Results 1 to 13 of 13
http://idgs.in/146172
  1. #1
    Menara_Jakarta's Avatar
    Join Date
    Aug 2008
    Location
    Menara Jakarta
    Posts
    1,890
    Points
    2,829.71
    Thanks: 0 / 7 / 7

    Default Misteri Piramida Mesir

    Misteri Piramida Mesir



    Piramida raksasa Mesir merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia saat ini, sejak dulu dipandang sebagai bangunan yang misterius dan megah oleh orang-orang. Namun, meskipun telah berlalu berapa tahun lamanya, setelah sarjana dan ahli menggunakan sejumlah besar alat peneliti yang akurat dan canggih, masih belum diketahui, siapakah sebenarnya yang telah membuat bangunan raksasa yang tinggi dan megah itu? Dan berasal dari kecerdasan manusia manakah prestasi yang tidak dapat dibayangkan di atas bangunan itu? Serta apa tujuannya membuat bangunan tersebut? Dan pada waktu itu ia memiliki kegunaan yang bagaimana atau apa artinya? Teka-teki yang terus berputar di dalam benak semua orang selama ribuan tahun, dari awal hingga akhir merupakan misteri yang tidak dapat dijelaskan. Meskipun sejarawan mengatakan ia didirikan pada tahun 2000 lebih SM, namun pendapat yang demikian malah tidak bisa menjelaskan kebimbangan yang diinisiasikan oleh sejumlah besar penemuan hasil penelitian.

    Sejarah Mitos dan Temuan Arkeologi

    Sejak abad ke-6 SM, Mesir merupakan tempat pelarian kerajaan Poshi, yang kehilangan kedudukannya setelah berdiri lebih dari 2.000 tahun, menerima kekuasaan yang berasal dari luar yaitu kerajaan Yunani, Roma, kerajaan Islam serta kekuasaan bangsa lain. Semasa itu sejumlah besar karya terkenal zaman Firaun dihancurkan, aksara dan kepercayaan agama bangsa Mesir sendiri secara berangsur-angsur digantikan oleh budaya lain, sehingga kebudayaan Mesir kuno menjadi surut dan hancur, generasi belakangan juga kehilangan sejumlah besar peninggalan yang dapat menguraikan petunjuk yang ditinggalkan oleh para pendahulu.

    Tahun 450 SM, setelah seorang sejarawan Yunani berkeliling dan tiba di Mesir, membubuhkan tulisan: Cheops, (aksara Yunani Khufu), konon katanya, hancur setelah 50 tahun. Dalam batas tertentu sejarawan Yunani tersebut menggunakan kalimat "konon katanya", maksudnya bahwa kebenarannya perlu dibuktikan lagi. Namun, sejak itu pendapat sejarawan Yunani tersebut malah menjadi kutipan generasi belakangan sebagai bukti penting bahwa piramida didirikan pada dinasti kerajaan ke-4.

    Selama ini, para sejarawan menganggap bahwa piramida adalah makam raja. Dengan demikian, begitu membicarakan piramida, yang terbayang dalam benak secara tanpa disadari adalah perhiasan dan barang-barang yang gemerlap. Dan, pada tahun 820 M, ketika gubernur jenderal Islam Kairo yaitu Khalifah Al-Ma'mun memimpin pasukan, pertama kali menggali jalan rahasia dan masuk ke piramida, dan ketika dengan tidak sabar masuk ke ruangan, pemandangan yang terlihat malah membuatnya sangat kecewa. Bukan saja tidak ada satu pun benda yang biasanya dikubur bersama mayat, seperti mutiara, maupun ukiran, bahkan sekeping serpihan pecah belah pun tidak ada, yang ada hanya sebuah peti batu kosong yang tidak ada penutupnya. Sedangkan tembok pun hanya bidang yang bersih kosong, juga tak ada sedikit pun ukiran tulisan.

    Kesimpulan para sejarawan terhadap prestasi pertama kali memasuki piramida ini adalah "mengalami perampokan benda-benda dalam makam". Namun, hasil penyelidikan nyata menunjukkan, kemungkinan pencuri makam masuk ke piramida melalui jalan lainnya adalah sangat kecil sekali. Di bawah kondisi biasa, pencuri makam juga tidak mungkin dapat mencuri tanpa meninggalkan jejak sedikit pun, dan lebih tidak mungkin lagi menghapus seluruh prasasti Firaun yang dilukiskan di atas tembok. Dibanding dengan makam-makam lain yang umumnya dipenuhi perhiasan-perhiasan dan harta karun yang berlimpah ruah, piramida raksasa yang dibangun untuk memperingati keagungan raja Firaun menjadi sangat berbeda.

    Selain itu, dalam catatan "Inventory Stela" yang disimpan di dalam museum Kairo, pernah disinggung bahwa piramida telah ada sejak awal sebelum Khufu meneruskan takhta kerajaan. Namun, oleh karena catatan pada batu prasasti tersebut secara keras menantang pandangan tradisional, terdapat masalah antara hasil penelitian para ahli dan cara penulisan pada buku, selanjutnya secara keras mengecam nilai penelitiannya. Sebenarnya dalam keterbatasan catatan sejarah yang bisa diperoleh, jika karena pandangan tertentu lalu mengesampingkan sebagian bukti sejarah, tanpa disadari telah menghambat kita secara obyektif dalam memandang kedudukan sejarah yang sebenarnya.

    Teknik Bangunan yang Luar Biasa

    Di Mesir, terdapat begitu banyak piramida berbagai macam ukuran, standarnya bukan saja jauh lebih kecil, strukturnya pun kasar. Di antaranya piramida yang didirikan pada masa kerajaan ke-5 dan 6, banyak yang sudah rusak dan hancur, menjadi timbunan puing, seperti misalnya piramida Raja Menkaure seperti pada gambar. Kemudian, piramida besar yang dibangun pada masa yang lebih awal, dalam sebuah gempa bumi dahsyat pada abad ke-13, di mana sebagian batu ditembok sebelah luar telah hancur, namun karena bagian dalam ditunjang oleh tembok penyangga, sehingga seluruh strukturnya tetap sangat kuat. Karenanya, ketika membangun piramida raksasa, bukan hanya secara sederhana menyusun 3 juta batu menjadi bentuk kerucut, jika terdapat kekurangan pada rancangan konstruksi yang khusus ini, sebagian saja yang rusak, maka bisa mengakibatkan seluruhnya ambruk karena beratnya beban yang ditopang.

    Lagi pula, bagaimanakah proyek bangunan piramida raksasa itu dikerjakan, tetap merupakan topik yang membuat pusing para sarjana. Selain mempertimbangkan sejumlah besar batu dan tenaga yang diperlukan, faktor terpenting adalah titik puncak piramida harus berada di bidang dasar tepat di titik tengah 4 sudut atas. Karena jika ke-4 sudutnya miring dan sedikit menyimpang, maka ketika menutup titik puncak tidak mungkin menyatu di satu titik, berarti proyek bangunan ini dinyatakan gagal. Karenanya, merupakan suatu poin yang amat penting, bagaimanakah meletakkan sejumlah 2,3 juta -2,6 juta buah batu besar yang setiap batunya berbobot 2,5 ton dari permukaan tanah hingga setinggi lebih dari seratus meter di angkasa dan dipasang dari awal sampai akhir pada posisi yang tepat.

    Seperti yang dikatakan oleh pengarang Graham Hancock dalam karangannya "Sidik Jari Tuhan": Di tempat yang terhuyung-huyung ini, di satu sisi harus menjaga keseimbangan tubuh, dan sisi lainnya harus memindahkan satu demi satu batu yang paling tidak beratnya 2 kali lipat mobil kecil ke atas, diangkut ke tempat yang tepat, dan mengarah tepat pada tempatnya, entah apa yang ada dalam pikiran pekerja-pekerja pengangkut batu tersebut. Meskipun ilmu pengetahuan modern telah memperkirakan berbagai macam cara dan tenaga yang memungkinkan untuk membangun, namun jika dipertimbangkan lagi kondisi riilnya, akan kita temukan bahwa orang-orang tersebut tentunya memiliki kemampuan atau kekuatan fisik yang melebihi manusia biasa, baru bisa menyelesaikan proyek raksasa tersebut serta memastikan keakuratan maupun ketepatan presisinya.

    Terhadap hal ini, Jean Francois Champollion yang mendapat sebutan sebagai "Bapak Pengetahuan Mesir Kuno Modern" memperkirakan bahwa orang yang mendirikan piramida berbeda dengan manusia sekarang, paling tidak dalam "pemikiran mereka mempunyai tinggi tubuh 100 kaki yang tingginya sama seperti manusia raksasa". Ia berpendapat, dilihat dari sisi pembuatan piramida, itu adalah hasil karya manusia raksasa.

    Senada dengan itu, Master Li Hongzhi dalam ceramahnya pada keliling Amerika Utara tahun 2002 juga pernah menyinggung kemungkinan itu. "Manusia tidak dapat memahami bagaimana piramida dibuat. Batu yang begitu besar bagaimana manusia mengangkutnya? Beberapa orang manusia raksasa yang tingginya lima meter mengangkut sesuatu, itu dengan manusia sekarang memindahkan sebuah batu besar adalah sama. Untuk membangun piramida itu, manusia setinggi lima meter sama seperti kita sekarang membangun sebuah gedung besar."

    Pemikiran demikian mau tidak mau membuat kita membayangkan, bahwa piramida raksasa dan sejumlah besar bangunan batu raksasa kuno yang ditemukan di berbagai penjuru dunia telah mendatangkan keraguan yang sama kepada semua orang: tinggi besar dan megah, terbentuk dengan menggunakan susunan batu yang sangat besar, bahkan penyusunannya sangat sempurna. Seperti misalnya, di pinggiran kota utara Mexico ada Kastil Sacsahuaman yang disusun dengan batu raksasa yang beratnya melebihi 100 ton lebih, di antaranya ada sebuah batu raksasa yang tingginya mencapai 28 kaki, diperkirakan beratnya mencapai 360 ton (setara dengan 500 buah mobil keluarga). Dan di dataran barat daya Inggris terdapat formasi batu raksasa, dikelilingi puluhan batu raksasa dan membentuk sebuah bundaran besar, di antara beberapa batu tingginya mencapai 6 meter. Sebenarnya, sekelompok manusia yang bagaimanakah mereka itu? Mengapa selalu menggunakan batu raksasa, dan tidak menggunakan batu yang ukurannya dalam jangkauan kemampuan kita untuk membangun?

    Sphinx, singa bermuka manusia yang juga merupakan obyek penting dalam penelitian ilmuwan, tingginya 20 meter, panjang keseluruhan 73 meter, dianggap didirikan oleh kerjaan Firaun ke-4 yaitu Khafre. Namun, melalui bekas yang dimakan karat (erosi) pada permukaan badan Sphinx, ilmuwan memperkirakan bahwa masa pembuatannya mungkin lebih awal, paling tidak 10 ribu tahun silam sebelum Masehi.

    Seorang sarjana John Washeth juga berpendapat: Bahwa Piramida raksasa dan tetangga dekatnya yaitu Sphinx dengan bangunan masa kerajaan ke-4 lainnya sama sekali berbeda, ia dibangun pada masa yang lebih purbakala dibanding masa kerajaan ke-4. Dalam bukunya "Ular Angkasa", John Washeth mengemukakan: perkembangan budaya Mesir mungkin bukan berasal dari daerah aliran sungai Nil, melainkan berasal dari budaya yang lebih awal dan hebat yang lebih kuno ribuan tahun dibanding Mesir kuno, warisan budaya yang diwariskan yang tidak diketahui oleh kita. Ini, selain alasan secara teknologi bangunan yang diuraikan sebelumnya, dan yang ditemukan di atas yaitu patung Sphinx sangat parah dimakan karat juga telah membuktikan hal ini.

    Ahli ilmu pasti Swalle Rubich dalam "Ilmu Pengetahuan Kudus" menunjukkan: pada tahun 11.000 SM, Mesir pasti telah mempunyai sebuah budaya yang hebat. Pada saat itu Sphinx telah ada, sebab bagian badan singa bermuka manusia itu, selain kepala, jelas sekali ada bekas erosi. Perkiraannya adalah pada sebuah banjir dahsyat tahun 11.000 SM dan hujan lebat yang silih berganti lalu mengakibatkan bekas erosi.

    Perkiraan erosi lainnya pada Sphinx adalah air hujan dan angin. Washeth mengesampingkan dari kemungkinan air hujan, sebab selama 9.000 tahun di masa lalu dataran tinggi Jazirah, air hujan selalu tidak mencukupi, dan harus melacak kembali hingga tahun 10000 SM baru ada cuaca buruk yang demikian. Washeth juga mengesampingkan kemungkinan tererosi oleh angin, karena bangunan batu kapur lainnya pada masa kerajaan ke-4 malah tidak mengalami erosi yang sama. Tulisan berbentuk gajah dan prasasti yang ditinggalkan masa kerajaan kuno tidak ada sepotong batu pun yang mengalami erosi yang parah seperti yang terjadi pada Sphinx.

    Profesor Universitas Boston, dan ahli dari segi batuan erosi Robert S. juga setuju dengan pandangan Washeth sekaligus menujukkan: Bahwa erosi yang dialami Sphinx, ada beberapa bagian yang kedalamannya mencapai 2 meter lebih, sehingga berliku-liku jika dipandang dari sudut luar, bagaikan gelombang, jelas sekali merupakan bekas setelah mengalami tiupan dan terpaan angin yang hebat selama ribuan tahun.

    Washeth dan Robert S. juga menunjukkan: Teknologi bangsa Mesir kuno tidak mungkin dapat mengukir skala yang sedemikian besar di atas sebuah batu raksasa, produk seni yang tekniknya rumit.

    Jika diamati secara keseluruhan, kita bisa menyimpulkan secara logis, bahwa pada masa purbakala, di atas tanah Mesir, pernah ada sebuah budaya yang sangat maju, namun karena adanya pergeseran lempengan bumi, daratan batu tenggelam di lautan, dan budaya yang sangat purba pada waktu itu akhirnya disingkirkan, meninggalkan piramida dan Sphinx dengan menggunakan teknologi bangunan yang sempurna.

    Dalam jangka waktu yang panjang di dasar lautan, piramida raksasa dan Sphinx mengalami rendaman air dan pengikisan dalam waktu yang panjang, adalah penyebab langsung yang mengakibatkan erosi yang parah terhadap Sphinx. Karena bahan bangunan piramida raksasa Jazirah adalah hasil teknologi manusia yang tidak diketahui orang sekarang, kemampuan erosi tahan airnya jauh melampaui batu alam, sedangkan Sphinx terukir dengan keseluruhan batu alam, mungkin ini penyebab yang nyata piramida raksasa dikikis oleh air laut yang tidak tampak dari permukaan.

    Keterangan gambar: Sphinx yang bertetangga dekat dengan piramida raksasa kelihatannya sangat kuno. Para ilmuwan memastikan bahwa dari badannya, saluran dan irigasi yang seperti dikikis air, ia pernah mengalami sebagian cuaca yang lembab, karenanya memperkirakan bahwa ia sangat berkemungkinan telah ada sebelum 10 ribu tahun silam. (Lisensi gambar: Xu Xiaoqian)

    Sumber: Inspiration Civilization Prehistoric for Mankind

    http://www.indospiritual.com/artikel...ida-mesir.html
    Quote of the week:

    "Indonesia is on the move, get on board." — Forbes Asia
    "The optimist proclaims that we live in the best of all possible worlds; and the pessimist fears this is true." James Branch Cabell

    Vote for Komodo National Park:
    http://www.new7wonders.com/nature/en/vote_on_nominees/

  2. Hot Ad
  3. #2
    Menara_Jakarta's Avatar
    Join Date
    Aug 2008
    Location
    Menara Jakarta
    Posts
    1,890
    Points
    2,829.71
    Thanks: 0 / 7 / 7

    Default

    Misteri Ion Negatif di Piramida



    Piramid di Mesir memang menyimpan banyak misteri. Kali ini tentang sampah makanan yang ditinggalkan pengunjung dalam ruang raja tempat mumi disimpan. Sampah itu tidak membusuk, hanya mengering. Bangkai binatang yang kebetulan ada di dalam pun kering bagai mumi. Para peneliti yang bekerja dalam piramid juga merasakan tubuhnya lebih sehat dan kuat, pegal-linu pun lenyap. Ada apa di dalam piramid?

    Kita tahu, proses pembusukan terjadi akibat aktivitas bakteri yang menguraikan senyawa-senyawa organik pada suatu materi. Nah, kalau aktivitas bakteri-bakteri itu dihentikan atau dibatasi, suatu benda tidak bakal membusuk.

    Ada tiga lingkungan yang bisa menyetop aktivitas bakteri. Pertama, lingkungan dengan suhu yang ekstrem. Misalnya, suhu yang sangat rendah di kutub atau ruang pendingin. Atau suhu yang sangat tinggi seperti di dalam kawah gunung berapi. Kedua, di dalam ruang hampa macam di ruang angkasa. Ketiga, dalam air yang mengandung banyak sulfur (S).

    Akan tetapi, ketiga kondisi lingkungan itu tidak ada di dalam piramid Mesir. Lalu, faktor apa gerangan yang dapat menghentikan aktivitas bakteri dalam piramid, sehingga benda-benda itu tidak membusuk?

    Menghentikan aktivitas bakteri

    Selidik punya selidik, misteri itu akhirnya terkuak. Penyebabnya ialah ion negatif yang banyak terdapat di dalam piramid, khususnya di ruang raja.

    Kesimpulan bahwa ion negatif sebagai biang keladi segala kejadian dalam piramid itu didukung oleh sejumlah penelitian. Sebuah lembaga riset pertanian di Amerika misalnya, menggunakan ayam sebagai objek penelitian. Ayam percobaan dibagi dua kelompok, masing-masing ditempatkan dalam ruang yang mengandung bakteri. Ruang kelompok pertama dimasuki ion negatif, sedangkan ruang kelompok kedua tidak diapa-apakan. Setelah beberapa waktu, ayam di kelompok pertama tetap sehat, sedangkan ayam di kelompok kedua klepek-klepek mati semua.

    Apa sebenarnya ion negatif yang mempunyai efek begitu menakjubkan ini?

    Ion adalah atom yang bermuatan negatif atau positif. Atom tersusun dari netron yang bermuatan netral, proton yang bermuatan positif, dan elektron yang bermuatan negatif. Netron dan proton terdapat pada bagian tengah yang merupakan inti atom, sedangkan elektron berputar mengelilingi inti atom pada tempat orbitnya (tingkat energi).

    Jumlah muatan positif dan negatif pada atom adalah sebanding, sehingga atom tidak memiliki muatan. Namun, karena sesuatu sebab, beberapa elektron dapat meninggalkan atom (elektron ini disebut elektron bebas). Jika atom kehilangan elektron bebas, ia berubah menjadi ion positif. Sebaliknya, akan menjadi ion negatif jika ia menerima elektron bebas. Ion-ion ini tidak stabil sehingga cenderung mencari gandengan untuk berikatan.

    Nah, kecenderungan untuk berikatan inilah yang menjelaskan mengapa ayam pada kelompok pertama tetap sehat, sedangkan kelompok kedua almarhum semua. Ion negatif di kelompok pertama berikatan dengan bakteri di udara yang cenderung bersifat positif. Ikatan yang dibentuk ini mengakibatkan matinya bakteri-bakteri dalam udara sehingga ayam tetap sehat. Dengan arti lain, ion negatif dapat membunuh dan menghentikan aktivitas bakteri.

    Kekuatan magnet

    Menurut seorang profesor dari Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo, berdasar teori efek Leonard, ion negatif banyak dihasilkan di tempat air memancar dan bertabrakan seperti di sekitar air terjun (sekitar 10.000 - 14.000 buah/cm3), air mancur (sekitar 4.000 buah/cm3), sungai (400 buah/cm3).

    Pada tempat-tempat itu terjadi tabrakan antara molekul air (H2O) dengan molekul air lainnya, yang mengakibatkan lepasnya elektron menjadi elektron bebas. Elektron bebas ini akan berikatan dengan molekul di udara (O2 dan CO2) menjadi ion negatif.

    Kembali ke kasus di piramid, ternyata kondisi ini pun tidak dapat dijumpai dalam piramid yang selalu dalam kondisi kering dengan kelembapan tetap. Hal penting yang ditemukan hanyalah besar kekuatan magnet di dalam ruang raja empat kali lebih besar dibandingkan dengan yang di luar piramid. Sementara besar kekuatan magnet di bagian tembok dua kali bagian tengah. Dengan kata lain, kekuatan magnet di tembok piramid delapan kali kekuatan magnet di luar piramid. Dari hasil penelitian, tembok di ruang raja tersusun dari batu granit yang banyak mengandung magnet.

    Magnet itulah kunci rahasianya. Berdasarkan teori gaya Lorentz, didekatkannya kekuatan magnet pada elektron yang dialirkan dari elektrode negatif ke elektrode positif akan mengakibatkan elektron berubah arah menjauhi gaya magnet tersebut. Jadi, kekuatan magnet dapat membuat elektron dalam atom atau molekul terlepas menjadi elektron bebas, yang kemudian berpindah pada atom lain untuk menghasilkan ion negatif.

    Nah, penelitian itu kemudian menyimpulkan bahwa kekuatan magnet pada batu di ruang raja mengakibatkan lepasnya

    elektron dari atom atau molekul di udara sekitar tembok. Elektron bebas itu kemudian berikatan dengan atom lainnya untuk membentuk ion negatif. Ion negatif inilah yang mengikat bakteri dan membunuhnya. Bakteri pun tak berkutik untuk melakukan pembusukan, sehingga sampah dan bangkai hanya mengering.

    Mandi pancuran menyehatkan

    Fenomena para peneliti yang masuk ke dalam piramid dan menjadi bugar juga menimbulkan pertanyaan. Apakah masih ada kaitannya dengan ion negatif? Penelitian yang dilakukan memang menunjukkan pembenaran akan hal itu.

    Ion negatif di udara dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan dan pori-pori kulit. Ion ini masuk ke seluruh sel dalam tubuh dengan menumpang arus aliran darah. Ion negatif dalam tubuh dapat menguraikan asam laktat menjadi zat yang tidak berbahaya (air dan ion laktat) yang mudah dibawa oleh aliran darah menuju tempat pembuangan (pada saat tubuh lelah dan tegang, asam laktat dalam tubuh akan terkurung dalam sel yang mengakibatkan timbulnya rasa pegal-pegal).

    Selain itu ion negatif mempunyai kemampuan meningkatkan kerja limpa dalam menghasilkan kekebalan tubuh. Otomatis tubuh mampu menghadapi berbagai virus yang masuk. Influenza dan penyakit virus lainnya pun keder masuk ke tubuh.

    Karena tidak semua orang berkesempatan masuk ke piramid di Mesir, ada cara lain untuk dapat merasakan khasiat ion negatif. Misalnya, dengan berjalan-jalan di tempat yang banyak menghasilkan ion negatif (misalnya, di sekitar air terjun, air mancur, sungai, hutan, atau taman-taman), mengatur ventilasi udara yang baik untuk menukar udara kamar dengan udara baru yang mengandung ion negatif, dan mandi dengan menggunakan shower (yang mempunyai efek menghasilkan ion negatif). Untuk menunjang agar aliran ion negatif dalam darah lancar kita perlu juga berolahraga.

    Jadi, siapa bilang “hal-hal yang negatif” harus dijauhi? (Topik Hidayat)

    http://ensiklo.wordpress.com/2008/09...if-di-piramid/
    Quote of the week:

    "Indonesia is on the move, get on board." — Forbes Asia
    "The optimist proclaims that we live in the best of all possible worlds; and the pessimist fears this is true." James Branch Cabell

    Vote for Komodo National Park:
    http://www.new7wonders.com/nature/en/vote_on_nominees/

  4. #3
    Menara_Jakarta's Avatar
    Join Date
    Aug 2008
    Location
    Menara Jakarta
    Posts
    1,890
    Points
    2,829.71
    Thanks: 0 / 7 / 7

    Default

    Arsitek Sibak Misteri Pembuatan Piramida

    Baru-baru ini seorang arsitek Perancis mengklaim telah memecahkan misteri yg menyelimuti bangunan berumur 4.500 tahun di Giza.

    Telah lama para ahli tak memiliki jawaban memuaskan atas misteri Piramida Besar Khufu. Bagaimana bangsa Mesir Kuno membuat bangunan raksasa itu? Bagaimana cara menyusun batu yang berbobot sekitar 2,5 ton tiap bongkahnya? Secanggih apa perhitungan matematis dan teknologi yg mereka punya hingga sanggup menata ribuan blok batu secara presisi dan tak ambruk setelah ribuan tahun berlalu?

    070406_sains_kabar_piramida01.jpg

    Setelah menghabiskan delapan tahun penelitian, Jean-Pierre Houdin merilis hipotesis atas misteri tersebut. Menurutnya, para pekerja memanfaatkan lereng landai-spiral (”spiral ramp”) saat memasang bongkahan batu ke tempatnya. Konstruksi dimulai dari bagian tengah (dalam) ke arah luar dan bergerak ke arah vertikal hingga terbentuk wujud piramida.

    070406_sains_kabar_piramida02.jpg

    070406_sains_kabar_piramida03.jpg

    Pada tahap awal pembangunan, dibuatlah lereng landai-lurus yang panjang. Dari sinilah para pekerja mulai membangun “lantai” awal. Bagian ini berada di pusat piramida.

    Dari bagian itu, pekerjaan dilanjutkan ke arah horisontal dan vertikal secara berkesinambungan. Prosesnya mirip ulir atau rumah siput bila diurut dari bagian tengah.

    070406_sains_kabar_piramida04.jpg

    070406_sains_kabar_piramida05.jpg

    Dengan cara itu, pekerjaan bisa dirampungkan sekitar 20-an tahun. Jumlah pekerjanya juga tak sebanyak yg dihipotesiskan teori-teori sebelumnya.

    070406_sains_kabar_piramida06.jpg

    070406_sains_kabar_piramida07.jpg

    Tak sekedar membuat teori di atas kertas, Houdin telah menguji teorinya melalui simulasi komputer. Penyajian simulasi 3D bikinan Dassault Systemes ini mrp gebrakan baru dlm mensinergikan sains, teknologi, dan sejarah.

    Beberapa waktu ke depan, Houdin berencana ke situs bersejarah itu. Ia sangat antusias untuk membuktikan teorinya menggunakan metode pengujian nir-rusak (non-invasive tests).

    http://axireaxi.wordpress.com/2007/0...atan-piramida/
    Quote of the week:

    "Indonesia is on the move, get on board." — Forbes Asia
    "The optimist proclaims that we live in the best of all possible worlds; and the pessimist fears this is true." James Branch Cabell

    Vote for Komodo National Park:
    http://www.new7wonders.com/nature/en/vote_on_nominees/

  5. #4
    Menara_Jakarta's Avatar
    Join Date
    Aug 2008
    Location
    Menara Jakarta
    Posts
    1,890
    Points
    2,829.71
    Thanks: 0 / 7 / 7

    Default

    Fri, 16 Dec 2005 04:42:18 -0800

    Menguak Misteri Piramida
    Bangunan Kuno Pengawet Makanan dan Penjaga Kesehatan

    BEBERAPA waktu lalu televisi Jepang menyiarkan berita tentang
    makanan sisa milik para turis yang tidak membusuk dan tidak
    mengering di bangunan piramida.

    Sumber lain mengabarkan para peneliti di sana merasakan tubuhnya
    semakin sehat dan kuat. Pegal encok yang sering merasakan mereka
    menjadi hilang. Bahkan hewan yang mati dalam bangunan kuno tersebut
    bisa menjadi mumi untuk kurun waktu lebih lama ketimbang kalau
    meninggal di tempat biasa.

    Karuan saja semua itu merangsang para ilmuwan untuk menelitinya
    secara kimia, fisika, maupun medis. Mereka berharap menghasilkan
    kontribusi tentang pengawetan, khususnya terhadap makanan.
    Di dalam piramida terdapat jalur antara makam raja dengan dunia
    luar, makam raja dengan makam ratu, dan makam ratu dengan Grand
    Gallery. Di antara ketiganya terdapat jalur udara. Untuk
    megendalikan tekanan udara dilakukan pembakaran secara terus
    menerus. Langkah ini sekaligus untuk menyedot air keluar agar tidak
    sampai merendam makam tersebut.

    Pengawetan Makanan

    Piramida memang bukan sekedar tumpukan batu. Faktor desain udara
    sangat berperan demi mengendalikan proses alami pada jasad di
    dalamnya secara maksimal. Bentuk piramida itu sendiri bisa
    memberikan credit point dalam pengawetan makanan. Percobaan sudah
    beberapa kali dilakukan dengan menyimpan makanan di bawah tudung
    berbentuk piradima. Ternyata bisa sedikit lebih awet. Tetapi ini
    belum bisa dipertanggungjawabkan untuk konsumsi umum. Kesimpulan itu
    masih dipandang generalis. Masih perlu kajian lebih lanjut.

    Diketahui pula bahwa kekuatan magnet dalam makam adalah empat kali
    di luar piramida. Sedangkan di bagian tembok, kekuatannya dua kali
    bagian tengah. Jadi keseluruhannya delapan kali lipat ketimbang di
    luar. Kesimpulan ini diperoleh setelah diketahui bahwa di sana
    terdapat tum-pukan batu granit yang banyak mengandung magnet.
    Berdasarkan teori Gaya Lorentz, jika kita mengalirkan elektron
    dari "elektroda negatif" ke "elektroda positif" di mana itu terjadi
    di ruang dekat magnet maka elektron akan berubah arah alias semakin
    jauh dari magnet.

    Jadi magnet bisa membuat elektron dalam atom atau molekul terlepas
    menjadi elektron bebas. Loncat elektron dari molekul atau atom yang
    satu ke atom yang lain menghasilkan "ion negatif".
    Jadi tingginya kekuatan magnet pada batu di paramida mengakibatkan
    banyaknya elektron terlepas dari atom atau molekul di sekitarnya dan
    pada gilirannya menghasilkan ion negatif karena menyatu dengan atom
    atau molekul pada berbagai materi organik. Saat itulah ion negatif
    membunuh berbagai jenis mikroorganisma yang berperan dalam
    pembusukan. Akhirnya pengawetan pun bisa berlangsung.

    Kesehatan Tubuh

    Sedangkan pada tubuh manusia terjadi karena ion bisa masuk melalui
    kulit dan pernapasan. Kemudian dialirkan melalui pernapasan kulit.
    Akhirnya ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Sehingga tubuh
    menjadi terasa kuat dan sehat.

    Selanjutnya kehadiran ion negatif semakin membuka penguraian asam
    laktat menjadi zat jinak (air dan ion laktat). Dikatakan zat jinak,
    karena memang tidak berbahaya karena terbuang melalui peredaran
    darah dan berlanjut ke tempat pembuangan.

    Ketika badan kita sedang lelah karena bekerja berat asam laktat pada
    tubuh akan terkurung dalam sel. Dalam kondisi tertentu membuat
    badan, di posisi yang memiliki konsentrasi dominan, akan terasa
    pegal.

    Manfaat lain dari ion negatif adalah meningkatkan kerja limpa selaku
    pemberi kekebalan pada tubuh dari berbagai bentuk serangan dari luar
    seperti virus maupun kuman.
    Yang pasti banyak kegunaan ion negatif bagi tubuh manusia. Karena
    itu tidak heran jika para peneliti menganggap fenomena di piramida
    itu mempunyai prospek tinggi terhadap pengembangan ilmu kedokteran
    di bidang pengawetan.

    Namun keseimpulan ini masih dipertentangkan oleh sejumlah pengamat,
    peneliti, sampai pengkajinya. Sejumlah ilmuwan bahkan menentang
    kesimpulan itu berdasarkan hasil pengamatan di sana. Mereka berharap
    masyarakat tidak memakan informasi begitu saja tanpa penyelidikan
    secara ilmiah. Karena bisa menjadi salah kaprah apalagi kalau sudah
    diintervensi oleh masalah non ilmiah.

    Menurut para penentang, ion negatif memang bisa dimanfaatkan
    membunuh mikroorganisme dalam rangka memperlama pengawetan makanan.
    Namun selama ada udara yang mengalir masuk, mikroorganisma tertentu
    akan tetap bertahan serta melakukan aksinya.

    Kontroversi fenomena piramida itu masih terus berlangsung. Tetapi
    bagaimana pun para ilmuwan Mesir menganggap hipotesis itu sebagai
    modal penting dalam penelitian di bidang sains dan teknologi,
    khususnya bidang kedokteran. Jadi kita tunggu saja perkembangan
    berikutnya.

    (Nasrullah Idris)
    http://www.sinarharapan.co.id/berita/0112/05/ipt02.html
    Quote of the week:

    "Indonesia is on the move, get on board." — Forbes Asia
    "The optimist proclaims that we live in the best of all possible worlds; and the pessimist fears this is true." James Branch Cabell

    Vote for Komodo National Park:
    http://www.new7wonders.com/nature/en/vote_on_nominees/

  6. #5
    Menara_Jakarta's Avatar
    Join Date
    Aug 2008
    Location
    Menara Jakarta
    Posts
    1,890
    Points
    2,829.71
    Thanks: 0 / 7 / 7

    Default

    Jean-Pierre Houdin, arsitek Perancis, mengklaim berhasil memecahkan misteri piramida Khufu di Mesir lewat animasi 3D yang dikeluarkan Dassault Systemes.

    Piramida Khufu ini dibangun 4500 tahun yang lalu, terdiri dari tiga juta batu yang masing-masing beratnya 2,5 ton.



    Jean-Pierre Houdin menghabiskan waktu 8 tahun sebelum akhirnya mengajukan hipotesisnya dengan menggunakan model animasi 3D untuk mendukung teorinya.

    Situs animasi 3D nya di sini : http://www.3ds.com/khufu

    Kutip
    During a 3D screening followed by a press conference at the Paris Geode cinema on Friday, Houdin exposed his revolutionary theory of the construction of the Great Pyramid of Khufu, arguing it was built from the inside. Houdin presented the hypothesis of an internal ramp and the use of a counterweight system. Houdin used 3D technology to have his theory confirmed.

    The most widespread theory had been that an outer ramp had been used by the Egyptians, who left few traces to help archeologists and other scientists decode the secret to the construction.

    Houdin said he had taken into account the copper and stone tools available at the time, the granite and limestone blocks, the location of the pyramid and the strength and knowledge of the workers.

    According to his theory the builders put up an outer ramp for the first 141 feet, then constructed an inner ramp in a corkscrew shape to complete the 446-feet structure.

    Houdin said he based his theory partially on work by fellow Frenchman Gilles Dormion, who has studied pyramid construction for more than 20 years.

    Houdin also postulated that King's Chamber, situated 43 meters above the pyramid's base and capped with granite ceilings, was hoisted into place through a system of counterweights.

    Houdin said he plans to verify his theories through non-invasive tests on site.
    Quote of the week:

    "Indonesia is on the move, get on board." — Forbes Asia
    "The optimist proclaims that we live in the best of all possible worlds; and the pessimist fears this is true." James Branch Cabell

    Vote for Komodo National Park:
    http://www.new7wonders.com/nature/en/vote_on_nominees/

  7. #6

    Join Date
    Oct 2007
    Posts
    1,816
    Points
    2,235.30
    Thanks: 0 / 4 / 3

    Default

    Iya gw juga masih Mikir...Itu Pyramid Segitu tinggi...
    Pake tenaga Manusia? Gak masuk akal gw....

    Apa ada Sihir2 Gitu ya Bangun Pyramid....

    Kalo tenaga Orang pasti Bannyak banget Yang di Pekerjakan (budak)

    Tapi Kok Fir'aun Hebat banget Bikin Struktur pyramid ......

    Pinter juga Fir'aun

    Tapi kek nya gak sekejab bangun Pyramid Pasti Bertahun2 Baru jadi....

    Yakin gw Pasti Bertahun2...

  8. #7
    sariayu's Avatar
    Join Date
    Feb 2008
    Location
    Chungcheongnam-do
    Posts
    1,988
    Points
    2,942.90
    Thanks: 5 / 39 / 30

    Default

    Memang luar binasa ini piramida, bangunan yang tingginya setinggi itu, dengan luas yang besar, gimana membangunnya tuh, apa mayat firaunnya nggak busuk duluan?

  9. #8
    sariayu's Avatar
    Join Date
    Feb 2008
    Location
    Chungcheongnam-do
    Posts
    1,988
    Points
    2,942.90
    Thanks: 5 / 39 / 30

    Default

    Piramida raksasa Mesir merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia saat ini, sejak dulu dipandang sebagai bangunan yang misterius dan megah oleh orang-orang. Namun, meskipun telah berlalu berapa tahun lamanya, setelah sarjana dan ahli menggunakan sejumlah besar alat peneliti yang akurat dan canggih, masih belum diketahui, siapakah sebenarnya yang telah membuat bangunan raksasa yang tinggi dan megah itu? Dan berasal dari kecerdasan manusia manakah prestasi yang tidak dapat dibayangkan di atas bangunan itu? Serta apa tujuannya membuat bangunan tersebut? Dan pada waktu itu ia memiliki kegunaan yang bagaimana atau apa artinya? Teka-teki yang terus berputar di dalam benak semua orang selama ribuan tahun, dari awal hingga akhir merupakan misteri yang tidak dapat dijelaskan. Meskipun sejarawan mengatakan ia didirikan pada tahun 2000 lebih SM, namun pendapat yang demikian malah tidak bisa menjelaskan kebimbangan yang diinisiasikan oleh sejumlah besar penemuan hasil penelitian.

    Sejarah Mitos dan Temuan Arkeologi

    Sejak abad ke-6 SM, Mesir merupakan tempat pelarian kerajaan Poshi, yang kehilangan kedudukannya setelah berdiri lebih dari 2.000 tahun, menerima kekuasaan yang berasal dari luar yaitu kerajaan Yunani, Roma, kerajaan Islam serta kekuasaan bangsa lain. Semasa itu sejumlah besar karya terkenal zaman Firaun dihancurkan, aksara dan kepercayaan agama bangsa Mesir sendiri secara berangsur-angsur digantikan oleh budaya lain, sehingga kebudayaan Mesir kuno menjadi surut dan hancur, generasi belakangan juga kehilangan sejumlah besar peninggalan yang dapat menguraikan petunjuk yang ditinggalkan oleh para pendahulu.

    Tahun 450 SM, setelah seorang sejarawan Yunani berkeliling dan tiba di Mesir, membubuhkan tulisan: Cheops, (aksara Yunani Khufu), konon katanya, hancur setelah 50 tahun. Dalam batas tertentu sejarawan Yunani tersebut menggunakan kalimat "konon katanya", maksudnya bahwa kebenarannya perlu dibuktikan lagi. Namun, sejak itu pendapat sejarawan Yunani tersebut malah menjadi kutipan generasi belakangan sebagai bukti penting bahwa piramida didirikan pada dinasti kerajaan ke-4.

    terbayang dalam benak secara tanpa disadari adalah perhiasan dan barang-barang yang gemerlap. Dan, pada tahun 820 M, ketika gubernur jenderal Islam Kairo yaitu Khalifah Al-Ma'mun memimpin pasukan, pertama kali menggali jalan rahasia dan masuk ke piramida, dan ketika dengan tidak sabar masuk ke ruangan, pemandangan yang terlihat malah membuatnya sangat kecewa. Bukan saja tidak ada satu pun benda yang biasanya dikubur bersama mayat, seperti mutiara, maupun ukiran, bahkan sekeping serpihan pecah belah pun tidak ada, yang ada hanya sebuah peti batu kosong yang tidak ada penutupnya. Sedangkan tembok pun hanya bidang yang bersih kosong, juga tak ada sedikit pun ukiran tulisan.

    Kesimpulan para sejarawan terhadap prestasi pertama kali memasuki piramida ini adalah "mengalami perampokan benda-benda dalam makam". Namun, hasil penyelidikan nyata menunjukkan, kemungkinan pencuri makam masuk ke piramida melalui jalan lainnya adalah sangat kecil sekali. Di bawah kondisi biasa, pencuri makam juga tidak mungkin dapat mencuri tanpa meninggalkan jejak sedikit pun, dan lebih tidak mungkin lagi menghapus seluruh prasasti Firaun yang dilukiskan di atas tembok. Dibanding dengan makam-makam lain yang umumnya dipenuhi perhiasan-perhiasan dan harta karun yang berlimpah ruah, piramida raksasa yang dibangun untuk memperingati keagungan raja Firaun menjadi sangat berbeda.

    Selain itu, dalam catatan "Inventory Stela" yang disimpan di dalam museum Kairo, pernah disinggung bahwa piramida telah ada sejak awal sebelum Khufu meneruskan takhta kerajaan. Namun, oleh karena catatan pada batu prasasti tersebut secara keras menantang pandangan tradisional, terdapat masalah antara hasil penelitian para ahli dan cara penulisan pada buku, selanjutnya secara keras mengecam nilai penelitiannya. Sebenarnya dalam keterbatasan catatan sejarah yang bisa diperoleh, jika karena pandangan tertentu lalu mengesampingkan sebagian bukti sejarah, tanpa disadari telah menghambat kita secara obyektif dalam memandang kedudukan sejarah yang sebenarnya.

    Teknik Bangunan yang Luar Biasa

    Di Mesir, terdapat begitu banyak piramida berbagai macam ukuran, standarnya bukan saja jauh lebih kecil, strukturnya pun kasar. Di antaranya piramida yang didirikan pada masa kerajaan ke-5 dan 6, banyak yang sudah rusak dan hancur, menjadi timbunan puing, seperti misalnya piramida Raja Menkaure seperti pada gambar. Kemudian, piramida besar yang dibangun pada masa yang lebih awal, dalam sebuah gempa bumi dahsyat pada abad ke-13, di mana sebagian batu ditembok sebelah luar telah hancur, namun karena bagian dalam ditunjang oleh tembok penyangga, sehingga seluruh strukturnya tetap sangat kuat. Karenanya, ketika membangun piramida raksasa, bukan hanya secara sederhana menyusun 3 juta batu menjadi bentuk kerucut, jika terdapat kekurangan pada rancangan konstruksi yang khusus ini, sebagian saja yang rusak, maka bisa mengakibatkan seluruhnya ambruk karena beratnya beban yang ditopang.

    Lagi pula, bagaimanakah proyek bangunan piramida raksasa itu dikerjakan, tetap merupakan topik yang membuat pusing para sarjana. Selain mempertimbangkan sejumlah besar batu dan tenaga yang diperlukan, faktor terpenting adalah titik puncak piramida harus berada di bidang dasar tepat di titik tengah 4 sudut atas. Karena jika ke-4 sudutnya miring dan sedikit menyimpang, maka ketika menutup titik puncak tidak mungkin menyatu di satu titik, berarti proyek bangunan ini dinyatakan gagal. Karenanya, merupakan suatu poin yang amat penting, bagaimanakah meletakkan sejumlah 2,3 juta -2,6 juta buah batu besar yang setiap batunya berbobot 2,5 ton dari permukaan tanah hingga setinggi lebih dari seratus meter di angkasa dan dipasang dari awal sampai akhir pada posisi yang tepat.

    Seperti yang dikatakan oleh pengarang Graham Hancock dalam karangannya "Sidik Jari Tuhan": Di tempat yang terhuyung-huyung ini, di satu sisi harus menjaga keseimbangan tubuh, dan sisi lainnya harus memindahkan satu demi satu batu yang paling tidak beratnya 2 kali lipat mobil kecil ke atas, diangkut ke tempat yang tepat, dan mengarah tepat pada tempatnya, entah apa yang ada dalam pikiran pekerja-pekerja pengangkut batu tersebut. Meskipun ilmu pengetahuan modern telah memperkirakan berbagai macam cara dan tenaga yang memungkinkan untuk membangun, namun jika dipertimbangkan lagi kondisi riilnya, akan kita temukan bahwa orang-orang tersebut tentunya memiliki kemampuan atau kekuatan fisik yang melebihi manusia biasa, baru bisa menyelesaikan proyek raksasa tersebut serta memastikan keakuratan maupun ketepatan presisinya.

    Terhadap hal ini, Jean Francois Champollion yang mendapat sebutan sebagai "Bapak Pengetahuan Mesir Kuno Modern" memperkirakan bahwa orang yang mendirikan piramida berbeda dengan manusia sekarang, paling tidak dalam "pemikiran mereka mempunyai tinggi tubuh 100 kaki yang tingginya sama seperti manusia raksasa". Ia berpendapat, dilihat dari sisi pembuatan piramida, itu adalah hasil karya manusia raksasa.

    Senada dengan itu, Master Li Hongzhi dalam ceramahnya pada keliling Amerika Utara tahun 2002 juga pernah menyinggung kemungkinan itu. "Manusia tidak dapat memahami bagaimana piramida dibuat. Batu yang begitu besar bagaimana manusia mengangkutnya? Beberapa orang manusia raksasa yang tingginya lima meter mengangkut sesuatu, itu dengan manusia sekarang memindahkan sebuah batu besar adalah sama. Untuk membangun piramida itu, manusia setinggi lima meter sama seperti kita sekarang membangun sebuah gedung besar."

    Pemikiran demikian mau tidak mau membuat kita membayangkan, bahwa piramida raksasa dan sejumlah besar bangunan batu raksasa kuno yang ditemukan di berbagai penjuru dunia telah mendatangkan keraguan yang sama kepada semua orang: tinggi besar dan megah, terbentuk dengan menggunakan susunan batu yang sangat besar, bahkan penyusunannya sangat sempurna. Seperti misalnya, di pinggiran kota utara Mexico ada Kastil Sacsahuaman yang disusun dengan batu raksasa yang beratnya melebihi 100 ton lebih, di antaranya ada sebuah batu raksasa yang tingginya mencapai 28 kaki, diperkirakan beratnya mencapai 360 ton (setara dengan 500 buah mobil keluarga). Dan di dataran barat daya Inggris terdapat formasi batu raksasa, dikelilingi puluhan batu raksasa dan membentuk sebuah bundaran besar, di antara beberapa batu tingginya mencapai 6 meter. Sebenarnya, sekelompok manusia yang bagaimanakah mereka itu? Mengapa selalu menggunakan batu raksasa, dan tidak menggunakan batu yang ukurannya dalam jangkauan kemampuan kita untuk membangun?

    Sphinx, singa bermuka manusia yang juga merupakan obyek penting dalam penelitian ilmuwan, tingginya 20 meter, panjang keseluruhan 73 meter, dianggap didirikan oleh kerjaan Firaun ke-4 yaitu Khafre. Namun, melalui bekas yang dimakan karat (erosi) pada permukaan badan Sphinx, ilmuwan memperkirakan bahwa masa pembuatannya mungkin lebih awal, paling tidak 10 ribu tahun silam sebelum Masehi.

    Seorang sarjana John Washeth juga berpendapat: Bahwa Piramida raksasa dan tetangga dekatnya yaitu Sphinx dengan bangunan masa kerajaan ke-4 lainnya sama sekali berbeda, ia dibangun pada masa yang lebih purbakala dibanding masa kerajaan ke-4. Dalam bukunya "Ular Angkasa", John Washeth mengemukakan: perkembangan budaya Mesir mungkin bukan berasal dari daerah aliran sungai Nil, melainkan berasal dari budaya yang lebih awal dan hebat yang lebih kuno ribuan tahun dibanding Mesir kuno, warisan budaya yang diwariskan yang tidak diketahui oleh kita. Ini, selain alasan secara teknologi bangunan yang diuraikan sebelumnya, dan yang ditemukan di atas yaitu patung Sphinx sangat parah dimakan karat juga telah membuktikan hal ini.

    Ahli ilmu pasti Swalle Rubich dalam "Ilmu Pengetahuan Kudus" menunjukkan: pada tahun 11.000 SM, Mesir pasti telah mempunyai sebuah budaya yang hebat. Pada saat itu Sphinx telah ada, sebab bagian badan singa bermuka manusia itu, selain kepala, jelas sekali ada bekas erosi. Perkiraannya adalah pada sebuah banjir dahsyat tahun 11.000 SM dan hujan lebat yang silih berganti lalu mengakibatkan bekas erosi.

    Perkiraan erosi lainnya pada Sphinx adalah air hujan dan angin. Washeth mengesampingkan dari kemungkinan air hujan, sebab selama 9.000 tahun di masa lalu dataran tinggi Jazirah, air hujan selalu tidak mencukupi, dan harus melacak kembali hingga tahun 10000 SM baru ada cuaca buruk yang demikian. Washeth juga mengesampingkan kemungkinan tererosi oleh angin, karena bangunan batu kapur lainnya pada masa kerajaan ke-4 malah tidak mengalami erosi yang sama. Tulisan berbentuk gajah dan prasasti yang ditinggalkan masa kerajaan kuno tidak ada sepotong batu pun yang mengalami erosi yang parah seperti yang terjadi pada Sphinx.

  10. #9
    sariayu's Avatar
    Join Date
    Feb 2008
    Location
    Chungcheongnam-do
    Posts
    1,988
    Points
    2,942.90
    Thanks: 5 / 39 / 30

    Default

    FENOMENA”MISTERI PYRAMID MESIR”.

    Piramida raksasa Mesir merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia saat ini, sejak dulu dipandang sebagai bangunan yang misterius dan megah oleh orang-orang. Namun, meskipun telah berlalu berapa tahun lamanya, setelah sarjana dan ahli menggunakan sejumlah besar alat peneliti yang akurat dan canggih, masih belum diketahui, siapakah sebenarnya yang telah membuat bangunan raksasa yang tinggi dan megah itu? Dan berasal dari kecerdasan manusia manakah prestasi yang tidak dapat dibayangkan di atas bangunan itu? Serta apa tujuannya membuat bangunan tersebut? Dan pada waktu itu ia memiliki kegunaan yang bagaimana atau apa artinya? Teka-teki yang terus berputar di dalam benak semua orang selama ribuan tahun, dari awal hingga akhir merupakan misteri yang tidak dapat dijelaskan. Meskipun sejarawan mengatakan ia didirikan pada tahun 2000 lebih SM, namun pendapat yang demikian malah tidak bisa menjelaskan kebimbangan yang diinisiasikan oleh sejumlah besar penemuan hasil penelitian.

    Sejarah Mitos dan Temuan Arkeologi

    Sejak abad ke-6 SM, Mesir merupakan tempat pelarian kerajaan Poshi, yang kehilangan kedudukannya setelah berdiri lebih dari 2.000 tahun, menerima kekuasaan yang berasal dari luar yaitu kerajaan Yunani, Roma, kerajaan Islam serta kekuasaan bangsa lain. Semasa itu sejumlah besar karya terkenal zaman Firaun dihancurkan, aksara dan kepercayaan agama bangsa Mesir sendiri secara berangsur-angsur digantikan oleh budaya lain, sehingga kebudayaan Mesir kuno menjadi surut dan hancur, generasi belakangan juga kehilangan sejumlah besar peninggalan yang dapat menguraikan petunjuk yang ditinggalkan oleh para pendahulu.

    Tahun 450 SM, setelah seorang sejarawan Yunani berkeliling dan tiba di Mesir, membubuhkan tulisan: Cheops, (aksara Yunani Khufu), konon katanya, hancur setelah 50 tahun. Dalam batas tertentu sejarawan Yunani tersebut menggunakan kalimat “konon katanya”, maksudnya bahwa kebenarannya perlu dibuktikan lagi. Namun, sejak itu pendapat sejarawan Yunani tersebut malah menjadi kutipan generasi belakangan sebagai bukti penting bahwa piramida didirikan pada dinasti kerajaan ke-4.

    Selama ini, para sejarawan menganggap bahwa piramida adalah makam raja. Dengan demikian, begitu membicarakan piramida, yang terbayang dalam benak secara tanpa disadari adalah perhiasan dan barang-barang yang gemerlap. Dan, pada tahun 820 M, ketika gubernur jenderal Islam Kairo yaitu Khalifah Al-Ma’mun memimpin pasukan, pertama kali menggali jalan rahasia dan masuk ke piramida, dan ketika dengan tidak sabar masuk ke ruangan, pemandangan yang terlihat malah membuatnya sangat kecewa. Bukan saja tidak ada satu pun benda yang biasanya dikubur bersama mayat, seperti mutiara, maupun ukiran, bahkan sekeping serpihan pecah belah pun tidak ada, yang ada hanya sebuah peti batu kosong yang tidak ada penutupnya. Sedangkan tembok pun hanya bidang yang bersih kosong, juga tak ada sedikit pun ukiran tulisan.

    Kesimpulan para sejarawan terhadap prestasi pertama kali memasuki piramida ini adalah “mengalami perampokan benda-benda dalam makam”. Namun, hasil penyelidikan nyata menunjukkan, kemungkinan pencuri makam masuk ke piramida melalui jalan lainnya adalah sangat kecil sekali. Di bawah kondisi biasa, pencuri makam juga tidak mungkin dapat mencuri tanpa meninggalkan jejak sedikit pun, dan lebih tidak mungkin lagi menghapus seluruh prasasti Firaun yang dilukiskan di atas tembok. Dibanding dengan makam-makam lain yang umumnya dipenuhi perhiasan-perhiasan dan harta karun yang berlimpah ruah, piramida raksasa yang dibangun untuk memperingati keagungan raja Firaun menjadi sangat berbeda.

    Selain itu, dalam catatan “Inventory Stela” yang disimpan di dalam museum Kairo, pernah disinggung bahwa piramida telah ada sejak awal sebelum Khufu meneruskan takhta kerajaan. Namun, oleh karena catatan pada batu prasasti tersebut secara keras menantang pandangan tradisional, terdapat masalah antara hasil penelitian para ahli dan cara penulisan pada buku, selanjutnya secara keras mengecam nilai penelitiannya. Sebenarnya dalam keterbatasan catatan sejarah yang bisa diperoleh, jika karena pandangan tertentu lalu mengesampingkan sebagian bukti sejarah, tanpa disadari telah menghambat kita secara obyektif dalam memandang kedudukan sejarah yang sebenarnya.

    Teknik Bangunan yang Luar Biasa

    Di Mesir, terdapat begitu banyak piramida berbagai macam ukuran, standarnya bukan saja jauh lebih kecil, strukturnya pun kasar. Di antaranya piramida yang didirikan pada masa kerajaan ke-5 dan 6, banyak yang sudah rusak dan hancur, menjadi timbunan puing, seperti misalnya piramida Raja Menkaure seperti pada gambar. Kemudian, piramida besar yang dibangun pada masa yang lebih awal, dalam sebuah gempa bumi dahsyat pada abad ke-13, di mana sebagian batu ditembok sebelah luar telah hancur, namun karena bagian dalam ditunjang oleh tembok penyangga, sehingga seluruh strukturnya tetap sangat kuat. Karenanya, ketika membangun piramida raksasa, bukan hanya secara sederhana menyusun 3 juta batu menjadi bentuk kerucut, jika terdapat kekurangan pada rancangan konstruksi yang khusus ini, sebagian saja yang rusak, maka bisa mengakibatkan seluruhnya ambruk karena beratnya beban yang ditopang.

    Lagi pula, bagaimanakah proyek bangunan piramida raksasa itu dikerjakan, tetap merupakan topik yang membuat pusing para sarjana. Selain mempertimbangkan sejumlah besar batu dan tenaga yang diperlukan, faktor terpenting adalah titik puncak piramida harus berada di bidang dasar tepat di titik tengah 4 sudut atas. Karena jika ke-4 sudutnya miring dan sedikit menyimpang, maka ketika menutup titik puncak tidak mungkin menyatu di satu titik, berarti proyek bangunan ini dinyatakan gagal. Karenanya, merupakan suatu poin yang amat penting, bagaimanakah meletakkan sejumlah 2,3 juta -2,6 juta buah batu besar yang setiap batunya berbobot 2,5 ton dari permukaan tanah hingga setinggi lebih dari seratus meter di angkasa dan dipasang dari awal sampai akhir pada posisi yang tepat.

    Seperti yang dikatakan oleh pengarang Graham Hancock dalam karangannya “Sidik Jari Tuhan”: Di tempat yang terhuyung-huyung ini, di satu sisi harus menjaga keseimbangan tubuh, dan sisi lainnya harus memindahkan satu demi satu batu yang paling tidak beratnya 2 kali lipat mobil kecil ke atas, diangkut ke tempat yang tepat, dan mengarah tepat pada tempatnya, entah apa yang ada dalam pikiran pekerja-pekerja pengangkut batu tersebut. Meskipun ilmu pengetahuan modern telah memperkirakan berbagai macam cara dan tenaga yang memungkinkan untuk membangun, namun jika dipertimbangkan lagi kondisi riilnya, akan kita temukan bahwa orang-orang tersebut tentunya memiliki kemampuan atau kekuatan fisik yang melebihi manusia biasa, baru bisa menyelesaikan proyek raksasa tersebut serta memastikan keakuratan maupun ketepatan presisinya.

    Terhadap hal ini, Jean Francois Champollion yang mendapat sebutan sebagai “Bapak Pengetahuan Mesir Kuno Modern” memperkirakan bahwa orang yang mendirikan piramida berbeda dengan manusia sekarang, paling tidak dalam “pemikiran mereka mempunyai tinggi tubuh 100 kaki yang tingginya sama seperti manusia raksasa”. Ia berpendapat, dilihat dari sisi pembuatan piramida, itu adalah hasil karya manusia raksasa.

    Senada dengan itu, Master Li Hongzhi dalam ceramahnya pada keliling Amerika Utara tahun 2002 juga pernah menyinggung kemungkinan itu. “Manusia tidak dapat memahami bagaimana piramida dibuat. Batu yang begitu besar bagaimana manusia mengangkutnya? Beberapa orang manusia raksasa yang tingginya lima meter mengangkut sesuatu, itu dengan manusia sekarang memindahkan sebuah batu besar adalah sama. Untuk membangun piramida itu, manusia setinggi lima meter sama seperti kita sekarang membangun sebuah gedung besar.”

    Pemikiran demikian mau tidak mau membuat kita membayangkan, bahwa piramida raksasa dan sejumlah besar bangunan batu raksasa kuno yang ditemukan di berbagai penjuru dunia telah mendatangkan keraguan yang sama kepada semua orang: tinggi besar dan megah, terbentuk dengan menggunakan susunan batu yang sangat besar, bahkan penyusunannya sangat sempurna. Seperti misalnya, di pinggiran kota utara Mexico ada Kastil Sacsahuaman yang disusun dengan batu raksasa yang beratnya melebihi 100 ton lebih, di antaranya ada sebuah batu raksasa yang tingginya mencapai 28 kaki, diperkirakan beratnya mencapai 360 ton (setara dengan 500 buah mobil keluarga). Dan di dataran barat daya Inggris terdapat formasi batu raksasa, dikelilingi puluhan batu raksasa dan membentuk sebuah bundaran besar, di antara beberapa batu tingginya mencapai 6 meter. Sebenarnya, sekelompok manusia yang bagaimanakah mereka itu? Mengapa selalu menggunakan batu raksasa, dan tidak menggunakan batu yang ukurannya dalam jangkauan kemampuan kita untuk membangun?

    Sphinx, singa bermuka manusia yang juga merupakan obyek penting dalam penelitian ilmuwan, tingginya 20 meter, panjang keseluruhan 73 meter, dianggap didirikan oleh kerjaan Firaun ke-4 yaitu Khafre. Namun, melalui bekas yang dimakan karat (erosi) pada permukaan badan Sphinx, ilmuwan memperkirakan bahwa masa pembuatannya mungkin lebih awal, paling tidak 10 ribu tahun silam sebelum Masehi.

    Seorang sarjana John Washeth juga berpendapat: Bahwa Piramida raksasa dan tetangga dekatnya yaitu Sphinx dengan bangunan masa kerajaan ke-4 lainnya sama sekali berbeda, ia dibangun pada masa yang lebih purbakala dibanding masa kerajaan ke-4. Dalam bukunya “Ular Angkasa”, John Washeth mengemukakan: perkembangan budaya Mesir mungkin bukan berasal dari daerah aliran sungai Nil, melainkan berasal dari budaya yang lebih awal dan hebat yang lebih kuno ribuan tahun dibanding Mesir kuno, warisan budaya yang diwariskan yang tidak diketahui oleh kita. Ini, selain alasan secara teknologi bangunan yang diuraikan sebelumnya, dan yang ditemukan di atas yaitu patung Sphinx sangat parah dimakan karat juga telah membuktikan hal ini.

    Ahli ilmu pasti Swalle Rubich dalam “Ilmu Pengetahuan Kudus” menunjukkan: pada tahun 11.000 SM, Mesir pasti telah mempunyai sebuah budaya yang hebat. Pada saat itu Sphinx telah ada, sebab bagian badan singa bermuka manusia itu, selain kepala, jelas sekali ada bekas erosi. Perkiraannya adalah pada sebuah banjir dahsyat tahun 11.000 SM dan hujan lebat yang silih berganti lalu mengakibatkan bekas erosi.

    Perkiraan erosi lainnya pada Sphinx adalah air hujan dan angin. Washeth mengesampingkan dari kemungkinan air hujan, sebab selama 9.000 tahun di masa lalu dataran tinggi Jazirah, air hujan selalu tidak mencukupi, dan harus melacak kembali hingga tahun 10000 SM baru ada cuaca buruk yang demikian. Washeth juga mengesampingkan kemungkinan tererosi oleh angin, karena bangunan batu kapur lainnya pada masa kerajaan ke-4 malah tidak mengalami erosi yang sama. Tulisan berbentuk gajah dan prasasti yang ditinggalkan masa kerajaan kuno tidak ada sepotong batu pun yang mengalami erosi yang parah seperti yang terjadi pada Sphinx.

    Profesor Universitas Boston, dan ahli dari segi batuan erosi Robert S. juga setuju dengan pandangan Washeth sekaligus menujukkan: Bahwa erosi yang dialami Sphinx, ada beberapa bagian yang kedalamannya mencapai 2 meter lebih, sehingga berliku-liku jika dipandang dari sudut luar, bagaikan gelombang, jelas sekali merupakan bekas setelah mengalami tiupan dan terpaan angin yang hebat selama ribuan tahun.

    Washeth dan Robert S. juga menunjukkan: Teknologi bangsa Mesir kuno tidak mungkin dapat mengukir skala yang sedemikian besar di atas sebuah batu raksasa, produk seni yang tekniknya rumit.

    Jika diamati secara keseluruhan, kita bisa menyimpulkan secara logis, bahwa pada masa purbakala, di atas tanah Mesir, pernah ada sebuah budaya yang sangat maju, namun karena adanya pergeseran lempengan bumi, daratan batu tenggelam di lautan, dan budaya yang sangat purba pada waktu itu akhirnya disingkirkan, meninggalkan piramida dan Sphinx dengan menggunakan teknologi bangunan yang sempurna.

    Dalam jangka waktu yang panjang di dasar lautan, piramida raksasa dan Sphinx mengalami rendaman air dan pengikisan dalam waktu yang panjang, adalah penyebab langsung yang mengakibatkan erosi yang parah terhadap Sphinx. Karena bahan bangunan piramida raksasa Jazirah adalah hasil teknologi manusia yang tidak diketahui orang sekarang, kemampuan erosi tahan airnya jauh melampaui batu alam, sedangkan Sphinx terukir dengan keseluruhan batu alam, mungkin ini penyebab yang nyata piramida raksasa dikikis oleh air laut yang tidak tampak dari permukaan.

    Patung Sphinx yang bertetangga dekat dengan piramida raksasa kelihatannya sangat kuno. Para ilmuwan memastikan bahwa dari badannya, saluran dan irigasi yang seperti dikikis air, ia pernah mengalami sebagian cuaca yang lembab, karenanya memperkirakan bahwa ia sangat berkemungkinan telah ada sebelum 10 ribu tahun silam.

    http://agoesramdhanie.wordpress.com/...pyramid-mesir/

  11. #10
    sariayu's Avatar
    Join Date
    Feb 2008
    Location
    Chungcheongnam-do
    Posts
    1,988
    Points
    2,942.90
    Thanks: 5 / 39 / 30

    Default

    ribuan budak mengangkut batu untuk membangun piramida dan sphinx? itu aja udah keajaiban, tau kan piramida itu isinya menyesatkan.

  12. #11
    Ache's Avatar
    Join Date
    Oct 2008
    Location
    Center Crowd
    Posts
    238
    Points
    277.80
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Default

    Quote Originally Posted by clitonia View Post
    Kalau soal pembuatan piramid, coba Anda simak di Discovery Channel, pada edisi "How to Build a Piramid".

    Disana dijelaskan bahwa yang bekerja membangun piramid ternyata bukanlah sekumpulan budak yang dipaksa untuk membangun piramid. Melainkan para kaum terpelajar (umumnya orang2 arsitek) yang mengabdi dan mempunyai kesadaran diri dalam membangun piramid tersebut untuk rajanya. Dan mereka di suplai dengan makanan2 yang cukup dan bergizi oleh kerajaan.
    Dan disitu dijelaskan bagaimana mereka membangun piramid, bagaimana merancang piramid menjadi streamline, dan banyak lagi.
    Dikutip dari thread sebelah

  13. #12
    sariayu's Avatar
    Join Date
    Feb 2008
    Location
    Chungcheongnam-do
    Posts
    1,988
    Points
    2,942.90
    Thanks: 5 / 39 / 30

    Default

    THE GREAT PYRAMID

    By Alan Alford

    The central premise of my theory is that the Great Pyramid is a religious monument, whose full significance may be apprehended only through a true understanding of ancient Egyptian religion. Crucially, however, I argue that Egyptian religion was not simply a Sun cult, as Egyptologists believe, but rather a ‘cult of creation’, i.e. a cult whose primary aim was to celebrate and re-enact perpetually the myth of the creation of the Universe. Accordingly, I reinterpret the Pyramid’s architecture in the light of creational mythology, this being a radically different perspective from that which has been adopted by Egyptologists during the past two hundred years.

    The creational approach to the mystery of the Great Pyramid facilitates progress on several fronts simultaneously. Firstly, the symbolism of the Pyramid. Secondly, the amazing size and precision of the Pyramid. And thirdly, the Pyramid’s unique interior architecture.
    The Symbolism of the Great Pyramid

    According to Egyptologists, the true pyramid (i.e. the smooth-sided pyramid) was a solar symbol, its shape signifying the rays of the Sun falling to the earth. In keeping with this theory, the pyramid’s capstone, benbenet, is held to have been a solar icon or ‘Sun-stone’.

    However, according to my cult of creation theory, the true pyramid was actually a creational symbol, as evidenced by the fact that its capstone, benbenet, symbolised the insemination of the sky. I therefore argue that the Pyramid’s shape encoded the mystery of the creation, and conveyed the entire story in a single hieroglyph. But further elaboration of this idea must be reserved for my books ‘Pyramid of Secrets’ and ‘The Midnight Sun’, since this is a matter of the highest sensitivity.
    The Size and Precision of the Great Pyramid

    The huge size of the Great Pyramid is unexplained by Egyptology. No king needed a tomb this big; nor does solar symbolism explain it. Some Egyptologists therefore regard the Pyramid as a colossal waste of time and energy, whilst others suspect that it, and the other giant pyramids, functioned as job creation schemes and mechanisms for the creation of the state.

    The precision of the Pyramid is also a baffling mystery. As the Egyptologist Mark Lehner put it: ‘Why such phenomenal precision? For the royal designers such exactitude may have been imbued with symbolic and cultic significance that now eludes us.’

    My creational approach to the Great Pyramid provides a unique explanation of its size and precision. However, the rationale is too sensitive to be recounted here and must be reserved for readers of my books. Suffice to say that the Pyramid is to be understood as a labour of religious devotion, its size and precision symbolising the idea of perfection that its shape represented.
    The Unique Interior Architecture of the Great Pyramid

    The Great Pyramid is unique in that several of its chambers are built high in its superstructure. This unprecedented system comprises the Queen’s Chamber, the Grand Gallery, and the King’s Chamber, which are connected together by a series of narrow passages.

    For many years, Egyptology assumed that the king had changed his mind as to his burial place, and had raised the position of the burial chamber in order to protect it from tomb robbers. The highest room – the King’s Chamber – was thus the king’s tomb of choice.

    In recent years, this ‘change of mind’ theory has been rejected in favour of the idea that all of the chambers were planned together from the outset. According to this view, the various chambers had funerary roles (the exact nature of which remains uncertain), with the King’s Chamber again being the king’s final resting place.

    Therefore, whichever view is taken, Egyptology believes that the highest room – the King’s Chamber – was the tomb chamber, as evidenced by the presence there of the granite sarcophagus.

    But was the king really buried in the King’s Chamber?

    The hard facts of the matter are these: the King’s Chamber sarcophagus was found broken and empty; no trace of the king’s body has ever been found in the Pyramid, no direct evidence exists of a human burial in the King’s Chamber, and no reliable record has ever been unearthed of a king having being buried in, or removed from, either the sarcophagus or the Pyramid.

    More seriously, the idea of the king being buried at a great height in the Pyramid’s superstructure goes against a fundamental principle of Egyptian religion – ‘the body to earth, the spirit to the sky’ – which dictated that the mummy be buried at ground level or below.

    It therefore follows, incontrovertibly, that Khufu’s burial in the King’s Chamber is but a theory, and a rather dubious theory to boot. And this theory, like any other in Egyptology, should be regarded with a healthy dose of scepticism and subjected to tests, including the ultimate test of good common sense.

    This is where my creational theory of the Egyptian pyramid comes into play.

    Under the solar interpretation of Egyptian religion, the position of the tomb vis-a-vis the pyramid is a moveable feast. Egyptologists thus argue that, despite the general rule to place the tomb beneath the pyramid, the architect of the Great Pyramid raised the tomb into the monument’s superstructure, in a bold attempt to keep robbers at bay, or, by another theory, to seek an identity with the Sun-god in the horizon. Under the creational interpretation of Egyptian religion, however, this argument becomes wholly untenable, since it was a fundamental rule that the body of the king be placed in the earth, beneath the pyramid, in order that his soul, or spirit, would become one with the pyramid; this in accordance with the religious axiom ‘the body to earth, the spirit to the sky’. That the architect of the Pyramid would have broken this cardinal rule is inconceivable, for it would have destroyed the vital magic of the pyramid building ritual. Accordingly, I reject the orthodox theory that Khufu was buried in the King’s Chamber, at a height of 140 feet in the monument’s superstructure.

    The scene is thus set for a radical reappraisal of the architecture of the Great Pyramid.

    In my book ‘Pyramid of Secrets’, I propose that the king’s true tomb was located beneath the Pyramid, at ground level, where it probably remains hidden to this day. The Pyramid, in its lower parts, was thus a tomb, incorporating an ingenious decoy arrangement.

    I then go on to argue that the upper parts of the Pyramid were sealed off at the time of construction, to form a sealed repository or time capsule, in which the builders deposited sacred relics, books and knowledge, lest their civilisation be destroyed by a prophesied ‘end of the world’ cataclysm. Crucially, I suggest that some of these time capsule artefacts remain to be found in the Pyramid, despite the looting of the monument in antiquity.


    THE GREAT PYRAMID - DESCENDING PASSAGE AND SUBTERRANEAN CHAMBER
    Orthodox Theory

    According to Egyptologists, the Descending Passage provided the sole entrance and means of access to the Great Pyramid, and was designed primarily for the royal funeral. The Subterranean Chamber is supposed to be either an abandoned tomb chamber (the king having changed his mind as to his place of burial) or possibly a decoy tomb chamber (to persuade thieves that the burial treasures had already been plundered).


    Alford Theory

    The Descending Passage was built not only for the king’s burial (in the Pyramid’s lower parts) but also to provide access to the secret chamber system, or repository (in the Pyramid’s upper parts), for the benefit of a future civilisation. The entrance to the repository is the Ascending Passage, which was originally concealed by the prismatic stone which formed part of the ceiling of the Descending Passage. But there is strong evidence for the presence of a second secret passage, or a pair of such passages, in the Descending Passage, located in its side walls, about 35 to 40 feet down from the Pyramid’s main entrance.

    In addition, it should be borne in mind that the Descending Passage might not be the sole entrance to the Pyramid; a number of other possible entrances are discussed in my book (following J.P. Lepre, 1990).

    As for the Subterranean Chamber, this cave-like room symbolised the abyss and the underworld, and would have made a most suitable tomb chamber. However, whilst it is possible that the king was buried here, the vulnerability of such a burial suggests that the Subterranean Chamber was actually a decoy tomb chamber (see explanation in Well Shaft).


    THE GREAT PYRAMID - ASCENDING PASSAGE
    Orthodox Theory

    According to Egyptologists, the Ascending Passage was a secret passage that provided access to the upper chambers for the funeral of the king. The passage was originally concealed by the prismatic stone which formed part of the ceiling of the Descending Passage. However, as an additional barrier against tomb robbers, three granite plugs were lowered into the passage mouth after the funeral. It is not known why the builders used granite plugs (in a passage made of limestone), nor why there were three of them.

    Alford Theory

    The Ascending Passage was a secret passage that provided access to the sealed chambers of a repository and time capsule. The granite plugs were slipped down the passage during the construction of the Pyramid, when the roof of the Grand Gallery was still open. Strictly speaking, the use of the plugs was unnecessary, given the fact that the mouth of the passage was camouflaged by the prismatic stone. Therefore, the inclusion of the plugs bears the hallmarks of a ritual, both as regards the sealing and the envisaged future unsealing of the passage. The use of three plugs, made of granite, probably had a religious significance.


    THE GREAT PYRAMID - GRAND GALLERY
    Orthodox Theory

    According to Egyptologists, the Grand Gallery was a glorious passageway to the king’s tomb chamber, but functioned also as a slipway for the granite plugs that would block the mouth of the passage below.

    The Great Step (at the southern end of the Gallery) is not thought to have had any particular significance. The long grooves in the side walls are a real puzzle, as they seem to suggest a lower roof that was removed by intruders. No satisfactory explanation has ever been offered for the fifty-four niches in the side ramps, nor for the inset stones in the side walls. The corbelled architecture remains a mystery, though according to J.P. Lepre it may have had ‘a high spiritual symbolism’.
    Alford Theory

    The Grand Gallery was the heart of the secret chamber system, but was also a simulacrum of the creation of the Universe. The Great Step was a platform for a statue of the Great God in geometric form, symbolising the mystery of creation. Dilapidation of the Great Step was caused by the forceful removal of this statue when the Pyramid was plundered in antiquity. The long grooves in the side walls contained a lower roof that spanned the Gallery at half its present height. This roof, probably made of wood, had its underside painted with stars – the images of the gods – in the act of rising at the First Time. Below, the fifty-four niches in the side ramps may have contained relics of the gods, perhaps in the form of sanctified (spiritualised) woods and minerals. Above, the upper roof demands to be removed so that the full extent of the corbelling may be seen. The corbelled architecture would indeed have had a high spiritual symbolism, and might encode the mystery of the creation, viewed from a mathematical or geometrical perspective. Finally, on a more mundane note, the floor of the Gallery did indeed function as a slipway for the granite plugs, whilst the inset stones in the side walls might conceivably be the result of a planning error.

    THE GREAT PYRAMID - THE QUEEN'S CHAMBER
    Orthodox Theory

    Egyptologists used to think that the Queen’s Chamber was an abandoned tomb chamber (the king having changed his mind as to his place of burial). But most experts now believe that the room was designed from the outset as a serdab, its corbelled niche containing a ka-statue of the king.

    The Queen’s Chamber shafts are a real puzzle on account of the fact that they were sealed at their lower ends and blocked at their upper ends. It is generally believed that they are abandoned features – prototypes perhaps of the shafts in the King’s Chamber. Accordingly, it is suggested that they are unfinished ventilation shafts or unfinished soul-shafts. However, some Egyptologists claim that they are completed features (ka-shafts), and a minority even support the view that the southern shaft leads up to a small chamber, or serdab. All of these theories run into serious difficulties in explaining the fact that the shafts were sealed.

    As regards the Queen’s Chamber Passage, it is recognised that this was sealed off by the bridging slab in the Grand Gallery. However, it is widely presumed that the chamber could be accessed at the time of the funeral.
    Alford Theory

    The Queen’s Chamber was a secret chamber in a sealed repository. As such, it was sealed at the time of construction, and could not be accessed except by breaking the bridging slab (there is strong evidence that this slab was slotted into the floor of the Gallery at the time of construction).

    The corbelled niche contained a statue of the Great Goddess in geometric form, symbolising the mystery of creation.

    The Queen’s Chamber shafts were secret passages to secret chambers, differing from the Pyramid’s other passages only in their miniature size. The idea was that the explorer use the shafts as guides to dig tunnels to the chambers above. The distance (213 feet in each case) made this the ultimate challenge, and tends to suggest that the chambers (which would still be intact) contain the ultimate prize (the identity of which is discussed in my book). The metal-handled ‘doors’ at the top of the shafts are probably the original aperture covers that were used during construction to prevent ingress of tools, detritus, and living organisms. The plugs beyond these ‘doors’ suggest a ritual sealing and future unsealing, reminiscent of the granite plugs in the Ascending Passage.

    Anomalous joints and stones in the Queen’s Chamber Passage may indicate the presence of an undiscovered secret passage (J.P. Lepre, 1990).


    THE GREAT PYRAMID - THE KING'S CHAMBERS
    Orthodox Theory

    According to Egyptologists, the King’s Chamber was the king’s final resting place – the raison d’etre of the monument. Supposedly, his mummy was sealed inside the granite sarcophagus, which was broken and plundered in antiquity.

    The two ‘airshafts’ in the King’s Chamber may have provided fresh air for the benefit of the funeral cortege, but most Egyptologists nowadays call them ‘soul-shafts’ on the assumption that the king’s soul used them for a direct ascent into the northern and southern skies.

    The huge granite beams in the King’s Chamber superstructure – a unique feature of the Great Pyramid – are thought to have had a structural purpose – to protect the flat roof of the chamber from the superincumbent weight of masonry.

    The use of granite in this chamber and its superstructure is thought to reflect that material’s protective strength, but religious symbolism might also have been a factor.

    Alford Theory

    The concept of burial at such a height inside a pyramid goes against a fundamental principle of Egyptian religion which dictated that the king’s body be buried at ground level or below. The soul-shaft theory is unacceptable too since the king’s soul could have used the Descending Passage for its ascent to the sky. Finally, the superstructure theory is problematic, since the raised roofs provided no additional weight relief.

    The true purpose of the King’s Chamber, I suggest, was to effect a perpetual re-enactment of the myth of the creation.

    The first key component of this re-enactment was sound. The granite beams in the superstructure were designed to vibrate in harmony with Earth resonance and transmit low frequency vibrations to the chamber below. The chamber, built of highly resonant granite, then amplified these vibrations and their harmonics, and transmitted audible sound via its so-called ‘airshafts’. The broadcasting of this low frequency sound re-enacted the sound of creation (the latter idea being attested in the Pyramid Texts).

    The second key component of the re-enactment was meteoritic iron – the seed of creation – which was hermetically sealed inside the King’s Chamber sarcophagus (on the role of meteoritic iron in the creation myth, see my book). In a symbolic sense, the sound spiritualised the iron and ejected it into the northern and southern skies, via the shafts, thereby re-enacting the formation of the celestial bodies: the circumpolar stars in the northern sky, and the Sun, the Moon, and the rising-and-setting stars in the southern sky (in Egyptian myth, all of these bodies were said to be made of iron).

    The King’s Chamber was therefore a ‘chamber of creation’, in keeping with the creational symbolism of the Pyramid, as illustrated in the diagram to the right.

    It is important to realise that access to the King’s Chamber was not intended by the architect, but became possible after the acoustic system was damaged irreparably by an earthquake of exceptional force. The limit of the repository would therefore have been the Antechamber to the King’s Chamber.


    THE GREAT PYRAMID - ANTECHAMBER TO THE KING’S CHAMBER
    Orthodox Theory

    According to Egyptologists, the Antechamber was a portcullis room for the protection of the burial chamber. It is supposed that the three granite slabs (now missing) were lowered to the floor by means of wooden rollers and ropes, the vertical grooves in the south wall acting as guides for the ropes, and the granite leaf functioning as a counterweight. The use of granite, interlaced with limestone blocks, is a puzzling and unexplained feature of the Antechamber.
    Alford Theory

    It is not apparent how a portcullis could have functioned in the Antechamber, and several facts argue strongly against the idea. Certain features are better understood as decorative and symbolic. The grooves in the south wall resemble the pattern of a fluted column, and are an exact image of a decorative pattern found on a 1st dynasty portcullis slab, whilst the granite leaf resembles the rolled-up reed-mat curtain design which was used from Old Kingdom times to symbolise the entrance to the ‘other world’. In addition, there is evidence that this room was not kept open for a funeral, but was sealed by a plate, or plug, of stone at the mouth of the King’s Chamber Passage. In keeping with my acoustic theory of the King’s Chamber, the Antechamber, built predominantly of granite, would have produced acoustic effects.

    It is theorised that the ‘portcullis slabs’ and the granite leaf were tuned to resonate at certain low frequencies, and that a man was intended to stand in the gap in front of the granite leaf, at the threshold of the room, where the granite began. The sound effect might then have induced an altered state of consciousness in the subject, causing him to receive a vision of the creation. In short, it is proposed that the Antechamber was an initiation room in which a representative of a future generation, or race, of men would experience an insight into the physics and metaphysics of the Universe, as conceived by the builders of the Pyramid.


    THE GREAT PYRAMID - WELL SHAFT
    Orthodox Theory

    According to Egyptologists, the Well Shaft may have originally been cut to supply air to workers in the Subterranean Chamber. But it was then extended to provide an escape route for the workmen who became trapped in the Grand Gallery when they released the granite plugs into the Ascending Passage, immediately after the king’s burial in the King’s Chamber. These workmen then concealed the shaft’s lower entrance by inserting a secret door in the western wall of the Descending Passage. As for the Grotto, which is accessed via the Well Shaft, this cave-like feature is thought to be of little or no consequence for our understanding of the Pyramid.

    Alford Theory

    The ventilation theory and the workmen’s evacuation theory encounter a number of serious problems.

    It is more likely, in my view, that the lower section of the Well Shaft, B-C-D-E, was cut to provide access from the Descending Passage to the Grotto, this room having been sacred for centuries prior to the construction of the Pyramid. The need for this access may be explained by the need for ongoing rituals, but I favour the idea of a one-off use for the secret burial of the king.

    The rough section of the Well Shaft above the Grotto, A-X, was probably an inspection tunnel, dug by the Pyramid’s guardians in order to inspect earthquake damage to the King’s Chamber (in support of this idea, a second tunnel has been cut from the top of the Gallery into the lowermost cavity above the roof of the King’s Chamber).

    The purpose of the upper section of the Well Shaft, X-Y-Z, immediately beneath the Grand Gallery, remains a puzzle.

    The burial of the king in the Grotto, with the Subterranean Chamber acting as a decoy tomb, would have been an ideal plan from a security point of view. However, an even better plan would have been to use the Grotto as a secondary decoy (hence the deep hole in its floor), with the real tomb being concealed in the vicinity (suggestions for the real tomb’s location are reserved for readers of my book).

    A burial of the king’s body in the Grotto – or in its vicinity – would have accorded with the religious axiom ‘the body to earth, the spirit to the sky’, but, more than that, the positioning of the tomb amidst the height of the stepped plateau outcrop beneath the Pyramid would have corresponded to the primeval mound (the risen earth) of the creation myth.

    In addition, it may be significant that the total distance from the Pyramid’s main entrance to the Grotto, via the Descending Passage and the Well Shaft, is almost exactly equal to the height of the Pyramid. Perhaps this amazing little fact did not go unnoticed in the mind of the architect.
    THE GREAT PYRAMID - RIVAL THEORIES

    A CRITIQUE OF CHRISTOPHER DUNN’S
    GIZA POWER PLANT THEORY

    Introduction
    To write a popular alternative book on the pyramids of Egypt ideally requires three essential qualities: 1. a total disdain for Egyptologists; 2. a passing knowledge of the subject concerned; and 3. an alternative theory that verges on the incredible. All three of these qualities come together in Christopher Dunn’s provocative study of the Great Pyramid, The Giza Power Plant (Bear & Co, 1998).

    Dunn, a master craftsman and engineer, has long argued that the ancient Egyptians used advanced power tools in their cutting and working of granite and other hard stone. This led him to contemplate the source of the energy required by the power tools, and ultimately to propose that the Great Pyramid of Giza was the power plant at the centre of an ancient, hi-tech national grid!

    Underlying Dunn’s theory of the Great Pyramid is his unswerving belief that the Egyptian pyramids must have been something more than tombs for the pharaohs. Following William Fix (Pyramid Odyssey, 1978), Dunn hinges his view on two key observations: 1. the failure of Egyptologists to find an original (as opposed to intrusive) pyramid burial, and 2. the sheer redundancy of stone in the earliest true pyramids, the giant pyramids of Giza and Dahshur. If the pyramids were merely tombs of the pharaohs - for which the direct evidence is lacking - why were they built to such enormous sizes? And, in the case of the Great Pyramid, why was it given such a unique and complex array of internal passages and chambers?

    Dissatisfied with the conventional explanation of the Great Pyramid - and of course the many alternative theories proposed as of 1998 - Dunn set out to reverse engineer the Pyramid’s design in accordance with his considered view that it was in fact a hydrogen-fuelled power plant.

    It has captured the imagination of thousands of readers, but can Dunn’s theory possibly be true? Or, if not, could he at least be on the right lines when he argues that the Pyramid was some kind of power plant?

    As I am not an expert on hydrogen power, I will not address the technical feasibility of Dunn’s theory. But I would like to identify some areas where the fit between his theory and the design of the Pyramid is not as neat as he would like to think it is. Whether these discrepancies are fatal to his theory, or merely require some subtle modifications, I will leave it to the reader to judge.

    The Queen’s Chamber
    Let us begin in the Queen’s Chamber, which is the engine of the alleged power plant. Here, according to Dunn, two chemicals - hydrated zinc chloride and dilute hydrochloric acid - were mixed together to create hydrogen gas. But where did these chemicals come from? Dunn argues that they were pumped from an underground chamber up a vertical shaft and then fed by gravity through the so-called ‘airshafts’ which exit in the north and south walls of the Queen’s Chamber. Moreover, he surmises that the flow of chemicals was triggered via copper cables which were attached to the back of the copper ‘handles’ in the so-called Gantenbrink ‘door’.

    Three facts, however, militate against this theory.

    Firstly, there is no evidence for the vertical shaft, nor the copper cables. Quite the opposite. When National Geographic’s robot drilled through the ‘door’ at the top of the ‘airshafts’ in September 2002 (four years after Dunn’s book was published), it revealed only a hollow cavity measuring about 8 by 8 by 8 inches. Dunn’s hypothesised vertical shaft was not in evidence; nor was there any sign of the copper cables which supposedly ran from the ‘handles’ into the mouth of the vertical shaft. While it may be possible that the camera angle prevented these things from being seen, it would take a brave man to bet on it given that the next phase of robotic exploration is imminent.

    Secondly, Dunn supposes that each ‘airshaft’ released chemicals into the Queen’s Chamber via a tiny ***** in the wall. But the case for this is not convincing. Although it is true that Waynman Dixon spotted a ***** in the south wall and hence discovered the southern shaft in 1872, the historical record indicates that no such ***** was apparent in the north wall at that time. The opening up of the mouths of this pair of shafts has unfortunately destroyed the evidence either way. Nevertheless, the most likely scenario is that the shafts were originally sealed at their lower ends - perhaps as conduits to secret chambers - and that the ***** in the south wall was caused by settlement over thousands of years.

    Thirdly, even if we give Dunn the benefit of the doubt concerning the two points above, it remains hard to understand why the builder would go to the immense trouble of building tiny sloping shafts 213 feet long when they could have created the same head pressure and flow by means of two reservoir pools situated immediately above the Queen’s Chamber, saving on pumping costs as well as building costs. Dunn fails to explain the length and bearings of the shafts, and ignores the evidence cited by Gantenbrink for the existence of secret chambers beyond the ‘doors’ and stone plugs.
    Still, for the sake of argument, let us put these difficulties to one side, and follow Dunn’s theory as the hydrogen gas emerges from the Queen’s Chamber.

    The Well Shaft
    According to Dunn, hydrogen gas and spent chemicals flowed down the Queen’s Chamber Passage toward its intersection with the bottom part of the Grand Gallery. There, the hydrogen gas passed through perforations in the bridging slab and travelled up the Grand Gallery, while the spent chemicals drained off into a large hole, 28 inches square, at the bottom of the west wall of the Gallery. Let us focus for now on those spent chemicals.
    Once again, we hit problems.

    Firstly, if the flow of chemicals was determined by two tiny cracks in the walls of the Queen’s Chamber, why was it necessary to have a drainage shaft measuring 28 inches square? Dunn attempts to get around this problem by supposing that the drain - the entrance to the Well Shaft - was enlarged by the guardians of the Pyramid when they entered and inspected its upper parts, long after it was built. In his support, he quotes Petrie, who asserts that the entire Well Shaft was cut out by the builders as an afterthought. But both Dunn and Petrie overlook the point that the uppermost part of the Well Shaft is built with neatly squared blocks, whereas the section immediately below it is a rough tunnel through the lowermost layers of masonry. Therefore, while the inspection scenario may explain the rough tunnel and the violent removal of the ramp stone at the Gallery’s bottom west corner, it does not provide any basis for the belief that the shaft in between was enlarged. Furthermore, Dunn seems to accept (p. 214) that the next section of the Well Shaft, the part lined with limestone blocks immediately below ground zero, was part of the original design and construction. The evidence, therefore, suggests that the upper section of the Well Shaft was cut with dimensions of 28 by 28 inches from the outset - a size inconsistent with the function that Dunn attributes to it.

    Secondly, Dunn supposes that the spent chemicals flowed down the Well Shaft into the Grotto, where they were directed into a hole six feet deep; they then soaked away through the floor which consists of packed earth. To make this scheme work, he has to assume that the original Well Shaft terminated at the level of the Grotto. The lower part of the shaft, he believes, was cut by the guardians in order to inspect the upper parts of the Pyramid (as proposed by David Davidson in 1927). But Dunn misses a key piece of evidence which indicates that the Well Shaft was cut from the top downwards through the bedrock. To quote J.P. Lepre: ‘The Well Shaft was dug out from the top down. This is indicated by the fact that its bottom end penetrates a few feet below its lowermost doorway. If it had been hewn from the bottom up, this bottom section would surely have been level with its doorway at that point.’ Lawton and Ogilvie-Herald likewise write in Giza The Truth: ‘There is incontrovertible evidence that the Well Shaft is an original feature which was dug from the top down’.

    This in itself is not fatal to Dunn’s argument. He could modify his theory to have the chemicals drain all the way down the Well Shaft into the Subterranean Chamber and its Pit (and he does indeed allow for this possibility on p. 206 of his book). But if this was the aim, why did the builders connect the Well Shaft into the side of the Descending Passage and not take it directly into the Subterranean Chamber? Why make the chemicals drain along the lower forty feet of the Descending Passage - an area in which sensitive machinery and equipment would surely have been housed if the Pyramid was a power plant?

    The Grand Gallery
    Returning to the hydrogen gas, Dunn claims that it filled the Grand Gallery and travelled into the King’s Chamber, where it was used to create microwave energy. To this end, it was necessary to excite the hydrogen atoms by means of acoustic and electromagnetic (piezoelectric) energy.

    How was this achieved?
    Acoustic energy is the key to Dunn’s hypothesis. One of the most interesting ideas in his book is that the Pyramid was coupled acoustically with the Earth and resonated in harmony with it. He makes a strong case that the King’s Chamber in particular was designed to resonate at certain frequencies, hence the granite beams in its tower-like superstructure and the nodular design of its floor. The purpose of this, according to Dunn, was to generate piezoelectric energy from the quartz-bearing granite of which the chamber was made.

    But Dunn must also explain the unique design of the Grand Gallery, and for this reason he makes the crucial - and in my view mistaken - assumption (p. 160) that the vibrations of the Earth were of insufficient amplitude to drive directly the granite beams above the King’s Chamber. The purpose of the Gallery, he surmises, was to collect the vibrational energy over a large area and direct it into the King’s Chamber - in the form of airborne sound - to increase the acoustic energy to the required level.

    Here in the Grand Gallery further problems emerge. Dunn claims that the Gallery was fitted with twenty-seven sets of Helmholtz resonators, fixed into position by means of the twenty-seven pairs of niches in the side ramps and the pair of grooves in the side walls. But both the niches and the grooves testify against this theory.

    The niches in the side ramps of the Gallery are tucked away next to the walls, where they are overhung by the first of the seven corbels that give the Gallery its distinctive design. They are not in a suitable position to act as supports or anchor points for any kind of structure - hence the peculiar shape of the ladder holding the resonators in figure 41 of Dunn’s book. The true purpose of the niches remains a mystery, but they would not have contained anything taller than 7 feet 6 inches, well short of the 28 feet height of the Gallery.

    The grooves in the side walls are also a problem. Dunn suggests that the ladders of resonators were held in place by ‘shot pins’ (presumably made of metal or stone) which slotted into the grooves. But this is inconsistent with the fact that the grooves are continuous, running the whole way up the Gallery from bottom to top. If Dunn’s theory was correct, we would expect to see fifty-four bolt holes in the walls, not two continuous grooves.

    It gets worse. J.P. Lepre reports that there are chisel marks all the way along the grooves, indicating that something was once contained between them. In his book The Egyptian Pyramids, p. 82, he writes: ‘Among the interesting architectural features of the Grand Gallery are two grooves cut into the east and west walls... Hundreds of rough chisel marks are staggered along the top edges of these grooves... It is certain that something did traverse the Gallery’. Lepre speculated that the Gallery might have been roofed by ‘cedar panels inlaid with gold’, while for my part I have suggested wooden panels painted with stars (signifying the creation of the stars). But whatever it was that once spanned the Gallery at half its present day height, it completely fouls up Dunn’s theory, as well as a few other theories to boot.

    The Granite Plugs and The Antechamber
    Dunn’s theory of the Grand Gallery also drives his interpretation of the Granite Plugs (in the Ascending Passage) and the Antechamber to the King’s Chamber.

    The Granite Plugs, he suggests, performed two critical roles in the power plant. Firstly, they would have allowed the operators to monitor the energy level in the Gallery, by means of vibration sensors attached to the bottom plug. And secondly, they would have allowed the operators to transmit an out-of-phase interference sound wave into the Gallery, to prevent the vibrating system from running out of control. But if this was the purpose of the Plugs, then why did the builders not fit a single plug? Why was it necessary to fit three? Dunn does not explain. Moreover, he does not explain why the bottom plug was hidden behind a camouflaging stone, the so-called prism stone. Why would the builders have done this, if the operators needed regular access to the Plugs?

    The Antechamber, according to Dunn, contained an acoustic filter that allowed only certain desirable frequencies (apparently an F-sharp chord) to enter the King’s Chamber. These input frequencies were matched to the prime resonant frequency of the King’s Chamber. However, there are some aspects of the Antechamber’s design that Dunn’s theory does not address, such as the four vertical grooves in the south wall, and there are other aspects that are not adequately explained, for example the purpose of the Granite Leaf and the standing space in front of it, and the fact that the Antechamber is made primarily of granite (as if to suggest that it was built to resonate in its own right, like the King’s Chamber).

    The King’s Chamber
    Finally, we come to the King’s Chamber, where the acoustic energy supposedly caused piezoelectric energy to be released by the quartz in the granite. According to Dunn, the prime resonant frequency of the chamber would have been matched to that of hydrogen, thereby ensuring that the hydrogen gas which filled the room would absorb the acoustic and electromagnetic energy efficiently and be pumped to a higher energy state.
    But how was this potential energy harnessed and utilised by the Great Pyramid builders?

    Here, Dunn stretches our credulity to the limit. His proposal goes like this: a microwave signal from space entered the King’s Chamber via its northern ‘airshaft’ and had its power boosted by a ‘crystal box amplifier’ contained in the sarcophagus. This microwave signal then stimulated the energised hydrogen atoms, causing them to emit microwave energy. This process having repeated itself exponentially, the microwave energy was collected in a receiver contained in the mouth of the southern ‘airshaft’ and thence up through the shaft to the outside of the Pyramid. There, it was beamed up to an orbiting satellite, which in turn channelled the energy back to Earth to provide electricity.

    There are several comments to be made here.

    Firstly, the mouth of the northern airshaft is cut too high in the wall to align with the sarcophagus, so any incoming microwave signal would have passed right over the top of it. It is not clear how it could have interacted with any equipment inside the box.

    Secondly, Dunn assumes that the sarcophagus had no lid (pp. 189, 222) and that the signal interacted with hydrogen atoms inside the box. But there is clear evidence that the sarcophagus did originally have a lid and that it was hermetically sealed (see my book Pyramid of Secrets, pp. 73-74). I am not entirely certain how this affects Dunn’s theory, but there could not have been any hydrogen in the box.

    Thirdly, the mouth of the southern airshaft is cut too high in the wall to align with the sarcophagus, so it is difficult to see how the output from the box could have been channeled into the shaft.

    Fourthly - and worst of all - Dunn insists that the entire lengths of the northern and southern airshafts would have to have been lined with gold- plated iron in order to have an efficient conduit for the electromagnetic radiation (pp. 186, 221-22). This is quite simply at odds with the facts, as Dunn well knows. For both the shafts have been surveyed by robot and not a trace of a metal lining has been found (the iron plate found by Vyse in 1837 was embedded in masonry close to the southern shaft but it is not clear whether it actually formed part of the shaft). So, what happened to the iron? How was it removed from tiny shafts measuring approximately 8 by 8 inches to their entire lengths of 235 feet and 174 feet respectively? A job for the tooth fairies?

    Conclusion - My Personal View
    Dunn’s power plant theory has some good points, notably the idea of resonance in the King’s Chamber, but on too many aspects it is at odds with the physical evidence inside the Great Pyramid. The theory requires, at the very least, a major overhaul, and in its present form is unlikely to become the rallying point for an attack on orthodoxy which Dunn sees as an urgent necessity. On a personal note, Dunn is a likeable and intelligent man who evidently possesses boldness of thought and an open mind, and it will be interesting to see whether he can now extend these qualities to the revision - or even abandonment - of his theory!

    'These page is the copyright of Eridu Books 2004. The images and diagrams are the copyright of Alan Alford or of other photographers, where indicated. Presented with permission of Alan Alford.

    http://world-mysteries.com/alford_GP.htm

  14. #13

    Join Date
    May 2009
    Location
    Lubang Semut ^^
    Posts
    121
    Points
    137.30
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Default

    Misteri Piramida (Part2)

    Selama 4000 tahun, orang heran dan berusaha memecahkan misteri untuk apa pyramida dibangun. Pyramida adalah makam Raja Khufu, itu orang sudah tahu, tetapi sebegitu pentingkah makam itu sehingga harus dibuat dalam bentuk pyramida yang demikian sulit pembuatannya? Nakht, seorang penduduk Mesir yang ikut bekerja membangun pyramida selama 40 tahun, menceritakan kesaksiannya …..

    Pyramid dibangun berdasarkan pengamatan astronomis. Orang Mesir adalah ahli-ahli astronomi. Mereka sangat pandai membaca pergerakan bintang di langit. Langit di atas gurun pasir yang luas tak bertepi menjadi pusat orientasi hidup mereka. Dari posisi dan pergerakan bintang-bintang mereka meramalkan musim, menghitung waktu terbaik untuk mulai menanam gandum, meramalkan datangnya banjir dan badai. Dari pengamatan langit, mereka menemukan adanya sebuah titik hitam yang dikelilingi beberapa bintang. Bintang-bintang itu selalu berubah posisi, tetapi titik hitam itu tidak pernah berubah. Orang Mesir kemudian menganggap titik hitam itu adalah surga. Suatu tempat yang abadi. Tak pernah berubah.

    Raja Khufu ingin memperoleh keabadian setelah ia mati. Ia ingin menuju surga yang telah dilihatnya di langit. Maka ia memerintahkan untuk membuat suatu bangunan yang dapat menghantarkan jasadnya berangkat menuju ke keabadian. Oleh para arsitek dan penasehat ahli kerajaan, disepakati bahwa bangunan yang akan menghantarkan jasad Raja Khufu ke surga itu berbentuk pyramida. Bentuk pyramida diyakini sebagai simbol kehidupan …

    Alkisah, Nakht adalah penduduk Mesir yang tinggal di sebuah desa, di tepian sungai Nil. Setiap awal musim panas, utusan Raja Khufu menyusuri desa-desa di sepanjang sungai Nil, mencari laki-laki yang kuat dan tegap untuk dipekerjakan membangun pyramida. Nakht bersama adik lelakinya, Deba, terpilih oleh Kaem-Ah, sang utusan Raja. Maka pada tahun 2480 SM berangkatlah mereka ke Giza. Sebelumnya, ayah dan kakek Nakht pun telah dipanggil untuk bekerja membangun pyramida.

    Kakek Nakht bercerita, ia bekerja membuat tangga menuju ke langit. Bagaimana pun berusaha, Nakht tidak pernah bisa membayangkan, tangga menuju langit itu seperti apa. Setelah beberapa hari menyusuri sungai Nil, tibalah mereka di Sakkara. Di tempat itu Nakht melihat tangga berbentuk pyramida, dan barulah dia paham apa yang dikerjakan kakeknya dulu. Pyramida di Sakkara ini dibangun sekitar 60 tahun sebelum Raja Khufu bertahta.

    Setelah berlayar di sungai Nil selama 11 hari, sampailah Nakht dan Deba di Giza, 10 mil selatan Cairo. Pertama-tama mereka ditempatkan di pertambangan batu, tempat ribuan pekerja memotong batu dari bukit, membentuknya menjadi blok-blok segi empat yang akan disusun menjadi pyramida. Blok-blok batu yang beratnya sekitar 2,5 ton ini dibawa ke lokasi pembangunan pyramida yang berjarak 0,5 mil dengan cara ditarik. Nakht dan Deba diberi tugas membawa air untuk membasahi permukaan jalan tanah yang akan dilewati blok batu. Karena tanah di Giza berupa lempung, jika dibasahi akan menjadi licin dan memudahkan blok batu ditarik.

    Pekerja memotong batu di pertambangan di Giza

    Pyramida Khufu mulai dibangun pada 2480 SM. Dibutuhkan 6 juta ton batu untuk membangun pyramida ini, terdiri atas 2,5 juta buah blok batu yang masing-masing beratnya sekitar 2,5 ton. Pada setiap periode, 25.000 orang bekerja secara bersamaan. Semua dikoordinasi dengan sangat rapi. Setiap orang punya tempat bekerjanya masing-masing, tahu tujuan pekerjaannya. Setiap blok batu ditulisi nomor identitas, sehingga jelas di posisi mana batu tersebut akan ditempatkan dalam pyramida. Pekerja dibagi dalam beberapa kelompok, ada kelompok pemotong batu, penulis identitas batu, dan penarik batu. Mereka bekerja selama 9 hari berturut-turut, dan istirahat pada hari ke 10.

    Tidak lama bekerja sebagai pembawa air, Nakht dan Deba dipindahkan bekerja di lokasi pembangunan pyramida. Pekerja di lokasi pyramida memiliki ‘gengsi’ lebih tinggi dari pada pekerja di pertambangan batu, karena hanya pekerja terpilih yang boleh masuk ke lokasi pembangunan pyramida. Yunu, pimpinan pekerja di pyramida menilai Nakht dan Deba memiliki kecerdasan tinggi, sehingga dengan cepat diberi tugas-tugas yang lebih penting.

    Pada pembangunan pyramida, tukang batu adalah tenaga kerja terpenting. Mereka menghaluskan blok-blok batu yang baru dikirim dari pertambangan, memastikan ukurannya benar-benar tepat. Di lokasi pembangunan pyramida, Nakht dan Deba ditugaskan menempatkan blok-blok batu pada lokasi yang sudah ditentukan. Batu-batu itu ditarik ke atas melalui jalan landai yang dibangun khusus di samping pyramida. Pekerjaan menarik batu ini sangatlah berat. Sebuah blok batu seberat 2,5 ton ditarik oleh 20 – 30 orang. Untuk menempatkannya pada posisi di pyramida, digunakan katrol yang ditempatkan pada sebuah segitiga kayu besar. Pada suatu ketika, karena ada pekerja yang kurang hati-hati, segitiga kayu ini roboh. Deba yang berada di bawahnya tertimpa balok kayu yang besar dan berat. Ia meninggal, 5 tahun setelah bekerja di pyramida …

    Kematian Deba membuat Nakht sangat berduka. Lima tahun bekerja di pyramida yang pada hakekatnya adalah sebuah makam, ia tak pernah berpikir tentang kematian. Kematian Deba mengingatkan Nakht bahwa semua kerja keras luar biasa itu dilakukan demi satu orang, yaitu Raja. Seluruh rakyat berhutang budi pada Raja, maka memberikan pengorbanan bagi raja adalah suatu kehormatan.

    Namun, apa sesungguhnya yang mendorong mereka secara suka rela membangun pyramida?

    Raja Khufu’ meninjau pembangunan pyramida yang akan menjadi makamnya

    Tulisan-tulisan yang terdapat di dalam pyramida bercerita tentang perjalanan panjang Raja, yang digambarkan sebagai elang, dengan bantuan angin topan, hujan, dan guntur. Teks di dalam pyramida selalu menggambarkan akhir perjalanan raja, yaitu menjadi di antara yang takkan musnah. Raja akan mencapai keabadian, begitu juga setiap orang yang bekerja untuk mewujudkan jalan raja menuju ke keabadiannya.

    Sepuluh tahun sesudah awal pembangunan pyramida besar, datang batu granit dari penambangan Aswan yang berjarak 500 mil dari Giza. Jumlah batu granit ini 9 buah, masing-masing beratnya 50 ton. Batu-batu granit ini akan dipakai sebagai penutup puncak pyramida. Karena beratnya, dibutuhkan 200 orang untuk menarik satu blok batu ke atas. Pada sepertiga bagian atas puncak pyramida, batu tidak bisa lagi ditarik melalui jalan landai di samping pyramida, sehingga dibuat jalan berbentuk spiral yang menempel di sekeliling puncak pyramida. Nakht yang sudah menjadi pekerja senior, dipercaya oleh Hermiunu, arsitek pembangunan pyramida yang juga adalah sepupu Raja, untuk memimpin penempatan batu-batu terpenting ini. Nakht meminta semua batu ditandai tengah-tengahnya dengan sebuah garis dari oker warna merah. Kemudian dengan memakai unting-unting, ia mengamati hingga posisi garis oker merah itu tepat berimpit dengan sebuah tonggak yang dipakai untuk menandai titik pusat pyramida. Dengan demikian, semua blok batu berada pada posisi yang sangat tepat, tidak boleh salah seinci pun. Kesalahan meletakkan posisi batu menyebabkan titik berat pyramida bergeser, dan pyramida akan runtuh.

    Pemasangan batu penutup puncak pyramida

    Tinggi Pyramida Khufu semula 146 meter, namun karena erosi selama ribuan tahun, kini tingginya tinggal 136 meter. Hingga tahun 1889 ketika Menara Eiffel (324 meter) dibangun di Paris, Pyramida adalah bangunan tertinggi di dunia.

    Di dalam pyramida terdapat tiga buah ruangan. Ruangan pertama ada di bawah tanah. Ruangan kedua berada di atasnya, dan ruangan ketiga terletak paling atas. Di ruangan paling atas inilah jasad Raja Khufu akan ditempatkan, tepat dibawah batu-batu granit penutup puncak pyramida yang diletakkan oleh Nakht dan kawan-kawannya.

    Pada tahun 2463 SM Raja Khufu keluar dari istana untuk melihat makam yang akan membuatnya abadi. Dengan ditandu oleh para pengawal raja, ia menyusuri jalan yang sama, yang disusurinya 17 tahun lalu, pada saat awal pembangunan pyramida.

    Dini hari pada musim semi tahun 2457 SM Raja Khufu wafat. Dalam sebuah peti mati yang terbuat dari kayu cedar, jasadnya dibawa melalui sungai Nil ke kuil yang berada di dekat pyramid. Di dalam peti itu tersimpan juga emas dan kekayaan istana yang berkaitan dengan Tutankhamun. Dari kuil di tepi sungai Nil, peti terlebih dahulu dibawa ke ruang bawah tanah di dalam pyramid. Sesudah itu baru dibawa ke ruangan yang ada di atasnya, dan selanjutnya ditempatkan di ruangan paling atas yang menjadi makam Raja Khufu. Pada dinding sebelah utara ruangan teratas ini, terdapat sebuah lobang yang menembus pyramid, dimana dari lobang ini dapat dilihat titik hitam di langit yang dikelilingi bintang-bintang. Titik hitam yang diyakini oleh Raja Khufu dan orang-orang Mesir sebagai surga abadi.

    Raja Khufu dan orang-orang Mesir telah menemukan surga mereka, dan membangun pyramid sebagai jalan menuju kesana ….

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •