mungkin udah habbit ya , orang kebiasaan taunya yg lebih mahal mutunya lebih bagus
mungkin udah habbit ya , orang kebiasaan taunya yg lebih mahal mutunya lebih bagus
JAKARTA, KOMPAS.com — Peningkatan pemberian resep obat generik belum bermakna sejak diterapkannya peraturan yang mewajibkan pemberian resep obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah pada awal 2010.
"Evaluasi belum selesai. Tapi menurut gambaran sementara yang diperoleh dari pendataan peresepan obat generik di rumah sakit pada bulan Januari-April, belum terlihat peningkatan yang bermakna," kata Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty.
Menurut Sri, tingkat peresepan obat generik di rumah sakit yang rata-rata 65 persen pada Januari hanya naik sekitar satu persen setiap bulannya. Hal itu didasari pada hasil evaluasi sementara berdasarkan penerapan peraturan yang dilakukan di 45 rumah sakit yang ada di 33 kabupaten/kota di 33 provinsi.
"Penyebabnya ada beberapa, antara lain sosialisasi yang belum merata mengenai peraturan tersebut sehingga belum semua dokter mengetahuinya. Selain itu, beberapa obat generik juga dilaporkan kosong di pasaran. Misalnya obat antibiotik injeksi Diazepam," katanya.
Ia mengatakan, pemerintah akan menuntaskan evaluasi penerapan peraturan tentang peresepan dan distribusi obat generik akhir Juni. Jika perlu, maka harus ada perbaikan untuk meningkatkan peresepan obat generik pada fasilitas kesehatan milik pemerintah menjadi 80 persen sampai 90 persen.
"Akan kita lihat. Kalau memang perlu diperbaiki, akan diperbaiki. Yang jelas, pemerintah mengupayakan harga obat generik yang rasional dan bisa dijangkau masyarakat serta tidak merugikan industri yang memproduksinya," kata Sri.
Sejak awal 2010, pemerintah menerapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 068 tahun 2010 yang mewajibkan dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis.
Pemerintah juga menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 146 Tahun 2010 yang berisi penetapan harga 453 obat generik dan aturan penambahan biaya distribusi obat generik ke harga obat pada wilayah tertentu.
Penerbitan peraturan baru tentang peresepan dan distribusi obat generik itu ditujukan untuk menggalakkan penggunaan obat generik dalam pelayanan kesehatan publik yang selama ini dinilai masih rendah.
Penggunaan obat generik mengalami penurunan bermakna dalam beberapa tahun terakhir. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, pasar obat generik turun dari Rp 2,525 triliun (10 persen dari pasar obat nasional) menjadi Rp 2,372 triliun (7,2 persen dari pasar obat nasional).
Padahal, pasar obat nasional meningkat dari Rp 23,590 triliun pada 2005 menjadi Rp 32,938 triliun tahun 2009. Ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan juga baru mencapai 69,74 persen dari target 95 persen.
Tingkat peresepan obat generik di rumah sakit umum juga masih 66 persen, sedangkan di rumah sakit swasta dan apotek hanya 49 persen.
http://kesehatan.kompas.com/read/201...Belum.Bermakna
Harga Obat Resep Dokter Bisa Selangit
Laporan wartawan KOMPAS Kornelis Kewa Ama Khayam
Sabtu, 12 Juni 2010 | 21:45 WIB
shutterstock
TERKAIT:
* Peraturan Resep Obat Generik Belum Bermakna
* RSUD Akan Pasang Daftar Harga Obat
* IAI: Distribusi Obat Terlalu Bebas
* Kefarmasian Indonesia Butuh Perbaikan
* Salah Kaprah Obat Generik
KUPANG, KOMPAS.com - Obat yang dibeli dengan resep dokter di semua apotik di Kupang mahal tak tertandingi. Obat yang sama jika dibeli tanpa menyodorkan resep dokter jauh lebih murah dibanding resep dokter.
Diduga, dokter praktek bekerjasama dengan pengelola apotik untuk mempercepat proses pembelian obat di apotik itu, terutama bukan jenis obat generik. Moses Muga (48) salah seorang pasien salah satu dokter praktek ahli penyakit dalam di Kupang, Sabtu (12/6) mengatakan, dirinya mendapat resep dari dokter ahli penyakit dalam tiga jenis; artilox 7,5 sebanyak 12 tablet, cytostol 10 tablet, dan tizacom sebanyak 12 tablet.
"Saya beli obat itu di apotik, tempat dokter ahli penyakit dalam itu praktek dengan harga Rp 450.000. Tetapi setelah obat itu habis, saya datang lagi ke dokter yang sama. Dia memberi resep serupa dengan jumlah yang sama,"kata Muga.
Tetapi Muga kali ini Muga tidak menyodorkan resep dokter. Ia langsung menyebut nama obat, dan jumlahnya. Ternyata tanpa menyodorkan resep, Muga hanya dikenai biaya Rp 150.000 untuk ketiga jenis obat tersebut, dengan jumlah yang sama banyak.
Hal serupa disampaikan Maria Magdalena Tupen (54) yang mendapat resep dokter berupa obat malaria (pimaquin) dan vitamin (surbex Z) masing masing berjumlah 15 tablet. Harga obat beresep itu Rp 85.000, sementara tetangganya membeli tanpa menggunakan resep dokter hanya Rp 37.000, dengan jumlah yang sama banyak.
Dokter ahli penyakit dalam KKB (49) mengatakan, resep yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan finansial pasien. Seorang dokter ahli sebelum menulis resep, ia selalu menanyakan dulu pekerjaan dan latar belakang pendidikan.
"Memang obat generik lebih murah daripada obat lain, tetapi apakah semua jenis obat masuk kategori generik atau tidak. Ada jenis obat tertentu yang bukan generik sehingga pasien merasa mahal," katanya.
http://kesehatan.kompas.com/read/201....Bisa.Selangit
gw pilih obat generik aja
karena kualitas generik bagus coy
masalah gini dah mendarah daging kali yah,,,, kali aja dokter juga dapet bagian komisis kalo berhasil membuat pasiennya beli obat tertentu,.... hmmmm yang susah pasiennya,,,
iya sih, padahal dah ada aturan yg jelas kalo dokter gak boleh milih merk tertentu dalam resepnya, bener gak sih ??
Di luar negeri dah mulai pake sistem CPOE (Computer Physician Order Entry), jadi dokter masukin resepnya di komputer, ketauan stok apotek mana aja yang punya obatnya, bisa juga langsung order, jadi pasien ke apotek langsung ambil tuh resep gak pake nunggu lagi.....
wah sistem kayak gitu keknya blm diterapin ya di indo? dokter2 disini mah biasa lah siapa sih yang ga mau untung?
Share This Thread