hai.. ini puisi yg pernah aku buat di blog ku dlu.. skarang aku share disini yah.. ^^ enjoy..
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dulu aku adalah kerang yang diam dan menunggu dalam waktu. Semestaku hanyalah rumahku yang telah melekat bersama diriku. Aku hanyalah kerang yang tumbuh di dasar lautan di balik batu karang. Begitu banyak kerang di sekitarku, mungkin kami berasal dari induk yang sama, tetapi meski kami tahu ada sesuatu di luar semesta kami, tiada cara untuk mampu saling menahu. Kami hanya diam, terdiam dan berdiam di dalam dunia kami sendiri. Apakah kami bahagia? Apakah kami berduka? Aku sudah lupa. Karena kami adalah kerang yang bisa membuka dan menutup rumah kami tentu kami berjiwa, tetapi kami sungguh-sungguh lupa apakah kami mempunyai hati. Ada kalanya kami melebur bersama menjadi terumbu karang. Dari kerang ke karang—hanya satu huruf jaraknya, namun memerlukan waktu jutaan tahun bagi kami untuk menjadi karang terindah dalam cahaya matahari yang tidak diam tetapi tumbuh dengan sangat amat pelahan.
Mungkin aku kerang, mungkin aku karang. Apakah ini berarti lahir kembali sebagai bayi tunadaksa adalah suatu kemajuan? Tetapi aku hanya bisa meraba masa laluku dengan samar-samar. Apabila rumah itu tertutup aku hanya berdiam dalam kegelapan. Tetapi kegelapan bukanlah kesepian. Di dasar laut kami tergeser oleh gelombang sampai berkilo-kilo meter jauhnya, bagaikan suatu pengembaraan. Setiap kali setelah rumah tertutup, setiap kami membukanya sudah berada di tempat lain. Mungkinkah semuanya berpindah dalam suatu eksodus panjang ke pulau seberang, namun aku tetap tinggal terbenam dalam lumpur kegelapan?
Mungkin aku kerang, tapi mungkin tidak pernah menjadi karang. Terbayangkan olehku kisah perjalanan hidup yang barangkali tidak terlalu membosankan. Aku adalah kerang yang memang teronggok di antara karang. Gelombang lautan sedikit demi sedikit membawaku mendekati tepi pantai, sehingga para nelayan yang gagal mendapat ikan tuna mengambil kerang karena tiada pilihan. Beratus-ratus kilo kerang terlelang di pelabuhan dan diangkut menuju pedalaman. Aku berada di antara tumpukan karung-karung berisi ribuan kerang yang diangkut kendaraan dengan bak terbuka naik turun perbukitan menembus hutan menuju ke kota di mana terdapat warung tenda yang hanya buka pada malam hari dan menyediakan kerang rebus sebagai menu makanan.
Dari pasar kami terpisah-pisah ke berbagai jurusan. Seorang laki-laki pemilik warung tenda membawa sebagian dari kami dalam sebuah karung yang hanya terisi setengahnya. Isi karung itu kemudian dipindahkan ke dalam keranjang, dan bersama keranjang itu dibawa para pembantu pemilik warung ke tempat mereka akan memasang tenda warung dengan gambar kepiting, kerang, udang, dan ikan yang bagai melambai-lambai dengan janji kelezatan.
Semula aku terletak paling atas, namun ketika isi keranjang dipindah ke ember, aku terletak paling bawah. Demikianlah warung di tepi kaki lima itu mulai didatangi orang-orang kelaparan. Mereka makan ikan, mereka makan kepiting, mereka makan udang, dan akhirnya mereka juga makan kerang. Sedikit demi sedikit tumpukan di atasku menipis.
“Tambah lagi dong kerangnya,” begitu kudengar suara di balik meja.
Tiba saatnya aku terserok bersama sekitar duapuluh kerang lain, langsung dimasukkan air panas mendidih.
Barangkali juga dikau yang menelanku malam itu, waktu dikau makan kerang rebus itu bersama dengan kekasihmu. Jika memang ini yang terjadi, berarti aku harus berterimakasih kepadamu, karena setidaknya dikau menjadi perantara kelahiranku kembali ke dunia—dari kerang menjadi anak tunadaksa.
Share This Thread