Author : The_Omicron
Site : www.the-omicron.co.cc
Genre : Drama, Romance
The Spring Cherry Fragrance is under copyright law © 2009 the-omicron.co.cc
________
www.the-omicron.co.cc presents...
The Spring Cherry Fragrance
_______
Theme Song : Over - eufonius
_______
“Sakuraharu Yuka”. Begitulah arti dari huruf kanji yang terukir diatas batu nisan di depanku ini. 3 kali Tuhan tak mengizinkanku untuk terus bersama orang yang kucintai. Dan kali ini, aku bahkan takkan dapat bertemu dengannya lagi. Pikirku.
“Yuka-san”. Begitulah aku memanggilnya. Bagiku, ia adalah gadis baik yang lugu dan manis. Aku tak pernah menyangka akan bertemu seseorang yang dapat kembali membuka hatiku, di seberang lautan ini, jauh dari tanah kelahiranku. Bahkan pertemuan kami bermula dari ketidaksengajaan. Seakan takdir sengaja mempertemukan kami berdua.
**
Satu tahun yang lalu.
Saat ini adalah akhir bulan Juni, waktu yang selalu ditunggu-tunggu oleh remaja sekolah sepertiku ini. Waktu libur sekolah, liburan kenaikan kelas kami, liburan penutup semester pembelajaran kami selama setahun. Dan libur kelulusan SMA bagiku.
Tetapi kali ini, liburan kali ini akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ayahku mendapat paket liburan ke Jepang selama seminggu dari atasannya. Ia bilang atasannya ternyata tak jadi ke Jepang, karena anaknya merengek meminta membawanya melihat Universal Studio Amusement Park di Hollywood, Los Angeles.
Beruntung bagi keluarga kami, Ayah yang dekat dengan atasannya diturahkan paket liburan itu. Bahkan jumlahnya untuk 5 orang, sangat tepat untuk Ayahku, Ibuku, Kedua Adikku, dan Aku sendiri. Lagipula, aku juga ingin melihat Jepang, karena selama ini aku hanya dapat melihatnya dari Internet dan Anime. Aku ingin merasakan sendiri nuansa yang diperlihatkan dari layar kaca itu.
Beberapa hari kemudian kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Internasional Yokohama. Aku bersyukur kami dapat tiba dengan selamat. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali kasus kecelakaan pesawat terbang. Terutama yang berangkat dari Negara kami.
Setibanya disana, aku baru tersadar kebodohanku yang mengira bahwa udara akan dingin, mengingat Negara ini berada di belahan bumi utara. Nyatanya, disini sedang musim panas. Akupun tak memerlukan sweater hitam kegemaranku lagi. Karena suhu udara di sini saat ini tak jauh berbeda dengan di Indonesia.
Kami disambut oleh seorang Tour Guide dari biro wisata yang kami gunakan. Ia memperkenalkan diri dengan salam ala negeri sakura dan mengatakan bahwa namanya adalah Motoyama Hatori. Dan namanya sekejap membuatku membayangkan sosok ninja anak-anak berbaju biru. Persis seperti sosok ninja itu, ia juga sangat ramah pada kami. Disamping itu, ia juga fasih berbahasa Inggris. Ia bilang ia pernah tinggal di Hawaii selama 3 tahun. Rasanya hal itu patut ia banggakan mengingat sulitnya lidah orang-orang yang terbiasa bergaul dengan huruf-huruf Kanji, Katakana dan Hiragana itu mengucapkan bahkan sebuah kata seperti “Refrigerator”.
Motoyama-san mengantarkan kami ke Park Hyatt Hotel yang berada di distrik Shinjuku yang sangat sibuk. Keramaian di tempat itu mengingatkanku pada suatu tempat di utara Jakarta. Hanya saja mobil-mobil yang menyesaki jalan diganti oleh lautan manusia yang memenuhi tempat itu.
Kami diberi waktu untuk beristirahat hingga pukul 11 siang, untuk kemudian dijemput kembali oleh Motoyama-san yang akan mengantarkan kami sekeluarga ke tujuan pertama tur kami di Tokyo. Tempat berpadunya budaya barat di wilayah oriental ini. Tempat yang dapat menyatukan pemikiran-pemikiran yang memiliki pandangan yang saling berbeda dari kedua mata angin. Tokyo Disneyland.
Tentu saja yang paling senang disini adalah adik bungsuku yang berada 6 tahun di bawahku. Tetapi adik kedua ku yang tahun ini berumur 15 tahun juga tak dapat menyembunyikan kegembiraan di wajahnya. Begitu juga denganku.
Setelah beberapa jam ‘menggunakan fasilitas hotel dengan sebaik-baiknya’ atau dengan kata lain bermalas-malasan di kasur, Motoyama-san telah tiba untuk menjemput kami.
Kami tiba di depan gerbang yang megah bertuliskan “Tokyo Disneyland”. Dan disambut oleh lautan manusia yang penuh mengantri untuk membeli tiket masuk. Wajar saja, karena saat ini adalah liburan musim panas. Dengan kekuatan paket tour ‘warisan’, kami dapat masuk tanpa harus membeli tiket. Yang artinya Motoyama-san; tentunya bukan kami, harus menghabiskan segala daya dan upayanya untuk memecah jalan melewati lautan manusia itu.
Ya, setelah itu dimulailah ‘petualangan’ kami. Menaiki wahana demi wahana. Hingga wajah-wajah cantik mulai mengalihkan pandanganku dari rombongan kami dan aku tersesat. Dan tentu saja aku panik. Apalagi setiap orang yang kutanyakan “Do you know where announcement office is?” selalu menjawab dengan kata-kata yang sama “Gomen” atau malah diam sama sekali.
Dalam kebingungan terus mencari tanda-tanda rombonganku atau kantor pengumuman, aku berjalan seperti orang linglung. Hingga aku menabrak tubuh yang ringan dan mungil hingga terjatuh.
Aku meminta maaf dan berusaha menolong pemilik tubuh itu yang ternyata adalah seorang gadis. Tetapi tiba-tiba saja air mata menetes dari pipinya untuk hal yang tidak kuketahui mengapa. Apakah aku terlalu keras menabraknya? Apakah aku terlihat menakutkan? Ataukah karena masalah lain? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus terlintas di pikiranku. Demi menghindari kesalahpahaman orang-orang yang dapat mengakibatkan praduga tak bersalah, aku segera menolongnya menuju bangku yang tak jauh dari sana, setelah itu ia duduk disana. Kupikir yang kulakukan dapat menolongnya berhenti menangis.
Ternyata aku salah. Ia tidak menghentikan isak tangisnya, malah, air mata semakin deras mengalir melalui pipinya. Aku yang semula sudah kebingungan semakin bertambah bingung. Kulakukan segala cara untuk membuatnya berhenti menangis. Mulai dari menawarkannya minum, berusaha mengajaknya bicara, semua gagal. Ia masih terus menangis.
Di saat aku tengah melamun memikirkan penyelesaian 2 masalah ini sekaligus. Suara seorang wanita terdengar dari belakangku.
“Yuka-chan?”
Panggilnya.
Ternyata suara itu berasal dari seorang gadis berkacamata di belakangku. Yang kemudian langsung bergegas merangkul “Yuka-Chan” ini sambil menenangkannya. Saat itu pula aku menduga bahwa nama gadis yang tengah menangis ini adalah Yuka. Setidaknya kira-kira begitu.
Meski aku tahu mereka kemungkinan besar tak mengerti kata-kataku, tetapi spontan aku bertanya : “What was just happened?”. Gadis berkacamata itu tak kusangka menoleh kepadaku kemudian menjawab “Her boyfriend just dump her”. Aku terkejut sekaligus lega. Tak kusangka dari sekian ribu orang disini akhirnya aku bertemu seorang yang dapat mengerti apa yang kukatakan. Ditambah lagi, aku lega mengetahui bahwa ia menangis bukan karena kesalahanku.
Mulutku lagi-lagi tak dapat ditahan, seakan dalam sepersekian detik aku langsung membandingkan nasibnya dengan nasibku. Dalam percintaan tentunya. Merasa bahwa nasibnya tidak seburuk nasibku spontan aku berkata “Huh? Gettin’ dumped doesn’t mean the world will end, there are much more people who have worse fate than you. Stop cryin, that’s annoying”.
Berkat kata-kata itu, mereka berdua menatapku seperti suku pedalaman yang baru melihat mobil. Mungkin bagi mereka aku terdengar seperti alien yang bergumam tidak jelas. Ternyata, Gadis “Yuka” itu bertanya sesuatu kepada temannya, si gadis berkacamata. Yang mengerti apa yang aku katakan.
Sekejap aku tersadar telah berbuat bodoh. Aku merasa “Yuka” bertanya kepada si gadis berkacamata itu arti dari kata-kataku. Yang mana gadis berkacamata itu mengetahui artinya, dan akan segera menyampaikan apa yang kukatakan. Merasa bahwa setelah kata-kataku tersampaikan ia akan menangis kembali. Aku memutuskan untuk pergi begitu saja, meninggalkan mereka sebelum hal ini menjadi masalah.
Dan bodohnya, beberapa meter kemudian aku bertemu dengan rombonganku, sedang santai duduk dengan makanan di tangan masing-masing. Dan begitulah, setelah itu aku melanjutkan tur dengan merasa tidak aman. Takut aku akan bertemu dua gadis itu lagi. Beruntung, hingga tiba di hotel aku tidak bertemu mereka lagi.
Esoknya, hari kedua, karena tidak ada jadwal tur kami sekeluarga memutuskan untuk berjalan-jalan ke Shinjuku dan Shibuya. Melihat-lihat seperti apakah daerah paling terkenal di Tokyo itu. Semua berjalan dengan tenang, hingga Ibu memutuskan untuk berbelanja. Kami sekeluarga tahu jika Ibu berbelanja, berarti akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Betis yang pegal, atau Otak yang kram karena bosan.
Demi menghindari kedua hukuman langit itu, kami para anak memutuskan untuk memisahkan diri. Meninggalkan Ayah sendirian untuk menjadi korban perbudakan modern. Lagipula hotel tempat kami menginap cukup terkenal. Jika kami tersesat tinggal berkata “Hyatt” dengan memasang wajah linglung saja dapat dipastikan kami akan dengan mudah kembali ke kamar hotel.
Seperti yang sudah kuduga. Kedua adikku yang gila manga langsung lepas kendali begitu melihat sebuah toko buku. Langsung menyerbu toko tanpa memperdulikan aku lagi. Apa boleh buat, daripada menjadi ‘pengasuh’ yang menyebalkan dan sok kuasa, aku berjalan-jalan saja mengelilingi toko itu.
Kemudian aku terhenti di depan salah satu rak buku. Mataku memandangi buku tebal dengan hard cover warna hitam itu. Yang aku dapat menebak itu adalah kamus Inggris – Jepang. Saat aku menjulurkan tanganku berniat mengambil buku itu, aku merasa seseorang memperhatikanku. Dan begitu aku menengok. Astaga, ternyata kedua gadis itu lagi. Aku sudah mulai salah tingkah begitu mereka mendekatiku, takut mereka akan mempermasalahkan kata-kataku kemarin.
Tapi ternyata, “Hi, we meet again!”. Gadis berkacamata itu menyapaku, begitu pula “Konichiwa” dari “Yuka” terdengar. “Uh.. hi.. h-hello”. Hanya itulah jawabku, terbata-bata seperti seorang yang mengidap demam panggung mementaskan sebuah drama.
“Kirishima Airi”. Gadis berkacamata itu mengucapkan namanya sambil menyalami tanganku. Diikuti dengan “Sakuraharu Yuka des-“ dari gadis “Yuka” itu. Dan ternyata nama aslinya benarlah Yuka. Akupun juga memperkenalkan diriku pada mereka. “Aldian Syarief, but you can call me ‘Aldi’. Nice to meet you”. Akhirnya aku berhasil mengucapkan salam perkenalan internasional pertamaku kepada mereka berdua. “Aldi-kun!” ujar Yuka riang.
Setelah itu kami bertiga mulai bercakap-cakap. Mulai darimana asalku, bagaimana pendapatku tentang Negara mereka, dan sebagainya. Aku bertanya sedang apa mereka disini, ternyata Airi bilang bahwa ia sedang menemani Yuka membeli kamus Inggris-Jepang. Ia bilang Yuka menjadi sangat termotivasi untuk lebih mendalami bahasa Inggris setelah mendengar kalimatku kemarin. Dan Yuka bilang ingin mengenalku. Akupun tak bohong merasa tersanjung, mengetahui bahwa ada orang asing yang tergerak karena kata-kata yang keluar dari mulutku ini. Dan hanya bisa cengengesan seperti kuda saking senangnya.
Tetapi kupikir tak adil jika hanya Yuka yang belajar bahasa Inggris. Akupun ikut-ikutan membelinya yang ternyata cukup mahal. Bahkan mengusulkan hal bodoh seperti berkata aku ingin kami berdua saling bertukar kamus, agar persahabatan antar Negeri kami bisa terjalin lebih erat. Yang diiringi oleh tawa dari Airi. Tetapi tidak dengan Yuka. Wajahnya malah memerah seperti kepiting yang direbus. Melihat reaksi seperti itu entah kenapa aku ikut-ikutan merasa malu dan wajahku menjadi apel raksasa. Maksudku memerah.
Tiba-tiba kedua adikku sudah menghilang dari rak buku berisi komik tempat mereka melihat-lihat tadi. Akupun segera menyudahi percakapan yang semakin lama semakin aneh ini. Dan saat aku hendak melangkah keluar, mereka menanyakan dimana aku menginap. Dengan bangganya aku menyebutkan bahwa aku menginap di Park Hyatt beserta nomor kamarku. Suatu kesalahan fatal menurut fundamental berkomunikasi dengan orang asing.
Bergegas aku keluar untuk mencari kedua adikku, takut mereka tersesat dalam lautan manusia. Dan ternyata kepanikanku tak ada gunanya. Mereka ternyata baru keluar dari dalam toko buku karena aku menghilang dari sana. Bodoh.
Seperti yang sudah kuduga, Ayah mendapatkan dua hukuman langit sekaligus. Sesampainya di hotel ia langsung merebahkan diri di kasur kemudian mengorok. Beruntung kami selamat dari bencana itu. Apalagi mengetahui perbandingan antara waktu belanja dan barang yang dibeli. Sungguh menyedihkan.
Belum sempat aku ganti baju telepon di dalam kamar berbunyi. Bukan, bukan handphone, tetapi telepon di meja antara kasur berwarna dan berkabel putih itu. Yang mana menurutku kuakui ini adalah suatu kejadian yang langka. Begitu aku akan mengangkatnya ternyata Ibu sudah mendahuluiku. Ia mengangkat dan menjawab telepon itu.
Dan yang membuat kaget, ibu bilang padaku ada seseorang bernama Sakuraharu dan Kirishima yang mencariku. Segera aku menerima telepon itu dan berkata pada resepsionis agar menyuruh mereka menunggu di lobby sementara aku turun. Segera aku keluar dari kamar dan berlari menuju lift. Tapi aku heran, apalagi yang mereka inginkan dariku? Daripada pertanyaan itu mendapatkan jawaban kotor dari pikiranku lebih baik aku bertanya langsung saja pada mereka. Yang langsung terjawab begitu aku menemui mereka.
“You forgot your dictionary back there!”. Dia bilang bahwa aku meninggalkan kamus. Ya, kamus bahasa Inggris-Jepang mahal yang kubeli tadi. Membuatku malu setengah hidup menyadari bahwa aku sendiri yang mengusulkan pertukaran kamus itu.
Tetapi, yang terjadi jika remaja seumuran berkumpul tentunya sudah dapat ditebak. Kami malah berbincang-bincang di lobby. Mulai dari masalah sekolah, pelajaran, menanyakan email agar dapat saling berkomunikasi, sampai undangan untuk datang ke rumah Yuka, hingga tak sadar sudah 2 jam kami mengobrol. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Mereka bilang sudah jauh melebihi waktu yang diizinkan oleh orang tua mereka. Mereka pun pulang dengan terburu-buru.
Esoknya, setelah breakfast. Motoyama-san datang menjemput kami yang jadwal hari ini adalah Kuil Asakusa. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk mengecek email di free internet access yang disediakan oleh hotel. Siapa tahu ada email dari Yuka atau Airi. Dan ternyata memang ada. Yuka mengirimkan email yang berisi ajakan untuk berjalan-jalan bertiga. Dengan bahasa inggris yang aneh dia mengatakan bahwa ia akan menjadi Guide ku di kota ini. Dia bilang lagi bahwa tempat pertemuannya di depan toko buku kemarin dan waktunya adalah. Sebentar lagi.
Akupun segera meminta izin untuk tetap tinggal di hotel, yang sangat sulit izin itu keluar. Seperti melalui birokrasi negaraku pikirku. Beruntung kedua adikku bilang tinggalkan saja aku, akhirnya aku diizinkan tidak ikut. Tetapi haruskah aku berterima kasih pada kedua adikku? Bahkan mereka bilang tinggalkan saja aku? Ah sudahlah tak perlu kupikirkan, yang penting aku diizinkan.
Setelah kupastikan mereka telah berangkat, aku segera menjadi anak bandel yang berbohong pada orang tuanya. Tetapi tenang, besok aku berniat mengatakan dengan jujur bahwa aku memiliki teman baru disini. Siapa tahu mereka mau mengerti. Siapa tahu.
Entah untuk apa aku terburu-buru menuju tempat pertemuan. Seakan aku bergegas terburu-buru menemui pacarku dalam kencan pertama. Tetapi aku terus berlari, meskipun berlari di dalam keramaian seharusnya tidak diperbolehkan.
Ya, aku datang tepat waktu. Maksudnya ‘tepat waktu’. Mereka telah menunggu selama 10 menit. Bahkan ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘Pria yang tidak tepat waktu adalah pria yang gagal.’ Meski aku tidak tahu pepatah itu benar-benar ada atau tidak. Tapi aku punya alasan kuat yang tak terelakkan bukan? Ya kan? Ya.
Kamipun pergi berjalan-jalan, ketempat yang aku tak pernah tahu seperti cafe, karaoke, toko suvenir dan sebagainya. Ya, tempat yang aku tak pernah tahu. Haha.
Berikutnya hingga hari esok (tentunya setelah aku mengaku pada kedua orang tuaku) aku tidak menjadi anggota tur Motoyama-san lagi. Dan malah mengikuti ‘Tur’ Yuka dan Airi-san. Entah kenapa, sejak saat itu aku dan Yuka-san menjadi semakin dekat. Walaupun ia masih terbata-bata dalam bahasa Inggris dan aku masih tak berkembang dalam bahasa Jepang. Tetapi entah mengapa aku merasa Yuka-san sangat familiar. Sangat hangat. Sangat terasa dekat di hati. Bahkan Airi-san pun kadang seperti sengaja meninggalkan kami di saat-saat yang. Romantis katakanlah. Apakah ini sama seperti dulu? Seperti 3 kali sebelum ini. Yang selalu berakhir berantakan? Entahlah.
Hingga saat kami berbincang di cafe (ya, entah mengapa mereka sangat senang pergi ke cafe) Yuka-san dengan bahasa inggris yang bercampur bahasa Jepang menanyakan padaku sesuatu. Airi-san pun menjelaskannya untukku, ia sudah seperti penerjemah kami saja. Tetapi kali ini aku merasa aku sudah tahu arti dari pertanyaan Yuka-san. Apakah karena takdir? Ataukah karena aku keseringan menonton anime dan menjadi tahu bahwa ‘kare’ artinya pacar? Tetapi yang jelas sebelum Airi-san menjelaskannya padaku, secara mistis aku sudah tahu pertanyaan “Apakah kamu sudah pernah punya pacar?” terucap dari bibir manis Yuka-san. “Three times I’ve ever fall in love with a girl, and two of them became my girlfriend.” jawabku mantap.
Menggali pikiranku untuk dapat menjawab pertanyaan Yuka-san membuatku merasakan suatu kepedihan di dalam dadaku. Saat aku jelaskan bahwa pada saat aku kelas 2 SD aku menyukai anak baru di kelasku yang pindahan dari Jepang, kemudian kami ‘berpacaran’ hingga saat kelas 4 SD ibuku memindahkanku dari sekolah itu karena terlalu jauh dari rumah. Yang artinya 12km dan ibuku muak mengantarkanku melalui semua kemacetan Jakarta pagi. Setelah itu aku tak mendengar lagi kabar darinya. Seolah setahun itu hanya mimpi yang menghilang begitu saja.
Kemudian saat aku kelas 6 SD, aku bertemu dengan seorang gadis yang sangat menarik. Saat aku menghadiri pesta ulang tahun sepupuku, kami bertemu. Kami memulai perkenalan kami dari saling melempar kacang. Ya, melempar benda kecil bercangkang berwarna coklat yang berasal dari tanaman itu. Hingga entah kenapa kami menjadi saling menyukai. Dan terjadi lagi kemalangan. Ia dan keluarganya pindah entah kemana, ada yang bilang ia pindah ke Jepang. tanpa komunikasi sama sekali denganku sebelumnya. Kemudian ia menghilang begitu saja, seolah satu tahun itu hanya mimpi yang menghilang begitu saja.
Lalu saat aku masuk SMP, aku kembali lagi bertemu dengan seorang gadis yang dapat melelehkan hatiku. Ia sangat manis, pintar, dan pintar menggambar gaya manga anime. Kali ini lebih sulit dari sebelumnya, karena ia adalah gadis yang sangat pemalu. Ditambah lagi seisi sekolah senang sekali menggoda kami. Tetapi sahabat gadis itu bilang padaku, bahwa sebenarnya gadis itu juga menyukaiku. Hanya saja dia, begitu juga denganku takut menyatakan perasaan kami. Dan aku berakhir 3 tahun menyukainya tanpa pernah menjalin hubungan lebih dari seorang ‘teman sekolah’. Kamipun memasuki SMA yang berbeda dan berjarak jauh satu sama lain. Hingga tidak ada lagi kontak diantara kami. Kemudian ia menghilang begitu saja, seolah tiga tahun itu hanya mimpi yang menghilang begitu saja.
Setelah itu aku mulai merasa takut jatuh cinta. Karena bagaikan dikutuk, semua gadis yang aku cintai terpisahkan dariku. Aku tak ingin merasakan kepedihan itu lagi.
Dan yang lebih bodoh lagi, aku menceritakan itu semua pada Yuka-san, juga Airi-san. Airi-san tak dapat menyembunyikan simpatinya padaku, dan mengatakan padaku agar bertabah. Tetapi tidak dengan Yuka-san. Ia malah tersenyum dan berkata bahwa pernah jatuh cinta dan kehilangannya bukanlah pengalaman yang pahit. Karena di dalamnya kita pernah mengalami hal-hal semanis madu bersama ataupun tidak bersama orang yang kita cintai. Perfect. Apalagi ditambah lagi ia mengatakan jika diterjemahkan kira-kira begini :
“Tak apa, semua akan baik-baik saja. Suatu saat kau akan bertemu dengan cinta barumu yang tak akan terpisahkan lagi. Dan aku akan selalu mendoakanmu.”
Dengan senyuman yang hangat di wajahnya ia mengatakan itu padaku. Membuatku tak tahu harus menangis ataukah tersenyum.
Liburan kami di Jepang pun berakhir. Sebagaimana semua yang bermula pasti akan berakhir. Kami mengucapkan salam perpisahan kepada Motoyama-san yang telah berbaik hati menyempatkan waktunya dan mencurahkan tenaganya untuk menjadi Tour Guide kami. Yuka-san dan Airi-san pun ikut datang mengantarkan kepulanganku ke bandara. Hingga membuatku digoda habis-habisan oleh keluargaku, dan ini selalu terjadi jika aku bahkan melirik sedikit saja seorang gadis cantik atau manis. Aku tidak sedih, karena kami sudah bertukar email. Dan kami berjanji akan tetap terus menjaga komunikasi hingga tidak menghilang begitu saja pertemuan kami ini.
Saat pesawat melaju untuk terbang aku merasakan rasa sedih karena aku tak akan bertemu mereka lagi untuk jangka waktu yang lama. Karena keluargaku adalah keluarga yang sederhana, kami tak mungkin setiap tahun dapat pergi berjalan-jalan ke luar negeri. Biarpun begitu aku tetap optimis hubungan kami akan tetap terjaga dengan baik.
Hari demi hari kujalani dengan normal setelah aku pulang ke Jakarta. Satu-satunya yang berbeda adalah kini aku saling berkirim email dengan Yuka-san setiap hari. Hubungan kami semakin membaik biarpun tanpa kontak fisik. Bahkan ia memintaku memanggilnya dengan “Yuka-Chan” seolah kami sudah menjadi sepasang kekasih tanpa kami sadari. Hampir setahun kami jalani kebiasaan ini, dan ia bilang saat ini ia tengah menjalani ujian kenaikan kelas menuju kelas 3 SMA. Dan kubilang aku kini telah kuliah di universitas negeri yang terbaik di negaraku. Ia bilang ia pun akan mencari kerja sambilan dan berniat mengunjungiku ke Jakarta.
Lalu saat itupun datang..
Hari itu seperti hari-hari biasanya, kami juga masih saling berkirim email. Hingga sore itu ia mengatakan bahwa ia akan pergi kerja sambilan. Tentu aku mengerti pekerjaannya, aku bilang hati-hati di jalan, ia mengiyakan dan aku tak mengirim email lagi hingga ia mengirim padaku.
Namun.. ia tak juga kunjung mengirim email padaku. Dan apapun email yang kukirim ia juga menjawabnya. Membuatku membisu menatap layar mengharapkan balasan darinya.
Satu bulan telah berlalu, aku mulai berpikir hal-hal negatif. Aku merasa bahwa takdir sedang mengejekku seakan berkata “Sudahlah, ia sama saja seperti gadis yang lain, akan menghilang begitu saja bagaikan mimpi”. Aku yang tak mau hal itu terjadi, segera merencakan untuk mengunjunginya ke Jepang. Sekarang juga. Aku kuras semua tabunganku, kemudian Aku memohon hingga menangis agar diizinkan pergi sendiri ke Jepang. Pada akhirnya kedua orang tuaku mengerti. Mereka mengizinkanku pergi sendiri, dengan syarat tidak boleh melupakan waktu, karena aku harus kuliah.
Aku segera menuju ke Bandara Internasional Yokohama, kemudian secara buru-buru karena khawatir pada Yuka-san, menumpang Taksi dan segera memberikan alamatnya agar aku diantar kesana. Akhirnya aku tiba di depan rumahnya. Memandangi bel pintu masuk dengan penuh keraguan. Akankah aku menekannya ataukah tidak. Dan tiba-tiba.
“Ah! A-A-A-Aldi-kun???!”. Gadis berkacamata membawa sebuket bunga yang tak lain dan tak bukan yang sedang menyapaku adalah Airi-san. Ia tampak sangat terkejut melihatku berada di depan rumah sahabatnya.
“Airi-san!! How are you!?” sapaku riang. Tetapi Airi-san malah memberikan wajah yang murung, dan seakan ia akan menangis. Aku katakan alasanku ke sini karena khawatir pada Yuka-chan. Tetapi bukan itu saja aku juga rindu kepada mereka.
Airi-san tetap tak menjawab dan memberikan ekspresi yang tetap sama. Aku heran kenapa dia diam saja. Aku merasa telah terjadi sesuatu pada Yuka-san, tetapi aku tetap mencoba berpikir positif. Aku melihat sebuket bunga di tangan kanannya. Saat kutanyakan untuk apa buket bunga itu ia malah menangis. Air mata menitik dari kelopak matanya. Pupus harapanku. Tangisnya meruntuhkan semua pikiran positif yang terus kucoba pertahankan sejak tadi.
Aku tak tahan lagi, aku bertanya padanya apa yang terjadi sebenarnya. Dan saat ia hendak mengatakan penyebabnya. Jantungku berdebar-debar, kaki tanganku menjadi dingin, bahkan sweater hitam favoritku ini tak dapat lagi menahan rasa dingin ini. Aku seperti akan pingsan. Tetapi aku tetap berusaha bertahan.
Dan ia bilang bahwa, satu bulan lalu saat hendak pergi ke tempat kerjanya, Yuka dirampok. Ia ditusuk karena melawan, kemudian tas yang juga berisi handphone nya diambil.
Aku langsung jatuh lemas. Aku berpikir bahwa aku takkan pernah lagi bertemu lagi dengannya. Aku marah, aku sedih, aku bingung harus berbuat apa. Tetapi Airi-san kemudian menghampiriku, ia menenangkanku dan mengatakan bahwa ia belum selesai bicara.
Aku bertanya apa maksudnya. Dan ternyata ia bilang setelah ditusuk oleh perampok itu ia mati suri, bahkan batu nisannya pun telah dibuat. Tetapi entah didorong oleh semangat apa ia mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan lagi. Kemudian ia koma selama 24 hari. Kini sejak dua hari yang lalu ia sudah tersadar dan berada di rumah sakit.
Hatiku langsung berubah total 180 derajat. Aku lega, aku bersyukur, karena ternyata ia selamat. Meskipun ia nyaris menjadi gadis keempat yang menghilang dalam hidupku. Aku langsung bertanya mengapa Airi-san menangis hingga membuatku salah sangka, ia bilang ia menangis terharu karena ia menyangka nasib sahabatnya akan sama dengan ketiga gadis yang pernah kucintai. Menghilang begitu saja dari hidupku. Tetapi aku lega, lega karena Yuka-chan ternyata masih bisa bersamaku hingga saat ini.
Ternyata Airi-san mengunjungi rumah Yuka-chan untuk terlebih dahulu memberi makan Lisa, ****** peliharaan Yuka-chan. Dan begitulah, kami segera mengunjungi Yuka-chan di rumah sakit. Yuka-chan langsung menangis bahagia melihatku datang bersama Airi-san. Ia sendiri juga sudah mengira ia telah menjadi ‘gadis yang menghilang’ dari hidupku, karena ia tak dapat mengirim email selama ia koma. Airi-san meminta maaf karena tak dapat memberi kabar padaku karena ia tak mengetahui alamat emailku. Sementara ia tak bisa bertanya kepada Yuka-chan yang tengah koma.
Saat aku bilang tentang batu nisan yang diceritakan Airi-san, Yuka-chan segera memperlihatkan foto batu nisan itu padaku. Aku menerimanya dan melihatnya bagaikan berada di depanku sendiri.
“Sakuraharu Yuka”. Begitulah arti dari huruf kanji yang terukir diatas batu nisan di depanku ini. 3 kali Tuhan tak mengizinkanku untuk terus bersama orang yang kucintai. Dan kali ini, aku bahkan takkan dapat bertemu dengannya lagi. Pikirku. Aku nyaris saja mendapaatkan yang keempat kalinya.
Sebagai ekspresi dari kegembiraanku dan rasa sayangku padanya, aku memeluk Yuka-chan erat-erat. Aku berharap doa Yuka-chan padaku akan dikabulkan, dan dialah yang menjadi gadis yang tak akan menghilang dari hidupku. Hingga ajal memisahkan kita, suatu saat nanti.
Share This Thread