Pada tengah malam, di suatu rumah sederhana, seorang pemuda terbangun dengan tiba-tiba. Peluh membasahi sekujur tubuhnya, dan nafasnya terengah-engah. Beberapa saat lamanya, pemuda itu berusaha untuk menenangkan diri.
Lagi-lagi mimpi yang sama... Apakah itu hanya mimpi belaka ? Ataukah...
Lalu sekilas, ia melirik ke sebuah meja kecil yang terletak di samping tempat tidurnya. Sinar rembulan menembus jendela, dan menerangi sebuah pigura kecil, yang terletak di atas meja kecil tersebut. Pada pigura itu, terdapat foto Sang pemuda, bersama dengan seorang gadis belia, di sebuah kamar.
Rina... apa kamu sedang tidur saat ini ? Andai saja kakak dapat menemanimu...
Pemuda itu menghela nafas. Ia lalu membaringkan tubuhnya, memejamkan mata, berusaha untuk kembali tidur.
Keesokan paginya, ketika sedang berjalan menuju sekolah, pemuda itu berhenti sejenak di depan sebuah toko. Pintu depan toko tersebut dihiasi dengan lingkaran daun dan lonceng, sementara dari dalam toko terdengar lagu ‘Jingle Bells’.
Benar juga ya, sebentar lagi Hari Natal.
Ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa lembar uang. Ia-pun tersenyum, lalu segera berlari masuk ke dalam toko tersebut. Tak lama kemudian, ia keluar sambil membawa sebuah kotak yang telah dibungkus dengan pita berwarna merah.
Yah, semoga saja Rina senang dengan hadiah ini.
Dan, sambil bersenandung gembira, pemuda tersebut melanjutkan langkahnya.
Sepulang sekolah, pemuda itu segera menuju rumah sakit, yang terletak tak jauh dari sekolahnya. Pemuda tersebut masuk ke sebuah kamar perawatan, dimana terdapat empat buah ranjang. Lalu ia menuju ke sebuah ranjang yang terletak di ujung kamar, dimana terbaring seorang gadis belia dengan wajah pucat.
“Rina, bagaimana kondisimu ?”
Ketika melihat pemuda tersebut, Sang gadis-pun berusaha tersenyum.
“Kak Rico ! Rupanya kakak sudah datang.”
Rico duduk di samping ranjang, lalu mengelus rambut adiknya itu.
“Apa sakitnya masih sering kambuh ? Dadamu masih terasa sakit ?”
Dengan suara lemah, Rina menjawab, “Sudah mendingan sih. Kata dokter, Rina musti sering istirahat, agar sakitnya nggak kambuh lagi.”
“Baguslah.”, lalu Rico-pun mengeluarkan hadiahnya, “Lihat, ada hadiah untukmu.”
“Hadiah ? Untuk apa ? Ulang tahun Rina kan masih lama.”
“Coba dibuka aja.”
Wajah Rina masih tampak bingung, ketika ia membuka hadiah dari Rico. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah jam meja berbentuk sinterklas.
“Kakak, ini.. apa maksudnya ?”
“Sebentar lagi Natal, jadi kupikir...”
Kata-kata Rico terputus ketika Rina menatapnya dengan tajam.
“Maksud Rina, kenapa kakak membelikan Rina sebuah jam ?! Rina ngerti, waktu hidup Rina udah nggak lama lagi. Tapi apa harus diingatkan dengan sebuah jam ?!”
“Ri.. Rina, bukan itu maksud...”
“Kakak keterlaluan !”
Usai berkata demikian, Rina membanting jam tersebut ke lantai. Dan pada saat bersamaan, tiba-tiba wajah Rina kembali memucat, nafasnya tersenggal-senggal, peluh mulai membasahi seluruh wajahnya, dan ia terjatuh.
“Rina, bertahanlah !”, lalu sambil membantu Rina kembali berbaring ke ranjangnya, Rico-pun menjerit memanggil dokter.
Setelah menunggu cukup lama di lorong rumah sakit, akhirnya dokter keluar dari kamar. Rico segera menghampirinya.
“Dokter, bagaimana keadaan Rina ?”
“Untung kami masih sempat menolongnya. Tapi kalau sakitnya muncul lagi...”, Sang dokter-pun menghela nafas. Lalu ia menatap tajam ke arah Rico.
“Tuan Rico, seharusnya Anda tahu kondisi jantung adik Anda ! Mengapa Anda malah membuat adik Anda menjadi emosi ?!”
Sambil menunduk, Rico-pun berkata, “Ma.. maaf, aku tak bermaksud begitu. Aku janji, takkan mengulanginya lagi, dokter.”
“Baiklah. Ingat, kita harus berhati-hati. Kondisi jantung gadis itu sangat rapuh.”
Lalu Sang dokter berjalan pergi. Rico masih terdiam di tempatnya berdiri.
Dasar bodoh ! Kenapa aku bisa begini bodoh ?! Aku hanya ingin memberi hadiah, tanpa mengerti perasaan Rina... Aku benar-benar bodoh !
Sekilas Rico teringat akan kata-kata Rina, ‘Rina mengerti, waktu hidup Rina udah nggak lama lagi !’
Apa aku benar-benar nggak bisa melakukan sesuatu ? Apa Rina.. pasti akan mati ?!
Dengan penuh kekesalan, Rico meninju dinding.
Rina, kalau saja aku bisa menggantikanmu...
Tiba-tiba Rico tertegun. Lalu ia seakan-akan mengulang kata-kata yang baru saja dipikirkannya itu, “Menggantikanmu... benar juga !”
Dan dengan penuh semangat baru, Rico-pun berlari pergi.
Dua minggu kemudian...
Sinar mentari memasuki kamar tersebut melalui jendela. Perlahan Rina membuka matanya. Ia lalu melihat ke sekelilingnya.
Aneh, rasanya Rina seperti habis bangun dari tidur panjang. Tubuh Rina rasanya segar.
Pada saat itu, pintu kamar terbuka.
Dengan gembira, Rina menengok sambil berkata, “Kak Rico...”
Tapi yang muncul dari balik pintu, ternyata seorang wanita paruh baya. Sambil tersenyum ramah, wanita itu-pun berjalan mendekat ke arah Rina.
“Bagaimana kondisi gadis kecil mama ?”
“Rina baik-baik aja kok.”
Melihat Rina yang setengah merajuk, Sang ibunda-pun merasa bingung.
“Ada apa, Rina ? Kok kelihatannya kamu nggak senang mama datang ?”
“Nggak kok, Rina senang. Cuma, sejak ngasih jam, Kak Rico nggak pernah dateng lagi sih ?”
Mendengar pertanyaan putrinya itu, ibunya terdiam.
Tiba-tiba salah seorang pasien yang dirawat di kamar itu, berkata, “Semuanya sudah selesai, kan ? Lebih baik kasih tahu yang sebenarnya pada Rina.”
Rina menengok ke arah pasien tersebut.
“Semuanya selesai ? Sebenarnya ? Apa maksud Anda, Bu ?”
Pasien tersebut tidak menjawab, sementara di pipi Sang ibunda, air mata mulai mengalir.
“Ma ? Ada apa ? Apa terjadi sesuatu.. pada Kak Rico ?”
Sambil berusaha menahan tangisnya, Sang ibunda-pun berkata, “Sebenarnya, minggu lalu, Rico mengalami kecelakaan. Ketika pulang sekolah, ia.. tertabrak mobil.”
“A.. APA ?! Te.. terus...”
Beliau tidak sanggup meneruskan kalimatnya, hanya menutup wajahnya. Tapi ia menyerahkan sebuah surat kepada Rina.
“Ini.. surat terakhirnya. Baca saja.”
Dengan tangan gemetar, Rina mulai membuka surat tersebut. Surat terakhir Rico itu memang ditujukan untuk dirinya.
Rina, kalau kamu membaca surat ini, mungkin kakak sudah tidak ada di dunia lagi. Kakak ingin minta maaf; Padahal selama ini kamu sangat menderita, tapi kakak tidak dapat berbuat apa-apa untukmu. Malah hadiah dari kakak membuat penyakitmu kambuh lagi. Kakak hanya ingin membelikan hadiah Natal, dan kakak ingat, kalau Rina selalu susah bangun pagi. Kakak benar-benar minta maaf.
Sebenarnya, selama ini kakak selalu mengalami mimpi buruk yang sama; Ketika kakak menyeberang, ada sebuah mobil menabrak kakak. Mungkin mimpi itu adalah suatu firasat. Awalnya kakak selalu ketakutan. Ya, kakak rasa wajar kalau manusia takut mati. Tapi tiba-tiba kakak teringat, di dalam kematian-pun, mungkin kakak masih bisa melakukan sesuatu untuk Rina. Maka sebagai persiapan, kakak meminta dokter untuk memeriksa, apakah kira-kira jantung kakak memiliki kecocokan dengan tubuh Rina. Syukurlah ternyata cocok. Jadi kalaupun kakak mengalami kecelakaan, kematian kakak akan bisa menolong Rina.
Akhir kata, mungkin kakak sudah tak bisa berada di samping Rina lagi. Tetapi yang ingin kakak katakan : Tetaplah hidup, Rina ! Jalani hidupmu, sebagai bagian dari hidupku juga. Selamat Natal, Rina. Semoga hadiah terakhir kakak benar-benar dapat menolong hidupmu.
“Hadiah.. terakhir ?”, surat itu terlepas dari pegangan Rina.
Sang pasien yang sejak tadi memperhatikan Rina, berkata, “Ya, hadiah terakhir dari kakakmu, yaitu jantung yang sehat untuk adik yang disayanginya.”
“Ja.. jadi, alasan dadaku tidak lagi terasa sakit...”
Sang ibunda segera memeluk Rina, sementara Rina menangis, dan terus menangis.
Walau masih harus menjalani perawatan rutin, tetapi Rina sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Dan tempat pertama yang dikunjungi Rina, adalah makam Rico. Ia membawa surat terakhir Rico, beserta jam hadiah Natal. Diletakkan kedua barang tersebut di depan batu nisan.
“Terima kasih, Kak. Berkat kakak, sekarang Rina bisa berjalan-jalan di luar seperti ini. Dan Rina juga ingin minta maaf, waktu terakhir kita bertemu, Rina marah-marah kepada kakak. Padahal kakak terus memikirkan kondisi Rina. Mulai sekarang, Rina akan tetap hidup, bukan hanya demi Rina, tapi juga demi kakak. Karena jantung kakak masih berdetak di dalam dada Rina. Terima kasih, Kak...”
Walau air matanya masih mengalir, tetapi Rina mulai bisa tersenyum.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yes, akhirnya beres jg cerpen yg w buat kilat utk event Natal, huhuhu... tp ceritanya sih biasa bgt... nggak ada yg istimewa ^^a Sorry2...
Share This Thread