Mungkinkah Tunda ACFTA?
Rabu, 10 Februari 2010 | 03:40 WIB
Oleh Hikmahanto Juwana
Para pelaku usaha dan elite politik serta sebagian komponen masyarakat telah menyuarakan keinginan agar Indonesia menunda keberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Pemerintah pun memberi janji dengan mengupayakannya. Menjadi pertanyaan, apakah menurut hukum internasional keberlakuan ACFTA mungkin ditunda?
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) dibentuk berdasarkan dua dasar hukum internasional penting. Pertama, Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People’s Republic of China (Kerangka Perjanjian).
Kerangka Perjanjian ditandatangani pada 2 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja. Kerangka Perjanjian ditandatangani oleh para kepala pemerintahan negara-negara ASEAN dengan kepala Pemerintahan Republik Rakyat China (RRC) ketika itu.
Kedua adalah Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Association of Southeast Asian Nations and the People’s Republic of China (Perjanjian Perdagangan Barang) yang ditandatangani pada 9 November 2004. Perjanjian Perdagangan Barang tidak ditandatangai oleh kepala pemerintahan, melainkan oleh para menteri negara-negara ASEAN dan China yang bertanggung jawab atas perdagangan internasional.
Ketentuan yang menyebutkan ACFTA akan diberlakukan pada tahun 2010 terdapat pada Pasal 8 Ayat (1) Kerangka Perjanjian. Ketentuan tersebut menyebutkan, ”Untuk perdagangan barang, negosiasi & hellip; akan dimulai 2003 awal dan diselesaikan pada tanggal 30 Juni 2004 dalam rangka pembentukan ACFTA yang meliputi perdagangan barang pada tahun 2010 untuk Brunei, China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, dan pada tahun 2015 untuk negara-negara anggota baru ASEAN”.
Selanjutnya, kewajiban negara-negara dalam ACFTA yang tertuang dalam Pasal 2 Perjanjian Perdagangan Barang adalah pemerintah masing-masing negara memberi perlakuan nasional (national treatment) terhadap barang yang berasal dari negara-negara lainnya. Kewajiban lain adalah yang tertuang dalam Pasal 3 Perjanjian Perdagangan Barang. Kewajiban ini berupa pengurangan dan penghapusan tarif atas barang-barang dari negara ASEAN ataupun China.
Tidak gampang
Meskipun penundaan keberlakuan ACFTA dimungkinkan, tetapi akan sulit dilakukan oleh Indonesia. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, Indonesia menandatangani Perjanjian Perdagangan Barang bersama negara-negara ASEAN yang telah tergabung dalam Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Artinya, Indonesia tidak dalam kapasitas sebagai sebuah negara di ASEAN, tetapi atas dasar bagian dari AFTA.
Oleh karena itu, penundaan, bila diinginkan, harus melalui dua tahapan. Tahap pertama adalah meyakinkan negara-negara ASEAN agar ASEAN mau meminta penundaan kepada China. Tahap kedua adalah ASEAN yang telah satu suara dalam penundaan untuk Indonesia bernegosiasi dengan China agar Perjanjian Perdagangan Barang ditunda keberlakuannya. Proses ini akan sangat sulit dan memakan waktu, padahal keberlakuan dari Perjanjian Perdagangan Barang saat ini sudah berlangsung.
Kedua, penundaan akan masuk dalam klausul amandemen. Keinginan Indonesia untuk menunda jangka waktu ataupun sektor tertentu akan masuk dalam kategori mengamandemen ketentuan Pasal 8 Kerangka Perjanjian. Dalam Kerangka Perjanjian memang diatur apabila ada pihak yang hendak mengamandemen isi dari perjanjian. Ini diatur dalam Pasal 14 yang menyebutkan, ”Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini dapat dimodifikasi melalui amandemen yang disetujui bersama secara tertulis oleh para pihak”.
Kesulitan terletak pada kenyataan bahwa amandemen harus dilakukan oleh semua negara ASEAN dengan China meskipun untuk hubungan yang bersifat bilateral. Preseden mengenai hal ini pernah terjadi.
Pada 8 Desember 2006, Kerangka Perjanjian telah diamandemen terkait masalah bilateral antara Vietnam dan China. Amandemen ini tertuang dalam Protokol untuk Amendemen Kerangka Perjanjian mengenai Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara dan Republik Rakyat China (Protocol to Amend the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between Association of South East Asian Nations and People’s Republic of China). Meskipun yang diatur bersifat bilateral, tetapi perjanjian untuk mengamandemen harus dilakukan oleh semua negara ASEAN dengan China.
Ketiga, apabila Indonesia berkeras untuk tidak memberlakukan Perjanjian Perdagangan Barang, sementara China tidak menyetujuinya, ini bisa berujung pada sengketa. Sengketa terkait dengan Perjanjian Perdagangan Barang telah mendapat pengaturan, yaitu dalam Pasal 21 yang menyebutkan, ”Perjanjian tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa antara ASEAN dan China akan berlaku untuk Perjanjian ini”.
Mekanisme penyelesaian sengketa telah mendapat pengaturan dalam Perjanjian Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 29 November 2004 oleh ASEAN dan China. Kendati belum pernah dimanfaatkan, penyelesaian sengketa tentu akan memakan waktu dan energi. Bagi Indonesia, pilihan yang realistis—meski harus dibayar mahal—tampaknya adalah memberlakukan ACFTA sesuai Kerangka Perjanjian dan Perjanjian Perdagangan Barang. Namun, Indonesia harus dapat memanfaatkan ACFTA untuk keuntungannya dan tidak sebaliknya. Indonesia juga harus memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang tersedia untuk melindungi industri dalam negerinya.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...ah.Tunda.ACFTA.
Share This Thread