Dilengkapi Pidato Asli Bung Tomo, Disisipi Dialek Suroboyoan
Memperkenalkan sejarah tak hanya melulu lewat buku atau museum. Tiga pria asal Surabaya ini mereka ulang kisah heroik perang 10 Nopember 1945 melalui modifikasi game perang (war game). Perburuan data menjadi bagian tersulit.
DICKY Octavira, 37, sudah lama mengintimi Close Combat. Kalau sudah memainkan game perang itu di komputer, staf IT Radio Star FM tersebut sering lupa waktu. "Saya seperti kecanduan game itu. Saya sangat menyukai game ber-setting perang di Eropa," ujar pria berkulit putih itu.
Close Combat merupakan jenis Real Time War Game, sebuah game simulasi perang berdurasi 15-30 menit. Penggemarnya mayoritas berusia 30 hingga 50 tahun yang menyukai atmosfer militer. "Software game itu dipakai beneran oleh marinir AS dan Angkatan Laut Inggris," ujar Dicky ketika ditemui di sebuah kafe di pusat kota, Senin lalu.
Dia menjelaskan, Close Combat sedikit berbeda dari game RTS (real time strategy) umumnya. Sebab, untuk memainkannya, gamers tak harus menyusun markas atau benteng lebih dulu, tapi langsung menentukan lokasi peperangan, memilih pasukan, dan bertempur melawan tentara musuh.
Versi orisinal game itu mulai masuk ke Indonesia sekitar 2001. Game tersebut berlatar belakang Perang Dunia II yang mengisahkan pendaratan tentara sekutu di Prancis untuk melawan tentara Jerman.
Setahun berselang, Dicky mulai melihat banyak komunitas yang memodifikasi game tersebut. "Mereka mengubah lokasi peperangannya," katanya.
Tidak lagi di Prancis, tapi bisa di Uni Soviet, Afrika, atau negara lain sesuai keinginan si gamer. Karena lokasi berpindah, otomatis tentara yang berperang ikut diubah. Jika lokasi yang dipilih adalah Uni Soviet, yang berperang tentu tentara Rusia dan Amerika. "Bukan lagi sekutu melawan Jerman," ujarnya.
Melihat tren itu, muncul ide di kepala Dicky untuk membuat game dengan setting perang kemerdekaan di Indonesia. Dia memilih perang 10 Nopember 1945 di Surabaya. "Kedahsyatan perang itu bisa dibilang sudah melegenda. Gelegarnya pun tak kalah dari perang-perang besar di Eropa. Seru juga jika dibuat versi game-nya," ungkapnya.
Lewat game tersebut, Dicky juga berharap generasi muda masa kini mengenal siapa saja pahlawan yang berjasa dalam perang tersebut.
Demi mewujudkan ide itu, Dicky mengontak Yusuf, salah seorang rekan yang kebetulan sama-sama bergerak di bidang grafis dan pencinta Close Combat.
Namun, rencana mereka sedikit terhambat lantaran terbentur bidang pemograman. "Latar pendidikan saya adalah desain grafis. Untuk game itu, saya mungkin bisa membuat animasi dan tampilannya. Tapi, untuk memodifikasi data programnya, saya menyerah," ungkapnya.
Dia lantas menghubungi teman yang lain yang bernama Gregorius Satia Budhi. "Dia jago program. Kebetulan, Greg ternyata seide dengan saya. Jadilah kami jalan bertiga," ujar Dicky.
Karena berlatar sejarah, mereka tidak ingin asal-asalan membuat game. Dicky dkk berburu referensi sejarah untuk membuat game berjudul Battle of Surabaya 45 itu seotentik mungkin. Misalnya, pasukan mana saja yang terlibat dalam perang itu. Atau, senjata apa yang dipakai serta informasi lain. "Kami memanfaatkan internet, buku-buku sejarah, sampai ke museum," jelas Greg -panggilan akrab Gregorius.
"Data historis itu berguna untuk menentukan tim-tim yang akan berperang," kata pria yang didapuk sebagai leader pengumpul data sejarah tersebut.
Menurut Dicky, di antara mereka bertiga, Greg paling getol mendalami sejarah Indonesia.
Pekerjaan itu tidak mudah. Sebagian besar data pasukan tentara Indonesia terpencar, sehingga sulit ditelusuri. "Ada kalanya antara buku sejarah yang satu dengan yang lain memuat data yang tidak sama," ungkap Greg, 36.
Dia mencontohkan, dalam salah satu buku disebutkan, tentara TKR yang ikut bertempur berjumlah 10 orang. Namun, pada buku lain ditulis 20 orang. "Akhirnya, daripada bingung, kami mengambil data yang terbanyak saja."
Berbeda dari data pasukan Inggris. Melalui internet, sudah bisa didapatkan data lengkap mulai jumlah orang dalam satu batalyon, siapa saja namanya, hingga senjata yang digunakan. Semua jelas.
"Kalau tentara Indonesia, semua serba nggak pasti. Dalam satu batalyon yang berisi 700 orang, misalnya, bisa jadi yang tentara asli hanya 100 orang. Sisanya pemuda kampung. Itulah yang membuat data-data sulit dipastikan," ujar Greg, dosen Teknologi Informasi di Universitas Kristen Petra itu.
Selain pasukan yang berperang, keotentikan game didukung oleh kostum, tanda pangkat, hingga suara. "Ikon-ikon penting seperti Bung Tomo, Brigjen Mallaby, atau Mayjen Sungkono juga kami buat semirip mungkin seperti asli. Ada pula pidato asli Bung Tomo ketika menyerukan perlawanan terhadap tentara sekutu," jelas Dicky.
Semua itu berkat kerja sama mereka dengan komunitas re-enacment, sebuah komunitas pencinta sejarah. Dicky dkk dibantu Andhika Estiyono, salah seorang anggota komunitas tersebut yang juga dosen Desain Produk Industri ITS.
Selain berhasil mendapatkan rekaman suara asli Bung Tomo, mereka memperoleh data tentang contoh seragam, emblem, hingga senjata tentara pejuang kemerdekaan Indonesia dan Inggris kala itu. "Untuk tentara Indonesia, suaranya di-dubbing dalam bahasa Indonesia. Kalau pas kalah atau diserang mundur, tentaranya bakal misuh-misuh menggunakan bahasa Suroboyoan," ungkapnya.
Bagian tersulit dalam pengerjaan game tersebut adalah mengumpulkan peta foto Surabaya pada era 1945-an. "Sekali lagi, akhirnya kami mengira-ngira peta Surabaya tempo dulu berdasar buku-buku sejarah," ujar Greg. Peta Surabaya masa kini diubah menjadi tempo dulu.
Proyek tersebut dikerjakan secara terpisah sesuai job description. Maklum, ketiganya sama-sama sibuk pada pekerjaan masing-masing di lokasi yang saling berjauhan. Dicky bekerja di Pandaan, Gregorius berprofesi sebagai dosen UK Petra Surabaya, dan Yusuf di Bandung. "Saya, misalnya, bertugas membuat data, mengumpulkan story. Dicky dan Yusuf di bagian animasi serta tampilan," jelas Greg.
Mereka saling bertukar data melalui e-mail. Mereka jarang kumpul bareng. "Tapi, kalau pas sudah bertemu, kami malah nggak ngapa-ngapain. Ngobrol yang lain," ungkap Dicky lantas tertawa. "Bisa jadi, karena dikerjakan sesempatnya, proyek ini belum kelar sampai sekarang."
Mereka bertiga start sejak 10 November tahun lalu. Sekarang baru selesai sekitar 70 persen. "Idealnya, proyek tersebut selesai 10 November tahun ini. Nggak tahu lagi kalau molor."
Begitu tuntas dikerjakan, game tersebut akan langsung di-upload di internet. Semua orang bebas men-download. Untuk memainkannya, tetap dibutuhkan CD installer game Close Combat 5: Invasion Normandy. "Itu sebagai langkah studi banding. Ketika semua sudah nyoba, pasti bakal ada kritik dan saran. Dari situ, kami akan menyempurnakan lagi," kata Dicky.
Ada juga rencana mendemokan game tersebut di museum-museum Surabaya. "Jarang ada game berbahasa Indonesia dengan bahasa Suroboyoan pula."
Mengapa tidak dikomersialkan? "Nggak semudah itu. Game tersebut bukan karya orisinal. Kami nge-hack dari game lain, terus kami rombak. Kalau dijual, bakal jadi masalah nanti," tegas Dicky.
Setelah Battle of Surabaya 45 selesai, Dicky dkk akan membuat game seri perang kemerdekaan Indonesia lainnya.
Tak melulu peperangan yang terjadi di Surabaya, tapi juga perang kemerdekaan di daerah lain. "Mungkin nanti kami membuat game perang 5 Jam di Jogja atau perang Puputan di Bali. Yang penting, kita cari peta lokasinya dulu, baru dibuat," ujar Dicky. (*)
http://www.jawapos.co.id/index.php?a...il_c&id=283519
Share This Thread