Results 1 to 4 of 4

Thread: Cerpen

http://idgs.in/39335
  1. #1
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default Cerpen

    ini thread adalah untuk cerpen, buat komentar cerpen naro cerpen dan bahas cerpen.. atau mau masukin cerpen karya sendiri juga boleh, tapi jangan lupa MASUKIN NAMA PENULISNYA ok?
    Last edited by MimiHitam; 23-10-07 at 17:47.

  2. Hot Ad
  3. #2
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Candik ala
    oleh GM Sudarta

    Setelah matahari tengah hari tergelincir, langit berangsur berubah
    berwarna kuning. Sinar menyilaukan berpendar-pendar membiaskan kabut
    kuning menerpa seisi alam. Cuaca seperti inilah yang oleh ibu disebut
    sore "candik ala". Suatu sore yang jelek. Suatu sore yang membawa
    malapetaka dan penyakit. Dalam cuaca seperti ini, kami diharuskan
    masuk ke dalam rumah.

    Aku tidak lagi mau bertanya kepada ibu, perihal kenapa kita mesti
    takut kepada cuaca seperti itu. Karena kalau aku bertanya hal-hal
    aneh, seperti misalnya larangan untuk duduk di depan pintu yang nanti
    akan dimakan Batara Kala, akan selalu dijawab dengan nada agak marah,
    dengan kata yang tak kupahami maksudnya: "Ora ilok!" kata ibu.

    Tapi kali itu, setelah beberapa kali mengalami sore candik ala, aku
    tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang ayah, yang sudah
    berbulan-bulan tidak pulang. Ibu seperti menghindar, memalingkan muka
    menyembunyikan wajahnya, sambil jawabnya:

    "Nanti juga kalau saatnya pulang, pasti pulang."

    "Apa nggak kena penyakit karena candik ala, Bu?" tanyaku tak sabar.
    Ibu diam saja.

    Memang, kadang-kadang setengahnya aku kurang percaya dengan hal-hal
    aneh demikian, tapi kadang kala pula hati dibuat ciut dengan kejadian
    seperti yang pernah kami alami tahun lalu. Menjelang tengah malam
    kudengar suara kentongan bertalu-talu, seperti jutaan kentongan
    dipukul bersamaan. Semula terdengar samar-samar, seperti dari
    kejauhan, semakin lama semakin keras seperti semakin mendekat. Ibu
    segera berdiri di balik pintu depan, sambil komat kamit membaca doa.
    Kudengar sepotong doanya:

    "Ngalor, ngalor, aja ngetan aja ngulon."

    Kupeluk kaki ibu karena ketakutan oleh sesuatu yang tidak kumengerti.

    "Ada gejog," kata ibu, "Nyai Roro Kidul bersama bala tentaranya sedang
    berarak menuju istananya di gunung Merapi. Orang yang tinggal dekat
    Segara Kidul, yang pertama kali melihat ombak laut besar dan suara
    gemuruh, mulai memukul kentongan. Itu pertanda Nyai Roro Kidul keluar,
    naik kereta kencana, diiringi para serdadu jin. Kemudian orang desa
    yang akan dilewati rombongan itu beramai-ramai memukul kentongan
    supaya beliau tidak singgah ke desanya. Karena setiap beliau singgah,
    beliau akan mengambi abdi dalem baru."

    Aku tetap kurang paham akan keterangan ibu. Yang aku tahu ibu telah
    berdoa supaya rombongan itu tidak singgah ke sebelah timur Gunung
    Merapi, letak desa kami.

    Beberapa hari kemudian, malamnya, dua lelaki berseragam loreng datang
    ke rumah dan mengajak ayah pergi, sepertinya dengan cara paksa. Ibu
    mengejar sampai halaman depan sambil memohon supaya ayah jangan dibawa
    dengan penuh iba.

    "Ayah dibawa Nyai Roro Kidul ya Bu?" tanyaku.

    "Hush!" jawab ibu sambil bergegas langsung masuk kamar tidur. Kudengar
    tangisan ibu menyayat hati.

    Berita tentang perginya ayah merebak ke seluruh desa. Meskipun tak
    begitu aku pahami artinya, kudengar dari Lik Kasdi, pamanku, bahwa
    ayahku terlibat. Terlibat apa aku kurang jelas, hanya yang kuketahui
    juga dari tetangga bahwa ayahku adalah seorang pegawai negeri yang
    suka memberi penyuluhan kepada para petani.

    Sejak itu, ibu kerap pergi dengan menjinjing rantang berisi nasi
    dengan lauk ikan asin dan sayur daun singkong kesukaan ayah. Kami,
    anak-anak, tidak diperkenankan ikut serta. Beberapa kali, aku yang
    merasa anak terkecil suka merengek minta ikut. Dengan sedikit marah
    ibu menjawab:

    "Ibu akan nengok ayahmu yang sedang kerja, kamu jangan ganggu dia!"

    Pasti ayah sedang kerja lembur, pikirku. Tetapi beberapa bulan
    kemudian, ibu tidak bisa lagi berbohong, karena kemarin aku dengar
    dari Lik Kasdi, bahwa ayah ditahan di kota.

    Dan dia bercerita panjang lebar, tentang pemberontakan besar. Waktu
    itu yang tertangkap dalam otak kecilku adalah tentang para jenderal
    yang dikorbankan dimakan buaya di sebuah lobang.

    "Ayahmu sedang berjuang," ujar ibu dengan wajah keruh ketika aku tanya
    soal tahanan ayah. Tanpa tahu apakah yang dimaksud dengan berjuang,
    yang pasti aku kerap kali menangis sendirian bila malam waktu tidur
    tiba. Setiap bangun pagi, ibu melihat mataku sembab. Rupanya ibu pun
    tahu akan kerinduanku pada ayah. Kulihat air matanya mengembang.
    Kemudian memelukku erat-erat, dan tangisnya tertahan meskipun air
    matanya deras membasahi pundakku. Jadinya aku ikut menangis tanpa
    kutahu sebabnya.

    Sore itu, cahaya candik ala menyelinap lewat jendela menerpa lemari
    kaca tempat memajang foto ayah dalam bingkai. Mungkin karena rinduku
    pada ayah, kulihat seakan foto ayah bergerak, tangannya melambai
    kepadaku. Terasa di dalam dadaku ada yang menggelepar- gelepar.

    Kudengar pula dari Lik Kasdi, ayah bersama para tahanan beberapa lama
    ini sedang dipekerjakan membuat tanggul sepanjang rawa besar di daerah
    tak jauh dari rumah kami. Katanya tanggul yang sepanjang tiga
    kilometer ini sekaligus untuk jalan penghubung antardesa yang terpisah
    oleh rawa. Karena rinduku tak tertahankan lagi, dengan mengendap-endap
    lewat pintu dapur, tanpa sepengetahuan ibu dan tanpa takut dengan
    cuaca candik ala, sambil membawa pancing bambu, kugenjot sepedaku lari
    kencang ke rawa, dengan harapan ayah masih di sana.

    Setiba di sana, nampak banyak orang berseragam loreng dengan
    menyandang senjata laras panjang. Mereka berjaga di sebelah timur
    rawa, di mana kulihat ratusan orang sedang bekerja menggali tanah dan
    mengangkat batu. Dalam terpaan cahaya kuning, wajah-wajah kurus
    semakin mempertegas cekungan mata bagai mayat hidup. Dadaku
    berdebar-debar, tak sabar untuk bisa cepat-cepat bertemu ayah, yang
    mungkin ada di sana. Beberapa meter sebelum mencapai tempat mereka,
    seorang petugas mengusirku, dan menyuruhku mancing agak jauh dari situ.

    Kutaruh sepeda di pinggir jalan, kemudian duduk mencangkung di atas
    batu padas di pinggir rawa. Dengan berpura-pura memancing, terus
    kutajamkan mataku mencari ayah di antara ratusan orang yang sedang
    bekerja. Langit yang membiaskan warna kuning agak menyilaukan mataku,
    sehingga sulit mencari di mana ayah berada. Ketika langit berubah
    warna memerah, pertanda magrib menjelang tiba, dan ketika aku nyaris
    putus asa, kulihat di kejauhan seseorang berdiri tegak memandang ke
    arahku, sementara yang lain masih bekerja…. Itulah ayah!

    Kulempar pancing, tanpa menghiraukan para petugas, aku pun berlari,
    menangis sambil berteriak keras-keras memanggil ayah. Ayah seperti
    tertegun melihat kedatanganku.

    Tetapi kemudian wajahnya berubah gembira, meskipun kulihat seperti
    dipaksakan. Lengannya terentang menyambutku. Kujatuhkan diriku memeluk
    lututnya dan menangis sejadi-jadinya. Kulihat ayahku sangat kurus dan
    lusuh, tapi nampak diusahakan selalu tubuhnya ditegap-tegapkan.

    "Kapan ayah pulang? Kapan, yah, kapan?" tanyaku berulang-ulang

    Ayah tersenyum lebar sambil jawabnya: "Nanti kalau kerja besar ini
    selesai, cah bagus."

    Beberapa petugas mendekati kami. Ayah bicara kepada mereka beberapa
    saat, kemudian kami dibiarkan berdua. Kami hanya berpelukan sampai
    terdengar peluit tanda usai kerja. Kami bergerak bersama para tahanan
    menuju truk-truk yang sudah tersedia, sambil kupeluk pinggang ayah.

    "Ayah tidak kena penyakit karena candik ala?" tanyaku.

    Ayah tertawa. Sambil mengelus rambutku ayah bekata:

    "Tidak mungkin ayah kena. Ayah sehat karena banyak makan sayur."

    Kemudian ayah membopongku, menciumiku sambil tawanya yang nampak
    dipaksakan pula. "Ayah nanti tidur di p..p..penjara? " tanyaku
    terbata-bata menahan tangis.

    "Siapa bilang, he..he..he, bukan di penjara, tapi di hotel!"

    "Ayah sedang berjuang?" tanyaku kemudian. Ayah nampak kaget.

    "Ibu yang bilang…," kataku menjelaskan. Ayah tertawa mendengar ini.

    Menjelang dekat truk, ayah berjalan dengan tegak sambil menyanyikan
    sebaris lagu Indonesia Raya. Para petugas dan para tahanan
    terheran-heran, memandang kami. Setelah menurunkan aku dari
    gendongannya, ayah melompat ke bak truk. Sambil menoleh kepadaku, ayah
    mengacungkan tinju ke atas, dan katanya keras-keras:

    "Ingat Aryo, kamu harus selalu berjalan tegak, menghadapi nasib apa
    pun. Termasuk kalau ada candik ala…. Dan jangan lupa lagu Indonesia Raya!"

    Barisan truk pelan-pelan semakin jauh meninggalkanku sendirian di
    pinggir rawa. Tak terasa air mata membanjir membasahi pipi.

    "Ayaaaaaaaaah! !" teriakku keras-keras muncul sendiri tanpa kusadari.

    Saat usia sekolahku tiba, suatu malam Lik Kasdi, yang sudah menjadi
    carik desa, datang mengunjungi rumah kami. Di ruang depan dia bicara
    setengah berbisik kepada ibuku. Dari balik pintu kamarku, kutangkap
    pembicaraan mereka, bahwa ayah sudah menyambut maut dengan gagah
    sambil menyanyikan Indonesia Raya, katanya.

    "Saya sudah berusaha keras menolongnya, Mbakyu," ujar Lik Kasdi,
    "Sudah kuberi bukti bahwa Mas Kasman tidak terlibat, melainkan karena
    fitnah bekas bawahannya yang sakit hati karena dia pecat." Aku mau
    menangis keras, tapi terasa tenggorokanku tercekik. Semalam suntuk aku
    terduduk di balik pintu kamar, sambil mendengar isakan ibu dan Yu
    Rini, berkepanjangan di kamarnya.

    Tiga tahun kemudian, ibuku pun menyusul ayah. Bukan karena diambil
    Nyai Roro Kidul, melainkan oleh sakit batuk yang diidapnya sekian
    lama. Yu Rini pun menikah dengan seorang aparat desa dan aku ikut
    dengannya. Berpuluh tahun kemudian, setelah melewati berapa puluh sore
    candik ala, setiap cuaca demikian, ada sesuatu yang pedih, seakan ada
    yang pecah berkeping-keping di dalam dadaku. Dan telah sekian puluh
    tahun pula aku mencoba benar-benar berjalan tegak, tapi sangatlah
    sulit. Hanya karena aku adalah anak kandung ayah. Dan semua orang
    masih saja mengingat ayah adalah ayah kandungku.

    Sekarang ini, aku masih juga mencoba berjalan tegak, meskipun sudah
    sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi hanya baru bisa melata di
    tanah!

    Klaten, 2005

    Catatan:

    Candik ala: pertanda buruk dengan cuaca sore yang membiaskan warna kuning

    Ora ilok: pamali, larangan

    Gejog: barisan roh halus

    Nyai Roro Kidul: Ratu Laut Selatan

    Ngalor, ngalor, aja ngetan, aja ngulon: ke utara, ke utara, jangan ke
    timur jangan ke barat

    Segara Kidul: Laut Selatan

    Kali Woro: sungai besar di lereng gunung Merapi yang dipenuhi pasir
    dan lahar dingin

  4. #3
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Penafsir Kebahagiaan

    Eka Kurniawan

    Pikirnya anak-anak itu menjual jatah mereka kepada seorang lelaki setengah baya yang memperkenalkan dirinya bernama Markum. Lelaki itu muncul begitu saja di satu sore, masuk serta duduk di sofa sambil menenteng koper kecil. Siti membayangkan salah satu dari anak-anak itu juga meminjamkan kunci apartemen kepadanya. Mendengar seseorang masuk, Siti segera keluar dari kamar dan menyambutnya:

    Selamat sore." Markum terkejut dan memandang ke arah Siti. Namun Siti segera berlalu menuju lemari es, bertanya ia mau minum apa. Markum agak tergeragap dan meminta sekaleng minuman soda. Siti membuka sekaleng minuman dan menyodorkannya kepada Markum. Dibukanya jendela, membiarkan angin lembut California menyibak tirai. Setelah minum, Markum tampak lebih tenang dan bertanya:

    "Sejak kapan Jimmi membawamu ke sini?"

    "Sudah hampir enam bulan."

    Markum mengangguk-angguk kecil, mengelus dagunya sendiri, lalu agak ragu kembali bertanya, "Berapa Jimmi bayar kamu?"

    "Ah, berapalah gaji pembantu?" tanya Siti dengan senyum genit.

    Jadi kamu pembantu, pikir Markum.

    Ia tak pernah membayangkan dirinya bakal pergi ke Amerika. Ia hanya pernah membayangkan bisa pergi ke Arab, atau Hongkong, untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kini Amerika memberinya visa selama enam bulan.

    "Lihatlah sisi baiknya: kamu bisa liburan selama enam bulan di Amerika. Melihat salju dan kalau beruntung, berkenalan dengan Julia Roberts," kata pemuda itu, terus terngiang-ngiang seperti bujukan *****.

    Nama pemuda itu Jimmi. Tipikal anak orang kaya yang dikirim bapaknya untuk sekolah ke Amerika, tapi tak ada tanda-tanda ia bakal menyelesaikan pendidikan apa pun. Tawaran Jimmi terdengar agak *******, namun sekaligus memberinya sejenis pengharapan: ia diminta menjadi teman tidur enam mahasiswa, enam hari dalam satu minggu, dan bebas di hari terakhir. Untuk semua itu ia tak perlu memikirkan visa, tiket, tempat tinggal, makan, dan bahkan memperoleh bayaran sebulan sekali.

    Tentu saja awalnya ia melihat ada sejenis muslihat dalam tawaran tersebut dan menatap Jimmi dengan sedikit ragu-ragu. Jimmi meyakinkannya bahwa ini hanya bisnis biasa. Ada untung, ada risiko.

    "Bapakku ngamuk karena sekolahku tak juga rampung, aku butuh tambahan duit. Ini bisnis. Lima orang temanku akan membayarku untuk apa yang bakal kamu lakukan, kamu dapat tiket, visa, tempat tinggal, makan dan jajan. Itu saja."

    Ia masih tak yakin dan kembali bertanya, "Untuk itu kenapa kalian, enam orang pemuda ******* ini, harus membawa perempuan dari Jakarta?"

    Jimmi mengembuskan napas dan berkata sejujurnya, "******* Amerika, hmm, kamu tahu, mahal."

    "Jadi itu alasannya. Mahal dan murah."

    "Itu kalau kamu mau," kata Jimmi buru-buru.

    Otak bisnisnya boleh juga, pikirnya. Itu malam pertama mereka bertemu. Jimmi bukan salah satu pelanggan. Meskipun begitu, ketika Jimmi muncul ditemani seorang temannya, seolah ia sudah mengetahui tempat tersebut. Barangkali pelanggan lama, pikirnya. Mungkin tiga atau empat tahun lalu, sebelum ke Amerika, sering mampir ke tempat ini. Saat itu Jimmi memilih-milih di antara perempuan-perempuan yang menunggu di sofa, dan sekonyong menunjuk dirinya.

    Lalu di dalam kamar, Jimmi tak langsung mengajaknya bercumbu, malahan mengajukan tawaran untuk pergi ke Amerika tersebut.

    "Gimana?" tanya Jimmi.

    "Kupikirkan dulu satu malam."

    "Baiklah. Jadi, siapa namamu?"

    "Lucy."

    "Kita sedang berbisnis, beri tahu aku nama aslimu."

    "Siti."

    Jimmi naik ke tempat tidur dan mulai membayangkan Siti tinggal di apartemennya, serta uang yang akan disetorkan teman-temannya, empat kali dalam sebulan. Jika ia membutuhkan lebih banyak uang, ia bisa menjual jatahnya sendiri ke mahasiswa lain, di malam Jumat. Tanpa tertahan ia tersenyum sendiri.

    "Aku mau ke Tahoe, main ski," kata Jimmi kepada Siti. Meskipun ia nyaris tak pernah pergi sekolah, ia merasa berhak untuk menghabiskan liburan musim dingin dengan pergi main ski, seperti mahasiswa lainnya. "Kamu jaga rumah. Kamu tetap dibayar, tak peduli mereka mau pakai atau tidak. Tak peduli mereka pergi liburan atau tidak."

    Itu artinya aku harus tetap siap sedia dari Senin sampai Sabtu, pikir Siti.

    Itu tak masalah buat Siti. Setelah memutuskan untuk menerima tawaran Jimmi dan berangkat ke Amerika, ia menemukan pekerjaan yang harus dilakoninya tak seberat yang pernah dibayangkannya. Bahkan ini lebih ringan daripada yang pernah dijalaninya di Jakarta. Jimmi benar, di sini ia memperoleh bonus melihat salju (satu kali akhir pekan menjelang musim dingin ini, mereka mengajaknya ke Seattle untuk membuatnya melihat salju), meskipun belum juga bisa berkenalan dengan Julia Roberts. Tak apa.

    Di Jakarta hidupnya tak lebih baik. Tiga tahun ia habiskan di satu tempat pelacuran di daerah Kota, dan tampaknya akan terus begitu hingga tiga atau empat tahun ke depan. Ia belum tahu pasti apa yang akan menghentikannya dari pekerjaan tersebut. Menjadi penjahit di industri garmen seperti dua temannya, hanya akan membuatnya bertahan hidup lima belas hari setiap bulan. Pergi ke Arab, ia takut pulang babak belur dipukul majikan, seperti di koran. Jadi apa salahnya ia memperoleh selingan selama enam bulan ke Amerika? Jimmi bilang, jika bisnis mereka lancar, ia akan memperpanjang visa Siti untuk enam bulan seterusnya.

    "Tapi jika teman-temanmu, atau bahkan kamu, mulai bosan denganku?" tanya Siti.

    "Gampang mencari lima pelanggan baru. Ada ribuan mahasiswa Indonesia di sini. Dan jutaan lelaki," kata Jimmi. "Lagi pula, kalau seorang suami betah meniduri istrinya selama lima puluh tahun, kenapa kami harus bosan menidurimu selama enam bulan?"

    Siti tahu, meskipun Jimmi bukan anak genius, dalam perkara begini ia sangat pintar.

    Di apartemen tersebut mereka hanya tinggal berdua, masing-masing memperoleh sebuah kamar. Jika teman-teman Jimmi datang, mereka akan langsung tinggal di kamar Siti. Mereka punya malamnya sendiri, hanya boleh ditukar atas kesepakatan di antara mereka. Demikian aturannya. Jimmi sendiri akan merayap ke kamar Siti di malam Jumat. Kadang-kadang memang Jimmi merayap pula di siang hari lain. Karena Siti merasa Jimmi memperlakukannya dengan baik, ia tak terlalu keberatan.

    Lain waktu, ada juga anak lelaki lain muncul di malam tertentu, di luar Jimmi dan teman-temannya. Ini bisa terjadi jika salah satu dari keenam anak itu menjual jatahnya ke teman yang lain. Itu boleh dan itu aturan yang sudah disepakati sejak awal.

    "Mungkin mereka pergi berlibur, tapi tak ada yang menjamin mereka tak menjual jatahnya ke anak-anak lain, atau bapak-bapak lain. Jadi selama aku pergi ke Tahoe, kamu tetap di rumah. Siapa tahu ada yang datang. Nanti kubawakan oleh-oleh," kata Jimmi.

    Siti hanya mengangguk dan segera membantu Jimmi memasukkan papan ski Rossignol ke dalam bagasi mobil.

    Sesaat setelah Jimmi pergi ke Tahoe, Siti menyadari ia kebobolan. Ia hamil. Ia tak perlu pergi ke dokter untuk tahu dirinya hamil. Dengan agak panik ia mencoba menghubungi telepon genggam Jimmi, tapi tak tersambung. ***** kecil itu barangkali mematikan telepon genggamnya. Ia semakin panik menyadari bahwa ia tak bisa menentukan, siapa bapak anak itu. Satu dari enam anak, ia tak tahu yang mana. Mereka akan saling melempar, dan tak seorang pun akan mengakuinya.

    Jimmi pernah bilang, "Jaga dirimu, jangan sampai bunting. Menggugurkan kandungan atau melahirkan hanya membuat bisnis kita berantakan, masih untung kalau enggak ditahan polisi federal."

    Ia pernah menggugurkan kandungan dua kali di Jakarta, tapi tak tahu harus berbuat apa di Amerika.

    Saat itulah Markum kemudian muncul. Dalam keadaan kalut, gagasan jahat selalu berada di puncak seluruh pikiran. Jika selama liburan ini hanya ada seorang lelaki yang menidurinya, akan lebih mudah buat Siti untuk menentukan siapa ayah untuk bayi di dalam perutnya. Bahkan meskipun tidak untuk dilahirkan, paling tidak ia bisa menuntut seseorang untuk mengembalikannya ke Jakarta dan menggugurkan kandungan di sana.

    "Kalau mau istirahat dulu, berbaring saja di kamar Siti," katanya memulai langkah pertama. Para pelanggan baru, orang-orang yang menggantikan jatah teman-teman Jimmi, cenderung lambat dan tak mengerti aturan mainnya. Siti juga harus agak sabar menghadapi orang macam begini.

    "Ah, aku istirahat di kamar Jimmi saja," kata Markum gelagapan.

    "Enggak bisa. Jimmi bisa marah-marah. Lagian kamar Jimmi selalu terkunci."

    "Kalau begitu, di sofa saja." Markum mencoba tidak memandang Siti.

    "Mana bisa? Apa kata Jimmi dan teman-temannya? Ayolah."

    Saat itu juga Siti menarik tangan Markum dengan lembut. Dengan roman dungu yang tak dimengertinya sendiri, Markum membiarkan dirinya digiring ke kamar Siti.

    Markum duduk di pojok tempat parkiran, tak jauh dari Jimmi yang masih memegangi lebam di bibirnya. Pipi Jimmi agak pecah dan berdarah. Markum tak memerhatikan Jimmi, menerawang ke langit, dan bergumam seperti bicara sendiri.

    "Kamu tahu, telah lama aku tak berhubungan dengan perempuan."

    Jimmi tahu dan tak membantah maupun mengomentarinya.

    "Entah kenapa, ketika sore itu ia menyentuh tanganku, aku mengikutinya. Tiba-tiba aku sudah berada di kamarnya, berbaring bugil di sampingnya."

    Markum tampak berkaca-kaca, Jimmi masih menutup mulut.

    "Tadinya aku mau tinggal di Four Seasons, sudah booking jauh-jauh hari. Aku datang ke apartemen hanya untuk menengokmu. Akhirnya aku malah memutuskan untuk tinggal di kamar Siti. Jangan tertawakan aku. Meskipun ia hanya seorang pembantu, ia cantik dan tidak bodoh. Aku nyaris tak pernah keluar kamar maupun apartemen selama sepuluh hari itu. Ia memperlakukanku dengan sangat baik dan penuh kasih."

    Tentu saja, gumam Jimmi dalam hati, ia dibayar untuk itu.

    "Lalu kemarin ia bilang hamil…"

    "Apa?" Jimmi terpekik, mencoba berdiri dan memandang Markum. "Hamil?"

    "Ya, hamil. Dan aku bilang akan bertanggung jawab. Aku akan menikahinya."

    "Enggak bisa. Papa enggak boleh mengawininya. Papa enggak tahu itu anak siapa," kata Jimmi sambil berdiri di depan Markum.

    "Saat itu aku tak tahu kalau perempuan itu simpanan kalian, sampai aku kembali dari 7 Eleven dan menemukanmu tengah bugil di atas tubuh Siti."

    Saat itu Jimmi baru pulang dari Tahoe. Saat itu Jimmi benar-benar sedang merindukan tubuh Siti. Meskipun hari masih sore, Jimmi membujuk Siti untuk mau bercumbu dengannya. Akhirnya mereka masuk ke kamar Siti. Markum sedang membeli satu pak rokok ke 7 Eleven di depan apartemen, dan saat pulang menemukan anaknya bergumul dengan perempuan yang baru saja dalam rencana hendak dinikahinya.

    Markum langsung menggiring Jimmi ke tempat parkir dan menonjoknya.

    Selebihnya adalah apa yang kemudian ditulis oleh San Francisco Chronicle mengenai kelakuan orang-orang Indonesia di satu sudut Los Angeles ini dalam sebuah artikel berjudul Interpreter of Happiness. Penafsir Kebahagiaan. Entah kenapa judulnya begitu, kenyataannya tak ada yang benar-benar bahagia di akhir kisah tersebut.

    Dalam keadaan kalut, Jimmi dan Markum membuang Siti dalam perjalanan dari Los Angeles ke Las Vegas. Di keterpencilan Mojave Desert, Siti nyaris mati terpanggang dan kedinginan di sana, sebelum ditemukan polisi patroli delapan hari kemudian. Lima hari setelah itu, Markum dan Jimmi ditangkap di bandara setelah mencoba melarikan diri. Bersama lima mahasiswa lainnya, mereka menjadi tahanan polisi federal.

    Siti ditampung oleh Konsulat Indonesia, dan entah saran siapa, Siti mempertahankan bayi itu. Markum akhirnya bersedia bertanggung jawab secara finansial atas bayi tersebut, untuk mengurangi hukumannya. Namun ketika dilahirkan, semua orang sepakat, bayi itu ternyata mirip Jimmi.

    "Aku tak tahu apakah harus memanggilnya anak atau cucu," gumam Markum, masih agak kesal.

    "Aku tak keberatan menganggapnya adik," kata Jimmi.

    Saat itu Markum benar-benar ingin menonjok Jimmi untuk kedua kalinya.

  5. #4
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Marni! Oh, Marni!
    Palti R Tamba

    Sebuah truk berhenti jauh di depan sana. Truk dengan atap terpal. Semula Nawar, mengira truk itu hendak berhenti di halte, karena itu ia terjaga. Ia mencurigai cara perhentian kendaraan itu. Maka ia pun bersiap-siap melarikan diri.

    Namun Nawar terlambat kabur. Tak terduga olehnya, dua lelaki berseragam sudah berada di sebelahnya. Mereka memegang tangannya kuat-kuat. Mereka menggiringnya.

    Hayo Cepat!? bentak salah seorang sambil menghentakkan lengan Nawar.

    Nawar menatap mereka dengan rasa takut. Meskipun tidak jelas benar terlihat olehnya. Seorang di kiri dan seorang lagi di kanannya. Ia tak tahu hendak berkata apa.

    Apa yang kau lihat, ******!? Yang di kiri mementung kepalanya.

    Nawar meringis. Kedua tangannya meregang. Dalam hati ia berdoa semoga mereka lengah, sehingga ia bisa melarikan diri. Ya, untuk menyembunyikan diri entah di mana saja. Meskipun sebenarnya, ia tak mengenal daerah ini.

    Kau kira ada hakmu untuk mengenali kami, hah...??

    Nawar menatap lelaki di kanannya. Lelaki itu melihat lurus ke depan. Namun, lelaki di sebelah kiri mementung kepalanya lagi.

    Apa, heh?... Kau pikir kau ini siapa...?? tantangnya. ?Barangkali dia pikir dia dapat menuntut kita, Pak Kadim. Dasar anak gelandangan...!?

    Anak gelandangan? Nawar membatin. Aku anak gelandangan?...

    Ayo, cepat! Kami bisa dipecat kalau sampai tamu-tamu negara sempat melihat orang-orang seperti kau!... Dan, aku tak sabar lagi untuk menemani Marni, Pak Kadim...!?

    Tapi, Pak Bobi! Giliran kau menyetir sekarang...!?

    Begitu...??

    Ya, pembagian tugas tetap berjalan, kawan. Jangan ketika kita mendapat kembang kau lupa. Ha, ha... Sekarang aku yang menemani Marni, Pak Bobi...!?

    Pak Kadim memasangkan borgol di kedua pergelangan tangan Nawar. Lalu lelaki berseragam itu menarik remaja kencur itu ke dalam truk.

    Pak Kadim menyenteri muka Nawar, lalu muka setiap orang dalam truk. Namun ketika sinar senter menerpa muka seorang lelaki tua, ia menyuruhnya mendekat. Lelaki berseragam itu membuka satu borgol di pergelangan Nawar, lalu memasangkannya ke pergelangan tangan si tua itu. Ia pun turun dengan tenang tanpa berkata apa-apa. Ia cuma bersiul.

    Truk pun melaju. Dalam truk, ada enam lelaki. Tiga di antaranya anak-anak, tapi ada lebih banyak perempuan. Anak-anak, remaja dan perempuan dewasa.

    Nawar sebisanya melihati muka mereka. Samar-samar. Marni, di mana kau berada? Kaukah yang mereka percakapkan? Bisik hatinya.

    Kau mencari siapa, Nak...?? tanya lelaki tua?teman satu borgolan, pelan.

    Marni....? Remaja kencur itu mengangguk. Angin malam mencubit-cubit kulit.

    Truk tiba-tiba direm, orang-orang yang berdiri ada yang terjerembab. Dua perempuan terjatuh bagai batang tebu ditebas golok tajam. Si lelaki tua terkekeh-kekeh. Kedua perempuan itu secara spontan melontarkan sumpah serapah berkali-kali kepada dua lelaki berseragam di jok depan.

    Kau mencari siapa, Nak...?? Si lelaki tua kembali menanya Nawar.

    Marni, Pak, eh, Kek..,?

    Marni yang mana...??

    Nawar menghela nafas, meragu. Marni yang mana?... Ada berpuluh-puluh Marni di kota ini... Atau mungkin ada beratus-ratus Marni di kota ini?... Kota apakah ini sehingga mengumpulkan berpuluh-puluh, beratus-ratus orang bernama Marni?...

    Si lelaki tua menatap Nawar dekat-dekat. Si lelaki tua lainnya dan istrinya mendekatinya. Sementara yang lainnya larut dalam diam, seolah bisu, buta dan tuli.

    Tak usah takut, Nak...,? kata lelaki tua itu. ?Kita ini dibawa ke rumah penampungan. Biasalah.... Dikasih?apa istilahnya??pengarahan.... Dipulangkan.... Ya.... Beberapa hari berikutnya, kita datang lagi....?

    Si lelaki tua beristri mendekatkan muka ke muka Nawar. ?Sepertinya aku pernah bertemu kau.... Dari tadi aku mengingat-ingat... sejak mukamu disenteri petugas itu...!?

    Bapak... eh, Kakek pernah bertemu saya...?? tanya Nawar.

    ?Ii-iya. Di tanah lapang!... Aku tak tahu nama tempat itu, tapi.... Waktu itu, di tempat itu ada orang bermain bola kaki.... Aku dan istriku ada di situ...!?

    Waktu itu? Nawar menggigit bibir. Ia tak mengingatnya.

    Aku membawa kantong plastik hitam besar. Kami diberi orang nasi kotak berisi ayam goreng. Kami mengajak kau makan. Tapi kau menolak.... Iya kan...??

    Sungguh. Nawar tak pernah melihat pasangan orangtua ini sebelumnya. Namun, ia pun tak jelas ingat sejak kapan di kota ini.... Dua hari lalukah? Seminggu lalukan?... Oh! Ia bahkan merasa sudah berbulan-bulan meninggalkan kampung di Brebes sana.

    Kenapa? Belum ingat...?? kata si lelaki tua beristri. ?Tidak apa-apa....?

    Ti-dak pernah, Pak, eh Kek....?

    Truk melalui jalan yang terang benderang. Di kiri dan kanan jalan gedung-gedung perbelanjaan bermandikan cahaya lampu. Terang benderang, seperti pada siang hari. Nawar bersama si lelaki tua dan beberapa orang lainnya bergeser ke tepi bak truk untuk melihat ke luar: gedung-gedung, bermacam-macam billboard, mobil-mobil dan orang-orang yang berjalan kaki. Ada bapak dan ibu menggandeng dua anaknya menyeberang jalan di sebelah sana. Ada anak-anak kecil mengamen di jalan sebelah sini ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Namun, anak-anak itu berlarian sesaat melihat truk itu.

    Kemudian truk itu berbelok ke kiri. Kira-kira sejauh satu kilometer, berbelok ke kanan lagi. Memasuki jalan yang sepi. Ada tiang-tiang lampu jalan, tapi lampunya tak menyala. Dan truk pun berhenti. Dan beberapa menit kemudian Nawar mendengar suara-suara perempuan. Terdengar pula besi palang truk dilepas.

    Aku tak mau, Pak...?

    Akan dibawa kemana kami, Pak..??

    Nawar melihat empat perempuan dipaksa naik ke truk. Bau parfum mereka yang khas seperti menyambut penciuman Nawar. Setelah mereka naik, si lelaki berseragam itu memasang borgol di tangan mereka. Bagai domba yang dibawa ke pembantaian, perempuan-perempuan itu tak melawan.

    Lelaki berseragam itu turun, lalu memasang besi palang truk. Dan truk melaju lagi. Keempat perempuan itu saling berpegangan.

    Marni yang mana yang kau maksud, Nak? Aku bisa memberitahumu...?? suara si lelaki tua, lagi.

    Ya, mungkin aku kenal juga...? tambah lelaki tua beristri, melihat istrinya.

    Kami...,? ralat istrinya seraya mencubit lengannya.

    Ya, ya. ka-mi....?

    Nawar mendekatkan muka ke sisi lelaki tua dan perempuan tua itu. ?Kakak saya.... Dimana dia kini, Kek? Saya mau ber....?

    Kakak kau, Nak...?? tanya ketiga orang tua itu, bersamaan.

    Ya...,?

    Lelaki tua itu menggeleng. Lelaki tua beristri menggeleng, diikuti istrinya.

    Aku ini Marni...!? terdengar tiba-tiba.

    Nawar, si lelaki tua, lelaki tua beristri dan istrinya dan orang-orang lainnya melihat seorang perempuan mendekat dengan mendekapkan tangan ke dadanya. Samar-samar.

    Tapi, aku Marni dari Kemakmuran...!? katanya dengan suara berat.

    Dari Jalan Kemakmuran, Sayang!? ralat temannya dengan suara berat juga.

    Ya, ya, Sayang....?

    *******? Nawar sering menonton ******* di tv, entah dalam acara lawak ataupun sinetron. Dan sekarang, ada di hadapannya. Mereka persis perempuan. Tapi suara yang berat itu jelas milik lelaki!....

    Kau ini perempuan apa laki-laki?? tanya lelaki tua itu.

    Ai, ai, kota lontong!.... Sudah truk larinya tak karuan, ditanya macam-macam lagi, ya, Sayang,? ujar seorang dari ******* itu. Dia memeluk temannya karena hampir terjerembab. Lalu kedua ******* itu berpegangan ke tepi bak truk. Berlompatan sumpah serapah dari mulut mereka.

    Si lelaki tua mengajak Nawar duduk. Nawar menaruh matanya ke langit sana. Namun kemudian, setelah menaikkan kedua lututnya dan menaruh kepalanya di situ, Nawar memejamkan mata. Lambat-laun, Nawar merasa ada air mata yang keluar dari sudut-sudut kelopak matanya.

    Seingat Nawar, seturun dari bus, ia dan Marni ke luar terminal. Marni mengirim SMS ke majikannya yang perempuan. Di luar terminal itu, mereka menunggu sang majikan yang akan datang menjemput. Tapi kemudian seorang lelaki mendekati Marni. Marni bercakap-cakap girang dengan lelaki itu. Marni memperkenalkan pacarnya itu kepada Nawar sebagai sopir yang khusus mengantar jemput anak-anak majikan mereka ke dan dari sekolah, serta ke mana pun. Ya, Marni pernah cerita pada Nawar tentang lelaki itu yang mengirim SMS menanyakan kepulangannya. Lalu, lelaki itu mengajak Marni dan Nawar masuk mobil. ?Supaya kita jangan kemalaman tiba di rumah,? kata lelaki itu.

    Seingat Nawar, Marni sempat menanyakan mobil yang dikemudikan lelaki itu. Karena mobil itu bukan mobil yang biasa dikemudikan lelaki itu. ?Mobil sedang di bengkel,? demikian jawab si lelaki.

    Mereka pun meninggalkan terminal. Di tengah jalan agak sepi, mobil berhenti, dan naik dua lelaki lagi. Nawar mendengar Marni menanyakan sang pacar tentang dua lelaki yang baru naik itu. ?Teman. Mereka numpang karena searah,? jawab lelaki itu.

    Kira-kira lima menit berlalu, mobil itu mengambil jalan ke pinggir dan dengan kecepatan lambat. Marni yang duduk di jok depan diajak si pacar bercakap-cakap terus. Nawar yang semula duduk di sebelah dalam di jok tengah, disuruh pindah oleh dua lelaki yang duduk bersamanya itu ke pintu kiri. Kemudian seorang dari mereka membuka pintu pelan-pelan. ?Aku kegerahan,? katanya. Dan semakin lebar. Dan tiba-tiba, dua lelaki itu mendorong Nawar keluar.

    Seingat Nawar, ia menjerit-jerit minta tolong, tapi ia pun tak berhasil mengenali mobil yang mereka tumpangi itu.

    Nawar terbayang bagaimana Marni membujuknya agar ikut ke kota besar ini selepas lebaran. Majikan Marni telah menyetujui Nawar dibawa serta. Mendengar cerita Marni tentang kebaikan majikannya, sebenarnya Nawar merasa biasa saja. Walaupun tak bisa ia pungkiri ada keinginan terpendam untuk melihat kota besar ini. Karena selama ini, ia hanya melihat lewat siaran tv milik tetangga. Bapak membujuk, Nawar bergeming. Namun ijin ibu-lah yang membuat Nawar luluh. Ibu yang berjanji akan menggembalakan tiga ekor kambingnya itu. Bapak yang akan menggantikan Ibu bila Ibu mendapat kerja upahan. Bapak akan membagi waktunya untuk menarik becak dan menggembalakan ternak itu.

    Sampai lebaran tahun depan tak lama, Nak. Asal rajin dan tekun, kau akan pulang bawa uang. Bisa buat biaya adikmu Agus menyambung SD nya dan biaya Tini masuk SD. Kalau kau rindu kami, kan ada kakakmu.... Bila matahari di ufuk barat, ingatlah bahwa Ibu atau Bapakmu sedang membawa kambingmu ke kandang....!? kata ibu malam itu....***

    Cikarang Selatan, Juni 2006

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •