“Ugh...”, Rivanne merasa kepalanya pusing. Perlahan-lahan ia membuka matanya, dan orang pertama yang dilihatnya adalah Thoran Steinbach.
“Bagaimana, apakah kamu sudah merasa lebih baik ?”
Rivanne mengangguk, “Kepalaku masih terasa agak pusing, tetapi selebihnya aku baik-baik saja.”, Rivanne melihat sekelilingnya. Rupanya ia berada di ruang kesehatan.
“Thoran, apakah kamu sudah mengetahui, siapa yang bunuh diri itu ?”
Wajah Thoran agak suram ketika menjawab, “Pak George.”
“Pak George ?!”, bola mata indah Rivanne terbelalak tidak percaya, “Te.. tetapi, apa alasan beliau melakukannya ?”
“Entahlah. Hanya saja, ada sebuah surat singkat di meja beliau yang berisi pernyataan minta maaf kepada dirimu, Rivanne. Aku sudah memberi penjelasan mengenai kejadian tadi pagi, dan kurasa sebentar lagi para guru akan menanyai dirimu.”
Rivanne tertegun; Ia kembali teringat akan tulisan tangan pada bukunya. Gadis itu segera mengambil tasnya, membuka lalu mengambil buku diktat yang berisi tulisan tangan itu.
“Benar, sama persis !”
“Apanya yang sama, Rivanne ?”
“Tulisan tangan ini. Tulisan ini sama dengan tulisan yang kulihat pada dinding rumah sakit jiwa tempat Rigel dirawat.”
Thoran memandang Rivanne dengan bingung, “Rigel ? Siapa dia ?”
“Rigel Othello, adikku.”, Rivanne terdiam sejenak. Ia ragu untuk menceritakan masa lalunya kepada Thoran; Takut Thoran akan menjauhi dirinya setelah mengetahui kenyataan pahit masa lalunya.
“Adikmu dirawat di rumah sakit jiwa ? Apakah adikmu menderita gangguan kejiwaan ?”
“I.. iya, benar. Eh Thoran, apakah kamu bisa keluar ? Aku sedang ingin menyendiri.”
“Baiklah. Tetapi aku tidak akan pergi jauh. Panggillah aku jika kau membutuhkan sesuatu.”
Setelah Thoran keluar ruangan, Rivanne bangkit dari tempat tidurnya lalu pergi menuju jendela. Ia melihat ke arah pohon tempat tadi Rigel Othello berdiri, dan memikirkan kata-kata Rigel.
“Kejadian ini bukan keinginan dari Pak George. Rigel pasti berada di belakang semua ini.
Tetapi, mengapa Rigel melakukannya ?
Lalu, tulisan pada bukuku tersebut...
apakah itu yang sebenarnya kurasakan mengenai Pak George ?”
Tiba-tiba pintu ruang kesehatan terbuka dan seorang guru memasuki ruangan.
“Rivanne Othello, ada yang hendak saya tanyakan padamu berkaitan dengan masalah bunuh diri Bapak George, guru Bahasa Inggris-mu.”
Rivanne mengangguk, lalu pergi bersama dengan guru tersebut.
“Rivanne Othello, apakah kamu dapat menjelaskan mengenai kejadian di dalam kelasmu ketika jam pelajaran Bahasa Inggris ? Kami sudah menanyakan hal ini kepada ketua kelasmu, Thoran Steinbach, tetapi kami juga ingin mendapat keterangan darimu.”
Rivanne mengangguk, “Saya akan coba menjelaskannya. Saya akui, bahwa tadi saya sempat tidak memperhatikan penjelasan dari Pak George. Tetapi sebenarnya saya tidak mengetahui alasan saya melamun, atau apa yang sedang saya pikirkan ketika itu. Tiba-tiba saya tersadar karena teguran dari Pak George, dan beliau menyuruh saya agar membaca buku diktat halaman 35. Ketika membuka halaman 35, saya melihat bahwa halaman itu adalah halaman kosong. Pak George lalu mendekat, melihat halaman tersebut, dan beliau menjadi marah. Ketika saya melihatnya lagi, ternyata pada halaman itu sudah tertulis sesuatu dengan tulisan tangan. Dan, isinya mengenai ketidaksukaan pada pelajaran Bahasa Inggris dan Pak George. Tetapi, itu bukan tulisan tangan saya !”
“Boleh saya melihat buku yang dimaksud, Rivanne ?”
Rivanne mengeluarkan buku itu, dan memberikannya kepada guru tersebut.
“Apakah saya bisa melihat tulisan tanganmu ?”
Rivanne menyerahkan salah satu catatan miliknya, lalu guru tersebut membandingkannya.
“Lalu, apakah kamu punya perkiraan, tulisan tangan milik siapakah ini ?”
Rivanne terdiam sejenak, lalu berkata perlahan, “Mungkin Anda tidak akan percaya. Tulisan tangan seperti itu pernah saya lihat, di dinding kamar rumah sakit jiwa tempat adik saya dirawat. Dan itu adalah tulisannya !”
Guru itu terdiam karena terkejut.
“Adikmu dirawat.. di rumah sakit jiwa ? Saya baru mendengarnya. Lalu, bagaimana adikmu dapat menuliskan sesuatu seperti ini sedangkan ia dirawat disana ?”
“Rigel adikku, beberapa hari yang lalu sudah melarikan diri dari rumah sakit tersebut. Tetapi walaupun demikian, rasanya aneh melihat tulisan seperti ini pada buku diktat. Bukankah seharusnya halaman pada buku ini tidak ada yang kosong ?”
Guru itu menghela nafas, “Sepertinya masalah ini menjadi semakin rumit. Memang benar apa yang kamu katakan, seharusnya buku diktat tidak mempunyai halaman kosong, apalagi di tengah-tengah seperti ini. Tetapi melihat hal ini, maka dapat saya pastikan kamu tidak mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan kematian Pak George. Baiklah, terima kasih atas penjelasanmu, Rivanne Othello.”
Rivanne menerima jabat tangan guru tersebut. Tepat ketika tangan mereka bersentuhan, mendadak Rivanne mendengar sebuah suara...
“Apakah kamu puas dengan ‘hadiah kecil’-ku, Rivanne Othello ?”
DEG ! Rivanne segera memandang sekelilingnya.
“Rivanne, ada apa ?”
“Suara Rigel.. saya baru saja mendengar suara Rigel Othello.”
“Tetapi tidak ada siapapun di dalam ruangan ini selain kamu dan saya. Apakah kamu tidak salah dengar ?”
Rivanne melihat sekali lagi ke sekelilingnya, lalu menghela nafas lega, “Mungkin Anda benar. Pastilah saya hanya salah dengar.”
Rivanne keluar dari ruangan tetap dengan perasaan tegang. Ia tetap yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.
“Rigel, sebenarnya kamu ada dimana ? Mengapa aku dapat mendengar suaramu ?”
Tiba-tiba Thoran Steinbach muncul, “Rivanne, apa yang ditanyakan oleh guru ?”
“Beliau hanya meminta penjelasan mengenai kejadian tadi. Thoran, bukankah seharusnya kamu sudah pulang ?”
“Aku.. menunggumu. Apakah boleh aku mengantarmu pulang ?”
“Terima kasih, tetapi maaf. Aku ingin pulang sendiri.”
Thoran tampak agak kecewa. Sambil mengangkat bahu, ia berkata, “Baiklah. Besok aku akan menjemputmu lagi.”
Thoran berjalan pergi, sementara Rivanne memandang punggung Thoran.
“Maafkan aku, Thoran. Ini adalah masalahku, aku tidak ingin melibatkanmu.”
Rivanne Othello berjalan menuju panti asuhannya sambil merenungkan semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Dimulai dari pesan yang diterimanya saat test komputer berlangsung, lalu kabar hilangnya Rigel dari rumah sakit jiwa tempatnya dirawat, pertemuan kembali dirinya dengan Rigel ketika ia diserang beberapa pemuda jalanan, sesuatu seperti mimpi yang dialaminya, sampai kejadian yang menyebabkan meninggalnya Pak George, Guru Bahasa Inggrisnya.
“Hanya dalam waktu dua hari, telah begitu banyak kejadian yang kualami.
Aku jadi takut memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya.”
Dan akhirnya tibalah Rivanne di tempat tinggalnya. Ia merasa bingung melihat keramaian di sekitar panti asuhannya.
“Apa yang terjadi ?”
“Hey, bukankah kamu salah seorang yang tinggal di rumah panti ini ? Dari yang kudengar, ibu panti mendapat serangan jantung.”
“A.. APA ?! La.. lalu, beliau dibawa ke rumah sakit apa ?”
Orang itu menggelengkan kepalanya.
“Sudah terlambat. Ketika seorang anak menemukannya, beliau sudah...”, orang itu tidak melanjutkan kalimatnya. Tetapi arti kata-katanya sudah cukup jelas bagi Rivanne. Gadis itu jatuh berlutut, terdiam sesaat, sebelum akhirnya menutup muka dan menjerit, “TIDAA..K !!”
Dengan langkah lunglai, Rivanne masuk ke dalam tempat tinggalnya. Jerko dan beberapa anak lainnya berada di sekeliling tubuh yang tertutup oleh kain putih; Sebuah pemandangan yang sangat menyedihkan. Ada yang menangis, tetapi ada pula yang berusaha tetap tabah; Salah seorang diantaranya adalah Jerko.
“Kak Rivanne, apa yang dapat kita lakukan sekarang ?”
Rivanne mendekati jenasah ibu panti yang tertutup kain itu, lalu memeluk beberapa anak yang sedang menangis.
“Jerko, siapakah yang pertama kali menemukan beliau ?”
“Aku. Pada awalnya, aku berpikir ibu panti hanya terjatuh. Tetapi melihat ada darah di sekitar bibir beliau, aku terkejut. Aku segera berusaha mencari pertolongan, tetapi sudah terlambat. Menurut seseorang yang memeriksa keadaan beliau, dikatakan beliau terkena serangan jantung.”
“Apakah beliau sempat mengatakan sesuatu ?”
Jerko berpikir sejenak, “Ya, tetapi aku sendiri tidak begitu mengerti apa maksudnya. Beliau berkata sesuatu mengenai kegelapan dan orang berjubah, lalu menggumamkan sesuatu secara berulang-ulang. Kalau tidak salah dengar, seperti : Rivel...”
“Rigel ! Rigel Othello !”, wajah Rivanne tampak geram, “Lalu, apa lagi yang dikatakan oleh beliau ?”
“Pada saat terakhir, beliau meminta maaf karena akan meninggalkan kita sendirian, lalu..”, tanpa disadari oleh dirinya sendiri, air mata tampak mengalir di pipi Jerko, “..beliau memperingatkan agar Kak Rivanne berhati-hati terhadap ‘pemuda itu’.”
Rivanne memeluk Jerko yang sudah menangis, “Terima kasih atas keteranganmu. Tabahlah, bukankah kamu seorang anak laki-laki pemberani ?”
Rivanne sendiri berusaha menahan dirinya agar tidak menangis, sebab saat ini, dialah yang menjadi tumpuan harapan bagi adik-adiknya di panti asuhan ini.
“Aku harus berusaha untuk tetap tabah. Tetapi apa yang dapat kulakukan ?
Tuhan, tolong bimbinglah kami dalam kasihmu...”
Akhirnya, dengan bantuan beberapa orang dari gereja, jenasah ibu panti dapat dimakamkan di makam yang terletak di halaman belakang gereja. Sedangkan Rivanne Othello dan adik-adiknya dipindahkan ke sebuah panti asuhan yang dikelola oleh sebuah yayasan. Peraturan yang ada di panti asuhan yang baru jauh lebih keras, dan sepertinya perlu waktu bagi Rivanne dan adik-adiknya untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap peraturan-peraturan maupun suasana, karena sekarang mereka tinggal di sebuah gedung dan tidur dalam bangsal yang terpisah-pisah satu dengan lainnya.
“Kak Rivanne, aku takut tidur sendiri.”, Ellie menarik-narik lengan Rivanne.
“Tenanglah, bukankah kamu sekamar dengan seorang anak lainnya yang telah menghuni panti ini terlebih dahulu ? Berteman baiklah dengannya, Ellie.”
Ellie hanya terdiam, lalu akhirnya ia melepaskan tangan kecilnya dari lengan Rivanne.
“Baiklah, kalau Kak Rivanne yang mengatakannya, Ellie akan percaya.”
Setelah Ellie pergi menuju kamarnya, Rivanne memasuki kamarnya sendiri. Kamar itu begitu kecil, dan hampir tanpa perabotan apapun, kecuali sebuah tempat tidur besi, sebuah meja kecil yang juga terbuat dari besi, serta sebuah lemari kecil untuk menyimpan baju. Jendela kamar itu bukan hanya ukurannya kecil, tetapi juga diperlengkapi dengan jeruji besi untuk mencegah anak kabur. Rivanne lalu melihat ke arah kertas yang diberikan padanya; Kertas yang berisi peraturan panti yang dibagikan kepada setiap anak yang baru datang.
“Apakah ceramah yang diberikan selama sekitar 3 jam tadi terasa tidak cukup, sampai kami diberikan kertas ini ?”, Rivanne menghempaskan diri ke ranjangnya sambil menghela nafas.
“Apakah ibu panti benar-benar dibunuh oleh Rigel ? Tetapi, mengapa... ?”
Rivanne dikejutkan oleh suara tegas dari balik pintu, “Rivanne Othello ! Cepat berkumpul di ruang tamu, akan ada acara saling mengenal antara kalian dengan anak-anak yang telah lama tinggal disini !”
Baru saja Rivanne hendak berdiri, ketika ia melihat sebuah tulisan dari darah pada dinding yang terletak dekat pintu, yang berbunyi :
Kau takkan punya tempat tinggal lain selain di sisiku, Rivanne !
Rivanne kembali terjatuh, tetapi ia sanggup menahan diri untuk tidak menjerit. Ia menoleh ke arah lain, menarik nafas dalam-dalam, lalu kembali memandang pintu itu. Tulisan itu telah menghilang !
“Apakah tulisan itu hanya khayalanku saja ?
Tetapi kalau tulisan itu nyata, apakah yang dapat kulakukan ?
Sepertinya, Rigel akan selalu meniadakan tempatku pulang...”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tiada tempat untuk 'Pulang' bagi Rivanne Othello, selain kembali kepada Rigel. Itulah yang selalu diyakini oleh Rigel. Tapi...
Share This Thread