“Aji!! Rangga!! Kalian ini apa apaan!! Bisa bisanya masukin cewek ke kamar mandi cowok?!” ya ya ya… lagi lagi ketemu sama orang ini. Pasti panjang. “Walaupun dia saudara sepupu kalian, kalian tidak boleh seperti itu!!”
Sip. Sip banget. Sekali lagi kuhabiskan setengah jamku yang berharga di depan bu Rara. Guru super cerewet ini sebenarnya baru tahun ini masuk BK. Tapi dia langsung jadi most wanted teacher di sekolah ini.
Semua vandalism anak anak SMAN 2009 Surabaya ini, sekarang bukan lagi Pak Galuh. Sudah tergantikan sama hujatan hujatan kepada orang ini. Sebenarnya tidak salah juga.
“Ji, langsung masuk?” tanyaku pada Aji. Dia mengernyitkan dahi. Oke, dia memang setipe.
“Wah, aku ngerti, lapar kan?”
“Haha… tau aja. Yok.”
Kami pun berjalan menuju kantin sekolah. Untuk kali ini terasa hening sekali. Semua sudah masuk, jadi tinggal kami saja siswa di luar. Dengan pak bon tentu saja, yang sedang bersih bersih got sekolah.
Kanti sekolah terletak di tingkat 1, dekat tangga yang menuju lapangan parker sepeda motor. Begitu sampai sana, ternyata yang buka Cuma Mak Im.
“Mak, krengsengan.” Pesan Aji.
“Aku pecel aja.” Kataku. Tidak sampai 10 menit, kami sudah mendapatkan pesanan kami.
“Mak, tadi kami ngelawan dukun brengkes, Ki Ambar Jiwo.” Kata Aji. Oh ya, aku lupa cerita. Mak Im adalah agen BIN yang menyamar menjadi penjual makanan di sekolahku. Tugas nya di sini adalah mengawasi kami, memastikan kami tidak mendapat masalah. Juga, menjadi tempat curhat kami seperti sekarang ini.
”Ada berita apa tentang orang itu?”
“Kalian pasti dimarahi.”
“Kalau itu kami sudah tahu.” kenapa semua orang membuatku semakin merasa bersalah sih?.”Lainnya?”
“Nggak ada. Ki Ambar Jiwo emang neror Menteri Perhubungan, tapi kalian tahu, dia dibayar seseorang, dan kita belum tahu siapa.”
Ya, ya ya… special force ini memang sangat kurang di apresiasi. Sedikit sekali pujian yang diberikan dari atasan terhadap pekerjaan pekerjaan kami. Tapi, toh kami senang, karena selalu bekerja dengan saudara.
Ketika melihat jam, ternyata sudah pukul 07.51. Segera kupejamkan mata, kemudian mengkonsentrasikan energiku untuk mengeluarkan rohku dari badan.
Badanku terasa sedikit hangat. Terasa bahwa ada sesuatu yang akan lepas dari diriku. Kakiku mulai mati rasa, lalu naik ke perut, dada, hingga akhirnya kepalaku tidak terasa lagi.
Perlahan kubuka mata. Mak Im dan Aji masih ngobrol santai. Sepertinya mereka tidak merasakan kalau aku baru saja pergi meninggalkan jasadku. Ya sudah.
Aku mulai melayang ke lantai 2. Di sana, terlihat Patra sedang belajar matematika dengan Pak Agus. Patra paling kecil sendiri di angkatanku. Sekarang dia satu satunya yang masih kelas 1 SMA.
Kulanjutkan penjelajahanku ke ruang sebelah. 3 ruang setelah ruang X-3 milik Patra, Riska sedang asyik mendengarkan cerita dari bu Luluk. Ketika aku mendekat, dia sepertinya tahu. Dasar, dia jarang sekali menutup mata batinnya. Dia yang duduk di dekat tembok, menatap ke arahku, lalu tersenyum.
Iseng iseng kugoda ah, dia. Aku masuk ke dalam kelasnya, lalu duduk di sebelahnya. Pura pura mendengarkan bu Luluk juga. Awalnya dia diam saja, tapi kelihatannya lama lama kesal juga.
“Heeh… Rangga. Jangan disitu…” bisiknya.
“Biarin we…”
“Jangan…” suaranya jadi lebih keras. Bu Luluk sampai mendengar dan menoleh, karena anak yang lain sama sekali tidak bicara.
“Riska, kamu ngomong sama siapa?”
“Eh… nggak bu.” Riska nyengir. Mukanya jadi merah sekali. Hahaha….
“Itu, mas Rangga ya?”
Eh, ada yang bisa lihat aku juga. Ternyata itu Gina, teman sebangku Riska.
“Loh, kamu bisa juga?” tanyaku. Dia Cuma mengangguk sambil tersenyum. Padahal anak hitam manis ini dikenal sangat pendiam. Tapi ya aku tidak tahu lagi tentang bakatnya.
Lucu juga melihat orang lain tidak tahu aku ada. Melihat teman temanku yang biasanya menyapaku diam saja, ketika aku melintas, memegang, atau melet melet di depan mereka.
Aku pergi, takut mengganggu mereka belajar. Aku naik lagi ke lantai 3. Nah, itu dia biang dihukumnya aku dan Aji. Dhea sedang santai di dalam kelas, membaca buku. Teman teman sekelasnya kacau balau. Maklum, anak IPS.
Di sebelah kelasnya, adalah kelasku. Di sebelah kelasku adalah kelas Aji. Dan memang ke tiga kelas itu tidak ada gurunya. Entah kebetulan, atau bagaimana, yang jelas aku merasa lega karena 3 kelas IPS tidak ada gurunya semua.
Kupejamkan lagi mataku. Pelan pelan, aku merasakan kepalaku seperti melekat di sesuatu. Lanjut, ke dada, perut, tangan dan akhirnya kaki. Lalu, kubuka lagi mataku.
“Lapo seng kathik ngeraga barang?” Tanya Aji.
“Nggak, Cuma mau lihat keadaan kelas kita aja. Nggak ada gurunya tuh.”
“Emang Pak Darsono, bu Estin dan Pak Syamsul kan sering ga ada. 3 3nya wakil kepsek, ya ngga?” jelas Aji. Ya, kuangguki saja. Namanya juga orang khawatir, kan boleh boleh aja Ji.
“Ya sudah. Sebentar lagi bel. Ayo kalian masuk sana.” Kata Mak Im.
“Oke, makasih mak.” Kata kami berbarengan. Aku dan Aji langsung melesat, tanpa bayar. Memang, jika kami makan berdua saja, tidak perlu bayar. Kalau makan bareng bareng teman bayar, tapi nanti waktu pulang dikembalikan. Itu peraturan BIN loh, bukan aku.
Kami sudah sampai atas. Dan tepat ketika kami sampai, bel berbunyi. Rasanya perjalanan dari bawah ramai sekali. Lalu, aku merasakan hawa dingin yang begitu dingin.
“Ji… kamu ngerasain….”
“Hawa dingin… iya… biasa kalo kayak gini mau ada perang.”
“Aaaaaaaa!!!”
Tiba tiba terdengar teriakan dari arah bawah. Spontan aku dan dan Aji turun ke lantai 2. Kelihatan di kelas Riska, ada seorang anak yang menjerit jerit tidak karuan.
“Aaaaaaa…..!!!” sekarang terdengar di kelas lain. Aku dan Aji langsung membuka mata batin. Dan apa yang kami lihat?
Ratusan, mungkin ribuan, jin datang dari langit. Jin jin itu masuk ke kelas X-1 yang ada di lantai paling dasar. Gerombolan jin jin itu dihadang oleh jin jin lain yang membunuhi mereka.
Tiba tiba, di belakangku terlihat jin laki laki dengan dandanan ala pejuang kemerdekaan berlari di sebelahku. Dia membawa anak istrinya. Lalu seketika memasukkan anak istrinya ke teman Riska yang lain. Dan anak itu pun kesurupan juga.
“Wadoh, ada yang manggil perewangan, ngga.” Kata Aji.”Gimana nih?”
“Shit. Ji, kamu cari raja jin dari sini, suruh ngadep ke aku kalo sudah ketemu.”
Aku masuk ke kelas Riska. Riska diam di tempat. Tapi aku bisa melihat rohnya sedang berada di dekat salah satu dari 2 temannya yang kesurupan. Dia dengan hati hati mengeluarkan jin jin yang ada di dalamnya, lalu mengarahkan mereka ke ujung ruangan, ke daerah yang telah dia pagari sendiri.
Setelah satu orang berhasil, dia membantu murid satunya. Kemudian dia masukkan ke daerah yang sama juga.
Dia melihatku, dan langsung kembali ke tubuhnya.
“Ngga, itu…”
“Aku tahu. Di luar ada perang antar kerajaan jin. Sekarang kamu panggil Patra dan Dhea. Mak Im juga bilangin untuk bawa rohnya ke sini.” Kataku.
“Ya.” Riska memegangi kepalanya sebentar. Perhatianku sedikit teralih pada kelas yang begitu kacau. Sepertinya hanya kami yang tenang. Bu Luluk menyuruh murid murid lain untuk mengipasi 2 cewek yang baru saja kemasukan itu.
Sementara 2 keluarga jin yang baru diselamatkan oleh Riska juga tampak ketakutan.
Aku melihat keluar, pertempuran benar benar mengerikan. Yang besar menyobek yang kecil, yang kecil membakar yang besar.
“Apa?”
Ossh… gila. Tiba tiba Patra sudah ada di sebelah Riska.
“Banyak anak yang kesurupan Tra. Kamu bisa tolong kan?”
“Ya, tapi.”
“Ngga. Aku uda bawa.” Aji datang dengan tergopoh gopoh,”rajanya.”
Waow… seekor, atau seorang, entahlah, buto alias raksasa dengan rambut yang acak acakan, bermahkota, gigi keluar semua dan runcing, plus mata merah dan kulit hitam masuk ke ruang kelas itu sambil menunduk. Bukan menunduk untuk menghindari pintu sepertinya.
“Salam, tuan Rangga. Nama saya Lembu Drono” Katanya, dengan suara yang berat, yang hampir tak pernah kudengar di dunia manusia.
“He, tuan?” aku jelas tidak mengerti. Aku kenal dia saja tidak.
“Benar, tuan. Anda sudah mengalahkan buto bernama Gemboreno, yang merasuk dalam tubuh Ki Ambar Jiwo. Dia adalah guru saya.”
“Tapi yang ngalahin itu Aji.”
“Tuan Aji bilang anda kakaknya, jadi saya juga akan memanggil tuan.” Lah, dia merunduk semakin rendah. Aku melirik Aji, yang Cuma mengangkat bahu. Dhea ada tepat di belakangnya.
“Okelah, terserah kamu. Sekarang, kamu nurut sama aku?”
“Benar, tuan. Saya akan melakukan apa saja yang tuan minta.”
“Kalau gitu, bawa semua anak anak juga wanita ke kelas ini. Aku bakal bikin benteng di sini. Lalu kita kalahkan pendatang itu.”
“Baik. Bagaimana dengan prajurit prajurit saya?”
“Suruh mereka pergi. Aku yang urus semuanya.”
“Siap.” Dia segera menghilang. Aku kembali pada tim ku.
“Patra, kamu di sini. Riska, kali ini kamu ikut nyerang ya, aku butuh magic magicmu. Aji, Dhea, kita ke UKS, pura pura sakit, trus ….” Aku bisa melihat pandangan mata mereka yang sudah siap membunuh. ”Oke deh. Bergerak….”
Kami langsung berlari ke luar. Terlihat, jin jin yang kecil kecil mulai keluar dari ruangan sekolah ini. Mereka naik ke atas, melarikan diri. Kemudian jin jin wanita dan anak anak sudah mulai berdatangan ke kelas Riska.
“Ris, kamu tunggu di depan kelas X-1 ya. Duduk di depan kelas itu, sambil pura pura main hape atau gimana, pokoknya ga keliatan mencurigakan.”
“Ya.” Jawabnya tegas. Kami berpisah di koridor itu. Riska ke kiri, kea rah kelas X-1. Sementara aku, Dhea dan Aji ke kanan, menuju UKS.
Ketika kami bertiga datang, sudah ada beberapa anak yang di situ. Kami akhirnya mundur dulu.
“Dhe, kamu pura pura sakit, terus tidur. Aku dan Aji tidur di masjid aja, di sini terlihat ramai.” Dhea Cuma mengangguk.
“Aduh… aduh… perutku…” Dhea mulai berakting. Salah seorang anak PMR di situ datang. Sepertinya anak kelas XI
“Kenapa kak?”
“Perutku… sakit banget.” Kata Dhea. Tapi ekspresinya sama sekali tidak seperti orang sakit.
“Nggak meyakinkan…” kata Aji. Aku menepuk jidatku beberapa kali. Dasar….
“Wes, kita cabut Ji.”
Perjalanan belum selesai. Kami sekarang mundur terus ke belakang. Kulihat Mak Im sudah ada di depan warungnya. Maksudku, roh Mak Im. Warungnya sudah tutup.
Ketika melihat kami, dia langsung ikut.
“Kalian mau kemana?”
“Masjid.”
Di masjid, ada beberapa anak yang sedang tiduran juga. Mereka sepertinya tidak peduli dengan keributan yang ada di luar. Maklumlah, mereka batunya sekolah ini.
Aji menemukan tempat yang agak isis, sejuk, di bawah tumpukan Al Quran, juga sekiranya aman dari gangguan berandal tengik di ujung masjid yang satu lagi, karena terpisah oleh sekat.
Aku dan Aji segera merebahkan tubuh. Lagi, kurasakan tubuhku mulai mreteli satu per satu.
“Wes, sekarang gimana?” Tanya Aji. Sekarang aku, Aji dan Mak Im sama sama dalam kondisi roh saja.
“Sekarang kita hajar mereka.”
Enaknya roh, adalah kami tidak perlu takut tertabrak benda padat. Kami menembus tembok masjid, dan sudah terlihatlah sekolah kami tercinta. Kulihat pasukan raja Lembu mulai habis, melarikan diri. Sementara pasukan penjajah itu berkumpul di sekitar X-1. Dhea sudah duduk di sebelah Riska.
Kami berempat mendekat ke sana, dengan melayang tentunya. Riska mengangguk padaku, sebuah tanda bahwa dia sudah mengirimkan tenaga telepatinya ke kepala kami. Penjajah itu segera waspada melihat kedatangan kami.
“Ngga, mereka ada sekitar 2000.” Kata Riska,
“Wow… fantastis.” Jawabku, sama sekali tidak takut. Pelan pelan kami berjalan masuk. Walaupun jin jin tinggi besar itu waspada, tapi ketika aku berjalan dengan Dhea, Aji dan Mak Im di belakangku, mereka menyibak. Mungkin mereka tahu bahwa kita ini roh murni, sehingga tenaga kami sama saja dengan yang kami punya di jasad kami.
Akhirnya aku menemukan biang kerok dari semua ini. Ada seorang cewek yang sedang menangis di dalam ruangan itu. Menangis dengan tersedu sedu sekali. Pasti, tangisannya membuat perewangannya datang.
Di sebelahnya ada seorang jin yang kuakui cukup cantik, berpakaian ala meneer Belanda tapi berwajah khas jawa, dengan 2 pedang di kanan dan kirinya. Aku yakin, inilah pemimpinnya.
“Manusia, kamu mau apa?” tanyanya.
“Kami mau damai. Kalian pergilah, ini bukan daerah kalian.” Jawabku.
“Tidak bisa. Kami memiliki perjanjian dengan ayah anak ini untuk selalu melindungi dia.”
“Melindungi dari apa? Toh dia tidak terluka atau disakiti siapapun.” Kata Aji.
“Kami merasakan bahwa dia sedang kesal sekali. Jadi kami ke sini.”
“Masak Cuma karena…” tanganku melintang di depan Aji.”Apa?”
“Ji, kita di sini mencegah pertumpahan darah.” Kataku.”Kalau aku berhasil membuat dia tidak kesal, kalian akan pergi?”
“Ya.”
“Dan tidak akan kembali?”
“Kalau itu kami tidak bisa jamin.” jawabnya dengan nada mengancam.
“Baik.” Kataku.”Riska, masuk.”
Riska mulai beranjak dari kursinya. Aku mengerti, dia sedikit ngeri dengan wajah jin jin yang ada di sini ini. Selain tinggi besar dan hijau, wajah mereka sama sekali tidak mirip manusia.
“Ris…” kataku, ketika dia sudah ada di sebelahku.”Coba tanya anak ini, kenapa dia.”
“Dia tidak akan menjawab,” kata jin wanita itu.”Dia akan terus menangis seperti ini sampai pingsan… hahahah… dan ketika dia pingsan, dia tidak akan bisa mengusir kami... jadi, kami bisa menguasai daerah ini... hahah”
“Sialan!!” Aji langsung panas. Tapi Dhea dan Mak Im dengan sigap menahannya.
“Kalau begitu, terawang dia.” Mata jin wanita itu langsung terbelalak.
“Hei!! Kalian tidak boleh…”
Buumm…
Aji meledakkan wajah jin wanita itu. Riska tampak panic dan ketakutan
“Riska, ayo…”
“Ta… tapi…”
“Kalau kamu tidak terawang dia, mereka akan di sini selamanya. Perjanjian di dunia jin, 1 jam dunia manusia tidak ada pemilik di suatu tempat, akan menjadi miliknya. Itu bukan perjanjian kita dengan Lembu.” Kataku agak keras. Sebenarnya kasihan juga, tapi tidak ada cara lain. Dia satu satunya harapan kami.
“Ba… baik.” Yah... matanya berkaca kaca. Aku semakin kasihna.
Tapi dia konsisten. Riska menaruh tangan kanannya di tangan siswi yang setengah tidak sadar itu. Aku yakin pasti butuh waktu, karena siswi itu dikelilingi energy negative.
“Semuanya, kita harus kasih Riska waktu!!”
Jin jin itu menyerbu kami dari segala arah. Aji sudah menghilang sendiri, bertarung dengan jin wanita yang baru saja dia ledakkan mukanya. Aku, Dhea dan Mak Im segera bertahan, dengan mengeluarkan teknik yang kami gunakan untuk menyembuhkan orang kesurupan. Tujuannya untuk membuat mereka “memar”, atau bukan luka yang mematikan.
Tapi jin jin itu seperti tidak ada lelahnya. Sekali kami “pukul”, mereka akan kembali lagi dengan tenaga yang sama, padahal kami sedikit demi sedikit mulai lemah.
“Riska!! Sudah?!” kataku. Keadaan di sini sudah mengkhawatirkan
“Sudah. Dia kesal karena buku fisikanya ketinggalan di rumah. Dia diusir pak Djatmiko karena itu.”
“Owalah… Kamu pinjemin bukunya Patra. Aku hafal jadwalnya.”
Riska segera bergegas. Tapi keadaan di sini semakin memburuk. Aji tiba tiba berguling guling dengan jin wanita itu.
“Kamu tangguh juga…” puji Aji pada lawannya. Kalau Aji sudah berkata seperti itu, berarti jin ini benar benar kuat.
“Tentu, umurku sudah 421 tahun. Tapi kamu juga hebat…”
Buumm…
Keduanya dipisahkan oleh sebuah ledakan dari panah Dhea.
“Jangan dekat dekat saudaraku.” Ketus Dhea, dengan busur tertuju pada jin wanita. Aji segera menyingkir dari gelanggang. Dia tahu, jika Dhea sudah seperti itu, tidak aka nada yang bisa menghentikannya.
“Woaah… serem serem… “ tukas Aji ketika melihat Dhea yang alisnya sudah menyatu itu.
“Iya. Hahaha…”
Terdengar suara langkah kaki yang terburu buru. Riska sudah kembali sembari membawa buku fisika.
“Hei, jin… siapa nama majikanmu?” tanyaku.
“Mira Yustin Dinda Suwardi.”
“Mira…” panggil Riska.”Mira… aku bawa buku fisika nih. Kamu butuh ini kan?” kata Riska dengan lemah lembut. Tapi Mira masih terus menangis.
“Mira… nanti minta ijin ke pak Djatmiko supaya diijinin masuk,” Mira mulai reda. Tangisnya sedikit berhenti, dan dia mulai mau mengangkat wajahnya.”Aku temenin kok, yah?”
“Kak… Riska…?”
Beett….
Seketika, semua jin jinnya hilang, begitu dia sadar dan berbicara dengan Riska. Dhea terlihat kecewa, karena dia hampir saja membunuh jin wanita penjaga Mira itu.
Mira mengusap air matanya, dengan sapu tangan Riska. Kemudian, dia menatap kami dengan bingung.
“Loh… ini…”
“Ayo, semua.” Kulihat anggota tim mengikutiku memejamkan mata.
“Itu saudara saudaraku…” kata Riska, tepat ketika aku mulai merasakan kepalaku ada.
Kubuka mata dengan enggan. Badan rasanya sakit semua. Tentu karena pertarungan itu membekas di memoriku, jadi otakku merespon bahwa dalam kondisi seperti ini seharusnya tubuhku merasakan capek yang luar biasa.
Aku duduk, masih dengan pegal pegal di kedua telapak tangan, menghadap ke luar. Masjid sekolahku ini tepat di seberang jalan, jadi kami bisa dengan mudah melihat ke jalanan. Di seberang jalanan itu ada beberapa rumah yang tampaknya sudah ada sejak jaman Belanda.
“Capek, ngga?” Tanya Aji padaku.
“Capek. Kamu?
“Nggak terlalu sih. Cuma, jin cewek itu bikin sakit perut. Tembakannya kuat sekali.”
“Masak?”
“Iyah. Seandainya ga pernah sparring lawan Nyi Blorong mungkin tadi aku sudah masuk lagi ke jasad.”
“Hahaha… Ayo.”
Kami keluar dari masjid dengan santai. Tidak ada yang merisaukanku. Warung Mak Im juga kembali ramai dengan pengunjung. Ketika kami melintas, dia melambaikan tangan sambil tersenyum. Dia pasti juga capek sekali.
Dhea sudah ada di luar UKS. Pasti menunggu kami.
“Kamu tadi kenapa kok tiba tiba panas ke jin cewek itu?” Tanya Aji.
“Nggak suka aja. Naluri wanita.” Jawabnya enteng. Lagi lagi aku Cuma bisa mengangkat bahu jika dia bicara seperti itu.
Dari X-1, aku lihat Riska membantu
“Tuan…”
Whoooaa….. Sialan. Lembu tiba tiba muncul di depanku sambil membungkuk.
“Ji, kamu bantu Riska sana.” Kataku. Dhea juga mengikuti Aji. Aku memilih masuk ke kamar mandi cowok, karena di sana aku bisa bicara banyak dengan Lembu.
Lembu mengikuti masuk, dengan mengecilkan ukuran tubuhnya menjadi setinggi aku. Ternyata jika dia tidak berukuran raksasa dia tidak terlalu mengerikan juga.
“Apa, bu?”
“Terima kasih tuan. Semua sudah kembali normal. Tuan Patra juga menjaga keluarga kami dengan sangat baik. Tapi apa mereka tidak akan kembali lagi?”
“Aku akan bicara pada Mira….”
“Mira?”
“Mira, siswi yang memanggil pasukan itu ke sini.”
“Oh… baik.”
“Jika dia tidak bisa, maka aku akan membuat benteng di sini… bukan aku sih, tapi beberapa temanku.”
“Baik… saya pamit mundur dulu.” Puff... dan dia menghilang seiring kedipan mataku.
Huffh… sekali lagi, aku mendapat pengikut yang tidak kuinginkan. Tapi ya sudahlah, ini resiko dari pekerjaanku.
Aku pergi keluar. Dhea dan Riska sedang membantu Mira keluar dari UKS.
“Hei…” panggilku pada mereka bertiga.”Mira, kamu sudah kuat bicara… banyak?”
“Belum lah” Ketus Dhea.”Sabar dong. Nanti setelah pulang sekolah kan bisa…”
“Perhatian kepada seluruh siswa siswi SMA N 2009 Surabaya,” terdengar suara seorang guru laki laki dari speaker yang ada di seluruh penjuru sekolah.
”Dikarenakan adanya kejadian luar biasa hari ini, maka dengan terpaksa pelajaran dihentikan sampai jam ini saja.”
Teeeettt….. teeeettt….. teeetttt….teeeettt….
Yak, bel sekolah berbunyi 4 kali.
“Yeeee….!!!!”
“Horeee….!!!!”
Semua siswa berteriak kegirangan. Sebenarnya aku juga ingin, tapi ada Mira, aku jadi malu.
“Kamu dijemput kan?” tanyaku pada Mira.
“Iya…”
“Kami antar ke depan ya?”
Share This Thread