Setelah rezim otoriter tumbang, keputusan go democracy muncul sebagai alternatif. Ketika rezim Orde Baru hancur, Indonesia menjadikan demokratisasi sebagai pilihan. Pakar ilmu politik berkata, “there is no road to democracy, democracy is the road “tidak ada jalan untuk mencapai demokrasi, demokrasi adalah jalan itu sendiri”. Namun, fakta di lapangan tak seindah yang dibayangkan. Pendaratan demokrasi di Indonesia menemukan kendala. Pertama, adanya budaya dan tingkah laku politik kalangan elite strategis yang kurang kondusif bagi demokratisasi. Sebagian elite memiliki budaya dan sikap monopolistik. Hampir selalu ada kontradiksi antara yang dikotbahkan dan yang dilakukan. Ketika para elite berpidato mengenai urgensi penegakan demokrasi, pada saat yang sama mereka tengah menggerus prinsip-prinsip demokrasi. Banyak elite menggunakan cara tak demokratis dalam menyelesaikan problem. Demokrasi hanya sebatas pemanis bibir.
Kedua, masih lekatnya kultur paternalistik dengan pola hubungan patron-klien. Kepemimpinan karismatis-paternalistik, baik struktural maupun kultural masih menempati grafik puncak dalam peringkat pola-pola kepemimpinan di Indonesia. Kultur dan struktur paternalistik ini memposisikan hubungan antarmanusia secara vertikal. Interaksi antarmanusia bergerak dari atas ke bawah. Kondisi ini kian membenarkan tesis George McTurnan Kahin dalam bukunya “Nationalism and Revolution in Indonesia” (1952). Menurut Kahin, hambatan terbesar bagi demokrasi di Indonesia adalah tabiat rakyatnya yang terlampau menunggu arahan dari atas. Rakyat lebih banyak menunggu petunjuk dari atas.
Ketiga , belum kuat dan meratanya sikap taat asas dan tunduk pada aturan main (rule of the game). Konflik di internal partai politik belakangan adalah etalase yang mempertontonkan tentang tidak dipatuhinya mekanisme internal dalam bentuk AD/ART. Orang-orang partai terfragmentasi ke dalam berbagai kelompok yang hanya berorientasi kekuasaan. AD/ART sebagai konstitusi partai tak lebih hanya sebuah aksesori dan pajangan belaka. Bahkan, jika ditelusuri, turbulensi kepartaian banyak berawal dari rapuhnya manajemen kepartaian. Parpol sebagai institusi publik kerap tersandera kepentingan privat segelintir orang. Padahal jelas, parpol bukan bisnis perorangan, tapi public enterprise. Karena itu, manajemen kepartaian harus taat pada aturan main dan tak boleh dibiarkan takluk pada kepentingan orang perorang. Ketundukan semua pengurus partai pada aturan main dan pengukuhan partai sebagai lembaga publik adalah niscaya.
Keempat , idealisasi tentang penyatuan agama-negara yang berlanjut pada cita-cita pendirian negara Islam dan khilafah masih menguat dalam memori kolektif agamawan fundamentalis. Isu yang kerap diusung adalah diakomodasikannya syari`at Islam (fikih) dalam perundang-undangan negara. Mereka menuntut agar negara menjadi polisi dalam penegakan syari`at di tengah masyarakat. Padahal, dalam berbagai eksperimen, gagasan kesatuan agama-negara mengalami kegagalan dan tidak menjanjikan apa-apa buat kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Sistem khilafah yang pernah diuji coba dalam pemerintahan Dawlah Umawiyah dan Dawlah Abbasiyah justru melahirkan sejarah kelabu yang menyengsarakan rakyat. Atas nama syari’at, tindakan represif berupa mihnah (inkuisisi) dijalankan.
Membaca pelbagai faktor yang menghambat pertumbuhan demokrasi itu, maka tantangan demokratisasi di Indonesia tidak sederhana. Terbentuknya Indonesia demokratis adalah perjalanan panjang yang penuh liku. Oleh karena itu diperlukan kerja-kerja “militan” dari berbagai kelompok pro demokrasi. Jika tidak, maka yang dihasilkan bukan tegaknya kultur demokrasi, melainkan justeru otoritarianisme.
Share This Thread