Page 5 of 5 FirstFirst 12345
Results 61 to 63 of 63
http://idgs.in/173070
  1. #61

    Join Date
    Oct 2008
    Location
    • Surabayaa •
    Posts
    684
    Points
    664.85
    Thanks: 3 / 4 / 3

    Default

    TOO LATE TO APOLOGIZE




    “Lepaskan aku!!!” sebuah bentakan memecah keheningan malam tepat di taman belakang sebuah gedung SMA yang menjulang tinggi.
    Aku hanya menatap gadis berseragam SMA itu dengan tatapan tanpa belas kasih. Lengannya tertahan oleh tangan-tangan milik ‘serigala-serigala’ yang tampak sangat tidak sabar untuk mengoyak seekor ‘domba’ yang terjebak ke dalam sarang mereka.
    “Rion!” gadis itu menoleh ke arahku; menatapku dengan tatapan yang penuh dengan kebencian, “Rion! Lepaskan aku! Dasar licik! Apa maumu?!” bentaknya.
    Aku hanya tersenyum sinis menatapnya, membuatnya menyesali perbuatan yang telah ia lakukan padaku.
    “Rion…” panggilnya pelan, seiring dengan isak tangis yang biasa ia gunakan untuk memancing simpatiku.
    Aku membalikkan tubuhku dan melangkah menjauhi tempat itu. Menghindari tatapan gadis itu dan mencoba tetap menjaga perasaan benci agar tetap bertahan melawan rasa belas kasihan yang mulai merasuk ke dalam hatiku. “Bye, Kathleen,” bisikku sesaat sebelum jeritan-jeritan tangis memenuhi tempat itu.

    * * *

    Pagi yang indah. Awan-awan kelabu menutupi langit dan suara-suara petir mulai menyambar dimana-mana. Jeritan dan isak tangis Kathleen semalam menghantui dan membelenggu pikiranku begitu lekat sehingga berbagai usahaku untuk melenyapkannyapun sia-sia.

    Cih! Tidak seharusnya aku memikirkannya seperti ini. Kathleen pantas mendapatkannya! Lagipula, hal ini takkan terjadi bila ia tidak mencampakkanku.

    Sebulan yang lalu, tepat sehari setelah ulang tahun Kathleen, aku melihatnya di taman kota, ia menangis sambil memeluk seorang pria paruh baya yang tidak kukenal. Pria itu bukan ayahnya. Aku mengenal orang tua Kathleen jauh sebelum mereka pindah ke Paris dan meninggalkan Kathleen sendiri di Los Angeles. Pria itu juga bukan pamannya atau saudaranya yang lain. Aku mengenal semua keluarganya. Kami pernah berpacaran selama empat tahun sebelum ia melakukan hal yang sangat mengecewakan itu. Ia meninggalkanku. Hubungan kami berakhir tepat pada hari itu. Kami bertengkar di tengah taman kota sementara pria paruh baya itu terus menonton tanpa berusaha menjelaskan apapun. Hingga akhirnya sebuah pukulan mendarat di pipiku. Meninggalkan memar merah kebiruan seiring dengan jatuhnya tubuhku ke tanah. Pria itu memukulku dan menarik tangan Kathleen serta memaksanya meninggalkanku. Kathleen mengikutinya tanpa memperdulikanku. Keesokan harinya, Kathleen menjelaskan padaku bahwa pria paruh baya itu adalah pamannya dari Canada yang datang ke sini untuk mengantarkan hadiah ulang tahun dan menengoknya. Suatu kebodohan yang akut bila ia berpikir aku akan mempercayainya!
    “Rion?” sebuah suara lembut mengacaukan lamunanku, “Kau baik-baik saja?”
    “I’m fine, Jess…”
    “Haha.. jangan sering melamun, kau takkan bisa melupakannya jika terus bernostalgia tentangnya dalam lamunanmu.”
    “Roger, ma’am!” sahutku sambil berdiri dari tempat dudukku, menatap ke luar melalui jendela yang terletak di ujung lorong kelas. Aku mendapati Kathleen berada di bawah sebuah pohon maple sambil terus berbicara melalu telepon genggamnya dengan ekspresi cemas. Ia menangis. Dan seperti biasa, aku mencoba untuk tidak menghiraukannya.
    Aku melompat dari jendela kecil itu, mendarat dengan sempurna di tanah yang berubah menjadi lumpur karena hujan. “Katakan, aku ijin pulang, ada urusan,” sahutku pada Jessie, sahabatku.
    “Ok. Take care, Rion,” balasnya.
    Hujan membuat tanah di taman sekolah yang kulewati berubah menjadi lebih becek. Membuatku kesal karena membuat sepatu putihku terhias lumpur dan membuatnya berubah warna menjadi cokelat. Aku berjalan ke gerbang belakang sekolah, menemui kedua gangster yang kusewa kemarin.
    Entah mengapa, perasaanku terasa kacau ketika aku menemui mereka. Sesuatu yang buruk akan terjadi; setidaknya itu yang pasti.
    Dua pria bertubuh kekar dan mengenakan baju tanpa lengan ketat yang memamerkan bentuk tubuh mereka yang sempurna menungguku di gerbang belakang. Salah satu dari mereka menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, tak sabar ingin mencium harumnya uang kertas yang masih baru.
    Aku mendekati mereka, menggerogoh isi ransel hitamku dan menyodorkan sebuah amplop pada mereka.
    “Ini uangnya, sesuai perjanjian,US$ 2.000,” kataku.
    “US$ 2000 per orang, total US$ 4.000! Kurang US$ 2.000 lagi,” jawab salah satu dari mereka sambil memamerkan gigi-giginya yang mulai menguning karena terlalu sering merokok.
    “Perjanjian kita hanya US$ 2.000! Jangan mencoba menipuku!” bentakku.
    Sesaat kulihat mereka menggerogoh isi kantong mereka dan mengambil sebuah benda yang berwarna gelap dan nampak cukup berat. Aku menyipitkan mataku untuk melihat dengan jelas benda apakah itu. OMG! Pistol!
    “Serahkan US$ 2.000 lagi, boy. Jangan melawan!” sahut salah satu dari mereka sambil menodongkan pistol padaku.
    “H..Hei… aku tidak membawa uang lagi. Ini, ambilah, sisa US$ 100” aku mundur perlahan, menyadari hidupku takkan lama lagi bila terus berada di sana.
    “US$ 2.000, sekarang juga atau nyawamu melayang,” ia menarik pelatuk pistol di tangan kanannya dan mengarahkan pistol itu ke jantungku.
    Aku membalikkan badan dan segera berlari, tak terpikir cara lain selain ini untuk menghindari mereka. Aku hanya dapat berharap tembakan mereka meleset. Tapi aku salah. Satu peluru saja cukup bagi mereka untuk membunuhku.
    Suara tembakan itu terdengar begitu keras, seiring dengan peluru yang melawan angin dan menembus jantungku. Samar- samar kulihat mereka menarik dompetku keluar dari kantung celanaku dan membongkar isinya. ; mencari-cari kartu-kartu ATM dan sisa uang di sana. Dan tiba-tiba semua menjadi kabur. Aku tidak bisa melihat dan merasakan apa-apa lagi.
    “RIOOONNNN!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” sebuah jeritan lantang terdengar samar di telingaku. Suara yang sangat kurindukan. Samar-samar, namun aku mengetahui dengan jelas pemilik suara itu.

    Aku akan mati! Batinku menjerit. Kurasakan tubuhku terbaring lemas diatas suatu landasan yang keras, aku tidak dapat lagi menggerakkan tubuhku. Kathleen... Farewell... Tiba-tiba seluruh pandanganku menjadi gelap gulita.


    * * *

    Aku membuka mataku perlahan, tersadar dari semua ‘mimpi buruk’ku. Semua aspek ruangan kecil itu berwarna putih. Selang-selang plastik dan infus serta bau alkohol yang cukup keras menyadarkanku dimana aku berada saat itu.

    Aku selamat… bagaimana bisa? Peluru itu jelas telah menembus jantungku…!
    Aku menoleh ke kanan, mendapati pasien lain di sebuah tempat tidur yang terbungkus seprei putih rumah sakit, terbaring tanpa nyawa. Kucermati wajah pasien itu dengan wajah shock. Aku mengenalnya. Aku mengenal garis wajahnya. Aku mengenal setiap helai rambutnya.

    KATHLEEN??
    Dokter dan suster berdatangan sesaat setelah aku menekan bel yang terletak di sisi kanan tempat tidurku. Aku meminta penjelasan atas semua yang terjadi, mengapa aku di sini, mengapa aku selamat, dan mengapa Kathleen terbaring di sana tanpa nyawa.
    Dokter membeberkan sebuah fakta yang membuatku tak dapat menahan air mata. Saat aku terbaring koma karena jantungku tertembus peluru dan menglami kerusakan; sementara persediaan transplantasi jantung kosong, Kathleen menawarkan jantungnya untuk ditransplantasikan. Dokter melarangnya, namun ia tetap melakukannya. Ia berkata bahwa ia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang berarti bagi hidupnya. Ia berkata bahwa ia baru saja kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan pesawat yang akan membawa orang tuanya kembali ke Los Angeles. Ia tak ingin aku juga meninggalkannya. Karena itu, ia memutuskan mengorbankan nyawanya untukku, demi keselamatanku.
    Air mata bercucuran keluar dari mataku, menyesali perbuatanku yang hina terhadap dirinya beberapa hari yang lalu. Ia menyelamatkanku. Ia mengorbankan nyawa demi aku! Meskipun aku telah membayar orang untuk menodainya, tapi ia tetap perduli dan tetap mencintaiku.
    Dokter menyerahkan sebuah amplop putih padaku, beserta dengan sebuah boneka seputih salju yang juga merupakan hadiah ‘hari jadi’ kami yang pertama yang kuberikan pada Kathleen dulu. Amplop yang bertuliskan namaku itu terbungkus dengan begitu rapi, namun kertas putih yang berdiam di dalamnya telah terbasahi air mata, begitu banyak hingga meninggalkan lekukan-lekukan pada kertas itu.
    Rasa penyesalan tak lagi dapat kubendung. Aku tertunduk, membaca ulang surat dari Kathleen itu dengan terus meneteskan air mata. Sekarang, bagaimana aku dapat membalas apa yang sudah ia lakukan untukku? Bagaimana caranya? Jangankan membalas pengorbanannya ini, aku bahkan tidak dapat lagi melihat senyuman manis yang selalu menghiasi wajahnya.
    Aku menatap kertas itu sekali lagi; membaca tiga kalimat singkat yang ia tuliskan dengan bekas curahan air matanya yang tertetes di atas kertas putih itu dan mengukirnya dalam hati.


    “Rion, maafkan aku. Jaga dirimu baik-baik. Jantung ini kuberikan padamu sebesar perasaanku padamu. Aku akan selalu mencintaimu. ---- Kathleen”




    -THE END-



    Originally Created By: NydD =3
    (IMAGEZ - Bulletin Kampus iSTTS Maret 2010)
    •• Anata no Urami, Harashimasu ••


  2. Hot Ad
  3. The Following 2 Users Say Thank You to ChocoLolita For This Useful Post:
  4. #62
    Jin_Botol's Avatar
    Join Date
    Aug 2007
    Location
    Jakarta "Kota 3in1"
    Posts
    1,111
    Points
    1,058.00
    Thanks: 30 / 38 / 24

    Default

    what a nice touching story smile:
    Gemini, The Two-Facets Personality

  5. #63

    Join Date
    Oct 2008
    Location
    • Surabayaa •
    Posts
    684
    Points
    664.85
    Thanks: 3 / 4 / 3

    Default

    thx ^^

    n thx 4 d "thanks" too..
    GRP plz if u dont mind + really like it.. smile:
    •• Anata no Urami, Harashimasu ••


Page 5 of 5 FirstFirst 12345

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •