Page 1 of 2 12 LastLast
Results 1 to 15 of 28

Thread: Share Cerpen

http://idgs.in/18147
  1. #1
    untouch's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Location
    Jakarta
    Posts
    242
    Points
    316.00
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Smile Share Cerpen

    To Die for You

    "Hai, sedang apa di sini?" suara yang tidak asing terdengar mendekat ke arahku.

    Kulempar sebongkah batu kecil yang kugenggam ke dalam danau di depanku.

    Sekawanan bebek berenang menjauh dari lokasi yang baru saja menjadi sasaran batu dari tanganku.

    "Kau menakuti mereka," Cathy mengikutiku duduk di rumput.

    "Ah, aku tidak bermaksud begitu."

    "Kamu belum menjawab pertanyaanku."

    "Tidak kah sudah jelas? Aku sedang duduk di sini, melihat danau."

    "Hahaha, bukan jawaban yang kumaksud. Tapi sudah lah."

    Seekor burung kecil terbang mendekatiku. Cantik sekali, putih bersih dengan segaris warna orange di sayapnya.

    "Hai, kawan, terbanglah ke tempat para bebek itu, sampaikan permintaan maafku pada mereka, katakan aku tidak bermaksud mengejutkan mereka, oke?"

    Dan burung kecil itu terbang ke arah danau, seakan mengerti perkataanku.

    "Puas? Aku sudah mengirimkan utusan permintaan maaf."

    Cathy tertawa kecil.

    "Kamu sendiri sedang apa di sini?"

    "Oh, aku bermaksud melukis danau ini."

    "Tugas kuliahmu?"

    "Ah tidak, kali ini bukan tugas kuliah. Cuma sedang ingin melukis."

    "Nice."

    "Bagaimana kuliahmu?"

    "Yah, begitulah. Tidak banyak yang terjadi. Cuma menghitung angka."

    "Kamu terdengar seperti tidak menikmatinya."

    "Aku menikmatinya. Ini hidupku. Cuma memang aku tidak bisa menunjukkan hasil kerjaku seperti kamu bisa mempertontonkan lukisan-lukisanmu. Hasil kerjaku cuma angka, bukan sesuatu yang bisa dimengerti kebanyakan orang."

    "Hey, aku tidak sembarangan mempertontonkan lukisan."

    Aku tertawa.

    "Setidaknya hasil kerjamu lebih terlihat, Cath. Lebih visual."

    "Ya, itu benar."

    Aku menerawang melihat ke langit di atasku.

    "Having a bad day?" Cathy bertanya hati-hati.

    Aku diam. Kulempar lagi sebongkah batu ke danau, kali ini lebih jauh, agar tidak mengganggu kawanan bebek yang tadi.

    "Kuanggap itu jawaban iya."

    "Sudahlah, kadang memang beginilah aku. Aku akan tenang setelah duduk di sini cukup lama. Hey, mulailah melukis, aku ingin melihat hasilnya."

    "Hahaha, tenang, tenang, aku sedang bersiap-siap." Cathy mengeluarkan perangkat lukis dari dalam tasnya.

    Mengamati Cathy bersiap-siap melukis selalu menjadi pengalaman menarik untukku.

    "Ben..." Cathy meletakkan pensilnya.

    Aku menunggu Cathy melanjutkan kata-katanya.

    "Pernahkah kamu membayangkan akan jadi seperti apa kamu di masa depan?"

    "Hmmm, kurasa tidak banyak berubah. Aku akan bekerja di kantor sebagai pengganti pergi kuliah. Aku akan berkeluarga. Tiap hari Minggu aku akan membawa anak-anakku berjalan-jalan menikmati alam. Seperti aku sekarang. Aku tidak ingin mereka menjadi manusia yang tenggelam dalam kenyamanan teknologi."

    "Hmmm, sepertinya kamu sudah merencanakan semuanya."

    "Bukan rencana, Cath. Cuma prinsip."

    "Kadang aku bertanya, apakah aku akan punya masa depan itu."

    "Kenapa tidak?"

    "Tidak akan ada seseorang yang mau membuang waktunya untuk seorang yang tinggal menghitung sisa hari kehidupannya."

    "Kamu pasti akan menemukannya, Cath. Cuma belum saatnya. Akan ada seorang lelaki yang menjemputmu layaknya seorang ksatria menjemput seorang putri raja, dan membawamu hidup bahagia selamanya."

    Cathy tersenyum kecil.

    "Ayolah, hidup ini akan indah kalau kita menghadapinya dengan senyum. Aku rasa aku punya ide lebih bagus untuk objek lukisanmu hari ini. Semalam aku bermimpi pergi ke sebuah tempat dimana terdapat sebuah jembatan yang panjang, dari kayu, dan jembatan itu menyeberangkan orang-orang dari sebuah sungai yang sangat jauh di bawah. Ngeri sekali kalau sampai seseorang jatuh di sana."

    "Wah, aku tidak mau melewati jembatan seperti itu."

    "Tapi dari atas jembatan aku bisa melihat hamparan hutan yang sangat luas di kejauhan. Kamu pasti suka, Cath. Andai aku bisa memperlihatkannya padamu. Jari-jarimu pasti dapat mengabadikannya dalam lukisan."

    "Mimpi kadang merefleksikan isi pikiran kita, Ben. Aku tidak melihatnya, tapi kurasa aku sudah bisa membayangkannya."

    Cathy mengambil selembar kertas sketsa.

    "Ayo, ceritakan seperti apa jembatannya."

    "Ummm.. bahannya dari kayu potongan. Kurasa warnanya agak lebih gelap dari kayu mentah biasa. Diikat dengan tali besar. Lebar jembatannya sekitar dua meter. Di kiri kanan ada pegangan yang dibuat dari tali."

    "Oke, bagus. Lalu seperti apa kedua ujungnya?" Cathy mulai membuat sketsa jembatan di dalam mimpiku.

    "Ujung yang pertama sepertinya terhubung ke sebuah hutan. Aku datang dari ujung yang ini. Di seberang sana sepertinya ada gunung yang tinggi dan sedikit curam."

    "Oke, jadi seperti ini kira-kira. Apakah banyak pohon di gunung itu? Oh, tunggu, biar kutebak, pasti di gunung itu banyak pohon pinus. Betulkah?"

    "Bingo! Betul sekali. Darimana kamu tahu itu?"

    "Hahaha, lucky guess."

    Cathy tertawa. Goresan pensilnya mulai menggambarkan sebuah objek jembatan di dekat gunung. Mirip sekali dengan isi mimpiku.

    "Serius, bagaimana kamu bisa menebaknya?"

    "Umm, seperti yang kubilang, lucky guess. Tiba-tiba saja terbayang di kepalaku."

    Aku tertawa lagi.

    "Sekarang, seperti apa pemandangan di kejauhan? Apakah sungainya kelihatan?"

    "Hmmm, seingatku di kejauhan ada pantai dengan bebatuan, daerah berpasir, tak jauh dari situ ada wilayah dengan tanaman perdu, dengan beberapa warna-warni. Kurasa itu bunga. Kemudian di sekelilingnya terdapat banyak pohon tinggi."

    Cathy terus menggambar sementara aku terpesona melihat betapa miripnya lukisan Cathy dengan isi mimpiku.

    "Ah, aku hampir lupa, semalam aku menemukan gambar-gambar ini di internet, lalu kucetak." Cathy mengulurkan beberapa lembar kertas dengan cetakan gambar sejumlah ikan langka perairan tropis.

    "Cool !!!" aku mengamati gambar-gambar itu dengan seksama. Aku memang menyukai segala hal tentang ikan.

    "Suka?"

    "Suka sekali," jawabku dengan penuh semangat.

    "Hehehe, aku tahu kamu pasti akan menyukainya."

    "Oh iya, Ben. Aku akan memberitahu kamu sebuah kabar baik."

    "Wah, kabar baik, aku suka kabar baik. Apa itu?"

    "Seseorang bersedia mendonorkan ginjalnya untukku. Dokter bilang kalau operasinya sukses, aku bisa hidup lebih lama."

    "Pasti sukses! Nah, apa kubilang, pasti ada yang akan menolongmu. Kamu akan menikmati hidup yang indah bersama pengeranmu kelak."

    "Sayang sekali aku tidak tahu siapa yang bersedia menjadi donorku. Orang itu tidak bersedia diketahui identitasnya." Setetes air mata menetes dari mata Cathy.

    "Lho, kenapa menangis? Bukankah ini kabar baik yang sudah berbulan-bulan kau tunggu?"

    "I-iya. Aku hanya terharu. Ternyata akhirnya ada seseorang yang mau menolong."

    Aku menyambutnya dengan senyum.

    "Ta-tapi Ben, pendonorku tidak akan mati kan?"

    "Tentu tidak, Cath, seseorang bisa tetap hidup dengan satu ginjal."

    "Syukurlah. Tapi pasti akan berat baginya."

    "Dia pasti telah memikirkannya dengan masak, Cath. Kamu perlu mensyukurinya dengan menjalani hidupmu sebaik mungkin."

    "Kamu benar. Aku akan hidup sebaik-baiknya, tidak boleh menyia-nyiakan pemberian orang."

    Dan jari-jari itu terus bergerak lincah menggambar, merealisasikan tempat yang kulihat dalam mimpiku.

    "Kapan operasinya?"

    "Entahlah, mungkin lusa. Jika pendonorku tidak membatalkan niatnya."

    "Aku rasa dia tidak akan membatalkannya."

    "Darimana kau tahu?"

    "Just a guess," aku tersenyum.

    "Ben…"

    "Ya?"

    "Jika operasiku gagal, maukan kamu menyimpan album lukisan-lukisanku?"

    "Hey, jangan berpikir negatif begitu."

    "A-aku tahu, cuma untuk berjaga-jaga saja."

    "Aku tidak terima andai-andai yang seperti itu."

    "Ayolah, cuma permintaan kecil dariku."

    "Aku pengagum lukisanmu, mana mungkin aku menterlantarkannya. Tapi kamu akan melalui operasi itu dengan selamat. Jadi kurasa aku tidak akan perlu menyimpannya."

    "Hahaha, oke. Janji ya."

    "Berjanjilah untuk tetap optimis, oke? Setelah selesai operasi, kita bertemu lagi di sini, aku akan mengajakmu berkeliling danau dengan perahu."

    "Kedengarannya menyenangkan."

    "Pasti. Dan untuk itu kamu harus segera sembuh."

    "Maukah kamu menemaniku saat operasi, Ben?"

    "Ha?"

    "Atau kamu ada acara lain? Tidak usah dipaksa kalau kamu tidak bisa."

    "Aku akan datang, Cath. Aku janji."

    ~ ~ ~ o ~ ~ ~

    Kamis pagi, hari operasi Cathy. Aku bangun pagi, bersiap puasa, meminum sejumlah pil yang diberikan dokter Thomas saat aku mendaftarkan diri menjadi donor ginjal untuk Cathy.

    "Benson, apa kamu yakin bahwa kamu mau menjadi donor? Kami sudah mengingatkan bahwa operasi Cathy beresiko tinggi. Tidak seperti operasi ginjal pada umumnya." kata-kata itu kembali berdengung di kepalaku.

    Kulangkahkan kakiku ke arah rumah sakit. Lokasinya tidak jauh dari rumahku. Aku sudah berkali-kali datang menjenguk Cathy selama dia dirawat di sana beberapa bulan lalu. Tetapi hari ini rasanya semua lain. Mungkin karena hari ini aku bukan sekedar pengunjung biasa.

    Dokter Thomas menyambutku di ruangannya dengan senyum dan sejumlah dokumen.

    "Selamat pagi, Benson. Ini dokumen-dokumen yang harus kamu tandatangani. Ada sejumlah surat pernyataan yang harus ditulis sebelum pelaksanaan operasi."

    Dokter Thomas tampak sulit melanjutkan kata-katanya.

    "Cathy sungguh beruntung memiliki teman sepertimu. Yang aku tidak mengerti, kenapa kamu tidak ingin Cathy tahu kalau kamu adalah pendonornya?"

    Aku diam sejenak.

    "Karena aku tidak mau Cathy merasa berhutang padaku, dokter."

    Aku melanjutkan aktivitasku membaca dokumen-dokumen yang diberikan dokter Thomas dan menandatanganinya.

    "Berapa peluang operasi ini akan berhasil, dokter?"

    "Hanya 60% Ben. Tapi Cathy hanya punya waktu maksimal 2 bulan lagi jika tidak mendapatkan ginjal sehat. Orangtuanya melarang kami untuk memberitahu Cathy soal sisa waktunya. Peluang terbaiknya untuk hidup adalah dengan operasi ini."

    "60%... anda harus berjanji menyelamatkan Cathy, dokter."

    "Pasti, semaksimal mungkin. Yang saya khawatirkan justru kondisi kamu, Benson. Tubuh kamu tidak terlalu siap. Kamu cuma memenuhi syarat kesehatan minimal untuk menjadi seorang donor."

    "Saya tahu, dokter. Tapi kita sudah menunggu beberapa bulan dan tak seorangpun bersedia menjadi donor Cathy. Jika ditunda lagi kondisi Cathy akan semakin memburuk kan?"

    "Baiklah, kami menghargai keputusanmu. Karena bagaimana pun kamu lolos syarat kesehatan minimal, kami tidak bisa melarangmu."

    Kuserahkan kembali sejumlah dokumen yang sudah kutandatangani.

    "Dokter Thomas, jika sesuatu terjadi pada saya, tolong serahkan beberapa surat ini. Satu untuk orang tua saya, alamatnya ada di amplopnya, dan satu lagi untuk Cathy."

    Dokter Thomas menerima dua amplop surat dariku.

    "Kuharap saya tidak akan perlu memberikan surat ini ke siapa pun selain mengembalikannya padamu seusai operasi."

    "Itu juga yang saya harapkan, dokter. Tapi semua kemungkinan bisa terjadi," aku tersenyum kecil.

    Kami berdua melangkah keluar dari ruangan dokter Thomas. Cathy dan keluarganya sudah datang.

    "Hai, Ben. Kamu sudah datang lebih dulu rupanya."

    "Selamat pagi, Cathy."

    "Kenapa kamu keluar dari ruangan dokter Thomas?"

    "Oh, a-aku sedikit batuk, jadi kupikir sekalian ke sini aku minta resep dari dokter Thomas," aku sedikit tidak siap menjawab pertanyaan ini.

    "Ah iya, dokter Thomas seorang dokter yang hebat."

    Aku tersenyum lega.

    Ayah Cathy menatapku sesaat, kubalas dengan sebuah senyum.

    "Terima kasih," hanya itu yang dibisikkannya ke telingaku saat kami bersama-sama memasuki ruangan operasi.

    "Aku takut, Ben."

    "Semuanya akan berjalan dengan baik, Cath, percayalah."

    Cathy mengangguk kecil.

    "Ingat rencana kita? Seusai operasi ini kita akan keliling danau."

    "Ha, baiklah, awas kalau kamu ingkar janji."

    Dokter Thomas membaringkan Cathy, mulai mempersiapkan obat bius. Seorang dokter lain mempersilakan kami keluar dari ruangan.

    Keluarga Cathy menunggu di depan sementara aku memasuki ruangan lain di sebelah untuk proses persiapan. Sama seperti Cathy, mereka juga mempersiapkan obat bius untukku.

    Aku meminta waktu sebentar sebelum mereka memakaikan masker bius itu di mukaku. Maafkan aku, ayah, ibu. Aku melakukan apa yang menurut aku benar untuk seseorang yang sangat berarti bagiku. Seusai operasi ini aku akan memberitahu kalian tentang Cathy, semoga kalian memaafkan anak yang paling bandel ini. Kupanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Dan selanjutnya semuanya gelap bagiku.

    ~ ~ ~ o ~ ~ ~

    Dear Cathy,

    Maafkan aku kalau kamu sampai harus membaca surat ini.

    Maafkan aku juga aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk menemanimu keliling danau dengan perahu.

    Tapi jangan khawatir. Pada waktunya kamu akan mendapati pangeranmu sendiri menemanimu ke mana pun kau mau. Memberikanmu tawa dan bahagia yang tidak bisa kuberikan padamu.

    Terima kasih untuk hari-hari indah yang sudah kamu berikan untukku. Terima kasih untuk berada di sampingku di saat-saat terberat dalam hidupku. Terima kasih memberikanku tawa dan harapan saat aku nyaris tidak memiliki arah untuk dituju.

    Jauh di dalam hatiku, sebenarnya pernah terpikir sebuah harapan untuk menjadi pangeranmu. Akan tetapi aku melihat masa depanku dan menemukan tidak banyak yang bisa kuberikan padamu. Saat aku kembali ke negaraku, jarak dan waktu akan meneteskan air matamu. Aku ingin selalu menjadi sumber tawa dan ceriamu, bukan sumber sepi dan kerinduanmu. Dan saat itu aku memilih untuk tetap menjadi kawan sejatimu. Tempat dimana aku bisa terus menyinarkan senyum di bibirmu.

    Maaf aku merahasiakan soal donor ini. Jagalah sepotong diriku dengan baik dalam dirimu. Doaku akan selalu menyertaimu.

    Benson.

    Air mata Cathy berlinang membasahi selembar surat yang sedang dibacanya.

    revised version
    special thanks for Tasia and Liping
    for contributing your thoughts about this story
    If a picture paint thousand words of joy
    Living in a loneliness
    Over the distance that separate us
    Very deep feeling in every remaining moments
    Emotion, passion and desire all become one
    You know, with the deepest feeling that I have
    On the day that I met you
    Untill the day you go away, I still love you…

  2. Hot Ad
  3. #2
    RiverLee's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    Hell Or Heaven
    Posts
    1,279
    Points
    1,902.50
    Thanks: 7 / 14 / 11

    Default

    Jangan benci aku, mama



    Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan.


    Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.


    Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.


    Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.


    Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!"


    Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?"


    "Nama saya Elic, Tante."


    "Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"


    Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric...


    Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"


    "Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu." tTpi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak...


    Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric...


    Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.


    Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya...


    Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.


    "Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"


    Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"


    Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."


    Saya pun membaca tulisan di kertas itu...


    "Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."


    Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"


    Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.


    "Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana. Nyonya,dosa anda tidak terampuni!"


    Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata di irlandia utara)
    LOST WATCHER

  4. #3
    RiverLee's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    Hell Or Heaven
    Posts
    1,279
    Points
    1,902.50
    Thanks: 7 / 14 / 11

    Default

    Membeli keajaiban


    Sally baru berumur delapan tahun ketika dia mendengar ibu dan ayahnya sedang berbicara mengenai adik lelakinya, Georgi. Ia sedang menderita sakit yang parah dan mereka telah melakukan apa pun yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan jiwanya. Hanya operasi yang sangat mahal yang sekarang bias menyelamatkan jiwa Georgi.

    Tapi mereka tidak punya biaya untuk itu. Sally mendengar ayahnya berbisik, "Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya sekarang."

    Sally pergi ke tempat tidur dan mengambil celengan dari tempat persembunyiannya. Lalu dikeluarkannya semua isi celengan tersebut ke lantai dan menghitung secara cermat, tiga kali. Nilainya harus benar-benar tepat.

    Dengan membawa uang tersebut, Sally menyelinap keluar dan pergi ke toko obat di sudut jalan. Ia menunggu dengan sabar sampai sang apoteker memberi perhatian. Tapi dia terlalu sibuk dengan orang lain untuk diganggu oleh seorang anak berusia delapan tahun. Sally berusaha menarik perhatian dengan menggoyang-goyangkan kakinya, tapi gagal. Akhirnya dia mengambil uang koin dan melemparkannya ke kaca etalase. Berhasil!

    "Apa yang kamu perlukan?" tanya apoteker tersebut dengan suara marah. "Saya sedang berbicara dengan saudara saya."

    "Tapi, saya ingin berbicara kepadamu mengenai adik saya," Sally menjawab dengan nada yang sama. "Dia sakit... dan saya ingin membeli keajaiban."

    "Apa yang kamu katakan?," tanya sang apoteker.

    "Ayah saya mengatakan hanya keajaiban yang bias menyelamatkan jiwanya sekarang... jadi berapa harga keajaiban itu ?"

    "Kami tidak menjual keajaiban, adik kecil. Saya tidak bisa menolongmu."

    "Dengar, saya mempunyai uang untuk membelinya. Katakan saja berapa harganya."

    Seorang pria berpakaian rapi berhenti dan bertanya, "Keajaiban jenis apa yang dibutuhkan oleh adikmu?"

    "Saya tidak tahu," jawab Sally. Air mata mulai menetes di pipinya. "Saya hanya tahu dia sakit parah dan mama mengatakan bahwa ia membutuhkan operasi. Tapi kedua orang tua saya tidak mampu membayarnya... tapi saya juga mempunyai uang."

    "Berapa uang yang kamu punya ?" tanya pria itu lagi.

    "Satu dollar dan sebelas sen," jawab Sally dengan bangga. "Dan itulah seluruh uang yang saya miliki di dunia ini."

    "Wah, kebetulan sekali," kata pria itu sambil tersenyum. "Satu dollar dan sebelas sen... harga yang tepat untuk membeli keajaiban yang dapat menolong adikmu". Dia Mengambil uang tersebut dan kemudian memegang tangan Sally sambil berkata: "Bawalah saya kepada adikmu. Saya ingin bertemu dengannya dan juga orang tuamu."

    Pria itu adalah Dr. Carlton Armstrong, seorang ahli bedah terkenal. Operasi dilakukannya tanpa biaya dan membutuhkan waktu yang tidak lama sebelum Georgi dapat kembali ke rumah dalam keadaan sehat. Kedua orang tuanya sangat bahagia mendapatkan keajaiban tersebut. "Operasi itu," bisik ibunya, "seperti keajaiban. Saya tidak dapat membayangkan berapa harganya".

    Sally tersenyum. Dia tahu secara pasti berapa harga keajaiban tersebut, satu dollar dan sebelas sen... ditambah dengan keyakinan.
    -------------------------------------------------------------
    Kembalikan tangan Ita, Abah...


    Sepasang suami isteri --seperti pasangan lain di kota-kota besar-- meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah saat bekerja. Anak tunggal keluarga ini, perempuan, berusia tiga setengah tahun, bersendirian di rumah. Acap dia bermain, asyik dengan dunianya sendiri, diabaikan pembantu yang juga sibuk membersihkan rumah.

    Bermainlah dia, berayun-ayun di atas buaian yang dibeli papanya, ataupun memetik bunga, mengejar capung, di halaman luas rumahnya, dengan pagar yang selalu terkunci. Suatu hari, dia melihat sebatang paku berkarat. Tertarik, dia pun mencoret lantai garasi. Tapi, karena lantainya terbuat dari marmer, coretan tidak kelihatan. Tak putus asa, coretan dia pindahkan ke mobil ayahnya, yang baru datang sebulan lalu, mobil mewah berwarna hitam. Coretannya pun tampak jelas. Dia gembira, dengan tanpa lelah, dia tarik garis-garis putih sepanjang mobil itu, dan dia bayangkan, "papa akan senang, mama akan senang..." Ia tahu, menjelang sore, ayahnya akan datang, dengan ibu, sehabis menghadiri undangan. Setelah penuh coretan sisi sebelah kanan, dia beralih ke sebelah kiri mobil. Dia gambar wajah ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari si pembantu rumah.

    Pulang petang itu, terkejut orang tua si anak ini, melihat mobil yang baru dibeli dengan krediti itu, sudah penuh cacat. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini?!"

    Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Wajahnya merah padam ketakutan saat melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi, dia mendengar pertanyaan itu, lebih keras, dan dengan gugup, dia menunduk, "Tidak tahu, Pak..."

    "Tak tahu?! Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?" hardik si isteri lagi.

    Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata, "Ita yang membuat itu abahhh... cantik kan!" katanya sambil memeluk abahnya, ingin bermanja seperti biasa. Si ayah yang hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon bunga raya di depannya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa itu, melolong, kesakitan dan ketakutan.

    Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula punggung tangan anaknya. Si ibu cuma mendiamkan, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman itu. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa? Si bapak cukup rakus memukul-mukul tangan kanan dan kemudian tangan kiri anaknya. Setelah si bapak masuk ke rumah dituruti si ibu, pembantu rumah menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. Dilihatnya telapak tangan dan bpunggung tangan si anak, luka kecil dalam, berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil membersihkan luka itu, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga terjerit-jerit menahan kepedihan saat luka-lukanya itu terkena air. Si pembantu rumah kemudian menidurkan anak kecil itu di kamarnya.

    Si ayah, juga si ibu, seakan tak begitu perduli. Keesokkan harinya, kedua-dua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu. "Oleskan obat saja!" jawab tuannya. Pulang dari kerja, dia tidak bertanya lagi tetnang anaknya, yang biasa selalu menyambutnya dengan pelukan. Ia biarkan anaknya di kamar pembantu. Si bapak mungkin ingin mengajar anaknya. Tiga hari berlalu, tak pernah sekali pun dia menjenguk si anak. Si ibu pun sama, hanya sesekali bertanya kepada pembantu.

    "Ita demam, Bu... " jawap pembantunya ringkas.

    "Kasih minum panadol," jawab si ibu.

    Sebelum masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dia lihat Ita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. "Biar Ita tahu dia telah melakukan kesalahan," bisiknya.

    Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Ita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 tepat," kata majikannya itu, santai.

    Sore itu, Ita pun di bawa ke dokter. Tapi, dokter klinik langsung merujuk ke rumah sakit karena keadaan yang kian serius. Setelah seminggu di rawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu anak itu.

    "Tidak ada pilihan lagi," katanya, dengan suara yang putus asa. Dokter mengusulkan agar kedua tangan anak itu diamputasi kerana gangren yang terjadi sudah terlalu parah. "Lukanya sudah bernanah, parah. Demi menyelamatkan nyawanya kedua tangannya perlu dipotong dari siku ke bawah," jelas dokter.

    Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar. Tapi apa yang dapat mereka katakan. Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si bapak seperti orang gila, menangis tersedan-sedan saat menandatangani surat persetujuan amputasi.

    Keluar dari bilik pembedahan, selepas obat bius, Ita menangis kesakitan. Dia heran melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Abah..., Mama... Ita tidak akan melakukannya lagi. Ita tak mau Ayah pukul. Ita tak mau jahat. Ita sayang Abah... sayang Mama," katanya berulang kali, membuat si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Ita juga sayang Kak Narti..." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuatkan gadis dari Surabaya itu meraung histeris. "Tapi Abah... tolong kembalikan tangan Ita. Untuk apa Abah ambil juga... Bukankah tangan Ita sudah Abag pukul, kenapa diambil.. Ita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Ita mau makan nanti? Bagaimana Ita mau bermain nanti? Ita janji tidak akan mencoret mobil lagi, Abah. Ita janji..." katanya berulang-ulang.

    Serasa copot jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung dia, merangkul Ita. Sementara si Abah, hanya diam, memandangi tangan anaknya, dengan air mata yang jatuh tak putus-putusnya. (kisah sejati, dari Malaysia)

    -------------------------------------------------------------------------------------------------------
    maap bukan cerpen cinta sperti om untouch .. tapi cinta dalam keluarga !!
    Last edited by RiverLee; 11-02-07 at 07:36.
    LOST WATCHER

  5. #4
    untouch's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Location
    Jakarta
    Posts
    242
    Points
    316.00
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Default

    @riverlee
    Gpp kok..judul thread saya rubah aja..jadi semua jenis cerpen boleh..kecuali yg xxx
    Buat yg mau save silahkan aja kok
    Sekalian kalo ada share juga cerita2 lainnya ok ::

    OK lanjut ke cerita pendek berikutnya


    Serangkai Kata Cinta

    Malam yang sungguh indah. Aroma parfum Karin tercium jelas, mengingatkanku kembali pada saat pertemuan kami yang pertama dulu. Ya, lima tahun yang lalu Karin menerima aku menjadi kekasihnya di depan sebuah toko parfum.

    "Roy, kenapa kamu diam?"

    "Ah, tidak, hanya mengenang masa lalu."

    "Ceritakan, apa yang kamu pikirkan."

    "Tidak ada yang spesial, cuma masa-masa awal kebersamaan kita."

    "Sudah lima tahun..." Karin tidak melanjutkan kata-katanya.

    "Ya, sudah lima tahun. Sebentar kah? Lama kah?"

    "Sudah cukup lama, menurutku. Menurut kamu bagaimana?"

    "Tergantung..."

    "Apa maksudnya?"

    "Ada saat-saat dimana aku merasa kita sudah banyak melalui berbagai hal bersama. Tetapi ada pula masanya saat aku merasa awal pertemuan kita baru seperti beberapa hari yang lalu saja."

    "Hmmm... bagaimana dengan saat ini?"

    "Entahlah, memperingati 5 tahun sebuah hubungan membuatku merasa tua."

    "Hahaha."

    Kami terdiam sejenak.

    "Aku mencintaimu, Karin."

    "Aku juga."

    Kembali suasana menjadi hening.

    "Ah, lagi-lagi kamu tidak bisa mengatakan apa-apa, Roy. Kamu tidak romantis."

    "Ha? Apa yang harus aku katakan?" setengah kaget aku membela diri mendapat serangan tiba-tiba.

    "Mestinya kamu bisa mengatakan sesuatu, Roy. Sesuatu yang romantis. Seorang perempuan akan senang mendengar pujian tentang bajunya, pujian tentang tatanan rambutnya, atau apa pun yang bisa menyenangkannya."

    "Bajumu bagus, tatanan rambut kamu juga bagus."

    "Bukan seperti itu yang kumaksud, Roy."

    "Lantas bagaimana? Karin, kita sudah bersama cukup lama dan kamu tahu betul aku tidak pandai mengarang kata-kata seperti itu."

    "Aku tahu, Roy. Aku tahu. Hanya saja... kadang aku berharap kamu bisa sesekali saja bersikap romantis untukku. Tidakkah aku berarti buat kamu?"

    "Tentu kamu sangat berarti, sayang. Kamu tahu betapa aku menyayangimu."

    "Ya, aku tahu, hanya kadang aku ingin mendengarnya, Roy. Lelaki lain bisa dengan pandainya memuji seorang gadis dengan mengatakan wajahnya seindah rembulan, lelaki lain mengatakan cintanya sedalam lautan atau seluas samudera."

    "Aku tidak ingin mengatakan wajahmu seindah rembulan, Karin. Permukaan bulan itu terdiri dari banyak kawah dan retakan, buruk sekali kelihatannya, masa aku membandingkan kamu dengan bulan? Percayalah, bulan bukan perumpamaan yang bagus untuk kecantikan. Kemudian kedalaman lautan atau luas samudera, itu semua bisa dihitung, Karin. Tidak sepantasnya dijadikan ukuran sebuah perasaan cinta."

    "A-aku... ah sudahlah, aku capek mendengar segala macam penjelasanmu. Cinta itu perasaan, Roy, bukan ilmu pasti. Kadang ada hal yang tidak perlu dijelaskan seperti itu."

    "Ya, aku tahu, lebih dari tahu bahwa cinta itu perasaan. Tidakkah kau tahu, kita sudah melalui banyak hal bersama. Susah dan senang sudah kita lewati bersama, tidakkah itu cukup menunjukkan seberapa dalam aku mencintaimu? Jelas lebih dari bulan, laut, samudera, atau apa pun itu."

    "Katakan Roy, kenapa kamu bisa lebih romantis dengan kekasihmu sebelumnya. Kenapa denganku tidak bisa?"

    "Karena memang tidak sama, Karin. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi aku yang sekarang memang sudah berubah. Aku memang sudah tidak seperti itu lagi."

    "Apakah karena aku cantik? Sehingga kamu tidak bisa memujiku?" Karin setengah terisak.

    "Bukan, sama sekali bukan. Jangan salah mengerti. Bukan itu penyebabnya."

    "Lalu apa, Roy, apa?"

    "A-aku sendiri tidak tahu, Rin. Yang jelas aku memang berubah. Manusia berubah, Rin. Kadang waktu bisa mengubah seseorang tanpa dia menyadarinya."

    "Apakah suatu hari perasaan cinta kamu juga bisa berubah?"

    "Jawabannya ada di dalam hati kamu, Karin. Kamu lebih tahu jawabannya dibanding aku."

    "Tidak bisakah kamu menjawab ya atau tidak saja?"

    "Justru menurutku jawaban tadi adalah jawaban yang paling benar, Rin. Cinta itu hidup, melibatkan dua pribadi yang dinamis. Kamu akan berubah sejalan dengan waktu, demikian juga aku berubah. Apakah cinta kita akan berubah atau tidak, tergantung dari bagaimana kita berdua mempertahankannya, tergantung bagaimana kita menjaganya selalu hidup dan selalu baru."

    "Lagi-lagi penjelasan yang rumit. Berarti cinta kita suatu hari akan berubah?"

    "Aku tidak pernah menghindari perubahan, Rin. Perubahan bisa berarti lebih baik, bisa lebih buruk. Pada akhirnya seseorang yang menyatakan bahwa cintanya tak akan pernah berubah adalah seseorang yang tidak menyadari arti perkatannya sendiri."

    "Berarti kamu sendiri tidak tahu perubahannya akan ke arah lebih baik atau lebih buruk?"

    "Seperti yang aku katakan tadi, Karin. Aku tidak bisa menjawabnya karena untuk menentukan masa depan sebuah hubungan kasih diperlukan komitmen dua pribadi, bukan hanya satu orang. Jadi aku tidak bisa menjawabnya sendiri. Harus kita berdua yang menjawab pertanyaan itu."

    Lagi-lagi Karin terdiam.

    "Sayang, kita sudah melalui banyak hal yang tidak dilalui pasangan-pasangan lainnya. Dari masa paling sulit hingga momen-momen bahagia sudah kita alami bersama. Saat aku hilang arah tujuan, kamu selalu ada di sisiku, membantuku melalui cobaan-cobaan tersulit. Saat kamu memerlukan, aku akan selalu berada di sisimu. Apakah sepatah dua patah kata rayuan sedemikian perlunya untukmu?"

    "Kadang aku tidak mengerti bagaimana menghadapimu, Roy."

    "Kamu sudah menghadapi aku dengan baik selama lima tahun, Karin sayang."

    "Tahukah kamu, kadang aku iri terhadap banyak gadis lain. Teman-temanku banyak bercerita kepadaku tentang kekasihnya yang romatis. Tidak bolehkah aku mengharapkan seorang Roy yang romantis?"

    "Roy yang romantis sudah tumbuh dewasa, Karin. Aku memandang sebuah hubungan dari sudut pandang yang lebih dalam, bukan lagi cuma sekedar bercumbu rayu dengan kata-kata manis dan bunga."

    "Apakah ketika seseorang menjadi dewasa, dia akan kehilangan romantisme? Kalau memang begitu aku tidak mau jadi dewasa, Roy."

    "Tidak semuanya, Rin. Orang menjadi dewasa dengan cara yang berbeda-beda."

    "Kamu selalu punya jawaban, Roy. Kenapa kamu tidak pernah punya kata-kata manis untukku?"

    "Selamat malam, Tuan. Makanannya sudah siap." Seorang pelayan menghampiri kami dengan ramah. Udang saus mayonaise dan kentang brokoli yang kami pesan tampak sangat menggoda selera.

    Pembicaraan terhenti sebentar dengan kesibukan pelayan menata makanan di meja kami. Sebuah restoran berkelas yang kupilih untuk perayaan lima tahun hubunganku dengan Karin.

    "Makanannya enak," kataku sesaat setelah mencicipi sesendok pertama hidangan kami.

    "Ya, aku senang kita merayakan hari istimewa ini di sini."

    "Maafkan aku, sayang."

    Karin belum menjawab.

    "Kalau memang ini kemauanmu, aku rasa tidak ada salahnya untuk berusaha menjadi lebih romantis. Mungkin akan perlu waktu. Maukah kamu bersabar menunggunya?"

    Karin masih terdiam.

    "Roy..."

    "Ya?"

    "Kalau memang cinta yang tidak pernah berubah itu tidak ada, bisakah setidaknya kamu berjanji akan selalu mencintaiku? Tentang apa yang akan terjadi kemudian, biarlah kita hadapi bersama."

    "Aku berjanji akan selalu mencintaimu, Karin. Aku berjanji untuk membahagiakan kamu, menjalani hidup ini saat bahagia maupun sedih bersamamu."

    "Kamu tidak perlu berubah, Roy. Romantis atau tidak, Karin akan tetap bersama Roy."

    "Terima kasih telah menjadi segalanya bagiku selama lima tahun ini, Karin. Mungkin aku memang tidak lagi pandai bermanis kata, mungkin aku juga tak pandai berkata cinta. Akan tetapi, dengan apa yang aku punya, dengan apa yang aku bisa, aku akan berusaha menjadi yang terbaik, hanya untukmu."

    "Tahukah kamu Roy? Ucapanmu barusan adalah sesuatu yang sangat romantis."

    Aku tersenyum, penuh arti. Kuraih jemari halus pujaan hatiku itu. Seorang gadis yang telah mengisi relung terdalam batinku selama beberapa tahun terakhir. Mengisinya dengan kebersamaan dan kenangan-kenangan manis. Ah, betapa aku seorang lelaki yang beruntung mendapatkan cintanya.

    "Happy anniversary, my dear."

    "Happy anniversary, Roy. Maafkan Karin kalau Karin sering bandel, banyak maunya, dan sering bikin repot Roy."

    "Maafkan aku juga kalau kadang aku mengecewakan kamu."

    Senyum Karin terasa begitu hangat meresap dalam hatiku.

    "Dance?"

    "Sure..."

    Cahaya bulan purnama malam ini terlihat begitu indah di mataku. Alunan musik lembut mengantar langkah kami berdua ke lantai dansa.

    For my dearest
    If a picture paint thousand words of joy
    Living in a loneliness
    Over the distance that separate us
    Very deep feeling in every remaining moments
    Emotion, passion and desire all become one
    You know, with the deepest feeling that I have
    On the day that I met you
    Untill the day you go away, I still love you…

  6. #5
    RiverLee's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    Hell Or Heaven
    Posts
    1,279
    Points
    1,902.50
    Thanks: 7 / 14 / 11

    Default

    ok ikutan lanjut juga yah kk untouch ^^

    Karena kau tulang rusukku...


    Sebuah senja yang sempurna, sepotong donat, dan lagu cinta yang lembut. Adakah yang lebih indah dari itu, bagi sepasang manusia yang memadu kasih? Raka dan Dara duduk di punggung senja itu, berpotong percakapan lewat, beratus tawa timpas, lalu Dara pun memulai meminta kepastian. ya, tentang cinta.

    Dara : Siapa yang paling kamu cintai di dunia ini?

    Raka : Kamu dong?

    Dara : Menurut kamu, aku ini siapa?

    Raka : (Berpikir sejenak, lalu menatap Dara dengan pasti) Kamu tulang rusukku! Ada tertulis, Tuhan melihat bahwa Adam kesepian. Saat Adam tidur, Tuhan mengambil rusuk dari Adam dan menciptakan Hawa. Semua pria mencari tulang rusuknya yang hilang dan saat menemukan wanita untuknya, tidak lagi merasakan sakit di hati."

    Setelah menikah, Dara dan Raka mengalami masa yang indah dan manis untuk sesaat. Setelah itu, pasangan muda ini mulai tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan kepenatan hidup yang kain mendera. Hidup mereka menjadi membosankan. Kenyataan hidup yang kejam membuat mereka mulai menyisihkan impian dan cinta satu sama lain.

    Mereka mulai bertengkar dan pertengkaran itu mulai menjadi semakin panas. Pada suatu hari, pada akhir sebuah pertengkaran, Dara lari keluar rumah. Saat tiba di seberang jalan, dia berteriak, "Kamu nggak cinta lagi sama aku!"

    Raka sangat membenci ketidakdewasaan Dara dan secara spontan balik berteriak, "Aku menyesal kita menikah! Kamu ternyata bukan tulang rusukku!"

    Tiba-tiba Dara menjadi terdiam , berdiri terpaku untuk beberapa saat. Matanya basah. Ia menatap Raka, seakan tak percaya pada apa yang telah dia dengar.

    Raka menyesal akan apa yang sudah dia ucapkan. Tetapi seperti air yang telah tertumpah, ucapan itu tidak mungkin untuk diambil kembali.

    Dengan berlinang air mata, Dara kembali ke rumah dan mengambil barang-barangnya, bertekad untuk berpisah. "Kalau aku bukan tulang rusukmu, biarkan aku pergi. Biarkan kita berpisah dan mencari pasangan sejati masing-masing."

    Lima tahun berlalu.

    Raka tidak menikah lagi, tetapi berusaha mencari tahu akan kehidupan Dara. Dara pernah ke luar negeri, menikah dengan orang asing, bercerai, dan kini kembali ke kota semula. Dan Raka yang tahu semua informasi tentang Dara, merasa kecewa, karena dia tak pernah diberi kesempatan untuk kembali, Dara tak menunggunya.

    Dan di tengah malam yang sunyi, saat Raka meminum kopinya, ia merasakan ada yang sakit di dadanya. Tapi dia tidak sanggup mengakui bahwa dia merindukan Dara.

    Suatu hari, mereka akhirnya kembali bertemu. Di airport, di tempat ketika banyak terjadi pertemuan dan perpisahan, mereka dipisahkan hanya oleh sebuah dinding pembatas, mata mereka tak saling mau lepas.

    Raka : Apa kabar?

    Dara : Baik... ngg.., apakah kamu sudah menemukan rusukmu yang hilang?

    Raka : Belum.

    Dara : Aku terbang ke New York dengan penerbangan berikut.

    Raka : Aku akan kembali 2 minggu lagi. Telpon aku kalau kamu sempat. Kamu tahu nomor telepon kita, belum ada yang berubah. Tidak akan ada yang berubah.

    Dara tersenyum manis, lalu berlalu.

    "Good bye...."

    Seminggu kemudian, Raka mendengar bahwa Dara mengalami kecelakaan, mati. Malam itu, sekali lagi, Raka mereguk kopinya dan kembali merasakan sakit di dadanya. Akhirnya dia sadar bahwa sakit itu adalah karena Dara, tulang rusuknya sendiri, yang telah dengan bodohnya dia patahkan.

    "Kita melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita cintai. Dan akibatnya seringkali adalah fatal"
    LOST WATCHER

  7. #6
    FanzT.-'s Avatar
    Join Date
    Jan 2007
    Location
    dimana2 hati gw seneng kok =P
    Posts
    246
    Points
    300.90
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Default

    Hadiah Cinta Seorang Ibu


    "Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga!

    Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.
    Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh." Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya.
    Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan, "Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya.

    Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata sang ayah.
    Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.

    Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya."
    Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu."
    Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."

    Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah.... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari karena ibumu tidak pernah kehilangan sedikitpun kecantikannya bukan?"

    Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun lebih pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.
    Jangan pernah bilang "I love you" kalau
    kamu tidak
    perduli.Jangan pernah
    menyentuh
    hidup seseorang kalau hal itu akan
    menghancurkan hatinya.
    Yang paling menyedihkan dalam hidup adalah
    menemukan seseorang dan jatuh cinta, hanya
    untuk menemukan bahwa dia bukan untuk kamu
    dan kamu sudah menghabiskan banyak waktu
    untuk orang yang tidak pernah menghargainya.
    Kalau dia tidak "worth it" sekarang, dia
    tidak akan
    pernah "worth it" setahun lagi ataupun
    10 tahun
    lagi. Biarkan dia pergi....

  8. #7

    Join Date
    Oct 2007
    Posts
    37
    Points
    54.20
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Default

    Ucapan Cinta Terakhir
    Oleh: Debbie Smoot
    Sumber: A Second Chicken Soup for the Woman's Soul

    Suami Carol tewas dalam kecelakaan mobil tahun lalu. Jim, yang baru berumur lima puluh dua tahun, sedang mengemudikan mobil ke rumah, dari kantornya. Yang menabraknya adalah seorang remaja yang mabuk berat. Jim tewas seketika. Remaja itu masuk ruang gawat darurat, namun tidak sampai dua jam di sana.

    Ironisnya lagi, hari itu hari ulang tahun Carol yang kelima puluh, dan Jim sudah membeli dua tiket pesawat ke Hawaii. Ia ingin memberi kejutan untuk istrinya. Tapi ia justru tewas gara-gara seorang pengemudi mabuk.

    "Bagaimana kau bisa mengatasi itu?" tanyaku pada Carol, setahun kemudian.

    Mata Carol basah oleh air mata.

    Kupikir aku sudah salah bicara, tapi dengan lembut ia meraih tanganku dan berkata, "Tidak apa-apa. Aku ingin menceritakan padamu. Ketika aku dan Jim menikah, aku berjanji bahwa setiap pagi, sebelum dia berangkat, aku mesti mengatakan bahwa aku mencintainya. Dia juga membuat janji yang sama. Akhirnya hal itu menjadi semacam gurauan di antara kami. Ketika anak-anak mulai lahir, sulit untuk menepati janji itu. Aku ingat aku suka lari ke mobilnya sambil berkata, 'Aku mencintaimu', dengan gigi terkatup rapat kalau aku sedang marah. Kadang aku mengemudi ke kantornya untuk menaruh catatan kecil di mobilnya. Hal itu menjadi tantangan yang lucu. Banyak kenangan kami tentang kebiasaan mengucapkan cinta ini setiap hari, sepanjang kehidupan perkawinan kami. Pada pagi Jim meninggal, ia menaruh kartu ulang tahun di dapur, lalu pergi diam-diam ke mobilnya. Kudengar mesin mobilnya dinyalakan. Jangan coba-coba kabur, ya, pikirku. Aku lari dan menggedor jendela mobilnya, sampai ia membukanya. 'Hari ini, pada ulang tahunku yang kelima puluh, Bapak James E. Garrett, aku, Carol Garrett, ingin menyatakan bahwa aku mencintaimu.' Karena itulah aku bisa tabah menghadapi peristiwa itu. Karena aku tahu bahwa kata-kata terakhir yang kuucapkan pada Jim adalah 'Aku mencintaimu.'"

  9. #8
    3agl3one's Avatar
    Join Date
    Sep 2007
    Posts
    2,594
    Points
    761.00
    Thanks: 68 / 30 / 14

    Default

    Quote Originally Posted by riverlee View Post
    Jangan benci aku, mama



    Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan.


    Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.


    Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.


    Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.


    Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!"


    Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?"


    "Nama saya Elic, Tante."


    "Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"


    Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric...


    Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"


    "Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu." tTpi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak...


    Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric...


    Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.


    Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya...


    Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.


    "Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"


    Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"


    Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."


    Saya pun membaca tulisan di kertas itu...


    "Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."


    Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"


    Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.


    "Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana. Nyonya,dosa anda tidak terampuni!"


    Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata di irlandia utara)
    ini ambilnya dari chicken soup kan kk???
    gw hilang bukunya, untung bisa baca lagi disini

  10. #9
    c3_m4n1e2's Avatar
    Join Date
    Jun 2007
    Posts
    26
    Points
    44.30
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Default

    PANJANG PANJANG BGT...
    fiuh

  11. #10
    bizzard's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Location
    Jakarta
    Posts
    48
    Points
    99.90
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Default Delapan Kebohongan Seorang Ibu Dalam Hidupnya

    Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan
    membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah
    ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna
    sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan
    terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong
    mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

    Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang
    anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan
    saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi
    nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
    "Makanlah nak, aku tidak lapar" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

    Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan
    waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekiat rumah, ibu
    berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan
    bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan
    yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu,
    ibu duduk disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang masih
    menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku
    makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu
    menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan
    cepat menolaknya, ia berkata : "Makanlah nak, aku tidak suka makan
    ikan" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

    Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan
    kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api
    untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang
    untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun
    dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan
    dengan gigihnya melanjutkan pekerjaanny menempel kotak korek api. Aku
    berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus
    kerja." Ibu tersenyum dan berkata :"Cepatlah tidur nak, aku tidak
    capek" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

    Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku
    pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari,
    ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama
    beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah
    selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah
    disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental
    tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental.
    Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk
    ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :"Minumlah nak, aku tidak
    haus!" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

    Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap
    sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu,
    dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita
    pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat
    kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati
    yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar
    maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat
    kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk
    menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan
    nasehat mereka, ibu berkata : "Saya tidak butuh cinta"
    ----------KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

    Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan
    bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak
    mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit
    sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang
    bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu
    memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang
    tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : "Saya
    punya duit" ----------KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

    Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian
    memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika
    berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja
    di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud
    membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik
    hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku "Aku
    tidak terbiasa" ----------KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

    Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker
    lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di
    seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk
    ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya
    setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku
    dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya
    terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas
    betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat
    lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air
    mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti
    ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : "angan menangis anakku,Aku
    tidak kesakitan" ----------KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

    Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta
    menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

    Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa
    tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : " Terima kasih ibu ! "
    Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon
    ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita
    untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita
    yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk
    meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah
    dan ibu yang ada di rumah.
    Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan
    pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas
    apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di
    samping kita.
    Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita?
    Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita
    sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita
    renungkan kembali lagi..
    Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu
    kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata "MENYESAL" di
    kemudian hari.

  12. #11
    Willy Tan's Avatar
    Join Date
    Sep 2007
    Posts
    843
    Points
    1,044.90
    Thanks: 0 / 0 / 0

    Default

    ya memang kasih ibu sepanjang masa..

    ibu itu melakukan kebohongan itu sengaja supaya anaknya tidak sedih atau memikirkan dia..dan tidak khawatir walaupun si ibu itu berbohong..

    maka yang masi punya ibu sayangilah karna dia ga hidup untuk selamanya menemani kalian..
    Alow Its Me Niko14..

    no **** inside..

  13. #12
    akiongakiong's Avatar
    Join Date
    Jan 2008
    Location
    Ada deeeeehhh
    Posts
    1,384
    Points
    1,842.90
    Thanks: 0 / 1 / 1

    Default

    curhat coy curhat....kacau da...

  14. #13
    fadillah46's Avatar
    Join Date
    Dec 2007
    Location
    where the mud is blow up
    Posts
    1,673
    Points
    2,006.30
    Thanks: 1 / 0 / 0

    Default

    ga sebaiknya ditaruh di forum menulis?? kalo ditaruh sana, gw langsung pilih jadi Thread of The Month... pasti deh!!... ^^

  15. #14
    romanstics's Avatar
    Join Date
    Feb 2008
    Location
    DI Kamar Kost
    Posts
    904
    Points
    183.00
    Thanks: 4 / 0 / 0

    Default

    huaaaa gpp de
    menyentuh banget
    hahahaha....

    Ampon Mamaiiiiii.............
    Be The Best - Do The Best


  16. #15
    wisnu93's Avatar
    Join Date
    Oct 2007
    Location
    Lordaeron
    Posts
    2,443
    Points
    3,057.80
    Thanks: 0 / 1 / 1

    Default

    nyentuh bgt
    walau ibu gw bukan tipe gtu
    terkesan kaya ayah malah ibu gw...
    wkwkwk...

Page 1 of 2 12 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •