Page 1 of 3 123 LastLast
Results 1 to 15 of 40
http://idgs.in/305157
  1. #1
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default Circle of Terror

    Sudah cukup lama sih saya buat cerita ini. Dan waktu itu memang agak stress jg dlm pengembangannya. Tepatnya, idea-nya saya dapat pas memikirkan mengenai burung kecil ^^a oK, selamat membaca deh...

    --------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Di dalam rumah yang terletak di daerah pinggiran, seorang anak laki-laki sedang memegang pisau dapur. Dan pada pisau itu, terdapat darah menetes !
    “Aku sudah menyelesaikannya. Takkan ada yang dapat merebut mereka dariku lagi.”
    Di sekitar anak laki-laki itu berdiri, terdapat mayat-mayat bergelimpangan; Ayah dan ibunya, serta dua orang pelayan rumah itu.
    “Tinggal seorang lagi, maka semua akan berakhir.”
    Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dan seorang gadis masuk. Menyaksikan pemandangan mengerikan di ruangan itu, untuk sesaat gadis itu tertegun. Lalu akhirnya...
    “ARGH !!”
    Anak laki-laki itu tersenyum dingin, lalu berjalan perlahan mendekati gadis itu.
    “A.. akh Rigel, me.. mengapa kamu berbuat sekejam ini ?”, gadis itu sangat ketakutan.
    “Mengapa ?”, Rigel menghunus pisaunya, “Agar tidak ada seorang-pun yang dapat merebut kalian dariku, itulah alasannya. Aku sangat menyayangi papa, mama dan juga Kak Rivanne. Jadi, aku memutuskan untuk membunuh kalian dengan tanganku sendiri.”
    Saat itu juga, Rigel langsung menyerang Rivanne dengan pisau dapurnya. Bahu Rivanne terluka, dan gadis itu segera berlari keluar sambil menjerit minta tolong. Rigel tidak mengejarnya, melainkan menunggu sampai datang beberapa orang yang menangkap dirinya. Tidak sedikitpun Rigel memberikan perlawanan; Ia menerima apapun perlakuan orang-orang itu pada dirinya. Ketika pihak kepolisian hendak membawa Rigel pergi, ia sempat menengok ke arah Rivanne sambil berkata, “Kak Rivanne, aku tidak akan pernah menyerahkan kakak kepada siapapun juga. Ingatlah itu baik-baik !”
    Setelah berkata demikian, Rigel dibawa pergi. Sementara itu Rivanne hanya dapat menutup wajahnya sambil menangis.
    ... Itulah awal dari segalanya.
    Awal dari suatu terror terhadap seorang gadis belia,
    yang akan mengubah seluruh kehidupannya ...


    Hari itu merupakan hari yang sangat kelabu bagi Rivanne Othello. Dalam usianya yang masih muda (12 tahun), ia harus menghadapi kenyataan bahwa adik satu-satunya yang sangat disayanginya, telah membantai seluruh anggota keluarga mereka. Bukan hanya ia mengalami tekanan batin yang teramat berat, tetapi juga masa depannya menjadi tidak menentu. Tidak ada seorang-pun anggota keluarga baik dari pihak ayah maupun ibunya yang bersedia menerimanya. Hal itu dikarenakan pernikahan ayah dan ibu mereka ternyata ditentang keluarga kedua pihak. Akhirnya Rivanne dimasukkan ke dalam panti asuhan kecil yang dikelola oleh seorang ibu sukarelawan dan terletak di pinggir kota. Sementara itu Rigel Othello (9 tahun) dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Tidak pernah sekalipun Rigel bersedia menerima kunjungan Rivanne.

    5 tahun kemudian.
    Rivanne Othello sudah bertumbuh menjadi seorang gadis yang sangat menarik. Tetapi akibat traumanya di masa lalu, ia menjadi gadis pendiam dan tertutup.
    Pada suatu hari di sekolah Rivanne Othello...
    “Test komputer akan diadakan setelah ini. Harap semua murid segera mempersiapkan diri.”, demikianlah bunyi pengumuman melalui pengeras suara.
    “Ah, mengapa untuk test komputer, selalu saja mendadak seperti ini sich ? Mengapa tidak pernah ada diberitahukan sebelumnya, jadi kita bisa belajar dahulu di rumah ?”, terdengar suara seorang murid mengeluh.
    Dengan acuh tak acuh, Rivanne Othello segera mempersiapkan diri, lalu memasuki ruangan test. Ia duduk lalu mengetikkan nama dan Nomor Induk Siswa-nya. Setelah menunggu sesaat, akhirnya layar komputer berubah. Tetapi, bukan soal-soal yang muncul, melainkan sebuah tulisan besar yang membuat bola mata Rivanne terbelalak. Tulisan itu berbunyi :
    Kak Rivanne, aku sangat merindukan dirimu.
    Rigel Othello.
    “KYAA... !!”, Rivanne terjatuh dari tempat duduknya karena terkejut.
    “Hey, ada apa ?”, guru pengawas segera mendatangi Rivanne.
    Dengan gugup, Rivanne menunjuk ke arah layar komputer, “Tu.. tulisan itu...”
    Guru itu mengalihkan pandangannya ke layar komputer.
    “Tidak ada yang aneh. Ini khan soal untuk test kali ini.”
    Mendengar itu, Rivanne langsung kembali melihat layar komputernya. Benar, yang tampak di layar adalah soal-soal test.
    “Rivanne Othello, kamu yakin kamu mampu mengikuti test ini ? Atau mungkin, kamu sedang tidak enak badan ?”
    Rivanne menggelengkan kepalanya, “Tidak, saya baik-baik saja. Maafkan saya.”
    Gadis itu kembali duduk di bangkunya, lalu mengerjakan soal. Sementara gurunya pergi.
    “Ilusi ? Tidak, aku yakin tulisan itu tadi muncul di layar komputer.
    Dan itu adalah pesan dari Rigel.... bagaimana keadaannya sekarang ?
    Tidak pernah sekalipun ia mau menerima kunjunganku.
    Mengapa tiba-tiba muncul pesan seperti itu ? Dan apakah ia.. masih berniat membunuhku ?”


    -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Kalau ada yg sadar, nick saya yaitu 'Rivanne' memang diambil dari karakter di cerita saya yg ini, fufufu... Rivanne Othello, kakak dari Rigel Othello.

  2. Hot Ad
  3. The Following User Says Thank You to Rivanne For This Useful Post:
  4. #2
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Siang itu sepulang sekolah, Rivanne Othello langsung mengunjungi rumah sakit jiwa tempat Rigel dirawat.
    “A.. APA ?! Rigel.. telah melarikan diri ? Bagaimana mungkin ?”
    “Kami juga tidak tahu tepatnya apa yang terjadi. Tetapi ketika sekitar seminggu yang lalu, Rigel menghilang tanpa diketahui oleh siapapun.”
    “Apakah aku dapat bertemu dengan dokter yang merawatnya ?”
    Mendengar permintaan Rivanne, receptionist itu menjadi bingung, “Anu.. sebenarnya dokter yang merawat Rigel Othello menderita sesuatu yang sulit untuk dijelaskan.”
    “Maksud Anda ?”
    Receptionist itu meminta seorang rekannya untuk mengantarkan Rivanne menemui dokter yang merawat Rigel. Mereka menuju sebuah ruangan yang terletak di ujung koridor utama.
    “Nama dokter itu adalah Dokter Kane. Silahkan Anda lihat sendiri keadaan beliau.”
    Pintu dibuka, dan Rivanne masuk ke dalam. Ruangan itu gelap; Seluruh jendela ditutup tirai, dan lampu tidak dinyalakan. Setelah mata Rivanne sudah terbiasa, ia dapat melihat seseorang terbaring di sudut ruangan.
    “Dokter Kane ? Kenalkan, nama saya Rivanne Othello. Saya adalah kakak dari Rigel, dan ingin...”, kata-kata Rivanne terputus.
    Tubuh Dokter Kane secara tiba-tiba menggigil, dan ia mengucapkan nama itu berulang-ulang, “Rigel Othello... Rigel Othello... Rigel Othello...”
    “Dokter ? Apakah Anda baik-baik saja ?”
    Tanpa sedikit-pun menjawab, Dokter Kane terus menerus mengucapkan nama itu. Tiba-tiba, seakan-akan tersadar oleh sesuatu, dokter itu menyerang Rivanne dan mencekik gadis itu.
    “Do.. dokter, a.. apa yang A.. Anda lakukan ?”, suara Rivanne tercekat.
    Pintu terbuka, dan sejumlah dokter segera menolong Rivanne dan menyuntikkan obat penenang kepada Dokter Kane.
    “Nona Rivanne, beginilah keadaan dokter yang merawat adikmu saat ini. Ia akan menyerang siapa saja yang menyebutkan nama Rigel Othello.”
    “Sejak kapan beliau menjadi seperti ini ?”
    “Kalau tidak salah, waktunya bersamaan dengan saat Rigel menghilang. Oh ya, ada sebuah tulisan yang ditinggalkan Rigel, yang sepertinya untuk Anda, Nona Rivanne.”
    Dokter itu mengajak Rivanne ke sebuah ruangan, yang ternyata merupakan ruangan tempat Rigel dirawat. Pada dinding ruangan itu, terdapat sejumlah coretan-coretan. Pandangan mata Rivanne akhirnya terhenti pada sebuah tulisan yang berbunyi :
    Walau waktu lama telah berlalu, tetapi aku takkan pernah melupakanmu.
    Aku sangat bersyukur aku membiarkan kamu hidup ketika itu.
    Hari demi hari aku selalu merindukanmu.
    Aku berjanji, suatu hari aku akan menjemputmu, dan kita akan hidup bahagia selamanya.
    “Dokter, apa maksud tulisan ini ?”
    “Aku-pun tidak mengerti mengapa Rigel menuliskan ini. Nona Rivanne, ia bahkan sampai rela melukai jarinya sendiri demi meninggalkan pesan ini.”
    Pada saat itu, barulah Rivanne sadar, bahwa tulisan itu memang berbeda dengan semua tulisan lainnya di dinding tersebut. Jika tulisan lainnya ditulis dengan arang, tulisan itu ditulis dengan darah ! Teringat akan pesan yang diterimanya di sekolah, tanpa terasa tubuh Rivanne bergetar.

    Sepulang dari rumah sakit, Rivanne Othello tidak langsung menuju panti asuhan tempat tinggalnya. Ia berjalan tak tentu arah, dan tanpa disadari akhirnya ia sampai pada sebuah daerah kumuh. Beberapa orang berwajah sangar mendekati dirinya.
    “Hey lihat, ada cewek manis !”
    “Nona, apa kamu tersesat ? Kami bisa mengantarmu lho.”
    Rivanne kebingungan, “E.. eh maaf, aku.. sepertinya aku salah jalan.”
    “Eit, jangan pergi dulu. Kami ini orang-orang yang kesepian, apakah kamu bersedia menemani kami ?”
    “Ti.. tidak !”, Rivanne berusaha melepaskan diri dari tangan orang yang memegangnya.
    Tiba-tiba...
    “GYAA !!”, orang itu memegang lengannya yang putus terpotong.
    “Jangan sentuh dia dengan tangan kotor kalian !”
    Mereka semua menengok ke arah datangnya suara. Tampak seseorang yang mengenakan jubah dengan sebuah topeng aneh menutupi wajahnya.
    “Si.. siapa kau ?! Apakah kamu ingin mencari perkara dengan kami ?!”
    Terdengar suara tawa mengerikan dari balik topeng.
    “Mencari perkara ? Huh, aku akan memotong tangan kalian semua; Tangan kotor yang telah berani mencoba menyentuh Kak Rivanne !”
    “A.. Apa katamu ?! Kurang... !”, kata-katanya terputus, akibat lengannya dipotong dengan sebuah pedang yang tiba-tiba keluar dari balik jubah orang bertopeng itu.
    “ARGH !!”
    Kejadian berikutnya berlangsung sangat cepat; Orang bertopeng itu benar-benar menggenapi janjinya, dan ia memotong tangan semua preman itu. Darah berceceran dimana-mana, tangan-tangan yang terpotong dan orang-orang yang merintih kesakitan. Melihat semua itu, Rivanne jatuh lemas sementara orang bertopeng itu tertawa puas.
    Perlahan Rivanne menengok ke arah orang bertopeng itu, “Si.. siapa kamu sebenarnya ?”
    “Apa kamu tidak mengenali suaraku, Kak Rivanne ? Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Aku sangat merindukan dirimu.”
    Bola mata indah Rivanne terbelalak. Suara itu, kata-kata itu...
    “Ri.. Rigel ? Apakah benar kamu Rigel ?”
    Orang itu membuka topengnya, dan di balik topeng itu terlihat wajah seorang pemuda yang tersenyum dingin ke arah Rivanne. Walau lama tidak melihatnya, tetapi Rivanne tetap mengenalinya. Senyum itu sama dengan senyum dingin yang pernah dilihatnya ketika orang tua mereka terbunuh; Senyum dingin Rigel Othello.
    “Aku baru saja menolong kakak dari mereka, mengapa sekarang kakak memandangku bagai melihat hantu ?”
    Tersadar oleh kata-kata Rigel, Rivanne segera bertanya, “Rigel, apa yang sebenarnya telah terjadi ? Apakah benar kamu melarikan diri dari rumah sakit jiwa itu ? Dan apa yang telah kau lakukan terhadap dokter yang merawatmu ?”
    Rigel menghela nafas, “Apakah benar itu semua yang ingin kakak tanyakan padaku ? Bukankah ada hal lain yang lebih membuat kakak penasaran, seperti pesan di komputer itu misalnya ? Atau juga pesan yang kutinggalkan di bangsal rumah sakit ?”
    DEG ! Rivanne merasa jantungnya berdegup kencang.
    “Ja.. jadi, memang benar kamu yang mengirimkan pesan itu padaku di sekolah. Lalu, apa maksud semuanya itu ?”
    “Untuk saat ini, aku tidak akan memberitahukan maksudku. Nanti juga pasti kakak akan menemukan jawabannya.”, setelah berkata demikian, Rigel Othello berjalan pergi.
    “Rigel, tunggu !”, Rivanne berusaha mengejar, tetapi rupanya ia terlalu lemas. Bahkan hanya untuk berdiri-pun ia tidak sanggup; Kejadian mengerikan yang begitu cepat, munculnya Rigel dihadapannya, semua itu telah menimbulkan shock pada dirinya.
    “Rigel, mengapa kamu melakukan semua ini ? Apakah.. kamu dendam padaku ?”

    ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Huhuhu... and the terror will begin ^^ BTW sebagai info aja, Rivanne nggak pernah melihat wajah Rigel dgn jelas yaaa...

  5. #3
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Ketika Rivanne Othello pulang, ibu panti langsung memarahinya.
    “Aku sangat mengkhawatirkanmu, Rivanne ! Lain kali, tolong hubungi kami terlebih dahulu jika pulang terlambat !”
    Beberapa anak yang dekat dengan Rivanne juga gembira ketika melihatnya pulang.
    “Kak Rivanne, kami juga sangat mengkhawatirkan kakak.”
    Rivanne tersenyum lembut, “Maafkan saya, ibu panti. Maafkan kakak, adik-adik. Tadi kakak ada urusan yang harus kakak selesaikan.”
    Setelah menaruh tas dan ganti baju, Rivanne dipanggil kembali oleh ibu panti.
    “Oh ya Rivanne, aku hampir lupa. Tadi pagi, tak lama setelah kamu berangkat sekolah, ada seorang pemuda mencarimu.”
    “Pemuda ?”, Rivanne terkejut, “Seperti apa ciri-ciri pemuda tersebut ?”
    “Hmm... sepertinya ia memakai seragam sekolah. Dan kalau tidak salah, itu seragam anak laki-laki sekolahmu. Ya, aku pernah melihat anak laki-laki di sekolahmu memakai seragam tersebut.”
    Rivanne menghela nafas lega; Pastilah pemuda itu bukan Rigel Othello.
    “Tetapi pemuda dari sekolahku, siapa kiranya ya ? Apa ibu menanyakan namanya ?”
    “Tentu. Namanya Thoran Steinbach. Ia seorang pemuda yang sangat baik dan sopan, sepertinya tadi ia ingin menjemputmu dan berangkat sama-sama ke sekolah.”
    Rivanne tertegun. Thoran Steinbach adalah ketua kelasnya, sekaligus orang yang paling pandai di sekolah. Ibu panti memperhatikan wajah Rivanne, lalu beliau menghela nafas.
    “Rivanne, belum pernah sekalipun kamu mengajak temanmu datang ke panti ini. Apakah kamu malu mengakui pada teman-temanmu bahwa kamu adalah anak yatim piatu ?”
    “Bu.. bukan begitu !”, wajah Rivanne langsung memerah, “Saya sendiri tidak begitu pandai bergaul di sekolah.”
    “Jangan begitu, itu tidak baik. Anak seusiamu harus banyak mempunyai teman, Rivanne. Cobalah untuk berteman dengan siapa saja, jangan merasa malu dengan keadaanmu, apakah kamu mengerti ?”
    Rivanne tersenyum lembut, “Baiklah, bu. Terima kasih atas perhatian ibu.”

    “Dimana.. ini ?”
    Rivanne Othello berada di reruntuhan sebuah rumah yang habis terbakar.
    Tiba-tiba... “Welcome home, Kak Rivanne.”
    Rivanne menengok ke arah datangnya suara dan terkejut; Rigel Othello telah berdiri tepat di belakangnya.
    “Rigel, apa maksudmu dengan ‘welcome home’ ?”
    Rigel tersenyum dingin seperti biasa, “Apakah Kak Rivanne tidak mengenal rumah ini ? Ini adalah rumah kita dahulu, dan tempat kakak berdiri adalah tempat terjadinya pembantaian tersebut.”
    Rivanne terkejut lalu melihat ke sekelilingnya.
    “Ini.. rumah kita ? Apa yang sebenarnya terjadi ? Lalu, bukankah saat ini aku sedang tidur di rumah panti ? Apa aku sedang bermimpi ?”
    “Kujawab pertanyaan kedua dahulu. Apa yang sedang kakak lihat bukanlah mimpi. Akulah yang membawa roh kakak kemari.”
    Bola mata Rivanne semakin terbelalak, “Me.. membawa roh ? Apa maksudmu, Rigel ?!”
    “Aku takkan menjawabnya. Sekarang mengenai pertanyaan pertama : sejak aku ditangkap dan kakak tinggal di panti asuhan, rumah ini terbengkalai tanpa seorang-pun yang mengurusnya. Dan, akulah yang telah membakar rumah ini.”, seketika itu pula, pandangan Rigel ke arah Rivanne menjadi tajam dan dingin, “Tak lama setelah aku ‘menghilang’ dari rumah sakit jiwa itu, aku kembali dan membakarnya. Apa kakak mengerti, mengapa aku melakukannya ?”
    Rivanne memandang Rigel dengan pandangan bingung, dan hatinya semakin merasa takut terhadap Rigel.
    “Kurasa kakak tetap tidak mengerti. Alasan aku membunuh ayah dan ibu, alasan aku membakar rumah ini, kakak tidak akan mengerti.”
    “Kau sudah tahu aku tidak mengerti, tetapi tidak ada penjelasan sedikit-pun darimu. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Rigel ?!”, nada suara Rivanne terdengar putus asa.
    “Apa yang kuinginkan dari kakak ?”, Senyum dingin itu muncul kembali, “Tidak ada yang lain selain dari diri kakak sendiri. Aku menginginkan kakak menjadi milikku sepenuhnya, bukan sebagai kakak, tetapi sebagai seorang gadis yang sangat manis. Dan aku tidak ingin seorang-pun menghalangi niatku itu !”
    DEG ! Jantung Rivanne berdegup kencang. Ia sadar, Rigel menyukai dirinya !
    “Ri.. Rigel, kita ini kakak – adik, kita tidak bisa saling mencintai.”
    “Begitukah ?”, Rigel berjalan pergi, “Lihatlah, aku tidak akan berhenti hanya sampai disini. Siapapun yang berada di dekatmu, akan kulenyapkan dengan tanganku ini ! Kamu hanya milikku seorang. Selamat tinggal, Rivanne Othello.”
    “RIGEL !”, Rivanne terbangun. Saat ini ia kembali berada di kamar tidurnya.
    “Semua itu bagaikan mimpi buruk, tetapi aku yakin itu bukanlah mimpi.
    Rigel... kira-kira, apakah yang akan dilakukannya kelak ?
    Aku takut, seluruh kehidupanku akan direnggut olehnya daripadaku.”


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Rigel mencintai Rivanne, bukan sebagai adik, tapi sebagai laki-laki. Yah... mang cerita ini rada edhan sih.

  6. #4
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Keesokan harinya, Thoran Steinbach kembali datang menjemput Rivanne. Kali ini, ia datang lebih pagi. Ibu panti gembira sekali menyambut kedatangan Thoran.
    “Rivanne, temanmu yang kemarin datang, Thoran, sudah datang untuk menjemputmu. Cepatlah kamu bersiap-siap, tidak baik membuatnya menanti terlalu lama !”
    Tetapi Rivanne, walaupun sudah selesai mandi, tetap duduk diam di dalam kamarnya. Ia masih memikirkan ucapan Rigel yang didengarnya semalam...
    “Siapapun yang berada di dekatmu, akan kulenyapkan dengan tanganku ini !”
    Tangan Rivanne perlahan menyibakkan korden jendela, dan membiarkan sinar matahari masuk menyinari kamar tidurnya yang mungil.
    “Apakah Rigel benar-benar serius dengan kata-katanya ?
    Aku.. jadi benar-benar takut terhadap dirinya.”
    Sementara itu, suara ibu panti kembali terdengar.
    “Rivanne, cepatlah turun ! Apa yang kamu lakukan di kamarmu tersebut ?”
    Mendengar suara itu, Rivanne tersadar. Ia segera mengambil tas lalu menuruni sebuah tangga menuju ruang tamu.
    “Ma.. maafkan saya.”
    Di ruang tamu, Thoran Steinbach sedang duduk berseberangan dengan ibu panti. Ketika Rivanne muncul, pemuda itu tersenyum manis ke arahnya.
    “Tidak perlu terburu-buru. Bel sekolah masih cukup lama, masih ada waktu bagimu untuk bersiap-siap.”
    Tiba-tiba Ellie, seorang gadis kecil berumur 7 tahun yang tinggal di panti karena ditinggalkan orang tuanya, menarik baju Rivanne sambil bertanya, “Kak Rivanne, orang itu pacar kakak yach ?”
    “Ellie ! Bu.. bukan kok, Thoran adalah ketua kelasku. Oh ya, mengapa kamu sampai bersedia repot-repot menjemputku ?”
    Thoran tetap tersenyum sambil balik bertanya, “Apakah kamu tidak senang kujemput, Rivanne ?”
    “Ti.. tidak. Bukan itu maksudku. Hanya saja...”, Rivanne tidak dapat melanjutkannya.
    “Rivanne, makanlah dahulu. Aku akan menunggumu. Lalu setelah selesai, kita berangkat.”
    Rivanne mengangguk. Ia segera pergi ke ruang makan.
    “Adik-adik, maafkan kakak. Hari ini kakak tidak dapat mengantar kalian pergi ke sekolah.”
    “Kak Rivanne, jangan berkata seperti itu ! Kami sudah bukan anak kecil lagi !”, Jerko, anak laki-laki tertua kedua setelah Rivanne memprotes, “Akulah yang akan mengantar adik-adik berangkat sekolah. Kak Rivanne pergi saja dengan teman kakak, ok ?”
    Rivanne tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, “Jerko, kamu ini selalu saja sok tua. Tetapi baiklah, aku menghargai niat baikmu. Dan terima kasih.”
    Mereka-pun makan pagi bersama, lalu setelah itu mereka berangkat.

    “Rivanne !”
    Rivanne Othello terkejut. Ia sedang melamun saat pelajaran berlangsung.
    “Apa kamu mendengar apa yang barusan kukatakan ?!”
    Rivanne kebingungan.
    “Ma.. maafkan saya, Pak.”
    Guru itu menghela nafas dengan kesal, lalu berkata, “Baca halaman 35 dengan suara keras !”
    Rivanne segera membuka halaman yang dimaksud, dan ketika terbuka, Rivanne terkejut. Halaman 35 pada bukunya adalah halaman kosong !
    “Ada apa lagi, Rivanne ?”
    “Pak, halaman 35 pada buku saya kosong, tidak ada tulisan apapun.”
    “Apa ?! Apa maksudmu ?”, guru itu mendatangi meja Rivanne. Lalu Rivanne memberikan bukunya untuk dilihat. Dan ketika melihatnya, wajah guru itu langsung merah padam.
    “Rivanne, katakan apa maksudmu dengan kalimat ini ?!”, nada suara guru tersebut terdengar rendah dan penuh kemarahan. Guru itu mengembalikan buku tersebut pada Rivanne, dan Rivanne melihatnya. Disana tertulis dengan tulisan tangan :
    Aku sangat benci pelajaran Bahasa Inggris, apalagi mendengarkan guru menyebalkan seperti Pak George. Mungkin lebih baik jika Pak George dipecat saja !
    Melihat tulisan tersebut, Rivanne langsung menjatuhkan bukunya karena terkejut.
    “Pak, percayalah. Bukan saya yang menulis tulisan seperti itu !”
    “Kalau bukan kamu, siapa lagi ?! Memangnya kamu ingin berkata bahwa penamu dapat menulis sendiri ?!”
    Rivanne semakin gugup, sementara George sedang memikirkan tindakan yang cocok bagi Rivanne.
    Tiba-tiba... “Tunggu dulu, Pak ! Coba saya lihat dahulu buku itu.”, Thoran sudah berdiri di belakang George. Dan tanpa menunggu jawaban, Thoran segera mengambil buku yang tergeletak di lantai itu.
    “Aneh, seharusnya halaman ini sama seperti halaman 35 pada buku lainnya. Mengapa halaman ini bisa kosong dan dapat ditulis ?”
    George juga tersadar dari amarahnya, “Benar juga. Mengapa halaman ini kosong ? Bukankah ini buku diktat, dimana halaman ini seharusnya berisi cerita seperti buku lainnya ?”
    Thoran mengambil buku catatan milik Rivanne, lalu mencocokkan kedua tulisan tangan tersebut.
    “Pak, tulisan tangan Rivanne berbeda dengan tulisan ini. Silahkan Anda periksa.”, Thoran memberikan kedua buku yang dipegangnya kepada guru itu. George memeriksa kedua buku itu, lalu mengangguk.
    “Kalau memang demikian, berarti ini bukan tulisanmu. Maafkanlah saya. Tetapi siapakah yang menulis ini di buku diktat milikmu ?”
    Rivanne menggeleng, “Entahlah, saya juga tidak tahu.”
    Thoran menyela mereka, “Pak, saya rasa Rivanne tidak tahu apapun mengenai hal ini. Saya harap bapak jangan mendesaknya lagi.”
    George mengangguk, lalu kembali ke depan. Demikian pula Thoran kembali ke tempat duduknya. Sementara Rivanne terus memandangi tulisan itu.
    “Walau bukan aku yang menulis,
    tetapi apakah aku memang sedang memikirkan hal seperti yang tertulis disana ?
    Mengapa aku tidak dapat mengingat secara jelas apa yang sedang kupikirkan tadi ?”

    Pulang sekolah. Rivanne Othello baru saja keluar dari sekolahnya, ketika ia melihat seorang berjubah gelap sedang berdiri di bawah pohon memandang ke arah dirinya. Rigel Othello !
    Rivanne segera menghampirinya.
    “Rigel, apa lagi yang kamu inginkan dariku ?!”
    Rigel tersenyum dingin seperti biasa, lalu berkata, “Kak Rivanne, ada sebuah ‘hadiah kecil’ untukmu. Silahkan lihat ke atap gedung sekolahmu.”
    Rivanne berbalik dan ia terkejut; Ada seseorang di atas gedung sekolah, dan ia berdiri di luar pagar pembatas !
    Rivanne segera berlari dan menjerit mencegah orang itu agar tidak melompat, tetapi terlambat. Orang itu melompat dan...
    “KYAA.. !!”, Rivanne menjerit ketika melihat tubuh itu terhempas ke tanah, lalu ia jatuh pingsan. Semua orang terkejut dan terdiam selama beberapa saat melihat kejadian itu. Sementara itu, Rigel Othello berkata perlahan seakan-akan untuk dirinya sendiri, “Rivanne, sebenarnya apa yang tertulis pada buku diktat-mu tersebut, adalah perasaanmu yang sebenarnya. Aku hanya menampilkannya ke permukaan saja. Dan aku tidak akan ragu melenyapkan orang yang menyebalkan bagi dirimu. Pak George sudah ‘dipecat’ selamanya dari dunia ini.”
    Dan, Rigel melangkah pergi.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Yap, salah satu terror dr Rigel telah dimulai, fufufu... dia takkan ragu utk melenyapkan siapapun yg dianggap 'mengganggu' Rivanne. Tp, bagaimanakah Rivanne akan bereaksi ?

  7. #5
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    “Ugh...”, Rivanne merasa kepalanya pusing. Perlahan-lahan ia membuka matanya, dan orang pertama yang dilihatnya adalah Thoran Steinbach.
    “Bagaimana, apakah kamu sudah merasa lebih baik ?”
    Rivanne mengangguk, “Kepalaku masih terasa agak pusing, tetapi selebihnya aku baik-baik saja.”, Rivanne melihat sekelilingnya. Rupanya ia berada di ruang kesehatan.
    “Thoran, apakah kamu sudah mengetahui, siapa yang bunuh diri itu ?”
    Wajah Thoran agak suram ketika menjawab, “Pak George.”
    “Pak George ?!”, bola mata indah Rivanne terbelalak tidak percaya, “Te.. tetapi, apa alasan beliau melakukannya ?”
    “Entahlah. Hanya saja, ada sebuah surat singkat di meja beliau yang berisi pernyataan minta maaf kepada dirimu, Rivanne. Aku sudah memberi penjelasan mengenai kejadian tadi pagi, dan kurasa sebentar lagi para guru akan menanyai dirimu.”
    Rivanne tertegun; Ia kembali teringat akan tulisan tangan pada bukunya. Gadis itu segera mengambil tasnya, membuka lalu mengambil buku diktat yang berisi tulisan tangan itu.
    “Benar, sama persis !”
    “Apanya yang sama, Rivanne ?”
    “Tulisan tangan ini. Tulisan ini sama dengan tulisan yang kulihat pada dinding rumah sakit jiwa tempat Rigel dirawat.”
    Thoran memandang Rivanne dengan bingung, “Rigel ? Siapa dia ?”
    “Rigel Othello, adikku.”, Rivanne terdiam sejenak. Ia ragu untuk menceritakan masa lalunya kepada Thoran; Takut Thoran akan menjauhi dirinya setelah mengetahui kenyataan pahit masa lalunya.
    “Adikmu dirawat di rumah sakit jiwa ? Apakah adikmu menderita gangguan kejiwaan ?”
    “I.. iya, benar. Eh Thoran, apakah kamu bisa keluar ? Aku sedang ingin menyendiri.”
    “Baiklah. Tetapi aku tidak akan pergi jauh. Panggillah aku jika kau membutuhkan sesuatu.”
    Setelah Thoran keluar ruangan, Rivanne bangkit dari tempat tidurnya lalu pergi menuju jendela. Ia melihat ke arah pohon tempat tadi Rigel Othello berdiri, dan memikirkan kata-kata Rigel.
    “Kejadian ini bukan keinginan dari Pak George. Rigel pasti berada di belakang semua ini.
    Tetapi, mengapa Rigel melakukannya ?
    Lalu, tulisan pada bukuku tersebut...
    apakah itu yang sebenarnya kurasakan mengenai Pak George ?”
    Tiba-tiba pintu ruang kesehatan terbuka dan seorang guru memasuki ruangan.
    “Rivanne Othello, ada yang hendak saya tanyakan padamu berkaitan dengan masalah bunuh diri Bapak George, guru Bahasa Inggris-mu.”
    Rivanne mengangguk, lalu pergi bersama dengan guru tersebut.

    “Rivanne Othello, apakah kamu dapat menjelaskan mengenai kejadian di dalam kelasmu ketika jam pelajaran Bahasa Inggris ? Kami sudah menanyakan hal ini kepada ketua kelasmu, Thoran Steinbach, tetapi kami juga ingin mendapat keterangan darimu.”
    Rivanne mengangguk, “Saya akan coba menjelaskannya. Saya akui, bahwa tadi saya sempat tidak memperhatikan penjelasan dari Pak George. Tetapi sebenarnya saya tidak mengetahui alasan saya melamun, atau apa yang sedang saya pikirkan ketika itu. Tiba-tiba saya tersadar karena teguran dari Pak George, dan beliau menyuruh saya agar membaca buku diktat halaman 35. Ketika membuka halaman 35, saya melihat bahwa halaman itu adalah halaman kosong. Pak George lalu mendekat, melihat halaman tersebut, dan beliau menjadi marah. Ketika saya melihatnya lagi, ternyata pada halaman itu sudah tertulis sesuatu dengan tulisan tangan. Dan, isinya mengenai ketidaksukaan pada pelajaran Bahasa Inggris dan Pak George. Tetapi, itu bukan tulisan tangan saya !”
    “Boleh saya melihat buku yang dimaksud, Rivanne ?”
    Rivanne mengeluarkan buku itu, dan memberikannya kepada guru tersebut.
    “Apakah saya bisa melihat tulisan tanganmu ?”
    Rivanne menyerahkan salah satu catatan miliknya, lalu guru tersebut membandingkannya.
    “Lalu, apakah kamu punya perkiraan, tulisan tangan milik siapakah ini ?”
    Rivanne terdiam sejenak, lalu berkata perlahan, “Mungkin Anda tidak akan percaya. Tulisan tangan seperti itu pernah saya lihat, di dinding kamar rumah sakit jiwa tempat adik saya dirawat. Dan itu adalah tulisannya !”
    Guru itu terdiam karena terkejut.
    “Adikmu dirawat.. di rumah sakit jiwa ? Saya baru mendengarnya. Lalu, bagaimana adikmu dapat menuliskan sesuatu seperti ini sedangkan ia dirawat disana ?”
    “Rigel adikku, beberapa hari yang lalu sudah melarikan diri dari rumah sakit tersebut. Tetapi walaupun demikian, rasanya aneh melihat tulisan seperti ini pada buku diktat. Bukankah seharusnya halaman pada buku ini tidak ada yang kosong ?”
    Guru itu menghela nafas, “Sepertinya masalah ini menjadi semakin rumit. Memang benar apa yang kamu katakan, seharusnya buku diktat tidak mempunyai halaman kosong, apalagi di tengah-tengah seperti ini. Tetapi melihat hal ini, maka dapat saya pastikan kamu tidak mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan kematian Pak George. Baiklah, terima kasih atas penjelasanmu, Rivanne Othello.”
    Rivanne menerima jabat tangan guru tersebut. Tepat ketika tangan mereka bersentuhan, mendadak Rivanne mendengar sebuah suara...
    “Apakah kamu puas dengan ‘hadiah kecil’-ku, Rivanne Othello ?”
    DEG ! Rivanne segera memandang sekelilingnya.
    “Rivanne, ada apa ?”
    “Suara Rigel.. saya baru saja mendengar suara Rigel Othello.”
    “Tetapi tidak ada siapapun di dalam ruangan ini selain kamu dan saya. Apakah kamu tidak salah dengar ?”
    Rivanne melihat sekali lagi ke sekelilingnya, lalu menghela nafas lega, “Mungkin Anda benar. Pastilah saya hanya salah dengar.”
    Rivanne keluar dari ruangan tetap dengan perasaan tegang. Ia tetap yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.
    “Rigel, sebenarnya kamu ada dimana ? Mengapa aku dapat mendengar suaramu ?”
    Tiba-tiba Thoran Steinbach muncul, “Rivanne, apa yang ditanyakan oleh guru ?”
    “Beliau hanya meminta penjelasan mengenai kejadian tadi. Thoran, bukankah seharusnya kamu sudah pulang ?”
    “Aku.. menunggumu. Apakah boleh aku mengantarmu pulang ?”
    “Terima kasih, tetapi maaf. Aku ingin pulang sendiri.”
    Thoran tampak agak kecewa. Sambil mengangkat bahu, ia berkata, “Baiklah. Besok aku akan menjemputmu lagi.”
    Thoran berjalan pergi, sementara Rivanne memandang punggung Thoran.
    “Maafkan aku, Thoran. Ini adalah masalahku, aku tidak ingin melibatkanmu.”

    Rivanne Othello berjalan menuju panti asuhannya sambil merenungkan semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Dimulai dari pesan yang diterimanya saat test komputer berlangsung, lalu kabar hilangnya Rigel dari rumah sakit jiwa tempatnya dirawat, pertemuan kembali dirinya dengan Rigel ketika ia diserang beberapa pemuda jalanan, sesuatu seperti mimpi yang dialaminya, sampai kejadian yang menyebabkan meninggalnya Pak George, Guru Bahasa Inggrisnya.
    “Hanya dalam waktu dua hari, telah begitu banyak kejadian yang kualami.
    Aku jadi takut memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya.”
    Dan akhirnya tibalah Rivanne di tempat tinggalnya. Ia merasa bingung melihat keramaian di sekitar panti asuhannya.
    “Apa yang terjadi ?”
    “Hey, bukankah kamu salah seorang yang tinggal di rumah panti ini ? Dari yang kudengar, ibu panti mendapat serangan jantung.”
    “A.. APA ?! La.. lalu, beliau dibawa ke rumah sakit apa ?”
    Orang itu menggelengkan kepalanya.
    “Sudah terlambat. Ketika seorang anak menemukannya, beliau sudah...”, orang itu tidak melanjutkan kalimatnya. Tetapi arti kata-katanya sudah cukup jelas bagi Rivanne. Gadis itu jatuh berlutut, terdiam sesaat, sebelum akhirnya menutup muka dan menjerit, “TIDAA..K !!”

    Dengan langkah lunglai, Rivanne masuk ke dalam tempat tinggalnya. Jerko dan beberapa anak lainnya berada di sekeliling tubuh yang tertutup oleh kain putih; Sebuah pemandangan yang sangat menyedihkan. Ada yang menangis, tetapi ada pula yang berusaha tetap tabah; Salah seorang diantaranya adalah Jerko.
    “Kak Rivanne, apa yang dapat kita lakukan sekarang ?”
    Rivanne mendekati jenasah ibu panti yang tertutup kain itu, lalu memeluk beberapa anak yang sedang menangis.
    “Jerko, siapakah yang pertama kali menemukan beliau ?”
    “Aku. Pada awalnya, aku berpikir ibu panti hanya terjatuh. Tetapi melihat ada darah di sekitar bibir beliau, aku terkejut. Aku segera berusaha mencari pertolongan, tetapi sudah terlambat. Menurut seseorang yang memeriksa keadaan beliau, dikatakan beliau terkena serangan jantung.”
    “Apakah beliau sempat mengatakan sesuatu ?”
    Jerko berpikir sejenak, “Ya, tetapi aku sendiri tidak begitu mengerti apa maksudnya. Beliau berkata sesuatu mengenai kegelapan dan orang berjubah, lalu menggumamkan sesuatu secara berulang-ulang. Kalau tidak salah dengar, seperti : Rivel...”
    “Rigel ! Rigel Othello !”, wajah Rivanne tampak geram, “Lalu, apa lagi yang dikatakan oleh beliau ?”
    “Pada saat terakhir, beliau meminta maaf karena akan meninggalkan kita sendirian, lalu..”, tanpa disadari oleh dirinya sendiri, air mata tampak mengalir di pipi Jerko, “..beliau memperingatkan agar Kak Rivanne berhati-hati terhadap ‘pemuda itu’.”
    Rivanne memeluk Jerko yang sudah menangis, “Terima kasih atas keteranganmu. Tabahlah, bukankah kamu seorang anak laki-laki pemberani ?”
    Rivanne sendiri berusaha menahan dirinya agar tidak menangis, sebab saat ini, dialah yang menjadi tumpuan harapan bagi adik-adiknya di panti asuhan ini.
    “Aku harus berusaha untuk tetap tabah. Tetapi apa yang dapat kulakukan ?
    Tuhan, tolong bimbinglah kami dalam kasihmu...”

    Akhirnya, dengan bantuan beberapa orang dari gereja, jenasah ibu panti dapat dimakamkan di makam yang terletak di halaman belakang gereja. Sedangkan Rivanne Othello dan adik-adiknya dipindahkan ke sebuah panti asuhan yang dikelola oleh sebuah yayasan. Peraturan yang ada di panti asuhan yang baru jauh lebih keras, dan sepertinya perlu waktu bagi Rivanne dan adik-adiknya untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap peraturan-peraturan maupun suasana, karena sekarang mereka tinggal di sebuah gedung dan tidur dalam bangsal yang terpisah-pisah satu dengan lainnya.
    “Kak Rivanne, aku takut tidur sendiri.”, Ellie menarik-narik lengan Rivanne.
    “Tenanglah, bukankah kamu sekamar dengan seorang anak lainnya yang telah menghuni panti ini terlebih dahulu ? Berteman baiklah dengannya, Ellie.”
    Ellie hanya terdiam, lalu akhirnya ia melepaskan tangan kecilnya dari lengan Rivanne.
    “Baiklah, kalau Kak Rivanne yang mengatakannya, Ellie akan percaya.”
    Setelah Ellie pergi menuju kamarnya, Rivanne memasuki kamarnya sendiri. Kamar itu begitu kecil, dan hampir tanpa perabotan apapun, kecuali sebuah tempat tidur besi, sebuah meja kecil yang juga terbuat dari besi, serta sebuah lemari kecil untuk menyimpan baju. Jendela kamar itu bukan hanya ukurannya kecil, tetapi juga diperlengkapi dengan jeruji besi untuk mencegah anak kabur. Rivanne lalu melihat ke arah kertas yang diberikan padanya; Kertas yang berisi peraturan panti yang dibagikan kepada setiap anak yang baru datang.
    “Apakah ceramah yang diberikan selama sekitar 3 jam tadi terasa tidak cukup, sampai kami diberikan kertas ini ?”, Rivanne menghempaskan diri ke ranjangnya sambil menghela nafas.
    “Apakah ibu panti benar-benar dibunuh oleh Rigel ? Tetapi, mengapa... ?”
    Rivanne dikejutkan oleh suara tegas dari balik pintu, “Rivanne Othello ! Cepat berkumpul di ruang tamu, akan ada acara saling mengenal antara kalian dengan anak-anak yang telah lama tinggal disini !”
    Baru saja Rivanne hendak berdiri, ketika ia melihat sebuah tulisan dari darah pada dinding yang terletak dekat pintu, yang berbunyi :
    Kau takkan punya tempat tinggal lain selain di sisiku, Rivanne !
    Rivanne kembali terjatuh, tetapi ia sanggup menahan diri untuk tidak menjerit. Ia menoleh ke arah lain, menarik nafas dalam-dalam, lalu kembali memandang pintu itu. Tulisan itu telah menghilang !
    “Apakah tulisan itu hanya khayalanku saja ?
    Tetapi kalau tulisan itu nyata, apakah yang dapat kulakukan ?
    Sepertinya, Rigel akan selalu meniadakan tempatku pulang...”


    --------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Tiada tempat untuk 'Pulang' bagi Rivanne Othello, selain kembali kepada Rigel. Itulah yang selalu diyakini oleh Rigel. Tapi...

  8. #6

    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Gabrielizm.co.cc
    Posts
    1,290
    Points
    567.70
    Thanks: 134 / 67 / 52

    Default

    apa ya. gue blom baca sih.
    kok susunan kalimatnya rada berantakan ya ?

  9. #7
    Jin_Botol's Avatar
    Join Date
    Aug 2007
    Location
    Jakarta "Kota 3in1"
    Posts
    1,111
    Points
    1,058.00
    Thanks: 30 / 38 / 24

    Default

    bagus2 aja sih buat aku, penulisannya jg ga masalah buat di baca smile:
    Gemini, The Two-Facets Personality

  10. #8
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Umm... mengenai agak berantakan, maaf... cerita ini sy buat di awal2 sy mengarang ^^a Jadi maaf kalau kesannya kata2-nya agak berantakkan...

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------

    Rivanne Othello tidak masuk sekolah selama 2 hari, untuk mengurus perpindahan ia dan adik-adiknya. Hari ini ia kembali masuk sekolah. Ketika baru saja melewati gerbang sekolah, Thoran Steinbach menahannya.
    “Rivanne, apa yang sebenarnya terjadi ? Dua hari yang lalu, ketika aku datang ke rumah panti-mu, aku diberitahu bahwa ibu panti kalian sudah meninggal, dan kalian telah pindah. Apakah itu benar ?”
    Rivanne mengangguk.
    “Lalu, kalian pindah kemana ? Beritahu aku alamatnya, agar aku dapat menjemputmu.”
    “Thoran, maafkan aku. Lebih baik kita tidak berhubungan lagi.”
    “Te.. tetapi, apa alasanmu ingin menghindar dariku ?”
    Rivanne tidak memberikan jawaban, malahan ia langsung berlari menuju ke gedung sekolah. Ada beberapa murid yang melihat kejadian tersebut, tersenyum sembunyi-sembunyi. Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Thoran dari belakang.
    “Thoran, kamu baru ditolak ya ?”
    Thoran menengok.
    “Oh, rupanya kau, Wilfred. Aku bukannya ditolak, tetapi sepertinya ada sesuatu yang tidak dapat diceritakan oleh Rivanne kepadaku.”
    Wilfred von Kittengard, adalah teman dekat Thoran.
    “Thoran, kamu benar-benar serius menyukai Rivanne ? Belum pernah kamu begitu perhatian terhadap seorang gadis.”
    Thoran balik bertanya, “Apakah itu salah ?”
    Wilfred menghela nafas, “Sebenarnya tidak. Tetapi bukankah Rivanne seorang gadis pendiam yang sulit didekati ? Apa kamu yakin dapat menaklukannya ?”
    “Entahlah. Tetapi, saat ini ia sedang dalam masalah, dan aku tidak ingin berdiam diri saja melihatnya. Aku akan berusaha semampuku untuk membantunya. Baiklah, aku duluan.”
    Thoran pergi. Wilfred hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
    “Kamu sudah berubah. Tak kusangka, kamu yang selalu disebut ‘Mister IceMan’ ternyata bisa juga tertarik kepada seorang gadis. Yah, semoga saja kamu tidak salah pilih, dan bisa mendapatkan kebahagiaan bersama dengan gadis yang telah kau pilih, Thoran.”
    ... Tetapi, apakah benar kebahagiaan yang akan didapat oleh Thoran ?
    Demi mendapatkan kebahagiaan itu, perjuangan dan pengorbanan seperti apa yang harus dilakukan oleh Thoran ? ...

    Ketika Rivanne masuk ke dalam kelas, tampak beberapa murid memandang Rivanne dengan pandangan aneh; Antara tidak suka, bingung dan takut. Dan ketika Rivanne baru saja menaruh tas-nya di meja, seorang gadis datang mendekatinya.
    “Rivanne, aku ingin bertanya padamu. Kuharap kamu jujur, karena sebenarnya pertanyaan ini juga ingin ditanyakan oleh teman lainnya. Tiga hari yang lalu, kamu ditegur oleh Pak George, guru Bahasa Inggris kita. Lalu ternyata bukan kamu yang menulis tulisan yang telah menyinggung harga diri Pak George. Siangnya, beliau bunuh diri, dan kamu jatuh pingsan karena melihat kejadian itu dari dekat. Setelah itu, keesokan harinya selama dua hari berturut-turut, kamu tidak masuk. Apa yang sebenarnya terjadi ? Jangan katakan kalau kamu tidak tahu apa-apa !”
    “Bukankah hal itu tidak ada hubungannya dengan kalian ?”
    “Memang benar, tetapi...”
    Kalimat gadis itu dipotong oleh seseorang, “Sudahlah Kate, jangan kamu mendesak Rivanne lagi. Kita tidak akan mengerti masalah yang sedang dihadapi Rivanne.”
    Baik Rivanne maupun gadis bernama Kate itu menengok ke arah pintu. Rupanya Thoran.
    “Apa maksudmu, Thoran ? Apakah masalahnya begitu rumit sampai kita tidak sanggup untuk mengerti ? Atau, kamu hanya ingin menyindirku ?”
    Thoran tertawa, “Tidak, aku serius. Tampaknya lebih baik kita tidak mengerti masalahnya, daripada kita terlibat. Bukankah begitu, Rivanne ?”
    Rivanne mengangguk.
    “Maafkan aku, teman-teman. Masalah ini, lebih baik apabila kuhadapi sendiri. Aku memang tidak ingin melibatkan siapapun juga.”
    Kate hanya mendengus, lalu kembali ke tempat duduknya. Sebenarnya Rivanne juga hendak duduk, tetapi tiba-tiba suara Rigel Othello terdengar kembali.
    Mau tidak mau, beberapa di antara mereka akan terlibat, Kak Rivanne. Bukankah sudah kukatakan, kamu hanya milikku seorang ? Takkan kubiarkan siapapun berada di sisimu !
    Mendengar kata-kata Rigel, Rivanne langsung menjadi tegang. Dan tanpa sadar, ia menjerit, “Tidak ! Kumohon, jangan libatkan mereka, Rigel !”
    Sudah terlambat, Kak Rivanne sayang. Ha ha ha ha ha...”, suara tawa itu perlahan-lahan menghilang di kegelapan.
    Rivanne tetap berdiri dengan wajah tegang, sementara teman-temannya memandang bingung ke arahnya.

    ------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Yg plg jelas sih, di cerita ini nggak ada pembagian per chapter. Itu yg agak menyulitkan membacanya. Skr sih sy selalu membagi per chapter. Tp sy tetap berharap cerita ini msh dapat dinikmati yaaa... ^^

  11. #9
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Siang itu, seperti biasa, Rivanne Othello menjemput Jerko dan adik lainnya.
    “Bagaimana sekolahmu hari ini, Jerko ?”
    “Tidak ada yang istimewa. Semuanya biasa saja.”
    “Apakah kamu menginginkan terjadinya suatu hal yang istimewa ?”
    Jerko tersenyum, “Yah, tidak juga. Seperti ini sudah cukup menyenangkan kok.”
    “Syukurlah, sepertinya Jerko sudah dapat melupakan kejadian meninggalnya ibu panti.”
    “Kak Rivanne, sepertinya orang itu dari tadi mengikuti kita.”
    Mendengar hal tersebut, Rivanne terkejut. Ia menengok ke arah orang yang ditunjuk oleh Jerko; Seseorang yang mengenakan kaos santai dan celana jeans, dengan senyum yang sangat berbeda yang dikenal olehnya selama ini. Dia adalah Rigel, tetapi penampilannya kali ini sangat berbeda dengan biasanya.
    “Rigel, apa maumu ?!”
    “Apakah Kak Rivanne mengenalnya ?”
    Rigel tersenyum ramah, “Wah wah wah, siapa adik kecil yang lucu ini ?”
    Rivanne langsung berdiri di antara Rigel dan Jerko.
    “Rigel, jawab pertanyaanku : Apa maumu kali ini ?! Apakah tidak cukup kamu telah membuat ibu panti meninggal ?!”
    “ ‘Membuat ibu panti meninggal ?’ Apa yang kakak bicarakan ? Aku tidak mengerti.”
    Seketika itu pula, pandangan Jerko tampak kosong. Ia berjalan menyebrang jalan bagai orang linglung.
    “Ibu panti.. sudah meninggal ? Benar. Ibu panti sudah meninggal...”
    Melihat Jerko yang tiba-tiba menyebrang jalan begitu saja, Rivanne panik.
    “Jerko !”, Rivanne segera berlari untuk menarik Jerko kembali ke trotoar.
    Pada saat itu pula, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mengarah pada mereka berdua, dan Rivanne tidak sempat untuk kembali. Pada saat kritis, Rigel mendorong mereka dan...
    “Ugh, kepalaku.”, Rivanne memegang keningnya.
    “Kak Rivanne, apakah kakak baik-baik saja ? Maafkan aku.”
    Rivanne memandang Jerko yang berada di pelukannya sambil tersenyum.
    “Tenanglah, aku baik-baik saja. Lalu..”, Rivanne menengok ke kiri dan ke kanan, “..dimana Rigel ?”
    Terdengar sebuah suara seseorang yang sedang menahan sakit. Rivanne menengok ke arah datangnya suara. Disana, Rigel sedang duduk di trotoar sambil memegang kaki kanannya yang penuh dengan darah. Tampak lengan kanannya juga terluka.
    “Aku benar-benar kurang beruntung kali ini.”
    “Rigel, apakah luka itu akibat terserempet mobil ?”
    Rigel menengok ke arah Rivanne, “Kak Rivanne, apakah kakak tidak terluka ?”
    “I.. iya. Terima kasih kamu telah menolong kami.”
    “Wah, tumben aku mendengar kakak berterima kasih padaku. Syukurlah kalau kakak tidak terluka.”
    “Tetapi, lukamu itu harus segera diobati. Ikut kami pulang ya, Rigel ?”
    Rigel menggelengkan kepalanya dengan pandangan sedih, “Tidak perlu. Aku sudah tidak mempunyai tempat untuk pulang.”, lalu Rigel berjalan pergi tertatih-tatih sambil memegang lengan kanannya.
    “Tunggu Rigel. Aku ingin bertanya, mengapa kamu menolongku ?”
    Tanpa menengok, Rigel menjawab, “Apa kakak sudah lupa ? Aku pernah berjanji, akan selalu melindungi kakak, walaupun nyawaku taruhannya. Sampai jumpa lagi.”
    Rivanne hanya terdiam sambil memeluk Jerko, dan memandang punggung Rigel yang berjalan pergi.
    “Rigel, aku benar-benar tidak mengerti dirimu.
    Kadang kamu sangat menakutkan, tetapi kadang kamu begitu baik.
    Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Rigel ?”

    Peraturan panti yang baru sangat keras. Karena terlambat, Rivanne Othello dan adik-adiknya tidak diperbolehkan makan siang, dan harus berada di kamar hingga sore hari. Sambil berjalan menuju kamarnya, salah seorang anak menggerutu, “Kejam sekali ! Padahal bukan keinginan kita untuk terlambat. Tadi khan jalanan macet, tetapi mereka tetap tidak mau mendengar alasan kita. Lebih baik ibu panti yang dulu...”, anak itu tiba-tiba terdiam.
    Walau tidak ada yang memberikan jawaban, tetapi perasaan mereka semua sama; Mereka semua rindu akan tempat tinggal yang dahulu.
    Rivanne memecahkan keheningan yang muncul tiba-tiba itu, “Sudahlah. Bagaimanapun juga, kita seharusnya bersyukur, masih ada tempat yang bersedia menampung kita. Seharusnya kita dapat membiasakan diri dengan peraturan disini.”
    Tiba-tiba Ellie menangis, “Huu... A.. aku tidak suka tinggal disini. Kak Rivanne, teman sekamarku sangat jahat. Hanya karena ia lebih lama tinggal disini, masa ia memperlakukan Ellie seperti pelayan ? Ellie disuruh ini itu, sampai Ellie capek.”
    “Benarkah itu, Ellie ?”
    Ellie, dengan polosnya mengangguk. Jerko, yang dari awal berusaha menahan diri, akhirnya kemarahannya meledak juga.
    “Ellie, siapa teman sekamarmu itu ? Akan kuhajar dia !”
    “Jerko, tenangkan dirimu ! Ellie, aku akan meminta agar kamu dapat dipindahkan ke kamar lain. Apakah kamu bersedia sekamar denganku ?”
    Mendengar pertanyaan Rivanne, Ellie mengangguk dengan gembira.
    “Tentu saja. Tidur bersama Kak Rivanne pasti sangat menyenangkan.”
    “Baiklah. Lalu, apakah yang lain juga ada masalah dengan teman sekamar kalian ?”
    Mereka saling memandang satu dengan lainnya.
    “Tidak juga sih. Hanya saja, kuharap mereka dapat menghentikan ejekannya terhadap kita.”
    “Apa maksudmu, Jerko ?”
    “Karena kita berasal dari panti asuhan kecil, mereka menganggap kita tidak berbeda dengan anak jalanan yang jorok dan kotor. Padahal, jika tidak berada disini, pasti mereka juga akan berada di jalanan ! Tetapi kami masih dapat menahan diri kok, Kak Rivanne tenang saja.”
    Rivanne mengambil nafas dalam-dalam, “Yah, setelah sekian banyak hal yang terjadi, kuharap kalian tabah menghadapi semua ini. Aku berjanji, akan kuusahakan agar kita bisa pindah dari sini. Tetapi untuk sementara, inilah tempat tinggal kita.”
    Adik-adiknya mengangguk, lalu mereka pergi menuju kamar masing-masing.

    Sekitar jam 9 malam, semua anak diharuskan masuk ke dalam kamar dan lampu dimatikan. Rivanne membaringkan diri, tetapi ia tidak langsung tidur. Pandangannya mengarah ke sekeliling ruangan.
    “Walau dikatakan sebagai panti asuhan, tetapi menurutku tempat ini lebih mirip penjara.
    Apa yang dapat kulakukan agar kami dapat keluar dari tempat ini ?”
    Sementara itu, penanggung jawab panti sedang berpatroli keliling gedung untuk memastikan semua anak telah tidur. Ketika ia sedang berjalan di lorong pada lantai II, dilihatnya seseorang sedang berdiri di dalam kegelapan.
    “Hey, siapa disitu ? Bukankah sudah kukatakan, kalian harus masuk ke dalam kamar dan beristirahat ?”
    Tiba-tiba saja orang itu berlari menuruni tangga. Melihat hal tersebut, penanggung jawab itu segera mengejarnya, tanpa menyadari sebuah jebakan telah disiapkan bagi dirinya !
    Ketika menuruni tangga, ia tersandung oleh sebuah benda yang direntangkan di tangga.
    “KYAA !”, dan terdengar bunyi yang menggema di seluruh gedung. Beberapa anak yang mendengar bunyi itu, segera keluar kamar. Mereka saling bertanya mengenai apa yang terjadi. Tiba-tiba terdengar sebuah jawaban, “Maaf, aku terjatuh ketika hendak pergi ke WC.”
    Mendengar jawaban tersebut, anak-anak itu akhirnya masuk kembali ke dalam kamarnya masing-masing. Sementara, di dekat tangga, ada seseorang yang tersenyum dingin...
    Keesokan paginya, anak-anak panti itu menemukan sesuatu yang sangat mengerikan; Tubuh ibu penanggung jawab panti tergantung di pohon, sementara lengan dan kakinya dipotong-potong, dan ditaruh di atas meja makan. Rivanne Othello dan beberapa penghuni panti yang lebih dewasa, segera mencegah agar adik-adik mereka yang masih kecil jangan sampai melihat pemandangan mengerikan tersebut. Setelah Rivanne menelepon polisi, Jerko memegang lengannya.
    “Kak Rivanne, apakah hal ini terjadi karena kemarin kita mengatakan tidak kerasan tinggal disini ?”
    “Tenanglah, Jerko. Tentu saja pembicaraan kita kemarin tidak ada hubungannya dengan kejadian menyeramkan ini. Pastilah ada orang dari luar yang telah membunuh beliau.”
    Walau Rivanne berusaha untuk tetap tenang, tetapi sebenarnya ia sangat ketakutan.
    “Mungkin saja ini memang perbuatan Rigel.
    Tetapi, bukankah aku juga memikirkan hal yang sama kemarin malam ? Karena sedang bingung memikirkan cara untuk keluar dari sini, bukankah aku berpikir lebih baik jika ibu pengawas meninggal agar kami dapat dipindahkan ?
    Aku.. jadi takut dengan apa yang sedang kupikirkan.”


    --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Seperti biasa, Rigel... selalu membuat keinginan terpendam Rivanne menjadi kenyataan, huhuhu...

  12. #10
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Hari itu, tidak ada seorang-pun anak panti itu yang dapat bersekolah. Mereka diperiksa polisi secara bersamaan. Selesai menjalani pemeriksaan, Rivanne Othello duduk menyendiri di sebuah lorong pada kantor polisi itu.
    “Apakah kami akan dipindahkan lagi ? Tetapi, kemana kami akan dipindahkan ?
    Ataukah, akan datang pengawas yang baru ?
    Rigel, sampai kapan kau akan terus menyiksa kami dalam ketidakpastian ini ?”
    Tiba-tiba seseorang menegurnya, “Hey, kalau tidak salah, namamu Rivanne khan ?”
    Rivanne menengok ke arah datangnya suara; Seorang pemuda bertubuh tinggi dengan rambut berwarna coklat dan sorot mata yang tajam.
    “Ya, benar. Lalu kamu ?”
    “Namaku Metzig Chevalier, biasa dipanggil ‘Cheetah’. Kudengar kamu adalah ‘kakak tertua’ dari anak-anak pindahan itu. Aku adalah ‘kakak tertua’ dari anak-anak panti ini.”
    “Oh, salam kenal juga.”, Rivanne mengulurkan tangannya, tetapi Metzig tidak menerima jabat tangan Rivanne.
    “Lalu, kudengar juga bahwa kalian terpaksa pindah dari tempat lama kalian, akibat ibu panti yang mengurus kalian meninggal. Benarkah itu ?”
    “Benar. Memangnya kenapa ?”
    Saat itu pula, Metzig marah.
    “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi sepertinya dimanapun kalian berada, selalu ada kematian di dekat kalian ! Aku sangat menyayangi adik-adikku, dan aku tidak ingin mereka dalam bahaya, apakah kamu mengerti ?!”
    “Te.. tetapi kami tidak...”
    Kata-kata Rivanne segera dipotong oleh Metzig, “Aku tidak mau tahu, apakah salah seorang dari kalian pelakunya atau bukan, tetapi yang kumaksud, jangan berada di dekat-dekat kami !”
    Metzig membalikkan badan dengan penuh kemarahan lalu pergi, meninggalkan Rivanne yang terdiam karena terkejut. Tiba-tiba Jerko memanggilnya.
    “Kak Rivanne, menurut yayasan, akan datang pengurus panti yang baru untuk menggantikan pengurus yang telah meninggal. Akan tetapi, kita sudah tidak diperbolehkan tinggal disana lagi. Kemana kita harus pindah ?”
    Rivanne terjatuh lemas. Ia tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan Jerko, karena ia-pun menanyakan hal yang sama...

    “Kak Rivanne, apakah tidak apa-apa kita balik lagi ke tempat tinggal kita dahulu ?”
    Rivanne Othello menunduk, “Apa boleh buat, kita sudah tidak mempunyai tempat tinggal selain disini.”
    Mereka masuk secara diam-diam ke dalam rumah kosong itu. Ketika masuk ke dalam, mereka terdiam; Mereka masih mengingat akan suasana bahagia ketika ibu panti masih hidup. Bahkan ada beberapa yang menitikkan air mata.
    “Sudahlah. Kalian ini terlalu mudah menjadi sedih. Saat ini, kita harus menjadi kuat, karena tidak akan ada orang lain yang akan membantu kita lagi. Ayo, bereskan barang-barang kalian lalu kita berkumpul lagi di ruang ini.”
    Adik-adiknya mengangguk, lalu pergi. Rivanne sendiri masih berdiri beberapa saat melihat sekelilingnya.
    “Suasana ini mengingatkan aku akan rumahku dahulu. Begitu sunyi dan menyedihkan.”

    Tiba-tiba terdengar suara Rigel lagi.
    Apakah Kak Rivanne rindu akan rumah kita dahulu ? Mengapa kakak tidak mengajak mereka tinggal disana ?
    “A.. apa maksudmu, Rigel ? Bukankah rumah itu sudah habis terbakar ?!”
    Sunyi, tanpa jawaban. Untuk beberapa saat, Rivanne tiba-tiba menjadi ragu.
    “Tu.. tunggu. Rigel, apakah maksudmu sebenarnya rumah kita masih utuh ? Apakah kamu hanya membohongiku dengan mengatakan kamu telah membakar rumah kita ?”
    Aku tidak membohongimu, Kak Rivanne. Aku memang ingin membakar habis rumah itu, tetapi ternyata, aku tidak bisa...
    Rivanne terkejut mendengar kata-kata Rigel.
    “Apa maksudmu dengan kalimat ‘aku tidak bisa’ ?”
    Kembali sunyi, tanpa jawaban. Sepertinya Rigel telah memutuskan hubungan telepati-nya.
    “Kadang, aku benar-benar tidak mengerti dirimu, Rigel.”


    Ketika Rivanne Othello masuk sekolah lagi, ia dipanggil oleh wali kelasnya.
    “Benarkah ? Sampai dua kali pengurus panti tempat tinggalmu meninggal ?”
    Rivanne mengangguk.
    “Maafkan saya. Tetapi akibat masalah yang kemarin, saya harus memberi keterangan kepada pihak kepolisian. Itulah sebabnya saya tidak bisa pergi sekolah.”
    Wali kelasnya merenung sesaat.
    “Aneh. Sepertinya akhir-akhir ini, orang-orang yang mempunyai hubungan denganmu selalu saja meninggal. Bukan hanya pengurus panti tempatmu tinggal, tetapi juga Bapak George. Saya tidak percaya pada apa yang disebut kebetulan. Rivanne, apakah mungkin kamu tahu apa yang menyebabkan mereka meninggal ? Maksud saya..”, wali kelasnya tampak agak sulit untuk mengutarakan hal yang sedang dipikirkannya, “..yah, kamu tahu. Hal-hal gaib dan semacam itu, walau sebenarnya saya juga tidak mudah percaya pada hal-hal seperti itu.”
    Rivanne tersenyum, “Saya mengerti maksud bapak. Tidak ada hal-hal semacam itu, Anda tenang saja.”
    Setelah diam sejenak, akhirnya wali kelasnya menghela nafas.
    “Baiklah, saya percaya padamu, Rivanne. Tetapi jika kamu merasakan sesuatu, kamu dapat menghubungi saya. Saya mengenal orang yang dapat membantu di dalam hal-hal gaib.”
    “Terima kasih.”, lalu Rivanne keluar dari ruangan konsultasi.
    Baru saja Rivanne menutup pintu, ketika tiba-tiba Thoran Steinbach muncul dan langsung bertanya padanya.
    “Rivanne, mengapa kemarin kamu tidak masuk sekolah ? Apa yang sebenarnya terjadi ?”
    “Thoran ? Ah, kemarin ada suatu hal yang menyebabkan aku harus berurusan dengan pihak kepolisian. Tetapi bukan masalah yang terlalu berat.”
    “Kamu.. tidak dapat menceritakannya padaku ? Apakah kamu tidak mempercayaiku ?”
    “Eh.. bukan begitu. Hanya saja, aku...”
    Tiba-tiba Thoran mencengkram bahu Rivanne, “Rivanne ! Aku.. sudah lama aku selalu menahan diri, tetapi...”, sesaat Thoran tampak agak ragu, “aku.. sebenarnya menyukaimu ! Jadi kumohon, ceritakanlah masalah yang kamu hadapi !”
    Rivanne tertegun. Dan tepat pada saat itu, ia menyadari kehadiran seseorang tidak jauh dari mereka; Kate Byrne. Kate juga terkejut, lalu ia memalingkan wajahnya dan berlari pergi.
    “Kate !”, tetapi Thoran menahan Rivanne yang hendak mengejar Kate.
    “Rivanne, aku tahu bahwa caraku menyatakan perasaanku mungkin membuatmu terkejut. Tetapi, aku benar-benar ingin membantumu di dalam masalahmu ini.”
    “Aku mengerti. Tetapi maafkan aku, Thoran. Masalah ini tidak dapat kuceritakan pada siapapun. Maaf.”, Rivanne melepaskan diri dari cengkraman Thoran, lalu ia pergi mengejar Kate. Sementara Thoran memperhatikan Rivanne menjauh darinya dengan pandangan sedih.
    ... Setetes air menimbulkan riak gelombang, yang semakin membesar.. terus membesar ...


    “Kate, tunggu !”
    Rivanne memegang lengan Kate, tetapi Kate menarik paksa lengannya.
    “Kate, kamu menyukai Thoran, benar khan ?”
    Kate berhenti, lalu menengok ke arah Rivanne. Air mata tampak mengalir di pipinya.
    “Untuk apa kamu menanyakan hal itu ?! Sudah jelas aku kalah darimu, apakah kamu ingin mengejekku ?!”
    “Tidak ! Aku juga terkejut ketika Thoran menyatakan perasaannya. Selama ini aku menganggap Thoran sebagai teman dan ketua kelas yang baik, aku tidak memiliki perasaan khusus terhadapnya. Aku tidak akan merebut Thoran darimu, Kate.”
    Mendengar kata-kata Rivanne, Kate malah semakin marah.
    “Maksudmu, kamu ingin melukai perasaan Thoran ?! Kamu tidak usah sok baik terhadapku ! Jika kamu menolaknya, aku akan semakin benci padamu, Rivanne Othello !”
    “Te.. tetapi...”
    Tiba-tiba Kate mencengkram kerah baju Rivanne, “Sekarang, jujurlah kepadaku. Apakah kamu menyukai Thoran, atau tidak ?!”
    “A.. aku tidak tahu. Selama ini aku belum pernah memikirkan hal ini. Memang, aku senang Thoran baik kepadaku. Tetapi apakah itu rasa suka atau tidak, aku tidak tahu.”
    Kate melepaskan cengkramannya.
    “Yah, sepertinya semua ini memang terlalu tiba-tiba bagimu, Rivanne. Aku tahu, salah jika aku memaksamu menjawab pertanyaan tadi. Kamu pasti memerlukan waktu untuk berpikir. Hanya saja, aku menginginkan kebahagiaan Thoran. Aku tidak ingin melihatnya bersedih. Kamu tidak perlu merasa sungkan kepadaku. Apabila kamu memang menyukainya, aku pasti dapat menerimanya. Mungkin aku memerlukan waktu untuk melupakan kesedihan ini, tetapi suatu saat nanti, pasti aku bisa menerimanya. Pikirkanlah hal ini baik-baik, Rivanne.”
    Setelah berkata demikian, Kate berjalan pergi. Kesedihan masih tampak di wajahnya. Rivanne memandang ke arah langit, seakan-akan hendak mencari jawaban atas kegalauan hatinya. Tiba-tiba suara Rigel kembali terdengar.
    Takkan kumaafkan ! Akan kuhancurkan siapapun yang telah membuat perasaanmu menjadi kacau, Kak Rivanne !
    “Ti.. tidak, Rigel. Kamu salah ! Memang, aku sedang bingung akibat masalah ini, tetapi sebenarnya aku juga senang karena ada seseorang yang menyukaiku.”
    Rigel terdiam sejenak.
    ...begitu ? Bukankah sudah pernah kukatakan, tidak akan kubiarkan ada orang yang merebutmu dari sisiku ? Tunggulah, akan kuperlihatkan suatu pertunjukkan yang sangat menarik !
    Rivanne menutup wajahnya.
    “Kumohon Rigel, jangan kamu ganggu Thoran. Kumohon...”, nada suara Rivanne terdengar putus asa.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------

    Bagai anak tersesat, anak2 panti itu kembali ke panti lama mereka. Di manakah kami harus tinggal ? Pertanyaan itu terus terngiang2 di telinga anak2 panti. Sementara itu, Rivanne semakin takut, kalau perasaannya terhadap Thoran akan membuatnya berada dalam masalah. Akankah terror Rigel bisa terhenti ? Ataukah...

  13. #11
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    ... And let the show begin ! ...
    “Hey Thoran, apa yang kamu lakukan disini ?”
    Thoran menengok. Rupanya Wilfred von Kittengard yang menegur dirinya.
    “Ah tidak. Aku sedang menikmati kesejukan udara saja.”
    “Wah, sejak kapan kamu suka berbohong, Thoran ? Seingatku, kamu tidak pernah suka orang yang berbohong khan ?”
    Thoran terdiam sejenak.
    “Yah, baiklah. Aku akan jujur padamu. Sesaat lalu, aku baru mengungkapkan perasaanku pada Rivanne, tetapi aku masih belum tahu jawabannya. Hanya saja, mengapa aku masih belum merasa lega ? Aku sendiri merasa aneh.”
    Wilfred tertawa, “Mungkin saja kamu masih tegang karena menunggu jawaban darinya. Ok, good luck, Thoran.”
    Thoran tersenyum dan mereka pulang bersama. Baru saja berjalan beberapa langkah, ketika Wilfred merasakan sesuatu jatuh mengenai bahunya. Ketika melihat benda tersebut, ia bingung.
    “Apa ini ? Kerikil ?”
    Lalu tiba-tiba dari atas kedua orang itu, terdengar suara yang cukup keras. Keduanya menengok ke atas dan terkejut; Tampak salah satu patung malaikat di gedung sekolah yang terbuat dari batu dan menempel pada dinding sekolah, terlepas dan jatuh ke arah mereka !
    Dengan cepat keduanya segera menghindar, dan terdengar suara dentuman ketika patung itu menghantam tanah. Untuk beberapa saat lamanya, keduanya hanya terdiam karena terkejut. Sementara itu, beberapa orang yang berada di halaman sekolah segera mendatangi mereka.
    “Hey, apakah kalian baik-baik saja ? Kalian tidak sampai tertimpa patung tersebut khan ?”
    Wilfred-lah yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya.
    “I.. iya, aku baik-baik saja. Te.. tapi, mengapa patung itu bisa terlepas ? Hey Thoran, apa kamu terluka ?”
    Thoran menggelengkan kepalanya. Ia menghela nafas lega, lalu bangkit.
    “Kurasa hanya karena gedung ini sudah cukup tua. Untunglah kita segera menyadarinya.”
    Wilfred juga bangkit berdiri, lalu mereka melanjutkan perjalanan pulang. Tak jauh dari mereka, seseorang sedang mengamati.
    “Ck.. beruntung sekali mereka ! Tetapi untuk selanjutnya, pasti tidak akan lolos lagi !”


    Rivanne Othello berjalan bagai tanpa tujuan. Tanpa ia sadari, tiba-tiba ia sudah sampai di depan bekas rumahnya dahulu.
    “Benar, rumah ini masih utuh. Apa maksud kata-kata Rigel itu ?”
    Rumah itu tampak tidak terurus. Pada halamannya, tumbuh rumput liar, lalu pintu serta jendelanya sudah rusak-rusak. Bahkan ada pula dinding yang berlubang. Rivanne masuk ke dalam rumah tersebut.
    “Ayah... ibu... apakah ada orang di rumah ?”
    Pada bagian dalam rumah, keadaannya lebih menyedihkan lagi. Sarang laba-laba ada di mana-mana, tumbuh jamur dan lumut pada dinding dan perabotan yang tertinggal, juga terlihat sinar matahari masuk melalui langit-langit yang berlubang. Rivanne berjalan melalui ruang tamu dan ruang makan, hingga sampai pada ruang dapur, dimana semua kejadian itu bermula. Sesaat pikirannya menerawang, mengenang masa lalu.
    “Padahal kami sangat sayang padamu, Rigel. Mengapa kamu begitu kejam, membunuh ayah dan ibu serta pelayan kita ? Mengapa ?”, lalu Rivanne jatuh berlutut sambil menutup wajahnya, “Ayah, ibu, apa yang harus kulakukan ? Aku harus menghentikan Rigel, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”
    Pada saat itu pulalah, terdengar percikan api. Rivanne melihat ke luar; Ternyata api telah mengelilingi rumah !
    “KYAA ! A.. apa yang...”, kata-kata Rivanne terputus oleh kemunculan Rigel Othello.
    “Kak Rivanne, cepat ikut denganku !”
    Rigel menutup tubuh mereka berdua dengan sebuah kain terpal yang sudah dibasahi, lalu mereka bersama-sama menerobos kobaran api yang semakin membesar. Ketika sudah cukup jauh, mereka melepaskan kain terpalnya, lalu menengok ke arah bekas rumah yang sedang terbakar. Beberapa orang yang tinggal di sekitar situ, datang dan berusaha memadamkan api.
    “Mengapa rumah ini tiba-tiba terbakar ?”
    “Akulah yang menyulut apinya.”
    Mendengar itu, bola mata indah Rivanne terbelalak, “Ri.. Rigel, jadi kamu yang membakar rumah kita ini ? Mengapa ?”
    “Bukankah aku pernah berkata, aku ingin membakar rumah ini ? Dan, baru sekaranglah aku dapat melakukannya.”
    “Mengapa ? Mengapa kamu membakarnya ? Mengapa kamu membunuh kedua orang tua kita ? Mengapa kamu melakukan semua ini padaku ? Mengapa ?!”, suara Rivanne lebih terdengar bagai jeritan putus asa. Ia kembali menutup wajahnya, dan saat ini ia menangis.
    Rigel memandang Rivanne; Sorot matanya berubah, dari pandangan dingin menjadi kasihan.
    “Aku hanya akan memberi sebuah jawaban : Aku melakukannya demi Kak Rivanne. Selama ini Kak Rivanne selalu terbelenggu oleh masa lalu. Itulah sebabnya, aku tidak akan membiarkan Kak Rivanne tenggelam di dalamnya. Walau pahit, inilah kenyataan hidup.”
    Setelah berkata demikian, Rigel berjalan pergi. Rivanne segera mencengkram lengannya.
    “Tunggu Rigel ! Selama ini aku hanya bisa pasrah terhadap semua yang kamu lakukan. Tetapi, walau kamu adik yang paling kusayangi, aku tidak akan berdiam diri seandainya kamu melakukan sesuatu terhadap Thoran ! Ingatlah kata-kataku barusan, Rigel !”
    Rigel kembali tersenyum seperti biasa; Senyum dingin tanpa perasaan.
    “Sudah terlambat. Aku sudah memulai pertunjukkanku.”
    “A.. APA ?! Rigel, kamu...”
    PLAK ! Rivanne melayangkan tamparannya, dan tepat mengenai pipi Rigel, “Apa yang kamu lakukan terhadap Thoran ?!”
    “Tidak banyak, selain itu dia masih bisa lolos. Tetapi untuk selanjutnya, pasti akan berhasil.”
    Ketika Rivanne hendak mendaratkan tamparannya yang kedua, Rigel mencengkram lengan Rivanne, lalu mendorongnya hingga terjatuh.
    “Kak Rivanne, kakak adalah milikku. Takkan kubiarkan siapapun menghalangiku, termasuk kakak !”, kata-kata terakhir itu sengaja diberi tekanan.
    Rigel berjalan pergi meninggalkan Rivanne, yang masih tertegun.

    Di suatu tempat, tampak seseorang sedang duduk seorang diri dalam kegelapan.
    “Apakah benar ini yang kau inginkan, Rigel Othello ?”
    Orang itu memegang kepalanya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.
    “Mengapa ‘kamu’ selalu berbicara di dalam pikiranku ?!”
    “Karena akulah Rigel Othello yang sebenarnya ! Kutanya sekali lagi, apakah ini yang kamu inginkan ?”
    Rigel terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa keras-keras.
    “Apakah ini yang kuinginkan ? Kalau iya, apakah salah ? Dan, kamu bukanlah diriku ! Kamu hanyalah seseorang yang lemah, yang tidak dapat mengerti perasaan hatimu sendiri !”
    Suara dalam benak Rigel terdiam sejenak.
    “... kalau kamu menginginkan kebahagiaan Rivanne, tidak seharusnya kamu melakukan hal-hal yang malah membuatnya sedih. Kamu terlalu egois, hanya memikirkan kesenangan diri sendiri !”
    “Egois ?”, Rigel bertanya dengan suara mengejek, “Aneh juga aku mendengar kata itu dari padamu. Lalu, apakah kamu yang merasa ketakutan sehingga membunuh seluruh keluargamu itu bukan seseorang yang egois ? Ok, mungkin kamu benar, aku egois. Tetapi ingat, kamu pulalah yang telah menciptakan diriku, sisi lain dirimu. Kamu dan aku adalah satu, sama. Jikalau kamu mengatakan aku egois, itu berarti kamu juga egois, sama seperti aku. Bagaimana pendapatmu ?”
    Suara itu kembali terdiam.
    “Kamu tidak dapat menjawabnya, karena apa yang telah kukatakan benar. Tenang saja, kamu tidak perlu cemas. Kita bersama-sama akan bisa membahagiakan Rivanne.”
    “...kebahagiaan ? Bersama dirimu ? Kurasa tidak. Rivanne baru akan menemukan kebahagiaan jika ia bersama pemuda bernama Thoran itu.”
    “Thoran...”, Wajah Rigel berubah menjadi dingin, “Dialah yang telah membuat perasaan Rivanne menjadi kacau ! Dialah yang paling tidak dapat kubiarkan ! Aku bersumpah akan membunuhnya, dan aku pasti berhasil !”
    “Kebencianmu itu karena kamu menganggapnya sebagai penghalang terbesar. Apa yang baru kau katakan, hanyalah sebuah pembenaran bagi dirimu sendiri.”
    Rigel menggebrak meja dengan marah.
    “Mengapa tidak pernah sekali-pun kamu bisa setuju denganku ?! Bukankah sebenarnya kamu juga mengharapkan Rivanne selalu ada di sisimu ?! Ingatlah, kamu dan aku adalah sama, jadi aku dapat mengetahui bagaimana perasaanmu sesungguhnya.”
    “ ‘Mengharapkan kebahagiaan’..... ‘Selalu ada di sisiku’..... semua itu bukan berarti Rivanne harus menjadi milikku. Aku tetap menyayanginya sebagai kakak, dan berharap agar ia bisa bahagia bersama pemuda yang dipilihnya sendiri.”
    “Itulah yang kusebut ‘lemah’ ! Kalau kamu menyukainya, mengapa kamu tidak merebutnya ? Sekarang kuharap, kamu jangan menguliahi aku lagi, atas apa yang harus kulakukan sebagai seorang Rigel Othello ! Aku mengerti perasaanmu, keinginanmu, apapun mengenai dirimu, karena aku adalah kamu. Sekarang, menghilanglah dari pikiranku, karena kamu telah menggangguku !”
    Sunyi, tanpa jawaban. Rigel Othello tersenyum puas.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------

    Rigel Othello... suara siapakah yg sebenarnya selalu bertentangan dengan dirinya itu ? Dan apakah yg sebenarnya terjadi pada diri 'Rigel Othello' ???

  14. #12
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Rivanne Othello pulang ke tempat tinggalnya ketika hari sudah agak gelap. Begitu ia sampai, Jerko dan beberapa anak lainnya segera menyambut dirinya.
    “Kak Rivanne, kami sudah mendapat pekerjaan.”
    “Eh ? Apa maksudmu, Jerko ?”
    “Bukankah kakak pernah berkata, bahwa kita harus menjadi kuat, karena sudah tidak ada lagi orang yang dapat membantu kita ? Nah, karena itulah kami sepakat untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhan kita semua, terutama demi adik-adik yang lebih muda.”
    Rivanne tertegun; Ia tidak menyangka Jerko telah berpikir sedemikian jauh.
    “Te.. tetapi, bukankah kalian masih terlalu muda untuk bekerja ? Mengenai masalah keuangan, aku masih mempunyai cukup tabungan, dari hasil pekerjaanku terdahulu. Dan aku juga akan segera mencari pekerjaan lagi, jadi kalian tidak perlu khawatir.”
    Jerko tersenyum, “Kak Rivanne, kami sudah bukan anak kecil lagi. Kami sudah dapat memenuhi kebutuhan kami sendiri. Selama ini, kakak selalu membantu kami, kini saatnya kami untuk dapat mandiri. Keputusan ini kami ambil atas keinginan sendiri, kok.”
    Rivanne memandang Jerko dan adik-adiknya, lalu mengangkat bahu.
    “Yah, kurasa kalian sudah cukup dewasa dengan pemikiran yang demikian. Tetapi jangan terlalu dipaksakan. Apabila tidak sanggup, segeralah berhenti.”
    Mereka mengangguk.
    “Oh ya, kalian bekerja sebagai apa ?”
    “Aku bekerja sebagai penjual koran keliling. Sepulang sekolah, aku mengambil koran dan majalah dari penerbit lalu menjualnya di stasiun kereta.”
    “Kalau aku, menyemir sepatu. Juga di tempat yang sama seperti Kak Jerko.”
    “Aku diminta untuk merawat kebun tetangga, tak jauh dari tempat tinggal kita.”
    Mendengar jawaban-jawaban spontan itu, Rivanne tersenyum.
    “Semoga kalian sukses. Hanya satu pesanku : berhati-hatilah. Apalagi kudengar di stasiun kereta banyak anak-anak berandal. Lebih baik kalian jauhi mereka.”
    Mereka kembali mengangguk.
    “Sekarang, panggil adik-adik yang lain, lalu kita makan malam bersama.”

    Keesokan paginya, ketika sampai di sekolah, Rivanne langsung menghampiri Thoran.
    “Thoran, apakah kamu baik-baik saja ?”
    Thoran memandang Rivanne dengan pandangan bertanya, “A.. apa maksudmu, Rivanne ? Tentu saja aku baik-baik saja. Memangnya ada apa ?”
    “Ah.. tidak. Tidak ada apa-apa kok. Maaf, telah mengganggumu.”
    “Tunggu, Rivanne. Kemarin memang ada suatu kejadian yang sangat membahayakan diriku. Apakah itu yang kamu maksudkan dengan pertanyaanmu tadi ?”
    “Eh, suatu kejadian yang membahayakan ?”, Rivanne memandang Thoran dengan cemas, “Kejadian apa ?”
    “Aku juga tidak tahu, apakah hal itu merupakan suatu kecelakaan saja, atau ada unsur kesengajaan. Kamu tahu patung berbentuk malaikat yang menghias dinding sekolah kita khan ?”
    Rivanne mengangguk.
    “Sebenarnya, kemarin ketika aku hendak pulang, patung itu jatuh dan hampir menimpa diriku. Untung saja Wilfred segera menyadarinya, dan kami berdua terhindar dari maut.”
    “Be.. benarkah ?”, Rivanne mendadak lemas, “Jadi.. ‘dia’ benar-benar melakukannya...”
    “Rivanne, apakah kau mengetahui sesuatu ? Apakah benar hal itu disengaja ?”
    Rivanne terdiam untuk beberapa saat lamanya, baru menjawab.
    “Semua ini karena aku. Maafkan aku, Thoran.”
    “Eh ? A.. apa maksudmu ?”
    “Karena kamu baik padaku, sehingga ‘dia’ membenci dirimu. Lebih baik kita jangan terlalu dekat, karena akan membahayakanmu.”
    Mendengar jawaban Rivanne, Thoran segera menarik lengan Rivanne dan mengajaknya keluar kelas menuju ke taman belakang sekolah.
    “Apakah kamu bermaksud menolak diriku ? Tenang saja, aku tidak akan marah. Mungkin aku kecewa, tetapi aku dapat menerimanya.”
    “Bu.. bukan itu maksudku.”, Rivanne tampak gugup, “Aku.. aku sebenarnya bahagia, kamu menyukaiku. Tetapi, jika kita dekat, akan sangat berbahaya bagimu. Kejadian kemarin adalah salah satu buktinya.”
    Thoran memandang Rivanne dalam-dalam.
    “... apakah hal ini ada hubungannya dengan kejadian yang kamu alami akhir-akhir ini ?”
    Rivanne terdiam dan menunduk.
    “Rivanne, ceritakanlah padaku, apa yang sebenarnya terjadi ! Sekarang aku sudah terlibat, jadi setidaknya aku harus mengetahui permasalahannya.”
    “Mungkin kamu tidak percaya dengan apa yang akan kuceritakan ini, itu adalah hak-mu. Tetapi aku akan menceritakan semuanya kepadamu. Sebenarnya...”, tiba-tiba bel sekolah berdering.
    “Sepertinya kita harus masuk dulu. Nanti sepulang sekolah, kamu harus menceritakannya padaku, setuju ?”
    Rivanne mengangguk, lalu mereka bersama-sama berlari menuju ke kelas.

    Saat istirahat.
    “Sepertinya kamu telah menerima Thoran, Rivanne Othello.”
    Rivanne menengok, dan melihat Kate Byrne tersenyum kepadanya.
    “Kate, maafkan aku.”
    “Mengapa kamu minta maaf kepadaku ? Bukankah Thoran sudah memilih dirimu ? Aku dapat menerima hal tersebut kok. Lalu, dimana kalian akan kencan pertama ?”
    “Kate !”, wajah Rivanne langsung memerah, “Kami.. belum berpikir sampai sejauh itu.”
    “Hmm.. sayang. Padahal aku ingin mengganggu kalian di kencan pertama kalian.”
    “Kate, apa maksudmu ?!”, wajah Rivanne semakin memerah.
    Akhirnya Kate tertawa terbahak-bahak sambil menepuk bahu Rivanne, “Sorry, aku hanya ingin menggodamu saja. Semoga sukses, dan aku akan selalu mendoakan kebahagiaan kalian berdua.”
    Kate kembali ke tempat duduknya.
    “Walau tampak ceria, tetapi pasti sebenarnya ia menyimpan kesedihan dalam hatinya.
    Terima kasih, Kate. Semoga kita tetap dapat menjadi teman baik.”
    Tiba-tiba seorang murid masuk ke kelas dengan terburu-buru.
    “Gawat ! Ketua kelas terjatuh dari tangga !”
    “A.. APA ?!”
    “Saat ini ia sedang dirawat di UKS.”
    Rivanne dan beberapa murid lainnya segera pergi ke UKS.
    “Thoran... Apakah ini juga perbuatan Rigel ?”


    “Yah, sepertinya percuma saja kita mengkhawatirkan dirinya.”
    Thoran Steinbach menengok ke arah pintu ruang UKS. Rupanya ia sedang berbincang-bincang dengan guru kesehatan.
    “Hey Neil, apa maksudmu berkata seperti itu ? Apakah kamu tidak melihat lenganku yang dibalut ini ?”
    Neil hanya tertawa, “Habisnya, tadinya kami pikir lukamu lebih parah dan kamu harus terbaring di ranjang tanpa dapat bergerak.”
    Thoran menggelengkan kepalanya, “Apakah kamu ingin ketua kelasmu ini sampai terluka separah itu ? Keterlaluan kau.”
    Sementara teman lainnya tertawa mendengar jawaban Thoran, Rivanne memandang Thoran dengan pandangan cemas; Dan Thoran melihatnya.
    “Teman-teman dan Ibu guru, maaf. Apakah kalian bisa keluar sebentar ? Ada yang ingin kubicarakan berdua saja dengan Rivanne.”
    Mendengar itu, teman-temannya langsung terpana.
    “Eh ? Thoran, sejak kapan kamu berhasil menaklukan Rivanne ?”
    “Wah wah wah, Thoran si ‘Mister IceMan’ bisa juga tertarik pada perempuan rupanya.”
    Wajah Thoran langsung memerah, “Kalian ini.. ! Sudahlah, cepatlah keluar !”
    Mereka keluar sambil tetap menggoda Thoran dan Rivanne. Setelah semua orang keluar, Thoran berkata, “Rivanne, maaf telah membuatmu cemas.”
    “Ti.. tidak apa-apa kok. Aku senang, lukamu tidak parah. Tetapi kuakui, aku takut sekali.”
    “Aku dapat melihatnya. Wajahmu pucat.”
    Mereka berdua terdiam sejenak.
    “Thoran, apakah ada sesuatu yang tidak wajar dalam kecelakaan ini ?”
    Thoran menggeleng, “Aku hanya tersangkut tali sepatuku sendiri, tidak ada yang aneh kok. Sudah kuduga, kamu pasti mengira kecelakaan ini seperti kemarin khan ? Tenang saja.”
    “Iya, benar. Lalu aku ingin menanyakan sesuatu padamu, kuharap kamu jangan marah.”
    “Marah ? Aku tidak mungkin marah kepadamu, Rivanne. Tanyakan saja.”
    Rivanne terdiam sejenak karena ragu.
    “... Thoran, yang ingin kutanyakan adalah : Mengapa kamu dijuluki ‘Mister IceMan’ ?”
    Thoran terpana sejenak mendengar pertanyaan Rivanne, lalu tertawa terbahak-bahak.
    “Hahahaha... rupanya itu yang ingin kau tanyakan. Kupikir pertanyaan yang serius.”
    Wajah Rivanne memerah, “Jangan tertawa. Aku hanya ingin tahu. Kalau kau tidak ingin menjawabnya, tidak apa-apa kok.”
    “Tidak, aku akan menjawabnya untukmu. Sebenarnya, aku sejak kecil dapat dikatakan hidup di bawah bayang-bayang perempuan. Hampir semua anggota keluargaku perempuan. Itulah sebabnya, di sekolah aku tidak begitu suka bergaul dengan perempuan. Juga aku selalu menolak ketika ada gadis yang memintaku menjadi pacarnya. Aku ingin menjalani kehidupan normal sebagai seorang laki-laki, tanpa ada perempuan di sampingku terus- menerus. Tetapi sepertinya teman-teman salah, menilaiku tidak tertarik dengan perempuan. Itulah sebabnya, aku dijuluki ‘Mister IceMan’. Kuharap sekarang pandangan mereka terhadapku berubah, dengan kamu di sisiku.”
    “Ya, semoga saja demikian.”
    Tepat pada saat itu, bel tanda waktu istirahat selesai berbunyi.
    “Thoran, maaf. Aku harus segera balik ke kelas.”
    Baru saja Rivanne berjalan pergi, ketika Thoran menarik lengannya, lalu mencium pipinya.
    “Tho.. Thoran ?”, bola mata indah Rivanne terbelalak terkejut.
    “Maaf. Aku hanya ingin mengatakan : aku sangat menyayangimu, Rivanne. Aku akan menunggumu saat pulang sekolah, jadi tolong ceritakan masalahmu padaku.”
    Rivanne mengangguk, lalu keluar dari ruang UKS. Ia masih terkejut akibat ciuman itu.

    “Mungkin ceritaku sangat sulit dipercaya, aku dapat mengerti. Tetapi kumohon, percayalah.”
    Saat ini, Rivane baru saja selesai menceritakan kejadian yang dihadapinya kepada Thoran, termasuk ketika segalanya bermula.
    “Tenang saja, bukankah sudah kukatakan aku mempercayaimu sepenuhnya ?”, lalu Thoran menggelengkan kepalanya, “Tidak kusangka kamu menghadapi kehidupan yang begitu berat, Rivanne. Sejak kecil kamu sudah kehilangan kasih sayang ayah ibumu, bahkan yang menyebabkan hal itu adalah adik yang kau sayangi.”
    “Hingga saat ini-pun, aku masih tidak mengerti, mengapa Rigel melakukan hal sekejam itu.”
    “Aku tidak dapat mengembalikan orang tuamu, tetapi aku berjanji akan melindungimu, Rivanne. Terutama dari adikmu, Rigel Othello.”
    Rivanne terdiam sejenak sambil memandang Thoran, lalu berkata, “Terima kasih. Tetapi kuharap kamu juga dapat menjaga dirimu sendiri. Aku tidak ingin merasa khawatir terus menerus.”
    Thoran mengangguk. Lalu mereka bersama-sama keluar dari kantin sekolah. Baru saja melewati pintu kantin, ketika suara Rigel Othello kembali terdengar oleh Rivanne.
    “Jadi, sekarang ia secara terang-terangan menantang diriku. Baiklah, akan kita lihat sampai sejauh mana ia dapat bertahan !”
    “Rigel, apa lagi rencanamu selanjutnya ?! Apakah tidak cukup selama ini kamu terus menerus mengganggu diriku ?!”
    Sunyi, tanpa jawaban. Thoran memandang ke arah Rivanne.
    “Apakah ia sedang berbicara denganmu ? Apa yang dikatakan olehnya ?”
    “Sudah tidak lagi. Ia hanya mengatakan akan menerima tantanganmu, Thoran.”
    “Begitu. Jadi sekarang ia benar-benar sudah menganggap aku sebagai musuhnya.”
    “Thoran, kumohon jangan paksakan dirimu. Apabila kamu tidak sanggup melawannya, kita akan berusaha menghindarinya.”
    Thoran menggelengkan kepalanya, “Kita takkan pernah dapat menghindarinya, Rivanne. Kamu tentunya tahu hal itu; Ia akan mengikuti kemanapun kamu pergi. Sudahlah, sekarang biarkan aku mengantarmu pulang.”

    -----------------------------------------------------------------------------------------------------

  15. #13
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Sepulang sekolah, Jerko segera pergi menuju ke penerbit untuk mengambil koran dan majalah lalu menjualnya di stasiun. Setelah cukup banyak koran yang terjual, ia beristirahat di bangku stasiun.
    “Kurasa hasil yang kudapat lumayan. Kak Rivanne dan adik-adik pasti senang.”
    Tiba-tiba beberapa anak mendatangi dirinya.
    “Hey kamu, apa-apaan kamu ini ?! Berjualan di daerah ini tanpa minta ijin dahulu kepada kami, kamu ini sok jagoan yach ?”
    Jerko terkejut.
    “Kalian ini siapa ? Mengapa aku harus minta ijin dahulu untuk berjualan disini ?”
    “Kami adalah penguasa daerah ini, tahu ?! Di sekitar sini, setiap daerah dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu, dan kamilah penguasa stasiun ini. Setiap orang yang ingin berjualan di stasiun ini, harus melapor kepada kami ! Dan tentunya, harus memberi sedikit uang kepada kami agar kami bisa melindungi kalian, hahaha...”
    Jerko terdiam sejenak. Ia tidak ingin berurusan dengan mereka, tetapi ia juga tidak ingin dianggap remeh oleh anak-anak itu.
    “Kalau aku tidak bersedia memberi kalian uang, apa yang akan kalian lakukan ?”
    Salah seorang yang bertindak sebagai pimpinan hanya menggelengkan kepalanya saja.
    “Kamu ini benar-benar ingin cari masalah ya ?! Sudahlah, sebelum kamu babak belur, lebih baik kamu terima saja kesepakatan ini.”
    “Tidak !”
    Jawaban tegas Jerko membuat anak-anak itu naik darah. Salah seorang diantara mereka dengan cepat mendorong Jerko hingga koran serta majalah yang dibawa oleh Jerko jatuh berantakan, sementara yang lain memukul serta menendang Jerko yang sudah terjatuh. Tiba-tiba... “Hentikan !”
    Anak-anak itu segera menghentikan serangannya terhadap Jerko. Walau agak merasa pusing, Jerko tetap berusaha melihat orang yang menyuruh anak-anak itu berhenti.
    “Hey, bukankah kamu salah seorang anak panti asuhan yang pindah ke panti kami ?”
    Jerko terkejut; Rupanya orang itu adalah Metzig Chevalier.
    “Apa yang kamu lakukan disini ? Dan, dimana cewek yang menjadi ‘kakak’ kalian itu ?”
    “Aku sedang jualan koran, ketika anak buahmu meminta uang padaku ! Dan, Kak Rivanne tidak ada hubungannya dengan apa yang kulakukan ini !”
    Metzig memandang ke arah orang yang tadi bertindak sebagai pimpinan.
    “Benarkah apa yang dikatakan olehnya, Lion ?”
    “Benar. Dia berjualan disini tanpa meminta ijin dari kita dulu, Cheetah.”
    Mendengar jawaban itu, Metzig segera memukul Lion.
    “Dasar bodoh ! Apa aku menyuruh kalian untuk meminta uang terhadap orang yang seharusnya kita lindungi ?! Aku menguasai daerah ini, untuk melindungi siapapun yang ingin berusaha di sini dari gangguan anak-anak brengsek itu, tetapi kalian malah melakukan hal yang sama seperti mereka !”
    “Ma.. maaf. Aku hanya berpikir, kalau kita tidak meminta uang keamanan, dari mana kita akan mendapatkan uang ?”
    “Bukankah aku selalu mengatakan, bahwa kita masih bisa berusaha mendapatkan uang dengan cara lain ? Ingat Lion, untuk kali ini, aku masih dapat memaafkanmu. Tetapi lain kali, aku tidak akan memaafkan tindakan seperti ini lagi ! Untuk yang lain juga sama, ingat-ingatlah !”, Metzig memandang seluruh anak buahnya dengan pandangan tajam.
    “Baik, Cheetah.”
    Setelah itu, mereka membubarkan diri. Metzig membantu Jerko bangkit.
    “Aku minta maaf atas tindakan anak buahku. Tentu saja kamu boleh berjualan di stasiun ini sesuka hatimu, dan tidak perlu khawatir mereka mengganggumu lagi.”
    “Terima kasih.”
    “Oh ya, aku hanya ingin tahu, kalian tinggal dimana sekarang ?”
    “Setelah kami tidak diijinkan tinggal di panti asuhan kalian, kami kembali ke rumah panti yang dahulu. Tetapi, kami harus berusaha sendiri untuk mendapatkan uang. Itulah sebabnya aku jualan koran, demikian pula Kak Rivanne dan yang lainnya, masing-masing berusaha dengan caranya sendiri-sendiri.”
    Metzig memandang Jerko selama beberapa saat.
    “Aku belum tahu namamu.”
    “Namaku Jerko. Lalu, nama kakak siapa ?”
    “Aku Metzig Chevalier, biasa dipanggil ‘Cheetah’. Ketika pertama kali aku bertemu ‘kakak tertua’ kalian, aku bersikap kasar terhadapnya. Sebenarnya aku ingin minta maaf, tetapi aku tidak tahu cara menemuinya.”
    “Aku tahu tempat kerja Kak Rivanne, mungkin saja aku dapat mengantarkan kakak.”
    Metzig mengangguk, lalu mereka segera pergi menuju ke tempat Rivanne Othello bekerja.

    Rivanne Othello tidak langsung menuju tempat tinggalnya. Ia minta Thoran mengantarnya ke sebuah rumah makan tempatnya bekerja paruh waktu.
    “Kapan kamu selesai kerja ? Aku akan menjemputmu.”
    Rivanne menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu. Aku sudah minta pada Jerko untuk menjemputku. Tetapi, terima kasih atas kesediaanmu, Thoran.”
    “Baiklah. Selamat bekerja, dan sampai jumpa besok di sekolah.”
    Setelah Thoran pergi, Rivanne mengganti pakaiannya dan mulai bekerja. Rumah makan tempat Rivanne bekerja paruh waktu adalah sebuah rumah makan kecil, yang biasa melayani para pegawai dari kantor yang ada di sekitar rumah makan itu. Selain Rivanne, di sana hanya ada pemilik rumah makan itu yang merangkap sebagai kasir dan juga seseorang yang bertugas sebagai juru masak. Ketika hari menjelang malam dan rumah makan itu sudah ditutup, juru masak itu pulang lebih dahulu, sementara Rivanne masih merapikan meja dan kursi. Ketika Rivanne sedang mengganti pakaiannya, tiba-tiba pemilik rumah makan itu masuk ke ruang ganti.
    “Bos, ada apa ? Anda mengejutkan saya.”
    “Sekarang di rumah makan ini sudah tidak ada orang lain. Rivanne, sebenarnya alasan saya menerimamu bekerja, karena kamu gadis yang sangat cantik. Sekarang, mari kita bersenang-senang.”
    Mendengar kata-kata majikannya, Rivanne terkejut. Dengan cepat ia menghindar dari sergapan Sang majikan.
    “B.. bos, a.. apa maksud Anda dengan semua ini ?”
    “Masa kamu tidak tahu apa yang kuinginkan ? Tenang saja, aku akan memberikan gajimu lebih dari yang kau minta.”
    “Ti.. TIDAK ! Jangan sentuh saya !”
    Sang majikan terdiam sejenak. Wajahnya tampak kesal.
    “Belum pernah ada yang menolak saya ! Apa kamu ingin saya bersikap kasar terhadapmu ?!”
    Sang majikan mengambil sebuah tongkat kayu yang ada di sekitar situ. Sementara Rivanne masih berusaha membuka pintu belakang yang terkunci. Hampir saja kayu itu mengenai Rivanne, ketika tiba-tiba kaca ruang ganti pecah dan seseorang masuk lalu langsung memukul pemilik rumah makan itu hingga terjatuh.
    “Kak Rivanne, apakah kakak baik-baik saja ?”
    Rivanne mengenali suara tersebut, “Jerko ?”
    Jerko juga masuk melalui kaca yang pecah, sementara yang telah menolong Rivanne adalah Metzig Chevalier.
    “Untung aku tidak terlambat ! Pemilik rumah makan ini memang telah berkali-kali menjebak gadis muda dan cantik yang sedang mencari pekerjaan.”, lalu Metzig memandang ke arah Rivanne, “Hey, dia masih belum melakukan apapun terhadap dirimu khan ?”
    Rivanne menggeleng, “Terima kasih.”
    “Lebih baik kita segera pergi dari sini. Aku tidak ingin berurusan dengan polisi.”
    Baru saja mereka hendak pergi, ketika terdengar kata-kata pemilik rumah makan itu.
    “Kalian pikir dapat lolos setelah merusak tempatku ?! Aku tidak akan membiarkan kalian !”
    Mendengar kata-kata itu, Metzig segera berbalik dan mencengkram kerah baju pemilik rumah makan itu.
    “Kamu ingin mengancam aku ? Heh, apa kamu ingin dihajar oleh anak buahku ?!”, saat itu, senyum Metzig tampak begitu dingin dan menakutkan.
    “Ka.. kamu... Bukankah kamu preman stasiun itu ? Ya benar, kamu ‘Cheetah’ !”
    “Kuperingatkan, jangan pernah mengganggu gadis ini lagi, atau kamu akan menyesal !”, Metzig mendorong orang itu hingga terjatuh, “Untuk kali ini, aku masih mengampuni nyawamu. Tetapi kalau kamu berbuat kebodohan seperti ini lagi...”
    Lalu Metzig segera pergi, diikuti oleh Rivanne dan Jerko. Di tengah jalan, Rivanne berhenti berlari.
    “Anoo... terima kasih kamu telah menolongku. Tetapi, mengapa kamu tahu aku berada di rumah makan itu ? Dan, mengapa Jerko bersamamu ?”
    Metzig terdiam sejenak.
    “Sebenarnya, tadi ketika adikmu sedang jualan koran di stasiun, kami bertemu lagi. Lalu aku mendengar bahwa kamu bekerja paruh waktu di rumah makan ini. Sudah kuduga, orang itu akan melakukan perbuatan kurang ajarnya lagi.”
    Rivanne menutup wajahnya.
    “Padahal aku hanya ingin mencari pekerjaan, agar aku dan adik-adikku dapat bertahan hidup. Mengapa begini jadinya ?”
    “Hey, namamu Rivanne khan ? Aku..”, sesaat Metzig tampak ragu, “sebenarnya aku ingin menemuimu, karena.. ingin minta maaf padamu telah bersikap kasar ketika itu.”
    “Eh ?”, Rivanne tertegun mendengar permintaan maaf Metzig.
    “Maksudku, waktu itu pikiranku sedang kacau akibat ibu pengawas meninggal, jadi aku langsung menyalahkan kalian. Yah, itu saja yang ingin kukatakan. Selamat tinggal.”
    Wajah Metzig tampak memerah ketika ia langsung berlari pergi meninggalkan Rivanne dan Jerko. Akhirnya Rivanne tersenyum.
    “Ternyata ia orang yang baik. Tadinya kupikir ia tidak menyukai kita.”
    Jerko, yang dari tadi berdiam diri, akhirnya berkata, “Maaf Kak Rivanne, aku tidak menyangka akan jadi seperti ini. Semoga pemilik rumah makan itu tidak akan pernah mengganggu kakak lagi.”
    Rivanne menengok ke arah rumah makan tersebut.
    “Sepertinya, aku harus lebih berhati-hati di dalam mencari pekerjaan.”
    Sementara itu, pemilik rumah makan itu masih membereskan pecahan kaca.
    “Rupanya gadis itu mempunyai hubungan dengan Cheetah ! Sial sekali aku hari ini !”
    Ketika sedang memungut pecahan kaca, tiba-tiba tampak bayangan seseorang di belakangnya.
    “Apa lagi yang...”, kata-katanya terputus akibat sebuah pukulan yang sangat keras. Bahkan orang itu tidak sempat menjerit. Tubuhnya langsung roboh dengan kepala pecah. Orang yang tadi berdiri di belakangnya tersenyum dingin, sementara tangannya melemparkan palu yang dipakainya untuk membunuh pemilik rumah makan itu.
    “Itulah hukuman yang pantas untuk makhluk menjijikkan seperti dirimu ! Siapapun yang berani mengganggu Rivanne, akan kuhancurkan !”

    ---------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Hmm... akhir2 ini lg males komentar nih... *SIGH*

  16. The Following User Says Thank You to Rivanne For This Useful Post:
  17. #14
    giez's Avatar
    Join Date
    Jul 2007
    Location
    2nd floor Magical Box of MAXINDO
    Posts
    125
    Points
    146.70
    Thanks: 1 / 0 / 0

    Default

    wah bagus nih seru bacanya ......
    dilanjut pliz

  18. #15
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Makasih atas komentarnya, Kk giez... tp kebetulan flashdisc sy ketinggalan di rumah >_< Pdh semua cerita sy disana... SIGH
    Saya janji akan post secepatnya deh... BTW fave char sy disini bkn Rivanne (walaupun sy pake nick Rivanne), tp malah Rigel lho, huhuhu...
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

Page 1 of 3 123 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •