Membangkitkan Industri Jalan Tol...
Selasa, 25 Agustus 2009 | 15:48 WIB
oleh Wartawan Kompas Haryo Damardono
KOMPAS.com — Faktanya kini, baru 600-an kilometer jalan tol terbangun dari rencana pemerintah membangun 1.600 km jalan tol. Ambisi pemerintah membangun jaringan Tol Trans-Jawa dari Jakarta ke Surabaya juga gagal diwujudkan tahun 2009/2010. Industri jalan tol Indonesia memang sedang terpuruk. Bagaimana caranya bangkit dari kematian?
Sungguh memprihatinkan, menyaksikan perkembangan jalan tol di Indonesia. Pembangunannya sungguh lamban, bahkan bila dibandingkan Malaysia. Negara tetangga itu hingga kini telah membangun lebih dari 6.000 km highway, atau jaringan jalan sekelas jalan tol di Indonesia.
Padahal, Indonesia lebih dahulu membangun jalan tol. Pada 9 Maret 1978, mobil-mobil mulai lalu lalang di tol Jagorawi, menempuh ruas Jakarta-Bogor-Ciawi. Bertindak sebagai operator adalah PT Jasa Marga, badan usaha yang didirikan pada 1 Maret 1978.
Ringkasnya, selama tiga dekade, Indonesia rata-rata hanya membangun 20 kilometer jalan tol setara jarak dari Pancoran menuju Depok. Bandingkan dengan Malaysia yang mampu membangun 285 km jalan tol per tahun, atau China yang membangun 14 km jalan tol per hari!
Mengapa harus dibangun jalan tol? Di Spanyol atau negara maju lain, yang penggunanya tak perlu membayar satu rupiah pun untuk melintasi jalan tol (baca: jalan bebas hambatan), keberadaan jalan tersebut sungguh-sungguh demi melayani pergerakan barang dan penumpang.
Jalan tol di Indonesia dibangun dengan peran swasta. Hal itu lebih karena pemerintah tak punya cukup uang untuk memelihara, apalagi membangun jalan. Data Departemen Pekerjaan Umum (PU) menunjukkan, total kebutuhan pemeliharaan dan pembangunan jalan dalam lima tahun (2006-2010) adalah Rp 120 triliun, tetapi realitasnya hanya tersedia Rp 69,39 triliun.
Menurut hitungan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), untuk membangun Tol Trans-Jawa dibutuhkan dana Rp 40 triliun. Maka bila pemerintah tak menyerahkan pembangunan tol kepada swasta, boleh jadi hampir 60 persen anggaran Departemen PU hanya untuk mengurusi jalan dari Jakarta hingga Surabaya. Boleh jadi muncul tudingan, infrastruktur di Jawa dianak-emaskan.
Bila infrastruktur jalan hanya dipusatkan di Pulau Jawa, lantas bagaimana dengan pembangunan jalan di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara? Lalu, bagaimana pembangunan jalan di pulau-pulau yang kaya dengan tambang, seperti di Pulau Kalimantan dan Pulau Papua?
Maka, peran serta swasta dinanti untuk membangun jalan tol. Tak hanya memberi peluang agar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dipakai membangun jaringan jalan di pelosok negeri, tetapi juga harapan agar investor lebih cepat membangun jalan tol.
Tujuannya, tercipta sebuah koridor jalan yang mampu dilewati dengan lebih efisien. Hal mana tercermin dari antara lain, ketersediaan ruas jalan dengan kualitas baik sehingga mempersingkat waktu tempuh, menghemat bahan bakar, dan memperlama pemakaian suku cadang. Tujuan akhirnya adalah, meningkatnya daya saing perekonomian republik ini.
Bagi pengusaha apel Malang, misalnya, jalan tol Surabaya-Jakarta diharapkan mempermudah ongkos transportasi. Kini diduga, harga apel Malang lebih mahal dari apel China lantaran ongkos transportasi yang terlampau tinggi akibat ketiadaan infrastruktur jalan yang representatif.
Nelayan di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, juga menginginkan terusan jalan tol Jagorawi, dari Ciawi hingga Sukabumi, syukur-syukur Pelabuhan Ratu. Sebab bila waktu tempuh Pelabuhan Ratu hingga Pelabuhan Muara Baru lebih singkat, maka harga tuna yang diekspor ke Jepang dapat lebih tinggi.
Lebih rinci, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan menyebutkan, jalan tol dibangun untuk memperlancar lalu lintas di daerah berkembang; meningkatkan distribusi barang dan jasa; meringankan beban dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan; serta meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan.
Karpet merah investasi
Sedari lama, pemerintah telah menjanjikan karpet merah bagi investor, tak terkecuali bagi investor jalan tol. Regulasi demi regulasi baru diterbitkan, bertujuan untuk memudahkan investasi di sektor ini.
Telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Adapun Perpres Nomor 36 Tahun 2005 adalah penyempurnaan dari Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Selain itu, telah dibentuk Lembaga Penilai Harga Tanah, yakni lembaga profesional dan independen untuk menilai penilaian harga tanah. Tujuannya untuk meredam sengketa terkait penetapan harga tanah. Lembaga itu pun diamanatkan oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007.
Dua hal penting yang diharapkan dari pemerintah dalam proyek jalan tol ini adalah masalah pembebasan lahan dan kepastian dalam penetapan tarif.
Dikarenakan wewenang pembebasan lahan ada di tangan Panitia Pembebasan Tanah (P2T) sebagai organ pemerintah, maka diharapkan pemerintah berbuat yang terbaik yang tercepat untuk membebaskan lahan.
Mengapa? Karena setiap penundaan penyelesaian pembebasan lahan dapat meningkatkan biaya investasi. Dampak akhirnya, terjadi penurunan tingkat pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR).
Padahal IRR sangat-sangat diperhitungkan oleh investor sebab jangan sampai jerih payahnya untuk membangun infrastruktur yang membutuhkan perencanaan dan penanganan yang rumit ternyata akhirnya tak mendatangkan margin keuntungan yang memadai.
Sekadar catatan, Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta atau Jakarta Outer Ring Road Ruas E1 Seksi IV, atau lebih dikenal sebagai ruas Jatiasih-Cikunir, akhirnya baru dioperasikan sejak September 2007. Persoalannya, hanya ada beberapa bidang tanah yang sulit dibebaskan.
Jasa Marga sebagai operator tol itu pun kehilangan potensi pendapatan. Namun, yang lebih memilukan, selama bertahun-tahun, masyarakat harus terjebak kemacetan di perempatan Cawang-Universitas Kristen Indonesia (UKI) lantaran tiada akses penghubung dua tol utama, yakni Tol Jagorawi dan Tol Jakarta-Cikampek.
Kenaikan tarif
Sesuai jadwal, tarif tol akan naik akhir bulan Agustus 2009, atau selambatnya September 2009, terhadap setidaknya 13 ruas tol. Apakah pemerintah sudah setuju? "Tarif tol pasti naik sebab itu amanat undang-undang. Bila tidak (dinaikkan), saya salah," kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.
Sebenarnya kenaikan tarif tol tak sekadar memenuhi undang-undang, tetapi untuk keberlanjutan jalan tol itu serta investasi lanjutan untuk membangun jaringan jalan tol. Lagipula, andai pengelolaan tol tak berlanjut dan berubah status menjadi jalan arteri nasional, apakah pemerintah punya dana untuk memeliharanya?
Tiap waktu memang selalu terjadi kenaikan biaya pemeliharaan jalan tol, kendaraan operasional dan patroli, lalu kenaikan gaji pegawai hingga lonjakan harga aspal. Jadi tanpa kenaikan tarif, logikanya alokasi dana pemeliharaan berkurang sebab pemasukan utama operator adalah dari uang yang dibayar pengguna jalan tol.
Bila bahasa undang-undang ditelaah, sesungguhnya tak ada kenaikan tarif tol, tetapi sekadar penyesuaian tarif tol. Dasarnya adalah inflasi, sebagai patokan penyesuaian tarif tol. Inflasi yang dipakai pun adalah inflasi per daerah.
Maka jangan heran, bila kenaikan tarif di Surabaya berbeda dengan di Medan. Munculnya persentase kenaikan tarif sebesar 15 persen, untuk kenaikan per akhir Agustus nanti pun hanya perkiraan kasar tanpa menghitung inflasi per daerah, sebagai hasil penjumlahan inflasi bulan September 2007 sampai Agustus 2009.
Masyarakat sering salah mengerti dalam persoalan seputar kenaikan tarif ini. Terkadang ada tudingan, terjadi lobi-lobi tertentu untuk menetapkan persentase kenaikan tarif. Investor juga dituding berupaya mengeruk sebanyak mungkin keuntungan dalam kenaikan tarif ini.
Yang patut dipahami, pertarungan antara pemerintah dan investor tol terletak pada penetapan tarif awal tol. Inti dari tender jalan tol terletak pada penetapan tarif awal tol. Sementara itu, kenaikan (baca: penyesuaian) tarif tol merupakan janji pemerintah kepada investor tol. Janji yang harusnya dipenuhi sebab telah masuk hitungan rencana bisnis.
Faktanya, tarif awal tol rendah, contohnya Tol Jagorawi Rp 110 per km, Tol Tangerang-Merak Rp 247 per km, Serpong-Pondok Aren Rp 483 per km, dan tol dalam kota Rp 433 per km. Tarif awal tol yang baru dibangun, seperti Jagorawi-Cinere sebesar Rp 590 per km, lebih rendah dari Filipina Rp 1.750 per km, Malaysia Rp 950 per km, dan China Rp 1.200 per km.
Dengan rendahnya tarif awal tol, maka bila tarif tidak disesuaikan berdasar inflasi, hal itu akan mempersulit investor untuk mengembalikan modal dan pinjaman, memelihara jalan tol, apalagi berinvestasi.
Gilanya lagi, dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol, pemerintah menggariskan maksimal imbal balik modal sebesar 15-16 persen setahun. Ini atas dasar bahwa jalan tol merupakan pelayanan bagi publik. Jadi, keuntungan pun dibatasi. Siapa bilang investor yang menanam modal di jalan tol untung besar?
Contoh dari ruas tol yang pernah tak dinaikkan tarifnya adalah, Tol Tangerang-Merak sepanjang 72 kilometer, yang kini kondisi jalannya kerap dikeluhkan pengguna. PT Marga Mandala Sakti sebagai investor tol itu pun mengaku, tol itu kini merugi Rp 560 miliar akibat tarif tol pernah tidak naik dari tahun 1993 hingga tahun 2003.
Padahal pernah dijanjikan, tarif naik 40 persen setiap tiga tahun sekali, apalagi lalu lintas harian (LHR) tol ini juga tidak terlalu tinggi akibat Pelabuhan Bojonegara yang tak kunjung terbangun. Ketika tarif tol tidak naik dan LHR rendah, pendapatan tol pun seret sehingga pemeliharaan pun setengah-setengah.
Bagi perusahaan jalan tol yang sudah berstatus perusahaan terbuka, seperti Jasa Marga, dengan kepemilikan saham oleh publik sebesar 30 persen, tidak dinaikkannya tarif tol sama artinya dengan pembohongan terhadap investor publik.
Investor Jasa Marga pun bukan saja investor lokal, tetapi juga investor mancanegara. Ini buah dari road show Jasa Marga di London, Boston, New York, dan Washington. "Ketika kami road show, pertanyaan dari investor adalah, apakah Pemerintah Indonesia dapat konsisten menaikkan tarif," kata Direktur Utama Jasa Marga Frans S Sunito.
Jadi, ketika kenaikan tarif tol dibatalkan atau ditunda dalam waktu lama, harga saham Jasa Marga—yang dalam enam bulan terakhir merangkak naik dari Rp 900-an per lembar saham menjadi Rp 1.750 per lembar saham—boleh jadi akan kembali terhempas.
Jangankan pembatalan atau penundaan kenaikan tarif tol, sikap yang reaktif dari masyarakat untuk menolak kenaikan tarif tol telah mampu menciptakan sentimen negatif di antara para investor tol. Mereka akan melihat industri tol terlalu bermasalah dan tidak kondusif.
Padahal, anjloknya harga saham dari operator jalan tol, seperti Jasa Marga, akan mengurangi kemampuan Jasa Marga untuk membangun jaringan jalan tol lainnya. Ujung-ujungnya, masyarakat dirugikan oleh tidak adanya akses jalan yang mumpuni ini.
Tak dapat dipungkiri, tulang punggung transportasi republik ini ada di jalan. Moda transportasi jalan mengangkut 91,25 persen barang dan 84,13 persen orang; kereta api mengangkut 0,63 persen barang dan 7,32 persen orang; kapal laut mengangkut 7,07 persen barang dan 1,76 persen orang; sedangkan pesawat mengangkut 0,05 persen barang dan 1,52 persen orang.
Perpindahan moda transportasi ke kereta api, sebagaimana terjadi di India dan China, bukan hal mudah karena rendahnya perhatian pemerintah. Statistik menunjukkan ada lebih dari 100 peristiwa luar biasa (kecelakaan, tabrakan, dan anjlok) dalam setahun.
Terlebih berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen Pekerjaan Umum, ternyata kenaikan tarif tol 10-40 persen hanya memengaruhi ongkos transportasi sebesar 1,6 persen. Sementara itu, dampaknya bagi harga produksi hanya 0,05 persen.
Standar minimum
Atas nama keadilan, tentu saja, kenaikan tarif harus diimbangi pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM). Standar itu berupa pemasangan pagar, kekesatan jalan (kelicinan permukaan jalan), maksimum jumlah lobang, dan peningkatan kecepatan transaksi rata-rata.
Namun, kembali atas nama keadilan, hendaknya dikaji lebih dalam pemenuhan SPM. Mengapa tidak dipenuhi? Apakah SPM tak dipenuhi lantaran operator merugi akibat tarif tak dinaikkan di era 1990-an? Atau, operator merugi karena koneksivitas tol terputus akibat lambannya kerja operator di ruas tetangga? Atau, pemerintah membangun jalur arteri paralel dengan tol?
Bila ditemui faktor eksternal yang menghambat pemenuhan SPM, hendaknya pemerintah membantu operator tol. Sebaliknya, bila terlacak upaya investor untuk tak memenuhi SPM, demi membangun ruas baru atau berinvestasi di sektor lain, sebaiknya jangan menganulir kenaikan tarif. Namun, denda operator setinggi mungkin agar jera, dan tak lagi sengaja mengabaikan SP.
Denda bagi operator patut menjadi pemikiran sebagai jalan tengah. Pemerintah tak dapat dipersalahkan akibat tak menaikkan tarif tol. Namun, di sisi lain operator juga diingatkan agar memenuhi komitmennya menyediakan infrastruktur jalan yang baik.
Suara-suara yang meributkan kemacetan di jalan tol juga mesti menyadari bahwa menuntut operator untuk mengosongkan jalan tol adalah sebuah kesia-siaan. Mengingat jalan tol adalah jalan alternatif, mengapa gugatan tak dilontarkan ke pemerintah yang abai membangun transportasi massal sehingga jalan tol menjadi urat nadi transportasi?
Membangkitkan tol
Banyak pekerjaan harus dilakukan untuk membangkitkan industri tol di Indonesia. Hal termudah yang dapat dikerjakan pemerintah adalah menepati janji untuk menaikkan tarif tol.
Lantas, patut ditinjau regulasi pengadaan tanah yang menjadi landasan dari pembebasan lahan bagi pembangunan infrastruktur. Bila perlu, regulasi itu direvisi untuk mempercepat pembebasan lahan yang kini kerap terhenti. Realisasi pembangunan infrastruktur memang selalu terhambat pembebasan tanah.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Nurdin Manurung mengingatkan, regulasi pembebasan lahan dan Lembaga Penilai Harga Tanah ternyata tak banyak membantu pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Dia mengatakan, jangankan Tol Trans-Jawa, proyek infrastruktur Kanal Banjir Timur saja tak juga selesai. Padahal, uang pembebasan lahan telah disediakan pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta, sementara Departemen Pekerjaan Umum siap mengerjakan konstruksi Kanal Banjir Timur.
Ditekankan Nurdin, lamanya pembebasan lahan Kanal Banjir Timur menunjukkan ada yang salah dalam regulasi pengadaan tanah. "Regulasi yang ada menyulitkan saat pelaksanaannya," ujarnya.
Harian KOMPAS mencatat, dari kebutuhan lahan Tol Trans-Jawa seluas 4.658 hektar, yang baru terbebaskan 885 hektar (hingga Juli 2009) meningkat dari 75 hektar (November 2007). Persoalannya, bila kecepatan pembebasan lahan seperti itu, lahan terbebaskan 10 tahun lagi!
Bagi investor tol, lebih baik lagi bila pemerintah membebaskan lahan tol. Nantinya, investor tinggal mengerjakan konstruksinya. Berdasarkan penghitungan BPJT untuk membangun Tol Trans-Jawa dibutuhkan dana Rp 40 triliun, tercakup di dalamnya kebutuhan pembebasan lahan sebesar Rp 4 triliun.
Angka Rp 4 triliun pun sebenarnya nyaris tak berarti untuk percepatan pembangunan tol dari Jakarta hingga Surabaya yang lebih dari 600 kilometer. Terlebih, pemerintah mampu mengucurkan Rp 4,5 triliun untuk membangun Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) sepanjang sekitar 5,5 kilometer.
Di sinilah persoalannya, pemerintah tak cukup dana untuk membangun infrastruktur jalan dan mengembangkan angkutan massal. Namun, investor ataupun operator tol dibiarkan bertarung sendiri untuk membangun jalan.
Pemerintah juga tak mengedukasi masyarakat mengenai sulitnya proses pembangunan jalan tol maupun tujuan positif dari terbangunnya jalan tol. Akibatnya, timbul sikap apatis dan defensif dari masyarakat, tiap kali ada kenaikan tarif tol. Bila begini ceritanya, bagaimana mungkin industri tol bertumbuh....
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...stri.jalan.tol...
Artikel yang menarik. Setau gw investor sukanya sama tol-tol yang ngelilingin Jakarta doang (JORR, BORR, dll), jadi pemerintah harus ada inisiatif untuk melakukan pembangunan tol. Pemerintah daerah juga harus inisiatif, kenapa gak bisa? Kabupaten Siak aja bisa! Meskipun gak concrete, jalannya lebar dan standarized, dengan drainase dan median plus penerangan.
Ini contohnya. Ini lagi dibangun, pekerjanya lagi gak ada, soalnya masih libur lebaran
Spoiler untuk Siak :
Dan ini dibangun dengan APBD Kabupaten Siak sendiri, gak pake APBD Provinsi, apalagi APBN!
Kalo ini menurut gua bukan masalah sosialisasi blablabla, tapi memang udah biasa kali kalo ada apa naik pasti pada ngamukAkibatnya, timbul sikap apatis dan defensif dari masyarakat, tiap kali ada kenaikan tarif tol. Bila begini ceritanya, bagaimana mungkin industri tol bertumbuh....![]()
Share This Thread