Aku berjalan pelan, ditengah-tengah kehangatan musim semi yang melingkupi diriku. Kelopak-kelopak bunga beterbangan di langit, membuat keharmonisan tersendiri dari warna-warni mereka. Lonceng yang terletak di menara gereja bernyanyi dengan indahnya ketika aku berjalan menuju ke tempat pemakaman yang terletak di sisi gereja. Setahun telah terlalui sejak Allen meninggalkanku sendiri di dunia ini. Dan hingga saat ini, tak seorangpun sanggup mengisi tempatnya di hatiku.
Aku duduk di sisi makamnya dan meletakkan bunga yang kubeli di perjalananku ke sini di atas sebuah batu––yang dimana diatasnya telah terukir nama dari seseorang yang sangat kucintai. Aku menempelkan kedua tanganku––dengan setiap jemari yang tertaut satu sama lainnya, dan meletakkannya di dekat wajahku ketika aku menutup kedua mataku untuk berdoa baginya. Setiap kenangan tentangnya bermain-main dalam kepalaku bagaikan film dan memenuhi hatiku dengan rasa kesepian dalam doaku untuknya.
Air mata mengalir di pipiku dan jatuh tanpa suara ke atas tanah. Angin hangat musim semi membelai rambutku yang berwarna kecoklatan dengan lembut, membuatku merasa sedikit merasa kedinginan namun juga membuatku merasa nyaman.
“
Aria,”
Aku membuka mataku ketika aku mendengar sebuah suara yang begitu lembut memanggil namaku beberapa kali. Aku melihat sekelilingku, memastikan apakah suara yang memanggilku itu nyata. Tapi aku tidak melihat apapun. Tidak seorangpun berada di sana. Aku mengenal suara itu dengan baik––suara itu begitu familiar di telingaku, suara itu adalah suara dari seseorang yang tinggal dalam hatiku hingga saat ini. Tapi, kenyataan bahwa suara itu nyata adalah hal yang mustahil. Pemilik suara itu sudah tidak berada di sini lagi. Ia telah menemui ajalnya. Namun, suara itu terdengar begitu nyata. Suara itu miliknya. Sebuah suara––dimana aku rela dan akan melakukan apapun untuk dapat mendengarnya lagi. Suara itu milik Allen.
Aku melihat ke makamnya dan shock mendapatinya di sana. Ia duduk di atas batu nisanya, terbalut dalam keheningan. Ia menatapku dengan bola mata coklatnya yang hangat dan penuh kesedihan. Tubuhnya tidak nyata. Transparan. Aku dapat melihat pohon yang tumbuh di belakangnya dengan jelas melalui tubuhnya. Aku berdiri dan berjalan perlahan ke tempatnya duduk.
“
Aria,” panggilnya dengan lembut.
Aku meletakkan tanganku di atas tangannya, namun tangan kami––bahkan kuku-kuku kami, tidak dapat bersentuhan satu sama lain. ‘Air’ memenuhi mataku dan menutupi iris mataku yang berwarna hijau tua. Aku tidak dapat menyentuhnya. Ia telah tiada. Ia telah pergi. Dan kini, meskipun aku telah bertemu dengannya lagi, aku tidak dapat menyentuhnya… tidak dapat merasakan keberadaannya.
“
Aria,”
Aku menatap mata coklatnya yang menyiratkan kesedihan dan meneteskan seluruh air mata yang bersarang di mataku ketika aku mendengar suara lembutnya memanggil namaku lagi.
“
Aria, berhentilah menangis ,” pintanya.
Aku terdiam. Aku tidak mampu berkata apa-apa, seolah-olah lidahku terkunci di dalam mulutku. Semua yang kurasakan saat ini karena dirinya––shock, senang, sedih, rindu dan lain-lain––mengaduk-aduk kepalaku dan mengacaukan pikiranku.
“
Berjanjilah, Aria,” Allen menjaga suaranya tetap pelan dan lembut ketika kalimat berikutnya terlontar dari bibirnya, “
Berhentilah menangisiku.”
Aku masih tidak dapat mengeluarkan saupun kata dari mulutku. Aku tidak dapat memalingkan pandanganku darinya. Aku sangat merindukannya. Setiap keeping dari hatiku ribuan kali berteriak memanggil-manggil namanya. Hanya itu yang aku tahu. Dan seandainya aku diperbolehkan untuk memohon––hanya untuk sebuah permohonan kecil, sebuah permohonan bahwa apa yang kulihat saat ini; disini, di hadapanku, adalah nyata. Bahwa Allen––cinta pertamaku, Allen, ada di hadapanku saat ini.
“
Aria, maukah kau mengabulkan permohonan terakhirku?”
Permohonan terakhir––permohonan terakhirnya. Dan setelah ia mengucapkan permohonannya itu, aku tidak akan pernah bisa melihatnya lagi. Tidak, aku tidak ingin ia pergi.
Aku memastikan buburku tetap terkatup ketika aku memusatkan pikranku untuk menyimpan setiap huruf yang keluar dari bibirnya dan masuk ke telingaku.
“
Aku ingin melihatmu tersenyum,” katanya lembut, “
Aku ingin melihatmu bahagia.”
Ia mengakhiri permohonannya dengan menggenggam tanganku erat-erat––meskipun aku tidak dapat merasakannya, tapi aku tahu ia melakukannya. Ekspresinya, ekspresiyang menghiasi wajahnya membuatku merasa semakin lebih buruk, seolah-olah ia akan mengucapkan selamat tinggal. Seolah-olah aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Sebuah ucapan ‘selamat tinggal’ untuk selama-lamanya.
Allen menatap mataku dalam-dalam. Ia mengambil sebuah kotak kecil yang berwarna merah dari dalam kantong jaket biru tuanya dan berlutut di atas permukaan tanah. Ia menggenggam tanganku dan meletakkannya di atas tangannya.
“
Aria, maukah kau menikah denganku?” tanyanya lembut.
Aku benar-benar bahagia. Allen memintaku untuk menjadi mempelainya. Aku tidak dapat membayangkan kebahagiaan yang lebih daripada apa yang kurasakan saat ini. Tidak ada satupun kata yang sanggup untuk menggambarkannya. Tidak ada suatu apapun yang dapat membuatku merasakan kebahagiaan sebesar ini selain hal ini; ketika ia memintaku untuk menikah dengannya, untuk menjadi istrinya.
“
Aria..? Apakah kau keberatan menjadi mempelaiku?” Kehangatan suara Allen membuatku terbangun dari fantasiku.
“
Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku menolaknya?” kataku dengan riang, “
Aku juga mencintaimu, Allen. Aku akan selalu mencintaimu!”
Allen membuka kotak kecil itu dan mengeluarkan sebuah cincin dari dalamnya dan memasukkan cincin itu ke jari manisku. Ia mengecup tanganku dan berdiri. Ia memelukku dengan erat, mengatakan bahwa ia mencintaiku lebih dari apapun di dunia ini––lebih dari dirinya sendiri, bahkan lebih dari hidupnya.
Dua hari setelah kejadian membahagiakan itu, Allen tidak dapat dihubungi. Tidak satupun panggilanku terjawab. Tidak satupun pesanku yang terbalas. Aku mencoba mencarinya di apartemen yang ia tinggali, namun tak seorangpun berada di sana. Aku juga tidak pernah sekalipun melihatnya di kampus. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Aku sangat khawatir, pikiranku tidak dapat dikontrol lagi.
Aku berharap ia tidak mengalami hal buruk.
Seminggu kemudian, ibu dari Allen menghubungiku. Beliau mengatakan bahwa ia berada di
Central Hospital. Beliau menangis tersedu-sedu. Beliau memberitahuku bahwa Allen menderita penyakit kanker otak yang sangat parah. Kondisinya sangat buruk dan dokter berkata bahwa Allen tidak akan mampu melaluinya. Allen sedang sekarat dan ia
akan segera meninggal.
Teleponku terlepas dari genggamanku dan jatuh membentur permukaan lantai, serta berdentam keras seiring dengan tubuhku yang mulai tidak seimbang. Aku tidak dapat merasakan kaki yang menyangga tubuhku, tidak dapat menghentikan air mataku. Akulah penyebab dari kanker otak yang ia dapatkan. Ini semua salahku.
Begitu aku dapat menggerakkan kakiku lagi, aku berlari keluar rumah, menyambar motorku dan mengemudikannya secepat yang kubisa ke
Central Hospital.
“
Mr. Allen Lloyd, masuk pada tanggal 9 Januari 1987; nomor pasien: 15-368-998-90LAC, kamar 288, Cancer Department,”
“
Terima Kasih.”
Aku memacu kakiku untuk berlari secepat mungkin ke bagian penanganan kanker di rumah sakit tersebut dan mencari ruangan tempat Allen terbaring. Aku melihat Ms. Lloyd, ibu dari Allen ketika aku hamper mencapai ruangan tempat Allen berada. Beliau memeluk suaminya, Mr. Lloyd dan menangis tanpa sekalipun berhenti untuk menatap sekelilingnya. Mereka terlalu sibuk dengan kesedihan mereka sendiri.
“
Kamar 288, Cancer Department,” ulangku. Aku berdiri di depan sebuah pintu kayu yang berwarna gelap dimana telah tertempel nomor kamar tersebut;
288-Cancer.Dept, Mr. Allen Lloyd. Aku menyambar ganggang pintu––berharap aku tidak terlambat untuk melihatnya––dan membuka pintu itu perlahan-lahan. Dan aku melihatnya di sana, dengan begitu banyak ‘kabel-kabel plastik’ di sekujur tubuhnya. Ia menatap ke luar, mencermati pepohonan dan burung-burung yang berwarna-warni, dan menatap ke sebuh gereja yang terletak di dekat rumah sakit.
“
Allen!” panggilku.
Allen memalingkan kepalanya, menatapku, dan terkejut. Tapi beberapa menit kemudian, ia memalingkan kepalanya lagi menatap ke luar jendela. Ia tidak mau menatapku.
“
Mom memberitahumu, kan?” ucapnya kasar. Suaranya masih selembut biasanya, biarpun aku dapat merasakan kemarahan dalam suaranya. Aku berjalan kearah sebuah kursi yang terletak di sisi tempat tidurnya.
“
Allen… bagaimana bisa––” Aku menarik nafas panjang dan mencoba menghapus air mata yang menggenang di mataku, “
Bagaimana bisa kau tega melakukan ini padaku? Mengapa kau tidak memberitahukan padaku apa yang terjadi?”
“
Tidak terjadi apa-apa,” katanya dengan dingin, ia masih tidak mau menatapku.
“
Kau menderita–––” Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Pikiran dan hatiku tidak mengijinkanku untuk melanjutkannya. Pikiranku sibuk memikirkan hal lain, memikirkan dan membayangkan bahwa kemungkinan besar aku akan dipaksa untuk hidup tanpa Allen di sisiku.
“
Kanker otak,” lanjutnya tanpa menatapku.
Aku tidak dapat merasakan kakiku lagi. Aku menggenggam pinggiran kursi dan duduk debelum aku terjatuh ke lantai. Aku tidak percaya akan apa yang kudengar. Aku telah mengetahuinya; dari ibunya. Tapi sangat menyakitkan bagiku untuk mengetahui hal ini secara langsung darinya.
Akhirnya, Allen memalingkan pandangannya dan menatap wajahku.
“
Kumohon, jangan memikirkannya. Aku baik-baik saja,” katanya sambil tersenyum.
Aku terdiam. Tidak tahu apa yang harus kukatakan dan kupikirkan. Allen meletakkan tangan kanannya di pipiku dan menyentuhnya dengan lembut.
“
Aria, jangan menangis,” pintanya. Aku dapat merasakan kesedihan terkandung dalam suaranya.
“
Ini salahku,” tangisku.
“
Tidak! Tentu saja tidak! Aria, jangan sekali-kali kau berani berpikir seperti itu lagi!” Suara Allen meninggi. Ia benar-benar marah padaku.
“
Tapi ini memang salahku! Aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu! Kau menyelamatkan nyawaku dan kau harus menderita kanker ini karenaku! Karena kepalamu terbentur ketika kau menyelamatkanku dari kecelakaan itu! Aku tahu jelas itu, Allen! Aku––”
Allen mendudukkan tubuhnya di tempat tidurnya dan mengunci bibirku dengan bibirnya. Aku dapat merasakan nafasnya yang semakin tidak teratur. Ia tampak sangat sulit bernafas. Aku menggigil ketakutan, memikirkan bahwa ia bisa meninggalkanku kapanpun. Keadaannya semakin memburuk.
“
Aria, please, Aku memohon padamu, please…jangan memikirkannya. Itu semua bukan salahmu. Itu kecelakaan, ingat? ” katanya sambil meletakkan jarinya di bibirku, membelainya dengan lembut dan tersenyum padaku.
“
Allen, Aku––”
“
Aria.” Allen menggenggam tanganku dan meletakkannya di atas dadanya yang bidang.
Aku dapat merasakan detak-detak jantungny. Detak-detak yang ingin kudengar seumur hidupku. Namun, detakan-detakan jantung yang kurasakan di telapak tanganku kini bukanlah detakan jantung yang sehat.
“
Aria,” lanjutnya, “
Ini adalah milikmu. Hatiku adalah milikmu. Apakah kau mau menjaganya untukku..?” tanyanya.
Aku menatap cincin yang ia letakkan di jari manisku dan menemukan cincin yang sama di jari manisnya. Aku menghapus air mataku dan tersenyum padanya. “
Aku mau, Allen… Kau tahu bahwa aku akan selalu menjaganya,” jawabku.
“
Promise?” tanyanya.
“
I promise.”
“
Kau akan selalu menjadi ‘aria*’ dalam hatiku,” katanya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya dengan berjuta air mata memenuhi mataku. Ia menyentuh pinggiran mataku dan menghapus air mata yang ia dapati di sana sambil berkata bahwa ia tidak ingin melihat air mata itu lagi. Aku membungkuk dan mengecup bibirnya. Ciuman yang hangat dan penuh air mata yang tidak kan pernah kurasakan untuk
kedua kalinya.
Allen menutup matanya dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Dan kini, aku bertemu dengannya lagi. Dan ia akan segera pergi meninggalkanku
lagi; Untuk kedua kalinya.
“
Aria, aku mencintaimu,” katanya, “
Aku minta maaf aku tidak bisa menjagamu lagi. Aku minta maaf karena aku menyebabkan air matamu terus mengalir tanpa mengetahui kapan harus berhenti.” Allen meletakkan tangan ‘transparan’nya di pipiku dan mencoba menghapus air mataku dengan jemarinya meskipun ia tahu bahwa itu adalah perbuatan yang sia-sia.
Aku menundukkan kepalaku, menatap
flat-shoes yang membalut kakiku sambil mencucurkan air mata yang tidak pernah berhenti.
“
Aria, tepatilah setiap janji-janjimu,” pintanya.
Aku menutup mataku perlahan-lahan.
“Aku akan menepatinya…Allen––”
Bulir-bulir air mata menetes ketika aku memanggil namanya dan mengulang
sumpahku padanya. Dan sekali lagi, ia meletakkan tangan transparannya di pipiku dan berusaha menghapus air mataku. Dan seketika itu, aku merasakan wajah transparannya begitu dekat dengan wajahku.
Tuhan, kabulkanlah satu-satunya permintaanku. Aku ingin merasakan sentuhannya untuk terakhir kalinya.
Sedetik kemudian, aku merasakan bibir hangatnya menyentuh bibirku. Dan seketika itu juga, aku dapat mendengar
dengan sangat jelas apa yang sedang ia pikirkan ketika itu semua mulai terasa kabur dan hendak melenyapkan eksistensinya.
“
Aria, aku mencintaimu,” hatinya berteriak, “
Aku akan selalu mencintaimu.”
Aku meneteskan air mataku ketika aku merasa ia mulai menghilang. Aku tidak dapat merasakan ciuman hangatnya lagi. Aku tidak ingin membuka mataku untuk melihatnya pergi meninggalkanku lagi. Tapi aku mengerti bahwa aku
harus membiarkannya pergi.
“
Selamat tinggal, Aria,” pamitnya perlahan-lahan, “
Hanya kaulah Aria-ku, satu-satunya ‘aria*’ dalam hati dan jiwaku.”
Aku membiarkan mataku tertutup saat air mataku terus bercucuran membasahi wajahku dan tanah tempatku berpijak ketika Allen dan sentuhan-sentuhan hangatnya menghilang.
“
Selamat tinggal, Allen,” bisikku.
Share This Thread