Author : The_Omicron
Site : www.the-omicron.co.cc
Genre : Tragedy, Fiction
The Silent Utopia is under copyright law © 2009 the-omicron.co.cc
the_omicron presents
The Silent Utopia
Aku kembali lagi ke rumah ini.., rumah yang telah menjadi tempat tinggalku sejak aku dilahirkan. Kupandangi rumah yang berada di depanku ini. Atapnya yang bocor, dengan lubang yang di sekitarnya bernoda kecoklatan pada plafonnya sebagai akibat dari tetesan air hujan yang tak terhalau genting keramik berwarna coklat diatasnya. Tembok dengan cat putih yang kini telah kusam dan pudar, belum lagi ditambah retakan-retakan yang terlihat disana-sini. Halaman yang tak terawat dan penuh rumput liar, serta pagar berkarat yang sejak tadi tengah kugenggam dengan kedua tanganku ini.
Aku.. tak berani lagi memasuki rumah ini, aura suram yang kurasakan menolakku dari memasuki rumah ini. Aku tak mampu membuka pagar ini, dan melangkahkan kakiku menuju pintu yang berada di sana. Dan lagi… ditambah sepucuk surat dari kepala sekolah yang baru saja aku dapatkan. Membuatku semakin berat untuk memasuki rumah ini.
Tiba-tiba, kulihat pintu terbuka, kemudian seorang pria yang tampak kumuh, dengan wajah yang tampak kesal, dan mata yang memancarkan amarah dan kekecewaan yang mendalam, melangkah keluar tanpa keraguan. Semakin langkah tegasnya mendekatiku, semakin membuatku yang berdiri di depan pagar merasa bagaikan sebuah truk akan menabrakku.
Benar saja. Pria itu mendorong pintu pagar tanpa perduli bahwa aku masih disana memegangnya, hingga membuatku jatuh terduduk, tetapi ia tidak mengucapkan sepatah katapun padaku, dan bahkan ia tidak menengok sedikitpun padaku. Pria itu.. adalah Ayahku… Kini ia akan pergi menuju tempat perjudian favoritnya, dan ia tak akan kembali hingga uangnya habis.
Perlahan-lahan, aku bangkit dari jatuhku, kemudian berusaha memaksa diriku melangkahkan kaki ke dalam rumah itu. Kumasuki pintu yang telah terbuka tadi, kemudian kututup pelan-pelan dan kulangkahkan kembali kakiku, melewati ruang dengan seorang wanita yang tengah terduduk menangis di sebuah sofa di depan TV yang tengah menyala. Aku memasuki kamarku. Lalu aku berusaha menutup pintu dengan sehati-hati mungkin, hingga sebisa mungkin tidak menimbulkan suara apapun. Tapi malangnya, angin yang kencang mendorong pintu yang kuharapkan dapat tertutup tanpa suara, menjadi bantingan yang cukup keras untuk terdengar oleh wanita itu. Wanita yang tengah menangis itu, yang mana adalah Ibuku sendiri.
Aku ketakutan, aku panik, bersamaan dengan bunyi langkah kaki yang semakin mendekat, Aku menjauhi pintu itu sebisa mungkin. Pintu terbuka dengan bantingan yang keras, dan kini, Wanita itu, Ibuku, akan melampiaskan rasa kesal dan amarahnya pada Ayahku, dengan cara memukuliku.
Aku terduduk di pojok kamar dengan penuh rasa takut, membayangkan pukulan-pukulan yang akan aku terima, dan setiap hari kudapatkan. Dan setelah puas memukuliku, ia keluar dari kamarku, kemudian kembali menonton TV untuk menonton acara favoritnya, dan meninggalkanku yang tengah duduk dan terdiam dengan lebam dan memar di sekujur tubuhku.
Kehidupan dan keluargaku menjadi seperti ini sejak 3 tahun yang lalu, semenjak Ayahku, seorang manajer di sebuah perusahaan, dipecat dari pekerjaannya, sebagai hasil dari persaingan tak berperi kemanusiaan. Ia difitnah, dijebak telah melakukan korupsi pada uang kantor, dimana pada saat itu jabatannya akan dinaikkan. Kemudian ia didepak, dibuang, dan diusir dari kantor tempat ia mengabdi selama bertahun-tahun.
Setelah itu, ia menderita phobia kerja, dan mengubah prinsip dan pandangan hidupnya secara total, sekarang menurutnya menjadi orang jujur hanya akan membuatmu menderita dan menelan pahitnya kehidupan. Lalu ia mulai mengenal judi, dan saat itulah, saat itu keluargaku mulai hancur. Tempatku tinggal dan berteduh selama ini kini menjadi sangat asing dan menakutkan. Ibuku yang selama ini sangat baik dan ramah, menjadi seorang yang pemarah dan tak segan memukul untuk memuaskan hatinya.
Sementara aku? Aku yang tebiasa dimanja kini dipukuli, sementara aku pindah sekolah karena tak sanggup lagi membayar uang iuran disana, kemudian setelah itu, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan meraih beasiswa, agar aku tak lagi menjadi beban tambahan pada keluargaku. Aku belajar mati-matian hingga tak memiliki waktu untuk berteman, semua demi mencapai sebuah beasiswa.
Dan inilah hasilnya sekarang. Aku gagal mendapatkannya, kemudian aku dikeluarkan dari sekolah karena menunggak iuran selama 1 tahun. Aku bahkan gagal memenuhi janji yang kubuat sendiri.
Surat yang tadi berada di genggamanku kini berada di tangan Ibuku, dan sebentar lagi ia akan kembali lagi dan sekali lagi memukuliku. Aku tak ingin itu terjadi, aku keluar dari kamar ini, dengan langkah yang cepat, hendak keluar dari rumah terkutuk ini dan berlari sejauh-jauhnya, dimana tak ada siapapun yang membuatku seperti ini lagi. Tetapi terlambat. Ia sudah berada di lorong menuju kamarku, menatapku dengan penuh amarah, sekarang pupus sudah harapanku.
Tetapi tidak! Aku tidak mau! Aku berlari menuju kamar mandi yang berada di sebelah kiri kamarku, aku masuk dan menguncinya, aku duduk di kloset dan menangis, memohon agar semua ini segera berakhir, dengan iringan bunyi pukulan di pintu dan teriakan histeris ibuku, terlintas di pikiranku.
“Andai tak ada siapapun, andai tak ada siapapun mungkin aku akan bahagia!”
Kemudian kegelapan menyelimuti pikiranku, hatiku, dan pandangan mataku, kupejamkan mataku.
Tak lama, suasana tiba-tiba menjadi hening, sangat hening, tak terdengar lagi suara pukulan di balik pintu, tak terdengar lagi suara teriakan “Lucy! Cepat Buka Pintunya!” dari balik sana.
Perlahan kubuka kuncinya, dan kugenggam, lalu kuputar kenop pintu dengan hati-hati. Kudorong sedikit, lalu aku mengintip keluar, tak ada siapapun disana. Hanya tersisa sandal yang tadi digunakan oleh Ibuku, tergeletak di depan pintu.
Saat kupastikan tak ada siapapun, kuberanikan diri keluar dari kamar mandi itu, aku kembali menlangkah menuju kamarku, kututup pintu dan aku berbaring, mengingat kembali masa-masa bahagia kami, saat aku, ayah , dan ibu, masih rukun dan gembira. Air mata menitik kembali, aku menangis, hingga aku terlelap.
Aku terbangun kembali, dan saat kulihat jam yang berdetak di dinding kamarku, aku tahu aku telah tertidur selama 2 jam. Langit dibalik jendela sudah terlihat memerah, dengan awan yang berpendar keunguan, tetapi tak kudengar suara sedikitpun, kecuali suara TV yang dari tadi masih menyala.
Perutku mulai berbunyi, aku butuh makanan, aku turun dari kasurku, kemudian membuka pintu kamarku, melangkah menuju dapur. Sedikit ku melirik ke ruang tengah, Ibuku tak ada disana, hanya TV yang masih menyala dan suasana yang hening yang kulihat, tapi saat itu aku tak peduli.
Setelah aku tak dapat menemukan apapun untuk dimakan dari dapurku, dengan sisa uang di dompetku, aku berniat membeli sepotong roti atau sebungkus mie instan, hanya itu yang bisa kudapatkan dengan sisa uangku ini.
Kubuka pintu depan rumahku. Hening… itulah yang pertama kali kurasakan saat aku berada di luar. Tak terlihat seorangpun, tak terlihat siapapun, dan tak ada suara apapun, kecuali suara desiran angin dan gesekan daun-daun.
Aku melangkah melewati pagar menuju jalanan yang mengarah ke mini market tujuanku. Pada tiap langkah yang kujejakkan, tak kudengar suara apapun, hanya bunyi gema dari langkahku sendirilah yang terdengar, bahkan burung-burung tidak nampak di langit, tiada menghiasi langit senja ini. Tak seekor kucing atau ****** liarpun yang aku temui semenjak keluar dari rumah ini. Aku menjadi takut.
Aku berlari kembali menuju rumahku, lupa akan rasa laparku dan mencari siapapun, apapun organisme yang dapat kutemukan. Kubuka pintu masing-masing kamar, sambil memanggil-manggil siapapun yang dapat menjawab. Nihil. Tak kutemukan ibuku bahkan di sudut ruangan manapun di rumah ini. Aku berlari keluar rumah, menggedor pintu rumah tetanggaku, tetapi, tak ada jawaban sama sekali betapa keraspun aku memukul pintunya. Kudatangi dan kugedor pintu tiap rumah yang dapat terlihat oleh mataku. Tetapi hasilnya sama; tak ada jawaban.
Aku kembali menuju rumahku, lalu aku berusaha menelepon 911. Nihil; tak ada jawaban. Kemudian teman-teman lamaku, dan siapapun yang tercatat di buku telepon dan handphoneku. Tetapi semua sama, tak ada jawaban, bahkan bila kutekan nomer acak pun tak ada yang menjawab.
Kulihat TV yang masih menyala, acara favorit ibuku masih berjalan , kemudian kupindah channel ke stasiun berita dan…..
Hanya terlihat studio yang kosong, tanpa seorangpun yang terlihat.
Kini hanya bunyi dengungan benda elektronik yang menemani telingaku, saat itu aku tersadar pada kenyataan, bahwa kini aku sendirian di muka bumi. Mungkin…
Malam pun tiba, hanya rumah inilah yang bercahaya, aku duduk sendirian di beranda kamarku, menatap langit malam “dunia tanpa siapapun” yang bertaburan bintang-bintang yang berkelap-kelip dan seolah dapat kujangkau dan kuraih dengan tanganku.
Aku berpikir
“Seperti inikah dunia tanpa siapapun? Begitu indah, hingga keindahannya takkan pernah kau saksikan dimanapun juga, tetapi.. kesunyian, keheningan dan kegelapan ini membuatku merasa sangat, sangat kesepian..”
Esok harinya, hari-hari tanpa siapapun mulai kujalani, kini, aku bebas dari segala beban yang pernah kupanggul, aku bebas melakukan apapun, aku bebas mengambil apapun, dunia ini milikku, dan saat inilah aku benar-benar mengetahui arti dari kata “kebebasan”.
Keadaan berjalan lancar, aku senang berada di sini, tanpa siapapun yang menggangguku. Hingga, listrik mulai padam 2 minggu kemudian.. aku tahu suatu saat ini pasti akan terjadi, karena aku tahu tak ada siapapun yang bekerja di pusat pembangkit listrik, sekarang aku telah kehilangan dengungan listrik yang setiap hari menemaniku.
Kini, malam menjadi sangat, sangat sangat sunyi dan gelap. Hanya cahaya dari rembulan yang membuatku tetap ingat masih memiliki sepasang mata.
Sebulan telah berlalu, aku mulai merasa kesepian, tanpa siapapun untuk berbicara, tanpa mendengar suara siapapun, dan tanpa pernah lagi menyentuh siapapun. Aku mulai mencari mahluk lain selain diriku, bahkan aku tak perduli apakah dia hantu ataukah *****. Aku hanya butuh seorang teman.
Setahun telah berlalu, pencarianku tak memberikan hasil, aku mulai merasa gila, kuajak bicara apapun yang dapat kuajak bicara, kubawa boneka manekin dari departement store, dan kuajak bicara, kuhidupkan mesin mobil-mobil yang tertinggal dan menganggap mereka seolah hewan hidup, bahkan aku berbicara dengan film yang kuputar sendiri melalui DVD player yang berada di mobil yang tertinggal.
Sepuluh tahun telah berlalu semenjak kesendirianku, aku muak akan keheningan, kesunyian, kesendirian ini, aku rindu masa-masa sebelum aku berada disini, kini aku rela dipukuli lagi asalkan aku bisa bertemu siapapun. Segala cara sudah kucoba untuk mencari siapapun yang dapat kutemukan, bahkan mengembara dari kota ke kota, tetapi usahaku tidak menghasilkan apapun, sama sekali, bahkan tak seekor semutpun aku temukan, hanya bangunan kosong dan benda mati yang berada disini.
Aku kembali ke rumah yang kusam ini, menanti siapapun, apapun untuk muncul dan menolongku keluar dari kesunyian ini. Frustasi dan Stress serta gaya hidup yang kacau membuat tubuhku hancur, nafasku menjadi sering sesak, kepalaku menjadi sering pusing, bahkan aku sering pingsan karena rasa sakit di dada kiriku ini.
Aku mengambil foto keluarga kami, kemudian aku masuk ke kamar mandi, kembali ke tempat aku datang ke tempat ini, dan kukunci pintunya seperti dulu. Aku duduk kembali di kloset seperti 10 tahun yang lalu. Kupandangi foto yang kugenggam dengan penuh rasa yang bercampur aduk di dalam hatiku, air mata sekali lagi menitik, membasahi foto itu.
Rasa sakit di dada kiriku kembali muncul, tapi kali ini diiringi oleh rasa pusing yang luar biasa di kepalaku, kesadaranku semakin menghilang, pandanganku semakin gelap, mungkinkah aku akan kembali? Ataukah aku akan mati? Ah, apapun yang terjadi, aku tak perduli, asalkan aku bisa bertemu Ayah, dan Ibuku, seperti saat-saat gembira itu, seperti saat-saat sebelum aku terdampar disini, di dunia tanpa siapapun ini.
Kegelapan mulai menyelimuti hatiku dan pandanganku, tetapi kali ini, aku melihat cahaya terang di ujung sana, dan saat aku menoleh ke belakang, kulihat diriku dan dunia itu. Aku tersenyum sedih dan berkata.
“Selamat tinggal Dunia tanpa siapapun, aku menyesal”
Kemudian melangkahkan kakiku menuju cahaya di ujung sana.
Spoiler untuk Epilogue :
Share This Thread