Results 1 to 12 of 12
http://idgs.in/483840
  1. #1
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default Queen of Mara - A Fanfic of an old MMORPG, Tantra

    Huiks, FanFic di sini banyakan DotA ya ? Yah, sy ramein dgn FanFic dr game yg saya sempat main duluuuu buanget ^^a Judulnya Queen of Mara. Bagi yg sempat main Tantra, selamat menikmati ^^ Bagi yg nggak main Tantra, mungkin agak kesulitan utk mengenali suku2 yg ada di sana sih, fufufu... tetapi ttp selamat menikmati jg ^^

    ---------------------------------------------------------------------------------------------------------

    1. Sebuah Penglihatan
    Dan dari langit terlihatlah, seekor naga berwarna hitam pekat, terbang menuju bumi.
    Dari dalam mulutnya keluarlah api yang menyala-nyala, yang akan menghanguskan semua manusia yang tinggal di muka bumi.
    Akan tetapi lihatlah, ada seorang gadis belia berdiri di depan gerbang Shambala.
    Pada tangan kirinya terdapat sebuah perisai berwarna merah darah, sementara tangan kanannya memegang tongkat simbol pimpinan 8 Raja.
    Ia mengangkat perisainya, dan menahan serangan api Sang Naga Hitam. Sebelum Sang Naga Hitam kembali menyerangnya, ia mengangkat tongkat yang dipegangnya, mengucapkan Mantra, dan tiba-tiba muncul kegelapan di sekitar Sang Naga Hitam. Kegelapan itu menelan Sang Naga.
    Melihat perbuatan ajaib itu, seluruh umat manusia bersorak gembira.
    Tetapi... mengapa gadis penyelamat umat manusia itu terlihat sedih ?

    Kegelapan menyelimuti seluruh daerah. Seorang gadis belia berdiri di tengah-tengah kegelapan itu, memandang sekelilingnya dengan pandangan dingin; Tidak terlihat rasa takut sedikit-pun di matanya.
    Dari dalam kegelapan, tiba-tiba terdengar sebuah suara, “Akhirnya aku menemukanmu, putriku.”
    Gadis belia itu menengok ke atas, lalu bertanya, “Putrimu ? Aku ? Siapa kamu ?”
    “Aku adalah Mara, Sang penguasa kegelapan. Tujuh Yogi harus kujalani dalam siksaan, hingga akhirnya tiba pula hari yang kutunggu-tunggu; Hari dimana aku bisa melihat putriku.”
    Gadis belia itu terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, “Bagaimana mungkin aku putrimu ? Aku tahu dengan jelas, siapa orang tuaku yang sebenarnya. Tak mungkin aku putrimu !”
    Terdengar tawa menggelegar dari dalam kegelapan.
    “Bagus, bagus, kamu menentang pendapatku. Aku sangat menyukai keberanianmu, putriku. Tidak apa-apa, kamu pasti akan segera tahu kebenarannya.”
    Suara tawa menggelegar itu kembali terdengar, tetapi semakin menjauh.
    “He.. hey, tunggu ! Jelaskan lagi apa maksudmu !”
    Sementara sebuah suara samar-samar terdengar memanggil-manggil dirinya, “Arwani... Arwani, bangun !”
    “Unhh...”, perlahan-lahan gadis itu membuka matanya. Yang pertama-tama terlihat di hadapannya adalah wajah ibunya, yang sedang memandangnya dengan khawatir. Dan ketika melihat ke arah sekelilingnya, ternyata ia terbaring di antara bebatuan karang.
    “Aduh kamu ini, kenapa bisa tidur di tempat seperti ini ? Kamu membuatku cemas !”
    “Ma.. maafkan aku, ibu. Tadi ketika jalan-jalan, tiba-tiba saja sekelilingku menjadi gelap. Kayak-nya aku pingsan ya ?”
    Ibunya hanya memukul lembut kepala putrinya itu sambil menggeleng, lalu berjalan menuju rumah. Arwani mengikutinya, tetapi sekilas ia melihat ke arah langit.
    “Tadi itu mimpi ya ? Langit terang seperti ini, rasanya tidak mungkin menjadi gelap pekat.
    Tapi... kenapa perasaanku jadi tidak enak begini ?”
    “Arwani ! Ngapain kamu bengong disana ?”
    “I.. iya, aku datang.”

    Setelah berjalan cukup lama, akhirnya sampai juga mereka di depan sebuah pondok sederhana yang menjadi tempat tinggal mereka. Sebelum masuk ke dalam rumahnya, Arwani mengajukan pertanyaan yang membuat ibunya terkejut.
    “Ibu, aku benar-benar putri-mu khan ?”
    Dengan mata terbelalak, ibunya balik bertanya, “A.. apa maksudmu, Arwani ? Apa kamu.. meragukan, kalau aku adalah ibumu ?”
    Arwani menggeleng, “Tidak kok. Hanya saja ketika tadi pingsan, aku mengalami mimpi aneh.”
    “Mimpi aneh ? Bisa kamu ceritakan pada ibu di dalam, Nak ?”
    Arwani mengangguk, lalu keduanya masuk ke dalam rumah. Ketika Arwani sedang bercerita, wajah ibunya tiba-tiba menjadi pucat.
    “Suara itu.. mengaku sebagai Mara ? Dan ia berkata kalau kamu adalah.. putrinya ?”
    “Benar ! Yah, kurasa itu cuma mimpi belaka, tetapi karena perasaanku menjadi tidak enak, aku ingin menanyakannya pada ibu.”
    Ibunya tidak menjawab; Hanya saja wajahnya semakin pucat dan tangannya gemetar. Melihat itu, Arwani merasa bingung.
    “Ibu kenapa ?”
    “Arwani, kamu tentunya tahu mengenai monster yang mulai bermunculan akhir-akhir ini khan ? Mereka biasa disebut sebagai Mara’s Blood.”
    “A.. APA ?!”
    “Mara’s Blood, mereka adalah pasukan dari Sang penguasa kegelapan, Mara !”
    Mendengar kata-kata ibunya, Arwani hanya terhenyak di tempat duduknya. Ibunya menarik nafas dalam-dalam, lalu bertanya, “Arwani, berapa usiamu tahun ini ?”
    “Tahun ini aku genap berusia 15 tahun. Kenapa ?”
    “15 tahun ya ?”, ibunya tampak setengah termenung, “Benar, usia yang sangat tepat; Usia bagi seseorang dari suku garuda untuk mulai menjalani ujian untuk menjadi penerus dewi Vishnu.”
    Arwani memandang ibunya dengan pandangan bertanya.
    “Dari suku garuda ? Ta.. tapi kita khan berasal dari suku rakshasa ?”
    Sang Ibu memandang putrinya sambil tersenyum, tetapi senyum itu menyiratkan kesedihan.
    “Arwani, kurasa sekarang sudah saatnya, aku menceritakan hal yang sebenarnya kepadamu. Semuanya bermula sekitar satu setengah Yogi yang lalu, saat kamu masih bayi...”

    2. Masa Lalu Arwani

    Ada tradisi unik bagi suku rakshasa, bila sudah cukup umur untuk menikah. Tradisi yang biasa disebut sebagai ‘Perburuan Nachal’ itu adalah tradisi untuk meneruskan generasi mereka. Pejuang muda biasanya akan keluar dari hutan tempat asal mereka, pergi ke pegunungan Mandara, berdoa kepada dewa di kuil untuk menemukan pasangan takdirnya. Setelah dewa menjawab doa mereka dan setelah mereka mengandung, maka mereka akan membunuh pasangannya, lalu kembali ke hutan tempat mereka berasal. Resha muda juga menjalani tradisi tersebut. Ia keluar dari hutan tempatnya dibesarkan, untuk mencari pasangan takdirnya. Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya ia sampai di sebuah kuil tua yang terletak di pegunungan Mandara. Ia masuk untuk berdoa kepada dewa. Tetapi apa yang ditemuinya di dalam kuil, sangat membuatnya terkejut. Di altar kuil, tampak berdiri seseorang yang memakai baju prajurit, dengan sebilah pisau di tangannya. Prajurit tersebut bermaksud hendak menghujamkan pisaunya kepada seorang bayi mungil yang terbaring tanpa daya di atas altar.
    “He.. hey, apa yang hendak kau lakukan ?!”, jerit Resha.
    Prajurit itu terkejut menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya di dalam kuil itu.
    “Jangan ikut campur ! Ini adalah perintah dari Yang mulia !”
    Mendengar itu, Resha menjadi semakin bingung.
    “Yang mulia ? Apa yang dimaksud adalah Sang Ratu ? Tetapi.. kenapa Sang Ratu menyuruh prajurit membunuh bayi yang tak berdaya itu ?”
    Sebelum Resha sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba terjadi suatu hal mengerikan di hadapannya; Tiba-tiba muncul kegelapan yang teramat sangat pekat, meliputi Sang bayi, prajurit itu, dan semua daerah di sekitar mereka. Melihat kegelapan itu semakin meluas, akhirnya Resha pergi keluar melarikan diri. Ketika melihat ke belakang, kegelapan itu telah meliputi seluruh bagian kuil, dan tidak meluas lagi. Selang beberapa lama, akhirnya kegelapan itu kembali menyusut. Resha semakin terkejut ketika melihat bahwa kuil itu sudah lenyap tertelan oleh kegelapan. Dan yang tertinggal hanyalah Sang bayi yang terbaring di atas tanah.
    “Ke.. kekuatan apa itu tadi ?! Kegelapan itu.. memakan semua yang ada...”

    Dengan gemetar, Resha berjalan mendekat ke arah Sang bayi yang masih tidur pulas.
    “Mungkinkah ini sebabnya Yang mulia meminta agar prajurit membunuh bayi ini ?
    Kalau begitu, aku juga tidak bisa membiarkan bayi ini hidup !”

    Resha mengambil shamsirnya. Untuk sesaat ia merasa ragu, karena kemungkinan dirinya akan mengalami nasib yang sama dengan yang dialami prajurit tadi. Tetapi kemudian ia menggeleng keras-keras.
    “Walau harus mengorbankan nyawaku, aku tetap harus membunuhnya !
    Terlalu berbahaya membiarkan bayi ini tumbuh menjadi dewasa !”

    Resha mengangkat shamsirnya, tetapi ketika hendak menebaskan shamsir tersebut, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari dalam benaknya.
    ‘Wahai pejuang muda dari suku rakshasa, janganlah kamu bunuh bayi ini !’
    Resha terkejut, lalu menengok ke sekelilingnya.
    “Siapa itu ? Siapa yang berbicara denganku ?”
    ‘Aku adalah Vishnu, penjaga keseimbangan dunia dan semesta ini. Kuharap kamu bersedia menyarungkan pedangmu kembali.’
    “Te.. tetapi dewi, bayi ini mempunyai kekuatan gelap yang sangat mengerikan ! Kalau dibiarkan, tentulah banyak orang yang akan menjadi korban karenanya.”
    ‘Itu memang benar, di dalam tubuh bayi ini mengalir darah kegelapan Mara. Tetapi ia juga merupakan penerus Ratu Garuda yang dahulu mengurung Mara. Aku mempunyai suatu rencana untuknya.’
    Mendengar kata-kata Dewi Vishnu, Resha terdiam. Ia memperhatikan bayi itu dengan seksama. Rasa-rasanya memang sulit untuk mempercayai, bayi yang begitu mungil bisa memiliki kekuatan yang mengerikan seperti yang tadi dilihatnya itu. Setelah menarik nafas panjang, Resha kembali bertanya, “Lalu, apa yang harus kulakukan ?”
    ‘Wahai pejuang muda dari suku rakshasa, kumohon padamu, tolong rawatlah bayi itu hingga waktunya tiba.’
    “Waktunya tiba ? Apa maksud dewi ?”
    ‘Waktu yang tepat dimana ia bisa menjalani ujian kekuatan Mantra, untuk dipilih menjadi orang yang akan melayaniku. Tolong rawat ia hingga waktu itu tiba.’
    Suara Sang dewi perlahan menghilang. Resha masih terus memperhatikan bayi itu. Di dalam batinnya timbul pertentangan besar.
    • Resha, kamu harus membunuhnya ! Kalau kau biarkan bayi ini tumbuh dewasa, akan banyak orang yang akan menjadi korban !
    • Tidak Resha, kamu harus mendengarkan kata-kata Dewi Vishnu ! Bayi ini telah dipilih sendiri oleh-Nya, untuk menjadi pelayan-Nya !

    Pertentangan batinnya itu begitu kuat, sampai Resha tidak bisa tidur melewati malam yang dingin itu. Ketika matahari terbit keesokan paginya, Resha akhirnya memutuskan untuk mendengarkan kata-kata Dewi Vishnu. Tetapi, ia juga memilih mengasingkan diri, menjauhkan diri dari orang lain.
    “Kalau memang ini adalah takdirku, aku akan menjalaninya. Dan kalau aku memang harus membunuhnya, biarlah aku sendiri saja yang menjadi korban.”
    Dan mulai sejak hari itu, Resha tinggal berdua saja dengan bayi itu.

    3. Selamat Tinggal... Ibu...
    “... dan sekarang waktu itu telah tiba.”, demikian Resha mengakhiri ceritanya.
    Arwani hanya terdiam, tetapi pandangan matanya menerawang jauh.
    “Tidak saja aku bukan putri dari ibuku, tetapi aku juga memilki kekuatan gelap yang begitu mengerikan. Apa lagi yang dapat kupercaya sekarang ?!”
    Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh, berasal dari luar; Suara makhluk-makhluk kegelapan Mara ! Resha tahu, waktunya telah tiba. Ia harus melindungi Arwani dari incaran makhluk-makhluk itu, kalau perlu mempertaruhkan nyawanya. Segera ia mengambil shamsir yang selama ini disimpan di dinding rumahnya, lalu menarik Arwani untuk berlindung di belakang dirinya.
    “Arwani, apapun yang terjadi, kuharap kamu mau berjanji satu hal kepadaku. Kamu harus pergi ke Kuil Dewi Vishnu, dan mengikuti ujian kekuatan Mantra untuk menjadi orang pilihan Sang Dewi !”
    “Kita akan pergi bersama-sama khan ?”
    Resha menengok ke arah putrinya tersebut sambil tersenyum, tetapi senyumnya menyiratkan kesedihan.
    “Aku tidak tahu, apakah aku bisa bertahan menghadapi serangan lawan yang sedemikian banyak atau tidak. Aku sudah tidak sekuat dulu lagi. Yang dapat kulakukan sekarang hanyalah berusaha menahan mereka, sementara kamu melarikan diri. Jadi Arwani, tolong berjanjilah padaku, kamu akan menjalankan ujian tersebut.”
    Arwani menggelengkan kepala keras-keras.
    “Tidak ! Aku tidak akan pergi jika tidak bersama dengan ibu !”
    PLAK ! Sebuah tamparan keras dari Resha, membuat Arwani tercengang.
    “Jangan manja ! Jangan lupa Arwani, kalau bukan karena permintaan Dewi Vishnu, saat itu aku pasti akan membunuhmu ! Karena dewi-lah, kamu dan aku bisa hidup bersama seperti sekarang. Nah, berjanjilah bahwa kamu akan melayani Dewi Vishnu !”
    Sebuah suara keras terdengar dari depan; Sepertinya makhluk-makhluk kegelapan Mara sedang berusaha mendobrak masuk ke dalam gubuk kecil itu. Resha segera menarik shamsirnya dari dalam sarungnya.
    “Tidak ada waktu lagi. Persiapkan dirimu, Nak !”
    Arwani tak dapat membantah, ia hanya mengangguk saja. Dan, tak lama kemudian, pintu depan rumah sudah roboh akibat hantaman keras gada berduri. Makhluk yang menyerang mereka adalah serbinda, prajurit kegelapan Mara. Melihat itu, Resha tersenyum pahit.
    “Rupanya Sang penguasa kegelapan Mara tidak main-main ingin merebut kembali putrinya. Ia mengirim salah satu pasukan terbaiknya, bukan sekedar monster biasa
    Baiklah, aku juga akan mengeluarkan kemampuan terbaikku untuk melawan mereka !”
    Sebuah serangan berhasil dihindari Resha berkat kelincahan tubuhnya. Pada saat bersamaan, ia menyerang balik dan langsung merobohkan dua serbinda dalam satu serangan. Ia segera keluar dengan diikuti oleh Arwani. Tetapi yang menunggu mereka di luar adalah, pengepungan besar oleh serbinda dengan jumlah yang sangat banyak !

    Salah seekor serbinda itu maju sambil berkata, “Hey wanita, kalau ingin nyawamu selamat, serahkanlah gadis itu !”
    Sambil tersenyum mengejek, Resha menjawab, “Wah, tak kusangka, makhluk kegelapan Mara bisa juga bicara dalam bahasa manusia ya ? Kupikir selama ini kalian hanya bisa menggeram saja.”
    “Jaga mulutmu, wanita ! Serahkan gadis itu, atau kami akan membunuhmu !”
    Resha mengangkat shamsirnya, lalu menebaskannya di dekat serbinda tersebut.
    “Ini jawabanku !”, tidak sedikit-pun terdengar perasaan takut atau ragu dalam kata-katanya.
    Serbinda itu menggeram marah, lalu berkata, “Baiklah kalau itu pilihanmu !”
    Kemudian ia mengangkat tangannya, dan serbinda yang jumlahnya sangat banyak itu-pun maju menyerang mereka.
    “Jangan terpisah dariku !”, demikian kata Resha kepada Arwani.
    Walau tidak sehebat dahulu, Resha tetap lincah dalam menghindari serangan lawan. Apalagi gerakan serbinda sebenarnya lamban. Tetapi menghadapi serbinda dalam jumlah besar, ditambah harus melindungi Arwani, Resha terdesak juga. Akhirnya Resha memutuskan untuk menerobos kepungan serbinda itu, membuka jalan bagi Arwani agar dapat meloloskan diri.
    “Arwani, begitu kubilang lari, teruslah berlari dan jangan menengok ke belakang lagi !”
    Setelah merobohkan 4 serbinda yang sedang mengepung mereka, Resha-pun menjerit, “Lari !”
    Arwani berlari, sementara dari belakang Resha berusaha mati-matian menahan serbinda-serbinda itu agar tidak bisa menyentuh Arwani. Tetapi akhirnya sebuah pukulan keras gada serbinda mendarat juga di bahu Resha.
    Jeritan Resha menggema di tengah keheningan malam. Arwani menghentikan larinya, menengok ke belakang, dan melihat Resha jatuh berlutut di tanah sambil memegang bahunya yang terluka. Seekor serbinda kembali mengayunkan gadanya tepat mengenai pelipis Resha, dan tubuh Resha terlontar cukup jauh. Dua ekor serbinda berhasil memegang lengan Arwani, tetapi tepat saat itu, terjadilah keanehan pada diri Arwani. Dengan kepala setengah tertunduk, Arwani mengucapkan sebuah Mantra kegelapan, yang bahkan tidak dapat dipahami oleh para serbinda. Selesai mengucapkan Mantra, Arwani kembali menegakkan kepalanya, dan memandang para serbinda dengan tatapan tajam yang aneh; Seluruh bagian matanya terlihat menghitam, dan tampak aura gelap di sekeliling tubuhnya. Bahkan kedua serbinda yang sedang memegangnya, langsung melepaskan pegangan mereka dan melangkah mundur.
    Arwani mengangkat lengannya, lalu sambil menengadah ke langit, ia menjerit, “Rhaga !”
    Serbinda-serbinda itu menjerit kesakitan, lalu mereka jatuh berlutut sambil memegang kepalanya. Tak lama kemudian, dari dalam tubuh mereka timbul nyala api berwarna putih. Api tersebut tidak membakar tubuh mereka, tetapi seakan membakar jiwa mereka. Tubuh-tubuh tanpa jiwa itu-pun jatuh bergeletakkan satu demi satu.
    Dalam keadaan terluka parah, Resha sadar bahwa ia harus menghentikan Arwani. Dengan kekuatannya yang tersisa, ia mengambil shamsirnya, lalu melemparkannya hingga tepat menancap tanah di hadapan Arwani. Arwani terkejut, dan kekuatan gelap dalam tubuhnya langsung menjadi kacau. Ia jatuh berlutut dengan tatapan nyalang, kemudian ia berguling di tanah menahan rasa sakit yang luar biasa. Akhirnya aura gelap yang mengelilingi tubuhnya perlahan menghilang, dan kesadarannya kembali pulih. Arwani yang telah tersadar bangkit berdiri. Melihat tubuh-tubuh serbinda bergeletakan tanpa jiwa, ia tampak sangat tenang, tidak terkejut sedikit-pun. Perlahan ia berjalan mendekati Resha yang terbaring sekarat.
    “Maaf Nak, ibu.. tidak dapat.. mendampingimu.. lagi...”
    Resha terbatuk darah, lalu meninggal. Pandangan Arwani dingin, tetapi tampak air mata mengalir di pipinya. Kemudian ia mengambil shamsir milik Resha, menggali tanah dengan shamsir itu, dan memakamkan Resha.
    Sambil berlutut di depan makam, ia berkata, “Ibu, aku akan memenuhi janjiku pada ibu. Aku akan pergi ke kuil Dewi Vishnu, dan akan menjalani ujian kekuatan Mantra. Tetapi semua itu bukan demi dewi, melainkan karena aku sudah berjanji pada ibu !”
    Arwani bangkit, lalu sambil memeluk shamsir milik Resha, ia berjalan meninggalkan daerah tempat tinggalnya selama ini, pergi menuju Mandara.

    ------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Yah, ini merupakan cerita awal dari perjalanan Sang Putri Mara, Arwani. Di dalam perjalanannya nanti, ia akan berjumpa dgn banyak org (termasuk bbrp NPC yg ada di dlm game-nya sendiri, bagi yg masih ingat, fufufu...)
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  2. Hot Ad
  3. #2
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    4. Awal Perjalanan Panjang
    Perjalanan menuju dataran tinggi Mandara merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Apalagi banyak makhluk-makhluk kegelapan Mara yang seringkali menghadang perjalanan Arwani. Biasanya Arwani memilih untuk menghindari makhluk-makhluk tersebut, karena ia tidak memiliki kemampuan untuk melawan mereka. Hingga suatu ketika, dimana ia melihat seorang gadis kecil yang sedang dikepung oleh beberapa ekor serigala vashabum. Awalnya ia merasa ragu untuk menolong, tetapi ketika melihat beberapa tangkai bunga yang dipegang oleh gadis kecil tersebut, ia berubah pikiran. Sekilas ia teringat akan masa kecilnya dahulu.
    “Gadis kecil itu.. mirip denganku dulu. Memetik bunga lalu menjualnya di desa terdekat.
    Kurasa.. aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.”
    Arwani menggenggam erat-erat shamsir milik Resha, lalu berjalan mendekat. Serigala-serigala vashabum itu langsung mencium kehadiran Arwani, dan sambil menggeram, mereka melangkah mundur. Melihat itu, Arwani merasa bingung. Tetapi ia lebih memikirkan gadis kecil yang tengah ketakutan itu.
    “Hey, apa kamu baik-baik saja ?”
    Dengan gemetar, gadis kecil itu mengangguk.
    “Kalau begitu, cepatlah bawa bunga-bunga itu dan pergi dari sini !”
    Gadis kecil itu memandang ke arah serigala-serigala vashabum yang tetap menjaga jarak itu, lalu kembali memandang Arwani.
    “Ta.. tapi, bagaimana dengan kakak sendiri ?”
    Sambil tersenyum Arwani menjawab, “Jangan khawatir, sepertinya mereka takut denganku. Sudah, cepatlah pulang ke rumahmu !”
    Wajah gadis itu terlihat lega, lalu ia berkata, “Terima kasih kakak.”
    Ia-pun segera mengumpulkan bunganya, lalu berlari pergi. Sayang, baru beberapa langkah ia hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba seekor serigala vashabum yang berukuran lebih besar, mendadak menyerang gadis kecil itu. Suara jeritan gadis kecil itu menggema, dan ketika Arwani menengok, gadis kecil itu sedang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman vashabum raksasa tersebut. Melihat itu, kemarahan Arwani memuncak, dan tiba-tiba muncul kegelapan yang teramat pekat di sekeliling Arwani. Kegelapan itu dengan cepat semakin meluas, bahkan para vashabum yang berada di sekitar tempat itu tak sempat menghindar. Dalam sekejab seluruh daerah diliputi oleh kegelapan itu. Setelah cukup lama, akhirnya kegelapan itu menyusut, dan tinggallah Arwani berdiri seorang diri. Arwani tersadar, lalu memperhatikan sekelilingnya. Ia menjadi panik menyadari bahwa gadis kecil itu tak ada dimana-mana.
    “Hey gadis kecil, kamu dimana ? Tolong, jawab aku !”
    Sehelai kelopak bunga yang sudah setengah hancur seakan menjawab kebingungannya. Arwani berlutut, memungut kelopak bunga tersebut. Bola matanya membelalak; Ia sadar, bahwa tanpa terkontrol, kekuatannya telah menelan apapun yang ada di sekelilingnya, dan itu termasuk gadis kecil tersebut. Arwani menggenggam kelopak bunga itu dengan perasaan hancur, kemudian ia menengadah ke arah langit sambil menjerit.

    Malam itu, Arwani berbaring sendirian di tengah padang, sambil memperhatikan bintang-bintang. Udara malam yang dingin tidak dihiraukannya, ia hanya memikirkan kejadian yang dialaminya siang tadi.
    “Gadis kecil itu, aku-lah yang telah membunuhnya... Padahal aku hanya ingin menolongnya.
    Kenapa ?! Kenapa ini bisa terjadi ?!”

    Ia menengok ke arah shamsir yang diletakkan di dekatnya.
    “Ibu, apa benar Dewi Vishnu menghendaki aku menjadi pelayannya ? Dengan kekuatan yang sangat mengerikan ini ?”

    Langit malam itu cerah, tetapi bagi Arwani, yang terlihat di hadapannya adalah kegelapan yang teramat pekat; Kegelapan yang menutupi masa depannya. Perlahan Arwani memejamkan mata. Baru saja ia mulai terlelap, ketika tiba-tiba terdengar suara gemerisik rumput yang menandakan ada seseorang (atau sesuatu) yang bergerak di dekatnya ! Segera ia membuka mata, mengambil shamsirnya, lalu bangkit berdiri dalam posisi siaga. Betapa terkejutnya ketika Arwani melihat bahwa yang bergerak itu ternyata seorang anak laki-laki. Melihat Arwani yang memegang shamsir, anak laki-laki itu tampak ketakutan.
    “To.. tolong, jangan bunuh saya...”
    Arwani memperhatikan anak laki-laki itu sejenak, lalu menaruh shamsirnya kembali ke dalam sarungnya.
    “Apa yang kamu lakukan di tempat ini malam begini ? Bahaya bagi seorang anak kecil sepertimu berada di luar begini !”
    “Aku.. sedang mencari adik perempuanku.”
    DEG ! Arwani langsung menjadi tegang.
    Tanpa memperhatikan reaksi Arwani, anak laki-laki itu melanjutkan, “Dia sudah pergi dari tadi pagi untuk mencari bunga, tetapi sampai sekarang masih belum pulang juga. Aku khawatir, lalu mencarinya kemari. Apa kakak melihatnya ? Seorang anak perempuan kecil yang memakai pita berwarna merah di rambutnya, dan sedang mencari bunga ?”
    Dengan setengah termangu, Arwani menjawab, “Ah.. iya, aku.. melihatnya.”
    “Benarkah ? Kalau begitu ia baik-baik saja.”, anak laki-laki itu menghela nafas lega, “Lalu, dimana dia sekarang ?”
    “Dia.. sudah pergi...”
    “.. ke desa ? Tapi kok lama sekali ya ? Ya sudahlah, aku akan mencarinya ke desa.”, kemudian anak laki-laki itu memandang Arwani sambil tersenyum, “Terima kasih ya kakak.”
    Sekilas kata-kata anak perempuan itu kembali terngiang di telinganya, “Terima kasih kakak.”
    Wajah Arwani langsung menjadi pucat, dan dengan suara gemetar, ia berkata, “Tidak, jangan berterima kasih.. padaku. Aku.. tidak bisa.. menolongmu...”
    Anak laki-laki yang sudah berjalan beberapa langkah itu kembali menengok sambil bertanya, “Eh, apa yang kakak bilang barusan ?”
    Dan tepat saat itu, tiba-tiba muncullah seekor serigala vashabum raksasa dari belakang anak itu dan menyerangnya !

    Jeritan anak laki-laki itu menggema di keheningan malam, dan ketika Arwani menengok, anak laki-laki itu sudah tergeletak di tanah, sementara di atas tubuhnya serigala itu sudah siap untuk memakannya. Kemarahan Arwani kembali memuncak.
    “Tidak, jangan.. terlalu emosi ! Apa kau lupa.. yang terjadi.. siang tadi ?!”

    Seakan mengingatkan dirinya sendiri, Arwani berusaha mati-matian menahan agar amarahnya dapat tertahan. Segera ia mencabut shamsirnya dari sarungnya, lalu berlari mendekat ke arah serigala tersebut.
    “Hey serigala, lepaskan anak itu !”
    Merasakan kehadiran Arwani, serigala itu melompat mundur tepat sebelum shamsir milik Arwani menebasnya. Nafas Arwani terengah-engah, bukan akibat berlari, melainkan karena berusaha menahan amarahnya.
    “Kamu.. baik-baik.. saja ?”
    Sambil menahan sakit, anak laki-laki itu mengangguk. Tiba-tiba terdengar sebuah suara di benak Arwani, ‘Putri Mara, kenapa kamu menghalangiku untuk membunuh anak itu ?
    Arwani terkejut, lalu menengok ke arah serigala vashabum itu. Setelah diperhatikan baik-baik, serigala itu memang berbeda dari vashabum yang menyerang anak perempuan siang tadi. Warna bulu serigala ini merah keemasan, dengan surai di tengkuknya berwarna merah tua. Tetapi yang benar-benar membuatnya berbeda adalah tanduknya; Sebuah tanduk berulir berwarna putih keperakan, yang memancarkan cahaya berpendar yang lembut.
    “Siapa.. kamu ? Kamu bukan serigala vashabum biasa, dan kamu bisa mengenaliku !”
    Namaku Bindu, dan aku adalah pemimpin vashabum. Sekarang jawab pertanyaanku Putri Mara; Kenapa kamu menahanku ?
    “Karena kalian telah membunuh adik perempuan anak ini !”, Arwani menjawab dengan nada penuh amarah, tanpa menyadari bahwa anak laki-laki itu mendengar perkataannya.
    “A.. APA ?!”, bola mata anak laki-laki itu terbelalak, “Barusan.. kakak bilang apa ? Bukankah.. adik perempuanku.. ada di desa ?”
    Arwani terkejut. Ia menengok ke arah anak laki-laki itu. Wajah anak itu seakan-akan tidak percaya pada apa yang didengarnya. Kemudian anak itu memegang kaki Arwani.
    “Kakak, itu bohong kan ? Adikku.. dia masih hidup kan ?”
    Arwani tak sanggup menjawab, hanya menunduk. Melihat itu, anak laki-laki tersebut menjerit penuh kemarahan lalu menangis.
    Tak kusangka, Putri Mara ternyata punya rasa belas kasihan terhadap manusia. Baiklah, kalau itu maumu, aku akan melepaskan anak laki-laki ini.
    Arwani tetap terdiam, sementara Bindu membalikkan badan bermaksud hendak pergi. Tiba-tiba anak laki-laki itu melakukan suatu hal yang membuat Arwani terkejut; Ia merebut shamsir dari tangan Arwani lalu berusaha menyerang Bindu !

    Kejadian itu terjadi begitu cepat. Anak laki-laki itu menyerang Bindu dengan shamsir yang direbutnya dari tangan Arwani, tetapi tidak dapat melukainya sedikit-pun. Bindu yang diserang dengan tiba-tiba seperti itu, kembali berbalik ke arah anak laki-laki itu dengan marah. Dengan tanduk putih keperakan-nya, Bindu menanduk tubuh kecil itu.
    Dasar bodoh ! Padahal aku sudah mengampuni nyawamu, tetapi kamu malah menyerangku dari belakang !
    Bindu melompat mundur, dan tubuh kecil bersimbah darah itu jatuh tergeletak di tanah. Arwani hanya dapat melihat semua itu dengan tatapan kosong; Bagai melihat mimpi buruk yang datang dengan tiba-tiba. Bindu mendengus, lalu berjalan pergi. Dengan lunglai, Arwani berjalan mendekat ke tempat tubuh anak laki-laki itu tergeletak. Ia berlutut, lalu memegang luka besar menganga di dada kecil itu.
    “I.. ini... mengapa ini terjadi ? Padahal hanya karena aku.. keceplosan bicara...”

    Dengan tangan penuh darah, Arwani menutup wajahnya.
    “Padahal.. adik perempuanmu bukan dibunuh oleh mereka.
    Aku-lah yang telah membunuhnya, dengan kekuatanku !”

    Tiba-tiba terdengar sebuah suara dalam benak Arwani, “Kamu takkan dapat lari dari takdirmu, putriku. Kamu, yang ditakdirkan mewarisi kekuatan gelapku, akan menghancurkan umat manusia dan menjadi pendampingku untuk menguasai dunia ini !”
    Perlahan Arwani membuka wajahnya; Pandangannya tidak lagi menyiratkan kehampaan, tetapi sudah berubah menjadi kemarahan.
    “Memang benar, aku mewarisi kekuatan kegelapan, yang bahkan sulit untuk kukendalikan. Dan memang benar, akibat diriku, nyawa dua anak ini sudah melayang. Tetapi aku bersumpah, takkan kubiarkan semuanya terjadi sesuai dengan kehendakmu, Mara !”
    Suara tawa Mara terdengar mengisi seluruh benak Arwani.
    “Baik, akan kutunggu sampai sejauh mana kamu bisa menghentikanku. Ini akan menjadi hal yang benar-benar.. menarik !”
    Suara tawa itu perlahan menjauh, meninggalkan Arwani seorang diri di tengah padang. Arwani memandang anak laki-laki itu, dan ia terkejut ketika melihat bibir anak laki-laki itu bergerak.
    “Ka.. kamu... masih hidup ?”, lalu Arwani bangkit berdiri sambil berkata, “Tunggu, aku akan segera mencari pertolongan. Bertahanlah sampai aku kembali !”

    ---------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Awal perjalanannya, Arwani mulai menyadari kekuatan mengerikan yg dimilikinya.
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  4. #3
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    ga perna maen tantra, tapi lumayanlah buat nambah2 inspirasi berhubung gw jg lgi buat cerita

    nice fanfic, bru post langsung 4 ch, wah semangat ya

  5. #4
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Nggak apa2 kok walau nggak pernah main. Tah sekarang game-nya jg sudah tidak ada. Selamat dinikmati ^^

    -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    5. Keajaiban dari Seorang Pemuda Misterius

    Di tengah kegelapan malam, Arwani berlari untuk mencari pertolongan. Di tengah jalan, ia melihat seberkas cahaya, dan ketika mendekat, ternyata ada sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu. Arwani segera mengetuk pintu depan rumah itu.
    “Siapa yang datang malam-malam begini ?!”, terdengar nada suara tidak senang dari dalam rumah.
    “Maaf kalau saya mengganggu. Tapi ada seorang anak laki-laki terluka parah, dan saya harap Anda bisa membantu saya menolongnya.”
    “Terluka parah ? Apa akibat.. diserang monster ?”
    “Benar.”
    Terdengar suara percakapan dari dalam rumah yang tidak terdengar dengan jelas oleh Arwani. Kata-kata berikutnya dari pemilik rumah, membuat Arwani sangat terkejut.
    “Pergilah ! Kami tidak ingin diserang juga oleh monster !”
    “Eh ?”, Arwani bingung mendengar kata-kata pemilik rumah, “Te.. tetapi, monsternya sudah pergi kok. Sudah tidak ada monster lagi disana.”
    “Huh, apa kamu yakin ? Monster-monster itu suka bersembunyi, dan kalau ada manusia, maka mereka akan muncul dan menyerang dengan tiba-tiba ! Cari orang lain saja !”
    “Te.. tetapi...”
    “Pergi ! Atau kami harus menggunakan kekerasan untuk mengusirmu dari sini !”
    Mendengar itu, Arwani terdiam sesaat. Akhirnya ia menarik nafas panjang menahan kesal, lalu berjalan pergi dari rumah itu.
    “Keterlaluan sekali mereka ! Hanya mementingkan diri sendiri, tak perduli nyawa orang lain sedang sekarat ! Masih banyak yang bisa menolong kok.”
    Tetapi, pada beberapa rumah berikutnya, Arwani kembali mengalami penolakan dengan alasan yang sama; Mereka takut keluar rumah, karena takut diserang monster.
    Arwani sadar bahwa dirinya berpacu dengan waktu. Jika tak segera ditolong, nyawa anak laki-laki itu tidak akan selamat. Tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa sendirian.
    “Sepertinya percuma saja berharap ada yang mau menolong.
    Tapi, apa yang dapat kulakukan ?”

    Ketika kembali ke tempat dimana anak laki-laki itu berada, Arwani terkejut melihat ada seseorang yang sedang duduk di samping anak tersebut.
    “Siapa kamu ?!”, Arwani mencabut shamsirnya dari sarungnya.
    Orang tersebut menengok; Seorang laki-laki muda dengan wajah yang rupawan, dan dari pakaian yang dikenakannya, Arwani sadar bahwa laki-laki itu seorang bangsawan muda.
    “Apa anak laki-laki ini adik Anda ? Tenang saja nona, saya hanya bermaksud menolongnya.”
    “Menolong ?”, Arwani memandang pemuda itu dengan bingung.
    “Yah, kebetulan saya sedang belajar pengobatan, jadi saya harap bisa menolongnya dengan ilmu yang saya pelajari.”
    “Apa kamu.. seorang tabib ?”
    “Masih dalam tahap belajar menjadi tabib. Oh ya, Anda bisa menolong saya mengambilkan air dari sungai yang terletak tak jauh dari sini ?”, pemuda itu menyodorkan mangkuk kepada Arwani.
    Arwani mengambil mangkok tersebut, lalu melaksanakan yang diminta oleh pemuda itu tanpa bertanya lebih jauh.
    “Aneh, padahal kita baru saja bertemu. Tetapi rasanya aku dapat mempercayainya.
    Semoga saja ia benar-benar bisa menolong anak laki-laki itu.”
    Setelah mengambilkan air dari sungai, Arwani menunggu dengan tegang. Agak lama, akhirnya pemuda itu menyeka keningnya.
    “Bagaimana ? Apa kamu berhasil menolongnya ?”
    Pemuda itu mengangguk, “Untunglah lukanya tidak mengenai bagian yang fatal. Untuk pulih seperti semula memang tidak mungkin, tetapi setidaknya nyawanya masih bisa tertolong.”
    “Apa maksudmu dengan tidak mungkin pulih ?”
    “Luka di dadanya sangat parah, ia akan sulit bernafas sepanjang sisa hidupnya. Maaf, tetapi aku sudah berusaha melakukan apa yang dapat kulakukan untuk menolongnya.”
    Arwani menunduk, lalu berkata, “Mungkin lebih baik baginya jika mati saja.”
    “Eh ?”, pemuda itu terkejut dan merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya.
    Seakan tersadar, Arwani bertanya balik, “Eh, aku barusan.. bilang apa ?”
    Pemuda itu memperhatikan Arwani dengan seksama, lalu sambil tersenyum ia menjawab, “Tidak kok, kamu tidak berkata apa-apa. Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu ya ?”
    “Kamu mau melanjutkan perjalanan di tengah malam begini ? Apa tidak lebih baik istirahat dulu disini malam ini ?”
    Dengan tetap tersenyum ramah, pemuda itu berkata, “Terima kasih, tetapi waktu tidak akan menunggu. Selamat tinggal, semoga kita bisa berjumpa lagi di lain waktu.”
    Kemudian pemuda berjalan pergi, meninggalkan Arwani yang masih terdiam di tempatnya.

    Suara kicau burung-burung membangunkan Arwani. Perlahan ia membuka matanya, dan ternyata matahari sudah cukup tinggi. Arwani segera menengok ke sampingnya, dan melihat bahwa anak laki-laki itu sudah bangun. Sepertinya apa yang dikatakan pemuda itu kemarin memang benar; Anak itu terlihat bernafas dengan susah payah.
    Sambil tersenyum ramah, Arwani berkata, “Selamat pagi.”
    Anak itu menengok sekilas ke arah Arwani, tetapi tidak menjawab apa-apa.
    Arwani bangkit berdiri, lalu berkata, “Aku harus segera melanjutkan perjalanan. Lebih baik kamu pulang ke tempat tinggalmu.”
    Baru saja Arwani berjalan beberapa langkah, ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh anak laki-laki tersebut. Arwani menengok, dan melihat bahwa wajah anak itu sangat pucat dengan nafas terengah-engah.
    “Tolong.. ijinkan aku.. ikut.”, kata anak itu dengan suara hampir tidak terdengar.
    “Te.. tetapi, nanti orang tuamu khawatir.”
    Anak itu menggeleng, “Kami.. sudah tidak punya.. orang tua ! Adikku.. adalah keluarga..ku satu-satunya.”
    Arwani terdiam sejenak, memperhatikan anak laki-laki itu. Akhirnya, sambil menghela nafas, Arwani menjawab, “Yah, terserah kamu saja. Oh ya, namaku Arwani. Siapa namamu ?”
    “Mazeh.”, jawabnya singkat.
    “Baiklah Mazeh, kamu boleh mengikutiku, tetapi kuingatkan, perjalananku mungkin akan sangat berbahaya. Selain itu, aku tidak bisa terus melindungimu. Apa kamu tidak keberatan ?”
    Mazeh menggeleng. Tanpa berkata lagi, Arwani melanjutkan perjalanan dengan diikuti Mazeh.

    6. Desa Padang Liar
    Setelah melewati perjalanan sehari lamanya, akhirnya tiba juga mereka di sebuah desa. Mazeh sempat terdiam selama beberapa saat tak jauh dari desa itu. Arwani tidak bertanya, hanya berdiam diri mendampingi Mazeh.
    “Padahal aku.. selalu melarangnya, padahal.. sudah berulang kali.. kukatakan bahwa.. itu bahaya. Tetapi.. adikku selalu.. menjawab, kalau ia.. ingin memberi keba..hagiaan kepada.. orang-orang lewat.. bunga yang.. dijual..nya.”, lalu sambil menunduk, Mazeh melanjutkan, “Kalau aku.. bisa menukar.. nyawaku dengan.. nyawa..nya, pasti.. akan kulakukan ! Dia.. adik yang.. sangat kusayangi...”
    Arwani tidak dapat berkata apa-apa, hanya memegang bahu Mazeh saja. Tiba-tiba Mazeh menggosok matanya, lalu kembali menatap desa itu.
    “Aku tidak.. boleh terus menerus.. bersedih.. seperti ini. Aku.. harus menjadi.. kuat, agar.. suatu hari.. bisa membalas..kan dendam.. adikku !”
    Kemudian Mazeh berjalan mendahului Arwani masuk ke desa tersebut. Rupanya pada hari itu, di desa tersebut sedang ada perayaan. Orang-orang menari, makan dan minum sepuasnya; Semua tampak menikmati perayaan itu. Bahkan ketika keduanya melangkahkan kaki masuk ke desa tersebut, ada beberapa orang yang menyambut mereka dengan senyum ramah.
    “Apa kalian pengembara dari jauh ? Selamat datang di desa kami, Desa Padang Liar. Kebetulan kalian datang sekarang, karena kami sedang mengadakan perayaan atas kemenangan pejuang muda kami dalam lomba adu banteng. Silahkan bergabung.”
    Arwani saling berpandangan dengan Mazeh, lalu keduanya mengangguk. Tak lama kemudian, keduanya sudah ikut dalam hingar bingar perayaan itu. Tiba-tiba seseorang yang sepertinya pemimpin pesta, berkata, “Perhatian semuanya ! Sekarang tibalah saatnya bagi kita, untuk melihat keterampilan Sang pahlawan kita !”
    Seorang gadis belia, kurang lebih seumur dengan Arwani, berjalan maju. Semua yang hadir di situ, menyambutnya dengan tepuk tangan meriah. Arwani sendiri terkejut, mengetahui bahwa Sang pemenang ternyata seorang gadis.
    “Waah, aku benar-benar tak menyangka, dia seorang perempuan.”
    Orang di sampingnya menengok sambil tersenyum.
    “Nona, setiap orang dari suku gandharva adalah pejuang, tidak perduli apakah dia laki-laki atau perempuan. Apalagi Kirri adalah putri dari Tarbani, pejuang legendaris desa kami. Tentu ia ingin meneruskan nama besar ayahnya.”
    Sementara itu, seekor banteng liar dibawa maju. Kirri menarik nafas dalam-dalam, kemudian melompat ke punggung banteng itu. Merasa ada yang menaikinya, banteng liar itu mengamuk dan melompat-lompat untuk menjatuhkan orang yang berada di punggungnya. Kirri dengan lincah, sambil tetap berpegangan pada tanduk banteng, berusaha menjinakkan banteng itu. Setelah sekian lama, akhirnya dengan perlahan-lahan banteng itu kembali tenang. Dan semua orang kembali bertepuk tangan bagi keberhasilan Kirri.
    “Sepertinya dia benar-benar hebat, bisa menenangkan banteng yang mengamuk itu. Betul khan Mazeh ?”
    Ketika Arwani menengok ke arah Mazeh, ia terkejut; Mazeh melihat Kirri dengan tatapan tajam, menyiratkan suatu keinginan terpendam. Dengan suara perlahan Mazeh berkata, “Aku juga.. seseorang.. dari suku gandharva. Aku.. ingin menjadi.. kuat seperti.. dia.”

    Mazeh berjalan maju mendekati Kirri.
    “Ma.. Mazeh, tunggu !”, tetapi akhirnya Arwani juga ikut maju mendampingi Mazeh.
    Kirri melihat keduanya dengan pandangan bertanya, “Ada apa ?”
    Mazeh berusaha mengerahkan seluruh tenaganya, agar suaranya bisa terdengar.
    “Kak Kirri, namaku.. Mazeh. Sama.. seperti kakak, aku juga.. berasal dari suku gandharva. Kudengar.. kakak pejuang.. dari desa ini. Tolong, ajari aku.. agar menjadi kuat.. seperti kakak !”
    Selesai berkata demikian, Mazeh menunduk sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Semua yang ada di tempat itu hanya dapat memandang bingung ke arah Mazeh.
    “Mazeh kehilangan adik perempuannya akibat diserang serigala vashabum. Nyawanya sendiri hampir tak tertolong, ketika ia bertarung melawan Bindu.”
    Mendengar penjelasan dari Arwani, semua orang terkejut.
    “Ma.. maksudmu, Bindu.. Sang pimpinan vashabum itu ? Anak kecil ini.. melawan makhluk legendaris tersebut ?”
    Arwani terdiam sejenak, lalu menjawab, “Dibandingkan dengan melawan, mungkin lebih cocok disebut sekali menyerang saja. Karena setelah itu, dadanya tertembus oleh tanduk Bindu. Itulah sebabnya ia sulit bernafas seperti ini.”
    Tiba-tiba Mazeh kembali berkata, “Tolong Kak Kirri, aku.. juga ingin menjadi.. pejuang, sama seperti kakak !”
    “Untuk membalaskan dendam adikmu ?”, tanya Kirri.
    Mazeh mengangguk.
    Kirri langsung menjawab, “Maaf, tetapi cari saja orang lain. Aku tidak berniat untuk melatihmu.”
    “Ke.. kenapa ?!”
    “Walau disebut pejuang, sebenarnya aku tidak pernah terlibat dalam peperangan. Aku hanya pernah mempertahankan desa kami dari serangan hewan buas. Tetapi hal yang lebih penting, karena aku tidak mau melatih seseorang yang hanya akan menghancurkan dirinya sendiri.”
    “Menghancurkan dirinya sendiri ? Apa maksud kakak ?”
    “Kamu berlatih bukan untuk melindungi dirimu, tetapi hanya untuk melampiaskan dendammu ! Api dendam itu suatu saat akan menghancurkanmu. Apa kamu pikir kamu bisa menang melawan makhluk legendaris seperti Bindu ?!”
    Mendengar jawaban Kirri, Mazeh-pun terdiam; Ia sadar, sekuat apapun dirinya, tak mungkin bisa menang melawan Bindu. Kirri-pun berjalan pergi, meninggalkan Mazeh dan Arwani.
    “Kirri memang keras dengan prinsipnya sendiri. Tetapi sebenarnya ia anak yang baik. Bagaimana kalau kalian tinggal dulu di desa kami selama beberapa hari ? Mungkin, Kirri bisa berubah pikiran.”
    Arwani tersenyum dan mengangguk meng-iyakan tawaran salah seorang penduduk desa itu.

    Malam itu, bulan tampak begitu terang dan indah. Sambil memandang bulan, Arwani teringat akan kegelapan pekat yang pernah dilihatnya ketika pertama kali ia mendengar suara Mara.
    “Apakah suatu saat nanti, kegelapan itu akan benar-benar terjadi ? Dan, apakah aku yang akan menciptakan kegelapan seperti itu ?”
    Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari belakang, “Bulan penuh, dan seluruh penghuni padang akan keluar dan bernyanyi bersama.”
    Arwani menengok, dan melihat Kirri telah berdiri di belakangnya.
    “Tetapi aku tidak melihat seorang-pun yang keluar dari rumahnya, kecuali kamu dan aku.”
    Sambil tersenyum Kirri menjawab, “Jelas saja, tidak mungkin kami berpesta dua kali dalam sehari khan ? Tapi mereka tetap bernyanyi bersama kok. Kamu dengar suara-suara itu khan ?”
    Dari dalam beberapa rumah yang cukup besar, memang terdengar suara nyanyian, walau sayup-sayup. Arwani mengangguk. Kemudian sambil memejamkan mata, Kirri bersenandung.
    “Hidup bebas di padang liar, berlari bersama kijang dan kelinci. Beternak kambing dan domba, tak ada yang mengikat kami. Kamilah angin, kamilah rumput, kamilah tanah. Inilah kisah kami, para pengembara bebas.”
    Arwani bertepuk tangan.
    “Lagu yang bagus. Tetapi apa kalian masih hidup berpindah-pindah ?”
    “Yah, sekarang sudah tidak lagi. Kami sudah berusaha menetap, walau mungkin saja suatu saat nanti kami akan pindah lagi. Kebetulan kita bertemu, ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
    Arwani memandang Kirri dengan bingung, “Tentang apa ?”
    “Kamu sudah menceritakan mengenai anak itu, tetapi kamu belum menceritakan apapun mengenai dirimu sendiri. Aku yakin kamu bukan kerabat anak itu, bahkan bukan berasal dari suku gandharva. Apa kamu bisa mengatakan padaku, siapa kamu sebenarnya ?”
    Untuk sesaat, Arwani merasa ragu. Kirri menyadari keraguan tersebut.
    “Kalau kamu tidak ingin mengatakannya, tidak apa-apa. Aku takkan memaksa. Tetapi aku merasakan adanya ‘bau’ bahaya pada dirimu. Kalau anak itu terus bersamamu, mungkin suatu saat dia bisa kehilangan nyawanya akibat dirimu.”
    Mendengar kata-kata Kirri, Arwani tertegun.
    “Kirri bisa menyadari ada kekuatan kegelapan dalam diriku ! Apa mungkin lebih baik.. aku menceritakannya saja padanya ?”
    Dengan suara perlahan, Arwani berkata, “Sebenarnya aku...”
    Tiba-tiba terdengar sebuah suara lemah dari arah belakang Arwani, “Rupanya.. Kak Arwani ada.. disini. Aku mencari.. kakak.. dari tadi.”
    Mazeh datang berlari dengan terengah-engah. Ia terkejut melihat Kirri juga ada di tempat itu.
    “Ah, Kak Kirri. Apa aku.. mengganggu percakapan.. kalian ?”
    Kirri memandang ke arah Arwani, tetapi Arwani hanya terdiam, tidak melanjutkan kata-katanya. Akhirnya Kirri berkata, “Tidak kok, kami sudah selesai bicara. Namamu Mazeh khan ? Jangan memaksakan diri seperti itu. Tubuhmu takkan kuat menahannya.”
    Setelah berkata demikian, Kirri melangkah pergi. Sementara Arwani masih terdiam; Wajahnya tampak tegang.
    “Tidak bisa ! Aku.. masih tidak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Mazeh.”


    ----------------------------------------------------------------------------------------------

    Dua teman seperjalanan Arwani-pun muncul; Mazeh dari suku Gandharva yg kehilangan adik, dan Kirri dari Desa Padang Liar. Petualangan apakah yg akan menanti mereka ? Dan bagaimanakah Arwani harus menghadapi takdirnya ?

    BTW cerita ini memang dah lama w buat sih, dah cukup panjang ^^a
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  6. #5
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    7. Serangan Mendadak
    Angin bertiup semilir di padang rumput nan luas. Arwani berdiri seorang diri di tengah padang tersebut, dan sejauh mata memandang, tidak ada orang lain di sekitarnya.
    “Di mana.. ini ?”

    Langit cerah, tetapi awan bergerak dengan sangat cepat. Perlahan Arwani melangkahkan kakinya. Tetapi entah kenapa, kakinya tak mau beranjak dari tempatnya. Arwani-pun melihat ke bawah; Ternyata seluruh kakinya telah diliputi oleh kegelapan pekat.
    “A.. apa ini ?! Kenapa.. kakiku tidak terlihat ?”

    Kemudian Arwani berusaha menjulurkan tangannya ke kegelapan yang meliputi kakinya. Untuk kedua kalinya ia terkejut; Sama seperti kakinya, seluruh tangannya-pun telah diliputi kegelapan. Tepatnya, seluruh tubuhnya telah diliputi kegelapan !
    “Ke.. kenapa jadi begini ?! Kenapa seluruh tubuhku tidak terlihat ?!”

    Tiba-tiba terdengar sebuah suara di benaknya, “Bukankah kegelapan itu adalah tubuhmu ? Kamu bukanlah manusia, tetapi kamu adalah putri Mara, Sang Penguasa Kegelapan. Kegelapan adalah bagian dari dirimu.”
    Arwani ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Sementara suara itu kembali berkata, “Sekarang akan kuperlihatkan, kehebatan kekuatan kegelapan !”
    Tiba-tiba langit yang cerah itu berubah menjadi gelap pekat, sama seperti yang dilihat Arwani ketika ia pingsan. Angin menyibakkan rerumputan, dan terlihatlah oleh Arwani, ratusan mayat tergeletak bersimbah darah. Arwani semakin terkejut ketika melihat, di antara mereka terdapat Mazeh dan Kirri, bahkan juga pemuda yang menolong Mazeh.
    “Mereka takkan mampu bertahan terhadap kekuatan kegelapan. Nah, apa sekarang kamu sudah bisa menerima kegelapan di dalam dirimu, putriku ?”
    Secara mengejutkan, Arwani mampu menjerit, “TIDA..K !”
    Mendadak, semua pemandangan mengerikan yang dilihatnya berubah. Semua berubah kembali menjadi normal; Langit kembali biru, di padang rumput tidak ada apapun, dan tubuh Arwani kembali terlihat.
    “Ah iya, tadi khan aku pergi ke tempat ini, karena seakan ada suara yang memanggilku.
    Apa itu.. Mara ? Tapi suara yang kudengar bukanlah suara Mara...”

    Belum sempat Arwani berpikir lebih jauh, ketika tiba-tiba terdengar jeritan dari Desa Padang Liar.

    Ketika kembali ke Desa Padang Liar, Arwani terkejut melihat desa tersebut sedang diserang oleh aprah vahara raja dalam jumlah yang sangat banyak. Para penduduk berusaha mempertahankan diri dengan kemampuan mereka, tetapi musuh terlalu banyak untuk dihadapi. Akhirnya beberapa penduduk yang biasa bertarung melawan hewan buas, memutuskan agar para penduduk yang tidak bisa bertarung untuk segera meninggalkan desa, sementara mereka akan menahan musuh sampai semua orang sudah meloloskan diri.
    Arwani segera mencari Mazeh. Ia terkejut ketika melihat bahwa Mazeh sedang berlari dikejar-kejar oleh seekor aprah vahara raja; Nafas Mazeh terengah-engah, dan tampaknya sebentar lagi monster itu bisa mencapai dirinya. Dengan cepat Arwani mencabut shamsir dari sarungnya, lalu berlari mendekat untuk menolong Mazeh. Arwani berusaha menyerang aprah vahara raja itu dengan sekuat tenaga, tetapi hanya bisa menggores sedikit makhluk raksasa itu; Bulu tebal aprah vahara raja adalah pelindung yang sangat kuat. Makhluk itu menengok ke arah Arwani. Untuk kedua kalinya, Arwani berusaha menebaskan shamsirnya, tetapi tetap sia-sia.
    “Kak Arwani, bahaya !”, dengan kekuatan yang tersisa, Mazeh berusaha menjerit memperingatkan Arwani.
    Tetapi sudah terlambat; Tangan kanan aprah vahara raja yang diserang Arwani sudah terangkat tinggi, dan siap menghujamkan kukunya yang tajam ke tubuh Arwani.

    Serangan itu datang begitu cepat, Arwani hanya bisa memejamkan mata saja..... tetapi Arwani tidak merasakan sakit sama sekali. Perlahan Arwani membuka matanya. Ternyata di hadapannya, Kirri telah menahan serangan aprah vahara raja tersebut dengan kedua lengannya.
    “Cepat..lah.. pergi.. dari sini !”
    “Ta.. tapi...”
    Dengan cepat Kirri memotong, “Cepat ! Aku.. tak tahu.. berapa lama bisa.. bertahan...”
    Akhirnya Arwani segera bangkit dan menjauh. Kesal karena serangannya ditahan, aprah vahara raja itu mengangkat tangan kirinya, dan siap menyerang Kirri. Tiba-tiba Mazeh melakukan hal yang tak terduga; Ia menubruk aprah vahara raja itu dari belakang, dengan seluruh sisa kekuatannya. Diserang mendadak seperti itu, keseimbangan Aprah itu langsung goyah, dan Kirri dapat meloloskan diri dengan mudah. Untuk selanjutnya, Kirri langsung menyerang balik dengan pukulan beruntunnya.
    “Terima kasih...”, kata-kata Kirri terputus, melihat Mazeh yang tergeletak lemas di tanah, “He.. hey Mazeh, kamu kenapa ?”
    Arwani menggendong Mazeh sambil menjawab, “Wajar saja, kondisi tubuhnya masih belum pulih akibat serangan Bindu. Sekarang ia harus mengerahkan tenaga seperti ini...”, Arwani sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.
    “Aku akan membawa Mazeh ke tempat aman. Tolong, jaga kami.”
    Kirri mengangguk. Lalu Arwani dengan menggendong Mazeh berlari, sementara Kirri menjaga mereka dari belakang. Setelah cukup jauh, barulah mereka kembali menengok ke arah Desa Padang Liar. Sebagian besar rumah-rumah penduduk telah dihancurkan oleh aprah vahara raja, penduduk yang terluka cukup banyak, tetapi tidak ada yang sampai meninggal.
    Salah seorang penduduk, sambil berlutut berkata, “Desa kita...”
    Seorang tetua desa menepuk bahunya sambil berkata, “Jangan sedih. Tempat tinggal masih bisa kita bangun lagi, tetapi nyawa tak tergantikan. Bersyukurlah kita semua masih selamat.”
    “Benar ! Kita ini asalnya adalah suku pengembara, jadi hal seperti ini bukanlah masalah besar untuk kita ! Kalau desa kita dihancurkan, maka kita bangun lagi. Benar khan ?”
    Mendengar kata-kata Kirri, awalnya mereka hanya terdiam. Kirri-pun menjadi kesal.
    “Hey, dimana semangat kalian ? Apa tinggal lama di suatu tempat, membuat kalian menjadi lemah ?! Kalau ayahku masih hidup, pasti beliau akan sedih melihat kalian seperti ini !”
    Para penduduk tertegun. Bagaimanapun, Tarbani adalah pahlawan yang sangat mereka kagumi. Akhirnya penduduk-pun mulai bersemangat kembali.
    “Benar kata Kirri, kalau hanya karena masalah ini kita menjadi putus asa, maka Tarbani akan sangat kecewa !”
    “Kalau desa kita hancur, kita bangun saja lagi. Kalau daerah ini sudah tidak aman, kita pindah ke tempat lain ! Padang ini sangat luas, kita bisa pergi kemana saja kita mau !”
    Melihat reaksi positif para penduduk, akhirnya Kirri-pun tersenyum. Tiba-tiba salah seorang penduduk mengajukan pertanyaan yang membuat semuanya terkejut.
    “Tapi, kenapa aprah vahara raja tiba-tiba menyerang desa kita ? Bukankah biasanya mereka itu makhluk penakut, yang bahkan bersembunyi jika bertemu manusia ?”

    Semua tertegun mendengar pertanyaan itu. Beberapa orang mulai menengok ke arah Arwani dan Mazeh. Salah seorang dari mereka, maju sambil berkata, “Benar juga ! Kejadian ini terjadi tak lama setelah mereka datang kemari !”
    “Apa maksud kalian ?”
    “Bukankah sudah jelas ? Karena kalian berdua datang ke desa kami, maka makhluk-makhluk itu menjadi ganas dan menyerang desa kami !”
    Arwani terdiam, melihat para penduduk yang sedang menatap dirinya dengan pandangan marah. Tiba-tiba terdengar suara Kirri dari arah belakang penduduk, “Kalau kalian berpikir begitu, apa kalian bisa menjelaskan, kenapa aprah vahara raja mengincar mereka berdua ?”
    “I.. itu sih, tentu saja mereka sendiri yang tahu ! Mungkin saja, karena anak laki-laki itu sudah melawan Bindu.”
    “Bindu adalah pimpinan vashabum, bukan aprah vahara raja. Yang kau katakan barusan tidak beralasan !”, Kirri memandang tajam ke arah orang itu.
    Ditatap seperti itu, orang itu mundur. Kirri maju dan memandang ke arah Arwani yang sedang menjaga Mazeh yang masih pingsan.
    “Aku tak ingin memaksamu, tetapi sepertinya lebih baik kalau kamu menjelaskan siapa dirimu sebenarnya, agar mereka tak berburuk sangka kepada kalian lagi.”
    Sekilas Arwani melihat ke arah para penduduk yang masih melihat dirinya dan Mazeh dengan pandangan curiga. Akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam.
    “Apa yang kamu katakan malam itu memang benar; Aku bukan berasal dari suku gandharva. Aku berasal dari suku garuda, dan awalnya tinggal berdua saja dengan ibuku. Pada suatu malam, rumah kami diserang oleh pasukan serbinda, dan ibuku meninggal.”
    Orang yang tadi berusaha memojokkan Arwani langsung memotong, “Tuh khan, aku benar !”
    Kirri menengok dan menatap orang tadi dengan tajam. Orang itu langsung kembali terdiam.
    Arwani-pun melanjutkan, “Ibuku berasal dari suku rakshasa, jadi sejak kecil, aku selalu berpikir kalau aku juga suku rakshasa. Tetapi sebelum tempat tinggal kami diserang, aku mendengar cerita yang mengejutkan dari ibuku. Ternyata kami tidak mempunyai hubungan darah; Ia menolongku ketika aku masih bayi, waktu hampir dibunuh oleh pengawal istana. Sebelum meninggal, beliau berpesan agar aku pergi ke kuil Vishnu, untuk mengikuti ujian kekuatan Mantra dan menjadi pelayan Vishnu. Itulah sebabnya aku mulai berkelana menuju Mandara.”
    Kirri terdiam sejenak, kemudian bertanya lagi, “Apakah ibumu memberitahumu, kenapa ketika kamu masih bayi, kamu hampir dibunuh oleh pengawal istana ?”
    DEG ! Arwani terkejut mendengar pertanyaan Kirri tersebut.
    “A.. apa aku.. harus mengatakannya ?
    Tetapi saat ini.. semua penduduk desa akan mendengarnya...”

    Dengan suara perlahan, Kirri bertanya, “Apa mungkin hal itu ada hubungannya dengan ‘bau’ bahaya yang kurasakan pada dirimu ?”
    Arwani hanya menunduk, tanpa dapat memberikan jawaban. Melihat itu, Kirri menengok ke arah penduduk sambil berkata, “Nah, ia sudah menjelaskan siapa dirinya. Jadi kurasa sudah tidak ada masalah lagi khan ?”
    “Ta.. tapi, kenapa pasukan serbinda, dan sekarang aprah vahara raja, hendak menyerangnya ? Kami masih butuh penjelasan akan hal itu !”
    “Apa kalian yakin aprah vahara raja yang menyerang desa kita bermaksud menyerang Arwani ? Mungkin saja mereka mengamuk karena alasan lain. Mengenai serbinda, bukankah mereka memang suka menyerang dan menjarah rumah penduduk ? Sudahlah, saat ini bukan hal itu yang harus kita pikirkan ! Kita harus membangun desa kita lagi, itulah yang penting !”
    Akhirnya penduduk desa membubarkan diri. Ketika Kirri juga hendak beranjak pergi, Arwani menahannya dengan pertanyaan, “Kenapa kamu.. membelaku ? Khan kamu sudah merasakan adanya bahaya pada diriku ?”
    Kirri menengok sambil tersenyum.
    “Siapa bilang aku membelamu ? Aku melakukannya demi anak itu kok.”, Kirri menunjuk ke arah Mazeh yang masih pingsan.
    Arwani-pun tersenyum, “Terima kasih.”
    “Arwani, sepertinya Mazeh sangat mempercayaimu. Jangan menghancurkan kepercayaan itu !”
    Setelah berkata demikian, Kirri berjalan pergi.

    ------------------------------------------------------------------------------------------------

    Hmm... 1 bab mayan panjang jg ya cerita ini...
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  7. #6
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    8. Perjumpaan Kembali ?
    Beberapa hari kemudian, setelah Mazeh kembali pulih dan kehidupan mulai berjalan normal, Arwani memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya menuju Mandara.
    “Terima kasih telah menerima kami selama ini. Kurasa sekarang saat yang tepat bagi kami untuk melanjutkan perjalanan kami.”
    Setelah berpamitan pada tetua desa, Arwani dan Mazeh-pun berjalan pergi. Tak jauh dari Desa Padang Liar, Kirri telah berdiri menunggu mereka.
    “Kirri, ada apa ?”
    “Kenapa kamu pergi tanpa pamit padaku ? Apa kamu tidak ingin bicara denganku ?”
    Arwani menggeleng, “Justru sebaliknya, masih banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu, Kirri. Tetapi, hal itu bisa dilakukan di lain waktu. Sekarang ini aku harus secepatnya sampai ke Shambala, untuk menjalankan tugas yang diamanatkan kepadaku oleh ibu angkatku.”
    “Menjalani ujian kekuatan Mantra, dan menjadi pelayan Dewi Vishnu ? Kalau-pun berhasil, apa kamu bisa bertahan tinggal di Kuil Dewi Vishnu selama tiga tahun dan tidak boleh keluar ?”
    Arwani terdiam sejenak. Akhirnya ia berkata, “Kalau memang itu adalah takdirku, aku akan menjalaninya. Selain itu, aku bersedia melakukan hal itu bukan karena permintaan dewi, tetapi karena ibuku.”
    “Eh ?”, bola mata Kirri terbelalak, “Tu.. tunggu ! Apa yang barusan kamu bilang ?”
    “Aku bersedia melakukan itu bukan karena permintaan dewi, tetapi demi ibuku.”
    Dengan setengah terbata-bata, Kirri bertanya, “A.. apa maksudmu.. Dewi Vishnu sendiri.. yang memintamu.. menjadi pelayannya ?”
    Arwani menghela nafas, “Sebenarnya, ketika aku masih kecil dan hendak dibunuh, ibuku bukan menolongku. Beliau bahkan juga hendak membunuhku, setelah prajurit itu gagal membunuhku. Itu.. ada hubungannya dengan ‘bau’ bahaya yang kaurasakan. Tetapi pada saat itulah, tiba-tiba ibuku mendengar suara Dewi Vishnu. Ketika itulah Dewi Vishnu meminta ibu untuk merawatku, agar aku bisa menjalani ujian kekuatan Mantra, dan menjadi pelayan-Nya.”
    Kirri memandang Arwani, lalu sambil tersenyum ia berkata, “Kamu itu.. benar-benar orang yang penuh misteri ya ? Bahkan Dewi Vishnu sendiri yang memintamu untuk menjadi pelayan-Nya.”, lalu ia berjalan mendekat ke arah Arwani, “Baiklah, aku sudah memutuskan. Arwani, aku akan ikut denganmu !”
    “Haa ? Kamu.. mau ikut denganku ? Ta.. tapi, bagaimana dengan...”
    Kirri langsung memotong, “Hey hey, apa kamu lupa kalau aku ini suku gandharva ? Kami adalah pengembara, tidak pernah terikat oleh tempat ataupun orang lain. Ayahku-pun ketika masih muda, juga bertualang seorang diri, sebelum akhirnya balik ke desa.”
    “Begitu ya ?”, Arwani hanya mengangkat bahu, “Ya sudah, terserah kamu saja. Aku yakin Mazeh juga tidak akan keberatan khan ?”
    Mazeh mengangguk dengan semangat; Sepertinya ia gembira dengan keputusan Kirri. Lalu tanpa kembali ke desa, mereka bertiga segera meneruskan perjalanan.

    Setelah beberapa hari perjalanan, akhirnya sampai juga mereka di Kota Mandara. Sebuah kota yang ramai, penuh orang lalu lalang dan berdagang. Ketika tiba di gerbang kota, beberapa penjaga kota segera mendatangi mereka.
    “Ada urusan apa kalian datang ke Kota Mandara ini, wahai para pengelana ?”
    Kirri membuka penutup kepalanya, “Aku Kirri, dan kami datang dari Desa Padang Liar. Ijinkan kami masuk.”
    “Ah, rupanya Anda, Nona Kirri. Maafkanlah kelancangan kami. Silahkan Anda masuk.”
    Melihat sikap ramah penjaga kota, baik Arwani maupun Mazeh merasa bingung. Setelah masuk ke dalam kota, barulah Kirri menjelaskan.
    “Pasti kalian bingung dengan sikap mereka terhadapku khan ? Sebagai wakil dari Desa Padang Liar, aku sering datang ke Mandara untuk membawa hasil dari ternak kami. Dan, beberapa persen dari keuntungan penjualan, sering kuberikan pada mereka karena mereka juga sering membantu. Nah, itulah sebabnya mereka mengenalku.”
    Arwani dan Mazeh saling berpandangan, lalu tersenyum.
    “Kalau begitu, sepertinya lebih baik jika malam ini kita beristirahat dulu di kota ini. Perjalanan dari Mandara ke Shambala cukup jauh lho.”
    Arwani mengangguk menyetujui pernyataan Kirri itu. Ketika sedang berkeliling untuk mencari penginapan, tiba-tiba Mazeh menabrak seseorang. Dan ketika melihat orang yang ditabrak Mazeh, bola mata Arwani terbelalak.
    “I.. ibu ?”

    “Hey, jalan hati-hati dong !”
    Mazeh sambil menunduk, berkata dengan suara yang hampir tak terdengar, “Ma.. maafkan saya.”
    Orang itu hanya mendengus kesal, lalu hendak berjalan pergi. Tetapi Arwani menahannya.
    “Tu.. tunggu, ibu !”
    Orang itu kembali menengok ke arah Arwani, dan memandangnya dengan bingung.
    “Apa barusan kamu memanggilku ?”
    “Ibu, ini aku, putrimu Arwani.”, lalu dengan air mata mulai mengalir di pipi, Arwani melanjutkan, “Ternyata ibu masih hidup. Waktu itu kupikir ibu sudah meninggal, jadi aku mengubur ibu.”
    Ketika Arwani akan memeluknya, orang itu mendorong tubuh Arwani.
    “A.. apa-apaan ini ?! Aku tidak kenal kamu, dan aku bukan ibumu !”
    Giliran Arwani yang merasa bingung.
    “E.. eh, te.. tetapi... kalau Anda bukan ibu saya, kenapa Anda bisa begitu mirip dengan ibu ?”
    Mendengar kata-kata Arwani, orang itu tampak terkejut.
    “Aku.. mirip dengan ibumu ? Tu.. tunggu ! Siapa nama ibumu ?”
    “Resha Eshrandyl.”
    Bola mata orang itu terbelalak seakan tidak percaya.
    “Jadi begitu. Ibumu.. adalah Kak Resha.”, lalu dengan setengah menunduk, ia seakan berbicara pada dirinya sendiri, “Padahal, selama ini aku selalu mencari dan terus mencari. Kenapa kamu tidak pernah kembali ke desa kita, kakak ?!”
    Arwani masih memandang orang itu dengan bingung.
    “Ma.. maaf, apa Anda mengenal ibu saya ?”
    Tiba-tiba orang itu mencengkram bahu Arwani sambil berkata, “Dimana kakak... eh, maksudku ibumu, sekarang ?!”
    Dengan setengah meringis kesakitan, Arwani menjawab, “I.. ibu... sudah meninggal.”
    Orang itu melepaskan cengkramannya, lalu melangkah mundur.
    “Kak Resha.. sudah meninggal ? Tidak, itu.. tidak mungkin ! Aku tidak mempercayai, aku takkan pernah percaya akan hal seperti itu !”
    “Apa mungkin Anda adalah adik ibu ? Maaf, tapi ibu tidak pernah membicarakan mengenai dirinya sendiri, jadi saya tidak tahu apa-apa mengenai keluarga ibu.”
    Orang itu masih tampak berusaha menenangkan dirinya. Setelah akhirnya berhasil, ia kembali menengok ke arah Arwani.
    “Maafkan sikapku tadi. Oh ya, namaku Ratna Eshrandyl. Jadi, Kak Resha sudah meninggal. Apa kamu bisa menceritakan, kenapa hal itu bisa terjadi ?”
    Arwani mengangguk, lalu mereka mencari tempat untuk berteduh.

    “Jadi sebenarnya, kamu bukan putri kandung dari Kak Resha ? Dan ketika itu, Kak Resha tidak menjalankan ritual perburuan Nachal sesuai adat suku kami ?”
    Arwani mengangguk. Ia baru saja selesai menceritakan mengenai masa lalunya; Tetapi tetap tidak menceritakan mengenai alasan mengapa dirinya hampir dibunuh pengawal istana.
    Ratna hanya menghela nafas, “Pantas saja ia tidak pernah kembali ke desa lagi. Padahal aku sangat merindukannya, bahkan aku tidak bersedia menjalani perburuan Nachal, karena aku tetap percaya, bahwa suatu hari kakak akan kembali. Tapi...”, Ratna tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, hanya terdiam dengan pandangan sedih.
    Kirri tiba-tiba menyela, “Lalu, kenapa Kak Ratna bisa berada di Kota Mandara ini ? Dari yang kudengar, bukankah orang dari suku Nachal tidak pernah pergi jauh dari desa mereka, kecuali untuk melakukan ritual perburuan Nachal ?”
    Ratna tampak terkejut mendengar pertanyaan mendadak dari Kirri tersebut.
    “Rupanya kamu tahu juga mengenai hal itu ya, gadis dari suku Gandharva ? Ya, itu memang benar. Tapi sekitar sebulan yang lalu, ada sebuah kejadian yang menimpa desa kami, dan aku terpaksa pergi karena hal itu.”
    “Kejadian ? Kejadian apa ?”
    Ratna Eshrandyl terdiam sejenak, kemudian berkata, “Desa kami diserang oleh ‘Mata dari langit’ dalam jumlah yang sangat banyak ! Padahal biasanya mereka tinggal di gua-gua, entah kenapa tiba-tiba mereka menyerang kami.”
    “Mata dari langit ? Apa maksudnya ?”
    “Makhluk itu berbentuk bola mata besar, dan memiliki sayap dan gigi yang tajam. Mereka biasa tinggal di gua-gua, dan tidak pernah keluar. Tapi hari itu, entah kenapa mereka keluar dan menyerang desaku.”
    Kirri melihat, bahwa ketika bercerita, tangan Ratna gemetar.
    “Lalu, kalian melawan makhluk-makhluk itu khan ? Apa jumlah mereka terlalu banyak sampai kalian harus melarikan diri dari desa kalian ?”
    “I.. itu...”, tangan Ratna semakin gemetar, “.. aku tidak tahu. Ketika melihat ‘Mata dari langit’ dalam jumlah yang sangat banyak, yang terpikir olehku hanyalah.. pergi secepatnya dari situ.”
    “A.. APA ?! Maksud kakak, kakak melarikan diri meninggalkan penduduk desa ?!”
    Mendengar pertanyaan keras dari Kirri, Ratna tidak menjawab, hanya menunduk saja. Kirri yang marah, akhirnya menggebrak meja dengan keras.
    “Apa kakak masih pantas menyebut diri pejuang hah ?! Kakak tak lebih dari seorang pengecut !”
    “Ki.. Kirri ! Kata-katamu barusan sangat keterlaluan !”
    Kirri hanya mendengus, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi meninggalkan mereka.
    “Kak Ratna, maafkan dia ya ? Kirri memang keras, tapi sebenarnya dia sangat baik kok.”
    Ratna bangkit berdiri, dan dengan suara pelan ia berkata, “Aku ingin istirahat.”
    Lalu Ratna pergi dengan langkah lunglai.

    -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Ratna Eshrandyl, saudari dari Resha, ibu angkat Arwani, telah muncul.
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  8. #7
    Kaixa's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    di pelukan Tae Yeon SNSD & Jessica SNSD
    Posts
    6,719
    Points
    1,549.12
    Thanks: 274 / 205 / 173

    Default

    sptnya ini fanfic repost dari forum sebelah ya ? krn gw pernah baca ini fanfic sekitar 2-3 thn yg lalu (kalo ga salah inget).

    tp good job,bro. dg begini gw jd terkenang akan masa2 tantra berjaya di dunia mmorpg indonesia
    Ten no michi o iki, Subete o Tsukasadoru otoko



    Kono machi wa boku no uchi. Boku wa dareka mo naite ga hoshikunai



    Prinsip berteman ala gw : Lo baek, gue lebih baek. Lo jahat, gue lebih kejam 10x lipat


    "It's... It's Lu Bu !!!"



  9. #8
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Wah, Mas Kaixa tahu pas masa2 sy post fanfic ini di forum laen ya ? Yupz ^^ W seneng ada yg msh ingat jg dgn game Tantra. Sayang, masa jaya game Tantra skr dah berakhir... tp tetap takkan terlupakan game 1 ini ^^
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  10. #9
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    9. Pemburu Bayaran
    Setelah Ratna Eshrandyl pergi, Arwani masih tetap duduk di tempatnya. Tiba-tiba terdengar suara tak jauh dari belakangnya, “Kavanda Javu.”
    “Eh ?”, Arwani menengok, dan melihat bahwa ada seorang pemuda dengan wajah dingin dan bekas luka di hidungnya, duduk tak jauh darinya dan sedang menatap dirinya.
    “Maksudku, makhluk yang disebut sebagai ‘Mata dari langit’ oleh wanita tadi, adalah Kavanda Javu. Mereka memang tinggal di gua-gua, dan tidak pernah keluar kecuali pada malam hari.”
    “Kamu tahu makhluk itu ? Lalu, apa kamu tahu apa kiranya penyebab mereka keluar dari dalam gua dan menyerang manusia ?”
    Pemuda itu hanya mengangkat bahu, “Sayangnya, aku bukan seorang peramal, gadis manis. Aku hanyalah seorang ‘bounty hunter’, dan percakapan kalian sangat menarik bagiku. Kebetulan ada seorang ‘klien’ yang membutuhkan sayap dari Kavanda Javu, jadi kurasa aku ingin minta bantuan dari kalian.”
    Arwani terdiam sejenak, kemudian bertanya, “Maksudmu, kamu ingin agar kami membawamu ke desa tempat tinggal Kak Ratna, dimana makhluk Kavanda Javu itu keluar, begitu ? Sayangnya aku tidak punya waktu untuk itu. Aku harus pergi ke Shambala secepatnya.”
    “Begitukah ? Sayang sekali. Kalau begitu, kurasa aku harus mencari tempatnya sendiri.”
    Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Arwani, “Apa salahnya kita membantunya, Arwani ?”
    Arwani menengok, dan melihat Kirri dengan senyum penuh arti sedang berdiri di belakangnya.
    “Ki.. Kirri, apa maksudmu ?”
    “Kupikir tidak baik kalau aku pergi begitu saja, jadi aku balik lagi. Aku memang bermaksud hendak pergi ke desa tersebut, dan ternyata ada juga yang tertarik pergi kesana. Jadi apa salahnya kalau kita pergi bersama-sama ?”
    “Ja.. jadi, tadi kamu bermaksud pergi ke desa tempat Kak Ratna berasal ? Tapi, kamu tidak tahu dimana tempatnya khan ?”
    “Jangan meremehkan pengetahuanku lho. Aku tahu, dimana letak desa suku Nachal. Gimana Arwani ? Kurasa kamu juga tidak harus tiba di Shambala secepatnya khan ?”
    Arwani menengok ke arah Mazeh; Tetapi sepertinya Arwani sudah menebak apa kiranya jawaban dari Mazeh.
    Dengan perlahan, Mazeh menjawab, “Aku.. ingin pergi bersama.. Kak Kirri.”
    Arwani hanya mengangkat bahu sambil menjawab, “Baiklah, kita akan pergi ke sana. Sebenarnya aku juga ingin melihat desa tempat ibuku berasal.”
    Pemuda tadi tersenyum puas, “Kalau begitu, kita sudah sepakat. Besok pagi, aku akan menunggu kalian di gerbang kota.”
    Sementara itu, tanpa mereka sadari, Ratna Eshrandyl yang sedari tadi diam-diam mendengarkan, menyelinap pergi.

    Malam hari di kamar tempat mereka menginap, Arwani sedang asyik memperhatikan keadaan di luar dari jendela. Sementara Kirri baru selesai mandi.
    “Arwani, kamu sedang ngapain ?”
    Arwani menengok ke arah Kirri sambil tersenyum, “Kota Mandara benar-benar kota besar ya ? Bahkan sampai malam hari-pun, di jalanan masih banyak orang lalu lalang dan berjualan. Beda sekali dengan Desa Padang Liar.”
    Kirri ikut tersenyum.
    “Begitulah. Sebagai pusat perdagangan, kota ini seakan tidak pernah ‘tidur’. Para pedagang dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk menjual dagangannya, dan hal itu menyebabkan orang-orang yang hendak mencari sesuatu, berkumpul di kota ini, termasuk ‘bounty hunter’ yang kita temui siang tadi.”
    Wajah Arwani langsung berubah menjadi serius.
    “Kirri, kamu.. masih nggak bicara dengan Kak Ratna ?”
    “Untuk apa ? Arwani, aku paling benci dengan orang pengecut seperti itu ! Lari meninggalkan desa dan teman-temannya, karena ketakutan menghadapi musuh.”
    “Lalu menurutmu, kalau berhadapan dengan musuh dalam jumlah sangat banyak, apa kita tetap harus menghadapinya ? Apa bagimu lebih baik mati melawan musuh, daripada melarikan diri dan tetap hidup ?!”
    Kirri terkejut mendengar nada marah dalam kata-kata terakhir Arwani.
    “Arwani, apa maksudmu ?”
    Arwani terdiam sejenak; Matanya tampak menerawang.
    “Kalau saja ibuku juga memilih untuk melarikan diri, dan tidak menghadapi serbinda-serbinda itu, tentu saja ia masih hidup. Dan aku takkan merasa kehilangan seperti ini ! Memang benar, mati dalam pertempuran melawan musuh adalah kebanggaan bagi pejuang, tapi apa kalian pernah memikirkan bagaimana perasaan orang yang ditinggalkan ?!”, Arwani menatap tajam ke Kirri.
    Kirri hanya menunduk, “Kamu benar. Aku.. juga pernah merasakan kehilangan seperti yang kamu alami, yaitu ketika ayahku meninggal, jadi aku mengerti perasaanmu. Maaf, aku telah membuka kembali luka lamamu.”
    Arwani kembali melihat keluar jendela, sementara Kirri membaringkan diri di ranjang.

    Keesokan paginya, Kirri membangunkan Arwani yang masih terlelap.
    “Hey, mau tidur sampai kapan ? Matahari sudah tinggi nih !”, lalu Kirri berkata dengan setengah menggerutu, “Masa calon pelayan Dewi Vishnu malas seperti ini sih ?”
    Arwani duduk di tempat tidurnya, lalu menggosok matanya. Kemudian sambil menguap, ia berkata, “Semalam aku tidak bisa tidur. Aku bermimpi mengenai ibu; Seakan aku kembali ke hari dimana ibu meninggal.”
    “Mungkin karena kemarin kamu bertemu dengan Kak Ratna, yang mirip sekali dengan ibumu ?”
    Arwani mengangguk, “Sepertinya begitu. Baiklah, aku harus segera bersiap-siap.”
    Kirri-pun keluar. Di depan pintu, ia bertemu dengan Mazeh, yang hendak mengetuk pintu.
    “Arwani sedang bersiap-siap, jadi kita jalan-jalan dulu sekalian cari makan. Aku sudah lapar nih.”
    Mazeh mengangguk dengan penuh semangat. Lalu keduanya keluar dari penginapan. Pagi itu, orang yang lalu lalang tidak terlalu ramai. Walau demikian, para pedagang tetap bersemangat menjajakan dagangannya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang, “Hey, nona yang sedang bersama anak laki-laki, datanglah kemari ! Ada barang yang cocok untuk Anda disini !”
    Kirri melihat ke sekeliling, dan sadar bahwa dirinya-lah yang dipanggil. Lalu ia menengok ke arah orang yang memanggilnya, bermaksud untuk memarahi pedangan yang dianggapnya tidak sopan tersebut. Tetapi kemudian ia tertegun melihat pedagang itu; Seorang pemuda tampan berambut panjang, dengan memakai kain berwarna merah, dan tampak seekor gagak bertengger di bahu pemuda itu. Mata pemuda itu hitam kelam, seakan memancarkan aura misterius yang aneh, tetapi sangat menarik minat Kirri. Kirri-pun mendatangi si pedagang, lalu bertanya, “Barang apa yang hendak kau tawarkan itu ?”
    Pedagang itu mengeluarkan sebuah botol kristal berisi bubuk berwarna putih.
    “Bubuk ini adalah bubuk penyembuh luka paling cepat. Luka-lukamu akan pulih dalam sekejab.”
    Mendengar kata-kata pedagang tersebut, Kirri langsung tersenyum mengejek.
    “Lucu juga caramu menawarkan barang daganganmu. Mana ada obat yang begitu ampuh ?”
    Pedagang tadi dengan tetap tersenyum, tiba-tiba mengeluarkan sebuah belati kecil, dan langsung menusukkan belati tersebut pada perutnya. Kejadian itu terjadi begitu cepat, dan Kirri hanya bisa tertegun melihatnya. Pedagang itu memegang perutnya sambil menahan sakit, sementara darah mengucur deras.
    “He.. hey, apa kamu sudah gila ?! Apa kamu mau mati ?!”
    Ia berusaha tersenyum, lalu berkata, “Kalau aku.. tidak menunjukkannya, nona.. takkan percaya.. padaku khan ?”
    Setelah berkata demikian, pedagang itu membuka botol obatnya, lalu segera menaburkannya pada lukanya. Ketika bubuk obat itu mengenai lukanya, pedagang itu menjerit dengan keras.
    “Ma..af, obatku.. memang keras. Tapi.. sangat manjur.”
    Kemudian ia berusaha duduk di tanah. Apa yang terjadi berikutnya, benar-benar membuat Kirri tercengang; Walau bercak darah masih tampak, tetapi luka di perut Sang pedagang perlahan-lahan mengering. Setelah merasa lebih baik, pedagang itu tersenyum kepada Kirri.
    “Bagaimana ? Aku tidak bohong khan ?”
    Sebelum Kirri sempat menjawab, terdengar suara seseorang dari belakang Kirri, “Waduh Karan, kali ini apa lagi ulahmu untuk menarik pembeli ?”
    Kirri terkejut mendengar suara tersebut, lalu ia menengok perlahan; Dugaannya tepat, pemilik suara tersebut adalah ‘bounty hunter’ yang hendak pergi bersamanya dan Arwani ke Desa Nachal !

    “Hey, bukankah kamu gadis yang hendak ke Desa suku Nachal bersamaku itu khan ? Dimana temanmu yang cantik itu ?”
    Kirri menarik nafas dengan kesal, “Kalau maksudmu Arwani, dia sedang bersiap-siap.”
    “Oh, jadi namanya Arwani. Oh ya, namaku Raghul, dan kamu ?”
    “Kirri !”, jawab Kirri dengan acuh.
    “Hmm, kenapa kamu marah ? Apa kamu kesal karena aku bilang temanmu cantik ?”
    Kirri tidak menjawab. Sementara Karan masih memandang keduanya dengan bingung.
    “Raghul, jadi gadis ini temanmu ? Maaf, aku tidak tahu. Perkenalkan, namaku Karan, dan aku adalah seorang peramu obat.”
    Sambil tersenyum Raghul berkata, “Tepatnya, peramu obat paling hebat seluruh Mandara.”
    “Jangan berkata begitu, Raghul. Aku juga masih belajar kok.”
    “Hehehe, dia merendah lagi.”, kemudian Raghul kembali menengok ke arah Kirri, “Kirri, asal kamu tahu saja ya, dia ini penyelamat jiwaku lho. Ketika aku terluka parah akibat diserang mendadak oleh puluhan monster, dia menyembuhkan semua luka-lukaku hanya dalam waktu sehari saja. Semua itu seperti keajaiban, dan Karan-lah yang menciptakan keajaiban tersebut.”
    Kirri-pun mengangguk, “Ya, setelah melihat khasiat obat yang diramunya, aku percaya dengan kemampuan Karan. Sepertinya aku akan membeli satu botol. Berapa harganya ?”
    Sambil mengangkat bahu, Karan menjawab, “Karena Anda teman Raghul, aku akan memberikan obat ini untukmu dengan cuma-cuma. Silahkan.”, sambil berkata demikian, Karan memberikan botol berisi obat tersebut kepada Kirri.
    “E.. eh, te.. tetapi...”, Kirri merasa tidak enak menerimanya.
    Raghul tertawa, “Terima saja Kirri, anggap saja hari ini hari keberuntunganmu. Oh ya Karan, ada hal yang ingin kubicarakan denganmu. Bisa bicara berdua saja ?”
    Karan mengangguk, lalu keduanya masuk ke dalam tenda yang terletak di belakang tempat Karan berjualan. Sementara Kirri masih memandang ke arah botol obat yang diberikan Karan. Tiba-tiba terdengar suara lemah Mazeh, “Kak Kirri, bukannya.. kita mau mencari.. makan ?”
    “O.. oh iya, maaf ya Mazeh. Yuk sekarang kita cari tempat yang enak untuk makan.”

    Ketika keduanya sudah kembali ke tempat penginapan, tampak Arwani sudah bersiap-siap untuk berangkat.
    “Kalian dari mana saja sih ? Dari tadi aku mencari kalian, tahu ?!”
    Sambil tertawa, Kirri menjawab, “Maaf, tadi aku dan Mazeh jalan-jalan sebentar sekalian mencari makan. Oh ya, apa kamu mau makan dulu, Arwani ?”
    Wajah Arwani memerah karena kesal, “Ka.. kalian pergi makan tanpa mengajakku ?! Teman macam apa kalian ini ?!”
    “Arwani, suaramu terlalu keras !”, lalu sambil menahan Arwani, Kirri berkata, “Sudahlah, kali ini biar aku mentraktirmu. Bagaimana ?”
    “Tidak perlu ! Selagi mencari kalian, aku juga sekalian makan pagi kok. Lebih baik kita langsung berangkat. ‘Bounty hunter’ itu pasti lagi menunggu kita di gerbang kota.”
    Kirri mengangguk, lalu ketiganya bersama-sama pergi ke gerbang kota Mandara. Sesampainya mereka disana, mereka melihat Raghul sedang berdiri menunggu mereka. Arwani maju sambil berkata, “Maaf, apa kamu sudah lama menunggu kami ?”
    “Ah, tidak juga. Aku sendiri baru sampai kok.”, sambil berkata demikian, Raghul mengedipkan mata kepada Kirri.
    “Oh ya, kemarin aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Arwani, dan dia Kirri. Sedang anak laki-laki ini bernama Mazeh.”
    Raghul menerima jabat tangan Arwani, “Aku Raghul, seorang ‘bounty hunter’. Apa kalian masih ada urusan lain di Kota Mandara ini ? Kalau tidak, ayo kita segera berangkat !”
    Baik Arwani maupun Kirri sama-sama menggeleng. Lalu Kirri berjalan di depan, diikuti oleh Raghul, Arwani dan Mazeh. Sementara, tanpa mereka sadari, ada sesosok bayangan yang juga mengikuti mereka.

    -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Awal dari perburuan, dan siapakah bayangan yang perlahan mengikuti langkah mereka ?
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  11. #10
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    10. Desa Kaum Nachal
    Perjalanan menuju Desa Nachal merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Melewati hutan dan kadang berhadapan dengan makhluk-makhluk kegelapan Mara, berulang kali Raghul dan Kirri harus berjuang melindungi Arwani dan Mazeh. Ketika sedang bertempur, perlahan Kirri melirik ke arah Raghul.
    “Hebat juga dia. Mengandalkan kelincahan tubuhnya, mampu menebas lawan tanpa terkena serangan sama sekali, benar-benar seorang bounty hunter yang tangguh.”
    Sementara Kirri sendiri lebih mengandalkan pada kekuatan pukulan dan daya tahan tubuhnya. Mazeh sangat memperhatikan cara Kirri bertempur. Hingga ia tak sadar, bahwa ada seekor makhluk kegelapan Mara yang siap menyerangnya dari balik pohon. Makhluk itu keluar dengan cepat; Sangat cepat sehingga tidak ada yang sempat menolong Mazeh. Tiba-tiba saja beberapa anak panah meluncur dengan cepat, dan langsung menancap di tubuh makhluk tersebut. Akibat dorongan anak panah itu, tubuh makhluk tersebut terpental cukup jauh. Baik Raghul maupun Kirri langsung waspada.
    “Siapa itu ?! Perlihatkan dirimu !”
    Betapa terkejutnya Kirri, ketika orang itu memperlihatkan dirinya.
    “Kak.. Ratna ? Apa yang barusan menolong Mazeh.. adalah kakak ?”
    Sebenarnya Kirri tidak perlu bertanya; Sebuah busur yang dipegang oleh Ratna Eshrandyl sudah cukup untuk menjawab pertanyaan itu. Wajah Ratna tampak tegang.
    “Maaf, kemarin aku mendengar kalau kalian ingin pergi ke desaku. Maka kuputuskan untuk ikut kalian dengan diam-diam.”
    Semua yang ada di tempat itu terkejut mendengar penjelasan dari Ratna.
    “Kenapa Kak Ratna mengikuti kami ? Bukankah kakak ketakutan, sampai lari dari desa kakak ?”
    “Benar. Tapi kupikir, mungkin sekarang monster-monster itu sudah pergi. Jadi aku ingin melihat keadaan desaku setelah serangan itu.”
    Arwani menengok ke arah Kirri, hendak mengetahui reaksi Kirri. Kirri sendiri masih terdiam selama beberapa saat, memperhatikan Ratna.
    Akhirnya ia bertanya, “Kak Ratna, kalau kemampuan kakak memang hebat, kenapa waktu itu harus melarikan diri dari desa ? Aku tahu, tidak mudah memanah musuh yang sedang bergerak cepat seperti tadi dengan tepat.”
    Ratna tidak menjawab, hanya terdiam sambil menunduk. Melihat itu, Kirri menghela nafas.
    “Kalau kakak tidak ingin mengatakan alasannya, tidak apa-apa. Dan kalau kakak ingin mengikuti kami, terserah saja.”, Kirri membalikkan badannya, tapi berhenti sejenak sambil berkata, “Maaf, kemarin aku telah berkata kasar kepada kakak, padahal aku tidak tahu alasannya.”
    Maka Ratna Eshrandyl-pun ikut dengan mereka.

    Ketika hari menjelang malam, barulah mereka sampai di Desa Nachal. Untuk sesaat, Ratna Eshrandyl menghentikan langkahnya. Tubuhnya sedikit gemetar.
    “Kak Ratna ?”, Arwani menengok ke arah Ratna, “Kenapa berhenti ?”
    “A.. aku... masih tidak bisa melupakan.. pemandangan mengerikan ketika itu. Puluhan.. bahkan ratusan mata terbang melayang, dan siap menerkam apapun yang ada dihadapan mereka...”
    “Bukankah kakak sendiri yang mengatakan kalau mereka sudah pergi ? Selain itu, khan ada kami di sisi kakak.”
    Arwani memegang tangan Ratna. Ratna menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia mengangguk dan melanjutkan perjalanan. Dengan perasaan tegang, mereka berjalan mendekati desa tersebut. Tiba-tiba sebuah anak panah menancap tepat di tanah depan mereka.
    “Orang luar dilarang menjejakkan kaki di desa ini ! Cepatlah pergi !”
    Ratna-pun maju, “Aku Ratna Eshrandyl, putri kedua Emma Eshrandyl ! Ijinkanlah kami masuk !”
    “Ratna !”, seseorang muncul dari antara pepohonan, “Kemana saja kamu menghilang selama ini ? Kami mengkhawatirkanmu.”
    Sambil berjalan mendekat, Ratna berkata, “Rupanya kamu, Ulia. Gimana keadaan desa ? Apa semua baik-baik saja ?”
    Gadis suku Nachal yang bernama Ulia itu terdiam sejenak.
    “Ketika penyerangan itu terjadi, kami benar-benar tidak siap. Akibatnya, banyak yang menjadi korban mata terbang itu. Yang sempat melarikan diri, banyak yang tidak mau kembali sampai tempat ini benar-benar aman. Saat ini yang berada di desa tinggal beberapa orang saja, dan kami bergantian menjaga desa ini.”
    Mendengar penjelasan temannya, Ratna hanya menunduk. Sementara Raghul tiba-tiba maju sambil bertanya, “Lalu sekarang, dimana makhluk yang menyerang kalian itu ?”
    Ulia menengok, lalu menjerit.
    “Kyaa ! Ke.. kenapa ada.. laki-laki disini ?!”, Ulia segera menghunus belatinya.
    “Hey nona, bukankah saat ini ada yang harus lebih dikhawatirkan daripada hal tersebut khan ? Tujuanku adalah makhluk yang kalian sebut mata terbang itu kok, jadi tak perlu khawatir. Dimana mereka sekarang ?”
    Ulia tidak menjawab, hanya memandang Raghul dengan tatapan tajam penuh curiga. Akhirnya Kirri maju sambil berkata, “Apa yang dikatakannya memang benar kok. Dia seorang ‘bounty hunter’, pemburu hadiah yang hanya mau bekerja demi uang saja. Dan katanya, ada yang mau membayar tinggi untuk sayap-sayap makhluk tersebut. Jadi kami takkan mengganggu kalian.”
    Akhirnya Ulia berkata perlahan, “Makhluk-makhluk itu sudah kembali ke gua, tetapi biasanya menjelang tengah malam, mereka akan kembali keluar dan menyerang kami.”
    Kirri mengangguk sambil berkata, “Baiklah, kalau gitu, ayo kita ke gua untuk berburu !”
    Ketika Kirri hendak berjalan, tiba-tiba Raghul menahannya.
    “Jangan ! Gua adalah daerah kekuasaan mereka, jangan harap kita bisa menyerang mereka disana. Lebih baik kita menunggu sampai mereka keluar dari gua.”
    “Eh, ta.. tapi...”
    Raghul menengok ke arah Ulia sambil berkata, “Tenang saja, kami akan istirahat disini. Kamu bisa melanjutkan penjagaanmu untuk memastikan kami tidak memasuki desa kalian.”
    Ulia terdiam sejenak, lalu kembali melompat ke atas pohon.
    “Pokoknya kalau kamu coba-coba mendekati desa kami, aku takkan ragu untuk memanahmu !”
    Sambil tersenyum kepada Ratna, Raghul berkata, “Kalian benar-benar anti terhadap laki-laki ya ? Ya sudahlah, aku mau tidur dulu. Bangunkan aku kalau makhluk itu keluar ya ?”

    “Aku harus lari ! Kalau tidak, ‘dia’ akan menerkamku...”

    Pepohonan tampak begitu menjulang tinggi, seperti raksasa yang akan menghimpit jalan.
    “Aku.. takut. Dimana ujung dari jalan ini ?”

    Setelah sekian lama berlari, akhirnya terlihat seberkas cahaya di ujung jalan. Tapi... ternyata itu merupakan sebuah jurang yang dalam !
    “Ba.. bagaimana ini ? Tidak mungkin aku lompat. Tapi kalau tidak, ‘dia’ akan...”

    Tiba-tiba terdengar suara langkah yang berat dari belakang, disusul raungan yang mengerikan. Ketika menengok, sesosok bayangan gelap makhluk dengan tubuh menjulang tinggi, sudah mengangkat tinggi lengannya. Lengan itu menghujam dengan cepat, dan...
    “TIDA...K !”
    Dan Ratna Eshrandyl-pun terbangun dengan peluh membasahi sekujur tubuhnya.
    “Kak Ratna, ada apa ?”, tanya Arwani yang kebetulan mendapat giliran jaga, “Apa kakak mimpi buruk ?”
    “Mimpi ?”, tanya Ratna sambil menghapus peluh dari keningnya, “Tidak, itu bukan sekedar mimpi buruk. Itu.. ingatan akan masa kecilku.”
    “Eh ? Apa masa kecil kakak bagai mimpi buruk ?”
    Ratna terdiam, tetapi wajahnya tampak tegang. Belum sempat Arwani bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara memecah keheningan malam; Suara jeritan makhluk-makhluk Mara yang siap menyerang !
    Arwani segera bangkit lalu membangunkan Kirri, Raghul dan Mazeh, sementara Ratna masih terdiam di tempatnya. Raghul langsung menyalakan obor, dan mereka-pun menunggu dengan tegang. Akhirnya, dari tengah kegelapan, muncullah puluhan bola mata besar bersayap terbang dengan kecepatan tinggi, tepat menuju arah mereka.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  12. #11
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    11. Mata di Angkasa
    Sebelum makhluk-makhluk itu mencapai mereka, Kirri sempat bertanya kepada Raghul.
    “Raghul, aku mau tanya. Sebenarnya siapa yang menginginkan sayap Kavanda Javu itu ? Apakah Karan ?”
    “Ya, benar. Kamu tahu khan, kalau Karan membuat obat-obatan dari bagian tubuh makhluk-makhluk Mara ? Mungkin saja ia baru menemukan resep baru dengan menggunakan sayap ini.”
    Percakapan mereka terhenti, karena para Kavanda Javu itu telah sampai. Kirri bertahan dengan kekuatan tinjunya, sementara Raghul, dengan kecepatan tinggi, menebaskan dagger-nya untuk memotong salah satu sayap dari para Kavanda Javu itu; Karena sebelah sayapnya dipotong, maka keseimbangan mereka hancur, dan akhirnya terjatuh ke tanah. Arwani berusaha semampunya untuk melindungi dirinya sendiri dan Mazeh, dengan menebaskan shamsirnya sedapatnya. Dan Ratna, dengan bersembunyi dari balik pohon, menembakkan anak-anak panahnya dengan cepat.
    Tetapi jumlah Kavanda Javu yang begitu banyak, akhirnya membuat mereka kelelahan, terutama Raghul yang terus menerus bergerak dengan kecepatan tinggi. Ketika Raghul berhenti sejenak, seekor Kavanda Javu langsung menyerangnya dengan cepat. Makhluk itu mengigit bahu kiri Raghul, dan jeritan Raghul menggema di tengah kegelapan malam, membuat yang lain terkejut.
    “Raghul !”, Kirri langsung berlari mendatanginya, “Kamu kenapa ?”
    Sambil meringis menahan sakit, Raghul berkata, “Sial, aku lengah ! Tapi ini cuma luka kecil kok, aku masih bisa bertarung.”
    “Berhati-hatilah ! Kalau nggak, nyawamu bisa melayang !”
    “Terima kasih atas nasehatnya.”, jawab Raghul sambil tersenyum pahit.
    Kemudian Raghul kembali mengambil dagger-nya yang terjatuh, lalu melanjutkan serangannya. Sementara, tidak ada seorang-pun dari antara mereka yang menyadari adanya keanehan pada diri Arwani; Arwani berdiri terdiam dengan setengah menunduk, dan aura kegelapan mulai melingkupi tubuhnya. Setelah beberapa lama, akhirnya muncul sekilas senyum aneh di bibir Arwani.
    “Huh kalian makhluk rendah, tatapan kalian itu benar-benar mengganggu, tahu !”
    Lalu, Arwani mengangkat kepalanya dan menatap para Kavanda Javu itu. Mazeh, yang menengok ke arah Arwani, terkejut; Sorot mata Arwani sangat gelap dan menakutkan. Tetapi jeritan Mazeh terlalu lemah untuk didengar oleh yang lain. Sementara Arwani mengangkat lengannya sambil menjerit, “Rhaga !”
    Mendengar suara Arwani, barulah Kirri dan Raghul menengok.
    “Arwani, apa yang...”, Kirri tidak jadi melanjutkan pertanyaannya, ketika melihat bahwa Kavanda Javu itu jatuh satu per satu ke tanah.
    Raghul-pun bingung melihat kejadian itu.
    “Me.. mereka semua.. mati ? Apa yang terjadi ?”
    Aura kegelapan masih tampak menyelimuti Arwani. Sementara Kirri berjalan mendekat sambil bertanya, “Arwani, apakah semua ini.. perbuatanmu ?”
    Tiba-tiba Mazeh bangkit berdiri, dan mendorong Kirri menjauhi Arwani.
    “Ma.. Mazeh ? Kenapa kamu...”
    “Sekarang.. Kak Arwani lagi.. aneh ! Jangan.. dekat-dekat.. dengannya !”
    “Eh ?”, Kirri menengok ke arah Arwani.
    Arwani menatap mereka semua sambil tersenyum dingin, “Kalian sama seperti makhluk rendah itu, kalian hanya mengganggu saja !”
    Selesai berkata demikian, angin kencang berputar di sekitar Arwani. Begitu kerasnya, bahkan Kirri, Raghul dan Mazeh sampai terlontar ke belakang. Perlahan Kirri bangkit dan menahan sakit.
    “Sebenarnya, apa yang terjadi.. pada Arwani ?”

    Sementara dari balik pohon, Ratna Eshrandyl mengamati keanehan yang terjadi pada diri Arwani.
    “Aura itu.. bukankah itu aura kegelapan milik iblis Mara ?
    Kenapa dia bisa memancarkan aura yang sama dengan Mara ?”
    Tiba-tiba terdengar sebuah suara di benak Ratna, ‘Ratna, saat ini, hanya kamu-lah yang dapat menghentikan Arwani. Tolong, hentikanlah dia...’
    Mendengar itu, Ratna terkejut.
    “Su.. suara ini... Kak Resha ! Apa Kak Resha ada di dekat sini ?”
    ‘Aku akan selalu berada di dekatmu, untuk melindungimu sesuai janjiku padamu dulu. Dan kumohon padamu, untuk menggantikanku menjaga Arwani. Jangan biarkan dia dikuasai oleh sisi gelapnya !’
    “Sisi gelap ? Jadi yang kurasakan benar ? Bahwa Arwani memiliki kekuatan kegelapan Mara ?”
    ‘Benar. Karena itulah, iblis Mara sangat menginginkannya untuk menjadi ratu bagi mereka. Tolong Ratna, hentikanlah dia !’
    Ratna kembali melihat ke arah Arwani. Saat ini, Arwani sedang berjalan mendekati Kirri, Raghul dan Mazeh. Ratna-pun menarik nafas dalam-dalam.
    “Bantulah aku untuk menghentikannya, Kak Resha.”
    Ratna-pun keluar dari tempat persembunyiannya, lalu berkata, “Hentikan, Arwani !”
    Arwani terkejut mendengar suara itu. Di dalam kegelapan malam, yang terlihat di mata Arwani adalah Resha Eshrandyl.
    “I.. ibu ?”
    “Apa kamu mau menjadi budak kekuatan kegelapan Mara ?! Aku percaya kamu kuat, dan bisa mengatasi kekuatanmu sendiri !”
    Arwani melangkah mundur. Perlahan air matanya mulai mengalir, dan tak lama kemudian ia memegang kepalanya sambil menjerit. Tiba-tiba muncul kegelapan pekat dari tubuh Arwani, yang semakin meluas dan memakan apapun di sekitarnya.
    ‘Ratna, hati-hati ! Peringatkan yang lain, jangan sampai ter-‘makan’ oleh kegelapan itu !’
    Ratna segera melompat mundur, sekaligus memperingatkan Kirri dan Raghul.
    “Kalian, hindari kegelapan itu !”
    Tanpa menunggu, Kirri menarik Mazeh dan pergi secepatnya dari tempat itu. Raghul sebenarnya juga bermaksud untuk menjauhi kegelapan yang semakin meluas itu, tetapi tiba-tiba lukanya terasa sakit dan ia-pun berhenti sambil memegang bahu kirinya yang terluka.
    “He.. Hey, dasar bodoh ! Cepatlah...”, kata-kata Kirri terputus.
    Raghul sudah tidak mungkin dapat menghindar lagi; Daerah sekeliling tempatnya berada, sudah diliputi kegelapan pekat tersebut. Sambil tersenyum ke arah Kirri, ia-pun melempar bungkusan yang dibawanya.
    “Tolong sampaikan maafku pada Karan, karena aku tidak bisa menemuinya lagi. Dan Kirri, aku.. menyukaimu...”
    Setelah mengucapkan kata-kata terakhir itu, tubuh Raghul tertelan oleh kegelapan itu. Kirri, sambil memegang bungkusan itu, hanya dapat melihat semua yang terjadi di depan matanya tanpa dapat berbuat apa-apa. Kegelapan itu akhirnya berhenti meluas, tak jauh dari posisi Kirri berlutut.
    “I.. ini... bohong khan ? Raghul, kamu.. masih ada disana khan ?”
    Perlahan air mata Kirri mengalir membasahi pipinya. Kegelapan itu mulai menyusut, hingga akhirnya mereka dapat kembali melihat Arwani yang terbaring pingsan. Kirri mulai menengok ke kiri dan kanan, untuk mencari Raghul.
    “Raghul, dimana kamu ? Kenapa aku.. tidak bisa menemukanmu ?”
    Ratna hanya dapat memalingkan wajahnya, sementara Mazeh memegang tangan Kirri. Seperti tersadar dari mimpi, tiba-tiba Kirri menengadah ke langit sambil menjerit, “TIDA..K !”

    ----------------------------------------------------------------------------------------------

    Poor Ratna...
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  13. #12
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    12. Dendam dan Amarah
    “Ung...”, perlahan Arwani membuka matanya. Yang pertama kali dilihatnya adalah Mazeh, yang memandangnya dengan khawatir.
    “Ah Mazeh, apa.. yang terjadi ? Terakhir aku ingat, ketika kita lagi melawan monster bernama Kavanda Javu itu, dan tiba-tiba saja aku.. hilang kesadaran.”
    Kemudian Arwani berusaha duduk. Setelah bisa melihat sekelilingnya, ia terkejut; Seluruh pohon di sekitar mereka telah lenyap, bahkan tidak terlihat sehelai-pun rumput di tanah. Tanpa disadari, tubuhnya mulai gemetar.
    “I.. ini...”
    Sebelum Arwani sempat melanjutkan kalimatnya, terdengar suara tak jauh darinya, “Kenapa, Arwani ? Kenapa kamu melakukan hal ini padaku ?!”
    Arwani menengok, dan melihat Kirri sedang berlutut menangis, tetapi matanya menatap tajam ke arah Arwani.
    “A.. apa maksudmu ? Apa.. yang telah kulakukan padamu ?”
    “Aku pernah menanyakan padamu mengenai ‘bau bahaya’ yang kurasakan pada dirimu. Tetapi aku tak pernah menyangka, kalau ternyata kamu mempunyai kekuatan Mara ! Kegelapan yang berasal dari dirimu, telah merenggut Raghul. Kenapa kamu tidak pernah mengatakan padaku mengenai kekuatanmu itu ?!”
    “Ra.. Raghul ? Jadi benar, aku.. melakukannya lagi ?”, tubuh Arwani semakin bergetar keras.
    Kirri bangkit dengan marah, lalu menerkam Arwani.
    “Padahal kami baru saja bertemu ! Padahal kami baru saja mulai menyadari perasaan masing-masing, tapi kamu.. kamu... !”
    Tiba-tiba terdengar suara Ratna Eshrandyl, “Hentikan Kirri ! Arwani tak sadar apa yang telah terjadi, dan ia tak mampu menahan keluarnya kegelapan itu dari dalam dirinya ! Kamu tak bisa menyalahkan apa yang telah terjadi kepada Arwani !”
    Mendengar itu, Kirri hanya menatap tajam ke arah Arwani. Tak lama, ia-pun melepaskan Arwani dari cengkramannya, lalu pergi.
    “Ki.. Kirri !”, baru saja Arwani hendak mengejar Kirri, ketika Mazeh memegang tangannya.
    “Jangan.. dikejar. Kak Kirri.. baru saja kehilangan.. seseorang yang.. berarti baginya, pasti ia.. butuh waktu untuk.. menyendiri. Sama.. seperti aku.. dulu.”
    DEG ! Arwani kembali teringat akan kejadian yang mirip, yang telah menimpa adik perempuan Mazeh. Akhirnya, sambil menangis, Arwani hanya bisa memeluk Mazeh sambil berkata, “Maaf, maafkanlah aku...”

    Kirri berjalan masuk ke dalam hutan dengan kesal.
    “Ini tidak adil; Benar-benar tidak adil !
    Walaupun Raghul mati terbunuh olehnya, tapi.. aku tidak dapat menyalahkan Arwani !
    Selain itu, tak mungkin aku bisa melawan kekuatan dalam diri Arwani...”
    Akhirnya Kirri berhenti, lalu meninju pohon di sisinya.
    “Apa yang bisa kulakukan sekarang ? Apa aku harus kembali kepada mereka ?
    Tetapi.. bagaimana dengan perasaanku ini ?!”
    Tiba-tiba terdengar suara asing, ‘Khi khi khi.. tampaknya kamu sedang bingung, nona.
    Kirri langsung waspada, lalu memperhatikan sekelilingnya. Tetapi ia tidak bisa melihat apapun, karena suasana sekitarnya sangat gelap.
    “Siapa kamu ?! Perlihatkan dirimu !”
    Khi khi khi.. tidak perlu waspada begitu. Aku tidak bermaksud jahat, hanya ingin sedikit membantumu.
    “Membantuku ? Apa maksudmu ?”
    Bukankah kamu sedang bingung, memikirkan bagaimana caramu membalas dendam kepada gadis bernama Arwani itu ?
    Mendengar itu, Kirri terkejut.
    “Ba.. bagaimana kamu...”
    Suara itu langsung memotong kata-katanya, ‘Khi khi khi.. tidak ada yang terembunyi bagiku di dunia ini. Mataku mampu melihat apa yang tidak terlihat bagi makhluk lainnya, termasuk pikiran manusia.
    Kirri terdiam sejenak.
    “Kamu menawarkan bantuan, tetapi bagaimana aku bisa percaya, kalau kamu tidak menunjukkan dirimu padaku ?”
    Lihatlah ke atas. Aku berada tepat di atas dirimu.
    Ketika Kirri menengok ke atas, ia terpekik; Tampak seekor Kavanda Javu berukuran raksasa sedang terbang tak jauh dari kepalanya, dan mata besarnya sedang menatap Kirri.
    “Ka.. kamu...”
    Kavanda Javu itu kembali berkata, ‘Walau kamu menyerangku dengan pukulan beruntunmu, aku takkan terluka. Jadi kusarankan kamu tidak melakukan hal itu.
    Mendengar kata-kata itu, Kirri terdiam; Ia sadar, apapun yang ada di dalam pikirannya, pasti sudah terbaca oleh Kavanda Javu raksasa itu.
    Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Aku adalah pimpinan Kavanda Javu, dan namaku Bali. Namamu Kirri khan ? Seperti yang kukatakan tadi, aku hanya ingin membantumu.
    Kirri tersenyum mengejek.
    “Membantuku ? Huh, memangnya apa yang bisa kamu lakukan ? Apa kamu bisa mengembalikan Raghul padaku ?! Atau kamu yakin bisa mengalahkan Arwani ?!”
    Jawaban dari Bali membuat Kirri terkejut, ‘Khi khi khi.. tidak keduanya, tapi aku bisa memberikan kekuatan padamu, agar dapat mengalahkan gadis bernama Arwani itu.

    Dengan penuh kemarahan, Kirri berkata, “Jangan bercanda ! Kamu tak tahu seperti apa kekuatan Arwani itu, tetapi kamu bilang kamu bisa memberikanku kekuatan yang melebihinya ?”
    Khi khi khi.. apa kubilang kekuatanku dapat mengalahkan kekuatannya ? Rupanya kamu salah menanggapi maksudku. Kubilang, aku bisa memberikan kekuatan, agar kamu bisa mengalahkan gadis itu, bukan mengalahkan kekuatannya.
    Kirri terdiam.
    Hmm... rupanya kamu meragukanku. Aku bukan tidak mendapatkan apa-apa dari menolongmu. Jangan lupa, banyak anak buahku mati karena gadis itu. Hitung-hitung, ini untuk membalaskan dendam anak buahku.
    “Begitukah ?”, kemudian Kirri menarik nafas panjang, “Sebenarnya aku masih ragu, karena walau bagaimanapun juga, Arwani adalah.. temanku. Tapi aku tetap tidak bisa menerima, ia telah merenggut Raghul dari sisiku !”
    Khi khi khi.. baiklah. Pejamkanlah matamu.
    Kirri-pun memejamkan matanya. Tiba-tiba seluruh tubuhnya merasakan sengatan panas yang luar biasa, dan kepalanya-pun terasa sakit.
    “He.. hey ! Apa yang kau lakukan ?!”
    Tenanglah. Memang menyakitkan, tapi ini hanya sebentar.
    Tak lama kemudian, rasa sakit itu hilang. Bali-pun berkata, ‘Khi khi khi.. sekarang cobalah buka matamu.
    Kirri-pun membuka matanya. Tetapi apa yang terlihat sekarang, sangat berbeda dari sebelumnya; Pepohonan dan rerumputan di sekitarnya terlihat memancarkan berbagai cahaya, ada yang lemah, dan ada yang sangat terang.
    “A.. apa ini ? Kenapa mataku jadi.. aneh begini ?”
    Khi khi khi.. inilah kekuatan yang kuberikan padamu, yaitu mata untuk melihat segalanya. Apa yang kau lihat sebagai cahaya itu adalah cahaya kehidupan. Yang terlihat terang, berarti jangka waktu hidupnya masih panjang. Sementara yang sudah melemah, berarti menjelang ajal.
    “Te.. tetapi, benarkah dengan ini bisa mengalahkan Arwani ?”
    Khi khi khi.. mata ini bukan hanya bisa melihat cahaya kehidupan saja. Dengan mata ini, kamu bisa melihat ke dalam isi hati seseorang, mengetahui apa yang dipikirkannya. Dan dengan itu, maka kamu bisa mengetahui kelemahannya. Gunakanlah kelemahan itu !
    “Oh, rupanya begitu. Baiklah, aku mengerti.”, lalu Kirri menengok ke arah tempat Arwani berada,
    “Arwani, aku akan kembali. Tetapi bukan untuk mendampingimu lagi, melainkan demi membalas dendam atas kematian Raghul !”

    Arwani masih menunggu dengan cemas. Mazeh sudah kembali tertidur, sementara Ratna masih berjaga-jaga. Tiba-tiba terlihat seseorang berjalan dari kegelapan. Ratna segera waspada, dan menarik tali busurnya.
    “Jangan tembak ! Ini aku, Kirri.”
    “Kirri, akhirnya kamu kembali. Arwani sangat mengkhawatirkanmu.”
    Kirri menengok ke arah Arwani. Dilihat oleh Kirri, Arwani hanya menunduk.
    “Ma.. maaf. A.. aku.. benar-benar.. tidak bermaksud...”
    Kirri langsung memotongnya, “Sudahlah, aku tahu kamu tidak bisa mengendalikan kekuatanmu. Maafkan aku juga, sudah marah kepadamu tanpa alasan.”
    Arwani langsung memandang Kirri.
    “Jadi, kamu memaafkanku, Kirri ?”, kemudian Arwani bangkit, berlari mendekat, lalu memeluk Kirri sambil menangis, “Aku benar-benar minta maaf, Kirri. Aku.. tidak dapat mengendalikan kekuatanku sendiri, sehingga...”, Arwani tidak melanjutkan kata-katanya.
    Kirri hanya diam saja. Sementara Ratna memperhatikan Kirri dengan pandangan curiga.
    “Aneh, ketika Kirri datang tadi, aku merasaan kehadiran Mara.
    Apa mungkin hanya perasaanku saja, ataukah... ?”


    ----------------------------------------------------------------------------------------------

    Kirri, apa yg telah kau lakukan ???
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •