Author : The_Omicron
Site : www.the-omicron.co.cc
Genre : Friendship, Slice of Life
Like The Clouds is under copyright law © 2009 the-omicron.co.cc
________
www.the-omicron.co.cc presents...
Like The Clouds
_______
Sebuah pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Kata-kata dalam sebuah novel yang pernah kubaca itu terngiang di dalam kepalaku. Kata-kata itu sangat cocok dengan keadaanku sekarang ini, dimana ini adalah saat-saat terakhirku sebagai murid sekolah, Setelah menyelesaikan 12 tahun tugasku sebagai seorang pelajar. Ya, saat ini adalah kelulusanku dari SMA. Masa-masa terindah saat remaja.
Masa-masa indah ini telah berhasil kulalui dengan baik, bersama dengan ketiga sahabat terbaikku yang telah berjuang bersamaku dalam tugas kami sebagai pelajar. Kini setelah kami menyelesaikan ujian terakhir kami dan dinyatakan lulus, kami menghadiri sebuah upacara kelulusan yang selalu diselenggarakan pihak sekolah kami setiap satu tahun sekali.
Saat ini kami satu angkatan tengah menunggu giliran kami melangkah ke atas panggung, untuk menyanyikan sebuah lagu perpisahan, di depan orang tua murid yang mengizinkan kami berguru di sekolah ini, guru-guru yang telah membimbing kami selama 3 tahun, para adik kelas kami yang manis tapi kadang bandel, dan alumnus-alumnus sekolah ini yang selalu menjadi junjungan kami. Kami bereempat berkumpul bersama di tengah-tengah ratusan teman-teman kami yang sama-sama menunggu giliran tiba.
Gadis manis yang bertubuh kecil dan bermata sipit di sebelahku adalah Raimi. Ia sering sekali menjadi bahan lelucon yang berhubungan dengan pengelihatan, baik di antara kami berempat ataupun di kelas, bahkan di seluruh angkatan kami. Akan tetapi Raimi tidak pernah sekalipun marah. Ia hanya membalas dengan lelucon atau jika ia tidak punya ide ia akan mengejar dan mencubit siapapun yang meledeknya.
Aku selalu mengingat tingkahnya yang lucu saat menyukai Zeke, seorang anak lelaki yang ia kenal dari internet.
**
1 tahun lalu.
Hari itu seperti biasanya, aku datang ke sekolah dengan terburu-buru karena bangun kesiangan. Pak Anto yang berdiri di gerbang sekolah sudah menungguku yang telah terlambat selama setengah jam. Dengan memperlihatkan wajah jengkelnya ia menggeleng-gelengkan kepalanya, melihatku yang kelelahan setelah berlari dari rumah.
Dan, begitulah. Seperti di sekolah manapun. Aku mendapat hukuman karena terlambat, apalagi selama setengah jam. Beruntung Pak Anto orang yang baik, ia ‘hanya’ menyuruhku berlari lagi keliling lapangan dengan waktu yang sama jika aku berlari dari rumahku. Ya, hukumannya itu mengandalkan kejujuranku sebagai seorang murid. Jika aku ingin berlari 2 menit ya terserah padaku. Akan tetapi karena aku anak yang jujur aku berlari selama 5 menit. Persis sama jika aku berlari dari rumahku dikurangi 5 menit.
Setelah 5 menit yang melelahkan, beliau mengizinkanku masuk ke kelas. Sambil terengah-engah aku memasuki kelas yang telah dimulai sejak tadi. Kemudian aku duduk di bangku ku yang tepat berada di sebelah Raimi.
Aneh, biasanya Raimi yang bawel itu selalu meledekku jika aku datang terlambat. Tetapi kini ia tampak termenung dan diam saja. Aku pikir pasti ada sesuatu. Tapi nanti saja kutanyakan padanya, karena saat ini adalah mata pelajaran Pak Salim seorang guru fisika yang killer.
Waktu istirahat pun tiba, akupun seperti biasanya mengajak Raimi pergi ke kantin dan berkumpul bersama Chika dan Rena. Tetapi entah mengapa seorang Raimi yang merupakan anggota ‘Klub Pecinta Istirahat’ kali ini diam saja dan tampak lemas menerima ajakanku.
Aku yang penasaran sejak tadi pagi menanyakan sesuatu yang langsung tepat sasaran.
“Hayoo.. kok dari tadi pagi bengong aja.. lagi jatuh cinta ya??”
Wajahnya menjadi lucu karena terkejut. Aku tak dapat menahan tawa, akan tetapi langsung berhenti setelah wajahnya menjadi merengut.
“Eh iya, sori sori, emangnya bener ya?”
Raimi menganggukkan kepalanya, tanda bahwa ia benar-benar jatuh cinta dengan seseorang.
“Wow, terus bagaimana orangnya? Ganteng? Baik? Tajir?”
Akan tetapi ia menjawab..
“Ga tau, aku belum ketemu langsung sama dia”
Hah? Aku bingung bagaimana bisa Raimi menyukai seseorang padahal belum melihatnya? Mengingat Raimi seorang ‘aktivis’ internet Aku bertanya lagi.
“Jangan-jangan kamu ketemu dia di internet ya?”
“Iya, aku ketemu dia lewat forum.. trus kita chatting.. orangnya baik banget deh..”
“Lah trus kamu bilang ga tau mukanya dia.. memangnya dia ga punya facebook atau apalah yang ada fotonya?”
“Ada sih... tapi aku takutnya dia ganteng cuma di foto doang.. atau lebih parah lagi dia taunya om om yang masang foto palsu... ih ngeri.. apalagi dia ngajak aku ketemuan..”
Sekali lagi aku tertawa mendengar alasannya yang lucu, setelah berhasil mengendalikan tawa aku kembali bertanya padanya
“Aduh aduh.. Raimi.. kamu itu.. gini, kamu tuh sebenernya suka dia kenapa awalnya?”
“Hmm.. dia tuh baik banget, apalagi omongan kita cocok banget. Terus dia juga suka nyemangatin aku kalo lagi sedih.. pokoknya dia baik banget deh..”
“Nah, kamu suka dia karena dia baik. Terus kenapa kamu bingung tampangnya gimana?”
Raimi tampak tersadar dari kebimbangannya, seolah menemukan jawabannya di dalam kata-kataku.
“Iya juga sih... kalo aku suka dia karena sifatnya, ngapain aku bingung dia ganteng atau ga! Iya kan?!”
“Ya iyala, tapi asal jangan jelek banget aja.. kan malu gitu kalo jalan bareng.., atau hati-hati aja kalo dia taunya om-om mesum, kalo taunya dia begitu kamu kabur aja, ga usa liat ke belakang, trus delete semua yang ada hubungannya ama dia ya!”
Raut wajahnya kembali berubah, ia tampak bimbang kembali dan memberiku ekpresi lucunya itu.
“Wah.. kamu jangan nakut-nakutin aku dong! Aku jadi bingung lagi nih!”
Akupun tertawa kembali mendengarnya, secara tiba-tiba aku mendapat ide usil untuk meledeknya
“Hahaha, aku cuma bercanda kok.., udah kamu temuin aja dia.. tapi.. jangan lupa ya.. matanya dibuka dulu.. biar ga salah ketemu om-om..”
“Wah kurang ajar!”
Ia tampak jengkel kemudian mengejarku yang berlari sekuat tenaga demi menghindari cubitan ganasnya. Menuju kantin untuk menemui Chika dan Rena.
Aku tak dapat menahan tawa tiap kali mengingat kejadian itu. Kini ia telah bertemu dengannya dan menjadi pacar orang itu, yang akhirnya kami ketahui bernama Zeke setelah kami memergokinya berjalan bersama di mall. Padahal tadinya ia menolak ajakan kami karena katanya ada urusan. Dasar Raimi..
Kemudian, gadis cantik yang bertubuh tinggi bak seorang model dan mengenakan ikat rambut itu adalah Rena. Sorot matanya yang tajam dan dalam membuat nyaris seluruh murid laki-laki di sekolahku jatuh hati padanya. Ya, dia adalah primadona sekolahku.
Aku tak dapat melupakan bagaimana kami bisa bersahabat. Karena, pada awalnya ia adalah orang yang kubenci. Tetapi akhirnya kami bisa menjadi sahabat seperti ini. Bahkan ia lebih dekat denganku di banding pada Raimi dan Chika. Dan menurutku, Rena benar-benar anak yang baik.
**
2 tahun yang lalu.
Sejak ada seorang anak pindahan yang masuk ke sekolahku, dunia serasa mengesalkan. Anak baru itu secara tiba-tiba menjadi terkenal, karena wajahnya yang cantik, rambutnya yang indah, dan tubuhnya yang tinggi dan molek. Apalagi tatapan matanya yang tajam.., Ugh, membuat gadis manapun yang melihatnya menjadi iri, termasuk aku.
Sosoknya bagaikan matahari di mataku. Menyilaukanku dan menusuk mataku tiap kali aku melihatnya, membuatku lebih baik berpaling darinya tiap kali bertemu dengannya.
Melihatnya saja sudah menggangguku, kini ia masuk klub basket bersama denganku. Sejak saat itu latihan klub menjadi bagaikan neraka. Ada 3 hal yang menjadikan keadaan klub seperti neraka, yaitu. Pertama, ada dia, Rena si Nona Terkenal. Kedua, karena kemampuan basketnya yang diatas rata-rata, bahkan aku terpaksa mengakuinya ia lebih hebat dariku yang sejak SD selalu menjadi MVP. Pelatih menjadi suka membanding-bandingkan kemampuan kami semua yang ia bilang lebih rendah darinya. Dan yang ketiga.. ugh, pandangan matanya seolah melihatku sebagai mahluk yang lebih rendah darinya, membuatku kesal saja.
Memang, kelakuan pelatih terhadap kami beralasan, karena sejak ia masuk klub basket, tim kami hampir selalu menang setiap pertandingan. Apalagi sejak itu anggota klub basket putra bertambah, mungkin mereka hanya ingin melihat Rena. Akan tetapi yang membuat kami jengkel, pelatih semakin menyukainya, dan menganak tirikan kami yang katanya ‘payah’.
Suatu hari, saat aku tengah berlatih sendirian di lapangan basket dekat rumahku, datanglah sosok yang sangat kubenci. Rena! Ternyata ia tinggal di dekat rumahku! Dan kini ia datang mengasah kemampuannya di lapangan yang telah menjadi rumah kedua bagiku. Sial! Mengapa ini bisa terjadi?!
Tetapi aku berusaha seolah-olah tak memperdulikannya. Aku tetap berlatih shooting dan lay up, sementara ia bahkan tidak bergerak sama sekali. Aku heran, apa sebenarnya yang tengah ia lakukan. Dan saat aku meliriknya.. eng ing eng, ternyata sorot mata menyebalkan itu tengah memperhatikan permainanku. Aku yang menjadi tidak konsentrasi gagal melakukan shoot. Bola yang kulempar menjadi air ball. Rasa malu yang amat sangat menyelimutiku, dari rasa malu itu berubah menjadi amarah, menjadikan Rena yang tak berbuat apa-apa menjadi kambing hitamku.
Aku yang kesal berkata dengan keras padanya, dengan nada membentak aku berkata
“Sudah puas melihatku gagal?! Cukup senang?!”
Akan tetapi ia tidak berkata apapun atau membalasku. Ia tetap diam dan berdiri di pinggir lapangan dengan sorot mata yang kubenci.
“Sudahlah, aku pergi saja, lakukan apa yang ingin kau lakukan!”
Akupun pergi meninggalkannya di lapangan dengan kekesalan di hatiku.
Akan tetapi, esok, dan esoknya kembali ia datang. Melakukan hal yang sama. Menatapku dengan pandangan itu dan membuatku menjadi ceroboh. Pada akhirnya kecerobohanku berbuah kepada sebuah luka. Aku gagal melakukan lay up kemudian terjatuh ke atas beton lapangan. Lututku terluka dan berdarah. Sebetulnya aku ingin mengeluh, tetapi aku mengurungkan niatku karena gengsi pada seseorang yang menatapku sejak tadi.
Tetapi bukannya tertawa, tersenyum, atau memperlihatkan ekspresi senang apapun, ia malah mendekatiku dan mengulurkan tangannya sambil berkata
“Kamu tidak apa-apa?”
Aku menjadi terperangah pada apa yang ia lakukan. Bukankah ia membenciku seperti aku membencinya? Mengapa ia malah menolongku? Apakah ia melakukannya untuk mengejekku?! ********! Aku tak memerlukan bantuannya.
Dengan penuh gengsi aku berdiri sendiri tanpa menyambut uluran tangannya
“Cuma begini saja..”
Sambil menahan sakit aku berjalan ke pinggir lapangan dan duduk untuk beristirahat. Kemudian, aku mengambil botol minumku yang tadinya kupikir isinya dapat kugunakan untuk membasuh lukaku. Nyatanya air di dalamnya telah habis. Saat kuputuskan untuk berjalan pulang ke rumah ia ikut duduk di sebelahku dan menanyakan
“Apa lukamu tidak apa-apa?”
“Kalau tidak kenapa-napa, untuk apa aku beristirahat sebentar?”
Jawabku dengan ketus padanya.
“Luka harus dibersihkan lho, nanti bisa kena infek-”
“Aku sudah tahu”
Jawabku kembali ketus, tetapi kali ini setengah memotong. Kulihat ia melirik botol minumku yang kosong. Lalu ia mengambil botol minumnya dan bertanya padaku
“Mau kubersihkan?”
Aku memperhatikannya, tak percaya apa yang aku dengar. Orang yang kubenci ini menawarkan untuk membersihkan lukaku? *******. Tapi.. rumahku cukup jauh jika berjalan dengan luka seperti ini, nanti bisa benar-benar terkena infeksi seperti yang ia katakan. Bisa-bisa ditertawakan olehnya bila keras kepala.
“Aku sendiri saja”
Kuulurkan tanganku meminta botol minumnya. Tampak terlihat sedikit senyuman dari wajah cantiknya itu. Walaupun aku tak begitu perduli.
Sambil membersihkan lukaku, aku jadi ingin tahu, apa sih yang sebenarnya ia lakukan dari kemarin. Mengapa ia hanya diam saja walaupun ia membawa bola basket dan aku tahu ia senang bermain basket? Dengan pertanyaan di benakku aku ajukan padanya
“Hei, sebenarnya apa sih yang kamu lakukan dari kemarin? Menyebalkan tahu”
Dengan suara yang pelan ia menjawab
“Aku.. juga ingin bermain basket.. tapi aku tak mau bermain sendirian.. aku cuma ingin bermain bersama teman..”
Saat itu hatiku bagai terketuk. Ternyata ia hanyalah seorang gadis biasa yang membutuhkan seorang teman, seorang teman dengan hobby yang sama dengannya. Walaupun begitu, ia tetap orang yang kubenci, aku tak boleh kasihan padanya. Tapi... bolehlah jika bermain bersamanya.. lagipula aku juga bosan bermain sendiri setiap hari.
“Ya sudah, kita 1 on 1, tapi yang kalah harus membelikan minum ya?”
Dengan syarat yang kuajukan ia menyetujuinya, dengan senyuman gembira merasa diterima olehku. Berawal dari saat itu aku terus bermain basket bersamanya, dan selalu berakhir dengan.. kekalahanku.. memang menyebalkan, tapi kuakui ia memang pebasket yang tangguh.
Beberapa hari kemudian, saat istirahat pagi, seperti biasa aku dan Raimi pergi menuju kantin untuk menemui Chika. Akan tetapi saat aku melewati 4 orang kakak kelas yang tengah mengobrol, aku mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan.
Dari yang kudengar, mereka berempat merencanakan sesuatu untuk mem-bully Rena saat istirahat siang nanti di lapangan basket. Karena mereka bilang mereka kesal dengan ‘tingkah’ nya yang mana Rena bahkan tak melakukan apapun. Kupikir ‘tingkah’ maksud mereka adalah ‘penampilan dan kemampuan’ Rena. Tapi yang paling mereka benci adalah.. sorot matanya! Persis seperti yang kurasakan. Apakah sorot matanya membuat semua gadis di sekolah ini membencinya?
Rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran pada Rena membuatku mengikuti mereka ke lapangan saat istirahat siang, tentunya tanpa mereka ketahui. Mereka berempat menunggu Rena disana, hingga, Rena datang tanpa curiga.
Saat ia bertanya mengapa ia dipanggil, ia langsung dibentak tanpa alasan, dihardik dan ditekan oleh mereka berempat. Pada awalnya aku merasa senang karena akhirnya ia mendapatkan pelajaran. Hingga terdengar suara tidak mengenakkan dari arah mereka.
“PLAK!!”
Salah satu dari kakak kelas itu menampar Rena dengan kuat hingga terjatuh. Kurang ajar, ini sudah keterlaluan, meski menurutku Rena pantas menerima bentakan demi bentakan itu, tapi tamparan itu tidak sepantasnya ia terima. Mereka bahkan bukan ibunya! Dengan pede aku datang dan berlagak tidak tahu apa yang terjadi.
“Lho kalian sedang main basket ya?”
Mereka berempat kaget saat aku datang dan bertanya dengan polosnya.
“Lho.. Rena, kamu kenapa duduk disitu?”
Berlagak sok ramah aku berusaha membantu Rena untuk berdiri dari jatuhnya.
“Heh, kamu jangan ikut-ikutan ya?!”
“Lho, tapi Rena temanku kok aku ga boleh ikutan?”
Kakak kelas yang mengancamku tampak kesal, tetapi salah seorang dari mereka tampaknya mengenalku kemudian berbisik-bisik berempat.
“Eh, kamu adiknya Kak Lina ya?”
Kakak kelas yang tadi membentakku bertanya padaku.
“Ya, memangnya kenapa?”
“Oh, ga ada apa-apa, cuma nanya aja, sudah ya, main berdua saja sana, kita mau ke kantin..”
Mereka berempat tampak pergi dengan terburu-buru.
“Dasar.. setelah tahu aku adik alumni super judes dan super galak mereka jadi takut.. payah.. nanti kuberi tahu kakak biar mereka dapat pelajaran..”
“Hei, kamu baik-baik saja? Tamparannya sakit tidak?”
Bukannya menjawab ia malah memelukku dan menangis. Tak pernah kulihat ia seperti ini. Selama ini ia selalu terlihat angkuh dengan tatapan matanya itu. Begitu kutanyakan ia bilang ia membenci dirinya sendiri, ia membenci tatapan matanya yang tajam itu. Selama ini ia selalu berpindah-pindah sekolah karena semua orang kecuali laki-laki selalu membencinya dan menekannya. Kemudian setelah ia pindah ke kota ini ia mendapat perlakuan yang sama. Tak kusangka Ia sangat menyedihkan.
Dengan sok tahu dan nada menggurui aku mengatakan padanya nasihat yang pernah kubaca pada sebuah novel
“Rena, jika kamu bahkan membenci dirimu sendiri, jangan pernah berharap orang akan menyukaimu.. belajarlah mencintai dirimu sendiri dulu, baru orang lain..”
Aku sendiri pun tergetar oleh kata-kataku sendiri. Seperti orang bodoh saja, aku bahkan juga pernah ikut-ikutan membencinya. Tapi kini setelah mengetahui semua ini aku sadar membenci seseorang dengan alasan yang konyol adalah benar-benar salah. Setelah itu aku tersadar telah melakukan sesuatu yang salah dan menjadi sahabatnya, memperkenalkannya kepada Raimi dan Chika yang dengan senang hati menerimanya.
Begitulah kisahku saat pertama kali bertemu dengannya. Ternyata ia sangat cocok denganku. Bahkan ia juga suka membaca novel seperti diriku, membuat obrolan diantara kami semakin cocok.
Lain lagi dengan Chika, gadis berbando coklat yang tampak anggun ini. Bisa dikatakan ia adalah ‘ibu’ dari kelompok kami. Ia sangat baik kepada kami bahkan siapapun. Kata-katanya selalu bijaksana dan membuat kami tenang. Ia pun tidak pernah terburu-buru melakukan sesuatu. Pokoknya ia imej seorang ‘Perfect Woman’ deh. Memasak adalah hal kecil baginya.
Chika telah menjadi sahabatku sejak umur 5 tahun. Kami berasal dari TK yang sama, SD yang sama, SMP yang sama, dan SMA yang sama pula. Tetapi setelah ini mungkin kami tak bisa bersama lagi. Karena ia telah mendapatkan beasiswa di Universitas Birmingham jurusan Chef and Food Production. Kemampuan memasaknya sangat handal. Lagipula cita-citanya adalah menjadi koki profesional yang terkenal di dunia, untuk kemudian memberi anak-anak miskin dan terlantar makanan terenak darinya. Sungguh mulia cita-citanya.. sama sekali berbeda dengan remaja biasa.
Aku sangat bersyukur karena Chika dapat melanjutkan jalan menuju cita-citanya ke jenjang selanjutnya. Akan tetapi aku merasa sedikit sedih dan kesepian mengingat kami tak dapat bertemu lagi kapan saja. Ia akan pergi jauh, jauh dariku dan kami semua. Memikirkannya membuat hatiku terasa pedih.
Aku tak dapat melupakan jasa-jasanya padaku. Sejak dulu ia telah banyak membantuku. Aku tak pernah melupakan saat aku TK dulu. Saat aku menjadi objek untuk diganggu oleh anak-anak lelaki, ia yang melindungiku dan membuatku berhenti menangis. Saat aku SD dimana aku masih egois dan menginginkan mainannya, ia selalu memberikannya padaku dengan senyuman yang sampai sekarang tetap tak berubah. Saat aku SMP dan tetap sebagai orang yang egois dan menyukai orang yang ia sukai, dengan senyuman yang sama ia mengalah padaku, membuatku tersadar dari keegoisanku untuk selamanya.
Ia juga sering mengajarkanku pelajaran yang tak kupahami, mengajarkanku memasak, dan mengajarkanku hal-hal yang dapat berguna di kehidupanku nantinya. Ia bagaikan kombinasi dari seorang sahabat, guru, kakak, dan ibu. Aku benar-benar sangat menyayanginya.
Pada akhirnya saat kami tampil di panggung tiba. Kami melangkah satu demi satu menuju panggung tempat kami dapat berkumpul bersama untuk terakhir kalinya di sekolah ini. Nyanyian lagu perpisahan ini membuat air mata kami menetes. Biarlah air mata ini menetes, asalkan semua kenangan ini tetap terukir di hati kami masing-masing.
Bertahun-tahun kami telah bersama, dalam suka dan duka. Ketika kami masih kecil bagaikan sekelompok awan Cirrocumulus, hingga kami tumbuh menjadi semakin dewasa bagaikan awan Stratocumulus. Bahkan saat kami bersedih bagaikan awan Altostratus. Kami tetap bersama di angkasa berusaha meraih cita-cita di langit. Biarlah kami menjadi Cirrostratus yang saling berjauhan dan tinggi di langit untuk menggapai cita-cita. Tetapi aku yakin suatu saat kami akan berkumpul kembali sebagai Cumulonimbus yang besar dan tebal. Dan menaungi segenap kehidupan di bawahnya dari teriknya sinar matahari.
Sampai jumpa Chika, Raimi, Rena, dan kawan-kawan semua. Semoga kalian selalu berbahagia, menggapai cita-cita. Di langit sana.
Share This Thread