JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Susno Duadji mengatakan, Polri melakukan pembohongan besar kepada rakyat. Pasalnya, niat awal mengusut tuntas laporannya terkait adanya praktik makelar kasus di Mabes Polri yang turut melibatkan para jenderal, Mabes Polri malah memanggilnya untuk diperiksa terkait pelanggaran profesi.
Makelar kasus yang dibeberkan Susno sehubungan dugaan kasus korupsi yang melibatkan penyidik polisi dan pegawai pajak senilai Rp 25 miliar. "Ini suatu pemutarbalikan isu dan penarikan isu pokok (adanya makelar kasus). Ini pembohongan besar kepada rakyat," ujar Susno, Minggu (21/3/2010) dari Palembang.
Susno pun mempertanyakan langkah perwira tinggi Polri yang melaporkannya melakukan pencemaran nama baik. Menurutnya, laporan pencemaran nama baik baru dapat dilakukan ketika jenderal berbintang tersebut dinyatakan terbukti tidak terlibat praktik makelar kasus.
Saat ini, sambungnya, Mabes Polri belum memeriksa saksi-saksi sehubungan dengan laporannya mengenai praktik makelar kasus di tubuh polisi. "Andi Kosasih belum diperiksa, PPATK sebagai saksi ahli yang sudah mengaudit juga belum diperiksa. Kemudian, penyidik internal dan para jenderal belum diperiksa. Saya sendiri, Susno Duadjo, yang mengatakan adanya makelar kasus, belum diperiksa," ujarnya.
Mantan Kapolda Jawa Barat ini mengaku bingung dengan pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Edward Aritonang bahwa apa yang dikatakan Susno adalah penistaan terhadap institusi Polri.
Pasalnya, tudingan Susno soal makelar kasus tanpa didukung fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. "Saya tidak tahu apakah sudah ada bukti-bukti bahwa para jenderal tersebut tidak bersalah," tambahnya.
Pada Sabtu (20/3/2010), Susno mengatakan bahwa penuntasan kasus yang dilaporkannya adalah kesempatan emas bagi Reformasi Polri tahap II yang akan menciptakan kepolisian profesional.
"Silakan disurvei kepada masyarakat. Kalau Kapolri bertindak tegas kepada jenderal-jenderal nakal, maka hal ini tentu akan mengangkat citra polisi yang profesional dan menjunjung tinggi hukum," katanya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Susno Duadji mengatakan, Polri melakukan pembohongan besar kepada rakyat. Pasalnya, niat awal mengusut tuntas laporannya terkait adanya praktik makelar kasus di Mabes Polri yang turut melibatkan para jenderal, Mabes Polri malah memanggilnya untuk diperiksa terkait pelanggaran profesi.
Makelar kasus yang dibeberkan Susno sehubungan dugaan kasus korupsi yang melibatkan penyidik polisi dan pegawai pajak senilai Rp 25 miliar. "Ini suatu pemutarbalikan isu dan penarikan isu pokok (adanya makelar kasus). Ini pembohongan besar kepada rakyat," ujar Susno, Minggu (21/3/2010) dari Palembang.
Susno pun mempertanyakan langkah perwira tinggi Polri yang melaporkannya melakukan pencemaran nama baik. Menurutnya, laporan pencemaran nama baik baru dapat dilakukan ketika jenderal berbintang tersebut dinyatakan terbukti tidak terlibat praktik makelar kasus.
Saat ini, sambungnya, Mabes Polri belum memeriksa saksi-saksi sehubungan dengan laporannya mengenai praktik makelar kasus di tubuh polisi. "Andi Kosasih belum diperiksa, PPATK sebagai saksi ahli yang sudah mengaudit juga belum diperiksa. Kemudian, penyidik internal dan para jenderal belum diperiksa. Saya sendiri, Susno Duadjo, yang mengatakan adanya makelar kasus, belum diperiksa," ujarnya.
Mantan Kapolda Jawa Barat ini mengaku bingung dengan pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Edward Aritonang bahwa apa yang dikatakan Susno adalah penistaan terhadap institusi Polri.
Pasalnya, tudingan Susno soal makelar kasus tanpa didukung fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. "Saya tidak tahu apakah sudah ada bukti-bukti bahwa para jenderal tersebut tidak bersalah," tambahnya.
Pada Sabtu (20/3/2010), Susno mengatakan bahwa penuntasan kasus yang dilaporkannya adalah kesempatan emas bagi Reformasi Polri tahap II yang akan menciptakan kepolisian profesional.
"Silakan disurvei kepada masyarakat. Kalau Kapolri bertindak tegas kepada jenderal-jenderal nakal, maka hal ini tentu akan mengangkat citra polisi yang profesional dan menjunjung tinggi hukum," katanya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Nama pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, tiba-tiba menjadi pembicaraan publik. Namanya mencuat setelah mantan Kabareskrim, Komjen Susno Duadji, melontarkan adanya praktik mafia kasus saat penyidik Bareskrim Mabes Polri menangani kasus yang menjerat Gayus.
Sebelum Susno mengungkapkan hal itu, kepolisian tidak pernah mengungkapkan bahwa mereka melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara Gayus kepada wartawan yang biasa meliput di Mabes Polri. Begitu pula dengan pihak kejaksaan yang memeriksa berkas perkara Gayus sebelum dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tangerang. Setelah kasus itu mencuat, kepolisian dan kejaksaan langsung angkat bicara menjelaskan penanganan kasus itu menurut versi mereka kepada publik.
Menurut polisi, awalnya penyidik Bareskrim Mabes Polri menerima laporan dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencurigai dana di rekening milik Gayus senilai Rp 25 miliar. Kecurigaan itu muncul karena Gayus memiliki tabungan senilai Rp 25 miliar, padahal ia hanya pegawai golongan III di Ditjen Pajak.
Kasus itu kemudian ditangani oleh Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri yang dipimpin oleh Brigjen Edmond Ilyas. Saat itu, Susno masih menjabat sebagai Kabareskrim Polri, sedangkan Brigjen Raja Erizman masih menjabat wakil Edmond. Kini, Edmond adalah Kapolda Lampung, sedangkan Raja menggantikan posisi Edmond.
Penyidik kemudian melakukan penyelidikan terhadap rekening itu. Penyidik menerima laporan dari PPATK yang mencurigai tiga transaksi dari dua pihak yang masuk ke rekening milik Gayus dengan total Rp 395 juta dari total Rp 25 miliar. Dua pihak itu adalah PT Megah Jaya Citra Garmindo senilai Rp 370 juta dan Roberto Santonius senilai Rp 25 juta.
Berdasarkan hasil penyidikan, polisi kemudian memastikan bahwa uang senilai Rp 395 juta itu hasil tindak pidana. Penyidik kemudian menjerat Gayus dengan tiga pasal, yaitu pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Saat pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, pihak kejaksaan memberi petunjuk kepada penyidik agar uang Rp 25 miliar di rekening Gayus diblokir. Penyidik kemudian meminta pihak bank untuk melakukan pemblokiran.
Rp 24,6 miliar
Lalu bagaimana dengan sisa uang senilai Rp 24,6 miliar di rekening Gayus? Menurut versi Polri, uang itu diakui oleh seseorang bernama Andi Kosasi bahwa ia menyerahkannya kepada Gayus untuk membeli tanah. Hingga perkara uang senilai Rp 395 juta dinyatakan selesai oleh jaksa (P21), penyidik belum dapat membuktikan uang Rp 24,6 miliar itu adalah hasil tindak pidana. Dengan demikian, penyidik tidak meningkatkan penyelidikan uang Rp 24,6 miliar itu ke tahap penyidikan. Perkara yang berjalan hanya untuk uang Rp 395 juta.
Menurut Polri, pihaknya tidak bisa melakukan pemblokiran terlalu lama terhadap rekening milik Gayus. Penyidik kemudian mengirimkan surat permintaan pembukaan pemblokiran rekening ke pihak bank. Surat itu ditandatangani oleh Raja pada tanggal 26 November 2009. Permintaan pemblokiran itu empat hari sebelum Susno menyerahkan jabatan Kabareskrim kepada Komjen Ito Sumardi.
Namun, Susno dalam berbagai kesempatan mengatakan, pemblokiran uang itu telah dibuka lalu dicairkan setelah dia lengser dari Kabareskrim. Susno juga menuding beberapa jenderal dan perwira menengah di Mabes Polri menikmati uang Rp 24,6 miliar itu. Susno juga sempat berujar bahwa jaksa peneliti diduga ikut menikmati uang itu.
Kejaksaan Agung pun angkat bicara. Senin (22/3/2010), Korps Adhyaksa menggelar jumpa pers. Cirus Sinaga, ketua tim jaksa peneliti dalam perkara yang melibatkan Gayus Tambunan, memaparkan bahwa kejaksaan memang menerima perkara Gayus dengan tiga pasal, yaitu korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Namun, berdasarkan hasil penelitian oleh jaksa, perkara yang dapat dilimpahkan ke pengadilan adalah perkara pencucian uang dan penggelapan.
Setelah menjalani persidangan, jaksa penuntut umum yakin bahwa Gayus melakukan tindak pidana, dan menuntut Gayus dengan hukuman penjara 1 tahun dan 1 tahun percobaan. Tuntutan dibacakan pada 3 Maret 2010.
Namun, majelis hakim berpendapat lain. Hakim memutuskan bahwa Gayus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan tidak bersalah seperti yang didakwakan. Vonis bebas dengan nomor 49/B/ 2010 /PN TNG itu dibacakan hakim pada 12 Maret 2010.
Versi jaksa
Lantas bagaimana nasib uang Rp 24,6 miliar versi Jaksa? Menurut jaksa, uang itu diserahkan Andi Kosasi kepada Gayus untuk membeli tanah di daerah Jakarta Utara seluas 2 hektar. Di atas lahan 2 hektar itu, Andi akan membangun rumah toko atau ruko.
Perkenalan antara Andi dan Gayus terjadi ketika keduanya bertemu di dalam pesawat. Perkenalan kemudian berlanjut dengan kerja sama untuk mencari tanah. Kerja sama itu dibuat dalam perjanjian tertulis pada 25 Mei 2008.
Masih menurut jaksa, Andi menyerahkan uang dalam bentuk dollar AS kepada Gayus dalam enam tahap di rumah mertua Gayus. Rincian penyerahan uang itu adalah pada 1 Juni 2008 sebesar 900.000 dollar AS, 15 September 2008 sebesar 650.000 dollar AS, 27 Oktober 2008 sebesar 260.000 dollar AS, 10 November 2008 sebesar 200.000 dollar AS, 10 Desember 2008 sebesar 500.000 dollar AS, dan 16 Februari 2009 sebesar 300.000 dollar AS. Kejaksaan tidak menerima perkara uang Rp 24,6 miliar itu dari kepolisian.
Menurut Susno, patut diduga bahwa dari uang sebesar Rp 24,6 miliar ada yang mengalir ke sejumlah jenderal. Susno juga menyebutkan bahwa para makelar kasus memiliki ruang di sebelah ruang Kepala Polri. Pascapernyataan Susno, semua pihak yang disebut-sebut kini bangkit melawan.
Polri sedang mengumpulkan bukti untuk menjerat Susno dengan tuduhan penghinaan dan penistaan terhadap lembaga Polri. Edmond telah membuat laporan pencemaran nama baik dan fitnah ke Bareskrim Mabes Polri. Adapun empat jaksa peneliti masih menunggu izin dari Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk membuat laporan.
Share This Thread