lagu:
Hanya Cinta Yang Bisa
Agnes Monica feat Titi DJ
Kupikir..
Ku tak pernah pantas
Untuk Bahagia...
Sejak kau pergi
Dalam tidak tahuanku..
Kini kau kembali
Membawa bingkisan
Kebahagiaan...
Yang aku ingat
Pernah kaucuri dariku dulu
Kau tawarkan lagi
Untuk ku...
Jangan lagi kau pergi
Dari hidupku
Takkan mudah untukku
Bila sendiri
Biar kita miliki
Rasa bahagia
Ingin selalu bersama
Didalam Ruang dan waktu
Kusadari...
Bukan hanya kau
Kembalikan mimpiku
Hadirmu kini
Membuatku percaya lagi
Bahkan lebih indah
Dari mimpi-mimpiku
Hanya cinta yang bisa
Menaklukkan dendam
Hanya kasih sayang tulus
Yang mampu menyentuh
Hanya cinta yang bisa
Mendamaikan benci
Hanya kasih sayang tulus
Yang mampu menembus
Ruang dan waktu
cerpen:
Bayangkan Ku Hidup Tanpamu
Setiap kali aku melihat pisau, gelora ingin membunuh memenuhi seluruh pikiranku. Ingatan tentang malam itu pun kembali berkelebat di dalam otakku. Bagaikan foto, detil-detil kejadian itu muncul satu persatu. Aku menjerit dan merasa jijik dengan diriku. Ya, aku pernah hampir diperkosa oleh Papa kandungku sendiri.
Malam itu, aku baru pulang setelah seharian jalan-jalan dengan sahabat-sahabatku. Ketika sampai di rumah, Papa sudah menungguku di ruang tamu. “Savaluna, kau tahu sekarang sudah jam berapa? Darimana saja kamu? Jam segini baru pulang?!” kudengar suara Papa bergema. Mama sedang pergi ke rumah temannya untuk bergosip. Di rumah tidak ada siapa-siapa selain Papa. Aku tidak pernah merasa cocok dengan Papaku, dan aku benci dengan kenyataan bahwa Papaku adalah seorang pemabuk. Malam itu, aku dimarahi habis-habisan karena pulang malam. Napasnya menderu-deru karena mengomeliku dan bau alkohol memenuhi seluruh ruangan. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun dan hanya menerima semua umpatan-umpatan yang ia lemparkan padaku dengan menitikkan air mata. Karena tidak tahan, aku berlari menuju kamarku di lantai dua dan membanting pintu. Aku melemparkan diri ke atas tempat tidur dan menangis tersedu-sedu sambil memeluk bantal. Kebencianku padanya semakin menjadi-jadi, apalagi setelah kejadian yang terjadi sesudahnya.
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka. Aku terkejut dan mengutuk diriku karena tidak ingat untuk menguncinya tadi. Papa langsung menyerbu masuk dan mendorongku ke tembok. Aku berusaha melepaskan cengkeramannya pada tanganku, tapi ia terlalu kuat. Aku menjerit minta tolong dan berupaya menendangnya dengan kakiku. Namun, aku malah ditampar hingga kepalaku membentur dinding. Aku terdiam dan kurasakan air mata meleleh di pipiku. Papa lalu mendorongku ke tempat tidur dan menindih tubuhku. Aku berteriak dan berusaha melepaskan diri. Namun kekuatanku kalah jauh darinya. Aku sudah hampir pasrah dan putus asa menyadari bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan Papaku. Namun, mungkin Tuhan masih peduli padaku, ada secercah harapan. Ketika Papa sibuk membuka bajunya, aku menguatkan diri dan mengerahkan seluruh kemampuanku untuk menggerakkan tubuhku beranjak dari tempat itu. Aku berlari turun dari tempat tidur, menuju pintu dan keluar dari kamar. Aku bergegas menuruni tangga hingga hampir tersandung dan berlari menuju pintu belakang yang terletak di dapur. Aku tahu, Papa pasti telah mengunci pintu depan.
Sampai di dapur, aku mencoba membuka pintu belakang namun ternyata terkunci. Lalu kudengar suara langkah kaki melaju cepat mendekati dapur. Aku semakin panik, sadar bahwa Papa akan segera sampai kesini. Aku menggeledah seluruh ruangan, mengobrak-abrik isi lemari, mencari sesuatu untuk mempertahankan diri. “Savaluna sayang, kembali pada Papa, nak. Papa tidak ingin menyakitimu, kemarilah.” Tepat ketika Papa melangkah masuk ke dalam dapur, aku menemukan pisau di dalam laci terakhir. Aku menariknya keluar dan menodongkannya pada Papa. Kupikir dengan begini ia tidak akan berani mendekat dan membiarkan aku pergi. Tetapi aku salah, Papa malah menyerbu maju, wajahnya merah karena emosi. Aku ketakutan setengah mati dan hanya bisa menutup mata sambil memegang pisau dengan kedua tangan. Aku bertekad untuk melakukan apa saja demi menyelamatkan diriku. Aku tidak bisa lagi berpikir menggunakan otakku, yang kutahu adalah aku harus selamat, bagaimanapun caranya. Ketika Papa maju, aku pun ikut maju, sehingga pisau yang kupegang kuat-kuat di depanku sebagai perisai menancap pada perutnya. Aku tidak bisa mengontrol tubuhku, otakku lemah, dan emosi mengambil alih tubuhku. Aku menancapkan pisau itu berkali-kali kepadanya. Ketika aku sadar, lantai dapur telah penuh dengan darah segar. Aku terdiam, terengah-engah, dan menjerit ketika otakku mulai berjalan dan memproses pemandangan di depanku.
Seminggu setelah kejadian itu, aku mengira kehidupanku telah kembali seperti biasa. Papa telah dikuburkan dan seluruh keluarga berusaha menyembunyikan aib ini sebisa mungkin agar tidak menyebar ke telinga orang-orang. Mama juga tidak membawaku ke psikiater karena mengira aku baik-baik saja. Lagipula, ia lebih memilih teman-temannya daripada anaknya sendiri. Walaupun lebih banyak mengurung diri di kamar, aku sudah bisa menjalani aktifitas sehari-hari. Ternyata sekali lagi, aku terbukti salah. Ketika sedang kerja kelompok di rumah salah seorang sahabatku, aku melakukan suatu kesalahan besar yang kusesali seumur hidup.
Karena ada tugas kelompok, aku pergi ke rumah sahabatku untuk mengerjakannya. Anggota kelompokku adalah aku, Mia sahabatku, dan Rey pacarnya. Kami berteman sejak SD dan masih bersahabat hingga sekarang. Ketika Mia sedang mengambil buah-buahan dari dapurnya dan meninggalkan aku berdua saja dengan Rey, Rey tiba-tiba mengatakan sesuatu yang mengagetkan. Ternyata, selama ini Rey memendam perasaan sukanya padaku dan pacaran dengan Mia karena terpaksa. Tapi, sekarang ia mengakui semuanya dan sedikit memaksakan perasaannya padaku. Rey berkata, “Jadi, bagaimana perasaanmu padaku, Luna? Kalau kau juga merasakan perasaan yang sama denganku, aku akan memutuskan hubungan dengan Mia dan pacaran denganmu.” Aku takut, teringat kejadian dengan Papa yang waktu itu. Ketika Mia masuk dan membawa sekeranjang buah, mataku langsung tertuju pada pisau untuk mengupas buah. Aku menyambar pisau itu dan menodongkannya kepada Rey. Sebelum kehilangan akal sehat, aku masih ingat ekspresi Mia dan Rey yang kebingungan atas tingkah lakuku. Tapi, setelah itu kejadian yang sama terulang kembali. Rey maju untuk menenangkanku, tapi aku malah menusuknya dengan pisau yang kupegang. Mia pun menjerit dan menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Aku tercengang, dan melepaskan pisau terkutuk itu dari tanganku. Ya Tuhan, apa yang baru saja kulakukan?
Akhirnya, setelah memeriksakan diri ke dokter, aku divonis menderita trauma berat. Sehingga harus dirawat inap di rumah sakit. Pikiranku kosong dan aku jadi sering melamun. Terkadang ketika teringat dua kejadian itu, aku menjerit-jerit tidak karuan dan ketakutan setengah mati. Selama aku di rumah sakit pun tidak ada yang menjenguk, bahkan dari keluargaku sendiri. Sepertinya bagi mereka aku adalah monster yang berbahaya. Sahabatku pun satu persatu meninggalkanku, aku hanya tersenyum masam mengingat janji-janji mereka dahulu. Apanya yang sahabat selamanya? Tapi, itu mungkin karena aku memang monster. Aku telah membunuh dua orang dalam waktu satu minggu. Hal-hal seperti ini malah makin menekanku ke titik depresi.
Suatu hari, aku teringat pada kejadian malam itu, ketika Papa mencoba memperkosaku lalu berlanjut pada kejadian saat aku membunuh Rey. Kejadian itu ditampilkan seperti film yang diputar dihadapanku, kemanapun aku berpaling, potongan gambar yang sama akan muncul disana. Suara-suara yang aneh terdengar di telingaku, suara Papa yang dikuasai emosi, suara Rey yang mencoba menenangkanku, dan suara teriakan Mia. Aku menjerit ketakutan, kejadian mengerikan itu kembali menghantuiku. Belum lagi, ekspresi Mama dan keluargaku yang lain yang melihatku dengan tatapan jijik dan takut. Tidak ada rasa kasihan sama sekali, yang mereka tahu, aku adalah monster dan pembunuh. Aku mencoba menutup mata dan telingaku, berharap semuanya bisa hilang, namun percuma. Kejadian itu selalu membayangiku, bahkan mendatangiku dalam mimpi. Aku takut, sangat takut.
Mendengar jeritanku, para dokter dan perawat mendatangiku sesegera mungkin. Para perawat mencoba menenangkanku dengan memegangi tangan serta kakiku. Karena tidak berhasil, dokter memutuskan untuk memberiku obat penenang. Ketika aku melihat jarum suntik, ketakutan semakin mencekam diriku. Aku meronta-ronta dan melepaskan diri dari tangan-tangan perawat serta dokter. Ketika lepas, aku berlari keluar rumah sakit menuju ke jalan raya. Aku tidak melihat ada truk yang melintas dan tertabrak. Ketika bangun, aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku diberitahu bahwa akibat kecelakaan itu, mataku terkena pecahan kaca depan truk sehingga aku kehilangan pengelihatanku. Anehnya, ketika mendengar berita itu, aku tidak merasakan apa-apa. Mungkin karena memang perasaanku sudah mati. Aku hanya bisa menerima keadaan dan menyambut kegelapan itu dengan hangat. Mungkin memang inilah yang diinginkan oleh semua orang. Dengan menjadi buta, semua orang tidak perlu kuatir aku akan melakukan sesuatu yang berbahaya ataupun mencelakakan seseorang. Kini, semua orang bisa menghembuskan nafas lega. Aku hanya perlu berteman dengan kegelapan itu sendiri.
Setelah menjadi buta, keadaanku menjadi jauh lebih tenang dan terkendali. Bayangan masa lalu dan mimpi-mimpi mengerikan itu tidak lagi menghantuiku. Kemanapun aku melihat hanya ada kegelapan yang ternyata menyenangkan. Kondisiku berangsur-angsur membaik hingga akhirnya aku diperbolehkan pulang. Namun, keluargaku sendiri telah menolakku, tidak ada yang menginginkanku. Mereka rela membayar berapapun asalkan aku tetap tinggal di rumah sakit. Aku tidak merasa sedih, kesepian dan kegelapan telah menjadi teman baikku. Aku merasa tidak membutuhkan siapapun. Maka akhirnya aku pun tinggal di rumah sakit itu.
Beberapa minggu kemudian, ada seorang perawat cowok yang melakukan praktek di rumah sakit itu. Kudengar bahwa ia adalah seorang mahasiswa, masih muda dan hanya beberapa tahun di atasku, namanya adalah Daniel, namun biasa dipanggil Niel. Ia ditugaskan untuk mengurusku menggantikan perawat yang biasa karena ia pensiun. Awalnya aku merasa dia menyebalkan dan cerewet sekali. Ia terus mengajakku berbicara dan melakukan sesuatu. Bertanya tentang hal-hal yang tidak penting serta mengajakku keluar ke taman. Padahal, meskipun keluar pun aku tidak bisa melihat dan menikmati apa-apa. Jadi, aku berusaha untuk mengacuhkannya. Toh, lama kelamaan dia pun akan bosan dan meninggalkanku. Tetapi usahaku tidak berhasil, semakin hari, ia malah semakin cerewet. Hingga suatu hari, aku mencoba untuk mengusir dan membentaknya. Kukira dengan begitu ia akan terluka dan meninggalkanku. Ternyata dugaanku salah, ia tetap kembali keesokan harinya. Namun, ada sesuatu yang berubah, ia menjadi lebih diam. Sepertinya ia benar-benar mempertimbangkan kemarahan dan protesku kemarin dan berupaya untuk memperbaiki sikapnya. Aku tidak pernah tahu bahwa ada seseorang yang seperti ini. Padahal aku telah menyakiti hatinya dan bahkan mengusirnya. Tetapi, ia tidak membenciku, malah semakin memperhatikanku.
Sesekali ia mengajakku berbicara, keluar ke taman, dan menyapa beberapa pasien serta pengunjung rumah sakit. Karena kebaikan hatinya, dinding yang kubangun untuk menutup diriku perlahan-lahan runtuh. Aku mulai bisa berbicara dengannya, bahkan bercanda dengannya. Semakin hari semakin banyak hal yang kami lakukan, dan aku merasa telah menemukan hidupku kembali. Ia mengangkat diriku dari kegelapan dengan terang yang dibawanya. Ia bagaikan malaikat bagiku, sangat putih dan terang. Aku pun menjadi semakin akrab dengannya. Setiap hari, aku menunggu kedatangannya dan bangun lebih awal sehingga bisa lebih banyak melewatkan waktu bersamanya. Malam hari pun terasa panjang dan sepi. Padahal sebelumnya aku berkawan akrab dengan kesepian itu sendiri.
Suatu kali, aku mendengar perbincangan diantara para perawat perempuan lainnya. Sepertinya ia lumayan populer di kalangan perawat-perawat cewek. Aku jadi penasaran ingin melihat wajahnya. Lalu aku tidak sengaja mendengar bahwa hari ini ia berulang tahun. Aku jadi ingin memberinya surprise, selain itu tidak tahu kenapa telingaku gatal mendengar perawat-perawat itu bergosip. Maka, aku meminta perawat-perawat itu untuk membantuku menyiapkan surprise untuk Niel. Hari ini ia minta ijin untuk masuk terlambat karena harus mengurus beberapa hal. Jadi, aku masih punya banyak waktu untuk melakukan persiapan.
Ketika Niel datang, aku berpura-pura tidur di atas tempat tidur, dan para perawat tadi kusuruh datang tergopoh-gopoh setelah Niel datang. Seorang perawat masuk dan menutup seluruh tubuhku dengan kain putih dari ujung kaki hingga ke kepala. Lalu, perawat lainnya datang sambil tersedu-sedu. Niel datang dan menyingkap kain itu. Sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresinya, padahal aku penasaran sekali. Kurasakan tangannya membelai pipiku, sepertinya seorang perawat telah memberitahunya kabar buruk itu, bahwa aku telah meninggal dunia. Tiba-tiba, kurasakan sesuatu menitik di pipiku, sesuatu yang basah dan hangat. Aku ingat pernah merasakannya, dan sudah lama aku tidak merasakannya. Ya, itu adalah air mata. Aku hampir membuka mulut untuk mengatakan sesuatu ketika kudengar suara Niel, “Hime”. “Hime” adalah nama panggilanku yang berarti “Tuan Putri” dalam bahasa Jepang. “Kau tahu, kaulah satu-satunya orang yang paling kusayangi di dunia ini. Awalnya mungkin kau sangat dingin, dan sepertinya susah untuk didekati. Saat kau mengacuhkanku mentah-mentah, aku merasa kau menyebalkan. Sikapmu itu seperti putri es yang terlalu lama dikurung di menara. Kau pasti tidak tahu kan? Betapa seringnya aku mengejekmu, kau tidak bisa melihatku melakukannya. Setiap kali kau mendiamkanku, melontarkan kata-kata pedas, bahkan membentakku, aku selalu menggertakkan gigi. Namun, karena ini bagian dari tugas akhir yang harus kujalani, maka aku terpaksa menjalaninya. Ketika kau membentak dan mengusirku waktu itu, aku menyadari suatu hal. Aku sadar bahwa aku selalu memperhatikanmu, dan kamu telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Ketika kau membentakku, aku merasa sangat terluka, hatiku rasanya seperti terbakar lalu pecah berkeping-keping. Seiring dengan waktu-waktu yang kita lewati bersama, lambat laun aku menyadari satu hal. Mungkin memang aku sudah terlambat, sangat terlambat. Namun aku akan tetap mengatakannya untuk terakhir kali walau kini kau tak lagi bisa mendengarku, yaitu bahwa aku mencintaimu.” Bersamaan dengan itu, suaranya terdengar bergetar, dan setetes air mata kembali menitik di pipiku. Pikiranku masih sibuk mencerna kata-katanya ketika kurasakan sesuatu menindih tubuhku. Ternyata ia memelukku. Tanpa sadar, aku melingkarkan tanganku ke punggungnya dan balas memeluknya. Hanya satu kata yang keluar dari mulutku, “Maaf”. Niel kaget, tapi tidak melepaskan pelukannya padaku, bahkan mempererat pelukannya. Sepertinya, kami baru menyadari perasaan kami masing-masing yang sama.
Setelah surprise itu, hari-hariku menjadi semakin menyenangkan, dengan Niel yang ada di sisiku. Tetapi, ketika keadaan menjadi lebih baik, selalu ada badai yang datang. Seorang dari masa lalu datang dan membalaskan dendamnya. Mia, sahabatku sekaligus pacar Rey datang ke rumah sakit dan terkejut melihatku. Meskipun aku tidak bisa melihat, aku masih ingat suaranya, sejelas aku mengingat kejadian waktu itu. Aku merasakan suatu firasat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku mundur ke belakang Niel, dan memeluk lengannya. Aku takut. Lalu, yang bisa kudengar adalah Mia membentakku, dan menyalahkanku sepenuhnya atas kematian Rey. Niel berusaha menenangkan Mia dan melindungiku dari amukan Mia. Tapi, kemarahan Mia semakin menjadi-jadi. Ia mengambil sebilah pisau lipat dari saku jaketnya dan menodongkan pisau itu. Kudengar suara Niel yang terkejut, “Mia, hei Mia, kumohon dengarkan aku dulu. Kita bisa menyelesaikan ini dengan baik, tolong turunkan pisau itu lalu kita bicara”. Aku tersentak, Mia membawa pisau? Lalu, kudengar lagi suara isakan Mia, “Kau tidak mengerti! Ia membunuh Rey!! Ia menghancurkan hidupku dengan mengambil orang yang paling kusayangi!! Ia harus merasakan penderitaan yang sama!” Bersamaan dengan itu, ia maju untuk menusuk Niel, aku merasakan dorongan untuk maju dan bermaksud melindungi Niel. Tapi, Niel menarik tubuhku dan memutar tubuhnya, mendekapku erat dalam pelukannya. Sehingga punggungnya menghadap Mia dan ia pun tertusuk. Mia terkejut dan langsung kabur setelah menjatuhkan pisau lipat yang berlumuran darah. Aku panik, kurasakan pelukan Niel mengendur dan tubuhnya jatuh. Aku berteriak-teriak minta tolong. Tidak, jangan Niel. Kumohon Tuhan, jangan ambil Niel dariku.
Setelahnya, kondisi Niel makin kritis. Kurasa ini akibat dari kesalahan dan dosaku di masa lalu. Seharusnya akulah yang menderita, bukan dirinya. Ini tidak adil, sungguh tidak adil. Akhirnya, nyawa Niel pun tidak bisa diselamatkan, karena pisau itu merobek paru-parunya. Niel pun meninggal, namun ia masih sempat memberiku hadiah perpisahan. Kornea matanya diberikan kepadaku agar aku bisa melihat. Namun, apa artinya bisa melihat tanpa bisa melihat orang yang kita sayangi? Dia terbunuh karena melindungiku. Dan kini kornea matanya berdiam di dalamku. Untuk pertama kalinya, kuteteskan air mataku.
I love you, Niel
TAMAT
Share This Thread