Halo. Aku mau iseng-iseng nulis, sorry kalo jelek <.> butuh feedbacknya juga ya

Chapter 1

Namaku Cup. Aku merasa namaku sangatlah jelek, sungguh jelek. Selain namaku jelek, diriku juga jelek. Muka jelek dan tubuh buruk rupa. Aku selalu merasa diriku cacat. Sebelumnya aku senang sekali memiliki bulu yang sangat indah, sempurna, lebih indah dari yang lain. Aku menyombongkannya ke teman-temanku, namun sekarang telah dipotong oleh manusia yang serakah itu, habislah harga diriku. Aku sangat benci manusia.

Aku menunggu buluku tumbuh, dan perlahan-lahan tumbuh kembali. Aku senang, namun kembali dipotong. Malu, aku memutuskan untuk meninggalkan peternakan ini, meninggalkan manusia serakah, orang tua yang tidak bersyukur, dan mereka yang mentertawakan dan mencemoohku. Setidaknya buluku akan aman diluar.

Aku menunggu malam tiba dan berusaha keluar. Aku mengintip, suasana aman dan aku keluar dari bangunan yang penuh berisi jerami dan domba yang melantunkan suara krok yang mengganggu telingaku. Aku melihat suasana sangat lengang, manusia serakah itu nampaknya bodoh. Baru aku berpikir seperti itu, tiba-tiba langkahku terhenti oleh duri-duri. Aku tidak tahu namanya, tetapi benda panjang tajam dengan bel ini menghalangi perjalananku menuju utopia. Semangat yang menggebu runtuh menjadi harapan yang hancur.

Besoknya, manusia serakah itu membawa kelompokku keluar. Pada saat itu, aku melihat setitik harapan untuk membebaskan diri dari penjara keserakahan. Aku pergi meninggalkan kelompokku. Setelah merasa telah auh dan aman, semangat dan keoptimisan kembali runtuh menjadi kehijauan. Aku tidak tahu tujuanku. Aku tidak tahu batu aneh apa yang ada di depanku. Aku tidak tahu apa-apa. Tapi aku tahu ketika ibu menceritakanku mengenai dunia ini, penuh tempat ajaib, makhluk unik dan indah. Dunia yang penuh dengan sihir dan magis. Ia bercerita mengenai sebuah tanah terjanji, rumput nan hijau, tidak ada raksasa berbulu bergigi tajam seperti yang ibu ceritakan, sungai nan jernih indah biruoi, cuaca musim semi yang amat indah. Aku memutuskan untuk pergi menuju kesana.

Dengan susah payah aku berusaha berjalan. Jantung dalam tubuhku sudah berteriak menjadi lebih cepat, sementara kakiku berteriak minta berhentu. Otak dalam diriku memang serakah seperti manusia itu, mengapa tidak diseimbangkan saja antara keduanya. Entah apa yang kulewati, tiba-tiba aku melihat dari kejauhan raksasa besar berbulu bertaring besar menyerang kelompokku. Kawanan raksasa besar berbulu itu membunuh manusia serakah yang berusaha melindunginya, memakan ayah ibuku dan lainnya. Air mengalir, namun aku berusaha tak peduli, karena mereka jahat. Tapi aku sedikit berpikir bahwa manusia itu tidak serakah karena mau mati demi kawananku. Aku mengacuhkannya, dan ketika berbalik aku melihat seekor raksasa berbulu. Mulutku tertegap, kakiku membeku, namun neuron dalam otaku mengkomandokannya untuk berlari kencang, dan dilakukanlah perintah itu. Aku berlari sekencang mungkin, sementara di belakangku si bulu mengejar. Aku merasakan perubahan relief, semakin menanjak. Lalu tiba-tiba aku terpeleset dan terhempas jauh ke dalam udara. Tapi syukurlah makhluk berbulu itu tidak dapat mengejarku lagi.

Aku terbang, impianku yang sudah lama aku impikan, namun tanpa adanya sayap yang menyeimbangkan, sehingga gravitasi memaksaku turun, turun dan turun. Aku terus turun hingga aku terpelanting ke akar-akaran dan sebelum kesadaranku hilang.