”El cepet bangun sarapan udah disiapin tuh”
Suara lembut seorang gadis membuka hari Rafael.
Gadis itu kemudian membuka gorden jendela kamar, membiarkan cahaya matahari masuk ke kamar itu dan mematikan AC yang masih menyala.
“Cepetan bangun udah siang”
“Hemm”
Pemalas itu menarik lagi selimutnya, menutupi matanya yang silau terkena cahaya matahari.
Gadis itu keluar dari kamar itu seperti yakin bahwa pada akhirnya si pemalas ini akan bangun juga.
Suara guyuran air dari kamar mandi, suara riuh mesin cuci, dan suara mobil yang sudah lalu lalang seperti beresonansi di telinga pemalas ini.
Dia pun terpaksa bangun dan menyudahi mimpi indahnya.
“Huamm, jam berapa sih?”
Pertanyaan paling lazim dari seorang pemalas yang selalu bangun siang, berharap bahwa ini masih jam 4 pagi dan dia bisa tidur lagi.
Namun sial, pertanyaan ini biasanya berakhir pada kenyataan bahwa mereka sudah terlambat dan hari sudah siang.
“GAWAT, UDAH JAM 8”
Bagai karyawan yang hampir di PHK karena selalu terlambat, pemalas ini akhirnya bangun dengan rambut yang tidak karuan dan mengacaukan tempat tidurnya.
*Tap tap tap* suara langkah kaki pemalas itu yang buru-buru lari ke kamar mandi, hanya untuk mengetahui bahwa kamar mandinya masih dipakai.
“Sarapan dulu sana baru mandi, si Kellen masih pake kamar mandinya tuh”
“Oh gitu, oke deh”
Aroma mie goreng dan nasi goreng sangat pekat di tempat itu, menggugah perut lapar yang belum diisi sejak tadi malam.
Memang kelihatannya sangat sederhana, tapi jika kau kelaparan apa kau sempat protes masalah makanan apa yang disediakan?
Sama juga seperti pemalas ini, dia akan memakan semuanya yang disediakan didepannya karena menurutnya setiap makanan adalah anugrah untuk perutnya yang kelaparan.
Seperti itulah kebiasaan mereka bertiga setiap pagi di JSS (Jeremiah’s Special School) Dormitory.
Layaknya asrama pada umumnya, JSS Dormitory memiliki fitur-fitur yang cukup lengkap. Alat-alat seperti AC, kulkas, mesin cuci dan dapur dengan peralatan lengkap telah tersedia hanya tinggal bagaimana kau menggunakannya.
JSS Dormitory, bagaimanapun kau melihatnya lebih terlihat seperti sebuah apartemen mewah ketimbang asrama siswa.
“Oi el, tolong ambilin sikat gigi gw dah dilemari”
“Yaelah lu lari ambil sendiri juga gw ama Lucia ga bakal liat”
“Udahlah tolong malu gw lari sambil telanjang, dingin pula”
Lucia, satu-satunya wanita yang tinggal diasrama itu agak geli membayangkan hal ini saat ia mendengarnya.
“Iye-iye sabar”
Meninggalkan sarapannya, Rafael bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kamar sebelum dia bertemu Lucia yang sedang menunggu cucian didepan mesin cuci.
*Jreg jreg jreg* bunyi yang sangat mengganggu kalau dipikir, tapi tak apalah yang penting bisa mencuci pakaian tanpa perlu mengeluarkan tenaga begitu mungkin pikir mereka.
Lucia seperti biasa sudah mengenakan seragam sekolah”.
Rambut hitam panjangnya diikat, mungkin karena dia terlalu malas mengurusnya, tetapi tetap saja kecantikannya tak berkurang sedikitpun. Matanya berbinar seperti cahaya mentari pagi, jari-jarinya yang lembut membalik-balik halaman majalah yang dipegangnya.
“Ngapain lu el?”
Tanyanya sambil membaca majalah wanita yang sedang dipegangnya tanpa mengalihkan pandangan dari majalah itu.
“Ngga itu si Kellen minta ambilin sikat gigi katanya dilemari”
“Oh, yaudah gw aja yang ambilin udah lu lanjutin sarapan lu aja”
“Ngga udah gw aja gpp”
“Yaudah kalo gt”
Meskipun mereka tinggal di asrama bersama tetapi Lucia-lah yang paling banyak mengerjakan rumah. Mungkin karena naluri kewanitaannya yang tinggi atau karena dua orang laki-laki disitu tidak dapat dipercaya melakukan pekerjaan itu.
“Nih kel”
“Oke, thanks yo”
“Ho’oh”
Namun diantara mereka bertiga, yang paling kurang berguna adalah Rafael karena meskipun Kellen kerjaannya hanya bermalas-malasan di depan TV tetapi Zealnya yang membuat dia mampu berlari cepat sangat berguna apabila Lucia membutuhkan sesuatu yang harus dibeli di supermarket.
Oleh karena itu Rafael selalu berusaha untuk mengerjakan hal-hal kecil yang bisa dikerjakannya.
“El, gantian tuh mandi gw udah selesai”
“Ok, bentar gw selesain makan dulu”
Lucia hanya memasak dua kali sehari bila hari biasa, dan tiga kali saat hari libur. Dua orang laki-laki disana hanya tau makannya saja, mereka tak pernah menanyakan apa yang akan dimasak oleh Lucia, sukur-sukur jika enak, tetapi sejauh ini Lucia tak pernah memasak makanan yang tak enak.
Kellen melemparkan handuk yang selesai dipakainya ke Rafael dari kamar ke ruang makan dengan membuka sedikit pintu kamar, pemandangan yang sudah biasa di asrama itu.
Rafael lalu meninggalkan meja makan dan ke kamar mandi dengan membawa handuk yang ditangkapnya barusan.
Seperti pergantian pemain, sekarang Kellen sarapan di meja makan dan Rafael mandi di kamar mandi.
“Ci emang kita hari ini masuk jam berapa?”
Tanya Kellen sambil mengunyah makanan dimulutnya, membuat bicaranya tidak karuan.
“Jam 9 kel, eh lu tolong panasin mobil deh, gw lupa”
“Ok”
*Zruassh* suara Kellen berlari mengambil kunci kemudian ke lantai paling bawah melalui tangga dan memanaskan mobil dengan kecepatan suara.
Hanya dalam hitungan detik, Kellen sudah kembali lagi ke meja makan dan mobil sudah dibiarkan menyala di lantai paling bawah padahal mereka berada di lantai 7.
“Udah ci”
“Ok thanks ya”
“Hemm”
Jawab Kellen sambil mengunyah makanan di mulutnya.
“Eh kel ntar tolong angkat jemuran didepan ya, gw mau ganti rok dulu rok gw basah ini”
“Iye-iye”
Lucia berjalan ke kamarnya, sementara itu Rafael sudah selesai mandi dan keluar dari kamar mandi telah memakai seragam sekolah.
“El tadi kata Lucia tolong angkatin jemuran”
Kellen sudah tau bahkan tanpa dibohongi pun Rafael pasti mau mengerjakan hal-hal kecil seperti itu.
“Ok”
Hanya dalam beberapa detik di tangan Rafael telah dipenuhi pakaian kering yang diangkatnya.
“Diangkat kemana nih?”
“Ga tau, bawa ke kamar Lucia aja deh”
Kellen masih saja mengunyah makanan dari tadi, sampai pas Rafael didepan kamar Lucia dia baru ingat kalau Lucia sedang mengganti roknya.
Namun terlambat, Rafael sudah terlanjur membuka pintu kamarnya dan melihat Lucia yang setengah telanjang, hanya memakai atasan dan celana dalam sedang memakai rok yang baru sampai dengkul.
“Eh?”
Rafael terdiam sejenak sambil masih memegang pakaian kering di tangannya, matanya terpaku pada paha mulus Lucia yang terlihat jelas didepannya. Wajahnya merah seperti kepiting rebus yang baru matang, kaki dan tangannya tak dapat bergerak sedikitpun.
“…”
“…..”
Mereka berdua terdiam sejenak saling melihat satu dan lainnya, bingung apa yang harus mereka lakukan. Meskipun Lucia telah seperti kakak dari mereka berdua, tetapi tetap saja instingnya sebagai gadis yang masih suci mengatakan bahwa hal ini salah.
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”
Lucia berteriak dan cepat-cepat memakai roknya kemudian mengambil sebuah vas yang ada di meja riasnya dan memegangnya dibelakang kepalanya dengan satu tangan seperti seorang pemain american football professional yang akan melemparkan bola.
“E…Eh.. s..sori g…g…”
Mati gue, mati gue!! seperti seekor ayam yang akan diterkam oleh serigala Rafael ketakutan setengah mati.
Keringat bercucuran, detak jantung tak karuan, benar-benar seperti akan dibunuh.
“Nga..pain… lu….”
Lucia wajahnya merah dan nada bicaranya mengerikan, lebih mengerikan dari hitler pada saat pidato sekalipun.
“DISITUUUUUUU!!”
Dengan kekuatan penuh, Lucia melemparkan vas di tangan kanannya ke arah Rafael yang sedang ternganga.
Vas itu kemudian melesak cepat seperti peluru meriam yang ditembakkan oleh kapal perang, yang bahkan seekor cheetah pun takkan sempat menghindar bila ditembakkan.
*Prang* vas itu mendarat tepat di jidat Rafael.
Iapun terjatuh dan pakaian yang dibawanya semuanya berantakan dilantai.
Namun beruntung baginya, Zealnya yang memberinya proteksi tidak melukainya sedikitpun, hanya sedikit pusing dan nyeri di kepalanya.
Normalnya, orang yang terkena lemparan Lucia akan pingsan atau bahkan koma di rumah sakit hingga beberapa minggu, hal ini karena Zeal Lucia memberikannya kekuatan hercules atau gampangnya gadis ini bagaikan superman minus terbang dan pandangan x-ray.
Gadis ini memiliki kekuatan yang mampu mengangkat beban 1.500 ton hanya dengan menggunakan kedua tangannya. Tetapi dia dapat mengurangi kekuatannya sesuai dengan keinginannya jadi dia tidak khawatir akan menghancurkan barang-barang yang digunakannya, kalau tidak dia akan perlu pensil yang terbuat dari beton hanya untuk menulis.
Kellen melihat itu hanya sebagai kejadian biasa, kejadian yang sudah tidak aneh lagi terjadi di tempat itu, tak ada rasa bersalah sedikitpun dipikirannya. Bahkan dia terlihat tidak perduli sama sekali dan hanya memperhatikan televisi daritadi.
Lucia kemudian keluar dari kamarnya dan membereskan pakaian kering yang berantakan tanpa memperdulikan Rafael yang masih terlentang di lantai.
“Cepet bangun, bentar lagi kita berangkat”
Wajah Lucia masih merah akibat kejadian tadi dan dari nada bicaranya orang bodoh pun tahu bahwa gadis ini sedang marah sekali.
“Et et et et”
Rafael bangun sambil mengelus dahinya yang terkena lemparan tadi.
Pikirnya, untung saja dia sempat memberikan perlindungan fisik pada dahinya, kalau tidak entah akan pecah jadi apa kepalanya.
Lemparan barusan itu kalau dihitung menggunakan ilmu fisika, mungkin sudah melebihi kekuatan tabrakan sebuah truk 32 roda yang sedang mengebut 120 km/jam.
Jangankan kepala, beton pun mungkin akan hancur jika terkena lemparan itu.
Tapi bersyukurlah Lucia masih belum mengeluarkan seluruh kekuatannya, jika Lucia mengeluarkan seluruh kekuatannya, mungkin bahkan sebuah pensil pun bisa memiliki kekuatan penghancur yang sama dengan *** atom hiroshima, sungguh wanita yang mengerikan.
Kalau diperhatikan memang Lucia dan Kellen bagaikan kombinasi Superman dan The Flash.
Sedangkan Rafael?
Entahlah, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu apa kekuatannya ZEAL-nya yang sebenarnya.
Namun yang jelas, dia dapat memperkuat satu bagian atau seluruh tubuhnya sehingga dapat menahan suatu serangan.
Atau mudahnya, fortifikasi.
Ini yang menjelaskan kenapa Rafael dapat menahan lemparan dengan energi jutaan joule barusan.
Mengapa Rafael seperti tidak mengerti apa kekuatannya yang sebenarnya?
Hal ini karena, saat dilakukan pemeriksaan EX-Wave pada saat baru masuk sekolah sebuah pola berbeda dari EX-Wave pada umumnya ditemukan pada gelombang otak Rafael.
Pihak sekolah yang juga kaget dan heran akan hal ini, oleh karena itu Rafael dimasukkan ke Kelas S, Solar Department. Mengapa Solar Department, Class S, Kelas yang seharusnya berisi Solar Zealist tingkat tinggi seperti Kellen dan Lucia?
Pertama, mungkin karena pihak sekolah tidak dapat menjelaskan EX-Wave yang dimiliki Rafael jadi mereka memasukkannya ke Department yang paling banyak muridnya, yaitu Solar Department. Kemungkinan kedua, mereka hanya terlalu malas untuk memikirkan masalah kecil seperti ini, masih banyak masalah lebih besar yang harus diurusi pikir mereka.
Akhirnya Rafaelpun harus menerima keadaannya saat ini yaitu berada dikelas yang dikelilingi oleh Solar Zealist yang kekuatannya sudah jauh melebihi manusia biasa.
Tetapi hal ini seperti menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Rafael, pasalnya karena kekuatan anehnya ini dia bisa bertemu dan satu asrama dengan orang seperti Kellen dan Lucia yang baginya merupakan orang-orang yang sangat menarik.
Lucia dan Kellen pun tidak begitu perduli apa sebenarnya kekuatan Rafael, yang jelas Rafael adalah teman mereka dan mereka siap melindunginya kapanpun dan dari siapapun.
Waktu telah menunjukkan pukul 08.30 dan mereka sudah siap untuk berangkat.
Jarak dari asrama dengan sekolah hanya sekitar 7 km, dan mereka pergi kesekolah dengan menggunakan mobil.
Hari ini yang mendapatkan giliran menyetir adalah Rafael, mereka bertiga bergantian menyetir setiap harinya, tetapi Rafael yang mendapat giliran paling banyak yaitu tiga kali, senin rabu dan jumat.
Karena kejadian barusan tidak ada obrolan sama sekali di dalam mobil itu.
Rafael fokus mengemudi, Kellen menutup mata sambil mendengar musik dari headphonenya, dan Lucia melihat keluar jendela karena masih marah atas kejadian tadi.
Untuk memecahkan kebekuan ini akhirnya Rafael memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
“Ci, hari ini ngga ada tes kan”
Dengan ragu-ragu akhirnya Rafael berbasa-basi dengan Lucia padahal dia tahu bahwa hari ini tidak ada tes apa-apa.
“Ngga”
Respon yang sangat cepat diberikan oleh Lucia, dingin dan langsung menjawab pertanyaan tanpa bertele-tele.
Rafaelpun yang tadinya berpikir dapat memecahkan kebekuan ini ciut dan kembali fokus mengemudi.
“Official bilang ada penyusup masuk sekolah kita”
Lucia tiba-tiba berbicara ditengah kebuntuan itu dengan berita yang mengagetkan.
“Hah masa?, gw gak denger apa-apa masalah penyusup”
Rafael lega, akhirnya Lucia berbicara juga padanya, walaupun dengan berita yang kurang begitu bagus.
“Ya, ini beritanya juga masih simpang siur sih, terakhir gw denger itu juga informasi rahasia dari Official ke pemerintah yang bocor”
“Oh, nee-san kan ikut Lavanthor ya, terus gimana penyelidikannya?”
Lavanthor adalah tim yang dibentuk oleh sekolah yang terdiri dari siswa Zealist terkuat yang bertugas melindungi keamanan sekolah, atau singkatnya polisi sekolah.
“Ya sampe sekarang sih masih dalam penyelidikan, gw juga gak begitu jelas tentang beritanya tapi lu berdua mesti hati-hati soalnya rumor yang beredar di Lavanthor sih penyusup ini Stellar Zealist yang punya kekuatan bisa berubah-ubah bentuk”
“Berubah bentuk?”
Rafael bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ya kayak si Azumi anak Stellar Department gitu, dia bisa ngubah salah satu bagian atau seluruh tubuhnya jadi sesuatu, bahkan bisa ngubah mukanya jadi muka orang lain”
“Oh jadi si penyusup ini di curigain lagi nyamar pake kekuatannya dan berkeliaran bebas disekolah gitu?”
“Ya itu baru asumsi aja sih”
“Kalopun itu orang nekat mau nyerang sekolah tinggal kita hajar aja kan, hahaha”
“Yang ditakutin sih kalo dia nyuri sesuatu data penting dari sekolah ato nyerang siswa satu persatu”
Rafael kemudian tiba-tiba teringat dengan orang yang membunuh ibunya dulu, orang itu juga memiliki Zeal yang sama seperti orang yang dijelaskan Lucia barusan, yaitu mengubah tangannya menjadi sebuah pedang.
Ekspresi wajah Rafael berubah tangannya menggenggam keras kemudi dan dahinya mengerenyit setelah mengingat hal itu.
“Kenapa el?”
“E… Engga papa kok”
“Kalo ada masalah ngomong aja ga usah disimpen-simpen”
“Nggaaa beneran gapapa kok haha”
“Oh yaudah”
Lucia tahu bahwa Rafael menyembunyikan sesuatu darinya tetapi dia memakluminya karena Rafael seperti merasa sudah banyak berhutang budi pada Lucia dan tidak mau menyusahkannya lagi.
Tapi tetap saja, seperti seorang kakak yang cemas akan masalah adiknya Lucia juga khawatir pada Rafael karena tak biasanya Rafael sampai memasang wajah seperti itu.
Hingga mereka sampai disekolah tidak ada lagi pembicaraan lain karena Rafael tidak bicara sedikitpun setelah itu.
Share This Thread