Di segmen iklan televisi, kini kerap terselip klip video musik. Dulu klip macam ini lebih sering ditayangkan di sela-sela pergantian program. Yang ditampilkan di klip itu adalah band-band baru. Namanya sulit diingat karena waktu tayangnya pendek dan jumlah mereka banyak.
Band baru muncul lebih banyak lagi di kanal MTV. Coba cermati lagu hit dari band-band berikut: Putih, Marvel, Anima, Drive, The Tomato, The Adams, The S.I.G.I.T., Crossbutton, Olive Tree, Nine Ball, Speaker 1st, Rocket Rockers, Republik, Everybody Loves Irene, Meteor, Float, Fall, d'Cinnamons, Kaimsasikun, D'Masiv, Polyester Embassy, Rock and Roll Mafia, atau Vagetoz.
Daftar ini bisa lebih panjang lagi, dan pasti tak ada yang langsung nancap di kepala. Selain karena band itu tergolong baru, jumlahnya juga membuat pemirsa sedikit kebingungan mengingat siapa menyanyikan apa. Itulah gambaran yang terlihat dalam dua tahun belakangan ini pada industri musik Tanah Air.
Di sisi suplai, banyak sekali yang ditawarkan perusahaan rekaman kepada masyarakat. Kalau boleh sedikit berhiperbola, pada saat ini Indonesia bak "negeri seribu band". Harry "Koko" Santoso, bos Deteksi Production, promotor pertunjukan musik, memperkirakan jumlah kelompok band di Indonesia melewati angka 1.000.
Senior A&R Director Sony-BMG Indonesia, Jan Djuhana, mengaku tak mampu menghitung jumlah band baru. "Bisa mabok menghitungnya," ujar Jan. Mengapa dalam waktu singkat banyak band baru bermunculan? Pernyataan Daniel Tumiwa, Direktur Pemasaran Universal Indonesia, bisa menjadi salah satu jawabnya. "Dulu menonton MTV dianggap keren. Sekarang menjadi anak band jauh lebih keren," katanya.
Tujuan lainnya adalah popularitas. "Kalau mereka ingin dikenal orang, kesempatannya terbuka lebar di musik," ujar Koko, yang kerap menyodorkan band-band baru di pertunjukan musiknya. Tapi sesungguhnya anak band bukan sekadar ingin mengejar status beken. Melainkan karena keberhasilan band-band sebelumnya membuat banyak anak muda mendirikan band.
Sukses Peterpan, Samsons, dan Nidji, baik dari sisi musikal maupun finansial, adalah stimulus bagi anak-anak muda masa kini. "Sekarang cita-cita menjadi musisi mungkin sama dengan keinginan menjadi dokter," kata Koko.
Dua tahun lalu, nama Nidji tidak memberi arti apa-apa. Kini Nidji adalah salah satu band paling hot di negeri ini. Pertunjukan mereka selalu dipadati penonton. Album perdana Nidji, "Breaktrough", mencatat penjualan fantastis: 600.000 keping.
Sebelum Nidji, Samsons membukukan prestasi moncer serupa. Album "Naluri Lelaki" mencatat penjualan 800.000 keping. Peterpan, band yang lebih senior, pun memberi harapan. Album pertama Peterpan, "Taman Langit", terjual hingga 600.000 keping. Di album kedua, "Bintang di Surga", band ini mencatat penjualan fenomenal: 3 juta keping.
Di luar angka penjualan yang besar-besar itu, sejumlah band baru pun mencatatkan penjualan album yang "melegakan" perusahaan rekaman yang menaunginya. Di kelompok ini ada Letto dan Kerispatih, yang masing-masing membukukan penjualan setingkat double platinum (300.000 keping) dan platinum.
Catatan penjualan band-band baru tadi menjadi salah satu motivasi buat anak-anak muda. "Ada harapan di benak anak-anak muda sehingga mereka mendirikan band," kata Anasthasia R. Sadrach, A&R Coordinator Musica Studio's.
Harapan itu bukan hanya milik anak-anak muda di kota-kota besar di Pulau Jawa. Juga sudah bisa dibuktikan di berbagai daerah lainnya, bahkan hingga tingkat kabupaten. Ketika Gatra mengikuti babak final "A Mild Live Wanted" untuk wilayah Sumatera Bagian Utara, fakta tadi terekam. Ada ratusan band daerah muncul ke permukaan.
Yang mengejutkan, karya mereka tidak kalah dengan band dari Jakarta atau Bandung. Bahkan, ketika diadu di tingkat nasional, Beautiful Monday, band asal Medan, misalnya, mampu meraih gelar juara kedua. Motivasi anak-anak itu makin besar karena sekarang mereka berhadapan dengan sejumlah kemudahan.
Untuk merekam karya, misalnya, kini mereka tidak perlu lagi masuk studio rekaman besar. Makin majunya teknologi komputer membuat proses rekaman bisa dilakukan di kamar tidur. Peranti lunak untuk kebutuhan itu juga bertebaran di sentra-sentra software, meski sebagian besar levelnya masih software bajakan.
Dengan media itu, mereka bisa mengekspresikan talenta, membuat contoh lagu (demo), dan mengirimkannya pada perusahaan rekaman. Industri musik Tanah Air yang sangat tipikal juga menjadi alasan lain bagi banyaknya band baru yang muncul. Pasar musik masih sebatas menyukai lagu, bukan bandnya.
Memiliki sebuah lagu hit saja sepertinya sudah cukup bagi sebuah band untuk terkenal. Inilah peluang yang dilihat anak-anak muda itu. Nama The Upstairs, misalnya, menjadi terkenal berkat satu lagunya, Disko Darurat.
Persoalannya sekarang, bagaimana membuat telinga masyarakat berpaling pada karya mereka. Di bagian ini, ada banyak kesempatan yang bisa menjadi kendaraan mereka. Ajang festival band, yang belakangan ini jumlahnya banyak sekali, adalah salah satunya. Misalnya "A Mild Live Wanted" tadi.
Festival yang disokong penuh oleh A Mild, Deteksi Production, dan Musica Studio's ini memiliki satu tujuan yang jelas, yaitu mencari band baru potensial. Demikian juga dengan hadiah utamanya, yaitu dibuatkan sebuah album rekaman. Festival selama tiga bulan itu berhasil membangkitkan animo 2.000 lebih band baru dari 45 kota di Indonesia.
Lalu ada "LA Lights IndieFest", sebuah ajang kompetisi khusus untuk band-band indie. Kompetisi ini didanai oleh LA Lights, salah satu produk PT Djarum. LA Lights menggandeng dan meminjam telinga emas pengelola Fastforward Records. Ketika dimulai tahun lalu, sekitar 1.400 band ambil bagian.
Dedengkot festival musik Log Zhelebour melanjutkan tradisinya mencari band-band rock terbaik dari 15 kota di Tanah Air lewat "Gudang Garam Rock Competition". Ribuan band rock mendaftarkan diri dalam kompetisi tersebut.
Bahkan beberapa daerah yang sama sekali tidak punya track record memiliki band rock, misalnya Padang, menghadirkan band cadas mereka. Dari ibu kota Provinsi Sematera Barat itu, sekitar 75 band rock ikut ambil bagian.
Ada juga festival yang digelar distributor peralatan musik, seperti "Asian Beat" oleh Yamaha. Levelnya pun sudah internasional. Pemenang dari Indonesia diadu dengan jawara festival dari negara lain. Di luar kompetisi yang disokong perusahaan-perusahaan besar tadi, masih banyak lagi ajang sejenis.
Bila kompetisi dianggap kurang "memperdengarkan" musik mereka, band-band baru itu memanfaatkan pintu lain. Misalnya "Made in Indonesia" yang digelar secara rutin seminggu sekali di GlobalTV setahun belakangan ini. Di acara ini, band-band baru bisa mengirim album mereka (meski belum dinaungi label).
Bila beruntung, band tersebut akan tampil di layar kaca selama sejam penuh. Band baru itu makin beruntung karena di acara itu ada pengamat musik yang memberi kritik dan masukan.
Pergelaran seni yang biasa digelar anak-anak SMU adalah pintu masuk lainnya. Event ini tidak bisa dipandang sebelah mata, meski kadangkala band baru kurang mendapat penghargaan (honor) memadai. Namun harus dicatat bahwa pensi adalah ajang yang ikut membesarkan band macam The Upstairs tadi.
Semua ajang itu adalah cara band-band baru untuk memperkenalkan karyanya, sekaligus menguji calon pembelinya. Untuk menarik perhatian perusahaan rekaman, mereka tetap mengirim contoh karya ke perusahaan-perusahaan rekaman. Hanya saja, celah masuk ke label demikian sempit.
Satu band baru yang ingin dinaungi Trinity Optima Production, misalnya, harus bersaing dengan puluhan band lain. "Setiap hari kami menerima dua-tiga demo," ungkap Jonathan Nugroho, Managing Director Trinity. Jumlah yang lebih kurang sama juga dirasakan Aquarius Musikindo. "Dalam sebulan, kami bisa menerima hingga 60 demo," kata Arie Suwardi Widjaja.
Sony-BMG Indonesia pun mencatat angka yang sama. Di EMI Music Indonesia, angkanya jauh lebih banyak lagi. "Dalam seminggu bisa datang 30 demo band," ujar Arnel Affandy. Musica Studio's mencatat angka lebih fantastis. "Jumlahnya bisa lima demo dalam sehari," ungkap Anasthasia R. Sadrach.
Mungkin hanya Universal Music Indonesia dan Warner Music Indonesia yang agak kurang banyak menerima demo. Menurut Daniel Tumiwa, pihaknya "hanya" menerima sekitar 30 demo dalam sebulan. Sementara dalam catatan Arie Legowo, jumlah demo yang masuk ke Warner hanya sekitar 15 sebulan.
Banyaknya demo ini tidak hanya dirasakan label-label besar. Dari jalur indie pun demikian. David Tarigan dari Aksara Records mengaku bahwa pihaknya menerima 50 demo lebih setiap bulan. Fastforward Record, salah satu label indie legendaris di Tanah Air, lebih sedikit menerima demo. "Paling 20 demo," kata Felix Daas, juru bicara Fastforward.
Bila semua pintu tadi belum juga membuahkan hasil, band baru bisa mencoba peruntungan lewat Music Factory Indonesia (MFI). Perusahaan rekaman yang dibangun dengan dukungan dari Kentucky Fried Chicken ini selalu membuka lebar-lebar telinga mereka bagi pendatang baru.
MFI telah melepas dua album kompilasi bertajuk "KFC Music Hit List". Sebuah album penuh juga telah diproduksi MFI untuk band Juliette, yang sebelumnya adalah pengisi album kompilasi tersebut. "Kalau melihat band yang potensial, kami segera mengambilnya dan di-push ke pasar," kata Harun Nurasyid, pengelola MFI.
Band-band yang tidak melalui semua pintu tadi punya cara lain dalam memperkenalkan produk mereka. Apalagi kalau bukan memproduksi sendiri. Mereka menyewa studio rekaman dan operatornya dengan biaya sendiri. Namun ini biasanya bukan album penuh, melainkan EP (album mini). Bentuknya pun bisa berupa CD atau kaset.
Bagaimana mereka menyebarkan EP itu? Distro adalah tempatnya. Bila bertandang ke distro di berbagai daerah, bakal banyak dijumpai album mini dari berbagai band yang ada di daerah tersebut (atau dari daerah lain karena distro biasanya saling berkomunikasi). Sebelum Dojihatori dan Pegawai Negeri (keduanya adalah finalis LA Lights IndieFest tahun lalu) beken, mini album mereka bisa dijumpai di distro Bandung maupun Yogyakarta.
Semua data tadi mengisyaratkan satu hal, yaitu sisi suplai industri musik Tanah Air tidak akan pernah berkesudahan. Seperti pepatah mati satu tumbuh seribu, begitu juga yang terjadi pada band-band baru tersebut. Bila mereka gagal menembus saringan dari perusahaan-perusahaan rekaman tadi, di belakang mereka sudah bersiap band lainnya.
Saringan yang dibuat perusahaan rekaman demikian ketat. Dari puluhan hingga ratusan demo yang mereka terima, paling hanya tersisa 10%-nya. Sisanya itu pun tidak otomatis langsung memasuki proses produksi. Apa yang disajikan perusahaan rekaman belakangan ini adalah hasil seleksi ketat dengan berbagai kriteria. Itu pun tak semuanya lantas sukses di pasar.
Dalam menyeleksi sebuah band, hampir semua label menetapkan kriteria unik dan berkarakter sebagai syarat utama. Kriteria ini bisa dikaitkan dengan warna vokal, skill, maupun aliran musik yang dianut band tersebut. Sony-BMG Indonesia menambah kriteria umur yang masih muda. Ini berkaitan dengan kebiasaan Sony-BMG mengontrak sebuah band sepanjang empat hingga enam album.
EMI Music Indonesia menambahkan unsur good looking. Sementara itu, Musica Studio's dan Aquarius Musikindo memilih melihat "calon anak" mereka secara langsung ketika band itu mengadakan show. Biasanya sang pencari bakat dulu yang melihat, baru kemudian para petinggi label itu ikut turun gunung.
Buat Fastforward Record (FFWD), syaratnya sederhana saja. "Band itu harus memiliki musik yang kami suka dulu," kata Felix Daas. Memang kesan subjektif sangat kental di dalamnya. Namun, dengan metode itu, FFWD pernah ikut "menyetir" selera musik Tanah Air lewat Mocca sekitar dua tahun lalu.
Tembang Secret Admirer yang diterima telinga orang-orang di FFWD juga terdengar nyaman buat masyarakat. Mocca mencatat penjualan 75.000 keping lebih dan tercatat sebagai salah satu band indie dengan angka jualan terbesar dalam sejarah musik Tanah Air.
Apa pun tambahan syarat tadi, semua dibangun terutama untuk mendapatkan variasi produk bagi perusahaan rekaman tersebut. Meski masih tetap mengandalkan band aliran pop, perusahaan rekaman ingin band yang mereka luncurkan dapat diterima masyarakat pada perkenalan pertama. Strategi macam itu harus dibangun label karena mereka berhadapan dengan pasar yang makin mengecil.
Sepanjang satu dekade terakhir, pasar musik mengempis hingga 75%. "Dulu total penjualan bisa di atas 8 juta keping per bulan. Kini tinggal 2 juta," ungkap Jonathan Nugroho. Menciutnya pasar tadi berkaitan dengan masalah klasik yang dihadapi industri rekaman, yaitu pembajakan.
Begitupun, sejumlah band masih bisa meraih penjualan besar. Peluang masih terbuka, walau pasarnya mengecil. Ini berkaitan dengan sifat pasar musik Tanah Air yang masih sebatas penikmat musik.
Kecenderungan tersebut, kata Arnel Affandy, membuat masyarakat membeli produk apa pun yang disodorkan perusahaan rekaman. Ia menyebutnya sebagai identitas temporal. "Jadi, jangan heran bila pembeli album Radja juga membeli Samsons, Dewa, dan Kangen," kata Arnel.
Opini senada diungkapkan Arie Suwardi Widjaja. "Orang Indonesia itu unik. Lagu model apa saja bisa diterima dan bisa menjadi hit," katanya. Menurut dia, hal ini terjadi karena, "Hampir 90% masyarakat Indonesia bukan pencinta musik."
Ini menjelaskan mengapa kelompok Kangen bisa diterima masyarakat walaupun lagu andalannya, Tentang Aku, Kau, dan Dia, terdengar sangat cengeng. Serta membawa kita seakan kembali ke era Gerimis Mengundang-nya Iklim, band asal Malaysia.
Terkesan ada kemunduran dari sisi kualitas lagu. Namun, faktanya, masyarakat menyukai karya Kangen Band. Buktinya, seperti disampaikan Warner Music Indonesia, penjualan album Kangen sudah mencapai level double platinum. Show band itu di berbagai daerah juga dibanjiri penonton.
Opini senada diungkapkan Arie Suwardi Widjaja. "Orang Indonesia itu unik. Lagu model apa saja bisa diterima dan bisa menjadi hit," katanya. Menurut dia, hal ini terjadi karena, "Hampir 90% masyarakat Indonesia bukan pencinta musik."
wah parah bener, tapi memang bener sih coba bandingin lagu Indo skr sama 10 tahun yg lalu beda banget, dulu lagu indo dan penyanyi" nya ok punya, skr banyak yg ga beres.
Share This Thread