================================================
Chapter 7: For the Motherland ~ Old Varangian Bear (Part 2)
================================================
Laju kapal ini tergolong cepat untuk ukurannya yang sangat besar, bisa melaju hingga 35 knot atau sekitar 65 kilometer per jam, hampir sama seperti berkendara dengan mobil saat santai. Hebatnya lagi, walau sudah ditinggalkan 40 tahun lebih, sistem navigasinya masih berfungsi dengan baik, sehingga tidak perlu takut tersesat. Bahaya gunung es? Bisa dihindari dengan mudah karena kapal ini melayang. Harus kuakui para ilmuwan Bolshevik waktu itu benar-benar hebat. Sayang sekali negara itu sekarang bukanlah apa-apa, dan Liberion menjadi satu-satunya superpower di dunia.
“Hei, belum tidur?”, Resha terlihat masih ada di dek, yang lebih pantas disebut landasan pesawat, padahal sekarang sudah hampir jam 12 malam.
“Aku sempat tertidur sebentar, tapi mendadak terbangun…”
“Kapal ini juga sepertinya melambat…”
“Iya, tadi aku memperlambatnya sampai delapan knot, dan aku sudah inta ijin kakek Igor. Aku hanya…ingin merasakan angin laut di malam hari. Kalau kapalnya terlalu cepat bisa-bisa aku masuk angin.”
“Hmm…teringat kakekmu ya?”
“Ng…benar. Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Kamu selalu terlihat ceria setiap kali bersama orang tua itu, seakan dia adalah kakekmu sendiri. Jangan-jangan kakekmu juga freak seperti dia?”
“Heh, jangan bicara sembarangan!!”
“Maaf…aku hanya bercanda. Tapi aku yakin pasti ada kemiripan diantara mereka berdua.”
“Kamu benar. Mereka berdua…sama-sama akan berubah keras kepala kalau sudah berurusan dengan sesuatu yang menyangkut apa yang mereka cintai. Kakekku menyayangi dan membelaku mati-matian di depan anggota keluarga yang lain, sementara kakek Igor mati-matian mencintai negaranya walaupun kenyataan bicara lain…”
“Yah…menurutku orang tua itu terlalu *******. Tapi aku suka semangatnya, meski dia sudah terlihat tua. Ah iya…berapa ya umur orang tua itu…’”
“Tahun ini enam puluh tujuh tahun.”
“Eh? Kamu tahu umurnya?”
“Kakek Igor bercerita banyak hal padaku. Yah…kamu kan disuruh bekerja di luar terus, wajar saja kalau tidak tahu. Lagipula kamu tidak pernah terlihat tertarik dengan kisah hidupnya. Aku yakin sebenarnya timbul perasaan bahagia di hati kakek Igor begitu tahu dia punya kesempatan untuk kembali ke tanah airnya…”
“Hah? Aku tidak melihatnya seperti itu tuh.”
“Dia sangat merindukan keluarganya. Bayangkan saja…sejak umur dua puluh tujuh tahun dia harus meninggalkan istri dan anak perempuannya, yang waktu itu masih berumur lima tahun…”
“Pasti orang tua itu sudah punya cucu sekarang.”
“Yah, bisa jadi. Dia sebenarnya senang karena ini bisa jadi kesempatan baginya untuk melihat anak, dan mungkin…cucunya.”
“Kita lihat saja nanti, Resha. Kota yang akan kita tuju masih sekitar 3.000 kilometer jauhnya dari sini. Mungkin empat atau lima hari lagi baru kita akan sampai dan tahu kondisi keluarganya. Ya sudah, aku mau tidur. Jangan terlalu lama di luar.”
“Iya, iya. Sebentar lagi aku akan masuk kok.”
Lima hari berada di laut lepas dengan hanya satu jenis makanan: ikan. Yah…mau tak mau aku harus mengatasi rasa bosan akan ikan. Di tengah laut seperti ini pasti hanya ada ikan, ikan, dan ikan. Tapi itu lebih baik daripada tidak ada makanan sama sekali. Untung saja Resha sempat mengambil alat pancing dari rumah saat baru berangkat, sehingga kalau kami kekurangan bahan makanan, kapal tinggal dihentikan selama 2-3 jam, lalu tinggal memancing ikan di tengah lautan.
Kembali aku sarapan sepotong ikan tuna panggang yang kupancing kemarin sore, dengan tambahan sedikit garam, lalu membawanya ke ruang kontrol di anjungan sambil melihat-lihat panel kendalinya.
“Oi, anak muda, hati-hati dengan ikannya, jangan sampai mengotori panel.”, orang tua itu masuk membawa secangkir air panas.
“Iya, aku tahu. Aku hanya ingin mempelajari panelnya saja. Yah…walaupun tidak bisa kubaca karena menggunakan tulisan Varangia.”
“Hahaha…sepertinya kamu masih perlu banyak belajar.”, orang tua itu duduk, lalu menekan sesuatu, kemudian terdengar alunan lagu…lagu klasik.
“Piano Concerto in B minor, nomor 1, Opus number 23, 3rd movement. Tchaikovsky. Benar begitu, orang tua?”
“Hahaha!! Ternyata kamu suka Tchaikovsky juga, anak muda?”
“Aku suka beberapa karyanya, seperti lagu ini dan 1812 Overture. Karyanya yang ada di The Nutcracker dan Swan Lake juga lumayan bagus.”
“Ya, ya!! Aku juga suka musik itu, 1812 Overture. Seperti sedang mendengarkan konser kemenangan negaraku atas orang-orang Franks di masa lalu. Hahaha!!”
“Tidak hanya Tchaikovsky, aku juga suka musik klasik secara keseluruhan.”
“Selera yang bagus, anak muda. Kudengar musik klasik memang bagus untuk otakmu. Tidak heran kamu cukup cerdas.”
“Hmmph, jangan meremehkan orang muda sepertiku, orang tua.”
Hei, apa ini? Di radar terlihat sesuatu, ada beberapa kapal terdeteksi. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh…ada tujuh kapal, semuanya mengarah ke sini.
“Oi, anak muda…ketujuh kapal itu…”, orang tua itu melihat ke arah kapal-kapal itu datang dengan binocular. “Berbendera Liberion!!”
“Hah?!”, segera kuambil binocular itu dan melihat ke arah yang sama.
“Hei, ada apa sih ribut-ribut pagi-pagi begini…”, Resha membuka pintu ruang kontrol, lalu masuk dan diikuti oleh Misha.
“Lima Arleigh Burke-class destroyer, dan…”, aku berhenti bicara sebentar, menarik nafas, “dua Ticonderoga-class cruiser…”
“Daleth, buat apa kapal-kapal kelas berat itu ke sini?!”, Resha terdengar kaget.
“Oi, oi, aku tidak tahu jenis kapal yang kamu bicarakan.”, sahut orang tua itu.
“Singkat saja, orang tua. Mereka akan menembaki kita!!”
“Apa?! Bagaimana kamu bisa tahu hal itu?”
“Jika hanya ada satu kapal, ada dua kemungkinan. Pertama, latihan. Kedua, patroli. Lebih dari satu, berarti mereka benar-benar akan mengadakan kontak senjata dengan kapal ini!!”
“Aku pernah baca kalau kedua tipe kapal tersebut pasti membawa misil tipe radar aktif alias homing missile…kapal setua ini pasti tidak punya sistem pertahanan anti-misil untuk menahan serangan seperti itu…”, Resha terdengar lemas.
Eh? Ada transmisi radio masuk? Jangan-jangan asalnya dari kapal-kapal itu…!
“Nyalakan speakernya, anak muda. Aktifkan switch di dekat tangan kananmu itu.”
Ah, ini dia, sebuah switch logam. Begitu kuaktifkan…
“Halo, teman lama, dan…Destructive Reaper.”, suara itu sangat akrab di telingaku. Gregor Crick!!
Kuambil mikrofon transmisi radio. “Masih ingin mengejar Resha, hah?!”, aku merespon dengan penuh emosi.
“Hahaha!! Tentu saja, hei Execution Angel!! Kalian berdua adalah buronan terbesar Liberion sekarang!!”
“Oi, anak muda, apa itu benar?”
“Akan kujelaskan detailnya nanti, orang tua. Sekarang, orang gila itu, yang pasti ada di salah satu kapal musuh, harus diberi pelajaran lebih dulu sebelum kita dibuatnya tertidur selamanya di dasar laut!!”
“Ha!! Aku suka semangatmu, anak muda!! Baiklah…Resha!! Siaga di panel navigasi!! Daleth, siaga di panel sebelah kananmu dan aktifkan misil anti-kapal!!”
“Apa yang harus kutekan?”, tanyaku.
“Tarik tuas kedua dari atas yang di dekat tangan kirimu, lalu tekan tombol hijau di sebelahnya. Jika lampu indikator kedua dari kanan yang ada di paling atas panel sudah menyala, tunggu aba-aba dariku, baru tekan tombol kuning di dekat tangan kananmu!!”
Oke…kutarik tuasnya, kutekan tombol hijau, dan…lampu indikatornya sudah menyala.
“Sudah, orang tua.”
“Resha!! Berapa jarak antara kapal ini dan ketujuh kapal musuh?!”
“10,9 mil laut, kakek Igor!!”, dia terdengar semangat sekali...
“Baiklah…berarti sekitar 20,2 kilometer. Daleth, tekan tombol kuningnya sekarang!!”
Begitu kutekan, keduapuluh palka di tepi dek kapal terbuka, lalu terangkat ke permukaan kapal beserta peluncurnya. Sudut peluncur misil diatur, dan…
“Daleth, aktifkan switch yang di bawah tombol kuning tadi!! Itu akan menghajar kapal-kapal Liberion tersebut!!”
Tanganku nyaris menyalakan switch tersebut, namun…
“Daleth, berhenti!!”, Resha memaksaku berhenti. Ah iya…aku mengerti. Resha tidak ingin lagi melihat siapapun mati di hadapannya.
“Oi Resha, ini perang!! Tembak duluan atau kita akan ditembak lebih dulu!!”, seru orang tua itu.
“Kakek, tolonglah, jangan bunuh siapapun di kapal itu!!”
“Orang tua, maaf, aku tidak mungkin menembaki kapal-kapal itu. Resha tidak mau lagi melihat kematian…akan kujelaskan nanti alasannya.”
“Argh…baiklah, naikkan peluncurnya sebesar dua derajat. Misil-misilnya tidak akan mengenai satupun kapal, hanya akan meledak sekitar beberapa puluh meter di depan barisan kapal-kapal tersebut. Anggap saja sedikit gertakan untuk mengusir mereka.”
Sudut peluncur dinaikkan, misilpun diluncurkan. Aku mengamati misil-misil tersebut dengan binocular untuk memastikan mereka jatuh tepat di tempat yang seharusnya. Tapi…saat misil-misil yang diluncurkan masih beberapa meter di atas permukaan laut, tujuh meledak di udara, seakan ditembaki.
“Ah…aku lupa…Phalanx CIWS!!”
“Hah? Bicara apa kamu, anak muda?”
“Setiap kapal perang modern Liberion memiliki Aegis Combat System, sebuah sistem perlengkapan perang yang dilengkapi komputer, dan sudah pasti dilengkapi Phalanx Close-In Weapon System, biasa disingkat Phalanx CIWS, sebagai sistem proteksi anti-misil yang merupakan bagian dari Aegis. Bentuknya berupa meriam laras pendek.”
“Persingkat kata-katamu!!”
“Kita tidak mungkin menenggelamkan mereka dengan misil buatan 40 tahun lalu seperti yang ada di kapal ini!!”
“Hahaha!! Ternyata percuma saja kapal sebesar itu!! Lemah!!”, seru Gregor dari radio.
Argh, bagaimana ini?! Pertama, kapal ini terancam jatuh dan tenggelam. Kedua, tidak boleh membunuh siapapun di ketujuh kapal tersebut. Apa yang harus aku lakukan?!
Tunggu. Ada suara orang lain, sepertinya berada di belakang Gregor. Dia mengatakan…Fox Three?! Itu brevity code jika ada misil radar aktif ditembakkan!!
“Resha…kamu dengar itu?”, tanyaku.
“Seseorang yang mengatakan Fox Three tadi?”
“Mereka sudah menembakkan misil!!”
“Apa?!”, Resha terlihat terkejut, lalu refleks melihat ke arah radar. ”Di radar sudah terlihat ada tanda-tanda misil mengarah kemari!! Kakek Igor, bersiaplah…! Akan ada ledakan!!”
Argh!! Itu RGM-84 Harpoon, misil anti-kapal yang sudah pasti ada di ketujuh kapal musuh!! Tujuh rentetan ledakan terjadi dalam tempo kurang dari 5 detik, sehingga beberapa bagian permukaan kapal yang terkena hantaman langsung, terlihat rusak.
Begitu ledakan berhenti dan kami kembali siaga, orang tua itu melihat ada sesuatu yang berenang mengarah kemari dari arah kapal-kapal itu berada, tepat di bawah permukaan laut, jumlahnya kira-kira puluhan. Warnanya hitam putih…paus pembunuh kah? Mereka berenang ke sisi kanan kapal dan…
“ARRRRGGGHHH!!! Suara apa ini??!!”, teriak orang tua itu sambil menutup kedua telinganya.
Suara ini…ARGH!! Frekuensinya memang sangat rendah, namun ini terlalu keras!! Para paus pembunuh itukah…?! Kalau ya, bagaimana bisa?
“Bagaimana, nyanyian para paus itu, teman lama?”, transmisi radio memang belum dimatikan sejak tadi.
“Kamu!! ARGH!!”, aku tidak bisa konsentrasi menjawab pertanyaan bedebah itu karena aku terlalu sibuk menutup telinga. Resha juga terlihat menutup kedua telinganya, kadang berteriak panik apabila suara paus-paus itu terdengar.
“Hahaha!! Aku sudah memodifikasi struktur genetik para paus tersebut agar larynx mereka bisa memproduksi suara yang amat sangat kuat!! Bagaimana hasil kerjaku, hei teman lama? Aku yakin kamu pasti suka!!”
Sial!! Aku benar-benar tidak bisa berbuat apapun dalam kondisi seperti ini!!
Tunggu. Misha terlihat tiduran santai saja di lantai…berarti frekuensi ini tidak bisa didengar olehnya. Aku pernah tahu sebuah penelitian kalau seekor beruang Kodiak punya pendengaran yang hampir sama seperti ******. Jika batas bawah pendengaran ****** adalah 40 Hertz sementara manusia 20 Hertz, berarti para paus itu mengeluarkan suara dengan frekuensi di antara keduanya. Paus pembunuh sendiri…
“Resha!! Berapa batas bawah pendengaran paus pembunuh?!”, tanyaku dengan suara keras.
“Kalau tidak salah 15 Hertz!! AAAAAHHHH!!”, teriaknya sambil menutup telinga.
Ah, aku tahu apa yang harus kulakukan…ARGH!! Suara ini lagi!!
“Orang tua, apa tidak ada penutup telinga di sini?!”
“Ada satu headset di bagian bawah kiri tempat kamu berada!!
Kuraih headset yang dimaksud orang tua itu. Ah, tapi aku tidak bisa mengenakannya sendiri…biar orang tua itu saja yang memakainya. Lama-lama aku kasihan juga melihatnya.
“Orang tua, pakailah headset nya!! Aku akan keluar sebentar!!
“Heh, Daleth!! Mau pergi ke mana?!”, seru Resha.
“Aku sudah mengerti bagaimana menghentikan suara ini!! Konsentrasi saja mengendalikan kapal, oke?!”, aku langsung berlari ke ruanganku di kapal ini, dan tentu saja…mengambil sarung tanganku.
Kukenakan kedua sarung tangan itu, lalu bergegas ke sisi kanan dek kapal sambil mengganti nilai frekuensi dan amplitudo pada program Atomic Vibration di sarung tangan. Duh, sulit sekali berkonsentrasi di bawah suara aneh seperti ini. Tapi aku harus berusaha…oke, akan kucoba frekuensi 17 Hertz, dengan amplitudo 10 kali lipat.
“Atomic Vibration. Low Frequency mode, system on!!”, sambil kuarahkan tanganku ke kumpulan paus pembunuh begitu aku sampai di sisi kanan dek. Ah…aman. Getaran dari Atomic Vibration tidak menghasilkan bunyi yang bisa kudengar, hanya terasa getarannya saja oleh tubuhku. Tak lama, kumpulan paus pembunuh itu pergi.
Orang itu benar-benar brengsek!! Memanipulasi kehidupan seenaknya untuk dijadikan senjata…! Lama-lama aku ingin membu--- ah, tidak bisa, aku harus memegang janjiku pada Resha…
Masalah belum selesai. Kulayangkan pandanganku ke arah ruang kontrol di ajungan, Resha sedang melambaikan tangannya dan wajahnya terlihat panik, seakan memerintahkanku untuk segera masuk. Dan…benar saja, begitu mataku melihat ke arah langit , terlihat kumpulan awan hitam…eh? Kumpulan burung camar? Banyak sekali jumlahnya…APA?! Mereka terbang menukik ke arah sini?!
Makin dekat burung-burung itu, makin jelas terlihat kalau ada sesuatu yang dipasang di punggung mereka. Begitu burung pertama menghantam dek, yang juga merupakan landasan, burung itu langsung…meledak?! Jadi ini serangan *** bunuh diri dengan menggunakan burung?! Orang itu memang sudah *******, lebih dari orang tua itu!!
“Energy Barrier. System on!!”
Refleks saja kuaktifkan Energy Barrier agar tidak ada bagian tubuhku yang terkena ledakan. Sayangnya, sasaran burung-burung itu bukan hanya diriku, tapi SELURUH kapal ini, termasuk ruang kontrol di atas anjungan. Seekor burung menabrak bagian dekat kaca ruang kontrol, meledak, sekaligus membuat kaca itu pecah. ARGH!! Mereka berdua dalam bahaya!!
Sial!! Energy Barrier tidak bisa digunakan bersamaan dengan Photonic Velocity ataupun Plasma Directing!! Jika aku berlari ke ruang kontrol, meskipun sudah berusaha secepat mungkin, bisa-bisa mereka sudah…itu tidak boleh…ITU TIDAK BOLEH TERJADI!! Baiklah…terpaksa aku menggunakan Overdrive System meski cukup beresiko.
“Energy Barrier. Overdrive System, exceed!!”, kuperbesar radius Energy Barrier dengan mengaktifkan Overdrive System tersebut.
Sistem ini bekerja dengan membuat total energi yang bisa dimanipulasi oleh sarung tangan ini bertambah, melebihi kapasitas yang bisa ditahan tubuhku. Untunglah hanya selang beberapa detik, serangan burung-burung itu berhenti. Jika lebih dari 5 menit…aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tubuhku. Terasa sedikit melelahkan memang, tapi setidaknya aku masih bisa melangkahkan kakiku naik ke ruang kontrol. Misha juga terlihat sangat panik akibat burung-burung tadi. Untunglah Resha berhasil menenangkannya dan membawanya keluar ruang kontrol, ke kamarnya di kapal ini.
Selama hampir beberapa lama tidak ada lagi serangan dari kapal-kapal tersebut, tapi mereka masih saja terlihat di radar dan mengejar kapal ini. Ada apa sebenarnya…?
“Anak muda, aku benar-benar bingung sekarang. Mereka memang tidak menyerang lagi, tapi terus mengikuti kita…”
“Ya, aku juga tidak mengerti, orang tua. Jika memang target mereka adalah menangkapku dan Resha, seharusnya mereka sudah membombardir terus kapal ini hingga rusak parah. Dengan begitu, mereka bisa menangkap kami dengan mudah.”
“Daleth, jangan-jangan…mereka juga menginginkan kapal ini?! Bagaimanapun juga aku belum pernah dengar dalam sejarah Liberion ada kapal secanggih ini…”
Tunggu. Kata-kata Resha ada benarnya. Secanggih apapun teknologi yang Liberion ciptakan, aku juga belum pernah dengar sama sekali ada peralatan perang sekolosal kapal ini. Bayangkan saja, kapal ini lebih besar dari kapal induk terbesar milik Angkatan Laut Liberion, ditambah lagi mesin penggerak kapal ini adalah reaktor fusi hidrogen, yang masih diteliti banyak ilmuwan di seluruh dunia. Seandainya Liberion mendapatkan kapal ini dalam keadaan utuh…
“Oi, anak muda, kenapa bengong saja?”
“Kurasa Resha benar, orang tua. Selain ingin menangkapku dan Resha, pastilah mereka juga ingin mendapatkan kapal ini…! Untuk itulah mereka menginginkan kapal ini dengan seminimal mungkin kerusakan!!”
“Hahaha!! Apa kamu bercanda? Takkan kuserahkan kapal terhebat Bolshevik Union begitu saja pada musuh!! Jika benar ceritamu mengenai runtuhnya Bolshevik Union, maka yang paling pantas mendapatkan kapal ini adalah negara yang kamu sebut dengan Varangia itu!!”
“Tentu saja, aku juga berpikiran demikian. Liberion sudah menjadi negara superpower sendirian selama dua dekade terakhir. Sudah saatnya ada kekuatan penyeimbang…”
“Aku suka pemikiranmu, anak muda!! Baiklah…! Akan kutambah kecepatannya!!”, kakek itu menarik tuas di sebelah tangan kanannya untuk menambah kecepatan kapal ini, ke kecepatan maksimum sebesar 35 knot.
“Kakek, sepertinya mereka juga menambah kecepatan!!”
“Tenang saja, Resha. Alreigh Burke-class destroyer berkecepatan maksimum hanya 30 knot, sementara Ticonderoga-class cruiser hanya sedikit di atasnya, 32,5 knot. Kapal ini masih lebih unggul walau kita harus tetap waspada…karena selama beberapa lama kapal ini akan masih ada dalam jangkauan tembak misil Harpoon.”, aku coba menjelaskan.
Waktu terus berjalan dan ketegangan terus melandaku, Resha, serta orang tua itu, waspada akan serangan berikutnya. Kapal ini memang cukup kuat, tapi jika terus menerus dihajar seperti tadi…aku yakin akan ada yang rusak parah dari kapal ini.
Ah, ada transmisi masuk, lagi-lagi dari si ahli genetika ******* itu.
"Hmmph, sudah kuduga orang secerdas kamu sudah tahu apa yang kami inginkan selain kalian berdua. Jika aku tidak bisa menangkap kalian hidup-hidup dan mendapatkan kapal tersebut, aku akan menghancurkan kalian semua!! Siapkan kembali misil Harpoon!! Tembak sebanyak yang kita punya!!”
Dia tidak main-main. Beberapa belas menit kemudian, misil-misil Harpoon kembali ditembakkan dan mengenai kapal ini.
“Daleth, bisa gunakan yang tadi?!”, tanya Resha dengan suara keras karena...mungkin, agak panik.
“Maksudmu Energy Barrier?!”
“Ya, itu!! Tadi kamu bisa melindungi seluruh kapal ini kan?!”
“Tadi aku menggunakan mode khusus yang jika digunakan terlalu lama, tubuhku bisa hancur!! Aku sendiri tidak tahu berapa misil yang dibawa oleh kapal-kapal itu dan berapa lama aku harus mengaktifkan mode tersebut!!”
Gelombang kedua kembali mengenai kapal ini. Terlihat ada bagian landasan yang berlubang…
“Orang tua, kecepatan kapal ini tidak bisa ditambah lagi?!
“Tidak bisa, anak muda!! Ini sudah paling--- whoaaaa!!”, orang tua itu terjatuh, lalu terseret hingga ke dinding ruang kontrol.
“Kakek Igor!! Kakek tidak apa-apa?!”, Resha membantu orang tua itu berdiri.
“Bukan masalah, Resha. Seorang prajurit tidak akan mengeluh dengan sedikit terbentur seperti i--- AARRGGHH!!”, orang tua itu berteriak kesakitan, sepertinya benturan tadi membuat pinggangnya sakit.
Gawat. Satu-satunya yang bisa mengemudikan langsung kapal ini hanyalah orang tua itu. Sejauh ini aku hanya berada di panel kontrol persenjataan saja.
“Anak muda, siagalah di depan panel kemudi. Resha, pantau terus perkembangan posisi kapal musuh, sekaligus cari tahu berapa jauh lagi jarak sampai ke pantai.”
Orang tua itu berusaha tetap tenang untuk memberikan komando mengenai apa saja yang harus aku dan Resha lakukan. Dan…gelombang misil ketiga datang…!!
Terdengar ledakan dari arah dek, sepertinya cadangan misil anti-kapal yang dimiliki kapal ini ikut meledak karena serangan gelombang ketiga tadi. ARGH!! Bagaimana ini?!
“Daleth…sepertinya di depan kita ada satu kapal lagi…”, ujar Resha.
“Hah?! Mereka meminta bantuan kapal tambahan?! Sial. SIAAAAALLL!!”, aku langsung terduduk lemas.
“Oi, anak muda, mana semangatmu?! Selama nafas masih keluar masuk paru-parumu, tidak boleh ada kata menyerah!!”
“Hei orang tua, lihat kenyataannya!! Di belakang dan depan kita ada armada Liberion mengejar, dan sudah pasti kita akan dihabisi. Di. Ha. Bi. Si!!”
“Cih, orang-orang Liberion memang lemah!! Aku heran kenapa negara seperti negaramu, yang penuh dengan manusia-manusia bermental busuk, bisa menjadi negara terkuat di dunia!!”
“Sudah jangan bertengkar!! Lihat, ada transmisi lagi masuk!!”, seru Resha.
“Ah, biarlah. Paling juga dari si gila Gregor itu lagi.”, aku benar-benar sudah pasrah.
“Hmmph, jika kamu tidak mau menjawab, biar aku saja.”, orang tua itu berusaha berdiri dibantu oleh Resha.
Orang tua itu menekan tombol untuk menyalakan transmisi, lalu bicara…bahasa Varangia?!
“Hahaha!! Lihat, jika tidak ada kata menyerah, pasti akan ada hasilnya!!, orang tua itu tertawa terbahak-bahak setelah mematikan transmisi.
“Kakek, yang tadi itu…transmisi dari siapa?”
“Militer, Resha. Angkatan laut orang-orang sebangsaku. Hei anak muda lemah!! Berdiri dan lihat dengan binocular ini ke arah kapal yang di depan!!”
Karena setengah tidak percaya, aku menuruti yang dikatakan orang tua itu. Di depan memang ada satu buah kapal, tapi…berbendera Varangia!! Itu Kirov-class battlecruiser!! Dari situ terlihat ada misil meluncur, dan diarahkan jauh ke belakang kami, ke armada Liberion yang sedang mengejar, walau tidak sampai mengenai satupun kapal. Tak lama, kapal-kapal Liberion itu berbalik arah.
“B-B-Bagaimana bisa…”, bicaraku terdengar lemas.
“Resha, coba periksa posisi kita sekarang, berapa jaraknya dari pantai.”, kata orang tua itu.
“11 mil laut dari pantai…kita sudah masuk laut teritorial Varangia!! Kakek, kita berhasil…!!”, Resha melompat kegirangan, lalu memeluk orang tua itu.
“Hahaha!! Slava, Soyuz Bolshevik!! Kejayaan untuk Bolshevik Union!!”, orang tua itu terlihat gembira.
Berarti…sejak tadi pertempuran berlangsung tidak jauh dari batas zona ekonomi eksklusif Varangia. Kalau begitu kenapa armada Liberion masih nekat juga berusaha mengejar kapal ini di area tersebut?! Ceroboh sedikit saja maka Liberion akan langsung dikecam dunia internasional, apalagi jika mereka menembak ketika kapal ini sudah masuk laut teritorial Varangia. Gila, Liberion sudah gila!!
“Lain kali jangan terlalu cepat menyerah, anak muda.”, kata orang tua itu begitu menginjakkan kaki di daratan, di kota kecil bernama Novopetrograd, kota kelahirannya.
“Ya…aku tahu. Maaf jika aku merepotkan tadi.”
“Hahaha!! Jangan murung, anak muda!! Bagaimanapun juga kapal itu berhasil bertahan hingga ke sini karena bantuanmu juga. Jika tidak…mungkin kapal itu sudah rusak jauh lebih parah lagi.”
“Dan…bagaimana nasib kapal itu?”
“Tentu saja akan kuberikan pada angkatan laut Varangia. Aku yakin mereka bisa memperkuat kapal itu lebih jauh, dan membuat bangsa ini kembali menjadi bangsa yang ditakuti dunia. Hahaha!! Ohok…ohok…!!”
“Hahaha…sejak kita berangkat, dirimu terus menerus tertawa sih…semangat boleh saja, tapi tetap ingat umur, hei orang tua.”
Para penduduk kota kecil itu langsung keluar rumah dan menghampiri kami bertiga. Di antara mereka ada orang-orang tua yang sepertinya mengenal orang tua itu, terlihat dari akrabnya mereka dalam berbicara satu sama lain. Sementara aku dan Resha…benar-benar tidak mengerti apa yang mereka katakan. Yah, sudahlah, setidaknya aku harus bersyukur bisa mendarat dengan selamat di tempat ini, walau tempat ini asing bagiku.
Malam harinya, kami ditawari beristirahat di rumah salah satu warga kota. Berhubung rumah orang tua itu juga sudah ambruk karena sudah lama tidak didiami, dia juga ikut tinggal di tempat yang sama.
“Oi, orang tua, kudengar keluargamu ada di tempat ini. Bagaimana kalau kita mencarinya besok?”, tanyaku ketika makan malam.
“Hei, darimana kamu tahu hal itu? Ah…Resha, pasti kamu yang memberitahu.”
“Iya…apa kakek marah?”
“Tidak, tidak.”
“Jadi, kita akan mencari istri dan anakmu besok?”, tanyaku lagi.
“Itu tidak perlu. Aku mengerti situasi kalian sekarang, yang harus terus menghindar dari kejaran orang-orang Liberion, orang sebangsa kalian sendiri. Makin cepat kalian meninggalkan negara ini, akan makin kecil kemungkinan kalian untuk tertangkap.”
“Setidaknya ijinkanlah aku untuk berterima kasih, orang tua. Membantu selama beberapa hari tidak masalah bagiku. Benar begitu, Resha?”
“Sebaiknya jangan. Kalian…tidak bisa bahasa Varangia kan? Bagaimana kalian bisa membantu? Hahahaha!!”, ledeknya.
Huh…padahal niatku benar-benar tulus, hanya sekedar ingin berterima kasih saja.
“Maaf, aku hanya bercanda. Sebaiknya kalian turuti apa yang kukatakan sebelumnya. Tapi jika kalian ingin beristirahat dahulu selama 2 atau 3 hari, itu tidak masalah. Sekarang lebih baik kita minum vodka dulu…hahaha!!”
“Umm…aku tidak ikut.”, sahut Resha.
“Ayolah, coba saja sedikit.”, orang tua itu membujuknya. Resha mencicipinya sedikit, dan…
“Hweeeekkk…tidak enak…!!”
Aku dan orang tua itu langsung tertawa melihat Resha. Hahaha…dasar anak kecil. Wajahnya langsung merah karena malu, namun setelah itu dia ikut tertawa bersama kami. Selama makan malam itu juga, kuceritakan mengenai diriku dan Resha, serta apa saja yang sudah terjadi selama ini.
Dan…tiba saatnya bagiku dan Resha untuk meninggalkan kota ini, yang sempat kami pijak selama kurang lebih 40 jam.
“Tidak ada barang kalian yang tertinggal lagi?”, tanya orang tua itu.
“Semua sudah lengkap, orang tua. Terima kasih sudah menolong kami.”
“Sama-sama, anak muda. Jaga dirimu. Mampirlah ke sini jika semua masalahmu sudah selesai.”, dia menepuk pundakku.
“Tenang saja, orang tua. Aku janji aku pasti kembali. Jaga dirimu juga. Jangan terlalu banyak tertawa dan minum vodka. Dan juga jangan meninggalkan dunia ini sebelum kami berdua kembali, oke?”
“Aku janji tidak akan mati sebelum kalian kembali, itu pasti. Kamu bisa pegang kata-kata seorang prajurit sepertiku, anak muda.”
Sebelum kami melangkah pergi, Resha memeluk orang tua itu, dan…Misha…aduh, aku dijilat beruang bau itu…
“Hahaha!! Sepertinya Misha sudah menyukaimu…! Baiklah, aku sudah meminta kapten kapal perang Kirov-class yang waktu itu untuk mengantar kalian hingga Vladikavkaz, kota pangkalan angkatan laut, masih di pantai barat Varangia. Di sana ada bandara internasional.”
“Ah…terima kasih banyak, orang tua. Kami mohon pamit…sampai jumpa lagi.”
Kuberikan penghormatan seperti seorang tentara padanya, Igor Gvozdev, beruang tua dari Varangia. Semoga kita bisa bertemu kembali...
Aku dan Resha kembali melanjutkan pelarian, menuju…Seihou, sebuah negara kepulauan di barat daya Varangia.
Share This Thread