— Bab Tiga —
Permintaan
Zeus
Aku membaca huruf rune yang tertera pada kertas tersebut. Aku tak peduli akan apa yang ada disekitarku, bagaimana berlusin-lusin mata tertuju padaku, tanpa mengetahui apa yang ada dalam kepala mereka, apa yang akan mereka pikir terhadapku. Aku tak memandang mereka. Kertas itu bersinar biru, dua lingkaran cahaya muncul di kepala dan kakiku. Lalu, dua lingkaran itu seakan-akan menyerap seluruh tubuhku, dan selama sedetik, yang dapat kulihat hanyalah kegelapan.
Huruf rune di kertas tersebut menghilang. Aku memegangnya sembari memfokuskan aliran listrik ke arah kertas tersebut untuk membakarnya habis. Yang tersisa akhirnya hanyalah abu tipis, yang tertiup angin dan terbang tak berdaya.
Purnama bersinar terang diatas langit. Didepanku merupakan bangunan kokoh berwarna abu-abu. Semacam kastil. Aku berjalan menuju gerbang, yang dijaga oleh dua orang ksatria berbaju besi. Mereka berdiri dalam diam sambil memegang tombak perak di tangan kanan dan perisai bundar, yang berkilauan di tangan kiri. Mereka membiarkanku masuk kedalam gerbang tanpa sedikitpun gerakan — tentu saja, aku kan salah satu petinggi bangsa Manusia. Di dalam bangunan tersebut aku disambut oleh karpet merah sepanjang ruang besar dan panjang. Aku menyebrangi karpet merah tersebut, dengan pikiran yang berkecamuk.
Tidak, tidak mungkin. Dewi Elune … aku tak percaya. Aku tak pernah mengetahui bahwa Dewi Elune adalah pemimpin tertinggi bangsa Night Elf … ya, itu hanyalah bualan Furion. Cerita yang dikarang dan dihafal tanpa bukti yang jelas. Lucu sekali dia mencoba menipu semua bangsa Orc dan Manusia, padahal sudah jelas itu hanyalah omong kosong — tentu saja mereka pastinya berencana untuk menguasai kedua bangsa. Ya, dasar teri licik. Sampai-sampai Purist terpengaruh olehnya … terpedaya oleh bualannya, sebuah penghinaan besar bagi bangsa Manusia.
“Zeus!”
Suara seorang wanita yang sangat ku kenal. Aku mencari arah datangnya suara, dan menemukan wanita jelita berambut merah di seberang karpet merah. Ia melayang ke arahku — ya, melayang, itulah salah satu keahlian alami Lina Inverse. Ternyata tak hanya Lina sendiri, Rylai dan Nortrom pun berada disana. Sedang apa mereka berkumpul disini? Menungguku?
“Halo Lina, Rylai, dan Nortrom,” aku berkata. “Apa yang sedang kalian lakukan disini?”
“Menunggumu tentu saja!” kata Lina, antusias. “Sudah sekitar tiga jam kalian pergi ke Negeri Night Elf, tentu saja hal tersebut membuat kami cemas!”
“Ya, dan sekitar dua hari kami harus berjalan menuju Negeri Night Elf,” kubilang. “Tempat yang sangat jauh dari sini, hampir mematahkan kakiku. Dan sesampainya disana, kami hanya mendengar omong kosong para Night Elf kotor —”
“Mana Purist?” tanya Rylai tiba-tiba. Aku memandangnya.
“Ceritanya panjang,” aku berkata. Lalu, kuceritakanlah semua — semua bualan tak berharga yang aku dengar dari para Night Elf yang licik. Tentu saja, aku sedikit mendramatisir ceritanya, setidaknya membuat mereka percaya bahwa aku berdebat hebat dengan Furion yang berujung pada Furion menyerah padaku dan membiarkanku pergi.
“Pe — perang!? Apa mereka gila? Perang Magi dua abad yang lalu telah meninggalkan torehan besar dalam bangsa Manusia, dan mereka ingin kita membantu mereka? Aku tak percaya Purist percaya pada omong kosong itu!” kata Lina.
“Entah apa yang ada dalam otaknya,” kubilang. “Aku, secara tersendiri berpendapat bahwa Furion memiliki keahlian untuk memperdaya seseorang, dan tentu saja dia memperdaya Purist — yang kupikir mengalami keterbelakangan mental setelah Perang Magi — dan dia tak akan berani memperdaya aku, yang dapat membentengi kekuatan pikiranku dengan hebat —”
Lagi-lagi Rylai menyelaku. “Mengapa kau tinggalkan Purist sendiri kalau begitu? Seharusnya kau bertanggung jawab, Zeus! Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada dirinya?”
“Oh, Rylai, tentu saja aku mencoba! Namun Purist terlalu keras kepala untuk mengikutiku!” aku memberitahunya. “Ya, jadinya kupikir lebih baik aku kembali kesini daripada aku harus berceloteh panjang lebar untuk meyakinkannya hanya untuk diacuhkan!”
“Kupikir kita berempat harus kesana dan membawa Purist kembali ke jalan yang benar!” kata Lina bersemangat.
Dan pada akhirnya Nortrom berbicara untuk pertama kalinya. “Kalau begitu, Zeus, apa yang sedang dilakukan Purist disana?” Aku terdiam mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja aku tak akan menceritakan tentang Dewi Elune kepada mereka.
“Eh … kalau itu, aku tidak yakin,” aku berbohong. “Kalau tidak salah mereka, erm, sedang mendiskusikan mengenai strategi perang atau apa …” Nortrom nampaknya menangkap nada bicaraku yang agak sedikit bergetar. Sedangkan Lina sedang asik menggembungkan pipinya dan membuat mimik yang konyol — memang itu hobinya. Rylai hanya menatapku kosong, dia pasti mencemaskan Purist.
Nortrom menarik napas panjang. “Apakah Purist akan baik-baik saja?”
“Eh … mungkin,” kubilang. “Mungkin juga tidak sih, aku tak yakin … maksudku, tentu saja dia akan baik-baik saja. Mereka hanya akan — er, membicarakan tentang strategi perang, itu saja, yakinlah!”
“Oh, baiklah kalau begitu!” sahut Lina ceria. “Hoam … ini sudah malam, aku ingin tidur. Aku pulang dulu ya, teman-teman, sampai jumpa besok! Tenang saja, aku yakin Purist tak akan apa-apa, Zeus tak mungkin berbohong. Daah!” Senyum terpampang di wajah putihnya. Aku merasa tak enak berbohong kepada Lina — kepada mereka semua. Lalu ia mengeluarkan gulungan dari sakunya, dan dalam sekejap dua lingkaran biru menyerap tubuhnya. Rylai nampaknya sudah sedikit lega, namun Nortrom masih memandangku curiga.
“Rylai, sebaiknya kau cepat pulang ke rumahmu,” kata Nortrom tenang. “Aku … akan tinggal sebentar, sepertinya ada yang ketinggalan.”
“… baiklah kalau begitu,” jawab Rylai. Ia berteleportasi setelah mengucapkan selamat malam. Di tempat itu yang tersisa hanyalah aku dan Nortrom. Ah, tentu saja, ini yang dia inginkan. Bicara empat mata denganku, sangat cerdik.
“Nah, Zeus,” Nortrom memulai. “Nampaknya ada yang membebanimu?”
Dia tahu. “Aku tak mengerti maksudmu,” aku berbohong.
“Tenang, aku hanya … berasumsi. Sepertinya kau menyembunyikan sesuatu,” kata Nortrom bersikeras. “Tapi tentu saja, kau tak harus mengatakannya kepadaku.”
“Aku sama sekali tak mengerti maksudmu,” aku mencoba membuat nada bicaraku normal. Dia terus menatapku dari balik helm kuningnya, sangat menjengkelkan. “Kau tahu Nortrom, aku lelah, dan ini sudah malam. Kupikir tak ada yang harus kita bicarakan saat ini … aku hanya kesini untuk mengambil beberapa ramuan penenang.”
“Oh, tentu saja,” kata Nortrom sinis. “Kalau begitu, aku juga ingin pulang … selamat malam, Zeus.”
“Selamat malam.”
—
Zeus.
Entah darimana munculnya suara itu. Aku seharusnya sedang tidur sekarang. Lalu kucoba untuk membuka mata, namun tak berhasil. Aku juga tak bisa melihat apapun disekitarku. Gelap. Namun … suaranya, sangat menenangkan. Kurasa aku tahu suara ini … mengingatkanku akan kenangan di masa lalu.
Aku tak punya banyak waktu.
Ya, suaranya. Suara yang sangat kukenal, walau sudah sangat lama aku tidak mendengarnya. “Kau … aku — aku tidak bisa.”
Zeus … aku tak menyangka kau telah kehilangan keberanianmu seperti ini. Kau tidak seperti Zeus yang kukenal dua ratus lima puluh tahun yang lalu. Pemberani. Tak ada kata lain yang dapat menjelaskan kepribadianmu selain itu. Sekarang … kau seperti seseorang yang berbeda. Kau yang sekarang bukanlah Zeus.
“Aku bukan pengecut.”
Aku tahu Zeus, kau bukanlah pengecut. Hanya saja, aku berpikir kau bukan seorang yang pemberani yang pernah kukenal saat itu!
“Aku punya alasan.”
Aku mengerti Zeus. Namun alasanmu tidaklah relevan — setidaknya menurutku. Tidak ingatkah kau apa yang kukatakan padamu saat itu?
Saat itu? Sepertinya aku tidak ingat apa yang ia katakan.
Zeus, di dalam perang, pasti ada pengorbanan. Sedangkan karena alasan itulah kau kehilangan keberanianmu. Kau sekarang takut … kehilangan. Itulah yang kukatakan padamu dua ratus lima puluh tahun yang lalu. Saat kau kuberi kekuatan untuk kembali … Zeus, tahukah kau mengapa aku menolongmu dua ratus tahun yang lalu?
Aku tak menjawab. Dia tak pernah memberiku penjelasan.
Keberanianmu, Zeus! Semangatmu yang tak pernah padam! Aku melihat itu dalam dirimu, itulah alasanku, Zeus! Sayangnya, kekuatanku tidak cukup kuat, aku baru menyadarinya. Apa yang kulakukan kepadamu saat itu merupakan sesuatu yang tidak sempurna … aku telah membuatmu kehilangan satu kepribadian. Satu kepribadianmu yang mencerminkan siapa dirimu … maaf, Zeus. Aku tahu ini kesalahanku. Tapi, ketahuilah Zeus, aku telah membayar kesalahanku dua ratus lima puluh tahun yang lalu …
“Kau berbicara terlalu banyak, namun aku masih tidak mengerti.” Dia akan membayar kesalahannya? Apa yang dia bicarakan?
Kau akan mengerti. Aku sudah kehabisan waktu … namun, sebelum aku pergi, Zeus, aku ingin kau menjanjikanku satu hal …
“… tak bisakah aku menolak menjanjikanmu hal tersebut?”
Zeus, kau tak akan menolakku, aku percaya itu.
“Tidak kah kau bilang padaku bahwa aku bukanlah aku yang dulu?”
Zeus, aku tak punya waktu lagi … ini sangat penting.
“… baiklah.”
Terima kasih. Zeus, berjanjilah padaku, bahwa kau harus menolong kaumku. Kau harus percaya pada mereka. Kaumku sangat membutuhkan kekuatanmu, Zeus. Aku tahu kau punya alasan tersendiri untuk tidak menolong mereka. Namun, seperti yang sudah kubilang tadi, aku telah membayar kesalahanku. Dan kuharap — dan aku yakin — bayaran itu akan mengembalikan keberanianmu yang hilang …
“Aku tak akan terlalu berharap.”
Kau tak perlu berharap. Kau hanya perlu percaya kepadaku.
“Sepertinya aku tak punya pilihan …”
Zeus?
“Baiklah … aku janji.”
Terima kasih sekali lagi, Zeus. Maaf telah mengganggumu, sekarang kau bisa tidur dengan tenang …
Share This Thread