"Brave and Snow" (Yuuki to Yuki Indonesian version)
Brave and Snow
Title: Yuuki to Yuki (Brave and Snow)
Author: AzerArcacia
Genre: Slice of life, Supernatural.
Language: Indonesia. Yep. ini Versi Indonesia dari Yuuki to Yuki.
~~DISCLAIMER~~
Cerita ini fiksi. Tak ada hubungannya dengan dunia nyata.
Segala sesuatu yang ada di cerita Yuuki to Yuki dan Brave and Snow mengalami beberapa perubahan. Hal ini dikarenakan ada beberapa ekspresi yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi terkesan 'aneh'.
Spoiler untuk contoh ekspresi :
bagaimana anda menerjemahkan he dan she? Keduanya sama - sama memiliki arti dia (laki - laki) dan dia (perempuan).
Lalu, gambar yang saia masukkan di sini dan di Yuuki to Yuki tidaklah sama. Di sini saia lebih memilih untuk memasukkan gambar secara manual.
Author's note:
Spoiler untuk tulisan pengarang yang ga penting. INGAT ga penting! :
***SLURRP SLURRP***
(wei itu yg diatas bukan suara berisik makan, tapi memang lagi flu )
Ok. pertama - tama, ini Yuuki to Yuki(lebih tepatnya Brave and Snow) bukanlah cerita yang menceritakan mengenai "love story". Seperti yang saia tulis di atas, Genrenya Slice of life dan Supernatural.
Lalu...
Ugh...apa lagi ya? Ya pokoknya itu lah. Monggo dibaca gan.
Spoiler untuk sketsa awal Yuuki to Yuki :
belom kelar sih, paling juga tar diupdate.
Prologue
“Siapa itu?”
Suaraku terdengar lirih. Saat ini, aku tak yakin bagaimana keadaanku, tidak, lebih tepatnya tubuhku. Disekelilingku gelap. Tak ada cahaya yang menerangi sama sekali. Yang ada hanya udara dingin yang dapat kurasakan dengan tubuhku. Sebutir demi sebutir mengenai hidungku, hingga aku pun sadar,
“Ini...salju.”
Dan tiba – tiba saja, dari kejauhan terdapat cahaya. Di dalam cahaya itu, terlihat sesosok anak perempuan yang memakai mantel coklat. Rambutnya panjang sebahu dan sehitam kegelapan ini. Wajahnya sama sekali tak menampakkan ekspresi. Dan dengan topi pesulap dan syal putih yang entah kenapa cocok.
“Siapa? Siapa kau?”
Anak itu tidak merespon pertanyaanku. Dia hanya diam dan memandangku.
Lalu, tanpa kusadari kedua kakiku telah berjalan dengan sendirinya.
Sesaat aku berjalan selangkah demi selangkah...
Ah! Aku tahu, ini pasti hanya mimpi, bukan?
Itu adalah...kesimpulanku. Kalau tidak salah, aku sering memimpikan hal semacam ini, hanya saja aku lupa.
Ya, berkali – kali aku melihatnya, dia seperti menyatu dengan salju ini...
Aku ingin melangkah lebih dekat lagi, tapi...
~To him…the world is too normal. But to her…the world is extraordinary~
Chapter 1: Normal yet Extraordinary
Matahari telah terbit. Udara di ruanganku dipenuhi oleh debu. Aku belum punya waktu untuk membersihkan semuanya. Bahkan, aku mempunyai cucian yang harus dibersihkan secepat mungkin atau…aku tak punya sehelai baju untuk kupakai siang ini.
Bukan…
Seharusnya ungkapan yang tepat untuk semua ini adalah karena aku terlalu malas untuk membersihkan segalanya. Tentu saja, hasilnya pun berantakan. Dan lagi, aku ada kelas jam 10 nanti, tapi tubuhku terlalu lelah untuk digerakkan.
***HUAM***
Tentu saja uap-an ku ini menandakan bahwa tubuhku perlu istirahat yang cukup. Namun, hari ini adalah hari yang penting bagiku. Aku harus berangkat, apapun yang terjadi.
Aku mencuci mukaku dan bergegas menuju ke lantai satu. Lalu, kumakan sarapan pagi yang kubuat. Isinya hanyalah roti panggang dengan sebutir telur mata sapi yang dimasak setengah matang di atasnya.
“…Kurasa ini adalah hal yang dapat kulakukan dalam waktu yang terbatas.”
Selagi aku bergumam pada diriku sendiri, kuhidupkan TV yang ada di seberang meja tempatku makan.
“Tak ada yang menarik. Aku bosan. Aku lelah dengan kehidupanku yang biasa – biasa saja ini. Aku bangun pagi dan pergi ke kampus, belajar, menghabiskan waktu luang dengan yang lain, pulang dan tidur tanpa sempat membuka satu subyek yang kupelajari di sana dan tidur. Selalu saja berputar seperti ini.”
“Kalau begitu, mengapa kau tak menjalani hal yang lainnya. Yah, kau tahu, seperti menekuni hobimu di saat senggang.”
“HUWAA! Sejak kapan kau ada di sin-“
Dan aku pun berteriak selagi kulihat sosok yang sudah tak asing lagi bagiku.
“Karena jendela tak dikunci, ya kulewati saja. Jadi gimana? Kau tertarik? Tertarik, kan? Bagus! Kalau kau tertarik, lebih baik kau membantuku membua-”
Ugh...karena ucapannya begitu berisik di kedua telingaku, kupotong pembicaraannya.
“Tidak akan. Itu tak penting, cuma buang – buang waktu saja. Omong – omong, APA YANG KAU LAKUKAN di sini, Kouta?”
“Hah? Aku? Ya…bisa dilihat sendiri kan kalau aku lagi makan.”
“Bukan, maksudku…INI rumahku, tahu! Seharusnya kau ketok pintu atau pencet bel dulu sebelum masuk.”
“Ah, pelit amat. Tak apa – apa, kan? Kalau kau bilang hobiku itu tak penting, yang ini juga.”
“…itu cuma alasanmu untuk sarapan di sini, kan?”
“Tepat! Ibu tak ada di rumah dan perutku kosong. Jadi, aku ke sini.”
Orang ini…
Oh! Aku lupa memperkenalkan dia. Orang yang sedang berdiri di depanku saat ini tak lain dan tak bukan adalah Matsuzaka Kouta, orang paling aneh yang jadi temanku sejak SD. Dia juga tetanggaku. Ketika kedua orangtuaku meninggal 7 tahun yang lalu, keluarganya mengadopsiku sebagai anak mereka. Ya, tentu saja nama belakangku menjadi ‘Matsuzaka’. Tapi sampai sekarang, aku masih tetap tinggal di rumah ini atas permintaanku, dan sebagai gantinya, terkadang aku pun menghabiskan waktuku di rumah Kouta…walaupun aku tak sebebas caranya bertindak karena aku selalu memencet bel terlebih dahulu sebelum masuk.
Huhuhu, aneh. Selama 5 tahun, aku tak terbiasa dengan kedua orang tua Kouta. Namun setelah itu aku terbiasa, bahkan mengatakan ‘aku pulang’ saat masuk ke tempat mereka. Bagiku, rumah itu merupakan rumah keduaku.
Mengenai Kouta, Tubuhnya bisa dibilang agak pendek. Rambutnya pendek dan agak acak – acakan. Hm…agak susah menjelaskannya. Dia memiliki poni yang menutupi sampai ke dahinya dan pinggirnya agak panjang. Dagunya pun berbentuk segitiga terbalik layaknya orang biasa. Wajahnya tak bisa dibilang jelek, namun bukan berarti dia tampan. Kebiasaannya adalah memakai kemeja hitam panjang berkerah dengan celana jeans biru. Bahkan ketika dia tidur, dia masih mengenakannya! Banyak yang bilang dia adalah orang dengan ranking pertama dalam mencari masalah, namun dibalik semua itu, dia dapat diandalkan. Ya, itulah Kouta. Dia memakai kacamata kalau di kelas, tapi kalau tak diuntuk membaca dia lepas. Hobi anak ini adalah menonton film, entah film dengan genre apapun itu.
“Oh, aku lupa. Ibu bilang kau boleh ambil sayuran dan telur yang ada di kulkas. Dan tentu saja kau tahu apa maksudnya kan? Dia tak akan pulang sampai besok. Jadi tolong bantu kami berdua, tuan koki!”
“Jadi…aku yang harus memasak untuk kita bertiga.”
“Tul! Itu maksudku. Heh, kadang aku iri. Kau bisa mengerjakan yang biasanya tak dapat diselesaikan oleh orang seusia kita. Aku selalu tahu kalau kau ini terkenal, baik karena nilai yang kau peroleh selalu bagus, bersikap dingin tapi entah kenapa malah disukai oleh banyak cewek di kampus, bahkan ada yang mengatakan ‘kawaii’ dan ‘bishounen-face’, beda dunia, berkarisma dan semacamnya. Tapi semua mengenal kau ini malas. Absen di semua mata kuliah sampai batas maksimalnya, mengumpulkan tugas tepat pada hari deadline finalnya yang terkesan ‘mepet’ dan…”
“…Hentikan. Aku tak tahu apa yang kau maksud dengan ‘iri’ di sini. Dan lagi aku tak percaya kata – katamu, Kouta. Lagipula, apa itu ‘kawaii’, ‘bishounen-face’? Malahan aku dengar kau bilang beda dunia segala. Memangnya aku ini roh halus atau semacamnya? Aku akui. Aku memang malas. Tapi tak semalas orang yang kerjaannya hanya menonton DVD yang aku pinjam, bahkan tanpa sepengetahuanku.”
“Heh, mau gimana lagi. Itu kenyataannya. Orang – orang di sekitarmu menilaimu seperti itu. Kemarin pun aku sempat berharap. Ada seorang cewek angkatan baru yang sangat manis mendekatiku. Kukira dia suka padaku. Kami bahkan sempat ngobrol lama. Tapi ketika akhirnya dia bertanya ‘seperti apa senior Yuuki itu orangnya’…WAAAGH aja deh! Lama – lama aku bisa stress dengan orang – orang di sekitarku yang memanggilku dengan ‘Matsuzaka dua’!.”
***NYAM NYAM NYAM***
“Rotinya enak juga. Pasti ini roti telur. Pantas saja kemarin waktu aku beli di 24/7 lebih mahal sedikit.”
“HEI KAU DENGAR TIDAK, YUUKI!”
“Ugh…aku minta maaf. Mengenai soal ‘Matsuzaka dua’ itu…”
Yah, pada awalnya, nama Matsuzaka ini adalah miliknya, kan?
Akan tetapi terlihat senyum licik di wajah Kouta.
“Hue hue hue, enak juga membuat seseorang merasa bersalah di pagi hari ini.”
Dibalik topeng yang disembunyikannya itu, kubalas kata – katanya dengan keheningan sunyi selama beberapa detik, lalu kubuka mulutku,
“Oke, sayuran dan telur kan? Nanti kalau sudah, akan kuantar ke tempatmu.”
“Siap! Sudah kuduga, kau bisa kuandalkan, tuan koki.”
“Hentikan panggilan itu.”
“Ya, ya, ya.”
***HAAH***
Aku menghela nafas dengan panjang. Bukannya aku tak mau. Hanya saja aku masih mempunyai cucian yang harus diselesaikan siang ini.
Jam dinding pun menunjukkan pukul 9 lewat 30 menit. Berarti 30 menit lagi kelas dimulai!
itulah akibat saia yg kebanyakan baca light novel dan visual novel! smile:
~It all begins in a blink of an eye~
Chapter 2: The Beginning of Everything
Ketika aku bertanya pada Kouta kalau – kalau dia ada kelas atau tidak, yang dia lakukan hanyalah duduk di sofa dan menonton beberapa DVD berisi bermacam – macam film yang kupinjam kemarin. Dia bilang tak usah mengkhawatirkan rumah berserta isinya karena dia akan tidur di sini. Lalu, kubilang kuncinya kutaruh di tempat seperti biasanya dan aku pun pergi.
“Ya, ya. Taruh saja di tempat biasanya. Aku tahu kok. Terlebih aku tak mau mendengar semua ocehan dari seorang pemalas sepertimu.”
“Coba tebak siapa yang bicara seperti itu? Kau bilang aku pemalas tapi saat ini kau sendiri bermalas – malasan!”
Namun, yang dia tak menghiraukan sepatah kata yang telah kukeluarkan secara susah payah. Seluruh perhatiannya tertuju pada film yang dia tonton. Hanya saja…masa dia akan menonton seluruh film itu? Jumlahnya saja banyak. Dan tentu saja aku, sebagai sang penyewa pun tak mungkin dapat menonton semua itu semalaman. Oh, sudahlah. Lebih baik kulupakan saja si bodoh itu atau aku akan benar – benar terlambat. Hari ini adalah hari dimana kami mengadakan praktek mengajar untuk anak SMU. Kalau aku sampai tak datang, tak heran jika nantinya aku mendapat nilai K dalam mata kuliah ini. Tentu saja, aku tak mau dimarahi oleh orangtua angkatku.
Kulangkahkan kedua kakiku menuju stasiun terdekat. Berjalan dari rumahku kira – kira memakan waktu 5 menit lamanya. Begitu aku berbelok ke kiri menuju perempatan pertama, sekali lagi kulihat jam untuk memastikan bahwa aku tidak akan terlambat.
Jam Sembilan lebih tiga puluh dua menit.
Kurasa waktunya cukup. Hanya saja, yang selalu membuatku malas adalah jalan ini. Ya, jalan ini begitu melelahkan untuk dilewati. Memang, aku bilang jaraknya dekat. Tapi karena arah yang kutuju ini seperti menaiki tangga yang diluruskan oleh aspal, tentu saja ini melelahkan! Dan kau tahu kenapa? Ini adalah salah satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa begitu banyak absen yang kulakukan tiap semesternya. Kalau saja Kouta ada kelas, tentunya aku dapat memboncengnya. Sayangnya tidak.
Rasanya jadi ingin mengambil SIM. Percuma di rumah ada kendaraan, tapi tak ada SIM yang dapat menyelamatkanku untuk pergi ke distrik lain.
Oleh karena itu, aku menggunakan kereta untuk pulang dan pergi ke kampus.
“Fuh! Akhirnya sampai juga. Sekarang saatnya untuk membeli tiket dan memasukkannya ke dalam pintu mesin otomatis itu lalu segera masuk menuju kereta yang selalu ramai itu.”
Begitulah. Kebanyakan orang – orang di sini menggunakan kereta sebagai transportasi utama mereka untuk pulang dan pergi. Mau bagaimana lagi? Disamping harganya yang relatif terjangkau, pemerintah juga telah memberikan banyak fasilitas yang cukup untuk kami semua. Tapi tentu saja kemurahan dan kenyamanan kereta cepat ini hanya dapat diimbangi dengan keramaiannya. Sudah pasti, ini adalah hal yang normal.
Keretanya telah datang. Dan kulangkahkan kakiku untuk masuk ke dalamnya. Jangan harap akan ada tempat untukku. Kereta ini selalu ramai dan satu – satunya yang harus kupikirkan adalah bagaimana aku keluar nanti. Lebih tepatnya, posisi dimana aku berpegangan pada gantungan pegangan diatas. Ada dua alasan aku melakukan hal itu. Yang pertama, aku tak ingin kesusahan untuk keluar nantinya. Kedua, aku tak ingin dianggap sebagai pelaku pelecehan seksual karena ketidak sengajaanku.
“Lalu, setelah itu, kurasa aku cukup menyumpal telingaku dengan ‘earphone’ ini.”
Kututup kedua telingaku dengan satu set ‘earphone’ yang baru saja kubeli 2 hari yang lalu di sebuah pameran. Harganya murah, tetapi kualitasnya cukup lumayan. Lalu, kuperdengarkan telingaku ini dengan alunan music Jazz yang bermacam – macam. Aku tak begitu tahu apa saja jenisnya. Lagipula, aku mendapatkannya dari kakak senior yang minggu lalu begitu menggilai Jazz dan memberikan padaku sekeping CD yang berisi banyak lagu Jazz. Tentu saja, setelah isinya kupotong menjadi format mp3, aku berniat mengembalikan CD itu padanya. Itupun kalau aku bertemu dengannya. Ah bukan. Itu kalau aku masuk pada saat mata kuliah itu.
Beberapa menit kemudian…
Dapat kulihat bayangan stasiun berikutnya. Di situ adalah tujuanku. Kereta pun berhenti. Dan kembali kulangkahkan kakiku untuk melewati pintu kereta ini. Kemudian…terjadi guncangan yang sangat keras. Kupikir sangat tidak mungkin jika kereta ini bertubtrukan dengan kereta lainnya. Tubuhku pun langsung merespon kejadian ini sebagai kejadian yang berbahaya.
Tepat.
Terjadilah gempa yang membuat diriku kehilangan keseimbangan. Secepat mungkin kupegang pintu tempatku bersandar tadi, dan segeralah aku berlari menuju tempat dimana aku dapat menyembunyikan kepalaku dari bahaya kejatuhan. Kupikir aku dapat bersembunyi di dalam kereta, namun hal itu adalah hal terbodoh yang pernah kupikirkan. Platform di atas kereta ini dapat segera jatuh dan menimpa. Sedangkan begitu aku ingin berlari ke arah gedung dan berharap menemukan tempat seperti meja, itu semua sudah terlambat. Sebuah bongkahan platform yang runtuh akibat gempa hampir saja menimpaku. Kemudian kuputuskan untuk tidak bergerak sembarangan.
Di sekelilingku, kulihat seorang kakek tua yang bertanya kepadaku apakah kita bisa selamat atau tidak. Tangannya gemetaran. Aku tak bermaksud untuk membohongi kakek itu dengan mengatakan “Tenang saja atau semacamnya.” Kubilang padanya kalau gempa terus berlangsung, seluruh platform akan ambruk menimpa kereta ini. Kemudian aku menolehkan pandanganku ke arah sebaliknya. Saat ini, kulihat seorang wanita berumur tiga puluhan yang memeluk anaknya dengan ketakutan. Anak itu, meski berada dalam pelukan ibunya tetap saja menangis, meraung dengan kerasnya. Bahkan, kulihat anak – anak yang kelihatan mereka menaiki kereta ini hanya untuk membolos, kini berdoa meminta pertolongan.
Semuanya berada dalam kekacauan yang tak berakhir. Hingga akhirnya setelah menelan beberapa korban, yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri, gempa ini pun berangsur – angsur berhenti. Anehnya, kereta ini sama sekali baik – baik saja. Tetapi, aku tak dapat mengatakan apa – apa kepada orang – orang yang tergesa – gesa untuk keluar dan segera mencari tempat perlindungan. Kalau saja aku berbuat demikian, tempatku sudah bukan di sini lagi.
************************************************** ****************************
Dengan cepat kuambil telepon selulerku untuk memanggil Kouta dan keluarganya- Ah, bukan. Keluargaku setelah Ambulans datang dan merawat kami semua. Tentu saja aku tak terluka. Namun, seseorang yang bertugas tetap bersikeras untuk membawaku ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan kalau – kalau ada kerusakan pada otakku. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menurut dan menghela nafas dengan panjang.
“Mungkin ada cidera di otak anda. Pada umumnya, seseorang akan terluka dalam kejadian seperti ini, akan tetapi baru saja anda bilang bahwa anda baik – baik saja.”
Aku pun mengajukan protes, tetapi orang itu hanya menanggapinya dengan tak serius.
“T-Tapi, bukan berarti saya harus menjalani pemeriksaaan seperti ini!”
Dan orang yang mengenakan baju putih itu hanya mengeluh. Dengan satu anggukan dan tepukan di pundakku, orang itu melanjutkan pembicaraannya.
“Saya tahu. Hanya saja kami harus melakukan ini.”
Kurasa memang aku tak punya pilihan lain kecuali menuruti apa yang dikehendakinya. Lalu, setelah diberi sebuah injeksi, aku pun tidur.
************************************************** ****************************
Aku terbangun di ruangan yang di cat putih, dengan gordyn berwarna hijau muda yang terhembus oleh angin. Kusadari meja kayu yang berada di sampingku telah didekorasi dengan vas dan bunga di dalamnya. Dari penglihatanku yang masih terbilang samar – samar ini, dapat kulihat dua orang yang duduk di kursi.
“Siapa?”
Aku yang tak dapat melihat dengan jelas dikarenakan mataku belum terbiasa pada cahaya pun mulai bertanya – tanya.
“Yo!”
Hah?! Suara ini…jangan – jangan…
“Kouta?! Kaukah itu?”
Pemilik suara yang samar – samar tadi ternyata adalah Kouta. Tangan kanannya diangkat layaknya seorang tukang parkir yang memberikan aba – aba untuk berhenti. Kadang – kadang aku tak mengerti apa yang dilakukannya.
“…sebenarnya apa yang kau harapkan dari pose aneh itu?”
“Tak ada! Ternyata kau baik – baik saja. Kudengar dari TV, gempanya cukup besar. Lalu Juno yang berada di kampus member tahu kita kalau kegiatan diberhentikan sementara. Beberapa kelas tak dapat dipakai karena roboh.”
“Te-ternyata katamu…Ah, lupakan itu. Lalu bagaimana dengan ujian akhir semester? Tentunya tak mungkin mereka membatalkan hal itu hanya karena gempa seperti ini kan?”
“Nah, berita baiknya adalah nilai akhir akan ditentukan dari tugas – tugas dan presensi.”
“Oh…kurasa itu adalah berita buruk bagiku. Kemudian, bagaimana dengan rumah? Apa gempanya juga sampai sana?”
“Untungnya tidak.”
Kali ini yang menjawab pertanyaanku adalah…Matsuzaka Reiji, kepala keluarga dari Matsuzaka. Ya, dengan kata lain, ayah Kouta sekaligus ayah angkatku. Dengan rambutnya yang disisir belah kiri, dia mirip Kouta, kecuali gayanya yang acak – acakan. Saat ini, dia memakai kaos berkerah hijau dengan celana panjang warna coklat.
“Ayano sangat khawatir dengan dirimu, Yuuki. Dia mulai panik ketika tak dapat menghubungi nomormu.”
Dan begitu kubuka telepon selulerku, banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab yang kudapat dari teman – temanku dan tentu saja, ibunya Kouta.
“Maaf, telah membuat kalian khawatir.”
Sesudah itu, kami pun berbicara tentang macam – macam hal, dan saat waktu berkunjung pun habis, mereka berdua pulang. Akan tetapi, tentu saja aku yang saat ini masih belum selesai menjalani pemeriksaan bodoh ini masih diharuskan untuk menginap satu malam.
************************************************** ****************************
“Nah, sekarang apa yang harus kulakukan?”
Saat ini, tak ada seorang pun yang terbangun. Bahkan orang – orang yang mendapatkan perawatan selain diriku pun telah tidur. Baru setelah beberapa saat, kuputuskan untuk keluar dari kamarku. Bayangan rumah sakit yang gelap, terkesan berhantu dan sepi ini membuatku merasakan firasat buruk. Aku pun berjalan melewati koridor.
Bah! Sebaiknya jangan terlalu banyak berpikir seperti itu. Ini semua hanya imajinasiku saja. Tak ada yang aneh di sini. Ini semua gara – gara aku menonton film horror kemarin, sehingga masih terbawa sampai sekarang ini.
Tunggu! Tapi mungkin saja hal aku dapat mengalami kejadian supranatural di sini. Bukankah gempa siang ini adalah kejadian yang luar biasa? Mungkin saja arwah – arwah yang tak dapat terselamatkan kini bergentayangan di rumah sakit ini untuk selama – lamanya. Tapi aku tak mau memikirkan hal itu lebih jauh lagi.
Selangkah demi selangkah, kulewati koridor gelap ini. Kucoba untuk mengangkat kaki kiriku menuruni tangga. Kurasa aku melihat sebuah mesin penjual minuman otomatis di lantai bawah. Dan entah kenapa aku jadi haus. Tak apa – apa. Aku sama sekali tak terluka. Tentunya satu kaleng tak bakal membunuhku.
Dan kuturuni tangga yang semula aku berada di lantai tiga, kini berada di lantai dua.
“Itu dia…”
Dengan cepat kuarahkan pandanganku ke arah kanan tempat dimana mesin penjual otomatis itu berada. Ternyata ada di dekat sini. Warna merah dari mesin itu sangatlah mencolok untuk dilihat pada kegelapan ini.
Nah, sekarang, apa yang akan kubeli…
Sekaleng jus jeruk bukanlah hal yang buruk. Apalagi, yang kuincar tinggal satu.
Ketika aku ingin memencet tombol setelah kumasukkan koin ke dalam mesin itu, lewatlah tangan kecil yang berada di sebelah kiriku, dan pada akhirnya kusadari tangan itu adalah tangan seorang anak perempuan. Tapi gara – gara memikirkan hal yang tak penting seperti itu, tangan itu telah memencet tombol untuk jus jeruk dan mengambil kalengnya!
“AAARGH! Apa yang kau lakuka-?”
Aku menghentikan teriakanku karena sadar aku berteriak. Sang pemilik tangan pun dapat kulihat, namun tak begitu jelas dalam kegelapan ini. Setelah itu, layaknya seseorang yang berdoa di kuil untuk berdoa akan permohonannya di tahun baru, yang kemudian disusul dengan rasa bersalah yang terlihat di mukanya, anak perempuan itu membuka mulutnya dan berkata,
“Sori! Nanti kubayar jusnya. Yang pasti aku benar – benar menginginkan jus ini! Jadi sebagai gantinya akan kutraktir yang lainnya. Boleh kan?”
Aku terkejut, bukan karena sikapnya yang seenaknya. Yah, memang aku terkejut setengahnya karena alasan itu. Tapi tak hanya itu saja.
Wajahnya…
“Hei, ada apa? Kenapa kau bengong seperti itu?”
“Eh…tidak. Sebenarnya tidak ada apa – apa. Hanya saja…wajahmu…”
“Ya, kenapa dengan wajahku?”
Katanya sambil tersenyum. Tentu saja, aku tak bisa mengatakan alasanku terkejut karena wajahnya sama dengan wajah yang kulihat dalam mimpiku, kan?!
Share This Thread