==========================================
Chapter 17: Road to Exaltation ~ Re:Genesis (Part 2)
==========================================
Nyaris saja tanganku mendarat di pipinya. Resha tidak berusaha menahan tamparanku dengan tangannya, hanya menutup mata rapat-rapat, sedikit gemetaran.
“Huff…maaf, aku terlalu emosi.”, kutarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Kuturunkan tanganku, kemudian berkata dengan lebih tenang, “Ada apa sebenarnya denganmu hari ini?”
Dia tidak menjawab. Namun, kali ini reaksinya berbeda. Kepalanya hanya menunduk, kedua tangannya dikepalkan di atas lututnya, terlihat gemetar.
“S-Seharusnya…aku yang bertanya…”, suaranya sedikit terbata-bata.
“Eh? Aku? Kenapa dengan diriku?”, tanyaku kebingungan. Aku tidak lagi marah.
“Kamu…”, tangan kanannya mengusap mata. “Kenapa selama tiga hari ini…kamu terus mengacuhkanku? Apa aku…melakukan kesalahan padamu…?”, tanyanya dengan terisak-isak.
Memoriku mencoba menelusuri apa saja yang sudah terjadi tiga hari belakangan. Hari kedua, Resha masih tertidur ketika tugas diberikan. Hari ketiga, Resha pergi entah kemana. Begitu juga dengan hari keempat. Memang benar, selama tiga hari ini aku sama sekali tidak berkomunikasi dengannya. Tapi itu bukan karena aku marah, hanya saja aku terlalu lelah sehingga langsung tidur begitu saja.
“Jadi kamu berpikiran kalau aku sedang kesal padamu atau semacamnya?”
Dia hanya menjawab dengan mengangguk dua kali.
“Hei…tenanglah. Aku tidak punya alasan apapun untuk ma---“
Entah apa yang merasuki pikiranku, namun aku mendadak menyadari sesuatu saat memperhatikan Resha yang sedang menangis itu.
Aku sadar, memang dirikulah yang bersalah. Bagi sebagian besar orang, diacuhkan dua tiga hari karena alasan pekerjaan mungkin adalah hal biasa. Aku sendiri tidak pernah marah pada kedua orang tuaku jika mereka tidak bicara padaku karena kerja lembur beberapa hari berturut-turut. Aku bisa mengerti. Tapi…berbeda dengan Resha. Dia sudah terlalu lama kesepian, sendirian, tidak ada orang yang bisa dekat dengannya. Aku yakin, meski dia sudah belajar mengendalikan emosinya, jauh di dalam dirinya…dia masih menyimpan masa lalunya yang kelam. Hasilnya, dia tidak mungkin bergaul dengan orang lain secara normal.
Ya, benar. Ini salahku. Akulah yang tidak memahami perasaannya. Dia tidak punya siapapun lagi, hanya diriku seorang. Kurasa ketakutannya akan kesendirian muncul kembali begitu menyadari kalau aku mengacuhkannya, meski aku tidak bermaksud demikian.
Kududuk di sebelah kanannya, lalu memeluknya dengan hangat.
“Maaf ya. Aku sadar sudah mengacuhkanmu beberapa hari ini. Sungguh, aku tidak ada maksud sama sekali untuk mengabaikanmu. Aku hanya tidak punya cukup tenaga begitu kembali ke tempat ini.”
Tangisannya makin menjadi. Dia balas memelukku, terasa makin erat.
“Kamu tidak marah lagi kan?”
Aku bisa merasakan gelengan kepalanya di dekapanku. Berarti dia sudah tidak marah. Kutatap wajahnya, melihat jauh ke dalam matanya yang basah itu.
“Lain kali, katakan saja apa yang ada di pikiranmu. Apapun itu, aku janji tidak akan marah. Kalau diam saja tanpa mengatakan apapun, itu malah membuatku bingung…”
“I-Iya…aku juga minta maaf kalau tadi sudah membentakmu…aku hanya…”, ujarnya sambil menghapus air matanya.
“Ingin supaya aku tidak meninggalkanmu?”, kutatap wajahnya dengan senyuman.
“B-Begitulah…t-tapi jangan menganggapku manja atau semacamnya…”, jawabnya dengan wajah yang sedikit memerah.
Mendadak kertas itu melayang di depan kami berdua.
“Oke, oke, sudah cukup mesra-mesraannya.”
“Siapa yang mesra-mesraan, hah?!”, spontan kami berteriak.
“Hahaha…kalian ini lucu juga ya. Ya udah, besok jangan ada acara ngambek-ngambekan lagi. Sekarang, tidur. Masih ada tantangan buat besok.”
Hari kelima.
“Jangan bilang kalau hari ini aku harus mengembangbiakkan hewan laut dan burung…”, ujarku refleks.
“Wew, jelas nggak lah. Bisa-bisa nanti ada ledakan populasi hewan. Bahaya. Masih ada hubungannya sih sama hewan laut dan burung-burung. Kali ini kalian harus menangkap 2 jenis hewan, masing-masing 7 ekor. Ingat!! Jangan menangkap hewan lain!! Petunjuknya segitu aja ya, nggak gitu susah kok cari tahu hewan apa yang harus ditangkap.”
“Wah, kalau hanya sekedar menangkap hewan sih aku jagonya…hehehe...”, sahut Resha.
“Huh…kamu sih cocoknya berhadapan dengan singa dan beruang…”
“Dasar gila…ya sudah, pikirkan saja nanti sambil makan di bawah. Ingat, jangan meninggalkan aku sendirian lagi, mengerti?”
“Iya, iya…bawel.”
Selagi di meja makan, aku terus memikirkan hewan apa yang harus ditangkap. Kisah penciptaan di hari kelima adalah penciptaan makhluk-makhluk air dan burung-burung. Kemungkinan besar, dua hewan yang harus ditangkap adalah satu jenis burung dan satu jenis ikan atau hewan laut lainnya. Tapi apa? Laut Mediteranea di selatan sangatlah luas. Ditambah lagi, tidak boleh salah tangkap. Begitu juga dengan burung. Seluruh daratan yang berbatasan dengan laut di selatan itu memiliki berbagai spesies burung.
“Sudah tahu apa yang harus ditangkap?”, tanya Resha setelah menelan sekerat roti.
“Aku yakin yang harus ditangkap adalah satu jenis burung dan satu jenis ikan atau makhluk laut lainnya. Tapi kita harus hati-hati, tidak boleh sampai salah tangkap.”
“Benar juga…kalau begitu setelah ini coba kita keluar yah, siapa tahu dengan melihat burung-burung dan gerakan ombak laut, akan terpikir sesuatu.”
Setelah siap dengan sarung tanganku, kami berjalan ke arah selatan. Laut Mediteranea terbentang luas hingga ke tapal batas horizon. Sesekali terlihat kapal nelayan ataupun kapal wisata bergerak menyusuri laut.
Pandanganku terpaku pada horizon. Dari kejauhan, terlihat layaknya sebuah garis lurus yang membatasi laut dan langit. Ah, aku jadi ingat hari kedua. Waktu itu, aku harus membuat air di langit dan laut ‘bertemu’. Hujanpun kuturunkan untuk memenuhi tugas kedua itu. Tunggu. Hari pertama dan hari keempat saling berhubungan, dimana aku harus bertindak menjadi sumber cahaya. Berarti, hari kelima dan kedua pastilah memiliki hubungan satu sama lain. Kalau kupikir-pikir lebih dalam, sebenarnya hari kedua hanya bicara satu hal: batas. Ya, batas!! Batas antara langit dan perairan!! Dan aku ‘mengacaukannya’ dengan membentuk sesuatu yang melampaui batas tersebut: hujan!! Baiklah, aku tahu apa yang harus kutangkap!!
“Resha, sepertinya aku sudah tahu apa yang harus kita tangkap.”
“Eh? Yang benar? Coba katakan padaku.”. ujarnya dengan semangat.
“Yang harus kita tangkap adalah burung yang mampu menyelam ke dalam air, dan ikan yang mampu terbang di udara.”
Yap, itu dia. Dua hewan langit dan laut yang saling menembus batas satu sama lain.
“Ah…aku tahu maksudmu!! Ikan terbang dan burung kingfisher kan? Cheilopogon heterurus dan Alcedo atthis. Keduanya bisa ditemukan dengan mudah di daerah subtropis seperti ini.”
“Nah, itu dia maksudku. Kamu tahu di mana mereka biasa bersarang?”
“Burung kingfisher tidak begitu sulit dicari, biasanya mereka membangun sarang berupa lubang di tanah, di tepi sumber air tawar. Mereka bisa dijadikan indikator polusi air, jadi dapat dengan mudah ditemukan di sungai atau danau yang bersih, tidak terpolusi. Kalau ikan terbang biasanya agak ke tengah laut sana.”
“Baiklah, kita tangkap yang mudah dulu. Kingfisher.”
Mendadak kertas itu melayang. Ah, berarti tebakanku benar. “Yap, benar. Itu yang harus kalian tangkap. Jangan lupa, masing-masing 7 ekor, 12 jam. Oke?”
“Siap Bossss…!!”, sahut kami berdua.
Hal pertama yang harus kucari adalah: kandang burung. Berkeliling selama setengah jam, ada sebuah toko hewan yang menjual kandang burung. Langsung saja kubeli satu. Berikutnya, sungai. Constantinople memiliki sebuah sungai bernama sungai Lycus, mengalir melewati tembok Theodisios dan Constantinos, lalu berbelok ke selatan, ke laut. Namun, setengah dari aliran sungai yang masuk ke kota dialirkan melalui jalur bawah tanah. Terpaksa kami pergi hingga ke luar tembok Theodisios untuk menemukan sarang kingfisher itu.
Di luar bagian kota kuno, masih ada daerah-daerah pinggiran sungai yang cukup rimbun, tanpa penghuni manusia. Baiklah, sepertinya ini tempat yang tepat. Kuserahkan tugas ini pada Resha. Dia lebih ahli dalam berurusan dengan hewan dibanding diriku.
Kuikuti dia perlahan, dengan langkah yang nyaris tanpa suara. Beberapa menit menyusuri tepi sungai, terlihat ada beberapa lubang di tanah mirip lubang tikus. Tanpa basa-basi, Resha langsung mengulurkan tangan kanannya ke salah satu lubang, dan…seekor burung cantik dengan bulu indah berwarna dominan biru kehijauan di punggung dan coklat di bagian dada, berhasil ditangkapnya. Yang lebih mengherankan lagi, burung itu terlihat tidak berontak sama sekali saat berada dalam genggaman Resha. Tenang, merasa nyaman.
Tepian sungai di sini ternyata memang habitat bagi burung kingfisher. Ada lebih dari 20 lubang yang terlihat olehku. Karena yang dibutuhkan hanya 7, langsung kami kembali ke pantai untuk menangkap hewan berikutnya: Cheilopogon heterurus. Sebelumnya, tentu aku harus siap dengan ‘senjata’nya. Kubeli sebuah jaring penangkap ikan di sebuah toko alat-alat pancing, beberapa belas meter dari pantai.
“Kamu tahu cara menangkap ikan terbang?”, tanyaku.
“Kebanyakan orang memancing ikan terbang pada malam hari, merentangkan jaringnya sedikit di atas air, lalu memancingnya dengan senter atau alat penerang lain agar ikan terbang itu melompat dan akhirnya, tertangkap jaring. Kalau siang-siang begini yang bisa dilakukan hanya menunggu sampai mereka keluar dengan sendirinya dari air.”, Resha menjelaskan.
“Waduh…repot juga kalau begitu. Ya sudah, akan kucoba ke tengah laut sana. Kamu di sini saja, jaga kandang burung itu. Tidak mungkin aku membawamu ke tengah laut sana…kamu kan tidak bisa terbang.”
“Baiklah, aku mengerti. Setiap 3 jam aku akan kembali ke sini untuk memeriksa apakah kamu sudah kembali atau belum. Oke?”
Segera aku terbang dengan Plasma Directing ke arah selatan, terus…terus…hingga perlahan Constantinople terlihat memudar dan akhirnya, menghilang ditelan tapal batas horizon. Selama satu jam berikutnya aku terbang secara acak tak tentu arah di atas laut Mediteranea, namun tidak ada satupun tanda-tanda dari ikan terbang itu. Perlahan kuturunkan ketinggian, terus hingga tepat berada di atas permukaan air. Kumasukkan kepalaku ke dalam laut untuk melihat kondisi di dalam air. Hmm…hanya ada sedikit ikan di titik ini. Setiap beberapa kilometer aku melakukan hal yang sama, siapa tahu mereka ada di dalam air.
Empat jam berlalu. Aku sudah mulai bosan mencari ikan terbang itu…terlalu lama!! Konsentrasiku perlahan buyar. Kuputuskan untuk tiduran saja di tengah laut di atas awan Plasma Directing untuk menenangkan diri.
Kupikirkan lagi kata-kata Resha tadi mengenai cara menangkap ikan terbang. Aku tidak mungkin membuat langit berubah gelap. Dengan kata lain, aku harus memancing mereka keluar dengan cara yang berbeda. Tapi apa?
“AAAAAHHH!! Ikan sialaaaannn!!”, teriakku keras-keras.
Mendadak kepalaku dipukul, dipukul kertas itu yang menggulung dirinya sendiri.
“Heh, jangan ngomong sembarangan!! Itu sama aja dengan menghina ciptaan-Ku!!”
“E-Eh…a-ampun…emosiku sedang tidak stabil. Tidak adakah petunjuk di mana ikan-ikan itu berkumpul? Aku sudah bosan setengah mati…”
“Pakai sarung tanganmu itu dong. Ada satu hal yang bisa memancing ikan-ikan itu keluar dari air. Coba aja satu-satu.”
Material Creation? Sepertinya tidak ada benda yang dapat kuciptakan yang bisa membantuku menangkap ikan. Photon Blaster kah? Sepertinya tidak. Matahari cerah begini, intentsitas cahaya dari Photon Blaster jelas kalah kuat dibanding Matahari. Energy Absorber? Bah…apa yang mau kuserap? Bukan, bukan. Water Purification? Sepertinya tidak ada hubungannya dengan menangkap ikan. Tunggu. Atomic Vibration kah? Hmm…mungkin bisa kucoba.
Dengan Atomic Vibration, kubuat getaran hebat di udara yang kuarahkan arah rambatannya ke permukaan laut. Deburan besar pun tercipta. Terdengar suara seperti ada sesuatu yang keluar, lalu masuk kembali ke laut. Kucoba lagi di beberapa titik, dan…hei!! Itu mereka!! Ikan-ikan bersirip lebar seperti sayap melompat, seakan terbang dari permukaan air. Panjangnya sekitar 40-45 sentimeter. Sekali lagi Atomic Vibration, lalu kutebar jaring yang kubawa itu. Beberapa ikanpun tersangkut di jaring, sekitar 30 ekor. Yang kubutuhkan hanya 7, jadi sisanya kulepaskan kembali ke laut. Fiuh, akhirnya…
Kulayangkan pandanganku ke langit, memeriksa posisi Matahari. Hmm, sudah condong ke arah barat. Baiklah, aku sudah tahu di mana arah Constantinople.
“Terlalu mudah ya?”, tulisan di kertas itu muncul ketika dalam perjalanan pulang.
“Kalau dibanding beberapa tugas sebelumnya, yang ini tidak begitu melelahkan, hanya membuat cepat bosan saja. Tunggu. Aku ingin tanya sesuatu. Sebenarnya aku merasa ada yang aneh dengan tugas ini…”
“Aneh bagaimana?”
“Kenapa sifatnya mirip tugas ketiga? Kali ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepentingan penduduk kota. Padahal, yang lainnya pasti menyangkut masalah orang banyak.”
“Oh ya? Itu kan menurutmu. Tugas ketiga sebenarnya juga berhubungan dengan seluruh kota kok. Cuma…direpresentasikan oleh satu orang. Ups…Aku jadi buka rahasia deh…”
“Hei…aku mengerti. Jadi Helena…”
“Yah…lihat saja nanti…hehehe. Oh iya, ngomong-ngomong, lihat ke arah kota deh.”
“Hah?! Kenapa jadi ada banyak kapal nelayan?!”, ujarku kaget saat melihat kapal-kapal berlayar tak jauh dari pantai kota.
“Yang kamu lakukan tadi memancing ikan-ikan supaya pergi menjauh. Nah, banyak dari antara ikan-ikan itu yang berenang ke arah kota. Lihat, di permukaan air ada banyak riak-riak aneh kan? Itu ikan-ikan yang ketakutan tadi. Nelayan-nelayan bisa tahu kalau itu adalah kerumunan ikan, dan mereka langsung berlayar buat menangkapnya. Dengan kata lain, kamu udah memberi makan penduduk kota secara nggak langsung.”
“Kenapa tidak bilang sejak tadi sih…huh.”
“Oh iya, 7 ekor ikan terbang ini kamu kasih ke burung-burung itu yah. Setelah itu, kembalikan mereka lagi ke sarangnya.”
Burung-burung kingfisher itu makan dengan lahapnya, mematuki ikan-ikan itu satu persatu hungga habis. Padahal, menurut penjelasan Resha, kingfisher hanya memakan ikan-ikan berukuran kecil. Namun kali ini, tujuh ekor ikan yang besarnya hampir tiga kali panjang tubuh mereka bisa dihabiskan. Mungkin mereka kelaparan? Burung-burung menggemaskan ini ternyata punya nafsu makan yang besar juga.
Sudah lima lembar dari kertas kuno itu pulih. Berarti tinggal dua lagi. Dua? Lebih tepat dikatakan satu setengah, karena satu lembar tidak serusak yang lain, meski ada lubang-lubang di beberapa tempat. Baiklah, tinggal dua hari lagi. Aku harus lebih semangat.
Hari keenam.
Pagi yang cerah, sama seperti lima hari sebelumnya. Tunggu. Aku menyadari sesuatu di hari keenam…argh, kenapa aku jadi punya pikiran seperti ini?!
Entah kenapa, sejak bangun hingga beberapa belas menit sesudahnya, suasanya yang aneh tercipta diantaraku dan Resha. Jika mata kami berdua bertemu, refleks kami memalingkan wajah ke arah yang berlawanan. Itu karena aku benar-benar terganggu mengenai hari keenam ini. Jangan-jangan Resha juga berpikiran hal yang sama?
“D-Daleth…err…”, tanyanya ragu. Terlihat wajahnya sedikit merah.
“Ng…a-ada apa…?”, jawabku.
“W-Wajahmu…k-kenapa merah begitu…?”
“Sama d-denganmu…”
“Umm…h-hari keenam yah? K-Kita…tidak harus m-m-melakukan itu kan…?”
Tiba-tiba kertas itu melayang, menggulung dirinya sendiri, lalu memukul kepala kami berdua.
“Jangan berpikiran yang aneh-aneh!! Awas aja kalo sampai kalian berbuat dosa.”
“Tapi…bukankah hari keenam…manusia diciptakan dan diperintahkan untuk b-b-beranakcu---“, belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, aku dihajar lagi.
“Zzz…nggak cuman itu kan?! Aku tahu kalian pasti hafal. Yang jelas, tugas hari ini JAUH berbeda dari yang kalian pikirkan. Sudah, tenangkan diri dulu sana, dan bersihkan pikiran kalian itu!! Belum juga sepakat mengikat janji sehidup semati di hadapanKu, udah mau buat yang aneh-aneh…dasar…”
Duh, ada apa denganku hari ini? Kenapa aku bisa berpikiran demikian? Sudah, sudah. Lupakan hal itu. Hari keenam tidak hanya berlangsung penciptaan manusia, tapi juga hewan-hewan darat. Seharusnya tugas kali ini ada hubungannya juga dengan makhluk-makhluk non-manusia penghuni daratan.
Jika polanya mengikuti hari-hari sebelumnya, seharusnya ada satu hal yang menghubungkan hari keenam ini dengan hari ketiga. Hari pertama dan keempat, sumber cahaya. Hari kedua dan kelima, batas laut dan langit. Sementara di hari ketiga dan keenam ini, hal yang memiliki kesamaan adalah…daratan.
“Oke, sepertinya Daleth udah menyadari sesuatu. Petunjuk tambahan dariKu, kelompok makhluk hidup yang diciptakan di hari keenam harus dimanfaatkan. Dan tentu aja, 12 jam.” Kertas itupun kembali bersih.
“Kamu tahu sesuatu?”, tanya Resha.
“Hari pertama berhubungan dengan hari keempat. Hari kedua berhubungan dengan hari kelima. Nah, hari ketiga berhubungan dengan hari keenam ini. Dan kalau kuingat-ingat, satu-satunya yang menghubungkan antara keduanya adalah daratan. Tanah.”
“Tanah ya? Hmm…mungkin kita harus menggali tanah atau semacamnya untuk menemukan hewan tertentu?”
“Mungkin? Aku juga belum tahu pasti apa yang harus dilakukan.”
Seperti biasa, Dia tidak akan mengijinkan kami keluar menyelesaikan tugas itu sebelum mengisi perut. Selagi mengunyah beef bacon…
“Ah!! Aku tahu!!”, seruku.
“Eh? Tahu apa?”, tanya Resha keheranan.
“Hari ini sudah pasti berhubungan dengan tanah kan? Nah, di hari keenam diciptakanlah hewan darat dan manusia. Selain itu, harus ada hubungannya dengan hari ketiga. Menurutmu, apa yang menghubungkan semua itu?”
“Hari ketiga…tanaman. Hari keenam…hewan darat dan manusia. Lalu…tanah. Tunggu. Agrikultur!!”
“Itu dia maksudku. Sebelum ada mesin pembajak atau sejenisnya, manusia menggunakan hewan ternak untuk mengolah tanah, yang kemudian akan menghasilkan tanaman pangan. Aku yakin, hari ini pastilah berhubungan dengan pertanian.”
“Betuuulll!! Itu dia, pertanian. Salah satu bidang yang mengubah hidup manusia, meski sekarang sebagian besar teknik pengolahan tanahnya udah pakai mesin. Petunjuk lagi dariKu, setelah ini kalian harus keluar dari tembok kota.”
Tanpa basa-basi kami langsung bergegas keluar tembok Theodisios setelah selesai makan. Tak lupa, sarung tanganku. Bagian luar kota kuno terlihat modern, jauh dari kesan antik, meski tidak seperti area-area metropolitan yang padat penduduk seperti di Beth-Sheol ataupun kota tempatku lahir dan tinggal, Beth-Elyon. Kira-kira di mana ya tempat yang berhubungan dengan pertanian di luar kota yang seperti ini?
TIba-tiba ada mobil berhenti di depan kami. Sebuah Renault Clio generasi ketiga, berwarna biru. Seseorang keluar dari dalamnya. Itu pasti…ah, benar.
“Hei, kalian berdua!! Kemarilah!!”, ujarnya memanggil. Itu Helena.
“Wuah, kamu punya mobil sendiri ya?”, tanya Resha, terlihat mengagumi mobilnya itu.
“Ahaha…iya, cukup lama aku harus menabung untuk bisa membelinya. Oh iya, hari keenam ya? Ada yang kalian perlukan?”
“Kami ingin mencari tanah pertanian di sekitar sini…tapi tidak tahu di mana.”, jawabku.
“Oh, kalau itu letaknya agak jauh lagi di luar kota. Akan kuantar ke sana. Mau?”
Dengan secepat kilat Resha menjawab… “Tentu saja!!”
Beberapa belas menit mobil ini melaju, hingga daerah yang makin jarang penduduk. Dari sini terlihat ladang jelai yang luas di pinggir jalan. Semuanya sudah terlihat tinggi dan berwarna kuning kecoklatan. Di beberapa titik juga terlihat beberapa orang yang membawa sabit besar, ingin mulai memanen jelai-jelai itu.
“Sampai sekitar 20 kilometer ke depan hanya akan ada ladang-ladang dan peternakan. Kalian mau berhenti di mana?”
Ah iya!! Aku memang sudah tahu kalau tugas kali ini akan berhubungan dengan pertanian. Namun apa yang harus kulakukan? Aku masih belum tahu…
“Stop. Berhenti di sini.”, kertas itu terbang ke sebelah Helena.
Mobil ini berhenti tidak jauh dari sebuah rumah kayu kecil. Di depan rumah itu ada seseorang, berusia paruh baya. Dari sabit yang dibawanya, aku tahu dia pasti juga ingin memanen hasil ladang.
“Jadi, apa yang harus kami lakukan di sini?”, tanya Resha.
“Coba kamu hubungkan petunjuk-petunjuk yang udah kamu tahu dengan kondisi sekarang.”
“Kami harus membantu mereka memanen?”
“Hampir betul, Daleth. Tapi bukan membantu. Kalianlah yang harus memanen semuanya.”
“Oh...begitu saja? Helena, berapa luas ladang di daerah sini?”, tanyaku. Tentu saja aku bertanya padanya, karena dialah yang tahu seluk beluk kota ini.
“Ng…hampir 100 kilometer persegi…”, jawabnya perlahan.
“APA?! Yang harus dipanen seluas itu?!”, seruku dan Resha bersamaan.
“Oh iya, apa Aku bilang ‘memanen’ aja?”
“Tunggu. Jangan bilang kalau…”, sahutku.
“Tepat kayak yang kamu pikirkan. Jangan lupa dibajak ulang ladangnya.”
“Untuk apa? Bukankah sekarang sudah musim gugur? Apalagi yang mau ditanam?”, aku bertanya lagi.
“Ck…ingat, yang perlu kamu lakukan cuma menjalankan tugas. Jangan banyak protes gitu ah. Pokoknya kamu panen, terus bajak ulang. Ingat, nggak boleh pakai mesin!!”
“Huh…baiklah. Untung saja kubawa sarung tangan ini. Helena, bisa kamu katakan pada seluruh petani di daerah ini untuk menyingkir sebentar? Aku takut mereka terluka selama aku memanen jelai-jelai itu dengan kecepatan tinggi...maksudku, secepat cahaya.”
Jarum jam yang panjang bergerak sekitar 120 derajat ketika Helena memberitahu kalau ladang telah dikosongkan. Kupinjam sebuah sabit dari petani paruh baya itu, lalu terbang dengan Plasma Directing ke bagian paling pojok dari areal pertanian ini.
“Photonic Velocity. Set up!!”
Dalam satu detik, aku sudah memanen satu lajur tanaman jelai sejauh hampir 10 kilometer. Kuhela nafas perlahan, merenggangkan otot sebentar, lalu mengaktifkan Photonic Velocity kembali. Aku jadi ingat…kalau begini, akulah ‘Reaper’ yang sebenarnya, makna denotatif. Sabitnya pun mirip seperti Grim Reaper yang sering muncul di cerita-cerita mitos itu. Ironis ya?
“Selesai.”, aku kembali ke tempat Resha dan Helena menunggu, di rumah tadi. Hmm…tidak sampai 15 menit.
Tak lama, petani-petani mulai keluar untuk mengumpulkan berkas-berkas jelai yang telah kupotong tadi. Helena juga memberitahu kalau tidak ada yang salah potong atau semacamnya, setelah menghubungi seseorang via ponselnya.
Dua jam berlalu, ladang sudah hampir bersih. Berarti sekarang tinggal membajak tanahnya. Tanah seluas ini…berapa banyak hewan ya yang dibutuhkan?
“Oke, sekarang saatnya mem---“
Kata-kataku langsung dipotong oleh Resha. “Eits, tunggu dulu. Kali ini giliranku.”
“Hah? Kamu? Memangnya kamu sanggup?”, ujarku dengan nada meremehkan.
“Ha!! Pokoknya sekarang kamu duduk saja. Tidur juga boleh. Yang jelas sekarang aku perlu kuda…Helena, apa ada yang punya kuda di sini?”
Berhubung Resha tidak bisa bahasa Helenos, Helena yang menanyakan hal itu pada petani paruh baya tadi, sekaligus mengantarkannya ke kandang kuda. Ada seekor, kandangnya beberapa puluh meter dari sini. Hmm…aku jadi penasaran, apa yang akan dilakukan Resha. Sejauh yang kutahu, dia ahlinya jika harus berurusan dengan hewan. Tapi…hampir 100 kilometer persegi begini, membajak dengan satu dua ekor sapi tidak akan cukup.
“Daleth…kamu pasti tidak akan percaya yang akan Resha lakukan…”, ujar Helena begitu dia kembali dari kandang kuda.
“Eh? Dia mau melakukan apa?”
“Tunggulah sekitar satu setengah jam lagi, nanti kamu akan tahu. Dia itu…sebenarnya siapa sih…?”
Entah kenapa, wajah Helena seakan memberitahu kalau yang akan dilakukan Resha adalah yang mustahil dilakukan oleh kebanyakan orang, bahkan diriku.
“Resha? Dia manusia biasa kok. Tapi harus kuakui, dia benar-benar ahlinya jika sudah berurusan dengan hewan.”
“Oh ya? Hewan apa saja yang pernah ditanganinya?”
“Sewaktu kecil, singa dan serigala. Beberapa bulan lalu, lagi-lagi serigala, dan beruang. Di Bharata, semua gajah di kebun binatang terlihat ramah padanya. Tidak hanya itu, kemarin dia bisa menangkap burung kingfisher liar dengan mudah tanpa membuat mereka berontak. Memangnya kenapa?”
“Err…berapa ekor?”
“Tidak pernah lebih dari 10 ekor sih…”
“Coba nanti kamu lihat…berapa ekor yang dia ‘taklukkan’ sekaligus…”
Hampir satu setengah jam berlalu, tanah terasa bergetar. Gempa kah?!
“Yak, ini dia…”, sahut Helena.
Dari kejauhan, ada sesuatu seperti kepulan asap. Asap? Bukan…itu sepertinya debu tanah. Perlahan ada sesuatu terlihat…oh, itu Resha sedang menunggang kuda. Tunggu. Di belakangnya…APA?!
Aku nyaris tidak mempercayai penglihatanku. Di belakang Resha, ada banyak sekali sapi yang mengikutinya. Banyak? Lebih tepat disebut satu divisi tempur sapi!! Dari kiri hingga kanan, terlihat barisan sapi yang sangat panjang, amat rapi dan teratur. Langkah hewan-hewan ternak memamah biak itupun benar-benar harmonis. Seirama, satu tempo. Tidak terlalu cepat, mungkin supaya tanahnya terbajak dengan baik. Hebatnya lagi, tidak ada satupun sapi yang keluar barisan!! Apa sebenarnya yang dilakukan anak kecil itu?!
“Kaliaaannn!! Berhenti sebentarrrr!!”, Resha menghentikan derap kuda yang ditungganginya saat sudah dekat dengan rumah ini. Hebatnya, semua, SEMUA sapi itu berhenti dalam waktu yang nyaris serempak.
“R-R-Resha…bagaimana bisa?!”, tanyaku dengan nada kaget.
“Sederhana saja kok. Aku hanya memerintahkan mereka untuk membajak seluruh ladang.”
“Bagaimana itu bisa dikatakan sederhana?! Bagaimana suaramu bisa--- oh…ada mikrofon rupanya.”, ujarku saat menyadari ada perangkat headset di telinganya. “Tunggu. Tetap saja!! Bagaimana bisa SELURUH sapi itu mengikuti perintahmu?!”
“Lho…bukannya aku sudah pernah cerita ya? Hewan-hewan memang bisa kukendalikan dengan mudah…hehehe…”, dia tersenyum.
“Sebelum sapi-sapi itu dipasangi mata bajak oleh para petani, dia meminta perangkat headset itu sekaligus beberapa speaker yang akan dipasang setiap jarak beberapa puluh sapi, yang ditaruh di atas punggung satu ekor sapi. Aku sendiri heran…bagaimana sapi-sapi itu tidak menjatuhkan satupun speaker, dan bisa berjalan amat teratur seperti tadi…”, ujar Helena.
“Hehehe…bagaimana? Kalau kamu bisa mengendalikan segala bentuk energi, kalau aku bisa memerintah semua jenis hewan…ya sudah, aku mau lanjut dulu. Nanti tidak selesai 12 jam.”, dia mengalihkan pandangannya ke barisan sapi itu. “Yaaaakkk!! Jalan lagi ya!! Dan jangan menabrak bangunan apapun!!”
Sapi-sapi itu mulai bergerak lagi, dengan Resha berjalan di depannya. Astaga. Astaga!! Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat!!
“Ahaha…bagaimana, Daleth? Itu salah satu talenta spesial yang Kuberikan untuknya.”
“Spesial sih spesial. Tapi yang tadi itu…astaga. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana suaranya bisa ‘menghipnotis’ hewan-hewan itu!!”
“Seandainya ada waktu, boleh tuh coba kamu selidiki…siapa tahu setelah itu manusia bisa hidup lebih harmonis dengan alam.”
“Ah!! Aku mengerti!! Jadi, tujuan tugas kali ini…agar manusia bisa mengelola Bumi dengan lebih bertanggung jawab. Itulah kenapa tugas kali ini berhubungan sekali dengan tanah. Benar begitu?”
“Yap, betul sekali. Kamu tahu kenapa Aku minta supaya tanahnya dibajak? Itu supaya tanahnya bisa memerangkap nitrogen dan oksigen dari udara bebas di dalamnya. Dan kamu tahu kenapa aku minta pakai hewan dan bukan mesin? Itu supaya kotoran sapi-sapi itu jatuh ke tanah pas lagi membajak, dan memperbanyak unsur hara di tanah. Coba kalau pakai mesin, ujung-ujungnya harus pakai pupuk buatan lagi, zat kimia lagi. Sekali-sekali yang alam harus kembali pada alam. Gitu loh maksudKu.”
“Kenapa tidak bilang dari tadi sih…”
“Ada tertulis ‘Kemuliaan Allah ialah menrahasiakan sesuatu…’”
“Tetapi kemuliaan raja-raja ialah menyelidiki sesuatu. Sekarang aku mengerti tujuan dari semua tugas ini. Ternyata bukan hanya untuk memperbaiki kertas-kertas tua itu kan?”
“Yap, benar sekali. Ternyata nggak sia-sia ya Kukasih talenta analisis ke kamu…hehehe. Bisa tebak nggak hadiah apa yang menunggu kamu nanti?”
“Hmm…kalau itu masih belum. Lagipula itu tidak penting. Aku yakin hadiahnya adalah yang terbaik untukku dan juga Resha.”
“Sip deh kalau gitu. Tinggal besok kan hari terakhir? Sabar aja, nanti juga tahu kok apa hadiahnya.”
Dan…selesai. Sapi-sapi itupun dikembalikan pada pemiliknya masing-masing, begitu juga dengan kuda yang ditunggangi Resha. Malamnya, para petani di situ sepakat untuk membuat pesta kecil-kecilan untuk kami. Kamipun tidak sampai hati untuk menolak ajakan tersebut, karena terlihat sekali wajah penuh rasa terima kasih dari tiap-tiap mereka. Helena juga ikut serta dalam pesta itu.
Melihat Resha yang sedang duduk agak jauh karena harus menangani anak-anak para petani itu…
“Sepertinya aku sudah tahu siapa kamu, Helena.”
“Hehehe…sudah ketahuan ya? Ngomong-ngomong, Resha sudah tahu?”
“Belum. Aku ingin lihat reaksinya begitu tahu siapa kamu sebenarnya.”
“Ahaha…iseng juga kamu ya. Mungkin besok dia akan tahu.”
“Eh? Besok? Kenapa besok…?”
“Lho, kukira kamu sudah tahu siapa aku? Oh, aku mengerti. Yang ada di pikiranmu pasti belum mencakup semua mengenai diriku…hihihi…”, dia tertawa kecil.
“Heee…jadi belum semua ya? Ya sudahlah, besok juga akan ketahuan.”
Enam lembar perkamen tua telah pulih. Yang tersisa hanya satu tugas, yang akan memulihkan 100 persen lembaran ketujuh. Tunggu. Hari ketujuh adalah hari istirahat. Apa aku harus tidur seharian? Tidak mungkin. Besok aku akan segera tahu identitas Helena secara utuh. Dengan kata lain, pastilah aku harus mengunjunginya.
Ini dia, final. Hari ketujuh.
“Sudah siap untuk tugas terakhir?”
Kami berdua mengangguk tanda sudah siap.
“Karena hari ketujuh di kisah penciptaan adalah hari istirahat, jadi sekarang nggak ada tugas yang susah. Kalian cuma harus pergi ke Hagia Sophia, bawa lembaran-lembaran tua itu dan kotaknya. Itu aja.”
“Hanya itu?”, tanyaku.
“Iya, nggak akan ada hal aneh lagi kok. Ya udah, seperti biasa, jangan lupa makan dulu.”
Tanpa basa-basi kuhabiskan sarapan dengan cepat, lalu bergegas ke Hagia Sophia. Tentu saja, bersama Resha. Dan…tebak siapa yang sudah menunggu di depannya? Helena Ouranoxiphos. Ya, dia adalah walikota Constantinople. Aku langsung tahu begitu Dia memberi petunjuk saat hari kelima. Siapa lagi orang yang bisa dengan mudah menyuruh para ahli di kota untuk berkumpul di hari keempat? Dan kenapa pula penduduk kota mau-maunya membantu, padahal aku bukan siapa-siapa mereka? Siapa lagi orang yang bisa tahu luas areal pertanian di sekitar Constantinople tanpa pikir panjang? Kalau bukan dia, walikota sendiri, lalu siapa lagi?
“Maaf belum menyambut kalian secara resmi di kota ini. Kuucapkan selamat datang di Constantinople. Daleth Reshunuel, Resha Gimmelia.”, nada bicaranya terdengar formal.
“E-Eh? Helena? Ada apa denganmu?”, Resha terlihat terkejut.
“Tanya temanmu tuh…dia sudah tahu kok.”
“Daleth, siapa Helena sebenarnya? Kok aku tidak diberitahu?!”
“Dia itu walikota Constantinople. Eparchos Konstantinoupolis. Benar begitu, Helena?” Dia menjawabnya dengan menangguk sambil melemparkan senyumannya.
“J-Jadi…Helena…aaaahhh!! Daleth…kenapa aku tidak diberitahu sihhh?!”, ujarnya manja.
“Aku hanya tidak sempat memberitahu saja. Ah iya…kamu bukan hanya walikota ya?”
“Yap, benar. Aku juga adalah kepala gereja Constantinople. Matriarchos Ekklesia.”
“Ah…jadi itu alasannya kenapa kamu bisa membaca teka-teki di Kitab Suci sewaktu aku mengalami kesulitan di hari kedua?”
“Iya. Aku juga sudah diberitahu oleh Tuhan sendiri kalau kalian akan datang dan membantuku menangani kota ini lewat kejadian-kejadian yang tidak masuk akal.”
“E-Eh?! Jadi Dia sendiri sudah memberitahumu?”, giliranku yang terkejut.
“Ini semua udah rencanaKu sejak awal. Kalau Aku nggak datang langsung ke kamu dan Resha sewaktu di Bharata, mungkin kamu nggak akan pernah sampai sini dan bantu masalah-masalah yang ada di kota ini.”
Tulisan di kertas menghilang sesaat, lalu muncul lagi.
“Kalian udah berhasil membuat masyarakat kota ini jadi saling percaya lagi dengan bikin mereka beberapa kali kumpul bareng-bareng, jadi lebih dekat, seperti di hari pertama dan keempat. Persediaan makanan untuk kota ini di musim dingin juga nggak jadi masalah karena kalian udah bantu memberikan stok ikan di hari kelima dan jelai di hari keenam. Hujan di hari kedua itupun sebenarnya untuk mencegah kekurangan air di lahan pertanian sekitar kota.”
“Bagaimana dengan hari ketiga? Hanya Helena yang--- tunggu, aku mengerti…”
“Ahaha…seperti yang kamu pikirkan, Daleth. Sewaktu hari pertama, sebenarnya dia udah stress karena hasil rapat dewan kota di hotel Bereshyt nggak sesuai dengan yang dia harapkan. Istirahat sehari pun, mentalnya masih down . Di hari ketiga itulah, karena dia bantu kamu menanam pohon di tujuh bukit, dia bisa ngeliat lebih jelas bagaimana indahnya kota yang harus dia pimpin. Dengan begitu, semangatnya bangkit lagi. Itulah alasannya kenapa dia nggak menyerah sampai ketujuh pohon itu ditanam semua.”
“Lalu kenapa kami diijinkan untuk melalui Parthia? Negara itu kan sedang tidak aman…”, sahut Resha.
“Justru karena kalian lewat, makanya negara itu jadi aman sekarang. Bener nggak?”
Mendengar penjelasanNya, aku hanya bisa tersenyum sendiri, nyaris tertawa. Ternyata semua yang aku dan Resha alami memang sudah direncanakan olehNya.
“Ahaha…aku tidak pernah menyangka ternyata Tuhan seiseng ini terhadap manusia…”
“Hehehe…bisa aja kamu. Yang jelas semua tujuannya baik kan? Kalian juga nggak terkena bahaya apapun. Misi kalian sepanjang perjalanan untuk menolong orang banyak juga terpenuhi. Penduduk kota senang, walikotanya semangat lagi. Kurang apa coba? Oh iya, kertas ketujuhnya udah Kuperbaiki. Coba dicek.”
Benar saja. Begitu kubuka kotak logam yang dibawa Resha, kertas ketujuh sudah 100 persen pulih. Tunggu. TUNGGU!! Huruf-huruf pertama di setiap lembaran…beta, alpha, beta, upsilon, lambda, omega, nu. Babylon!!
“Daleth, huruf-huruf pertamanya…”, ujar Resha.
“Ya…aku lihat…”
“Itu petunjuk untuk hadiah kalian. Nah, serahkan semua itu pada Helena, dia akan memberikanmu sesuatu.”
“Kepada Helena? Tapi kenapa…?”, suasana hening selama tiga detik, dan terbersit sesuatu di kepalaku. “Astaga. Helena, kamu juga kepala museum Hagia Sophia?!”, lagi-lagi aku dibuat kaget.
“Yah…ketahuan deh. Hehehe. Yap, benar. Aku juga adalah kepala museum Hagia Sophia. Sophos Historiarchon.”
“Err…apakah ada lagi?”
“Segitu saja kok, Daleth. Gelar walikota karena pemilihan, kepala gereja karena warisan, kepala museum karena aku dianggap protos metaxy ison di kalangan sejarawan Helenos. The first among equals.”
“Baiklah, aku menyerah. Ini kotaknya.”, kuserahkan pada Helena.
“Dan…ini hadiah kalian.”, dia mengeluarkan sesuatu dari kantung kemejanya, sebuah permata, memancarkan sesuatu…hei?! Apa yang dipancarkan permata ini?! Kenapa berwarna hitam?! Jangan-jangan…
“Benar apa yang di pikiranmu, Daleth. Itu adalah Dark Matter. Material paling misterius di alam semesta. Itulah yang ditemukan tim arkeologi nasional Parthia di Tower of Babylon. Supaya aman dan nggak jatuh ke tangan orang-orang Liberion, benda itu dipindahkan ke sini.”
“Jadi ini Dark Matter?! Benda seeksotis ini…astaga. Ini ada hubungannya denganmu, Resha…”
“Daleth…apakah benda ini benar-benar…”
“Tenanglah. Suatu hari kita akan mengetahuinya. Aku janji akan mengungkap semua ini.”
“Telitilah benda itu sepanjang perjalanan, Daleth. Aku nggak mau memberitahu lebih jauh lagi. Aku lebih suka main rahasia-rahasiaan…hehehe…”
“Jika ini demi Resha…akan kulakukan. Pasti. Aku hanya mohon kekuatan agar mampu menelitinya sampai tuntas.”
“Tentu aja, anak-Ku. Dan kamu, Resha, bantu terus Daleth yah. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Sampai tugas ini selesai, Aku udah menetapkan kalian untuk terus bersama.”
Terlihat Helena sedang menelepon seseorang lewat ponselnya. Bahasa Helenos. Eh? Upacara? Upacara apa yang dia katakan?
“Oh iya, ada bonus hadiah buat kalian, Udah disiapkan sama Helena. Karena kalian udah menyelesaikan tugas dariKu dengan baik, berarti kertas ini nggak dibutuhkan lagi. Tapi tenang aja, Aku nggak akan pernah ninggalin kalian. Dadaaahhh…”
Kertas petunjuk itu lenyap, meninggalkan jejak butiran cahaya. Misi selesai. Mission accomplished.
“Kalian berdua bisa ikut aku sekarang? Kita ke designer pakaian.”
“Eh? Buat apa…?”, tanya Resha.
“Tiga hari lagi akan ada upacara di gereja, khusus untuk kalian. Gereja…maksudku ya Hagia Sophia ini. Selama sehari akan dirombak menjadi gereja lagi, khusus untuk kalian.”
“Upacara apa sih yang kamu katakan sejak tadi di telepon itu?”, tanyaku.
“Hmm…rahasia dong. Yang penting sekarang ikut aku, jangan banyak tanya. Oke?”
Tiga hari kemudian…
“Kostummu bagus juga, apalagi ditambah dengan Kitab Suci besar yang kamu bawa itu. Terlihat elegan, tapi tetap menggemaskan…”, komentarku begitu melihat penampilan Resha di sebelah kananku, tepat di pintu utama Hagia Sophia.
“T-Terima kasih…”, wajahnya berubah merah. “K-Kamu juga…terlihat keren membawa pedang…”
“Kita masuk sekarang?”, kuraih tangan kirinya dengan tangan kananku.
“B-Baiklah…”
Suasana di dalam Hagia Sophia terasa sangat khidmat. Selama aku dan Resha berjalan dari pintu utama hingga mendekati altar, lagu-lagu gereja berbahasa Helenos dinyanyikan oleh koor gereja dengan alunan melodi dan harmoni yang membuat bulu kudukku merinding. Untaian nada-nada yang keluar dari organ yang dimainkan tidak jauh dari posisi koor itu juga menambah aura divine yang kurasakan. Dengan langkah perlahan kami terus menuju dekat altar, tempat Helena berdiri. Dia mengenakan jubah panjang berwarna biru dengan ornamen salib di beberapa tempat, dijahit dengan benang emas. Di tangan kanannya ada sebuah tongkat dari perak seitinggi kira-kira 170 sentimeter, dengan salib berbentuk Patriarchal cross dari emas bertahtakan permata di atasnya, tinggi sekitar 30 sentimeter dan lebar sekitar 20 sentimeter.
Di bangku jemaat, banyak orang telah duduk sebelum kami masuk. Para pejabat kota, semuanya hadir. Beberapa pengusaha kaya lokal, akademisi Hagia Sophia, hingga para anggota gereja juga hadir. Penduduk Constantinople sendiri berkerumun di luar Hagia Sophia, karena jumlahnya terlalu banyak untuk dimasukkan ke halaman.
Sesampainya di hadapan Helena, aku berlutut sebelah lutut, dengan menggunakan pedang yang kubawa sebagai penyangga, kupegang bagian atasnya dengan kedua tangan. Resha berlutut dengan kedua lutunya, dan memeluk Kitab Suci besar yang dibawanya di dadanya. Prosesi dimulai.
“Resha Gimmelia.”
Resha menundukkan kepalanya sedikit, lalu memejamkan mata.
“Oleh karena ketaatanmu, kesabaranmu, kekuatanmu untuk mencintai Bumi dan makhluk hidup ciptaan Yang Mahatinggi, serta imanmu kepada Firman-Nya; aku menganugerahkan kepadamu gelar-gelar berikut. Physiodespotes, Biokrator, Poliboithes, Sebastos Logophylax.”
Tongkat perak-emasnya itu disentuhkan sedikit ke kepala Resha, lalu beralih menghadapku.
“Daleth Reshunuel.”
Kutundukkan kepala sedikit, lalu menutup mata.
“Oleh karena ketaatanmu, hikmatmu, pengetahuanmu untuk menyingkap misteri Yang Mahatinggi, serta imanmu kepada Firman-Nya; aku menganugerahkan kepadamu gelar-gelar berikut. Thaumaphorus, Energodiacheiristes, Poliboithes, Hagios Gnosophylax.”, diikuti dengan disentuhnya kepalaku dengan tongkat tadi.
Selesai Helena mengatakan itu, koor gereja mengakhirinya dengan sebuah chant, amin sebanyak 12 kali. Prosesi upacara diikuti dengan ibadah sekitar 30 menit, dan diakhiri dengan sepatah kata dariku dan Resha. Kami tidak bicara panjang, hanya mengucapkan satu kalimat dalam bahasa Helenos yang artinya “Kiranya damai dan kesejahteraan dari Tuhan terus turun atas kota ini.” Anggap saja seperti melunasi ‘hutang’ kami di hari ketujuh. Jika Dia memberkati semua ciptaanNya di hari ketujuh, maka kami mengucapkan kata-kata berkat bagi kota ini.
Constantinople, sebuah kota yang penuh dengan sejarah. Oh, bukan hanya itu. Sekarang, kota ini juga dikenal sebagai kota yang penuh keramahtamahan dan kehangatan.
Aku belajar satu hal selama berada di kota ini. Kadang perintah Tuhan memang terasa aneh, tidak masuk akal, bahkan tergolong gila. Namun, satu hal yang kutahu. Jalankan saja, maka akan ada sesuatu yang terbaik menunggu sebagai hadiahmu di depan nanti.
Dan ini dia hadiah untuk kami…Dark Matter. Kunci dari segala misteri mengenai Tower of Babylon, kota Beth-Sheol, dan Resha. Kamipun melanjutkan perjalanan, makin masuk ke Benua Biru…
Share This Thread