26 Desember 1:21 Pagi
Diam-diam aku mengusap air mata yang menyeruak tanggul mataku. Kuarahkan kursor pada tombol X di sudut kanan atas boks percakapan kita sebagai ganti lambaian tangan di tepian dermaga. Sudah kau angkat sauh itu dan kembali berlayar menuju dermaga tujuanmu. Usai sudah masa singgahmu di dermaga kayu sederhana ini. Dari kemarin sebenarnya bagiku kau sudah mati. Di teras rumahku, dari balik pagar yang kukunci, kutatap dirimu lekat-lekat sekali lagi sebelum kau pergi. Kau yang selalu tersenyum dari balik kemudi, kau yang biasa mendaratkan kecupan manis di dahi sebelum pergi, kau yang seperti biasanya; baru saja menghapus buliran air mata dari pipiku yang sepi…
Di teras rumahku, kumakamkan dirimu di suatu tempat di palung hatiku. Pilihan telah kau jatuhkan dan aku harus surut ke tepian. Dalam sedetik bahagiaku terenggut dan senyumku dicerabut. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan juga untuk merengut. Bukankah memang demikian mekanisme semesta? Ia menuliskan dan membentuk sejarah dunia, manusia dan semesta dalam waktu jutaan tahun namun memang hanya membutuhkan waktu sedetik untuk mengakhiri semuanya. “Maaf, aku memilih dia” , dalam sedetik kalimat itu telah menghancurkan sebuah harapan yang dibangun bertahun-tahun semenjak aku mengenal asa dan kayakinan akan cinta sejati. Dalam sedetik kaupun mati dan aku, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali menerimanya sebagai bagian dari perjalanan yang harus dihadapi. Sebagaimana kupanjatkan do’a ketika memulainya, kuucap pula do’a yang sama ketika mengakhirinya.
“Ya Allah, jadilah segala yang menjadi kehendakMu atasku”
26 Desember 11.00 Siang
Diam-diam aku menghela nafas panjang. Aku heran aku masih saja mengusap air mata diam-diam ketika menyaksikan peristiwa itu, bahkan ketika ia telah berlalu empat tahun seperti saat ini. Layar kaca menayangkan lagi lidah air yang menjulur-julur ganas menggulung apapun yang dilewatinya. Pohon, mobil, manusia, hewan, segala harta, segala cinta, segala nyawa. Di televisi, masih kudengar suara seorang istri yang meraung-raung menangisi suaminya yang baru saja pergi-sementara kamera entah anak atau keponakannya merekam sungai dadakan di depan balkon lantai dua rumahnya. Kudengar pula gemuruh nyanyian air laut menikam jerit tangis ketakutan mereka yang tengah menjejak tanah. Sungguh manusia bagai anai-anai yang menghambur mencari malam. Orang berlari. Berteriak. Menangis. Menangkis. Memanjat. Terperosok. Menarik. Ditarik. Melepaskan genggaman. Meninggalkan. Orang takut mati. Aku pun. Bahkan menyaksikannya di televisipun aku masih gemetar. Terbayangkan olehku andai aku berada disana, menjadi salah satu dari jutaan anai-anai yang diterbangkan saat bumi diguncangkan dan laut disentakkan.
Pagi itu, empat tahun yang lalu di serambi Mekkah detik waktu tiba-tiba merasa amat lapar. Karenanya, ia mulai melahap kehidupan yang terhidang di depannya. Hidup begitu lezat, rasanya begitu enak. Rupanya begitu manis, berwarna-warni menjanjikan kesenangan. Detik terus mengunyah hampir dua ratus ribu kehidupan disana, sebelum akhirnya kekenyangan lalu setelahnya seolah berhenti karena kelelahan. Dalam sedetik, dalam semenit ratusan ribu kebahagiaan dan kehidupan tiba-tiba dicerabut. Tidak ada yang bisa berbuat apa-apa, tak ada yang bisa menahan lajunya uliran waktu. Ia begitu bulletproof, ia tak terbeli, ia tak terganti. Ia hanya singgah sekali. Menepuk bahumu dalam satu ketukan saja lalu langsung berlari pergi dan tak pernah kembali. Bukankah memang demikian mekanisme semesta? Hidup dan mati sama wajarnya. Tak perlu ditangisi dan disesali. Toh hidup begitu indah.Ia menuliskan dan membentuk sejarah dunia, manusia dan semesta dalam waktu jutaan tahun namun memang hanya membutuhkan waktu sedetik untuk mengakhiri semuanya.
Pagi itu aku teringat kamu lagi. Kamu yang datang bagai tsunami ke pantaiku. Menyeret semua kehidupan diatasnya, lalu pamit undur diri dan tak kembali. Kamu bagai detik yang lapar dan lahap. Kumatikan televisi dan kuhapus lagi air mata yang diam-dam jatuh.
“Ya Allah, jadilah segala yang menjadi kehendakMu atasku dan kami semua”
Share This Thread