Results 1 to 1 of 1
http://idgs.in/227754
  1. #1
    fadillah46's Avatar
    Join Date
    Dec 2007
    Location
    where the mud is blow up
    Posts
    1,673
    Points
    2,006.30
    Thanks: 1 / 0 / 0

    Default Indonesia's Mystic Special Force : Airlangga Gama

    Author : fadillah46 aka Haqi
    Genre : Fantasy, Romance, Teenage,


    Indonesia's Mystic Special Force : Airlangga Gama

    Kata Pengantar

    Spoiler untuk kata pengantar :

    Jujur sih, aku bikin cerita berseri ini terinspirasi banget sama film Merah Putih. Rasa nasionalisme dan arti kepemimpinan benar benar melekat di kepalaku. Karena gak ada pelampiasan, so kubuka laptop dan mulai ngetik.

    Awal awal ngetik, aku keinget sama IDGS. Di sana, banyak cerita cerita fantasy jenius yang aku suka. Trus, kenapa nggak kugabungin aja, nasionalisme, kepemimpinan, n fantasy.

    Tapi benang merahnya kurang 2. Fantasy apa yang punya rasa indonesia (nasionalisme) dan cerita macam apa perlu karakter kepemimpinan kuat?

    Trus, aku keinget kasusku di SMA (kak yagami_light pasti tahu nih. ), yang akhirnya muncul sebagai benang merah ke nasionalisme. Yaitu hal hal mistik.

    Dan, begitu gencarnya pemberitaan tentang Noordin M. Top jadi benang merah ke 2. Pujian serta cacian yang mengalamat pada Densus 88 dan Paspampres, bikin aku paham, bahwa tim yang perlu kepemimpinan kuat adalah Special Force.

    Yap, jadilah, cerita yang kutulis sebagai pelampiasan inspirasiku ini, memiliki 5 benang merah, nasionalisme, kepemimpinan, fantasy, mistik, dan special force. Agar ga boring, buat aku yang nulis dan buat yang baca, kutambahkan genre romance and teenage sebagai pemanis.


    Chapter 1 : Prolog

    Spoiler untuk chapter 1 :

    Ini hari yang cerah buatku. Matahari bersinar terang, udara tidak terlalu dingin, kopi hangat menemani, dan aku masih ada di Surabaya.

    Jika aku masih sering di Surabaya, itu bisa pertanda baik atau buruk. Baik, karena bisa jadi tidak banyak kejadian yang melibatkan jin di luar sana. Buruk, bisa jadi mereka sedang membuat rencana besar untuk kami, Mystic Special Force, Airlangga Gama.

    Sudah cukup rasanya aku melamun, memandangi kali Mas, yang sangat coklat dan bau itu. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00. Artinya aku harus segera berangkat. Bu Parmi sangat mengerikan saat marah.

    “Ji, Dhe. Udah siap belom?” tanyaku pada saudara saudaraku yang masih di lantai atas untuk makan pagi.

    “Aduh, mas Rangga. Ndak usah terburu buru,” kata seorang wanita di sampingku. Wanita itu berperawakan sedang, yah cukup gemuk sih, tingginya mungkin 155 cm, rambutnya ikal sebahu, dan kulitnya coklat. Dia adalah mak Sri, juru masak sekaligus orang yang berperan mengatur segala keperluan kami.”Sekolahnya ga bakal lari kok…” tandasnya. Dia jalan lagi ke dapur. Mungkin karena mendengar suara ketel bersiul, mungkin karena kesal aku selalu seperti ini. Hahaha…

    “Iya, mas….” Terdengar suara lain yang agak parau. Itu suara pak Daud, atau biasa kami sama pak Ud. Sopir kami ini berbadan kurus, berkebalikan sekali dengan istrinya, mak Sri yang gemuk. Hanya, pak Ud lebih tinggi dan sedikit lebih putih daripada mak Sri.”Wong masih jam 06.00. Mas lo masuknya jam 07.00.” katanya.

    “Hehehe… iya pak. Aku terlalu semangat ya?” cengirku padanya. Malu banget rasanya.

    “Bukan terlalu semangat.” Ada suara lain, ketika seorang wanita seumuranku turun dari tangga. Anak itu berambut agak kemerahan, wajah wajah Banjar, tingginya mungkin 170 cm an, langsing dan putih. Namanya Dhea, saudara perempuanku. “Kamu mau ketemu Diana kan? Ngaku.”

    “Lealah, Diana. La lapo aku ngurus arek iku (Untuk apa aku peduli anak itu)?”

    “Iyo.” Satu lagi, penghuni rumah itu muncul. Dia cowok yang tinggi dan postur badan nya hampir sama denganku. 175 cm, kulit sawo matang, dan badan tegap. Hanya jika rambutku lurus, rambutnya sedikit krebo. ”Diana itu sukanya ke aku, Dhe.” Kata Aji, saudara laki lakiku.

    “Yo, sak karepmu lah (Ya, terserah kamu deh).” Ketus Dhea, pada kami berdua. Lalu berjalan menuruni tangga dan masuk ke kamar mandi, pasti gosok gigi. Aku sudah siap dengan tas dan sepatu, jadi aku keluar untuk sekedar melemaskan otot.
    “Semuanya…”
    Seseorang berbicara di kepalaku. Aku tahu ini siapa.
    “Ki Ambar Jiwo, mau beraksi lagi. Ayo berangkat.”
    “Pagi pagi gini?!”

    Beett…

    2 sosok wanita dan laki laki tiba tiba muncul di depanku. Yang wanita, berwajah Sunda dengan tinggi kira kira 160 cm adalah Riska, Sementara laki laki di sebelahnya, berwajah Papua dan badan tinggi kurus adalah Patra.

    “Ayo.” Kata Patra.
    Aku melompat masuk ke kamarku yang ada di lantai 1 di pinggir tangga. Cepat aku ambil baju seragam special force ini, lalu segera keluar. Saudara saudaraku rupanya sudah ada di sana, berkumpul di ruang tengah. Tangan kanan mereka saling bertumpuk menjadi satu. Aku segera mengikuti.

    “Kita mau kemana? Kalimantan Barat?” tanyaku pada driver kami, Patra.
    “Mungkin ke Sulawesi Selatan. Dukun gila itu ganti ganti tempat seenak udel.”
    “Oke.”

    Tiba tiba badanku serasa dihisap pusaran angin yang begitu kuat. Aku sudah hampir tidak bisa melihat apa apa lagi, selain bayangan saudara saudaraku. Kesadaranku hampir hilang.


    Beettt…


    Seperti disentak, aku bisa melihat semuanya lagi. Tapi kali ini kami berada di tempat yang jauh berbeda. Bukan lagi rumahku, tapi seperti pemukiman suku Toraja di Sulawesi.
    “Sial… aku ngga pernah terbiasa dengan teknikmu, Tra.” Kataku, mengeluh pada Patra.
    “Hahaha… kita memang baru setim 1 bulan ini kan?”

    “Ya ya ya. Oke, Ris, gimana medan dan taktiknya?”
    Riska mengangguk lalu mengambil sebuah gulungan dari tasnya. Dia membuka dan menaruhnya di tanah.

    “Nah, dari terawanganku kemarin, denahnya seperti ini.” Peta itu menunjukkan sebuah rumah, yang di depannya dibentengi makhluk makhluk seram dalam 3 lapis.

    “Woah… dia bawa leak segala?” kataku, tidak percaya.
    “Ya. Jadi, ada pasukan jin jin kacangan di depan, terus ada buto ijo, terakhir ada kira kira 10 leak. Aku kemarin diuber 1 leak, untungnya kak Dhea sampai tepat waktu.” Katanya sambil melirik Dhea.
    “Terus? Kita tinggal bunuh semua aja toh?” kata Aji. Anak ini memang suka tak sabar.

    “Bukan. Di dalamnya masih ada labirin lagi.”
    “Oke. Ini akan seperti biasanya kan? Aku, Aji dan Patra masuk. Kamu dan Dhea di sini.”
    “Benar.” Dia nyengir. Sialan…
    “Oke oke. Yang jelas kita harus cepat. Kita kan harus sekolah. Siap?”
    “Yooo…” seru mereka semua.

    Karena energy yang dikeluarkan Patra untuk sekali lompat cukup besar, maka kami tidak menggunakannya. Takut terdeteksi makhluk makhluk yang mengelilinginya. Kami harus melompat lompat dengan hati hati masuk ke dalam hutan, agar tidak ketahuan oleh suku Toraja dan penjaga Ki Ambar Jiwo.

    Akhirnya kami sampai cukup dekat. Dengan sebuah rumah. Aku sudah melihat betapa banyaknya jin yang mengelilingi tempat itu. Sampai jin jin penghuni asli dari hutan ini pergi entah kemana. Yang jelas daerah itu bersih.

    Di bagian terdepan, terdapat jin jin mirip goblin, dengan telinga panjang nan runcing, kepala botak, dan tubuh kecil. Belum lagi ekornya yang lebih tinggi dari mereka. Di belakang barisan itu ada buto buto ijo dan genderuwo, yang besar besar. Baru setelahnya terdapat rumah.

    “Labirinnya dimana?” tanyaku pada Riska.
    “Begitu kak Rangga masuk, jalan di dalamnya bakal berubah ubah. Kita harus hajar semua leaknya.” Kata ahli strategi kami itu.

    “Sepertinya aku punya ide lain.” Kataku. Aku menoleh pada Aji.
    “Oh, aku suka idemu.” Aji menoleh pada Dhea.”Yak, bukain jalan.”
    “Loh…”
    “Oke…”

    Dhea membidikkan busur panahnya, Srikandi, ke atas.


    Syaap…


    Anak panahnya memang melesat ke atas, tapi kemudian menukik dan berubah menjadi ribuan panah lain.

    “Aaarrgghhh…. Arrrgghhh….” Teriak jin jin kecil itu, ketika panah Dhea menembus tubuh mereka. Buto buto ijo itu langsung terusik.

    “Ayo, Ji.” Seruku.
    Aku melompat lebih dahulu, menusuk buto ijo bertaring 1 hingga jatuh. Aji melompat di atasku, memukul buto ijo yang datang dari arah kanan. Buto ijo lain datang langsung 3 biji, dan mengarahkan godamnya pada kami. Kami berpencar ke dua arah.

    “Ajian Angkoro Agni!!” seru Aji.


    Buumm…


    2 buto ijo terpanggang menerima ajian yang mengeluarkan api dari tanah itu. Aku pun dengan cepat menebas kepala buto yang tersisa.
    Masih ada belasan buto lagi. 5 buto menyerang kami secara sporadic. Aji mundur, tapi aku melompat naik ke kepala buto terdepan.
    Kutusuk punggungnya, cukup untuk membuatnya rubuh. Lalu muncul 2 buto yang sama sama mengayunkan godamnya padaku.

    Jleeb….Jleeb…

    Mereka menarik kembali tangan mereka, kesakitan, karena Dhea berhasil menancabkan panahnya ke pergelangan tangan mereka. Begitu aku sampai tanah, kutebas kaki kedua buto jelek itu. Dan mereka langsung roboh.

    Buto buto lainnya juga roboh, ketika perpaduan antara aku, Dhea dan Aji menghajar mereka.

    “Fuuuh… akhirnya.” Aku melihat jam tanganku.”20 menit. Sekarang tinggal leak leaknya.”
    “Tapi kalian harus masuk labirin itu dulu,” kata Riska, di kepala kami.
    “Ngapain masuk labirin. Diajurno ae po o…” tukas Aji.”Ajian Sona Darga.” Katanya, sembari mengepalkan tangan kanannya ke depan.

    Wuungg….


    Pohon pohon mati di sekitar situ beterbangan.
    “Hajar!!”

    Brraakk…. Brrraaakk…

    Pohon pohon itu terbakar, kemudian menabrak rumah itu dari berbagai arah. Tentu saja, rumah itu hancur dan terbakar terkena serangan yang memakai lebih dari 20 batang pohon itu. Padahal rumah itu hanya terbuat dari kayu kecil dan jerami.

    “Nah… Dhea, siap siap.” Kataku. Dhea yang sebelumnya terus di belakang dengan Riska dan Patra, sekarang ikut maju.

    Perkiraanku tepat. Leak leak beterbangan keluar dari sana. Wajah mereka yang mengerikan; mata mendolo, lidah terjulur hingga ke tanah, rambut yang menjuntai tak teratur, sampai giginya yang tajam, runcing dan besar besar, benar benar membuatku muak. Tapi aku melihat satu yang berbeda, dari sekitar 7 leak itu.

    “Woaah… Leak busuk ini.” Kata Aji, juga melihat hal yang sama denganku.
    “Gebleh!! Kamu juga disewa ki Ambar Jiwo?” Tanya Dhea.
    “Hahahahahaha…. Memang. Dia memberi aku 13 nyowo.”
    “Busuk. Bakal sengit nih.” Kataku. Segera, kugosok mata pedangku sambil membaca mantra.”Galunggung Galih Wolonipun Singgih. Tantramo Rindu Semalang.”
    Segera setelah membaca mantra itu, pedangku bersinar biru.

    “Yak. Kamu sama Aji lawan kroco kroconya. Aku lawan si brengkes ini.”
    “Sip.” Kata Dhea.
    “Sisain buat aku.” Kata Aji, tak rela.
    “Woke…”

    Aji dan aku langsung melompat maju, sementara Dhea mulai menembakkan panahnya. Aku berhadapan langsung dengan Gebleh, begitu kami memanggil leak hebat ini, yang sudah berkali kali bertarung denganku.
    Traaangg…
    Pedangku dan kukunya bertabrakan. Walaupun tubuhnya 3 kali lebih besar dariku, tapi aku sanggup menahannya.

    “He, demit. Kamu udah kalah 10 kali lawan aku. Kok gak kapok juga?!”
    “Tidak… kali ini aku menang!!”

    Dia melemparku jauh ke belakang. Kakiku menjejak pohon, kemudian meluncur lagi ke arahnya. Lagi, kukunya dan pedangku bertabrakan. Kami saling pukul, tangkis dan tukar jurus. Tapi aku hampir tahu semua gerakannya.

    Ketika dia menebasku lewat dada, aku naik ke atas kukunya yang hitam dan melompat ke atas kepalanya.


    Jduaar…


    Aku, lagi lagi, berhasil mematahkan tanduknya. Sumber kekuatannya.
    “Adoh maaakkkk….” Teriaknya kesakitan. Aku melompat lepas dari kepalanya.
    “11 – 0. Atau mau kupotong lidahmu sekalian? Pergi!!”

    “A… awas kamu. Lain kali… balas…” ancamnya, yang aku sama sekali tidak takut. Dia, seperti biasa, menjadi pengecut yang lari begitu saja ketika kalah. Kulihat Dhea dan Aji sudah berhasil membereskan leak leak itu, hingga akhirnya tersisa satu leak.

    “Yah… Si Gebleh udah pergi. Bodo kamu Ngga.”
    “Adoohhh… ******!!”

    Dia menjitak kepalaku, padahal masih ada Ajian Rentak Bumi di tangannya. Ajian yang membuat tangan menjadi sekeras baja. Uuuhh… Sakit sekali. Dia enak aja cengar cengir.

    “Hei, temen temen…”
    Tiba tiba, hawa tempat itu berganti. Berganti menjadi sangat gelap dan pekat. Bahkan, beberapa daun jadi layu.

    Leak terakhir yang tersisa, masuk ke dalam. Sementara dari dalam rumah yang terbakar itu muncul sesosok manusia menggunakan baju khas jawa, lengkap dengan blangkon dan sarung jarik.

    “Kalian ini siapa? Kok teko teko ngrusuhi omahku …”
    “Ki Ambar Jiwo, anda ditangkap karena berusaha menyantet menteri perhubungan, Fauzi Umar Syamsuddin.” dia mengernyit sedikit, seperti orang sedang mengingat ingat.

    “Ooo… polisi mistis toh. Ya... ya..." dia manggut manggut.
    "Aku sudah dengar tentang kalian. Kata dukun dukun lain kalian hebat. Ayo… mari.”

    Dia merogoh bagian kanan jariknya. Mengeluarkan sebuah keris yang cukup panjang.

    “Ini keris namanya Sambiloto Rekoso. Mustika ku seng paleng kuat.”
    “Aku gak peduli!!” teriak Aji.
    “ji!!”tapi terlambat, walaupun aku memperingatkannya. Dia dengan kepala panas melompat menerjang Ki Ambar Jiwo.

    “Ajian Rentak Bumi!!” teriaknya. Tak pelak, tinjunya melayang menuju Ki Ambar. Tapi apa yang terjadi? Hanya dengan sekali kibasan kerisnya, Aji terpental jauh. Menabrak pohon, hingga pohon itu roboh.

    “Sial… Dhe… ikuti aku.” Ku tarik keluar lagi pedangku.”Rumongso Sembodo nanging Dungo, Wayah Jawah soko Selamet.”

    Sekarang, pedangku berpendar merah kekuningan. Salah satu mantra kesukaanku. Tidak perlu banyak energy tapi cukup efektif.

    Aku melompat maju. Lagi lagi, Ki Ambar Jiwo mengeluarkan kerisnya. Sekali kibasan saja, terbentuk perisai energy yang cukup kuat. Tapi, di sinilah pedangku berfungsi.

    Ketika perisai energy itu akan menabrakku, kuayunkan pedangku secepat yang aku bisa. Kekuatan Sanjiva sukses merobek perisai energy itu. Bahkan memecahkannya.
    “Dhe...”

    Slaaappp…

    Dalam sepersekian detik, sebuah panah berwarna kuning melesat di sisi kiri kepalaku. Gerakannya begitu indah dan cepat, hingga Ki Ambar Jiwo pun tak menyadari bahwa panah itu telah menerobos dadanya.

    “A… adooooh.…”
    Tak sanggup lagi, dukun gila itu jatuh, ambruk di tanah. Tapi aku tahu ini belum selesai. Aku mendekati tubuh lumpuh itu.

    “Ayo, keluar saja. Jangan malu malu.” Kataku. Perlahan lahan, ada bayangan hitam keluar dari punggung mayat ki Ambar Jiwo. Bayangan itu menyatu, menggumpal, hingga akhirnya bersatu menjadi sesosok raksasa hitam yang berwajah sangat jelek sekali. Dia tidak punya mulut, sehingga wajahnya hanya berhenti di hidung. Belum lagi mata besar dan hijaunya mengeluarkan darah terus menerus.

    ”Galunggung Galih Wolonipun Singgih. Tantramo Rindu Semalang.”
    “Graaah…” dia menggeram kuat kuat. Mungkin marah, karena majikannya sudah tak berdaya, atau bisa jadi senang, karena dia bisa bebas.

    Naluri raksasa pasti menghajar benda yang terdekat dengannya. Dan yang terdekat saat ini sudah pasti aku. Benar saja. Tak lama, setelah pandangannya mulai jelas, dia menghantamkan tangan besar dan berototnya padaku.

    Daangg…

    Tangan besi itu berbenturan langsung dengan pedangku. Sial, bahkan tangannya tergores pun tidak. Malah tubuhku yang keder, karena kekuatan pukulannya.

    Tiba tiba, ada yang seseorang yang menaiki punggungku. Kakinya terasa sedikit aneh, nyetrum, sehingga aku langsung tahu siapa dia.
    “Jangan ganggu temanku!! Ajian Gegar Guntur !!”

    Jduaarr….

    Perut raksasa itu pecah berkeping keeping, terkena petir yang keluar dari tangan kanan Aji. Langsung saja, dia tehuyung dan ambruk di tanah. Leak yang tadi masih ada, tampaknya tergencet di bawah tubuh raksasa itu, karena mereka sama sama menjadi bangkai.

    “Kamu tuh hebat, tapi gampang panas ji.” Pujiku.
    “Kamu lebih hebat, sayang kurang berani.” Ledeknya.
    “Bangkek…”
    “Hahahahah….”

    Ketika aku melihat ke sekeliling, aku yakin nanti malam kami pasti dimarahi lagi. Terutama aku sebagai pemimpin tim ini. Hutan itu seperti habis dijarah. Benar benar penuh dengan sampah dan puing puing.

    Kulihat Dhea dan Riska memadamkan api yang berkobar kecil kecil di mana mana dengan kaki mereka. Aji memindahkan benda benda yang masih utuh, seperti batu dan pohon yang Cuma tercabut saja, kembali ke tempatnya. Sementara Patra menghilang. Pasti dia melompat ke tim pembersih.

    Perkiraanku tepat. Beberapa detik kemudian dia datang membawa sekitar 10 orang berpakaian Perhutani.

    “Tolong dibereskan ya?” pinta Patra pada salah satu dari orang yang dibawanya. Setelah kulihat lebih teliti, ternyata itu Fadil, ketua tim pembersih kami. Fadil terlihat shock melihat apa yang kami lakukan di sini.
    “Kalian pasti dimarahin Jendral lagi.” Kata Fadil, menggeleng aneh ketika melihat sekelilingnya.
    “Kami sudah tahu. Wes, beresin. Jangan lupa Ki Ambar dikerangkeng yang kuat.” Kataku pada orang yang banyak bicara itu.”Semuanya, ayo pulang. Kita harus sekolah.”

    Aji, Riska, Dhea segera berkumpul ke arahku. Mereka mulai menyatukan tangannya. Aku baru mengikuti, ketika aku melihat Fadil dan timnya mulai bekerja.
    “Berangkat.”

    Beett…

    Ugh... sensasinya selalu sama. Pusing, pusing dan pusing. Dan lagi lagi, kami sekarang ada di halaman depan rumahku.

    “Gimana? Berhasil?” Tanya Pak Ud.
    “Sip, pak.” Jawab Aji bangga.
    “Ayo, berangkat sekolah.”

    Terdengar suara wung, lagi, di belakangku. Patra dan Riska sudah menghilang. Dhea dan Aji juga sudah masuk menuju kamarnya masing masing. Wah, aku juga harus.

    Masuk ke kamar, aku segera ganti baju ke seragam putih abu abu. Perasaanku mulai tidak enak. Lalu kutengok jam dinding besar bergambar Shinchan di atas pintu kamarku.

    “Sed!! Udah jam 07.00.”
    Cepat cepat aku meraih tasku. Lalu lari keluar. Ternyata Dhea dan Aji juga sama sama panic. Mereka ada di halaman, pasti menunggu Patra.

    Wuungg…

    Yup. Dia tidak pernah mengecewakan kami.
    “Ayo, cepetan.”
    Kami menyatukan tangan. Lalu, dengan sekali kedip kami sudah sampai di sebuah ruang yang cukup ku kenal.

    “Lho… tra… ini…” Aji agak kaget. Aku sih sudah tahu, jadi cengar cengir aja. Patra kalau berangkat dengan panik selalu ke sini.
    “Maaf… aku Cuma ingat ini….” Patra merasa bersalah.
    “Ini… kan….” Muka Dhea jadi merah.”WC Cowok?!”

    KYAAAAAAA!!!



    Chapter 2 : Kasus di Sekolah

    Spoiler untuk chapter 2 :


    “Aji!! Rangga!! Kalian ini apa apaan!! Bisa bisanya masukin cewek ke kamar mandi cowok?!” ya ya ya… lagi lagi ketemu sama orang ini. Pasti panjang. “Walaupun dia saudara sepupu kalian, kalian tidak boleh seperti itu!!”

    Sip. Sip banget. Sekali lagi kuhabiskan setengah jamku yang berharga di depan bu Rara. Guru super cerewet ini sebenarnya baru tahun ini masuk BK. Tapi dia langsung jadi most wanted teacher di sekolah ini.

    Semua vandalism anak anak SMAN 2009 Surabaya ini, sekarang bukan lagi Pak Galuh. Sudah tergantikan sama hujatan hujatan kepada orang ini. Sebenarnya tidak salah juga.

    “Ji, langsung masuk?” tanyaku pada Aji. Dia mengernyitkan dahi. Oke, dia memang setipe.
    “Wah, aku ngerti, lapar kan?”
    “Haha… tau aja. Yok.”

    Kami pun berjalan menuju kantin sekolah. Untuk kali ini terasa hening sekali. Semua sudah masuk, jadi tinggal kami saja siswa di luar. Dengan pak bon tentu saja, yang sedang bersih bersih got sekolah.

    Kanti sekolah terletak di tingkat 1, dekat tangga yang menuju lapangan parker sepeda motor. Begitu sampai sana, ternyata yang buka Cuma Mak Im.

    “Mak, krengsengan.” Pesan Aji.
    “Aku pecel aja.” Kataku. Tidak sampai 10 menit, kami sudah mendapatkan pesanan kami.

    “Mak, tadi kami ngelawan dukun brengkes, Ki Ambar Jiwo.” Kata Aji. Oh ya, aku lupa cerita. Mak Im adalah agen BIN yang menyamar menjadi penjual makanan di sekolahku. Tugas nya di sini adalah mengawasi kami, memastikan kami tidak mendapat masalah. Juga, menjadi tempat curhat kami seperti sekarang ini.

    ”Ada berita apa tentang orang itu?”

    “Kalian pasti dimarahi.”
    “Kalau itu kami sudah tahu.” kenapa semua orang membuatku semakin merasa bersalah sih?.”Lainnya?”
    “Nggak ada. Ki Ambar Jiwo emang neror Menteri Perhubungan, tapi kalian tahu, dia dibayar seseorang, dan kita belum tahu siapa.”

    Ya, ya ya… special force ini memang sangat kurang di apresiasi. Sedikit sekali pujian yang diberikan dari atasan terhadap pekerjaan pekerjaan kami. Tapi, toh kami senang, karena selalu bekerja dengan saudara.

    Ketika melihat jam, ternyata sudah pukul 07.51. Segera kupejamkan mata, kemudian mengkonsentrasikan energiku untuk mengeluarkan rohku dari badan.
    Badanku terasa sedikit hangat. Terasa bahwa ada sesuatu yang akan lepas dari diriku. Kakiku mulai mati rasa, lalu naik ke perut, dada, hingga akhirnya kepalaku tidak terasa lagi.

    Perlahan kubuka mata. Mak Im dan Aji masih ngobrol santai. Sepertinya mereka tidak merasakan kalau aku baru saja pergi meninggalkan jasadku. Ya sudah.
    Aku mulai melayang ke lantai 2. Di sana, terlihat Patra sedang belajar matematika dengan Pak Agus. Patra paling kecil sendiri di angkatanku. Sekarang dia satu satunya yang masih kelas 1 SMA.

    Kulanjutkan penjelajahanku ke ruang sebelah. 3 ruang setelah ruang X-3 milik Patra, Riska sedang asyik mendengarkan cerita dari bu Luluk. Ketika aku mendekat, dia sepertinya tahu. Dasar, dia jarang sekali menutup mata batinnya. Dia yang duduk di dekat tembok, menatap ke arahku, lalu tersenyum.

    Iseng iseng kugoda ah, dia. Aku masuk ke dalam kelasnya, lalu duduk di sebelahnya. Pura pura mendengarkan bu Luluk juga. Awalnya dia diam saja, tapi kelihatannya lama lama kesal juga.

    “Heeh… Rangga. Jangan disitu…” bisiknya.
    “Biarin we…”
    “Jangan…” suaranya jadi lebih keras. Bu Luluk sampai mendengar dan menoleh, karena anak yang lain sama sekali tidak bicara.

    “Riska, kamu ngomong sama siapa?”
    “Eh… nggak bu.” Riska nyengir. Mukanya jadi merah sekali. Hahaha….
    “Itu, mas Rangga ya?”
    Eh, ada yang bisa lihat aku juga. Ternyata itu Gina, teman sebangku Riska.

    “Loh, kamu bisa juga?” tanyaku. Dia Cuma mengangguk sambil tersenyum. Padahal anak hitam manis ini dikenal sangat pendiam. Tapi ya aku tidak tahu lagi tentang bakatnya.

    Lucu juga melihat orang lain tidak tahu aku ada. Melihat teman temanku yang biasanya menyapaku diam saja, ketika aku melintas, memegang, atau melet melet di depan mereka.

    Aku pergi, takut mengganggu mereka belajar. Aku naik lagi ke lantai 3. Nah, itu dia biang dihukumnya aku dan Aji. Dhea sedang santai di dalam kelas, membaca buku. Teman teman sekelasnya kacau balau. Maklum, anak IPS.

    Di sebelah kelasnya, adalah kelasku. Di sebelah kelasku adalah kelas Aji. Dan memang ke tiga kelas itu tidak ada gurunya. Entah kebetulan, atau bagaimana, yang jelas aku merasa lega karena 3 kelas IPS tidak ada gurunya semua.

    Kupejamkan lagi mataku. Pelan pelan, aku merasakan kepalaku seperti melekat di sesuatu. Lanjut, ke dada, perut, tangan dan akhirnya kaki. Lalu, kubuka lagi mataku.

    “Lapo seng kathik ngeraga barang?” Tanya Aji.
    “Nggak, Cuma mau lihat keadaan kelas kita aja. Nggak ada gurunya tuh.”
    “Emang Pak Darsono, bu Estin dan Pak Syamsul kan sering ga ada. 3 3nya wakil kepsek, ya ngga?” jelas Aji. Ya, kuangguki saja. Namanya juga orang khawatir, kan boleh boleh aja Ji.

    “Ya sudah. Sebentar lagi bel. Ayo kalian masuk sana.” Kata Mak Im.
    “Oke, makasih mak.” Kata kami berbarengan. Aku dan Aji langsung melesat, tanpa bayar. Memang, jika kami makan berdua saja, tidak perlu bayar. Kalau makan bareng bareng teman bayar, tapi nanti waktu pulang dikembalikan. Itu peraturan BIN loh, bukan aku.

    Kami sudah sampai atas. Dan tepat ketika kami sampai, bel berbunyi. Rasanya perjalanan dari bawah ramai sekali. Lalu, aku merasakan hawa dingin yang begitu dingin.

    “Ji… kamu ngerasain….”
    “Hawa dingin… iya… biasa kalo kayak gini mau ada perang.”
    “Aaaaaaaa!!!”
    Tiba tiba terdengar teriakan dari arah bawah. Spontan aku dan dan Aji turun ke lantai 2. Kelihatan di kelas Riska, ada seorang anak yang menjerit jerit tidak karuan.

    “Aaaaaaa…..!!!” sekarang terdengar di kelas lain. Aku dan Aji langsung membuka mata batin. Dan apa yang kami lihat?

    Ratusan, mungkin ribuan, jin datang dari langit. Jin jin itu masuk ke kelas X-1 yang ada di lantai paling dasar. Gerombolan jin jin itu dihadang oleh jin jin lain yang membunuhi mereka.

    Tiba tiba, di belakangku terlihat jin laki laki dengan dandanan ala pejuang kemerdekaan berlari di sebelahku. Dia membawa anak istrinya. Lalu seketika memasukkan anak istrinya ke teman Riska yang lain. Dan anak itu pun kesurupan juga.

    “Wadoh, ada yang manggil perewangan, ngga.” Kata Aji.”Gimana nih?”
    “Shit. Ji, kamu cari raja jin dari sini, suruh ngadep ke aku kalo sudah ketemu.”

    Aku masuk ke kelas Riska. Riska diam di tempat. Tapi aku bisa melihat rohnya sedang berada di dekat salah satu dari 2 temannya yang kesurupan. Dia dengan hati hati mengeluarkan jin jin yang ada di dalamnya, lalu mengarahkan mereka ke ujung ruangan, ke daerah yang telah dia pagari sendiri.

    Setelah satu orang berhasil, dia membantu murid satunya. Kemudian dia masukkan ke daerah yang sama juga.

    Dia melihatku, dan langsung kembali ke tubuhnya.
    “Ngga, itu…”
    “Aku tahu. Di luar ada perang antar kerajaan jin. Sekarang kamu panggil Patra dan Dhea. Mak Im juga bilangin untuk bawa rohnya ke sini.” Kataku.

    “Ya.” Riska memegangi kepalanya sebentar. Perhatianku sedikit teralih pada kelas yang begitu kacau. Sepertinya hanya kami yang tenang. Bu Luluk menyuruh murid murid lain untuk mengipasi 2 cewek yang baru saja kemasukan itu.
    Sementara 2 keluarga jin yang baru diselamatkan oleh Riska juga tampak ketakutan.

    Aku melihat keluar, pertempuran benar benar mengerikan. Yang besar menyobek yang kecil, yang kecil membakar yang besar.

    “Apa?”
    Ossh… gila. Tiba tiba Patra sudah ada di sebelah Riska.
    “Banyak anak yang kesurupan Tra. Kamu bisa tolong kan?”
    “Ya, tapi.”
    “Ngga. Aku uda bawa.” Aji datang dengan tergopoh gopoh,”rajanya.”
    Waow… seekor, atau seorang, entahlah, buto alias raksasa dengan rambut yang acak acakan, bermahkota, gigi keluar semua dan runcing, plus mata merah dan kulit hitam masuk ke ruang kelas itu sambil menunduk. Bukan menunduk untuk menghindari pintu sepertinya.

    “Salam, tuan Rangga. Nama saya Lembu Drono” Katanya, dengan suara yang berat, yang hampir tak pernah kudengar di dunia manusia.

    “He, tuan?” aku jelas tidak mengerti. Aku kenal dia saja tidak.
    “Benar, tuan. Anda sudah mengalahkan buto bernama Gemboreno, yang merasuk dalam tubuh Ki Ambar Jiwo. Dia adalah guru saya.”

    “Tapi yang ngalahin itu Aji.”
    “Tuan Aji bilang anda kakaknya, jadi saya juga akan memanggil tuan.” Lah, dia merunduk semakin rendah. Aku melirik Aji, yang Cuma mengangkat bahu. Dhea ada tepat di belakangnya.

    “Okelah, terserah kamu. Sekarang, kamu nurut sama aku?”
    “Benar, tuan. Saya akan melakukan apa saja yang tuan minta.”

    “Kalau gitu, bawa semua anak anak juga wanita ke kelas ini. Aku bakal bikin benteng di sini. Lalu kita kalahkan pendatang itu.”

    “Baik. Bagaimana dengan prajurit prajurit saya?”
    “Suruh mereka pergi. Aku yang urus semuanya.”

    “Siap.” Dia segera menghilang. Aku kembali pada tim ku.
    “Patra, kamu di sini. Riska, kali ini kamu ikut nyerang ya, aku butuh magic magicmu. Aji, Dhea, kita ke UKS, pura pura sakit, trus ….” Aku bisa melihat pandangan mata mereka yang sudah siap membunuh. ”Oke deh. Bergerak….”

    Kami langsung berlari ke luar. Terlihat, jin jin yang kecil kecil mulai keluar dari ruangan sekolah ini. Mereka naik ke atas, melarikan diri. Kemudian jin jin wanita dan anak anak sudah mulai berdatangan ke kelas Riska.

    “Ris, kamu tunggu di depan kelas X-1 ya. Duduk di depan kelas itu, sambil pura pura main hape atau gimana, pokoknya ga keliatan mencurigakan.”

    “Ya.” Jawabnya tegas. Kami berpisah di koridor itu. Riska ke kiri, kea rah kelas X-1. Sementara aku, Dhea dan Aji ke kanan, menuju UKS.

    Ketika kami bertiga datang, sudah ada beberapa anak yang di situ. Kami akhirnya mundur dulu.

    “Dhe, kamu pura pura sakit, terus tidur. Aku dan Aji tidur di masjid aja, di sini terlihat ramai.” Dhea Cuma mengangguk.
    “Aduh… aduh… perutku…” Dhea mulai berakting. Salah seorang anak PMR di situ datang. Sepertinya anak kelas XI
    “Kenapa kak?”
    “Perutku… sakit banget.” Kata Dhea. Tapi ekspresinya sama sekali tidak seperti orang sakit.
    “Nggak meyakinkan…” kata Aji. Aku menepuk jidatku beberapa kali. Dasar….
    “Wes, kita cabut Ji.”

    Perjalanan belum selesai. Kami sekarang mundur terus ke belakang. Kulihat Mak Im sudah ada di depan warungnya. Maksudku, roh Mak Im. Warungnya sudah tutup.
    Ketika melihat kami, dia langsung ikut.
    “Kalian mau kemana?”
    “Masjid.”

    Di masjid, ada beberapa anak yang sedang tiduran juga. Mereka sepertinya tidak peduli dengan keributan yang ada di luar. Maklumlah, mereka batunya sekolah ini.

    Aji menemukan tempat yang agak isis, sejuk, di bawah tumpukan Al Quran, juga sekiranya aman dari gangguan berandal tengik di ujung masjid yang satu lagi, karena terpisah oleh sekat.

    Aku dan Aji segera merebahkan tubuh. Lagi, kurasakan tubuhku mulai mreteli satu per satu.
    “Wes, sekarang gimana?” Tanya Aji. Sekarang aku, Aji dan Mak Im sama sama dalam kondisi roh saja.
    “Sekarang kita hajar mereka.”

    Enaknya roh, adalah kami tidak perlu takut tertabrak benda padat. Kami menembus tembok masjid, dan sudah terlihatlah sekolah kami tercinta. Kulihat pasukan raja Lembu mulai habis, melarikan diri. Sementara pasukan penjajah itu berkumpul di sekitar X-1. Dhea sudah duduk di sebelah Riska.

    Kami berempat mendekat ke sana, dengan melayang tentunya. Riska mengangguk padaku, sebuah tanda bahwa dia sudah mengirimkan tenaga telepatinya ke kepala kami. Penjajah itu segera waspada melihat kedatangan kami.

    “Ngga, mereka ada sekitar 2000.” Kata Riska,
    “Wow… fantastis.” Jawabku, sama sekali tidak takut. Pelan pelan kami berjalan masuk. Walaupun jin jin tinggi besar itu waspada, tapi ketika aku berjalan dengan Dhea, Aji dan Mak Im di belakangku, mereka menyibak. Mungkin mereka tahu bahwa kita ini roh murni, sehingga tenaga kami sama saja dengan yang kami punya di jasad kami.

    Akhirnya aku menemukan biang kerok dari semua ini. Ada seorang cewek yang sedang menangis di dalam ruangan itu. Menangis dengan tersedu sedu sekali. Pasti, tangisannya membuat perewangannya datang.

    Di sebelahnya ada seorang jin yang kuakui cukup cantik, berpakaian ala meneer Belanda tapi berwajah khas jawa, dengan 2 pedang di kanan dan kirinya. Aku yakin, inilah pemimpinnya.

    “Manusia, kamu mau apa?” tanyanya.
    “Kami mau damai. Kalian pergilah, ini bukan daerah kalian.” Jawabku.
    “Tidak bisa. Kami memiliki perjanjian dengan ayah anak ini untuk selalu melindungi dia.”

    “Melindungi dari apa? Toh dia tidak terluka atau disakiti siapapun.” Kata Aji.
    “Kami merasakan bahwa dia sedang kesal sekali. Jadi kami ke sini.”
    “Masak Cuma karena…” tanganku melintang di depan Aji.”Apa?”

    “Ji, kita di sini mencegah pertumpahan darah.” Kataku.”Kalau aku berhasil membuat dia tidak kesal, kalian akan pergi?”

    “Ya.”
    “Dan tidak akan kembali?”
    “Kalau itu kami tidak bisa jamin.” jawabnya dengan nada mengancam.
    “Baik.” Kataku.”Riska, masuk.”

    Riska mulai beranjak dari kursinya. Aku mengerti, dia sedikit ngeri dengan wajah jin jin yang ada di sini ini. Selain tinggi besar dan hijau, wajah mereka sama sekali tidak mirip manusia.
    “Ris…” kataku, ketika dia sudah ada di sebelahku.”Coba tanya anak ini, kenapa dia.”

    “Dia tidak akan menjawab,” kata jin wanita itu.”Dia akan terus menangis seperti ini sampai pingsan… hahahah… dan ketika dia pingsan, dia tidak akan bisa mengusir kami... jadi, kami bisa menguasai daerah ini... hahah”

    “Sialan!!” Aji langsung panas. Tapi Dhea dan Mak Im dengan sigap menahannya.
    “Kalau begitu, terawang dia.” Mata jin wanita itu langsung terbelalak.
    “Hei!! Kalian tidak boleh…”

    Buumm…

    Aji meledakkan wajah jin wanita itu. Riska tampak panic dan ketakutan
    “Riska, ayo…”
    “Ta… tapi…”
    “Kalau kamu tidak terawang dia, mereka akan di sini selamanya. Perjanjian di dunia jin, 1 jam dunia manusia tidak ada pemilik di suatu tempat, akan menjadi miliknya. Itu bukan perjanjian kita dengan Lembu.” Kataku agak keras. Sebenarnya kasihan juga, tapi tidak ada cara lain. Dia satu satunya harapan kami.

    “Ba… baik.” Yah... matanya berkaca kaca. Aku semakin kasihna.

    Tapi dia konsisten. Riska menaruh tangan kanannya di tangan siswi yang setengah tidak sadar itu. Aku yakin pasti butuh waktu, karena siswi itu dikelilingi energy negative.

    “Semuanya, kita harus kasih Riska waktu!!”

    Jin jin itu menyerbu kami dari segala arah. Aji sudah menghilang sendiri, bertarung dengan jin wanita yang baru saja dia ledakkan mukanya. Aku, Dhea dan Mak Im segera bertahan, dengan mengeluarkan teknik yang kami gunakan untuk menyembuhkan orang kesurupan. Tujuannya untuk membuat mereka “memar”, atau bukan luka yang mematikan.

    Tapi jin jin itu seperti tidak ada lelahnya. Sekali kami “pukul”, mereka akan kembali lagi dengan tenaga yang sama, padahal kami sedikit demi sedikit mulai lemah.

    “Riska!! Sudah?!” kataku. Keadaan di sini sudah mengkhawatirkan
    “Sudah. Dia kesal karena buku fisikanya ketinggalan di rumah. Dia diusir pak Djatmiko karena itu.”

    “Owalah… Kamu pinjemin bukunya Patra. Aku hafal jadwalnya.”
    Riska segera bergegas. Tapi keadaan di sini semakin memburuk. Aji tiba tiba berguling guling dengan jin wanita itu.

    “Kamu tangguh juga…” puji Aji pada lawannya. Kalau Aji sudah berkata seperti itu, berarti jin ini benar benar kuat.
    “Tentu, umurku sudah 421 tahun. Tapi kamu juga hebat…”

    Buumm…

    Keduanya dipisahkan oleh sebuah ledakan dari panah Dhea.

    “Jangan dekat dekat saudaraku.” Ketus Dhea, dengan busur tertuju pada jin wanita. Aji segera menyingkir dari gelanggang. Dia tahu, jika Dhea sudah seperti itu, tidak aka nada yang bisa menghentikannya.

    “Woaah… serem serem… “ tukas Aji ketika melihat Dhea yang alisnya sudah menyatu itu.
    “Iya. Hahaha…”

    Terdengar suara langkah kaki yang terburu buru. Riska sudah kembali sembari membawa buku fisika.

    “Hei, jin… siapa nama majikanmu?” tanyaku.
    “Mira Yustin Dinda Suwardi.”
    “Mira…” panggil Riska.”Mira… aku bawa buku fisika nih. Kamu butuh ini kan?” kata Riska dengan lemah lembut. Tapi Mira masih terus menangis.

    “Mira… nanti minta ijin ke pak Djatmiko supaya diijinin masuk,” Mira mulai reda. Tangisnya sedikit berhenti, dan dia mulai mau mengangkat wajahnya.”Aku temenin kok, yah?”

    “Kak… Riska…?”

    Beett….

    Seketika, semua jin jinnya hilang, begitu dia sadar dan berbicara dengan Riska. Dhea terlihat kecewa, karena dia hampir saja membunuh jin wanita penjaga Mira itu.

    Mira mengusap air matanya, dengan sapu tangan Riska. Kemudian, dia menatap kami dengan bingung.

    “Loh… ini…”
    “Ayo, semua.” Kulihat anggota tim mengikutiku memejamkan mata.
    “Itu saudara saudaraku…” kata Riska, tepat ketika aku mulai merasakan kepalaku ada.

    Kubuka mata dengan enggan. Badan rasanya sakit semua. Tentu karena pertarungan itu membekas di memoriku, jadi otakku merespon bahwa dalam kondisi seperti ini seharusnya tubuhku merasakan capek yang luar biasa.

    Aku duduk, masih dengan pegal pegal di kedua telapak tangan, menghadap ke luar. Masjid sekolahku ini tepat di seberang jalan, jadi kami bisa dengan mudah melihat ke jalanan. Di seberang jalanan itu ada beberapa rumah yang tampaknya sudah ada sejak jaman Belanda.

    “Capek, ngga?” Tanya Aji padaku.
    “Capek. Kamu?
    “Nggak terlalu sih. Cuma, jin cewek itu bikin sakit perut. Tembakannya kuat sekali.”

    “Masak?”
    “Iyah. Seandainya ga pernah sparring lawan Nyi Blorong mungkin tadi aku sudah masuk lagi ke jasad.”
    “Hahaha… Ayo.”

    Kami keluar dari masjid dengan santai. Tidak ada yang merisaukanku. Warung Mak Im juga kembali ramai dengan pengunjung. Ketika kami melintas, dia melambaikan tangan sambil tersenyum. Dia pasti juga capek sekali.
    Dhea sudah ada di luar UKS. Pasti menunggu kami.

    “Kamu tadi kenapa kok tiba tiba panas ke jin cewek itu?” Tanya Aji.
    “Nggak suka aja. Naluri wanita.” Jawabnya enteng. Lagi lagi aku Cuma bisa mengangkat bahu jika dia bicara seperti itu.

    Dari X-1, aku lihat Riska membantu
    “Tuan…”

    Whoooaa….. Sialan. Lembu tiba tiba muncul di depanku sambil membungkuk.

    “Ji, kamu bantu Riska sana.” Kataku. Dhea juga mengikuti Aji. Aku memilih masuk ke kamar mandi cowok, karena di sana aku bisa bicara banyak dengan Lembu.

    Lembu mengikuti masuk, dengan mengecilkan ukuran tubuhnya menjadi setinggi aku. Ternyata jika dia tidak berukuran raksasa dia tidak terlalu mengerikan juga.
    “Apa, bu?”

    “Terima kasih tuan. Semua sudah kembali normal. Tuan Patra juga menjaga keluarga kami dengan sangat baik. Tapi apa mereka tidak akan kembali lagi?”

    “Aku akan bicara pada Mira….”
    “Mira?”
    “Mira, siswi yang memanggil pasukan itu ke sini.”
    “Oh… baik.”
    “Jika dia tidak bisa, maka aku akan membuat benteng di sini… bukan aku sih, tapi beberapa temanku.”
    “Baik… saya pamit mundur dulu.” Puff... dan dia menghilang seiring kedipan mataku.

    Huffh… sekali lagi, aku mendapat pengikut yang tidak kuinginkan. Tapi ya sudahlah, ini resiko dari pekerjaanku.
    Aku pergi keluar. Dhea dan Riska sedang membantu Mira keluar dari UKS.

    “Hei…” panggilku pada mereka bertiga.”Mira, kamu sudah kuat bicara… banyak?”
    “Belum lah” Ketus Dhea.”Sabar dong. Nanti setelah pulang sekolah kan bisa…”

    “Perhatian kepada seluruh siswa siswi SMA N 2009 Surabaya,” terdengar suara seorang guru laki laki dari speaker yang ada di seluruh penjuru sekolah.

    ”Dikarenakan adanya kejadian luar biasa hari ini, maka dengan terpaksa pelajaran dihentikan sampai jam ini saja.”

    Teeeettt….. teeeettt….. teeetttt….teeeettt….

    Yak, bel sekolah berbunyi 4 kali.

    “Yeeee….!!!!”
    “Horeee….!!!!”

    Semua siswa berteriak kegirangan. Sebenarnya aku juga ingin, tapi ada Mira, aku jadi malu.

    “Kamu dijemput kan?” tanyaku pada Mira.
    “Iya…”
    “Kami antar ke depan ya?”



    Tolong dikomen, demi perbaikan di masa depan

    NB : Cerita ini hanya karangan semata, jika ada kesamaan atau ketidaksamaan dengan kenyataan mohon dimaafkan
    Last edited by fadillah46; 18-08-09 at 20:25.

  2. Hot Ad

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •