Author : The_Omicron
Site : www.the-omicron.co.cc
Genre : Fable, Tale, Moral
A Tale From An Old Willy is under copyright law © 2009 the-omicron.co.cc
________
www.the-omicron.co.cc presents...
A Tale From An Old Willy
_______
Entah sudah berapa lama aku telah berdiri di kota ini. Setiap hari ku memandang langit dan mengharapkan hujan. Jika kuhitung dari pergantian musim, mungkin sudah 200 musim semi aku lewati sejak aku pertama kali dapat melihat birunya langit. Generasi demi generasi manusia telah aku saksikan, bercamam ragam bentuk dan sifat manusia pernah berlalu-lalang disekitarku.
Aku adalah sebuah Pohon Kastanye. Manusia memberiku nama Willy Tua, dan mereka bilang manusia pendiri kota ini adalah orang yang menanamku bersama dengan keempat saudaraku. Ia menanam kami di lima tempat yang berbeda di kota ini. Mereka juga mengatakan keberadaan kami adalah lambang simbolik kota ini. Yang melambangkan kelima motto kota ini : Kejujuran, Kesetiaan, Kebaikan, Keadilan, dan Kemanusiaan.
Akan tetapi, keempat saudaraku sudah meninggalkanku terlebih dahulu. Kota ini semakin berkembang dan bertumbuh. Manusia membutuhkan ruang lebih untuk membangun apa yang mereka inginkan. Keempat saudaraku telah ditebang karena berdiri tepat diatas di tanah yang akan dibangun bangunan-bangunan beton yang menjulang dengan angkuh. Seakan empat buah dari lima motto kota ini juga ikut menghilang bagaikan asap bersama dengan berakhirnya perdirian mereka. Fitnah merajalela, Pengkhianatan merekah, kejahatan diperbuat tanpa penyesalan, dan Keadilan telah berganti dengan harta dan kemashyuran. Kota ini telah berubah, manusia telah berubah, semua telah berubah.
Kini hanya tersisa diriku yang berada di pinggiran kota, berada di pemukiman yang tenang dan nyaman. Aku bisa merasa sedikit lebih tenang dengan tempatku berdiri ini. Anak-anak manusia bermain dengan gembira di bawah teduhnya naunganku, mengumpulkan biji-bijian yang kujatuhkan, berayun diatas ayunan yang menggantung pada dahanku, senyuman dan tawa polos mereka menenangkan aku atau siapapun yang melihat dan mendengarnya.
Kadang aku melihat pasangan saling menyatakan perasaannya. Kadang mereka menjadikanku sebagai tempat pertemuan mereka. Dan kadang mereka bermesraan sambil bersandar di tubuhku. Sangat manis, sangat romantis, sangat hangat.
Mereka juga sangat mencintaiku. Saat hari sangat panas dan kering, mereka memberiku siraman air yang menyejukkanku dan menghilangkan dahagaku. Saat dahanku sudah terlalu panjang dan tak berbentuk, mereka memotongnya kembali tanpa menyakitiku. Akupun sangat menyayangi mereka. Tetapi aku tak mampu membalas kebaikan mereka, yang dapat aku lakukan hanya tumbuh, dan terus tumbuh. Setiap hari aku berdoa kepada Tuhan agar aku dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk mereka.
Pernah suatu ketika ada seorang manusia laki-laki yang mencoba untuk membunuh bunuhnya diri di dahanku. Ia mengikatkan tali yang menggantung dengan erat, bersiap untuk mengakhiri hidupnya tanpa kedua kakinya menyentuh tanah. Aku ingat laki-laki ini sejak kecil sering bermain di bawah ku, pada saat remaja ia sering membaca buku dengan keteduhanku, dan ia juga sering membawa anaknya bermain denganku. Sayup-sayup ia menceritakan alasan mengapa ia memilih mengakhiri hidupnya.
Ia bilang setelah perusahaan kontraktor yang ia bangun dengan susah payah bangkrut oleh persaingan tidak sehat, setelah itu istrinya meninggalkannya, disaat yang sama anaknya sakit keras sehingga ia harus berhutang untuk biaya pengobatan anaknya. Dan kini, ia tak tahu lagi bagaimana cara membayar hutang yang telah menumpuk itu. Ia putus asa, ia kecewa pada dirinya sendiri. Menganggap kematian adalah jalan baginya.
Mungkin aku terdengar sok tahu, tetapi, bagiku apa yang ia pikirkan salah. Aku tak ingin ia mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak semestinya ia lakukan. Bila ia benar-benar menyayangi anaknya, apakah dengan meninggalkannya dan menuju alam kematian sendirian adalah benar? Bagaimana dengan nasib anakmu nantinya? Ingin rasanya kubujuk dia agar tidak melakukan hal yang tidak sepantasnya ia lakukan.
Kulakukan apa yang dapat kulakukan. Kukerahkan seluruh kemampuanku untuk membujuknya mencoba sekali lagi membangun hidupnya. Kunyanyikan padanya nyanyian gemerisik dedaunanku. Kulantunkan padanya tarian dari kelopak bungaku yang beterbangan dan membuat warna warni yang indah dibawah sinar rembulan. Kupinta pada sang angin agar membawakan pesan yang ingin kusampaikan padanya, halus membelai wajahnya dan sampai ke telinganya. Agar ia dapat mendengar apa yang aku katakan.
Pada akhirnya, ia membatalkan niatnya untuk mengakhiri keberadaannya. Ia membuang jauh-jauh tali yang semula akan menjadi algojo hidupnya. Kemudian ia menangis di sisiku. Menyesali segala niat buruknya terhadap dirinya sendiri. Menyadari keegoisannya terhadap kelangsungan hidup anaknya. Menangislah, hingga keraguan di dalam hatimu pergi bersama dengan air mata yang kau teteskan ke akarku. Menangislah agar kau tak lagi bersedih saat berusaha untuk bangkit kembali.
Setelah puas menangis dan menyesali segalanya. Ia pulang kembali menuju rumahnya. Kembali dengan membawa semangat baru dan sebuah senyuman kepada anaknya yang juga tengah berjuang melawan sakitnya.
Aku puas. Aku bersyukur. Aku bersyukur aku telah melakukan sebuah perbuatan yang berguna walau hanya bisa melakukan sedikit hal saja. Tetapi pada akhirnya aku berhasil melakukan sebuah perbuatan yang berguna untuk manusia.
Tetapi setelah beberapa kali terbit dan tenggelamnya matahari di cakrawala, kurasa waktuku juga akan segera berakhir. Persis seperti saudara-saudaraku yang telah mendahuluiku satu demi satu, membawa serta motto dari kota ini bersama dengan kepergian mereka.
Ya, pada hari itu, sekelompok manusia dengan pakaian yang rapi datang ke tanah tempatku berdiri. Mereka bilang mereka adalah kontraktor, yang sedang merencanakan pembangunan sebuah rumah sakit di tempatku berdiri ini. Pada saat itulah aku menyadari nasibku akan sama seperti keempat saudaraku. “Dikhianati oleh manusia yang mereka cintai” pikirku.
Tetapi tindakan mereka diketahui oleh manusia-manusia yang hidup di sekitarku. Mereka yang mencintaiku mengatakan dengan tegas kepada sekelompok manusia tadi bahwa mereka menolak pembangunan rumah sakit itu di sini.
Tentu saja keduanya menjadi saling berseteru. Perbedaan pendapat dapat membuat bahkan sepasang manusia yang saling mencintai berpisah. Kini mereka yang bahkan tidak saling mengenal beradu pendapat. Terjadilah pengusiran paksa kepada mereka yang berniat membangun rumah sakit disini.
Aku senang sekaligus merasa sedih. Aku senang karena ternyata masih ada manusia yang menjagaku dan mencintaiku. Tetapi aku sedih karena keberadaankulah mereka menjadi berseteru dengan manusia lainnya. Kebencian telah membutakan mata dan hati mereka. Menutup telinga mereka rapat-rapat. Trauma karena penebangan keempat saudaraku membuat mereka membenci setiap manusia yang berniat baik menolong mereka. Semua undangan negosiasi dari pihak kontraktor mereka tolak mentah-mentah tanpa pernah tahu isi dari penawaran mereka.
Aku tak ingin manusia yang mencintaiku, dan juga kucintai menjadi menderita karena berusaha menolongku. Melupakan diri mereka sendiri, dan orang yang mereka sayangi. Aku tak ingin rasa cinta mereka kepadaku lebih besar daripada rasa cinta kepada sesama manusia. Karena jikalau rasa cinta itu telah menghilang, maka apalah yang tersisa dari motto kota ini? Aku terus berdoa kepada Tuhan agar Ia memberikan petunjuk-Nya kepadaku atas apa yang harus aku lakukan.
Suatu hari, jalan itu mulai terlihat. Seorang laki-laki dengan anaknya datang menemuiku. Ya, itu adalah laki-laki yang sama. Laki-laki yang dulu ingin mengakhiri hidupnya di atas tali. Tetapi kini keputusasaan dan kekecewaan telah menjadi masa lalu baginya. Berganti dengan semangat baru dan keikhlasan dalam membangun hidup barunya.
Tetapi nasib rupanya berkata lain. Penyakit pada anaknya semakin mengganas. Kini ia sedang membingungkan dua hal. Dan datang kesini bersama anaknya mengharapkan suatu jawaban, seperti yang pernah ia dapatkan saat mencoba untuk bunuh diri di hadapanku. Sambil duduk termenung di atas akarku, memperhatikan anaknya mengumpulkan biji-bijian yang kujatuhkan, ia mulai berbicara. Entah kepada dirinya sendiri atau kepada ku, atau kepada Tuhan, ia mulai berbicara tentang masalah yang sedang dihadapinya.
Ia sedang bingung bagaimana caranya agar warga mau mengerti pembangunan rumah sakit di tempat ini adalah untuk kepentingan mereka. Dan lagi sebagai seorang arsitek dari proyek tersebut, ia membutuhkan uang untuk mengobati penyakit anaknya. Jika proyek ini dibatalkan, maka habislah dia, kehilangan sekali lagi orang yang ia cintai. Lalu, jika rumah sakit ini dapat dibangun, tentu ia tak memerlukan ongkos tambahan untuk biaya transportasi menuju rumah sakit lain yang berjarak cukup jauh dari rumahnya. Ia bisa menabung uang itu untuk masa depan dirinya serta anaknya.
Satu jam ia duduk termenung disini. Merasa tidak mendapatkan jawaban, ia kemudian mengajak pulang anaknya yang dari tadi tengah bermain-main di sekitarku. Sambil menggandeng tangan anaknya yang tampak ringkih ia berjalan pulang. Dan kemudian anaknya berkata
“Papa, lain kali kita ke sini lagi ya!”
Dengan nada yang riang dan senyum yang polos. Tanpa mengetahui maut sudah berada di dekatnya. Kemudian ayahnya menjawabnya dengan senyuman. Sebuah senyuman paling tulus dari seorang ayah kepada anaknya yang pernah kulihat. Tanpa kesedihan, penuh keikhlasan.
Setelah pertemuan dengan mereka. Aku tersadar, bahwa mereka adalah jawaban atas doaku. Aku memutuskan untuk menyelesaikan semua perseteruan ini, agar tidak ada lagi penderitaan manusia yang aku cintai. Jika aku tiada, maka semua masalah ini akan selesai. Rumah sakit dibangun, anak itu selamat, laki-laki itu gembira, dan warga akan semakin sejahtera.
Tetapi bagaimana caranya? Aku tak tahu cara untuk mati! Aku hanya bisa tumbuh, dan terus tumbuh. Menatap langit, menumbuhkan daun baru, menggugurkan daun tua, dan mengembangkan bunga-bungaku. Aku sungguh tak tahu. Hanya satu hal yang dapat kuperbuat. Yaitu, berdoa kepada Tuhan agar mencabut nyawaku. Demi semua manusia yang aku cintai.
Semua yang bermula pasti akan berakhir. Akhirnya Tuhan menjawab doaku. Pada suatu malam yang dingin, sang awan badai datang. Ia menjatuhkan hujan petir yang menyambar-nyambar di udara. Raungan gemuruh terdengar, kilatan cahaya terlihat. Kemudian dengan kekuasaan-Nya, sebuah petir yang besar diiringi gelegar yang membahana menyentuh batangku. Merobekku dan membelah tubuhku. Membakar seluruh daun-daunku. Saat itu aku sadar, bahwa itulah akhir dari hidupku. Akhir dari penantianku selama 200 tahun agar dapat berguna demi semua manusia yang aku cintai.
Aku pergi tanpa membawa motto kota ini pergi bersamaku. Aku pergi dengan meninggalkan amanah kepada mereka agar selalu menjaga motto kota mereka. Berawal dari ‘Kemanusiaan’, ‘Kejujuran’ akan tumbuh, ‘Keadilan’ akan berdiri tegak, ‘Kesetiaan’ akan kembali, dan ‘Kebaikan’ akan bersinar. Aku berharap mereka akan kembali seperti mereka yang seharusnya. Sebagai manusia yang benar-benar ‘manusia’.
Ironi menyambar di hati orang-orang yang telah terbutakan oleh kebencian. Sejak awal kontraktor tidak berniat untuk menebang Willy Tua ini. Dengan desain alami dari sang arsitek, rumah sakit yang akan mereka bangun akan mengelilingiku serta memelukku dengan kehangatannya. Penyesalan timbul dari lubuk hati para warga yang mencintaiku. Kini mereka sadar bahwa kebencian akan membutakan siapapun yang memeliharanya.
Meski kini tubuhku sudah tak bernyawa, mereka tetap menjaganya bersama-sama. Berharap suatu saat aku akan terlahir kembali, dan tumbuh kembali sebagai simbol kota ini.
Share This Thread