Page 1 of 3 123 LastLast
Results 1 to 15 of 37
http://idgs.in/273392
  1. #1
    Sterling's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Jakarta
    Posts
    22,501
    Points
    2.48
    Thanks: 63 / 822 / 597

    Default Generik VS Bermerek

    akarta, Kompas - Pemerintah menegaskan, dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan pemerintah wajib menuliskan resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Namun, kewajiban ini kerap tak dipatuhi. Obat generik yang kualitasnya sudah teruji dan harganya murah sering diabaikan.

    Kewajiban ini tertuang secara tegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.

    Namun, dalam pemantauan Kompas di sejumlah puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kewajiban ini banyak dilanggar. Pasien kerap mendapatkan resep obat bernama dagang dari dokter. Karena harganya jauh lebih mahal, dengan sendirinya pasien dirugikan.

    Sebagai contoh, resep yang diberikan seorang dokter kepada seorang pasien yang berobat di rumah sakit umum daerah di Jakarta, Kamis (18/2). Untuk keluhan sinusitisnya, ada enam jenis obat yang harus dibeli di apotek dan dua obat di antaranya diresepkan dengan nama dagangnya. Untuk dua obat bermerek tersebut, yakni Opicef sirup (cefadroxil monohydrate) dan Mucera tablet (ambroxol), pasien itu harus membayar Rp 83.307.

    Padahal, jika menggunakan obat generik, yakni cefadroxil monohydrate dan ambroxol, ia mendapatkan harga 4,3 kali jauh lebih murah. Dengan menggunakan asumsi harga paling besar dari harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah, ia mestinya hanya mengeluarkan biaya Rp 19.208 untuk mendapatkan obat serupa.

    Begitu juga pasien lainnya, Ny Mi, yang berobat ke rumah sakit yang sama dengan keluhan rematik. Dari empat jenis obat yang diresepkan, dua di antaranya vitamin (berupa vitamin B kompleks dan antioksidan yang juga diresepkan dengan nama dagang), satu obat generik, dan satu obat bermerek dagang.

    Franz Fale yang berobat di RSUD Abepura, Papua, juga mendapatkan resep dari dokter di rumah sakit tersebut dengan nama obat bermerek, yakni Colsancetine (chloramphenicol). Sejumlah pasien di berbagai fasilitas pelayanan pemerintah juga mendapat perlakuan yang sama.

    Sebagian pasien yang ditemui di rumah sakit mengaku tidak mengerti perbedaan tentang obat generik, bermerek, atau produk paten. Mereka juga tidak pernah bertanya mengenai jenis obat yang diresepkan atau kemungkinan harganya. Sebaliknya, para dokter dan petugas apotek juga tidak memberikan pilihan kepada pasien dan keluarganya. ”Saya percaya saja apa yang diresepkan dokter,” kata Ny Mi.

    Jangankan pasien yang membayar dari kantungnya sendiri, pasien miskin yang dijamin pemerintah pun belum semuanya mendapatkan obat generik. Survei citizen report card (CRC) yang dilaksanakan Indonesia Corruption Watch selama November 2009 menunjukkan belum semua pasien Jamkesmas, pemegang kartu keluarga miskin, dan surat keterangan tidak mampu mendapatkan obat generik. Survei tersebut mengambil sampel 738 pasien miskin di 23 rumah sakit yang ada di lima daerah, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Berdasarkan survei tersebut, 22,1 persen pasien belum mendapatkan obat gratis. Dari persentase tersebut, sebesar 79,1 persen tidak mendapatkan resep obat generik.

    Berbagai alasan

    Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan, peraturan menteri tentang kewajiban meresepkan obat generik baru akan ampuh jika diikuti insentif dan hukuman yang jelas. Namun, pengawasan penggunaan obat generik pun tidak akan mudah.

    Ia berpendapat, sulit hanya mengandalkan niat baik dokter untuk meresepkan obat generik. Menurutnya, diperlukan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan menggiring peresepan obat ke arah generik. Di berbagai negara maju, harga obat terkontrol melalui sistem kesehatan berbasis asuransi sosial.

    ”Sepanjang tidak ada sistem tersebut, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah hanya menyembuhkan gejala tanpa menyelesaikan permasalahan dasarnya. Masyarakat akan terus mengeluhkan harga obat,” ujarnya.

    Di lapangan, sulitnya pemberian obat generik karena berbagai faktor. Di Papua, misalnya, Direktur RSUD Abepura Aloysius Giay mengatakan, persediaan obat generik selama ini lancar dan cukup untuk tiga bulan mendatang. Pasien selalu diutamakan menggunakan obat generik. Namun, kalau obat generik tidak tersedia atau stok habis di RSUD, dengan terpaksa pasien diminta membeli di luar apotek RSUD.

    Hal senada diungkapkan dokter kejiwaan di RSUD Wonosari Gunung Kidul, Ida Rochmawati. Ia menyatakan, banyak keluhan tentang penyakit pasien yang belum tersedia obat generiknya. ”Reaksi obat sangat individual. Keharusan menggunakan obat generik jangan menjadi harga mati karena bisa merugikan pasien. Tidak ada jaminan, obat generik lebih baik,” ujarnya.

    Sejauh ini, yang sudah merasakan secara maksimal penggunaan obat generik dan biaya berobat lebih murah ialah pasien di puskesmas dan pasien yang mendapat jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).

    Almi, pasien di Puskesmas Tanah Abang, misalnya, mendapatkan obat Amoksisilin dan puyer dari puskesmas itu. Ia hanya harus membayar biaya loket Rp 2.000.

    Kepala Puskesmas Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rais Arum mengatakan, sebulan sekali dinas kesehatan mengirim obat yang diajukan puskesmas yang merupakan obat generik. Pasien pun tidak perlu membayar obat tersebut ketika berobat ke puskesmas.

    Pasar turun

    Keengganan menggunakan obat generik menyebabkan omzet obat generik yang penggunaannya dicanangkan sejak tahun 1989 menurun.

    Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jika lima tahun terakhir pasar obat nasional naik, dari Rp 23,5 triliun (2005) menjadi Rp 32,9 triliun (2009), pasar obat generik sebaliknya malah menurun persentasenya. Pasar obat generik pada kurun yang sama hanya Rp 2,5 triliun dan kemudian Rp 3,3 triliun atau hanya berkisar 10 persen dari pasar obat nasional.

    Direktur Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan, pemerintah serius ingin merevitalisasi penggunaan obat generik, antara lain lewat peraturan menteri yang baru.

    Penggunaan obat generik akan sangat menghemat biaya penanganan penyakit. Sejauh ini, biaya obat sekitar 60 persen dari total biaya pengobatan dan harusnya dapat lebih rendah. Sebanyak 453 obat generik yang harga eceran tertingginya dikontrol pemerintah sudah dapat mengatasi 70 persen penyakit yang ada.

    Untuk memaksimalkan penggunaan obat generik, masih diperlukan peningkatan pemahaman dan kepercayaan masyarakat. Selain itu, dibutuhkan kesediaan dokter untuk meresepkan obat generik.

    http://cetak.kompas.com/read/xml/201...erik.diabaikan

    Knp org lbh pilih obt mahal di banding obat murah? Padahal kualitas sama?

  2. Hot Ad
  3. #2
    doubledoank's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    Earth
    Posts
    5,177
    Points
    6,890.71
    Thanks: 56 / 57 / 36

    Default

    Knp org lbh pilih obt mahal di banding obat murah? Padahal kualitas sama?
    ada yang fanatik merek obat tertentu, mungkin karena emang cocok sama dianya

    ada juga yang masih meragukan khasiat obat generik

    kalo dari dokternya seh kasi obat mahal biar biasanya dapat persenan dari apotik/perusahaan farmasi....
    Nothing is so common as the wish to be remarkable. - Shakespeare

  4. #3
    Sterling's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Jakarta
    Posts
    22,501
    Points
    2.48
    Thanks: 63 / 822 / 597

    Default

    Quote Originally Posted by doubledoank View Post
    ada yang fanatik merek obat tertentu, mungkin karena emang cocok sama dianya

    ada juga yang masih meragukan khasiat obat generik

    kalo dari dokternya seh kasi obat mahal biar biasanya dapat persenan dari apotik/perusahaan farmasi....
    Yup, dengan memberikan resep dari perusahaan tertentu, dia bisa di spobsorin olehperushaan obat tersebut untuk menghadiri seminar, penginapan, jalan2 dsbnya.
    Bila kita lihat, harga obat bermerk jauh di atas harga obat generik, knp bisa semahal itu? Salah satunya karena untuk obat, yang mahal adalah biaya promosi nya
    Klo untuk yang memiliki hak paten, yang mahal adalah biaya penelitiannya. tapi setelah 15-20 tahun hak paten tersebut habis, formula obt tersebut bisa di produksi oleh perusahaan obat yang lain.

  5. #4
    Bombat-H's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Kota KembanG
    Posts
    2,068
    Points
    1,343.90
    Thanks: 2 / 14 / 14

    Default

    Quote Originally Posted by Sterling View Post
    Pasien selalu diutamakan menggunakan obat generik. Namun, kalau obat generik tidak tersedia atau stok habis di RSUD, dengan terpaksa pasien diminta membeli di luar apotek RSUD.
    Seharusnya semua RS seperti ini, terlebih untuk pasien dengan ekonomi di bawah rata2. Jika obat generik di RS habis, bisa diminta membeli di apotek. Dan jika obat generik di apotek habis, baru terpaksa membeli obat bermerek.

    Untuk pasien dengan ekonomi di atas rata2, tidak masalah jika mereka disuruh membeli obat2 bermerek..brapapun harganya pasti dibeli

  6. #5
    Sterling's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Jakarta
    Posts
    22,501
    Points
    2.48
    Thanks: 63 / 822 / 597

    Default

    AKARTA, KOMPAS.com - Pelepasan harga obat pada mekanisme pasar mengakibatkan pasar dikuasai obat bermerek atau bernama dagang ketimbang obat generik. Padahal, obat bermerek dengan kandungan yang sama dengan obat generik harganya bisa jauh lebih mahal daripada obat generik.

    Berdasarkan pemantauan, Senin (22/2/2010), sejumlah dokter di beberapa puskesmas dan rumah sakit pemerintah masih tetap meresepkan obat bermerek untuk pasien. Kewajiban untuk meresepkan obat generik sesuai kondisi medis pasien belum sepenuhnya dipatuhi.

    Akibatnya, pasien dirugikan karena harus membayar obat dengan harga jauh lebih mahal.

    ”Pemerintah harus berperan besar dan tegas dalam mengatur harga obat sehingga masyarakat tidak dirugikan,” kata Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia sekaligus anggota Tim Rasionalisasi Harga Obat Generik Nasional di Kementerian Kesehatan Marius Widjajarta.

    Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2005 pasar obat nasional yang mencapai Rp 21,07 triliun, pasar obat generik sangat minim hanya Rp 2,52 triliun. Adapun pada tahun 2009 pasar obat naik mencapai Rp 30,56 triliun. Meski demikian, pasar obat generik justru turun menjadi hanya Rp 2,37 triliun.

    Farmakolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Iwan Dwiprahasto, mengatakan, obat generik sulit menjadi populer karena tidak didukung struktur yang memadai. ”Regulasi yang ada belum benar-benar kuat mengontrol dan mengawasi semua dokter untuk meresepkan obat generik,” kata Iwan.

    Dianggap tidak ampuh

    Sementara di masyarakat, obat generik masih dipandang sebagai obat untuk orang miskin, obat puskesmas, obat curah, dan dianggap tidak ampuh. ”Selain itu, obat generik juga tidak pernah diiklankan dan dokter lebih banyak mengetahui tentang obat bermerek karena kerap didatangi petugas penjual obat. Jaminan ketersediaan obat generik juga masih jadi masalah,” ujarnya.

    Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Ch Sunarjo mengatakan, perusahaan farmasi tentu mendukung program obat generik yang dicanangkan pemerintah. Hanya saja, murahnya harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah dan masih kecilnya pasar membuat obat generik tidak terlalu menarik.

    ”Perhitungan harga itu tidak sederhana dan begitu banyak faktornya,” ujarnya. Tidak hanya kalkulasi biaya produksi, promosi, dan distribusi, melainkan faktor psikologis harga. ”Sebagian masyarakat meyakini harga tidak menipu. Begitu harga obat bermerek terlalu murah malah dikira tidak ampuh atau tidak berkualitas,” ujarnya.

    Sekretaris Korporat PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius menjelaskan, pasar obat generik selama ini lebih banyak didorong pemerintah. ”Kelihatannya belum otomatis bergerak dalam saluran distribusi obat generik baik rumah sakit, apotek, dan dokter. Kalau hanya pemerintah yang mendorong, itu sulit dilakukan,” katanya.

    Sebagai pelaku usaha, pihaknya selalu melihat peluang pasar. Dari total volume penjualan obat, porsi untuk obat generik hanya 9-10 persen karena selama ini umumnya hanya bisa dipasarkan di sektor pemerintah, misalnya di rumah sakit umum daerah. Adapun penyedia layanan swasta bebas memilih antara peresepan obat generik ataupun jenis obat lain.

    Rasionalisasi harga

    Saat ini, setidaknya ada 8-12 produsen obat generik dan tiga di antaranya badan usaha milik negara (BUMN). Di sisi lain, setidaknya ada 204 perusahaan farmasi yang terdiri dari 31 perusahaan asing, empat BUMN, dan sisanya perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau swasta nasional di Indonesia.

    Untuk mendorong minat produsen, pada 27 Januari 2010 pemerintah melakukan rasionalisasi harga obat. Dari 453 jenis obat generik, sebanyak 106 jenis obat harganya turun, 33 jenis obat harganya naik, dan 314 jenis obat harganya tetap.

    Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun di Serang mengatakan bahwa industri farmasi perlu mengoptimalkan produksi obat generik. ”Namun, ujung tombak pemanfaatan obat itu tetap di tangan dokter,” ujarnya.

    Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan sulit hanya mengandalkan niat baik dokter untuk meresepkan obat generik. Diperlukan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan menggiring peresepan obat ke arah generik. (INE/EVY/OSA/THY)

    http://kesehatan.kompas.com/read/201...k.Kuasai.Pasar


    Pro dan kontra mengenai obat generik selalu menjadi isu menarik di bidang kesehatan. Tidak pernah diketahui siapa yang mendengungkan, tetapi sebagian masyarakat, bahkan dokter, sudah telanjur menganggap bahwa obat generik adalah obat untuk orang miskin.

    Peresepan obat generik dianggap tidak bergengsi, murah, diragukan kemanfaatannya, dan kandungan zat aktifnya di bawah standar. Harga obat generik yang murah juga tidak jarang dijadikan alasan penolakan. Mana mungkin obat murah memberi khasiat setara obat yang mahal?

    Fenomena ini menunjukkan ada yang salah dalam menjelaskan apa itu obat generik. Distorsi informasi mengenai obat generik juga diperparah oleh kurang konsistennya pemerintah dalam menerapkan kebijakan obat generik. Berbagai kebijakan dalam surat keputusan Menteri Kesehatan seolah-olah tak berdaya ketika berhadapan dengan realitas di lapangan.

    Para dokter tetap meresepkan obat merek dagang, duta-duta farmasi tetap berkeliaran menyodorkan obat produk perusahaan, dan masyarakat lebih memilih tidak diresepkan obat generik. Entah apa yang keliru, tetapi kebijakan obat generik tampaknya akan selalu menemui jalan buntu jika upaya sistematik dan komprehensif tak dilaksanakan secara intens oleh berbagai pemangku kepentingan.

    Obat generik adalah obat duplikat. Ketika suatu industri farmasi mengembangkan obat baru, yang bersangkutan memiliki hak paten selama 15-20 tahun untuk memasarkan obat produknya tanpa diusik industri farmasi lain. Obat yang memiliki hak paten ini lazim disebut obat originator. Setelah masa paten terlewati, industri farmasi lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama persis. Ini yang disebut sebagai obat duplikat atau obat generik. Jika obat generik diberi logo, disebut obat generik berlogo. Jadi, obat merek dagang dan obat generik berlogo pada dasarnya obat generik.

    Pertanyaannya, mengapa obat generik murah, sedangkan obat originator sangat mahal? Industri farmasi yang memproduksi obat originator harus mengeluarkan biaya yang teramat besar untuk riset, antara lain uji pra klinik in vitro dan in vivo, uji pada hewan coba, ataupun uji klinis pada manusia yang umumnya melibatkan ratusan hingga ribuan subyek.

    Tidak demikian halnya industri farmasi yang memproduksi obat duplikat. Produsen obat merek dagang juga tak perlu melakukan uji klinis sehingga biaya produksi obat merek dagang tak beda dengan obat generik. Soal obat, banyak yang aneh di negeri ini. Harga obat merek dagang bisa sama mahal dengan produk originatornya, bahkan 50-80 kali lebih mahal, padahal bahan aktif dan kandungan sama persis. Namun, siapa yang peduli? Rakyat tak berdaya, sementara wakil rakyat lebih memikirkan politik dan diri sendiri. Di sisi lain, pemerintah tidak punya energi untuk mengatasi masalah ini dan tak bernyali menghadapi industri farmasi.

    Obat generik hanya bertaring di puskesmas, tetapi tak bergigi di pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, apalagi swasta. Dengan dalih harga yang terlalu murah, ketersediaan obat generik di banyak daerah juga sering langka. Herannya, industri farmasi yang sama justru menyodorkan obat merek dagang produk mereka yang harganya tiga kali lipat obat generik.

    Lingkaran *****

    Lalu, bagaimana dengan dokter? Mengapa mayoritas dokter lebih senang meresepkan obat merek dagang? Bukan rahasia lagi, ada insentif tak kasatmata di balik peresepan obat merek dagang. Tiket dan akomodasi gratis di hotel bintang lima untuk menghadiri seminar atau kongres yang didanai industri farmasi. Sarapan pagi ala Eropa, makan siang sepuasnya, makan malam di restoran mahal, siapa yang tak suka?

    Toh, dokter perlu menambah ilmu, mengumpulkan poin demi poin agar setelah lima tahun dapat memperpanjang lagi izin praktik, sesuai UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004. Kelompok dokter seperti ini sering berujar ke pasien, kalau ingin cepat sembuh, jangan minum obat generik. Dokter yang secara tegas menyangsikan mutu obat generik juga tidak sedikit. Pemerintah sendiri dianggap tak transparan soal produsen yang nakal, yang sebetulnya belum 100 persen memenuhi persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Jadi, tak salah kita menyebut masalah obat, dokter, industri farmasi, dan pemerintah sebagai circulus vitiosus (lingkaran *****).

    Masyarakat sendiri terpolarisasi secara acak mengenai obat generik ini. Jika dulu kelompok sosial-ekonomi menengah dan atas merasa alergi terhadap obat generik, akhir-akhir ini pun masyarakat miskin sudah terpapar secara sistematik dengan istilah obat generik adalah obat yang tidak menyembuhkan. Beginilah nasib obat generik. Di kota tidak dipercaya, di daerah pelosok mulai terpojok.

    Masalah mendasar lain yang tak kalah penting adalah bahan baku obat. Sekitar 96 persen bahan baku obat masih impor dan sangat rentan terhadap fluktuasi dollar AS. Sulit memang, tetapi bukannya tak ada solusi. Kebijakan obat harus disusun lebih komprehensif. Industri farmasi yang tak lagi mau memproduksi obat generik dengan alasan minim profit perlu dijewer. Kalau perlu, pengajuan registrasi untuk obat berikutnya disuspensi untuk efek jera. Pemerintah perlu terus mendorong pemberlakuan managed care secara nasional. Hanya lembaga asuransi berskala besar, seperti PT Askes yang memiliki posisi tawar sangat tangguh dalam memperoleh obat dengan harga masuk akal.

    Ikatan Dokter Indonesia juga harus mengambil peran sentral mengingatkan para dokter bahwa salah satu area kompetensi dokter adalah moral, etika, dan medikolegal. Jika di Malaysia semua dokter pemerintah wajib menuliskan resep dalam bentuk nama generik, mengapa itu sulit dilakukan di negara ini? Pemerintah juga tidak boleh membiarkan industri farmasi yang belum CPOB 100 persen; karena melindungi industri farmasi nakal akan selalu memberi citra obat generik sebagai obat yang mutunya rendah.

    Terakhir, diseminasi informasi yang seimbang, terbuka, dan lugas harus selalu didengungkan ke masyarakat bahwa obat generik memiliki mutu sama dengan obat merek dagang. Biarlah masyarakat yang menilai industri farmasi mana yang menghasilkan obat yang patut dikonsumsi karena terbukti mutunya.

    Iwan DwiprahastoPemerhati Masalah Obat dan Kesehatan

    http://kesehatan.kompas.com/read/201...ik.Tak.Bergigi.

  7. #6
    -LichKing-'s Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Location
    Pondok Gede, Bekasi.
    Posts
    2,334
    Points
    2,709.50
    Thanks: 18 / 51 / 37

    Default

    Hahah, gw dengerin dialog interaktif soal beginian di radio El-Shinta tadi pagi, parah juga itu perusahaan farmasi, dokter dijadiin sarana promosi obat, dokternya dibayar pula ama perusahaan farmasinya buat jualin obat punya dia. Sakit cuman flu biasa dikasi resep obat 6 biji padahal yang kepake cuman 2, halah-halah.
    Jadi momod ga usa ngemis cendol.

  8. #7
    Sterling's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Jakarta
    Posts
    22,501
    Points
    2.48
    Thanks: 63 / 822 / 597

    Default

    Quote Originally Posted by -LichKing- View Post
    Hahah, gw dengerin dialog interaktif soal beginian di radio El-Shinta tadi pagi, parah juga itu perusahaan farmasi, dokter dijadiin sarana promosi obat, dokternya dibayar pula ama perusahaan farmasinya buat jualin obat punya dia. Sakit cuman flu biasa dikasi resep obat 6 biji padahal yang kepake cuman 2, halah-halah.
    Iya, dengan iming2 hadiah jalan-jalan, di sponsorin untuk ikut seminar, dll. seorang dokter telah melanggar etika kedokteran itu sendiri, dan motif untuk membantu pasien itu berubah jadi egoisme saja. Karena dana yang dikeluarkan oleh farmasi untuk dokter ini pun menjadi salah satu penyebab knp obat bermerk itu harganya jauh lebih tinggi di bandingkan obat generik





    Jakarta, Kompas - Pemerintah menegaskan, dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan pemerintah wajib menuliskan resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Namun, kewajiban ini kerap tak dipatuhi. Obat generik yang kualitasnya sudah teruji dan harganya murah sering diabaikan.

    Kewajiban ini tertuang secara tegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.

    Namun, dalam pemantauan Kompas di sejumlah puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kewajiban ini banyak dilanggar. Pasien kerap mendapatkan resep obat bernama dagang dari dokter. Karena harganya jauh lebih mahal, dengan sendirinya pasien dirugikan.

    Sebagai contoh, resep yang diberikan seorang dokter kepada seorang pasien yang berobat di rumah sakit umum daerah di Jakarta, Kamis (18/2). Untuk keluhan sinusitisnya, ada enam jenis obat yang harus dibeli di apotek dan dua obat di antaranya diresepkan dengan nama dagangnya. Untuk dua obat bermerek tersebut, yakni Opicef sirup (cefadroxil monohydrate) dan Mucera tablet (ambroxol), pasien itu harus membayar Rp 83.307.

    Padahal, jika menggunakan obat generik, yakni cefadroxil monohydrate dan ambroxol, ia mendapatkan harga 4,3 kali jauh lebih murah. Dengan menggunakan asumsi harga paling besar dari harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah, ia mestinya hanya mengeluarkan biaya Rp 19.208 untuk mendapatkan obat serupa.

    Begitu juga pasien lainnya, Ny Mi, yang berobat ke rumah sakit yang sama dengan keluhan rematik. Dari empat jenis obat yang diresepkan, dua di antaranya vitamin (berupa vitamin B kompleks dan antioksidan yang juga diresepkan dengan nama dagang), satu obat generik, dan satu obat bermerek dagang.

    Franz Fale yang berobat di RSUD Abepura, Papua, juga mendapatkan resep dari dokter di rumah sakit tersebut dengan nama obat bermerek, yakni Colsancetine (chloramphenicol). Sejumlah pasien di berbagai fasilitas pelayanan pemerintah juga mendapat perlakuan yang sama.

    Sebagian pasien yang ditemui di rumah sakit mengaku tidak mengerti perbedaan tentang obat generik, bermerek, atau produk paten. Mereka juga tidak pernah bertanya mengenai jenis obat yang diresepkan atau kemungkinan harganya. Sebaliknya, para dokter dan petugas apotek juga tidak memberikan pilihan kepada pasien dan keluarganya. ”Saya percaya saja apa yang diresepkan dokter,” kata Ny Mi.

    Jangankan pasien yang membayar dari kantungnya sendiri, pasien miskin yang dijamin pemerintah pun belum semuanya mendapatkan obat generik. Survei citizen report card (CRC) yang dilaksanakan Indonesia Corruption Watch selama November 2009 menunjukkan belum semua pasien Jamkesmas, pemegang kartu keluarga miskin, dan surat keterangan tidak mampu mendapatkan obat generik.

    Survei tersebut mengambil sampel 738 pasien miskin di 23 rumah sakit yang ada di lima daerah, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Berdasarkan survei tersebut, 22,1 persen pasien belum mendapatkan obat gratis. Dari persentase tersebut, sebesar 79,1 persen tidak mendapatkan resep obat generik.

    Berbagai alasan

    Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan, peraturan menteri tentang kewajiban meresepkan obat generik baru akan ampuh jika diikuti insentif dan hukuman yang jelas. Namun, pengawasan penggunaan obat generik pun tidak akan mudah.

    Ia berpendapat, sulit hanya mengandalkan niat baik dokter untuk meresepkan obat generik. Menurutnya, diperlukan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan menggiring peresepan obat ke arah generik. Di berbagai negara maju, harga obat terkontrol melalui sistem kesehatan berbasis asuransi sosial.

    ”Sepanjang tidak ada sistem tersebut, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah hanya menyembuhkan gejala tanpa menyelesaikan permasalahan dasarnya. Masyarakat akan terus mengeluhkan harga obat,” ujarnya.

    Di lapangan, sulitnya pemberian obat generik karena berbagai faktor. Di Papua, misalnya, Direktur RSUD Abepura Aloysius Giay mengatakan, persediaan obat generik selama ini lancar dan cukup untuk tiga bulan mendatang. Pasien selalu diutamakan menggunakan obat generik. Namun, kalau obat generik tidak tersedia atau stok habis di RSUD, dengan terpaksa pasien diminta membeli di luar apotek RSUD.

    Hal senada diungkapkan dokter kejiwaan di RSUD Wonosari Gunung Kidul, Ida Rochmawati. Ia menyatakan, banyak keluhan tentang penyakit pasien yang belum tersedia obat generiknya. ”Reaksi obat sangat individual. Keharusan menggunakan obat generik jangan menjadi harga mati karena bisa merugikan pasien. Tidak ada jaminan, obat generik lebih baik,” ujarnya.

    Sejauh ini, yang sudah merasakan secara maksimal penggunaan obat generik dan biaya berobat lebih murah ialah pasien di puskesmas dan pasien yang mendapat jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).

    Almi, pasien di Puskesmas Tanah Abang, misalnya, mendapatkan obat Amoksisilin dan puyer dari puskesmas itu. Ia hanya harus membayar biaya loket Rp 2.000.

    Kepala Puskesmas Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rais Arum mengatakan, sebulan sekali dinas kesehatan mengirim obat yang diajukan puskesmas yang merupakan obat generik. Pasien pun tidak perlu membayar obat tersebut ketika berobat ke puskesmas.

    Pasar turun

    Keengganan menggunakan obat generik menyebabkan omzet obat generik yang penggunaannya dicanangkan sejak tahun 1989 menurun.

    Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jika lima tahun terakhir pasar obat nasional naik, dari Rp 23,5 triliun (2005) menjadi Rp 32,9 triliun (2009), pasar obat generik sebaliknya malah menurun persentasenya. Pasar obat generik pada kurun yang sama hanya Rp 2,5 triliun dan kemudian Rp 3,3 triliun atau hanya berkisar 10 persen dari pasar obat nasional.

    Direktur Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan, pemerintah serius ingin merevitalisasi penggunaan obat generik, antara lain lewat peraturan menteri yang baru.

    Penggunaan obat generik akan sangat menghemat biaya penanganan penyakit. Sejauh ini, biaya obat sekitar 60 persen dari total biaya pengobatan dan harusnya dapat lebih rendah. Sebanyak 453 obat generik yang harga eceran tertingginya dikontrol pemerintah sudah dapat mengatasi 70 persen penyakit yang ada.

    Untuk memaksimalkan penggunaan obat generik, masih diperlukan peningkatan pemahaman dan kepercayaan masyarakat. Selain itu, dibutuhkan kesediaan dokter untuk meresepkan obat generik. (INE/WKM/ADH/ICH/cok)

    http://kesehatan.kompas.com/read/201...erik.Diabaikan
    Last edited by Sterling; 23-02-10 at 23:17.

  9. #8
    luna_croz's Avatar
    Join Date
    Oct 2007
    Location
    Void!!
    Posts
    6,132
    Points
    14,571.06
    Thanks: 18 / 128 / 81

    Default

    sebenernya kalo kita ga ada duit kita bisa minta kok ama dokternya minta dibuatin resep generik. cuma karena kadang kitanya sendiri diam-diam aja apalagi kalo bilang2 pake asuransi. udah de pasti digodok abis2an itu ama dokternya dikasi obat yang aneh2 pula
    http://bit.ly/n86th7

    Graboid free download HD movies

  10. #9
    Sterling's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Jakarta
    Posts
    22,501
    Points
    2.48
    Thanks: 63 / 822 / 597

    Default

    Quote Originally Posted by luna_croz View Post
    sebenernya kalo kita ga ada duit kita bisa minta kok ama dokternya minta dibuatin resep generik. cuma karena kadang kitanya sendiri diam-diam aja apalagi kalo bilang2 pake asuransi. udah de pasti digodok abis2an itu ama dokternya dikasi obat yang aneh2 pula
    Seharusny sebagai bentuk dukungan dari tenaga medis itu sendiri, dokter sebisa mungkin dokter langsung memberikan resep obat generik, kecuali obat tersebut tidak memiliki generiknya, dan di beri penjelasan kepada pasien tentang kualitas obat generik.
    Namun bila pasien menolak dan meminta obat bermerek, ya dokter bisa membuatkan resep tersebut, tapi atas dasar permintaan pasien.

    Pasien tidak meminta obat generik karena
    1. Mngkn pasien tidak tahu bahwa terdapat obat generik
    2. Pasien ragu akan kualitas obat generik itu sendiri

    Untuk mengatasiny, dokter memiliki peran central untuk memberi informasi dan juga meningkatkan penggunaan obat generik.

  11. #10

    Join Date
    Jun 2007
    Location
    Behind You
    Posts
    7,211
    Points
    557.00
    Thanks: 454 / 942 / 625

    Default

    generik dan merek sama" obat....

    tp saran saya.....obat teteplah obat...mengandung zat kimia........obat herbal lebih baik

    dan d bandung yg banyak perusahaan obat / kimia...sudah mulai beralih ke herbal...dan lulusan" ahli herbal lebih banyak d cari.

  12. #11
    killer_ling's Avatar
    Join Date
    Apr 2009
    Location
    Small City
    Posts
    2,237
    Points
    2,514.30
    Thanks: 14 / 62 / 61

    Default

    kalo menurut saya....
    semuanya sama....
    yang penting sesuai dosis aja..

    http://www.indogamers.com/member.php?u=169918



    ID :
    - killer_ling
    - SpaRtAn
    - PWK-FANTASY

  13. #12
    Sterling's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Jakarta
    Posts
    22,501
    Points
    2.48
    Thanks: 63 / 822 / 597

    Default

    Quote Originally Posted by killer_ling View Post
    kalo menurut saya....
    semuanya sama....
    yang penting sesuai dosis aja..

    Terdapat perbedaan yang berarti dalam hal harga, harga obat generik itu jauh lebih murah,

    Spoiler untuk 1 :
    Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

    Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.

    Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik (generik adalah nama zat berkhasiatnya). Nah, obat generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu Obat Generik Berlogo (atau OGB) dan generik bermerk (branded generic).

    Tidak ada perbedaan zat berkhasiat antara generik berlogo dengan generik bermerk. Bedanya adalah yang satu diberi merk, satu lagi diberi logo. Obat generik berlogo (lebih umum disebut obat generik saja) adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerk (lebih umum disebut obat bermerk) adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya. “Orang kan makan generiknya bukan mereknya, karena yang menyembuhkan generiknya,” tambah DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes

    Hal yang perlu dicatat, bahwa kualitas obat generik tidak berbeda dengan obat bermerek karena diproduksi berdasarkan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam farmakope (buku yang berisi standar bahan baku obat dan obat jadi) walaupun harganya lebih ekonomis; dan antara obat generik dan obat branded tidak ada pebedaannya, baik dari sisi keamanan maupun khasiat, yang membedakan hanya dalam bentuk, warna dan kemasannya yang lebih sederhana dibandingkan dengan obat branded.

    Menkes mengakui bahwa harga obat di Indonesia termahal di dunia. Ia juga mengatakan faktor yang membuat harga obat mahal karena bahan bakunya diimpor dan harganya memang tinggi. Harga obat di Indonesia bisa mencapai 12 kali harga internasional. Alasannya masih sama: komponen impornya masih banyak dan diperberat dengan harga yang masih saja mahal, dan untuk itu harga yang harus dibayar pasien (sebagai konsumen) juga lebih besar.


    Harga obat generik lebih murah karena sudah di tetapkan oleh pemerintah , sedangkan yang untuk bermerek, harga obat tersebut di tetapkan oleh perusahaan farmasi yang membuat nya.

  14. The Following User Says Thank You to Sterling For This Useful Post:
  15. #13
    killer_ling's Avatar
    Join Date
    Apr 2009
    Location
    Small City
    Posts
    2,237
    Points
    2,514.30
    Thanks: 14 / 62 / 61

    Default

    ia perbedaan itu yg membuat jenjang antara
    kepercaay orang tentang obat generik...
    sebenarnya sama aja...obat generik bisa murah
    karena ada kepres yg menyatakan

    "Pemerintah indonesia mensubsidi sebagian dana untuk menekan nilai harga dari obat2 yang di jual/dipasarkan"

    itu berguna supaya masyarakat yang kurang mampuh bisa menjangkau
    harga obat etersebut...
    itu lngkah untuk mensejahterahkan rakyat juga....
    karena masyarakat yang kurang mampuh bisa mendapatkan manfaat dari jenis obat yang sama
    dengan harga yg relatif murah...

    http://www.indogamers.com/member.php?u=169918



    ID :
    - killer_ling
    - SpaRtAn
    - PWK-FANTASY

  16. The Following User Says Thank You to killer_ling For This Useful Post:
  17. #14
    Sterling's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Jakarta
    Posts
    22,501
    Points
    2.48
    Thanks: 63 / 822 / 597

    Default

    Jakarta, Kompas - Pemerintah belum tegas dalam mengendalikan soal obat. Padahal, obat merupakan komoditas khusus dan masyarakat sangat membutuhkan perlindungan pemerintah agar tidak menjadi ”bulan-bulanan” industri.

    Pengamat kesehatan, yang juga mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohamad, Rabu (24/2), mengatakan, perlu ada kebijakan obat nasional. Kebijakan itu harus jelas dan cakupannya mulai dari jenis, proses pembuatan, pemasaran, hingga harga. ”Indonesia sangat liberal soal kesehatan sehingga tidak ada pengendalian,” ujarnya.

    Peraturan Menteri Kesehatan soal kewajiban menulis resep generik di fasilitas kesehatan pemerintah merupakan niat baik. Namun, tidak dapat dijamin implementasinya. Otonomi daerah, misalnya, tidak menjamin kepatuhan rumah sakit dan dokter yang berada di kewenangan pemerintah daerah. Selain itu, peraturan tersebut lemah kontrol dan sanksinya.

    ”Perlu peraturan yang lebih luas, kuat, dan komprehensif untuk mengatur soal obat sehingga semua pihak yang terkait berkewajiban memenuhinya,” tuturnya.

    Penulis buku Mendapatkan Harga Obat yang Wajar di Indonesia, Mangku Sitepoe, mengatakan, persoalan terjadi untuk obat etikal (dengan resep dokter). Sekitar 60 persen merupakan obat etikal dan selebihnya over the counter (obat bebas). ”Persoalan lebih karena tidak seimbangnya relasi dokter dan pasien. Ada oknum dokter yang lebih mementingkan keuntungan ketimbang berperan sebagai pelaku sosial,” ujarnya.

    Farmakolog dari Universitas Indonesia, Rianto Setiabudy, mengungkapkan, peran pemerintah perlu lebih besar, antara lain dalam mempromosikan obat generik. ”Sulit mengandalkan perusahaan farmasi mempromosikan obat generik. Jika dipromosikan, tentu ada biaya tambahan dan harga ikut naik. Perusahaan farmasi sudah tentu berkonsentrasi mempromosikan obat merek mereka,” ujarnya.

    Tingkatkan komunikasi

    Secara terpisah, Direktur Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan, pemerintah akan terus berkomunikasi dengan asosiasi perusahaan farmasi mengenai bagaimana caranya agar harga obat bermerek terkendali. Misalnya saja, yang mengendalikan harga asosiasi karena pemerintah tidak punya kewenangan supaya harga generik bermerek dapat dikendalikan. ”Pemerintah ada kesepakatan dengan asosiasi, tetapi baru sebatas untuk pengadaan obat pemerintah dan itu baru item tertentu,” kata Sri.

    Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat mengatakan, harga obat sekarang mengikuti harga pasar. Semestinya ada aturan khusus terhadap harga obat agar mencapai asas keterjangkauan bagi masyarakat.

    Menurut dia, sejak dulu proses investasi industri farmasi sangat bermasalah dalam aspek daftar negatif investasi. Aturan industri ini lebih berada di bawah Kementerian Kesehatan. Pihaknya sudah meminta sektor ini dikembalikan ke Kementerian Perindustrian. Hanya substansi obatnya yang mendapatkan aturan dari Kementerian Kesehatan.(INE/OSA)

    http://kesehatan.kompas.com/read/201...at.Tidak.Tegas

  18. #15
    Sterling's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Jakarta
    Posts
    22,501
    Points
    2.48
    Thanks: 63 / 822 / 597

    Default

    Kompas.com - Belakangan ini di media massa banyak dibahas mengenai harga obat yang mahal di Indonesia. Teman saya mendapat resep antibiotik yang harga obatnya ternyata jauh lebih mahal dari emas. Untuk satu gram obat tersebut dia harus membayar Rp 300.000, padahal dia membutuhkan suntikan dua kali satu gram setiap hari. Obat tersebut memang obat paten.

    Namun juga diberitakan bahwa dokter kurang berminat menuliskan resep obat generik yang sebenarnya manfaatnya sama dengan obat paten tetapi harganya jauh lebih terjangkau.

    Sampai sekarang saya minum obat penurunan kolesterol generik yang harganya hanya Rp 500, padahal harga obat patennya sepuluh kali lipat lebih. Sebagai pegawai swasta yang gajinya hanya Rp 2,5 juta sebulan dalam pengobatan saya amat bergantung pada obat generik. Saya rasa cukup banyak orang yang kemampuannya serupa saya karena itu kami amat berharap kepedulian dokter pada kemampuan kami dalam membeli obat.

    Dalam pemberitaan , ternyata obat generik banyak yang tak ada di pasar. Katanya karena harga yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari ongkos produksi. Saya agak heran membaca berita tersebut karena pada bayangan saya tentu telah ada komunikasi yang baik antara produsen obat generik (kebanyakan merupakan Badan Usaha Milik Negara) dengan pemerintah. Jika memang kondisinya seperti itu, saya kira harus segera diperbaiki agar masyarakat dapat menikmati obat generik.

    Masalah lain yang jadi sorotan adalah hubungan dokter dan perusahaan obat. Tampaknya ada kecurigaan masyarakat bahwa dokter menerima komisi dari perusahaan obat. Jika ini terjadi, sungguh memalukan karena ini berarti dokter menikmati komisi, sedangkan yang membayar adalah orang yang sedang menderita, yaitu orang yang sedang sakit.

    Apakah dokter sampai hati menikmati komisi tersebut. Mohon penjelasan dokter bagaimana sebenarnya kejadian di layanan kesehatan kita. Apakah hal yang sama juga terjadi di negara lain? Saya masih punya keyakinan sebagian dokter di Indonesia masih punya hati nurani dan akan menolong pasien yang mempunyai dana terbatas.

    BA di J

    Saya juga merasa terharu atas keyakinan Anda tentang dokter Indonesia. Saya sendiri juga meyakini sebagian besar dokter masih menjalankan praktik kedokteran dengan menjunjung tinggi sumpah dan etika kedokteran. Saya mengenal cukup banyak sejawat saya para dokter yang membebaskan honor mereka karena pasiennya kurang mampu.

    Bahkan juga ada yang membelikan obat yang diperlukan. Namun, jumlah dokter di Indonesia sekarang ini sekitar 80.000 orang. Dari jumlah sebanyak itu, kemungkinan ada dokter yang nakal.

    Sudah merupakan kewajiban profesi dokter untuk membina dan mengawasi anggotanya agar dapat melayani masyarakat dengan mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi.

    Obat di negeri kita dapat dibagi tiga macam, yaitu obat paten, obat generik, dan obat generik bermerek. Obat paten adalah obat yang ditemukan melalui penelitian. Biaya penelitian untuk menemukan suatu obat baru amatlah mahal. Penelitian untuk menemukan obat baru juga lama. Sering kali dari sekitar 20 kandidat obat baru, hanya satu yang berhasil dikembangkan menjadi obat baru yang bermanfaat dan aman digunakan.

    Karena itu, dapat dipahami jika perusahaan yang melakukan penelitian mematenkan obat barunya sehingga dapat dijual secara monopoli tak boleh ditiru. Dengan demikian, biaya penelitian akan dapat dikembalikan selama masa paten tersebut.

    Biasanya jika masa paten sudah selesai, harga obat akan turun karena biaya penelitian sudah kembali. Obat tersebut juga bebas untuk ditiru sehingga dapat dibuat obat generiknya. Harga obat generik jauh lebih murah daripada obat paten karena produsen obat generik tak melakukan penelitian yang membutuhkan biaya tinggi tersebut.

    Harga kebanyakan obat generik hanya sepersepuluh obat paten. Dengan demikian, masyarakat dapat menggunakan obat yang bermanfaat dengan harga terjangkau. Pemerintah mewajibkan penggunaan obat generik di institusi pelayanan kesehatan pemerintah agar masyarakat dapat menggunakan obat yang bermutu dengan harga terjangkau.

    Dewasa ini juga timbul wacana seharusnya pemerintah juga mewajibkan penggunaan obat generik di layanan kesehatan swasta, misalnya, di pelayanan rawat inap kelas tiga yang biasanya ditempati oleh pasien yang kurang mampu.

    Obat generik dibuat kemasannya sederhana dan produsennya juga mendapat keuntungan yang tipis. Namun karena penggunaan banyak, keuntungan lumayan. Harga obat generik, seperti Anda kemukakan, dikendalikan pemerintah. Sudah tentu harga yang ditetapkan pemerintah tidak menjadikan produsen obat generik merugi. Jadi memang perlu komunikasi dan kesepakatan antara pemerintah dan produsen obat generik.

    Bagaimana dengan obat generik bermerek? Obat ini harganya antara harga obat generik dan obat paten. Namun sayangnya, di negeri kita obat generik bermerek harganya lebih mendekati obat paten ketimbang obat generik. Memang obat generik bermerek mungkin kemasannya lebih canggih dan perlu biaya pemasaran untuk memperkenalkan obat tersebut. Biaya pemasaran obat biasanya tidaklah sedikit.

    Dokter dan produsen obat

    Hubungan dokter dan perusahaan farmasi telah dibahas oleh profesi kedokteran (IDI) dan profesi kefarmasian. Telah ada etika pemasaran obat dan juga tata cara hubungan dokter farmasi yang tidak boleh memberatkan pasien. Di Indonesia dan juga di negara lain, perusahaan farmasi mensponsori pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh profesi kedokteran. Dengan cara ini, kedua pihak diuntungkan. Perusahaan farmasi mengeluarkan biaya yang lebih efisien jika mensponsori pertemuan ilmiah dokter daripada mengadakan sendiri.

    Sementara profesi kedokteran juga diuntungkan karena dengan adanya sponsor tersebut, biaya penyelenggaraan pertemuan ilmiah menjadi lebih ringan. Akibatnya, biaya yang harus dibebankan kepada peserta menjadi lebih murah.

    Namun sudah tentu perusahaan farmasi tidak boleh membiayai keluarga peserta pertemuan ilmiah untuk berwisata misalnya. Dokter tidak boleh mendapat komisi dari perusahaan farmasi. Jika ini diketahui, dokter yang bersangkutan akan mendapat sanksi.

    Bagaimana menurunkan beban masyarakat untuk biaya berobat? Obat merupakan salah satu komponen biaya yang harus dibayar oleh orang sakit di samping honor dokter, pemeriksaan penunjang, dan biaya rumah sakit. Jika kita ingin meringankan beban masyarakat, keseluruhan biaya ini perlu ditinjau kembali dan masyarakat mendapat informasi yang terbuka mengenai beban yang harus ditanggung mereka.

    Namun, salah satu cara yang dapat menurunkan biaya kesehatan adalah jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan. Mudah-mudahan pelaksanaan jaminan sosial masyarakat akan segera dapat diwujudkan, termasuk jaminan biaya kesehatan.

    http://kesehatan.kompas.com/read/201....Komisi.Dokter

Page 1 of 3 123 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •