkah sebesar iniii???!!!”, tanya Kalliope, berteriak sekeras mungkin. Dia melayang beberapa belas meter di depan.
Ombak laut berdiri gagah di hadapan kami yang berada di dalam Sonic Glider. Membentang sekitar 500 meter dari utara ke selatan. Tingginya kurang lebih 10 meter.
Setelah Plasma memberi instruksi padaku, maka kujawab Kalliope, “Yaaaaa!! Sudaaaaaah!!!”
Yap, hanya Vecondrius milik Kalliope yang mampu membuka segel Divine Barrier yang dibentuk pimpinan Ohr-Nisgav, Uriel Yehiy’or. Sekarang kami semua berada beberapa puluh kilometer lepas pantai.
Sebelumnya Biblos telah mendeteksi kejanggalan pada pelindung tak kasat mata tersebut, yang ternyata konsentrasinya sedikit berbeda pada areal yang ada di depan kami. Tak salah lagi, itu adalah “lubang kunci” yang dimaksud saat Plasma menjelaskan cara membuka Divine Barrier di desa aneh berpenduduk roh termaterialisasi itu.
Tangan Kalliope bergerak-gerak di atas Vecondrius, dan…
*WHOOOOOOOOOOOOOOOZZZZZZZZZZ*
Gemuruhnya gagah perkasa, mengamuk dalam keselarasan. Berkecamuk mencabik-cabik udara di sekitarnya. Air berkecepatan 10 m/s siap menghantam Divine Barrier.
Tiga.
Dua.
Satu.
*BHHRRRRRRRRRRRRRRRRRR*
Medan energi Divine Barrier bergejolak ketika dihantam seketika. Pemandangan di depan buram sesaat, kemudian sisa kekuatan arus mengalir begitu saja. Ya, Divine Barriernya sudah hilang.
“Terima kasih ya.”, ujar Raqia.
“Suatu kehormatan bisa membantu anda dan juga Crusader-Saint.”, balas Kalliope sambil sedikit membungkuk.
“Ya sudah, kami harus segera ke Ohr-Nisgav. Ingat, jangan terlalu keras pada para bajak--- maksudku, orang-orang itu. Kesusahan mereka jangan ditambah lagi. Dan berikan suratnya secepat mungkin.”
Sonic Glider pun kembali bergerak maju, ditemani senyum anggun dari sang Aqua Tranquility. Atau… Hydro Blaster. Sambil berdiri di atas jok, Raqia melambaikan tangannya sejenak ke arah Eleutherian-class itu.
Menghela nafas panjang, Raqia membanting diri di kursi. “Selesai juga.”
Kaca kokpit Sonic Glider pun menutup.
“Ternyata saran Tselemiel tidak salah. Untung saja Kalliope punya sesuatu yang bisa membuka
barrier.”
Raqia membalasku, “Mungkin dia sudah tahu mengenai alat milik Kalliope itu, jadinya dia menyarankan kita untuk menemuinya.”
Ekspresinya berubah seketika, seperti mengingat sesuatu.
“Plasma, tolong jangan masuk ke kota lewat pantai timurnya. Memutarlah lewat utara atau selatan, lalu masuk lewat gerbang barat. Uri tidak suka ada orang yang masuk melalui pintu yang salah.”
Archangel yang satu itu… sepertinya akan merepotkan.
Suara dari panel kontrol membalas, “
Roger, Ma’am.”
“Dan… sekarang aku butuh penjelasanmu, Da’ath.”
“Hmm? Tentang apa?”
“Jangan pura-pura bodoh…”
Oh…
itu.
“Bagaimana kalau tanya rakyatmu sendiri---“
Oke, matanya berkobar. Ampuni aku, wahai penguasa Shamayim!!
“Cinta segitiga.”
Raqia menganga lebar sambil berbunyi, “Haaah?”
“Bisa tebak kelanjutannya?”
“Laut di bawah siap menerima jasadmu, wahai Crusader-Saint.”, ucap Raqia sambil tersenyum lebar.
“O-Oke. Sebenarnya… Kalliope menyimpan perasaan cinta pada kapten para Argonaut terdahulu, Jason. Sayang sekali cintanya ditolak. Jason lebih memilih untuk menikah dengan ibu dari Mel dan Thalia.”
Menggaruk-garuk kepalanya sesaat, Raqia bertanya, “Apa… hubungannya?”
Gemas, kugenggam kedua pundaknya erat-erat.
“Tentu saja ada!! Karena Jason adalah cinta lama Kalliope, maka apapun yang terjadi, sang Hydro Blaster itu tidak akan mau menghancurkan para Argonaut!! Dan untuk alasan yang sama pula dia mau mengawasi dua putri dari sang kapten, yang adalah pesannya sebelum meninggal!! Dan perjanjiannya dengan Argos adalah agar tidak menarik Mel dan Thalia untuk kembali menjadi bajak laut, karena itu juga termasuk pesan terakhir Jason sendiri!!”
“Hee… jadi begitu.”, jawabnya polos.
“Hanya itu responmu? Hanya sebuah ‘Jadi begitu’?! Pikirkan betapa besar hati Kalliope, yang meski sudah hancur dan ditolak, namun tetap mau melakukan segala sesuatunya demi orang yang dicintai!!!!”
“Lalu kenapa aku tidak pernah tahu?”
“Tentu saja tidak ada yang memberitahumu, mengetahui sifatmu yang suka main tebas sembarangan!!!! Apa kamu lupa ketika kita berurusan dengan Maoriel dan Omoikane??!! Kamu NYARIS membunuh mereka karena mereka saling mencintai!!!”
“Mmm… kamu marah?”
“Aku tidak marah!! Hanya gemas saja!! Apa perlu kucium dulu bibirmu supaya mengerti?!”
“HAH?! Coba saja kalau berani!---“
Tanpa aba-aba, kepalaku bergerak secara otomatis. Kupejamkan mata sesaat sebelum…
“Mmmff!---“
Bibirkupun bersentuhan dengan bibirnya.
Sebentuk merah muda pucat yang kecil itu terasa liat, begitu nyaman bagiku. Di luar dugaanku, dia tidak menolak apa yang kulakukan. Perlahan, kehangatannya merasuki diriku. Makin dalam. Lidah kami menari bersama, saling membelai dalam kelembutan. Dunia serasa melebur dalam asmara di tiap detiknya. Nafas kecilnya seakan berkata, “Aku mencintaimu”.
Benang keperakan nan bening menjadi saksi antara bibirku dan bibirnya. Saksi dua insan yang melupakan segala sesuatunya karena gairah cinta.
Wajahnya begitu merah. Sorot matanya penuh harap. Dua detik kemudian, dia segera mengusap bibirnya.
“Sudah mengerti sekarang?”, tanyaku lembut.
“Mmm…” Raqia menangguk pelan.
“Apapun yang terjadi, perasaanku tidak akan berubah.”
“Begitu ya…” Beberapa kali pandangannya beralih ke arah lain. “Aku juga… sebenarnya… makin lama…”
Mata kami pun bertemu.
“…makin cinta padamu…”
Aliran kata-kata yang selalu kutunggu akhirnya keluar juga. Terdengar sangat lembut. Membuatku tersadar kalau yang ada di depanku sebenarnya juga punya hati seorang perempuan.
“T-Tapi lain kali jangan tiba-tiba begitu…”, jawabnya malu.
“M-M-Maaf untuk yang itu.”
Astaga. Kerasukan apa diriku barusan?! Aku melakukannya nyaris tanpa sadar!!
Masih amat sangat merah, dia bertanya, “B-Bagaimana kalau Tenebria lihat---“
Kata-katanya terhenti karena ternyata… orang yang dimaksud sedang tertidur. Cepat sekali terlelapnya? Apa mungkin masih terlalu lelah?
“…untunglah.”, ujarnya lega.
Tunggu. Yang tidak melihat kan hanya Tenebria…
“Halo halo? Sudah selesai belum?”, sahut Biblos.
Charles menimpali, “E-Emm… mesra sekali ya kalian..”
“Asal jangan keterusan saja.”, tambah Plasma.
Sial!! Semua yang bukan makhluk hidup sudah pasti melihat yang barusan!! Argh, kenapa kulakukan tanpa pikir panjang?! Pipiku juga terasa panas begini…
Mulut Raqia bergerak-gerak kaku. Darah juga terpompa penuh ke seluruh wajahnya. Kemudian…
“HYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA…!!!!!!”
Sebenarnya gaya teriakannya cukup menggemaskan, hanya saja volumenya sangat membunuh. Telingaku tak luput dari keganasannya, menjadi korban dan langsung mendengung.
“K-K-K-Kurang ajar!!!! Kenapa main cium segala hah??!! A-Apa kamu tidak tahu kalau yang lain juga lihat????!!!!”
Aw. Aw. Aw. Aku dipukul bertubi-tubi. Tidak begitu sakit sih. Tapi terpaksa aku berlindung, menangkisnya dengan lengan.
“T-Tapi kenapa kamu tidak menolak??!! Kalau kamu memang tidak mau, pasti tidak akan kuteruskan!!!!”
“Ya itu salahmu!!!! Kenapa tidak menarik diri??!! Aku kan juga… juga… rasanya… emmm…”
Raqia terdiam sesaat, nampak geram tapi malu-malu.
“Enak?”
“DA’AAAAAAAATHHHH!!!! JANGAN BILANG SEPERTI ITUUUU…!!!! AAAAAAAAAAHHHHH!!!!!”
Aw. Aw. AAAAAAGGGHHH!!!! TANGANKU DIGIGIT!!!!
***
Dan dimulailah perjalanan cinta diriku, Da’ath Ruachim, sebagai seorang Crusader-Saint. Bersama Archangel kecil yang lucu menggemaskan namun kadang mengesalkan ---dan berbahaya---, Raqia Gibboreth, sang Angel Knight penguasa Shamayim. Yang pastinya akan penuh cubitan, pukulan, dan tendangan. Mungkin sesekali digigt. Semoga saja aku bisa bertahan hidup untuk seterusnya… Huh.
Anyway, tujuan berikutnya sudah nampak di depan mata. Ohr-Nisgav, kota raksasa penuh cahaya yang dipimpin oleh Guidance Light, Uriel Yehiy’or, Archangel pertama.
Full speed ahead!!!!
Share This Thread