Author : The_Omicron
Site : www.the-omicron.co.cc
Genre : Drama, Romance
Cat United is under copyright law © 2009 the-omicron.co.cc
________
www.the-omicron.co.cc presents...
Cat United
_______
“Aku suka sekali kucing!”. Kata-kata itu sering sekali terdengar dari mulutku. Kecintaanku pada hewan berbulu yang imut itu sangatlah besar, bahkan terlalu besar. Hingga orang-orang hampir bosan mendengarku berbicara tentang kucing. Dan hal ini berakibat buruk dalam setiap hubungan asmaraku.
Seperti kali ini. Baru saja beberapa hari yang lalu pacarku meninggalkanku, karena menurutnya yang kupikirkan hanyalah hewan itu. Dia bilang jika dia sama sekali tak ada di hatiku hubungan kami tak perlu dilanjutkan. Padahal, aku tidak pernah berpikir begitu. Hanya saja ia tidak mengerti betapa besar kecintaanku pada kucing. Huh.
Meskipun sedih, aku tetap bisa terhibur. Apalagi ada Iko! Seekor kucing kecil berwarna abu-abu yang lucu. Iko adalah anak kucing yang dibuang oleh pemiliknya, dan kini aku yang menjaganya. Akan tetapi, karena peraturan keluargaku adalah tidak boleh memelihara hewan, aku tidak boleh membawa Iko ke rumah. Bisa-bisa nanti dia ditendang Papaku yang benci hewan keluar rumah.
Tapi, jika di rumah aku tak boleh memeliharanya, di luar boleh dong! Dan seperti saat ini, setiap hari sepulang sekolah aku selalu menyempatkan diriku untuk mengunjungi Iko. Memberinya susu atau mengajaknya bermain.
Kurasa, bukan aku saja yang menyayangi Iko. Karena, setiap aku tak sempat mengunjungi Iko, entah karena ujian dan Mama melarangku pergi keluyuran, atau karena aku sedang sakit, selalu ada seseorang yang memberi makan Iko.
Pada awalnya orang itu nampaknya tak tahu cara merawat kucing yang masih kecil. Aku pernah mendapati Iko diberi makan ikan kecil. Bodoh! Perut Iko belum mampu menyerap makanan seberat itu! Ia seharusnya diberi susu! Karena kesal, aku menulis pesan kepadanya yang berbunyi:
“Kepada siapapun yang ikut merawat Iko, JANGAN MEMBERINYA MAKANAN BERAT BODOH! DIA BELUM BISA MAKAN ITU NANTI DIA SAKIT! BERI SAJA DIA SUSU!”
Diatas secarik kertas yang kutaruh pada kardus tempat Iko tinggal.
Dan anehnya, esoknya kertas itu hilang dan berganti dengan sepiring kecil berisi susu yang sedang Iko jilati. Hmm, tampaknya orang itu benar-benar telah membaca pesanku. Baguslah.
Tetapi aku heran, jika dia hampir setiap hari mengunjungi Iko, entah kenapa aku tak pernah bertemu dengannya. Apakah Ia tidak sekolah? Ataukah Ia bukanlah anak sekolah? Dalam hatiku aku jadi ingin melihat orang yang juga mencintai kucing tetapi tidak mengerti mereka itu.
Suatu hari, badai salju menerpa kota kami. Aku teringat pada Iko yang tengah sendirian. Apakah ia baik-baik saja? Ataukah ia sedang meringkuk kedinginan di dalam kardusnya sendirian? Ataukah.. lebih buruk lagi?
Aku tak bisa tinggal diam memikirkannya. Aku memutuskan untuk pergi ke tempat Iko. Dengan membawa beberapa potong kain tebal untuk menghangatkan tubuh Iko, aku melangkah keluar rumah. Malangnya, Papa mendapatiku akan keluar rumah di saat badai salju, dengan membawa beberapa potong kain tebal, dengan alasan yang.. sangat Papa benci... Hewan!!
Papa melarangku keluar dan mengurusi hewan berbulu itu. Dan jika menyangkut kucing, aku jadi kehilangan kendali emosiku. Aku dan Papa beradu mulut hingga terdengar oleh Mama yang mendamaikan kami berdua. Pada akhirnya, setelah Mama mendengar ceritaku, Mama berhasil membujuk Papa agar mengizinkanku menengok Iko.
Dan ya, Papa yang lemah oleh bujukan Mama akhirnya mengizinkanku untuk keluar rumah dan memberi Iko kain-kain untuk menghangatkan tubuhnya. Dengan syarat aku harus langsung segera pulang setelah memberinya kain penghangat. Tak lupa Mama dengan kelembutannya memakaikanku sepotong mantel tebal agar aku tidak kedinginan dan masuk angin.
Setelah berterima kasih pada Papa dan Mama, aku segera berlari keluar rumah. Diluar, aku baru merasakan kedahsyat an badai salju ini. Tiupan angin dingin yang menusuk tulang segera menyambutku begitu aku membuka pintu. Terpaan bulir-bulir salju yang terbang dengan cepatnya menerpa wajahku hingga terasa basah dan dingin. Sementara pandanganku terhalang oleh tirai salju berwarna putih yang menggerung-gerung. Sangat mengerikan.
Tetapi badai salju ini tak dapat membuatku mengurungkan niatku untuk menolong Iko. Kecintaanku pada kucing lebih besar dari rasa takutku pada badai salju. Dengan mengumpulkan segenap keberanianku, aku berjalan menembus badai salju. Menuju sebuah rumah kosong yang tak jauh dari rumahku dimana kardus tempat tinggal Iko berada.
Perlahan-lahan rumah itu mulai terlihat dari pandangan mataku. Aku segera mempercepat langkahku. Aku takut terjadi hal-hal tidak mengenakkan pada Iko. Begitu aku sampai di depan kardus Iko.. Aku terkejut. Aku tak percaya pada apa yang aku lihat. Kardus Iko menjadi dobel. Dengan Styrofoam mengisi cela antara kardus. Menghangatkan suhu di dalam kardus.
Sekalipun tak pernah terbesit di dalam pikiranku menggunakan cara yang begitu cerdik dan efektif untuk membuat Iko tetap merasa hangat. Yang dapat kupikirkan hanyalah cara konvensional seperti dengan membawa kain-kain tebal ini agar Iko tetap hangat.
Di dalamnya, Iko tengah meringkuk dan tertidur dengan nyenyak. Melihat wajahnya yang lucu membuatku tak dapat menahan keinginan untuk mengelus kepalanya. Kemudian menyentuh hidungnya, dan menggaruk telinganya, dan seterusnya.
Kemudian aku tersadar kepada janjiku pada Papa. Aku segera menyudahinya dan menaruh kain-kain itu diatas tubuh Iko. Agar ia merasa lebih hangat. Untuk berterima kasih kepada orang yang juga telah menolong Iko dari hawa dingin, aku menuliskan sesuatu diatas secarik kertas:
“Kepada siapapun yang telah menghangatkan Iko. Terimakasih telah datang lebih dahulu dariku dan membuatnya tetap hangat dengan menggandakan kardusnya dan mengisinya dengan styrofoam. Sangat cerdik. Terimakasih banyak ya atas pertolongannya!”
Kemudian aku taruh diatas kain yang menyelimuti tubuh Iko. Dan aku melangkah pulang sesuai janjiku pada Papa.
Walaupun telah memakai mantel, hawa dingin dari badai salju tetap dapat menembus. Aku masuk angin dan demam tinggi. Papa tentu saja memarahiku karena sampai terkena demam gara-gara ingin menolong kucing. Ia bilang menolong apapun atau siapapun tanpa memikirkan diri sendiri adalah perbuatan bodoh. Karena jika kita tidak beruntung, kita tidak akan bisa melihat lagi yang kita tolong hidup dengan gembira.
Ucapan Papa memang benar. Aku bodoh karena memaksakan diri menemui Iko dalam badai salju. Beruntung aku hanya masuk angin dan terserang flu. Tetapi, aku tetap tak bisa membiarkan Iko sendirian, betul kan?
Satu minggu setelah terserang flu dan demam, aku akhirnya sehat kembali. Seluruh penyakitku sudah lenyap. Staminaku sudah kembali seperti sedia kala, tetapi kecemasanku pada Iko tetap tidak terbendung. Apakah orang itu memberi susu Iko? Apakah ia merawat Iko? Apakah dan apakah lainnya terus terngiang di dalam kepalaku.
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kosongku, sepulang sekolah akupun langsung bergegas menuju Iko. Dan begitu sampai disana.. Seorang laki-laki, yang umurnya tampak tak jauh berbeda dariku, tengah bermain-main dengan Iko. Apakah ia adalah orang yang selama ini ikut merawat Iko? Apakah orang ini yang selama ini menjadi pengganti diriku disaat aku tak dapat menemui Iko? Aku jadi penasaran siapa dia sebenarnya dan mengapa kami tak pernah bertemu sebelumnya.
Aku melangkah mendekatinya, melihatnya yang sedang tertawa-tawa bermain dengan menggunakan ranting pohon dengan Iko. Aku memberanikan diri bertanya padanya
“Maaf, apakah kamu.. yang selama ini merawat Iko?”
Orang itu menengokkan kepalanya kepadaku, kemudian
“Iko? Jika yang kau maksud ‘Iko’ adalah Lisa, kucing ini maka, Ya, aku yang merawatnya”
Dengan senyuman yang lembut orang itu menjawabnya. Dari dekat, senyuman itu tampak familiar di dalam hatiku. Aku merasa pernah mengenal orang ini di suatu tempat. Tetapi aku tidak dapat mengingat secara pasti kapan aku pernah mengenal orang ini.
Orang itu berdiri dari duduknya, kemudian ia menyalamiku dan memperkenalkan dirinya.
“Namaku Felix, salam kenal”
“Ah.., namaku Ana, salam kenal..”
Nama itu, “Felix” sedikit membuka ingatanku. Samar-samar aku dapat mengingatnya kembali. Aku memperhatikan wajahnya, berusaha mengenalinya lagi. Tetapi tampaknya ia tahu aku tengah memperhatikan wajahnya
“Hmm? Apa ada sesuatu di wajahku?”
“Anu.. apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Oh ya, karena kau bicara begitu aku juga jadi teringat sesuatu.. tampaknya aku pernah bertemu denganmu sebelumnya..”
Seperti sepasang orang bodoh, kami berdua berdiri disana dengan tangan di dagu saling mengingat siapa kami masing-masing. Hingga akhirnya, aku melihat bekas luka seperti cakaran pada tangannya.
Secepat kilat ingatanku akan dirinya kembali. Ia adalah Felix! Tetanggaku sebelum yang pindah keluar kota 10 tahun yang lalu! Dulu kami sangat akrab dan sering bermain bersama. Dan seingatku dialah yang membuatku menyukai kucing. Karena dulu saat aku mengetahui namanya “Felix” berarti kucing. Aku sering meledeknya dengan panggilan “Si Kucing”. Hingga tanpa sadar kecintaanku pada kucing tumbuh sendirinya.
“Tunggu, tampaknya aku ingat.. jangan-jangan kamu.. Felix yang tinggal di dekat sini dan pindah 10 tahun yang lalu?”
“Loh? Bagaimana kau tahu? Jangan-jangan kau adalah... Ana si cengeng?!”
Dan ternyata memang benar, panggilan “Ana si Cengeng” hanya kudapatkan darinya. Karena aku pernah dan hanya mau menangis jika ada dirinya. Dan seingatku.. dulu aku pernah menyukainya.. Tetapi, hal itu sudah lama, lagipula kami masih kecil.
“Ternyata benar kau Felix si Kucing!!”
Pertemuanku dengan Felix dijembatani oleh Iko. Kucing yang sangat aku sayangi. Kami bercerita banyak setelah itu. Dulu ia pindah karena ayahnya pindah pekerjaan. Kini karena ia telah masuk Universitas, ia tinggal sendiri di apartemen di dekat sini. Ia bilang sekarang ia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan. Karena mimpinya sejak dulu adalah menjadi Dokter Hewan dan menolong hewan-hewan dari sakitnya, terutama kucing. Sejak kecil Felix mencintai hewan. Ia juga menjadi inspirasi bagiku yang kini juga sedang berusaha diterima di Fakultas Kedokteran Hewan di Universitas di kota ini.
Katanya ia tak bisa memelihara Iko karena apartemen tempatnya tinggal melarangnya memelihara binatang. Sementara aku bilang peraturan rumahku juga melarangku memelihara binatang. Dari tadi ia terus memanggil Iko dengan sebutan Lisa. Tanpa sengaja aku memarahinya dan mengatakan padanya bahwa namanya adalah Iko.
Tetapi ia malah tertawa, ia bilang aku tetap tak berubah, masih egois seperti dulu. Akupun tersadar bahwa, selama ini karena keegoisanku itulah yang membuatku selalu putus dengan pacarku. Aku terlalu egois memikirkan kucing hingga tak memikirkan pacarku lagi. Aku sadar ternyata kesalahan juga berasal dariku.
Dan seakan dapat membaca pikiranku, ia bilang sebenarnya ia juga egois, dan baru-baru ini ia putus dengan pacarnya. Sambil tertawa, katanya pacarnya ‘cemburu pada seekor kucing’. Karena itu ia dan pacarnya putus. Persis seperti apa yang aku alami, hanya saja kucing yang membuat cemburu pacarnya telah mati 2 bulan yang lalu.
Aku turut bersedih mendengarnya, walaupun ia masih tetap tersenyum dan tertawa saat mengatakannya. Aku dapat merasakan dari dalam lubuk hatinya sebenarnya ia merasa sedih. Karena kecintaanya pada kucing sama besarnya dengan kecintaanku pada hewan berbulu itu.
Setelah itu aku mengatakan padanya agar kami saling berjanji menjaga dan merawat Iko. Dengan diiringi senyuman lembutnya kami saling mengaitkan jari kelingking kami. Dan berjanji akan merawat Iko serta semua kucing lainnya yang tidak lagi disayangi oleh pemiliknya. Setelah itu aku ingat pernah memberinya surat pesan dengan kata-kata yang kasar padanya. Tetapi ia malah senang karena seseorang memarahinya atas kesalahannya, dan itu adalah hal yang benar. Seseorang perlu tahu apakah ia salah atau tidak. Salah satunya dengan cara menasihatinya. Walaupun sedikit kasar seperti caraku. Akupun meminta maaf telah membuatnya membaca cercaanku.
Hari itu aku pulang dengan rasa gembira. Mengetahui bahwa sahabat masa kecilku telah kembali ke kota ini. Bahkan ia tinggal di dekat sini.
Seakan dewi fortuna sedang tersenyum padaku, aku kembali diberikan kebahagiaan. Sesampainya di rumah, Mama mengatakan Papa ingin bicara padaku. Pada awalnya aku takut akan dimarahi Papa. Dan lagi kali ini aku tak tahu apa kesalahanku.
Ternyata, bukannya memarahiku tetapi Papa tiba-tiba malah memberiku izin untuk memelihara binatang. Ia bilang, setelah berdiskusi dengan Mama dan melihat kesungguhanku, ia mengizinkanku memelihara binatang. Walaupun hanya seekor saja. Aku girang dan gembira. Kini aku bisa membawa Iko ke rumah. Dan lagi kini aku dapat terus bertemu Felix, yang mulai saat ini memiliki alasan untuk pergi ke rumahku. Kurasa Papa dan Mama pun akan senang bertemu kembali dengan Felix setelah 10 tahun lamanya. Setelah itu aku langsung berterimakasih kepada keduanya. Terutama Mama. Aku tahu pasti Mama yang membujuk Papa agar mengizinkanku memelihara Iko.
Berkat Iko aku dapat bertemu dengannya kembali. Berkat Iko Papa mengizinkanku memelihara binatang. Iko bagaikan jimat keberuntungan untukku. Apakah ia juga akan membuat kehidupan asmaraku bersemi kembali? Apakah aku akan mendapatkan seorang kekasih yang sama-sama mencintai kucing? Ataukah orang itu adalah seseorang yang dulu pernah kusukai? Entahlah, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Terimakasih, Iko.
Share This Thread