Results 1 to 5 of 5
http://idgs.in/271234
  1. #1
    the_omicron's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Location
    di Cinere say........... Ongoing Novel: S|L|M
    Posts
    3,908
    Points
    13,246.30
    Thanks: 6 / 116 / 69

    Default [Cerpen]The Colors Through Our Eyes


    Author : The_Omicron
    Site : www.the-omicron.co.cc
    Genre : Drama, Philosophy, Abstract

    The Colors Through Our Eyes is under copyright law © 2010 the-omicron.co.cc



    ________

    www.the-omicron.co.cc presents...


    The Colors Through Our Eyes



    _______


    3 bulan berlalu semenjak pertemuan kami di akhir musim dingin. Kini kami berdiri di bukit ini, memandang akhir musim semi sebagai akhir dari pertemuan kami.


    3 bulan yang lalu..

    --

    Suara langkah sepatuku yang terdengar sedikit terseret menandakan keputus-asaanku akan kelanjutan dari pendidikanku. Menyururi bentangan aspal menuju sebuah bukit kecil yang berada di pinggir kota. Aku berjalan menuju tempat itu.

    Diatas jalanan yang separuh tertutup salju, terhampar sebuah jalanan menanjak di depan mataku. Aku berjalan diatas aspal yang licin dengan es dan salju yang berada di atasnya. Rel besi pengaman yang terdapat di sepanjang sisi curam jalan terlihat dingin seolah mengacuhkanku yang berjalan di sampingnya.

    Matahari senja tak dapat menolongku dari kelelahan hati ini. Tekanan dari keluarga atas prestasi dan ekspektasi yang berlebihan dari mereka padaku seolah memberiku beban yang tak dapat kupikul lagi. Kini setelah aku gagal, aku merasa dunia ini akan hancur.

    Menghela nafas dalam-dalam tak dapat membuatku melupakan kekecewaan ini. Entah mengapa aku kecewa, akupun tak mengerti, karena hal yang kualami ini seharusnya bukanlah jalan yang kupilih sendiri. Dalam hatiku aku benci menjalankannya, namun aku terus melakukannya atas sesuatu yang kupercayai “demi keluargaku” dan bukan “demi diriku”. Walaupun begitu setelah aku gagal seperti sekarang ini aku merasa kecewa. Ironis bukan?

    Kulipat tanganku dan bersandar di atas rel pengaman jalan. Kupandangi lautan bangunan dengan atap berwarna jingga dari pantulan sinar matahari senja yang dipantulkan oleh tumpukan salju. Kota yang sekarang kulihat kini berada dalam satu warna yang seragam. Jingga.

    Kudengar langkah kaki seseorang yang terdengar semakin dekat. Perlahan-lahan terlihat seorang gadis berambut panjang dengan bando bercorak kotak-kotak yang kira-kira seumuran denganku, datang kemudian berdiri tak jauh dariku. Diam dan memandang kota yang berbalut warna jingga dengan kedua tangan yang terlipat di depan tubuhnya yang berbalut sweater putih yang panjang. Namun apa peduliku.

    Satu jam kemudian..

    --

    Ia terus terdiam disana, tak sepatahkatapun ia ucapkan dan tak sebuah gerakan pun ia lakukan. Matanya bagaikan bisu memandang kota ini. Bibirnya seakan telah dibekukan oleh hatinya. Setiap kulirikkan mataku padanya, aku melihat diriku. Membuat rasa ingin tahu di dalam hatiku menyuruh mulutku mengucapkan pertanyaan padanya.

    “Hei.. mengapa kau ke tempat ini?”

    “Tidak ada alasan khusus..”

    “Aku… gagal diterima di fakultas kedokteran di Universitas..”

    “Anehnya.. kini aku merasa kecewa.. padahal bukanlah atas keinginanku aku mengambil tes ujian masuk fakultas kedokteran.. aku hanya melakukannya atas tekanan dari keluargaku.. kupaksakan diriku berjuang untuk hal yang fana dalam filosofi “Demi Keluarga” dan melupakan diriku sendiri.. namun di saat aku gagal dalam sesuatu yang tak membuatku rugi, aku merasa kecewa..”

    “Ah, maaf.. kenapa aku jadi berbicara sendiri.. mulutku seolah tak dapat berhenti mengatakan semuanya.. maafkan aku telah lancang memaksamu mendengarnya..”

    “Tidak menjadi masalah untukku.. apa yang kau lakukan dan kau rasakan manusiawi..”

    Perlahan ketegasan di wajahnya yang datar tanpa ekspresi berubah menjadi tundukan penuh arti kesedihan. Seolah ia juga memiliki beban yang sama beratnya, atau mungkin lebih berat dari yang kupikul sekarang ini.

    Ia menggeser sepatunya dan kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan tempat ini. Sebelum ia pergi aku ingin mengetahui namanya.

    “Tunggu, sebelum kau pergi.. boleh aku tahu namamu?”

    .

    “Elisabeth, Elisabeth Sophie Lisette..”

    “Elisabeth.., namaku Adrian.. Adrian Packard..”

    Ia terus berjalan seolah tidak mendengarkanku berbicara, namun aku bertekad ingin menyampaikan perasaanku ini setelah berbicara dengannya.

    “Elisabeth! Setelah berbicara denganmu hatiku terasa lebih ringan! Bisakah kita bertemu lagi?!”

    Elisabeth berhenti sesaat, menengok padaku, kemudian memberikan senyuman kecil yang segera menghilang setelah Ia berjalan kembali.


    --

    1 jam yang lalu..

    --

    Orang bilang, dunia ini memiliki warna, namun.. mataku tidak dapat melihatnya. Kebutaanwarna akibat kelainan genetika membuatku hanya dapat melihat dunia sebagai hitam atau putih. Kadang aku iri pada mereka yang dapat melihat semua spektrum warna dari cahaya-cahaya yang menerangi dunia ini. Kerlap-kerlip bintang di langit, birunya langit musim panas, gugurnya dedaunan oranye pada musim gugur, dan cerahnya warna warni bunga-bunga di musim semi.

    Namun, musim dingin adalah musim yang paling kusukai dari keempat musim yang silih berganti di kota ini. Orang bilang, semua terlihat putih dibawah balutan salju. Musim dingin adalah satu-satunya musim yang membuat orang-orang dapat sedikit mengerti dunia yang selalu kulihat. Dunia yang tidak memiliki warna, hanya hitam, dan putih.

    Sejak kecil.. menjadi dokter adalah mimpiku. Mimpi yang selalu kuinginkan. Mimpi untuk dapat menolong dan menyembuhkan orang-orang yang mengalami kekurangan fisik sepertiku. Menyembuhkan mereka, membuat dunia menjadi berwarna bagi mereka seperti seharusnya. Warna-warna yang menjadi hak mereka.

    Kedua orangtuaku bilang untuk menjadi dokter haruslah pintar dan memiliki nilai yang bagus. Dengan berpegang pada sepatah kata “pintar” aku terus berjuang dan berjuang, belajar siang malam demi menggapai mimpiku.

    Namun.. hari ini aku baru saja dihadapkan pada kenyataan yang membuatku harus membuang mimpiku jauh-jauh. Aku bertanya-tanya mengapa kedua orang tuaku dan semua orang terdekat yang kukenal tidak pernah memberitahuku akan hal ini. Apakah aku yang bodoh atau mereka yang kejam. Aku tidak tahu, aku kecewa. Mimpi yang selalu kuinginkan sejak aku kecil harus menghilang bagaikan asap tertiup angin.

    Berjalan di kota tanpa tujuan, aku melihat bukit itu. Bukit kecil yang berdiri dengan indah di pinggir kota dibawah balutan salju. Entah mengapa kakiku membawaku kesana langkah demi langkah.tanpa kusadari sebuah jalan menanjak dengan salju di sisi-sisinya dan sebuah rel besi yang berdiri dengan dingin dan kokoh.

    Kulangkahkan kakiku menaiki hamparan aspal dengan aksen dari salju dan balutan sinar matahari senja. Warna oranye indah yang seharusnya kulihat hanya terlihat sebagai warna abu-abu terang yang mati dan tidak memberikan emosi apapun, membuat dunia ini terlihat membosankan.

    Hingga akhirnya aku tiba di puncak bukit itu, seorang laki-laki yang kira-kira berumur sama denganku, bersandar pada rel besi yang dingin dan angkuh menopang tubuh manusia dengan pandangan mata yang terlihat amat menyedihkan.

    Caranya memandang dunia di depan matanya membuatku mengingat diriku sendiri dengan berbagai kesedihan dan kekecewaanku. Hingga tanpa sadar aku berdiri tidak jauh darinya dan mengikuti apa yang ia lakukan, memandang hamparan atap kota yang berbalutkan salju. Mataku mencari-cari apa yang sedang dilihat laki-laki itu, namun, hanya salju yang dapat kulihat sejauh mataku memandang. Ataukah ada sesuatu yang memiliki warna yang menarik hatinya? Entahlah, aku hanya melihat hitam dan putih di hadapanku.

    Lama setelah aku berusaha mengetahui apa yang tengah ia lihat, pada saat aku akan menyerah, ia membuka percakapan denganku dan bertanya

    “Hei.. mengapa kau ke tempat ini?”

    Akupun tak tahu mengapa aku datang ke tempat ini, aku tak dapat memberikan jawaban apapun kepadanya selain

    “Tak ada alasan khusus”.

    Anehnya meski tidak kutanyakan, ia bercerita alasan mengapa ia berada di sini kepadaku. Berbicara, dan terus berbicara, aku mengerti ia hanya ingin menumpahkan semua beban yang memberatkan hatinya. Dan ternyata alasan ia berada disini bertolak belakang dengan alasanku berada disini. Ia yang berjuang demi orang lain, dan aku yang berjuang demi diriku sendiri. Satu-satunya persamaan adalah kami sama-sama gagal menggapai buah perjuangan itu, tersungkur dalam kekecewaan mempertemukan kami berdua di bukit ini.

    Setiap kata-katanya semakin membuatku teringat kepada kekecewaanku. Aku yang tak tahan lagi menahan perasaan ini melangkahkan kakiku dengan berat kembali menuju rumahku.

    “Tunggu, sebelum kau pergi.. boleh aku tahu namamu?”

    .

    “Elisabeth, Elisabeth Sophie Lisette..”

    “Elisabeth.., namaku Adrian.. Adrian Packard..”

    Adrian.. Packard.. namamu akan selalu kuingat..

    “Elisabeth! Setelah berbicara denganmu hatiku terasa lebih ringan! Bisakah kita bertemu lagi?!”

    Begitupun denganku Adrian, aku berharap.. esok kita akan dapat bertemu lagi..

    --


    “Jadi.. apa sebenarnya alasanmu datang kesini? Elisabeth?”

    “...”

    “Ayolah.. aku belum mendengar alasanmu sejak pertama kali kita bertemu..”

    “Aku.. buta warna.. total..”

    “Dalam duniaku, hanya ada 2 warna, hitam.., dan putih..”

    “Namun dari kedua warna itu, aku tidak menyukai hitam.. karena hitam membuatku merasa takut, membuat mata hatiku serasa gelap, dan membuat aku tak dapat membedakan apakah aku tengah memejamkan mataku atau tidak... hitam adalah kepalsuan buatku..”

    “Aku tak tahu harus berkata apa, tapi... apa hubungannya dengan alasanmu datang kesini?”

    “Tidak ada”

    --

    “Jadi.. ini sudah awal musim semi dan aku belum mengerti alasanmu datang kesini..?’

    “...”

    “Ayolah.., jangan membuatku memohon..”

    “Kau tahu? Orang bilang kebohongan demi kebaikan diizinkan oleh dunia.. namun.. ‘kebaikan’ itu sendiri adalah hal yang relatif.. apakah ‘kebaikan’ itu untuk dirimu sendiri, ataukah ‘kebaikan’ itu demi orang lain? Meski begitu apakah kau adalah Tuhan hingga mengetahui yang terbaik untuk orang lain?”

    “Jadi kali ini apakah tidak ada hubungannya lagi dengan pertanyaan yang kuberikan?”

    “Adrian, apakah kau pernah dibohongi oleh keluargamu sendiri dan orang-orang terdekatmu?”

    “...”

    “Itulah yang terjadi padaku.. kau tahu? Aku selalu bermimpi menjadi dokter.. sejak aku kecil.. demi menolong anak-anak yang mengalami cacat sepertiku..”

    “Lalu kali ini apa hubungannya?”

    “Menurutmu?”

    --

    “Ayolah Elisabeth.. sudah 2 bulan sejak kita bertemu dan aku belum mengetahui alasanmu datang kesini..”

    “Lantas kenapa kau masih datang kesini?”

    “...”

    “Entahlah.. aku juga tidak tahu.. aku merasa bebanku semakin berkurang sedikit demi sedikit sejak aku datang kesini..”

    “Begitupun denganku..”

    “Jadi bisakah aku mengetahui alasanmu yang sebenarnya?”

    “Mungkin.. jika kau mau mengikuti syarat dariku..”

    “Apa itu? Aku akan melakukan apa yang dapat kulakukan..”

    “Bisakah kau berjanji.. akan memberitahuku warna-warna dari apa yang kulihat?”

    “Maksudmu pemandangan ini? Baiklah.. kurasa ini hal yang mudah..”

    “Maka bertahukanlah padaku.. “

    “Pertama.. langit disana berwarna biru, biru terang yang indah-“

    “Biru terang? Seterang apa?”

    “Er.. terang.. seperti.. er... seterang..”

    “Lanjutkanlah”

    “Baik, baik, lalu.. atap-atap dari kota ini.. berwarna warni.. mulai dari jingga, biru, merah, sampai kelabu dan putih..”

    “Lalu?”

    “Lalu.. pepohonan itu memiliki dedaunan yang berwarna hijau gelap, tapi ada juga yang berwarna hijau kekuningan-“

    “Hijau gelap? Seperti apa? Hijau kekuningan itu seperti apa?”

    “Hijau gelap.. hmmm.. kurasa agak susah menjelaskannya.. hijau kekuningan.. ya.. seperti namanya.. hijau tapi lebih mengarah ke kuning.. er.. tapi.. rasanya kau tak akan mengerti meski kujelaskan..”

    “Hei, kenapa malah tersenyum dan tertawa seperti itu? Apa ada yang aneh?”

    “Maaf-maaf.. aku hanya heran.. kau yang dapat melihat semua itu bahkan tidak dapat menjelaskannya padaku.. seolah-olah warna-warna itu tidak berarti bagimu..”

    “Kau salah.”

    “Warna dapat memberikanmu perasaan.. suatu emosi yang terpancar dari spektrum yang terlihat oleh matamu.. birunya langit membuatku merasa bebas, merasa tenang... sementara hijaunya dedaunan membuatku merasa sejuk.. merasa nyaman.. kurasa.. seperti itulah aku melihat dunia.., dunia yang penuh warna ini..”

    “Lalu apa kau tahu apa yang kulihat? Langit itu berwarna kelabu terang.. sementara dedaunan itu berwarna kelabu gelap.. semua yang kulihat tidak memancarkan emosi apapun dan hanya terdiri dari hitam dan putih..”

    “Maaf..”

    “Tidak perlu meminta maaf.. aku tidak pernah merasa kebutaan warna ini sebagai sesuatu yang perlu disesali.. ini adalah pemberian Tuhan dan aku harus menerimanya..”

    “Elisabeth..”

    “Hanya saja.. aku tak dapat mentolerir kebohongan apapun.. kebohongan adalah sifat dasar manusia yang paling kubenci.. aku lebih memilih kejujuran sepahit apapun itu. Mereka dengan sengaja menutupinya dariku.. membuatku harus menyerah dan membuang jauh-jauh mimpiku tepat di saat aku mengira aku sedikit lagi dapat menggapainya..”

    “Apa maksudmu?”

    “Apa kau tahu? Menjadi seorang dokter memerlukan persyaratan yang tak dapat kulewati sekeras apapun aku berusaha.. menjadi seorang dokter.. tidaklah boleh seorang yang buta warna..”

    “...”

    “Mimpiku harus kubuang tepat di hadapanku.. bertahun-tahun aku belajar dan belajar siang dan malam demi menggapai mimpi yang fana.. tanpa ada siapapun yang memberitahuku bahwa yang aku lakukan tak ada gunanya.. dengan alasan demi kebaikanku agar aku tak terluka..”

    “Tapi nyatanya? Kebohongan hanya dapat menunda kebenaran dan tidak dapat mengelakkannya.. pada akhirnya aku tetap terluka.. dan membuang mimpi yang telah menjadi tujuan hidupku..”

    “Bagaimana? Apakah sekarang kau sudah puas mengetahui alasanku berada di sini?”

    “Kurasa..”

    “Baiklah.. kita akhiri saja pembicaraan membosankan ini.. besok kau harus ikut denganku dan memberitahuku warna-warna dunia ini sesuai janjimu padaku”

    “Hah? Kukira sudah selesai?”

    “Janji adalah janji Adrian”

    --

    2 Bulan 29 hari setelah pertemuan pertama kami..

    --

    “Lalu, apa warna lautan itu?”

    “Biru terang, begitu juga dengan langitnya..”

    “Dan hamparan pasir ini?”

    “Putih kekuningan”

    “Lalu.. bagaimana dengan rambutku?”

    “Coklat gelap.. dan.. hei.. apakah itu uban?”

    “Kurang ajar!”

    Berkat ledekanku Elisabeth mengejarku dan membuatku merasakan 3 pukulan darinya.

    “Lalu... ada sesuatu yang ingin kupastikan, dan aku belum pernah bertanya kepada siapapun hingga saat ini karena aku takut tak dapat menerima jawabannya.. namun Adrian, aku percaya kau akan memberiku jawaban paling jujur yang pernah kudengar..”

    Hatiku berdegup kencang saat ia hendak melontarkan pertanyaannya padaku. Berdegup semakin kencang, dan semakin kencang, hingga..

    “Apakah warna mataku ini..?”

    Mendengar pertanyaannya, keraguan mulai menyelimuti hatiku, seakan warna-warna kegelapan tengah merangkul jiwaku, berusaha menjauhkanku dari kejujuran yang mungkin akan menyakitkan hatinya. Namun, kuingat kata-kata Elisabeth bahwa ia tidak menyukai seorang pembohong dan lebih baik menerima kejujuran sepahit apapun itu.

    “Hitam”

    --

    Esok dan seterusnya, Elisabeth tak pernah datang lagi ke tempat itu. Bukit itu kini menjadi tempat kenangan bagi diriku dan dirinya. Di tempat itu, kami bertemu dan saling menyadari jati diri kami masing-masing. Aku mengambil kembali tes fakultas kedokteran satu tahun kemudian, kali ini bukan demi orang tuaku, bukan demi Elisabeth, namun demi diriku. Kini mimpi Elisabeth menjadi mimpiku, dan aku berhasil menggapai mimpi yang terpaksa ditinggalkannya.

    **

    50 tahun kemudian, di sebuah museum seni terkenal di sebuah kota di Eropa, terpajang dengan agung 3 buah lukisan yang sangat indah. Lukisan yang pertama berjudul “The Color Of Him” (Warna Dirinya), menggambarkan seorang laki-laki yang tengah berdiri membelakangi lukisan dan memandang sebuah kota yang berbalutkan salju yang memantulkan cahaya jingga dari matahari senja. Lukisan yang kedua berjudul “The Color of Me”, sebuah lukisan abstrak yang hanya terdiri dari 3 warna, Putih, Kelabu, dan Hitam. Kemudian lukisan yang terakhir, sebuah lukisan dengan paduan warna yang sangat indah dan tak terbayangkan, menggambarkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memandang lautan dan membelakangi lukisan dengan tangan mereka saling bertautan. Ketiga lukisan itu merupakan karya dari.. Elisabeth Sophie Lisette.




    Click To Read Sweet~.

    Mari Menulis Disini

    Quote Originally Posted by dono View Post
    Dilihat dari system server kami, dikarenakan sudah lebih dari 2000 pages kami mengambil keputusan untuk menutup thread in, karena menyebabkan ada nya keberatan dari server forum sendiri. Mohon maap dan terimakasih.

  2. Hot Ad
  3. The Following 4 Users Say Thank You to the_omicron For This Useful Post:
  4. #2
    dnd_polos's Avatar
    Join Date
    Jul 2009
    Posts
    467
    Points
    577.40
    Thanks: 31 / 10 / 6

    Default

    asle keren abiz ...


    Hunter Paling Tampan

  5. #3

    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Gabrielizm.co.cc
    Posts
    1,290
    Points
    567.70
    Thanks: 134 / 67 / 52

    Default

    gak ada obatnya did

  6. #4
    Jin_Botol's Avatar
    Join Date
    Aug 2007
    Location
    Jakarta "Kota 3in1"
    Posts
    1,111
    Points
    1,058.00
    Thanks: 30 / 38 / 24

    Default

    nice2 did smile:
    Gemini, The Two-Facets Personality

  7. #5
    LordTauren's Avatar
    Join Date
    Mar 2007
    Location
    Red Land of Orchis
    Posts
    1,209
    Points
    564.22
    Thanks: 42 / 29 / 21

    Default

    cman bisa bilang
    Bagus banget >.<

    kapan ya gw bisa bkin cerita sebagus itu...

    btw itu sad ending ato happy ending ya?
    Last edited by LordTauren; 22-02-10 at 23:11.
    From nothing get a thing... And from everything back to nothing

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •