Di keremangan mentari pagi, hanya suara isak tangis Rinne kecil yang terdengar.
Setelah beberapa lama terdiam, akhirnya Felix berkata, “Aku tak tahu apa yang terjadi dengan keluargamu, tapi.. aku tak ingin kamu menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi padaku ! Dengar Rinne, kondisiku ini bukan akibat dirimu. Ketika kecelakaan itu, aku sendirilah yang memutuskan untuk menolongmu !”
Rinne tidak menjawab, tapi Felix sudah tidak mendengar isak tangisnya lagi.
Tiba-tiba terdengar suara lemah Rinne, “Aku selalu bertanya pada Tuhan, mengapa semua ini terjadi ? Mengapa orang-orang yang dekat denganku, meninggalkanku satu per satu ? Apa semua ini gara-gara aku berdosa ? Apa aku... memang sebaiknya nggak pernah terlahir ?”
Rinne muncul di sisi Felix, dengan wajah memelas.
Sambil memandangnya, Felix-pun bertanya, “Sebenarnya, kehidupan seperti apa yang kamu alami, sampai kamu berpikir demikian ?”
“Apa aku yang dari masa depan, nggak bilang apa-apa sama kakak ?”
Sekilas Felix teringat kata-kata keras Rinne, ‘Takkan ada yang akan menangis untukku ! Jangan bicara seakan kamu tahu tentang diriku !’
“Dia tak menceritakan masa lalunya. Tapi dari kata-katanya, kutebak kalau masa lalunya tidak bahagia. Benarkah dugaanku ?”
“Tidak.. bahagia ?”, Rinne kecil-pun menunduk, “Bahkan sampai sekarang, aku nggak ngerti apa itu yang disebut ‘bahagia’. Tapi kulihat rumah kakak besar, dan orang tua kakak sangat sayang sama kakak, jadi kurasa itu yang disebut ‘bahagia’ ya ?”
Felix tertegun. Lalu, setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Felix bertanya lagi, “Rinne, apakah kamu bisa menceritakan mengenai kehidupanmu padaku ?”
“Mama meninggal tak lama setelah melahirkan aku.”, Rinne kecil-pun memulai mengisahkan hidupnya.
“Tapi karena waktu itu aku masih kecil, aku nggak ngerti apa-apa. Yang kutahu hanyalah papa selalu marah-marah, sambil memukuliku. Dan papa selalu bilang, kalau lebih baik aku nggak pernah lahir. Belakangan aku baru paham, kalau papa sebenarnya sangat sedih kehilangan mama, yang meninggal akibat melahirkanku. Lalu pada saat aku lima tahun, suatu pagi papa udah nggak ada di rumah. Kayaknya papa nggak tahan lagi melihatku, dan meminta paman untuk mengurusku. Oh, paman itu maksudnya adik papa.”
Rinne kecil terdiam sejenak; Pandangannya tampak menerawang. Lalu ia melanjutkan.
“Suatu hari, paman dan bibi datang. Paman tampak ramah, sementara bibi tampak cemberut. Mungkin karena mereka sudah punya seorang anak, jadi bagi bibi, aku ini cuma menjadi beban saja. Bibi selalu bersikap dingin, dan kakak angkatku-pun menjadikan diriku sebagai bahan olok-olokan. Tapi setidaknya, paman tetap baik padaku. Ya, begitu pikirku waktu itu.”
Felix-pun menyela, “Apa maksudnya dengan ‘begitu pikirmu waktu itu’ ?”
Rinne kecil menunduk, dan selama beberapa saat, ia tak mengatakan apapun.
Apa telah terjadi sesuatu yang sangat menyakitkan dirinya ?
Suara Rinne kecil selanjutnya terdengar agak gemetar.
“Hal itu pertama kali terjadi.. pas ulang tahunku yang ke-tujuh. Bibi dan kakak angkat memang selalu pergi pas hari ulang tahunku, jadi aku hanya berdua dengan paman di rumah. Paman membeli kue, dan aku senang banget. Tapi setelah makan kue, tiba-tiba aku merasa ngantuk. Dan ketika terbangun, aku...”
Felix menyadari, mungkin sebaiknya ia menghentikan Rinne.
“Sudah cukup Rinne ! Maaf, aku sudah membuatmu kembali teringat hal-hal yang...”
Tapi Rinne langsung menggeleng keras-keras.
“Nggak ! Udah terlalu lama aku menahan semua ini ! Padahal aku ingin menceritakan pada seseorang... aku udah nggak tahan, Kak !”
Sejenak, hanya keheningan yang ada di kamar itu.
“Waktu itu aku nggak ngerti, kenapa aku bisa ada di kamar paman ? Kenapa aku nggak pakai baju ? Dan kenapa paman ada di sampingku ? Kemudian paman mengancam, agar aku jangan bilang apapun kepada bibi. Karena takut, aku-pun menurut. Dan paman melakukan hal itu, setiap bibi dan kakak angkat pergi. Aku selalu takut, karena paman terus mengancamku. Tapi pada suatu hari, bibi mendadak pulang cepat. Melihat aku dan paman, bibi langsung marah dan langsung menyerangku. Karena ketakutan, aku berusaha kabur, tapi bibi terus mengejarku. Akhirnya aku terpojok di balkon. Ketika bibi hendak menangkapku, aku menghindar, dan bibi-pun terjatuh. Paman berusaha membawa bibi ke rumah sakit, tapi tak tertolong. Semenjak itu, paman sama kayak papa, terus minum-minum dan memukuliku. Karena nggak tahan, akhirnya aku kabur dari sana.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masa lalu Rinne...
Share This Thread