sbelum dn sesudah maaf apa bila ada ksalahan di dalam tread sya..
thx..b4
Pernah lihat grafiti? Itu lho, tulisan-tulisan yang sering nangkring di tembok-tembok yang dijumpai saat kita lewat jembatan layang atau terowongan jalan. Corat-coret ga jelas, merusak keindahan kota? Eits, tunggu dulu. Grafiti itu bukan sembarang corat-coret tembok, namun merupakan tulisan-tulisan yang dibuat secara artistik, unik, kadang dilengkapi dengan gambar dari aerosol (cat semprot), dibuat dengan perencanaan yang matang dengan memperhatikan kombinasi pewarnaan yang semenarik dan seindah mungkin. Pembuat grafiti ini disebut ‘bomber’. Bagi para bomber, grafiti ini justru merupakan salah satu bentuk seni yang memperindah kota! Grafiti juga bisa dijadikan sebagai sarana para bomber untuk menyuarakan kepedulian mereka akan lingkungan atau realita yang terjadi di negeri ini.
Meskipun para bomber bebas menuangkan kreasi mereka, namun diantara sesama bomber tetap ada kode etik yang harus dipatuhi. Yang terpenting dari kode etik tersebut adalah: sesama bomber dilarang merusak apalagi menimpa grafiti yang dikerjakan oleh bomber lain. Dan masalah inilah yang mengawali novel ringan yang berkisah tentang para bomber ini.
Brantac, nama bomber di Jakarta yang beranggotakan Anjas, Didit, Chandra, Ipung, Gege dan Roni, mendapati grafiti mereka ditimpa oleh bomber lain yang tak dikenal. Tentu saja mereka kesal, marah dan penasaran terhadap bomber pembuat masalah itu. Apalagi ternyata bukan hanya Brantac saja yang mengalami hal ini. Bomber tak dikenal itu juga sempat menimpa grafiti yang dibuat oleh beberapa bomber lainnya.
Api perseteruan mulai tersulut. Puncaknya, terjadi perkelahian di malam saat Anjas dan Roni tanpa sengaja memergoki bomber amatir pengacau itu yang tengah menimpa grafiti milik kelompoknya. Akibatnya, mereka berdua harus bergelut dengan takdir di meja operasi. Nyawa mereka di ujung tanduk. Padahal saat itu Anjas tengah menghitung hari “H” pernikahannya. Dan Roni, anggota Brantac termuda yang masih SMA itu kondisinya lebih kritis, masuk ICU. Entah dari mana biaya perawatannya harus ditebus. Kasihan emak dan adiknya.
Jelas saja anggota Brantac yang lain semakin geram. Mereka berusaha mencari jejak penganiaya Anjas dan Roni. Mereka juga sangat gelisah dan cemas dengan keadaan kedua kawan mereka itu. Saat itu mereka telah mendaftar kompetisi grafiti se-Indonesia yang digelar di Bandung. Gara-gara insiden tersebut, mereka berangkat ke Bandung tanpa Anjas dan Roni. Gara-gara itu juga, mereka hanya bisa mengikuti satu kelompok, padahal awalnya mereka sudah mendaftar untuk dua kelompok, dengan sketsa grafiti hasil kreasi Anjas dan Roni. Mereka bertekad untuk memenangkan hadiah utama kompetisi ini, uang 5 juta rupiah. Mereka harus jadi juara pertama! Harus! Mereka butuh uang itu untuk membantu menebus biaya perawatan Roni.
Berhasilkah mereka menjadi juara pertama?
Yang jelas, disinilah solidaritas dan keajaiban pertemanan diantara Graffiti Lovers dapat kamu temui. Benar-benar menggugah dan mengharukan. Selama membaca novel ini, memang terasa kental sekali ikatan persahabatan yang terjalin diantara para bomber tersebut.
Persahabatan memang merupakan tema utama yang diangkat dalam novel ini. Kisahnya sederhana, dituturkan lewat dialog-dialog lepas dengan bahasa keseharian yang segar ala anak muda, tanpa banyak narasi. Dialog-dialognya juga kocak, ngocol, namun dibalik itu secara halus ‘menyentil’ kebiasaan-kebiasaan kurang baik yang seolah telah ‘dimaklumi’. Seperti menertawakan kenaifan sendiri sebagai cermin masyarakat, begitu komentar Pipiet Senja. Hanya saja, yang membuat novel ini unik, kisah persahabatan yang diangkat adalah di kalangan para bomber, membuat kita menengok sejenak ke dunia para bomber, yang mungkin bagi sebagian kita tidak pernah membayangkannya. Dan tentu saja membaca novel ini memberi wawasan baru, atau setidaknya kita dapat berkenalan dengan apa itu grafiti dan bagaimana serba-serbi dan proses membuatnya...
==================================================
Dinding-dinding di sepanjang Jalan Tamblong yang semula putih bersih, kini sedikit berwarna. Kini, selain dipenuhi oleh "flyers" dan poster yang ditempel sembarangan, coretan-coretan jahil yang dibuat dengan cat semprot, juga mulai memenuhi dinding-dinding tersebut. Bikin mata orang-orang yang lalu lalang, mau nggak mau seperti tersihir untuk melihat atau sekadar melirik. Katanya sih, itu adalah graffiti, coretan yang dibuat untuk mengekspresikan kebebasan.
Graffiti yang berasal dari bahasa Yunani "graphein" (menuliskan), diartikan oleh wikipedia.org sebagai coretan pada dinding atau permukaan di tempat-tempat umum, atau tempat pribadi. Coretan tersebut, bentuknya bisa berupa seni, gambar, atau hanya berupa kata-kata. Graffiti yang banyak bertebaran di jalanan kota Bandung, masih sebatas coretan kata-kata yang merupakan identitas geng atau malah hanya berupa nama. "Itu masih bisa dikategorikan sebagai seni, walau mungkin pada levelnya berbeda, ya," ungkap Roy, seorang pelaku graffiti yang sempat belia temui ketika membuat satu graffiti di sebuah distro di bilangan Jalan Burangrang, Jumat (9/12).
Penggunaan cat semprot untuk bikin sebuah graffiti, sudah mulai dikenal di New York, akhir tahun 60-an. Coretan pertama dengan cat semprot, dilakukan pada sebuah kereta subway. Seorang bernama Taki yang tinggal di 183rd Street Washington Heights, selalu menuliskan namanya, entah itu di dalam kereta subway, atau di bagian luar dan dalam bis. Taki183, gitu bunyi tulisan yang ia buat menggunakan spidol. Taki ini seperti ingin nunjukkin identitas dirinya. 183 yang ia tulis setelah namanya, nunjukkin tempat tinggalnya.
Gara-gara coretannya tersebut, orang-orang di seluruh kota jadi kenal dengan Taki, lewat coretan-coretan misteriusnya. Di tahun 1971, mister Taki ini diinterview oleh sebuah majalah terbitan New York. Dari situlah, kepopuleran Taki diikuti oleh anak-anak seluruh New York. Anak-anak ini tertarik karena kepopuleran bisa diperoleh dengan hanya menuliskan identitas mereka --disebut juga tagging-- pada bus atau kereta yang melewati seluruh kota. Semakin banyak nama atau identitas seorang anak, sudah pasti ia akan semakin populer.
Setelah spidol, media yang kemudian biasa digunakan adalah cat semprot, yang dipakai untuk nge-bomb (istilah untuk menyemprot) bagian luar kereta. Karena semakin banyaknya orang-orang yang bikin tagging, nggak heran kalau setiap writers, pengen punya style sendiri. Dari situ, mereka nambahin warna-warna yang eyecatching, efek-efek khusus, bahkan mereka mencoba untuk menuliskan namanya lebih besar. Dengan bantuan cat semprot, pengerjaan graffiti ini lebih cepet beres.
Makanya, untuk mengantisipasi tagging yang mulai mewabah, pihak kepolisian setempat sampai melarang penjualan cat semprot pada anak-anak di bawah umur. Saking banyaknya pelaku graffiti, di Meksiko pun diberlakukan aturan serupa. Bahkan, setiap pembeli cat semprot harus menunjukkan identitas yang jelas dan menyertakan alasan untuk apa cat semprot itu digunakan.
"Bikin graffiti di public space itu seperti punya gengsi sendiri. Selain itu adrenalin bakal terpacu, karena takut dikejar polisi atau gangster," kenang Roy, yang pernah ke-gap sama gangster pas bikin graffiti di public space. Yup. Selalu public space yang menjadi sasaran para seniman jalanan ini untuk berkreasi. "Sebagian orang ada yang nganggep graffiti sebagai karya seni, tapi nggak sedikit juga yang bilang kalau coretan-coretan itu malah ngerusak," kata Radi, seorang mahasiswa seni lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.
Jika graffiti ini dilakukan tanpa seizin pemilik tempat, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan vandal. Mungkin banyak di antara Belia yang belum tau apa itu arti vandalisme. Vandalisme bisa diartikan sebagai tindakan yang merusak properti orang lain. It means, graffiti atau mural yang dilakukan tanpa izin di tempat-tempat umum, bisa dikategorikan sebagai vandalisme. Sementara, banyak orang yang berpendapat, kalau graffiti di dinding-dinding jalan, masih lebih baik daripada dinding-dinding tersebut kotor, tidak terawat, dan penuh dengan tempelan flyers atau brosur-brosur yang nggak penting.
Kalau Belia lewat Jalan Siliwangi, mata terasa lebih segar karena ngeliat mural di sepanjang dinding jalan, pasti setuju kalau karya seni yang seperti itu bukan termasuk perbuatan vandal. "Iyalah. Soalnya mural di Siliwangi itu legal kok. Pihak Pemda, sekitar dua tahun lalu, pernah ngasih proyek itu buat kita," kata Yogie, yang bareng Radi, jadi konseptor pembuatan mural tersebut.
Mural yang berarti lukisan pada permukaan yang lebar, memang terasa lebih legal dibandingkan dengan graffiti yang berkesan liar. "Bedanya sih, mungkin hanya pada medianya aja ya. Kalau graffiti banyak pake cat semprot, sementara mural make cat tembok. Kalau nyeni atau nggaknya ya, tergantung yang liat. Nggak ada parameter khusus," lanjut Yogie.
Senada dengan Yogie, Roy pun bilang kalau bagus atau jelek itu relatif. "Susah sih, kalau mau bilang bagus atau jelek. Isi tulisan-tulisannya, mungkin dibilang jelek tapi malah keinget terus sama yang baca. Tapi graffiti di film Alexandria saya bilang butut, sementara orang lain mungkin bilang itu bagus," tandas Roy sembari memberi contoh.
Legal atau nggaknya sebuah karya di jalanan, bagi Roy yang juga lulusan FSRD ini, tetap dinilai sebagai sebuah karya. "Di Jogja, graffiti dan mural malah dilegalkan. Pemerintah setempat ngebolehin, bahkan menyediakan lahan untuk para street art berkarya. Sementara di Bandung, belum ada pelegalan seperti itu. Beda ceritanya kalau lu punya duit," katanya sedikit berapi-api.
Alih-alih sebagai tindakan vandal, graffiti, mural, tagging, dan sebagainya adalah merupakan kebebasan berekspresi. Tetapi, kebebasan berekspresi saat ini masih didominasi oleh kaum berduit, yang mampu membeli tempat untuk menumpahkan kreativitasnya. Sementara para seniman jalanan, mesti sembunyi-sembunyi atau malah kejar-kejaran dengan pihak aparat hanya untuk berkreasi. "Seniman yang jelas-jelas bikin karya di privat place aja sempat dibakar aparat, apalagi street art yang berkarya di public space," lanjut Roy.
Setiap seniman punya style masing-masing untuk mengekspresikan karyanya. Makanya, tidak sedikit seniman yang malah "bersaing" untuk bisa menciptakan karya bagus di tempat yang lebih lebar, misalnya, atau untuk meraih kepopuleran. Selain saingan, ada juga proses pembelajaran yang diturunkan dari seniman yang tergolong kelas senior kepada juniornya. "Yang baru belajar biasanya jadi kenek dulu. Kerjaannya masih sebatas ngewarnain, atau bantuin yang gampang. Seniornya, yang bikin sketsa di kertas dan di dinding," ujar Roy.
Proses bikin graffiti atau mural kurang lebih sama. Pertama, sketsa dibuat pada kertas, lalu kemudian sketsa tersebut dipindahkan ke dinding. "Yang lebih gampang sih, si sketsa udah "ditembakkin" pake proyektor, jadi nggak perlu bikin sketsa di tembok. Tapi, ya, gengsinya mungkin lebih turun kalau dibantu pake proyektor," kata Roy lagi.
Nggak sedikit duit yang dikeluarin untuk bikin satu graffiti atau mural. "Untuk bikin gambar di tembok yang berukuran sedang, bisa habis kira-kira dua puluh kaleng cat semprot. Sementara ini (garasi distro yang sedang dibuat graffiti-red) abis 40an kaleng," jelas Roy.
Sayang banget kan kalau hanya ngabisin cat semprot untuk tulisan-tulisan yang nggak ada maknanya, atau malah bikin sebel orang yang liat. Radi dan Yogie pun punya pendapat serupa. "Kalau mau bikin graffiti atau mural, mending sekalian yang edun, daripada hanya tulisan atau gambar yang teu kaharti."katanya.
Graffiti sampai kapan pun mungkin bakal jadi kontroversi. Di satu pihak bakal bilang kalau graffiti itu perbuatan vandal, tapi pihak yang lain mengartikan seni, kebebasan berekspresi. Lain halnya di Yogyakarta, yang setiap seniman bebas berkarya, pihak pemerintah pun nggak perlu repot-repot ngejar-ngejar seniman yang bandel. Karya yang nggak bikin sakit mata, lebih-lebih sakit hati, tentu bakal diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. Kebebasan berekspresi bisa saja diredam, tapi nggak bisa dihentikan.***
Menurut mereka, Seni GRAFFITI adalah penyaluran terhadap bakat yang dituangkan pada sebuah media. Sebagian besar mereka menggunakan tembok, bahkan dengan ukuran yang sangat luas demi kepuasan mereka.
Yang menjadi pertanyaan, Mengapa pihak-pihak yang diatas tidak pernah menegur terhadap pelaku-pelaku tersebut, walaupun secara logika seni GRAFFITI membuat suasana semakin menjenuhkan, terutama didaerah kota.Kadang juga sisa-sisa spray yang mereka gunakan tidak dibuang pada tempatnya, bisa juga dikatakan semena-mena dan buta terhadap aturan.
Seni itu memang indah. Patut dihargai dan dinikmati oleh siapapun. Karena antara seni dan inspirasi tidak semudah didapat dari sebuah mobil mewah. Bukankah begitu?
Andai saja di INDONESIA seni semacam GRAFFITI diberi kebebasan, mungkin dilihat secara global, negara ini tidak lagi hijau, tapi menjadi penuh warna. Sebab, akhir-akhir ini sering juga melihat bawasannya seni GRAFFITI sudah menjangkit sebagian seniman di kota kecil dan sekitarnya.
=========================================
Graffiti di Indonesia: Sebuah Politik Identitas ataukah Trend? (Kajian Politik Identitas pada Bomber di Surabaya)
ABSTRAK
Graffiti sering kali dipandang sebagai bentuk pencarian identitas anak muda atau untuk sekedar menunjukkan eksistensi mereka. Aksi mereka pun sering berhadapan dengan aparat kota (Satpol Pamong Praja) bahkan tidak jarang juga berhadapan dengan aparat kepolisian karena dipandang sebagai aksi yang merusak. Keberadaan bomber yang telah menjadi subkultur anak muda dipandang sebagai pemberontakan atas struktur urban semakin diterima. Meskipun di sisi lain pandangan yang sinis terhadap mereka tetap saja ada. Di era 1980-an, graffiti yang bertebaran di tembok-tembok kota sering menuliskan kelompok geng atau nama almamater sekolah. Hal-hal tersebut sering menjadi pemicu kekerasan antar kelompok, namun seiring perkembangan zaman, rupanya graffiti tidak sekedar menuliskan nama kelompok namun juga dikemas dengan cara yang lebih artistik dan tidak sekedar tagging belaka. Hingga kemudian seiring perkembangan gaya hidup yang ditopang oleh media massa maupun majalah dan buku-buku luar negeri yang membahas graffiti maupun dari internet, menjadikan graffiti tidak lagi dapat dipandang sebagai bentuk politik keberbedaan, namun hanya sekedar menjadi tuntutan tren saja. Graffiti hadir sebagai eksistensi mereka terhadap tanda zaman yang diwakili oleh tren gaya hidup dan hal ini lebih kuat tercermin daripada menunjukkan identitas mereka yang sarat ideologi keberbedaan.
Kata kunci: graffiti, gaya hidup, tren, identitas, Surabaya, Indonesia.
ABSTRACT
Graffiti is often seen as a way for young people to find their identities, or to merely show their existence. Because their actions are seen as destructive, they are also often confronted by the city’s patrol units and even by the police. Their ”bomber” existence, that has become the youth subculture and viewed as deviance over the urban structure, are more and more accepted. Cynical views of them still exist however. In the 1980’s, graffiti spread all over the city’s walls, and often wrote about their gang’s name or which school they are from. These were the things that spark violence between gangs. But today, graffiti seems to not only write about gang’s names, but also present a more artistic look; not merely as tags. Then as lifestyles develop, with the support of mass media and foreign magazines and books that cover about graffiti and also the Internet, graffiti cannot be viewed anymore as a form of alternative politics, but only as a needed trend. Graffiti exists as their existence towards the signs of times that are represented by lifestyle trends. This is more strongly reflected than showing their identities that are full of difference ideology.
![]()
Share This Thread