Prunus Life
Author:
LunarCrusade
Copyright ©2012 - f395 IDGS Forum
Genre: Slice of Life, Tragedy, Moral
Udara hari ini cukup hangat, setidaknya lebih hangat dibanding kemarin. Cuaca yang seperti ini adalah kesukaanku.
Perlahan aku dapat merasakan sepoi-sepoi angin. Semilirnya memainkan rambut hitam panjang seorang gadis kecil, membuat helaian-helaian lembut di kepalanya seakan menari di udara. Tangan kecilnya pun bergerak lembut merapikan tepian rambutnya.
“Sakura… sakura… yayoi no sora ga…”
Lantunan melodi itu menandakan kehadiran seseorang. Duduk bersandar pada kusen jendela bercat putih, gadis kecil itu lanjut menyanyikan nada-nada dari lagu kesukaannya. Tak terkecuali diriku, yang juga suka sekali mendengarnya. Warna suaranya yang polos dan menggemaskan namun indah itu selalu membuat batinku tersenyum riang. Apakah kalian bisa dengar juga? Jika tidak sanggup, cobalah dibayangkan saja.
Suara yang indah untuk nama yang juga indah. Hana, itulah nama anak perempuan berumur 10 tahun itu. Biasanya kusebut dirinya dengan Hana-chan. Aku sudah mengenalnya sejak lama, bahkan semenjak dirinya masih berada dalam kandungan. Sudah lama kedua orang tuanya menunggu kelahiran seorang anak seperti dirinya, dan penantian mereka tidak sia-sia. Setelah 3 tahun menikah, lahirlah seorang gadis yang cantik, lucu, dan periang, yang selalu memberi warna keceriaan dalam rumah keluarganya.
Oh ya, Hana-chan juga punya satu kegemaran yang sudah ditekuninya sejak… Emm… berapa lama ya? Tiga tahun? Empat? Ah, pokoknya sekitar itulah. Ingatan tuaku ini tidak mampu mengingatnya dengan jelas. Hahaha… maaf, maaf. Aku memang kurang handal menjadi narator. Kuharap kalian bisa memaklumi. Ya sudah, kuteruskan saja.
Mungkin bisa kalian tebak, hobinya adalah menggambar. Uh-huh, memainkan alat gambarnya di atas selembar kertas untuk menghasilkan bentuk pemandangan yang dia lihat, atau yang dia bayangkan dalam alam imajinasi kanak-kanaknya.
Untuk ukuran anak seusia Hana-chan, gambar demi gambar yang dihasilkannya jauh di atas rata-rata. Kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya sering memuji hasil karyanya, bahkan aku yang tidak begitu paham soal seni pun dapat melihatnya demikian. Kalau aku sih… sudah jelas tidak mampu menggambar seperti dirinya. Maklum, sudah tua.
Bagaimana dengan kalian? Apa kalian juga bisa mengambar? Tidak? Ya sudah, mungkin keahlian kalian ada di bidang yang lain. Itu tidak masalah. Aku sendiri lebih berbakat dalam menarik mata orang banyak, namun bukan dengan cara yang sama seperti Hana-chan.
Dan kalau kulihat-lihat, kedua orang tuanya tidak menentang apa yang ditekuni oleh anak mereka tersebut. Baguslah, aku lega melihatnya. Bukan apa-apa, masalahnya aku sering mendengar keluarga-keluarga yang sering ribut hanya karena orang tua tidak merestui apa jalan hidup yang disukai anaknya. Aku tidak mau melihat wajah ceria Hana-chan sirna hanya karena tekanan orang tua.
Kadang hitam putih, kadang berwarna. Yang kulihat sih, dia selalu menggambar entah dengan pensil atau pensil warna. Belum pernah dia menggunakan media gambar lainnya. Tapi tidak apa-apa. Mungkin karena dirinya yang masih kecil, dia belum berani menggunakan media pewarnaan lainnya.
“Hari ini aku mau menggambar lagi ah…”
Begitulah yang dikatakannya sebelum mengambil selembar kertas kosong dan sebatang pensil. Langkahnya selalu pelan dan tidak terburu-buru. Begitu kembali, Hana-chan perlahan menggeser kursi kayunya lebih dekat ke jendela. Kertas itupun ditaruhnya pada bagian bawah kusen yang seingatku, sejak 1 tahun lalu dibuat lebih lebar agar dia dapat menggambar di situ.
Sambil bersenandung lagu Sakura Sakura, dia mulai menggerakkan tangannya, menari lincah di atas kertas. Kutunggu sekitar 20 menit untuk tahu apa yang digambarnya, meski tidak detail.
Ah… gambar itu lagi.
“Pemandangannya indah juga hari ini.”, mata kehitamannya menatap ke arah jalan dan bangunan di seberang jendela, diwarnai senyum kecil dari bibir pucatnya.
Aku hanya bisa setengah setuju dengan pendapatnya. Oke, sekarang memang bulan April, dan kota ini sedang diwarnai oleh sakura-sakura yang bermekaran. Begitu semarak, memuaskan mata yang lelah. Kota kecil ini seakan merona dalam cerahnya warna merah jambu.
Tapi… kenapa? Kenapa Hana-chan terus mengatakan pemandangan ini indah nyaris setiap harinya sejak 1 tahun lalu?
Apa dia tidak merasa jenuh mengamati panorama yang hanya sedikit berganti tiap harinya dari jendela kecil itu?
Apa dia tidak merasa bosan melihat kaki-kaki karet berbadan besi yang berlalu lalang?
Apa dia tidak merasa lelah memandang barisan kotak beton, yang sejak hari kelahirannya tidak berubah bentuk sama sekali? Oh, maaf, ada papan reklame yang berubah agak jauh di sana.
Kalau kalian pastilah sudah muak, dan lebih senang berjalan-jalan bersama orang tua, teman, kekasih, ataupun pasangan hidup kalian. Itu hal yang wajar.
“Seandainya saja… semua ini bisa kulihat lebih lama.”, gumamnya, lalu beberapa kali mengambil nafas, begitu pelan.
Tak menghiraukan sekitar, tangan kanannya perlahan kembali menggerakkan pensil. Garis-garis di kertas itupun menjadi makin jelas.
Ya, dia menggambar pemandangan kota yang hanya dapat dilihatnya dari jendela dengan lebar 1 meter dan tinggi 2 meter. Kanvas hidupnya selama 1 tahun terakhir hanya sebesar itu, dan hanya itulah yang dituangkan ke dalam kertas di depannya. Memang sesekali dia menggambar dari jendela yang lain, namun yang terbanyak adalah dari jendela yang ini. Entah sudah berapa banyak panorama serupa yang dia gambar dari tempat favoritnya itu, selesai ataupun tidak.
“Wah, akhirnya sedikit lagi. Kali ini berbeda dengan yang kugambar musim dingin lalu yang banyak putihnya. Tidak salah aku memutuskan untuk menggambar kali ini. Ahaha… senangnya…”, dia berusaha tersenyum lebar, menghibur diri. Genggamannya pada pensil mulai goyah, dan dengan sekuat tenaga dia berusaha agar pensilnya tidak jatuh.
Senang? Senang, katanya? Astaga. Aku tidak paham jalan pikirannya.
Terus berada dalam rumah dan tidak bisa melihat jauh ke luar sana, dia tetap merasa senang? Ah, aku tidak mengerti. Kalian mengerti maksudku kan? Jika aku menjadi dirinya, mungkin aku lebih memilih untuk jalan-jalan, keliling dunia kalau bisa. Lebih banyak lagi yang bisa digambar di luar sana, menurutku.
“Setidaknya… aku ingin menyelesaikan sesuatu. Ugh, sedikit lagi… Semoga yang ini sempat.”, gerakan tangannya mulai melemah.
“K-Kumohon…”, air mata mulai mengalir. “…kumohon tanganku, bergeraklah… Aku ingin yang ini selesai… selagi masih bisa. A-Aku mau… bukan hanya
otou-san dan
okaa-san yang melihat. Aku mau orang lain juga…”, tangan kirinya, agak gemetar, menghapus jejak air mata.
Tunggu tunggu tunggu. Sedikit lagi. Gambarnya sedikit lagi selesai. Hei, kalian jangan memotong dulu!! Aku tahu kalian tidak sabar untuk tahu apa yang terjadi, tapi tolong, sabarlah!! Biarkan aku melihat Hana-chan menuntaskan gambar yang dibuatnya…!!
Sedikit goresan dan…
“A-A-Akhirnya…”, dia makin gemetar, berurai air mata. Senyuman puas terbentuk di sudut-sudut bibirnya.
…selesai.
Uh? Kalian tidak bisa membayangkan gambarnya? Begini. Cobalah kalian membayangkan deretan rumah dengan jalan yang tidak begitu lebar melintang dari kanan ke kiri. Kondisi jalan yang amat sangat biasa, dengan sebuah mobil biru dan motor hitam yang sedang lewat. Ada juga beberapa pejalan kaki. Dua anak sekolah ---sepertinya pacaran--- ada di sisi trotoar seberang. Lebih dekat ke sini, itulah halaman rumah Hana-chan. Di trotoar sisi sebelah sini, ada seorang pria, mungkin 30-an, yang berjalan sambil lalu begitu saja. Belum gelap, mungkin sekitar jam 4. Langitnya juga cerah.
Dan jangan lupa, kelopak-kelopak sakura yang menari indah di udara. Halaman beberapa rumah dan juga tepi jalan besar beberapa belas meter dari sini memang ditanami pohon-pohon sakura.
“S-Sepertinya, masih ada yang k-kurang…”
Dengan susah payah dia meraih kembali pensilnya, lalu sekuat tenaga menulis sesuatu di balik gambarnya. Entah apa itu, tidak terlihat dengan baik dari sini. Tangannya yang terus gemetaran itu juga membuat huruf-hurufnya tidak terlalu jelas.
Selesai menulis, tangisannya makin menjadi. Sayang sekali, aku tidak dapat memeluk Hana-chan untuk menenangkannya.
“T-Terima kasih banyak u-untuk segalanya…”
Diapun menarik nafas panjang, air matanya perlahan terhenti. Ditaruhnya pensil dan penghapus karetnya di atas kertas.
“Mmm…”, tangannya menggosok-gosok mata. “A-Aku ngantuk… mungkin aku perlu tidur sebentar.”
Ah, dia tertidur. Yang bisa kulakukan hanyalah mengantar lelapnya dengan kelopak-kelopak yang dibawa hembusan angin musim semi…
Sebenarnya aku masih heran, apa yang membuatnya begitu memaksakan diri? Oh, mungkin gambar itu menyimpan jawabannya.
Kucoba mengamati lebih baik lagi kertas terbalik itu, yang ditahan oleh sebuah penghapus karet dan pensil agar tidak terbang jauh. Tulisan itu… hmm… Ah, itu rupanya. Sekarang aku mengerti.
Hana-chan tidak pernah terbangun lagi. Itulah gambar terakhir yang dibuatnya, yaitu apa yang dilihat dari jendela kecil di kamarnya.
*
Maafkan keteledoranku karena tidak memberitahu lebih awal. Sudah kukatakan sebelumnya, aku memang kurang handal menjadi narator, karena ingatanku yang mulai berantakan. Sebagai permintaan maaf, akan kuingat-ingat lagi semuanya dengan baik. Aku janji.
Baiklah, akan kumulai.
Pernah dengar penyakit yang bernama
ataxia? Penyakit yang hingga sekarang belum bisa disembuhkan, membuat penderitanya perlahan kehilangan kendali atas seluruh tubuhnya. Terus… terus… terus… hingga berujung pada kematian. Parahnya lagi, kematian bisa datang mendadak jika kondisinya sudah tergolong parah. Apa penyebabnya? Lebih baik kalian bertanya pada ahlinya. Aku sendiri tidak paham sebagian besar penjelasan ketika mendengar mengenai penyakit itu. Yang kuingat, kedua orang tuanya menangis semalam-malaman di kamar sebelah begitu kembali ke rumah, setelah memeriksakan kondisi Hana-chan di rumah sakit.
Gejalanya muncul perlahan setahun yang lalu, dan beranjak parah seiring waktu. Awalnya Hana-chan hanya mendadak jatuh atau melepaskan genggamannya pada benda-benda. Tidak ada demam, bersin, batuk, dan tanda-tanda lain. Hanya gemetar dan terus gemetar, itulah yang sangat jelas nampak dari gerakan tangan maupun kakinya.
Tapi… satu hal yang membuatku kagum akan gadis kecil itu.
Menyerah? Tidak. Hana-chan tidak menyerah, bahkan menolak keras jika harus dirawat inap di rumah sakit.
Ketika kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk sekolah, dia hanya terus menerus berada di kamar. Berjalan? Tidak mungkin dilakukannya lebih dari 3 meter, atau dia pasti jatuh. Rute perjalanannya sepanjang hari hanyalah ranjang, lemari, laci, dan jendela itu. Meski demikian, dia tidak berhenti menggambar walau sering tidak selesai 100 persen… namun tetap saja hasilnya bagus. Jika Hana-chan ingin menggambar di kamar lain, biasanya ayahnya akan menggendongnya ke tempat yang dia inginkan.
Melihatnya yang seperti itu, terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang menyebabkannya begitu kuat? Kalau aku, lebih baik aku minta disuntik mati, lalu terlelap selamanya dengan tenang. Maaf kalau di antara kalian tidak setuju, tapi itulah pendapatku.
Yah, mungkin karena ingatanku yang cukup rapuh, kadang aku lupa jika gadis kecil itu menyimpan *** waktu di dalam tubuhnya. Bagaimana tidak? Dia selalu tersenyum ceria ketika memandang keluar jendela. Dia terus menghargai setiap detik sisa hidupnya, meski hanya dari kanvas kecil bertepian kayu berukuran 1 x 2 meter. Apalagi suaranya, seperti yang sudah kalian dengar tadi, bagiku sangatlah indah. Semua itu seakan membawa ketakutanku akan penyakitnya hilang dibawa semilir angin.
Namun… begitu kubaca tulisan setengah acak-acakannya di balik gambar tersebut, aku mengerti betul apa yang menjadi kekuatannya. Sederhana saja, yaitu sesuatu yang menurutku sudah sering dilupakan orang banyak.
Mimpi.
Ya, mimpi. Di balik gambar pemandangan kompleks perumahan pada musim semi itu, tertulis kalimat yang menjadi mimpinya. Hanya itu yang menjadi motivasinya untuk terus menggambar di sisa-sisa hidupnya. Apakah kalian juga masih memiliki hal itu? Kuharap masih.
Realita? Dia tidak peduli. Dia tahu betul kalau dirinya bisa mati kapanpun, sejak divonis menderita penyakit tersebut setahun yang lalu. Yang dia tahu, dengan pemikiran kanak-kanaknya, dia ingin melakukan apa yang dia suka dan inginkan. Itu, dan hanya itu. Dia ingin mewujudkannya sepenuh hati.
Ah sudahlah, lupakan ocehan makhluk tua sepertiku. Bagaimanapun juga, aku hanyalah sebatang pohon sakura yang puluhan tahun tertanam di dekat jendela rumah ini, di dekat jendela kesukaan Hana-chan. Dia sudah tidak ada, dan kemungkinan besar orang tuanya akan pindah dan meninggalkan rumah ini untuk melupakan kenangan buruk tentangnya.
Doakan saja supaya aku masih bisa mekar musim semi tahun depan, masih bisa memamerkan keindahanku pada orang-orang.
*
Uh… di mana ini? Terang, banyak lampu. Banyak juga orang di sini. Ruangan? Sepertinya iya, lumayan besar pula.
Hah? Tubuhku kenapa jadi ramping dan kurus begini?
Orang-orang silih berganti melihat benda-benda yang digantung pada tembok. Itu… gambar? Uh-huh, ternyata benar, gambar. Dibingkai dengan indah. Lho? Aku jadi bingkai juga rupanya. Hahaha… benar juga, aku baru ingat. Ternyata setelah musim semi berakhir, aku ditebang karena rumahku terjual, lalu tubuhku dikirim ke pengrajin bingkai. Berapa tahun berlalu ya setelah itu? Lima? Enam? Tujuh? Ya, sekitar itulah.
Kembali aku mengamati ruangan besar ini. Tepat di sebelahku aku dapat melihat…
Ah, kalau aku punya air mata, mungkin aku sudah menangis.
Itu gambar yang dibuat Hana-chan. Gambar yang indah, dan nampak dirawat dengan baik. Ternyata orang tuanya tidak melupakan begitu saja.
Uh, sayang sekali, aku tidak membingkai gambar yang itu. Padahal gambar itulah yang paling sering dilihat orang banyak, terkadang sampai mengucurkan air mata. Huhuhu… aku jadi iri.
Tunggu.
Kalau kulihat lebih teliti lagi, mereka mulai menangis bukan ketika melihat gambar itu, tapi… aku.
Kuamati kertas yang kubingkai. Goresan-goresan huruf… yang sangat kukenal.
Manusia sudah menemukan
scanner sejak lama, dan kemungkinan besar bagian belakang gambar itu di-
scan lalu dicetak ulang, barulah dibingkai olehku.
Hahaha… Hana-chan, Hana-chan. Akhirnya keinginanmu terpenuhi juga. Aku bangga bisa membingkai mimpimu, anganmu, cita-citamu. Yah, tidak buruk juga meski aku tidak bisa berbunga lagi.
Di bawah diriku dan bingkai untuk gambar asli di sebelahku, ada sebuah plat logam tipis keemasan bertuliskan tinta hitam. Itu adalah judul gambar ini, yang diambil dari penggalan kalimat ‘mimpi’ milik Hana-chan.
Watashi no Inochi.
Itulah judulnya. Hei, kalian tidak bisa bahasa Jepang? Itu artinya: Hidupku. Yap, perjalanan seorang gadis yang hanya sampai 10 tahun, namun mampu mewujudkan mimpi melalui hidup yang dilihatnya melalui kanvas berukuran 1 x 2 meter, jendela kecilnya.
Oh ya, kalian ingin tahu apa kalimat yang ditulisnya?
“Otou-san
, okaa-san
, aku ingin sekali gambar terakhirku ini berada di dalam pameran seni. Karena… inilah hidupku.”
THE END
Share This Thread