Page 6 of 8 FirstFirst ... 2345678 LastLast
Results 76 to 90 of 113
http://idgs.in/424444
  1. #76
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 19 :

    ============================================
    Chapter 19: Ultimate Chivalry ~ Land of Knights (Part 2)
    ============================================



    Esok hari adalah harinya. Di hari latihan terakhirku ini, kembali, aku melawan para golem buatan Huang. Yang berbeda dengan latihan hari ini adalah latihan dihentikan saat tengah hari.

    “Bagaimana sepanjang 2 minggu ini, Daleth?”

    “Berjalan cukup baik, Huang. Aku merasa jauh lebih kuat dibanding sebelumnya.”

    “Sejauh yang kuamati, kamu memang mengalami perkembangan yang pesat. Tapi aku masih melihat satu kelemahan darimu.”

    “Eh? Apa itu?”

    “Kamu belum pernah menghadapi manusia. Golem-golem yang kubuat hanya bertindak berdasarkan insting bertahan dan menyerang. Lain halnya jika menghadapi manusia sungguhan, yang bergerak berdasarkan taktik dan pengamatan, apalagi jika orang tersebut sangat mahir. Untuk itulah…”

    “Tunggu. Sepertinya aku mengerti maksudnya…”

    “Benar, Tuan Daleth. Anda akan menghadapi saya kali ini.”, sahut Tuan Rudolf yang berjalan keluar dari kastil. “Saya akan memberi Anda satu jam untuk bersiap-siap. Setelah itu, kembalilah ke sini untuk menghadapi saya.”

    Aku mempersiapkan segalanya, dibantu oleh para pelayan kastil. Mengenakan armor dan membawa sebuah perisai. Untunglah, selama 2 minggu ini kekuatan fisikku bertambah. Kalau tidak, mungkin aku tidak akan kuat mengenakan semua ini. Dengan Joyeuse di tangan kananku, aku kembali ke halaman kastil untuk menghadapi Tuan Rudolf, yang juga telah lengkap mengenakan armor nya.

    “Ada peraturan khusus, Tuan Rudolf?”

    “Sederhana. Pertandingan akan dihentikan setelah ada yang mengaku kalah. Bagaimana, Tuan Daleth? Selama pertarungan, Nona Huang yang akan mengawasi.”

    “Baik, saya mengerti. Langsung saja kita mulai.”

    Tanpa basa-basi, aku langsung menerjang maju untuk menyerang Tuan Rudolf. Kuayunkan Joyeuse ke arahnya, namun berhasil ditahan dengan pedangnya. Aku melompat mundur sedikit untuk menjaga jarak setelah seranganku yang tadi gagal.

    “Lumayan, Tuan Daleth. Namun Anda harus lebih menggunakan otak Anda dalam menyerang.”

    Kali ini, Tuan Rudolf berlari maju. Dia mengayunkan pedangnya secara vertikal, berhasil kutahan dengan pedang. Kupikir, aku berhasil 100 persen menahan serangannya. Tapi…tidak. Tangan kirinya, yang memegang perisai, diayunkan ke arahku dan mengenai tubuhku. Otomatis, aku jatuh dan terlempar.

    “Itu yang saya maksud. Dalam pertarungan adu pedang yang mengijinkan penggunaan perisai, hal tersebut boleh dilakukan.”

    “Ah…begitu rupanya. Baiklah, kita mulai lagi.”, aku kembali berdiri.

    Beberapa kali seranganku gagal, begitu juga dengan Tuan Rudolf. Kami hampir bisa dikatakan seimbang, dengan serangan yang saling menetralkan. Aku tidak tahu apakah Tuan Rudolf sengaja mengalah atau memang diriku sudah bertambah kuat.

    Satu hal yang aku tahu, ternyata perisai dan armor ini sangat menghalangi pergerakan tubuhku. Beberapa kali gerakanku terbaca oleh Tuan Rudolf karena bergerak terlalu lambat. Hal ini harus kupikirkan baik-baik dalam menghadapi Friedrich nanti. Aku yakin, dia bisa bergerak jauh lebih cepat dari Tuan Rudolf karena usianya yang lebih muda.

    Hampir 20 menit, tidak ada satupun dari kami berdua yang jatuh. Tunggu. Sepertinya aku mengerti bagaimana cara untuk menjatuhkan Tuan Rudolf dan membuatnya menyerah. Menggunakan otak…hmm…

    Kulancarkan serangan kembali, langsung menuju ke arah Tuan Rudolf. Lurus. Tentu saja, dia langsung sigap. Ini dia saatnya…!!

    Aku bertumpu dengan kaki kananku di depan, lalu merunduk serendah yang kubisa. Ayunan pedangnya yang dilancarkan secara vertikal itu kutahan dengan perisai yang kubawa, lalu kulepas perisai tersebut dan melompat ke samping. Selagi dia terkejut, aku melompat tinggi, dan menggunakan seluruh tenaga lenganku untuk mengayunkannya ke bawah. Pedangnya terkena, dan patah. Diapun menyerah.

    “Hebat, Tuan Daleth. Hebat. Bagaimana Anda bisa memikirkan hal seperti itu? Pedang saya sampai bisa patah begini…”

    “Sejak tadi saya berpikir, perisai dan armor ini sangat menghalangi pergerakan saya. Untuk itulah, saya melepas perisainya untuk mengalihkan perhatian. Serangan yang saya lancarkan terakhir tadi hanya memanfaatkan kemampuan yang Joyeuse miliki.”

    “Mengenai bobotnya yang bisa bertambah itu?”

    “Fisika sederhana, Tuan Rudolf. Saya hanya memanfaatkan tambahan vektor gaya yang dipengaruhi gravitasi. Kita tahu, vektor gaya benda yang jatuh bebas pastilah mengarah ke bawah karena dipengaruhi gravitasi. Gaya berat sama dengan perkalian massa dengan percepatan gravitasi yang mengarah ke bawah.”

    “Dan kamu menambah magnitudo gaya berat tersebut dengan mengayunkan pedang sekuat tenaga ketika melompat. Benar begitu, Daleth?”

    “Nah, tepat seperti yang Huang jelaskan. Mengayunkan pedang sekuat tenaga berarti menambah nilai vektor gaya dari pedang yang sedang bergerak, jika kedua vektor gayanya searah. Hasilnya, tidak hanya gravitasi yang bekerja, namun juga gaya dari lengan saya. Tambahan vektor gaya tidak hanya berasal dari gravitasi, namun bisa juga dari kecepatan berlari, yang akan menambah vektor gaya ke arah depan. Saya juga menyadari, kalau pedang yang Anda bawa lebih ringan dari Joyeuse, Tuan Rudolf. Latihan selama ini secara tidak langsung membuat Joyeuse menjadi lebih berat dari pedang pada umumnya. Untuk itulah, pedang Anda bisa patah.”

    “Hahaha…Anda pintar juga rupanya. Kalau boleh saya simpulkan, latihan ini amat sangat berguna. Benar begitu?”

    “Ya, benar. Ditambah lagi penggunaan pemberat itu membuat otot-otot saya membesar tanpa saya sadari. Tapi…saya punya satu permintaan.”

    “Katakan saja, Tuan Daleth.”

    “Untuk besok…saya tidak akan menggunakan Joyeuse. Saya tidak tahu pedang apa yang akan Friedrich gunakan, jadi saya tidak ingin pedang legendaris ini rusak akibat pertarungan besok. Pedang ini memang sangat berguna untuk melatih diri saya, namun…sepertinya saya tidak tega melihatnya patah seperti pedang yang Anda gunakan tadi. Terlalu bersejarah.”

    “Hmm…Anda ingin meminta pedang khusus?”

    “Tidak perlu. Saya akan membuatnya sendiri dengan sarung tangan yang saya miliki.”

    “Hei Daleth, apa kamu lupa? Kamu tidak boleh menggunakan sarung tangan itu…”, sahut Huang.

    “Yang Friedrich katakan hanyalah aku harus bertarung dengan pedang saja, tanpa menggunakan sarung tanganku. Dia tidak mengatakan mengenai…cara pembuatan pedangnya.”

    “Hmm…benar juga. Saya jadi penasaran, pedang seperti apa yang akan Anda buat, Tuan Daleth.”

    “Yang akan saya buat adalah…”



    Hari itupun tiba.

    Bergerak 160 kilometer ke arah utara, dari Dresden ke Brandenburg. Dengan menggunakan mobil resmi Electorate of Saxony, kami bertiga menuju arena Magna Gladiatorium.

    Suara riuh penonton dari dalam tribun arena terdengar hingga keluar. Kutatap dengan tajam ukiran burung elang hitam berkepala dua tepat di atas gerbang utama arena, yang merupakan simbol dari negara Teutonium. Sambil membawa pedang buatanku yang tertutup oleh kain hitam, kumasuki arena Magna Gladiatorium. Arena beralaskan tanah berbentuk lingkaran itu sekarang berada di depan mataku. Suara para penonton mendadak hening begitu melihat kami bertiga masuk lewat gerbang utama.

    “Daleth, berjuanglah. Meski Friedrich dan seluruh rakyat Teutonium tidak berpihak padamu, namun aku, Tuan Rudolf, dan juga Resha pasti mendukungmu.”

    “Ingat selalu apa yang telah saya ajarkan, Tuan Daleth. Jangan sampai terbawa permainan Friedrich.”

    “Terima kasih, Huang, Tuan Rudolf. Kali ini…Friedrich pasti kalah.”

    “Bagus. Tapi jangan buat dia sampai cacat seumur hidup…hehehe…”, Huang tersenyum.

    “Tenanglah. Aku sudah mengerti aturan yang biasa dipakainya.”

    “Baiklah kalau begitu. Kami berdua akan menonton dari tribun VVIP yang sudah disediakan, bersama keenam Kurfürst lainnya.”, ujar Tuan Rudolf. Mereka berdua melangkah ke tribun.

    Dari tempatku berdiri, kulihat Resha sedang duduk di barisan tribun terdepan, tepat bersebrangan denganku. Ekspresi wajahnya berubah, seakan mengharapkanku untuk segera menyelamatkannya.

    “Ini dia, wahai rakyat Teutonium!! Orang yang akan mempermalukan dirinya sendiri di hadapan kita semua!! Dan…apa kalian lihat? Dia ternyata sudah siap untuk mati!! Tidak ada perisai ataupun armor yang dikenakannya!! Hahaha…!!”, serunya lewat mikrofon. “Mari kita dengarkan sejenak apa yang ingin dikatakan orang ini!”, dia melemparkan mikrofonnya itu padaku.

    “Singkat saja, wahai Friedrich yang terhormat!! Kamu. Akan. Kalah. Mengerti?!”

    Perkataanku itu disambut dengan sahutan penonton yang bernada mengejek. Hmmph, lihat saja, hei rakyat Teutonium!! Siapa yang akan kalah, anak sombong itu atau aku.

    Kulemparkan mikrofon itu kembali padanya, lalu diambil oleh seorang pengawal yang berjalan dari pinggir arena. Pertarungan ini ternyata ditampilkan di beberapa layar yang sangat lebar, ditaruh di tembok arena.

    “Baiklah, kita akhiri basa-basi ini. Peraturannya, pertandingan akan dihentikan setelah salah satu pihak mengaku kalah. Kamu mengerti?!”

    “Tentu. Aku tidak sebodoh yang kamu kira.”

    “Berani juga kamu. Heaaaaahhh!!!”, dia langsung melancarkan serangan padaku.

    Dengan mudah, kutahan serangannya dengan pedang yang kubawa. Masih terbungkus kain.

    “Buka pedangmu, orang asing!!”, lalu dia melompat mundur.

    “Kalau kamu benar-benar ingin tahu…”, kulepas kain penutupnya. “Inilah pedang yang kubawa!!”

    Tebak apa pedang yang kubuat? Sebuah pedang yang amat sangat kuat dan berkilauan. Ya, pedang dari material alamiah terkeras di planet ini, intan. Bentuk dan massanya kusesuaikan dengan data paling terakhir yang kudapat dari Joyeuse. Dengan E.L.O.H.I.M. Project, benda seperti ini dapat dibuat dengan mudah hanya dengan sedikit modifikasi code pada program Material Creation.

    “Pedang itu…dari intan?!”

    “Kamu takut sekarang?”

    “Ha!! Seorang ksatria tidak akan menyerah hanya dengan melihat hal itu!!”

    Kembali dia berusaha menyerangku, berlari sedikit condong ke arah kiriku. Karena aku tidak menggunakan armor dan membawa perisai, gerakanku menjadi jauh lebih cepat darinya. Serangannyapun dapat kuhindari dengan mudah. Sekarang giliranku!!

    Aku berlari sekuat tenaga, sambil mengamati pergerakannya untuk bisa memprediksi apa yang akan dia lakukan. Sedikit melompat ke kiri, lalu kuayunkan pedangku secara horizontal sambil melayang sedikit di udara. Dapat ditahan, namun…pedang miliknya langsung retak begitu berbenturan dengan pedang dari intan milikku. Jelas saja hal itu akan terjadi.

    “Kamu hanya menantangku beradu pedang, itu saja kan? Siapa suruh kamu tidak memberi aturan untuk menggunakan pedang dari logam…hmmph.”, ujarku dengan nada meremehkan.

    “Jangan banyak omong!! Aku akan membungkam mulutmu sekarang juga!!”

    Dengan pedangnya yang sudah sedikit retak itu, dia masih berusaha menyerangku. Semangat yang bagus. Pedangnya diayunkan 45 derajat tepat di depanku. Untunglah, dapat kutahan. Pedang yang digunakannyapun makin retak. Kukira dia akan menyerah karena pedangnya sudah rusak, tapi…

    “Argh, sial!!”, aku berusaha menutup mataku karena debu pasir. Ya, dia menyeret pedangnya di tanah arena yang berdebu itu, lalu mengarahkannya tepat ke wajahku.

    Penglihatanku sedikit terganggu karena hal itu. Duh, aku harus lebih tenang. Ke mana dia bergerak…? Mataku tidak dapat diandalkan dalam kondisi ini. Sebentar…biar kurasakan pergerakan udara di sekitarku. Hari ini tidak berangin, sehingga gerakan Friedrich pastilah menimbulkan turbulensi udara di sekitarku. Konsentrasi, konsentrasi. Perlahan, kurasakan angin dari sebelah kananku. Otomatis, kuayunkan pedangku ke arah itu. Dan…terdengar suara, suara pedang yang patah.

    “Ha!! Pedangmu sudah patah, Friedrich. Menyerahlah!!”, pasir sudah mulai hilang dari mataku, membuatku dapat melihat posisinya lagi.

    “Kamu pikir hanya ini pedang yang kupunya, hah?!”, dia meminta sebuah pedang lagi pada penjaga di pinggir arena. “Aturannya hanya pertarungan berhenti ketika ada yang mengaku kalah. Selama tidak ada yang mengaku kalah, berapapun pedang yang digunakan, itu tidak masalah!!”

    Sial. Kalau begini caranya, aku harus mematahkan tangannya, atau membuat dirinya tidak bisa bergerak. Aku harus menunggu kesempatan yang baik…

    Dengan sebuah pedang baru, kembali dia melancarkan serangan. Beberapa kali berhasil kutahan. Hmm…sepertinya pedang barunya sedikit lebih keras.

    Begitu jaraknya sekitar 2 meter di depanku, kuangkat pedangku ke arah Matahari. Lalu, kusorotkan sinarnya itu ke arah matanya. Ya, aku mengganggu penglihatannya seperti yang dia lakukan padaku tadi. Setidaknya itu membuat dia melompat mundur beberapa langkah, sehingga aku punya kesempatan untuk melancarkan serangan kembali.

    Pertarungan berlangsung sengit. Beberapa kali Friedrich mengganti pedangnya karena selalu rusak akibat berbenturan dengan pedang terkeras di dunia yang kumiliki. Harus kuakui, dia benar-benar profesional. Jika aku hanya bermodalkan Joyeuse, mungkin aku sudah kalah sejak tadi. Untunglah aku terpikir untuk membuat pedang dari intan.

    Sesekali kulayangkan pandanganku ke arah tribun dimana Resha duduk. Wajahnya…benar-benar mengharapkanku untuk segera datang menghampirinya. Apakah dia diperlakukan dengan buruk selama 2 minggu ini? Tapi sepertinya kata-kata Tuan Rudolf dapat dipercaya, Friedrich pasti akan memperlakukan Resha dengan baik. Atau mungkin dia hanya sekedar kangen padaku? Hmm…mungkin?

    “Kamu hebat juga, orang asing. Kudengar, Rudolf yang melatihmu.”

    “Ya…itu benar. Latihan yang berat dan melelahkan. Namun ini semua demi orang yang kamu ambil seenaknya itu. Resha.”

    “Hmmph, takkan kuserahkan sosok yang akan membawa negara ini kepada kejayaan begitu saja padamu!!”

    “Tahu apa dirimu tentang Resha? Sudah beberapa bulan terakhir ini, aku yang terus bersamanya. Aku yang mengerti dirinya. Aku yang melihat tawa dan tangisnya. Sementara kamu, apa hakmu, HAH?! Kamu terlalu termakan mitos!!”

    “Jangan bicara sembarangan!! Heaaaaahhhh!!”

    Kembali dia mengayunkan pedangnya ke arahku. Hmm…bagus, kalau kuperhatikan, emosinya naik. Selama aku lebih tenang, cepat atau lambat pasti aku akan dapat melancarkan final blow padanya.

    Benar saja, gerakannya perlahan mulai dapat kubaca. Langkah kaki, terjangan, lompatan, ayunan pedang, dan titik mana yang akan dia serang sudah dapat kuantisipasi. Namun kecepatannya masih sama seperti tadi. Aku hanya perlu menunggu hingga dia sedikit lengah…

    Berlari, lagi-lagi berusaha menerjangku secara frontal. Kuamati dia perlahan…ini dia!! Langkahnya sedikit miring, mungkin karena sudah terlalu lelah. Aku menunggu dia sedikit mendekat dan…

    *TRANG!!~

    Pedangnya kembali patah. Langsung saja ke serangan berikutnya...!!

    Kuatur posisi kakiku seperti yang pernah diajarkan Tuan Rudolf, mengenggam pedangku dengan kedua tangan, menerjang lurus ke depan untuk mendapatkan tambahan vektor gaya, lalu mengayunkannya sekuat tenaga ke arah Friedrich. Secara refleks, dia menggunakan perisainya untuk menahan seranganku. Kuputar sedikit pedangku, agar sisi lebarnya yang mengenai perisai. Itu untuk mencegah agar perisainya tidak terbelah, dan Friedrich mati di tanganku. Aku tidak mau membunuhnya.

    Fatal blow!! Friedrich terpental hingga ke pinggir arena, ke dekat tribun dimana Resha duduk.



    Seluruh arena langsung diliputi keheningan. Mereka seakan tidak percaya kalau Friedrich dapat kukalahkan. Aku langsung berjalan ke arah Friedrich yang berusaha bangkit, lalu menyodorkan ujung pedangku.

    “Stop. Menyerahlah. Aku sudah berjanji tidak akan membunuh siapapun. Jika pertandingan ini diteruskan, bisa-bisa aku membunuhmu secara tidak sengaja.”, usahanya untuk berdiripun tidak dilanjutkan.

    Kuselipkan pedangku di ikat pinggang, lalu melompati batas antara tribun dan arena, menghampiri Resha. Kuambil mikrofon yang berada di dekat situ, lalu…

    “Dengar, wahai rakyat Teutonium!! Teutonica…bukan. Resha Gimmelia, bukan milik Friedrich, bukan milik kalian!! Resha adalah milikku!! Milikku!!”, seruku.

    Langsung saja kugendong dirinya, princess carry mode. Resha terasa lebih ringan…mungkin ini hasil latihan yang kemarin.

    “A-Apa yang tadi k-kamu bilang?! Aku…m-m-milikmu??!!”, ujarnya gugup. Wajahnya terlihat sangat merah.

    “Eh? Aku salah bicara ya?”

    “M-Masih juga banyak tanya!! Aku bukan b-barang kepunyaanmu atau semacamnya!! Dan kamu mengatakannya di hadapan seluruh negara ini…!! AAAHHH!!! Dasar bodohhhh!!”

    “Oi!! Jangan banyak bergerak!! Kamu mau kujatuhkan, hah?!”

    “Ah berisik!! Pokoknya aku tidak terima kalau aku dibilang sebagai m-m-milik…AAAAHHH!!”, dia memukul-mukulku.

    “Ahahah…duh, aku tidak tahan ingin tertawa.”, ujar Huang yang berjalan menghampiri kami, bersama Tuan Rudolf.

    “D-Daleth!! Turunkan aku…!!”

    “Iya, iya. Sabar sedikit kenapa sih.”, kuturunkan Resha.

    “Hei, Daleth…kamu harus bertanggung jawab. Lihat tuh, wajah Resha tidak berhenti menjadi merah.”, kata Huang dengan nada meledek.

    “Aku bingung…memangnya aku salah bicara ya?”, tanyaku kebingungan.

    “Ohhh…tidak kok, tidak. Itu bagus sekali. Ahahaha…”, sekarang Huang malah tertawa. “Benar-benar seperti sepasang suami-istri, saling memiliki…begitu kira-kira.”

    “Hah?! S-Suami istri bagaimana?! Kurasa yang kukatakan tadi adalah hal yang wajar…”, giliranku yang gelagapan.

    “Huh…sudahlah, sepertinya memang masih perlu waktu lama untuk melihat kalian memiliki anak dan memperlihatkannya padaku.”, dia langsung berjalan ke arah Friedrich.

    “Selamat, Tuan Daleth. Anda sudah mempraktekkan semuanya dengan baik. Saya sendiri tidak pernah terpikir untuk membuat pedang dari intan seperti yang Anda lakukan.”, Tuan Rudolf memberi selamat padaku.

    “Ahaha…terima kasih, Tuan Rudolf. Saya hanya memanfaatkan apa yang sudah saya punya. Yang jelas saya telah berhasil memenangkan pertarungan dengan adil dan jujur.”

    “Benar sekali. Anda sudah cocok menjadi seorang ksatria sekarang.”

    “Bagaimana, Resha? Daleth makin keren saja kan…?”, ledek Huang, sambil merangkul Friedrich di bahu kanannya. “Kamu juga. Main culik anak orang sembarangan…kamu mau kalau kubatalkan pernikahan kita?”, katanya sambil memukul kepala Friedrich dengan kipas yang dibawanya.

    Tercipta kesunyian selama beberapa detik, hingga…

    “Hah?! Menikah?!”, ujarku dan Resha secara bersamaan karena terkejut.

    “Oh? Kalian belum tahu ya? Friedrich itu sebenarnya tunanganku. Kami sudah saling kenal sejak 12 tahun yang lalu.”

    “AH!! Jadi itu alasannya kamu bisa tahu mengenai kekuatan yang dimiliki Joyeuse? Setahuku pedang itu adalah Imperial Regalia negara ini. Tidak mungkin seseorang yang tidak dekat dengan keluarga Kaiser dapat mengetahui seluk-beluknya.”

    “Yap, seratus untukmu, Daleth. Dulu anak manja ini sering sekali bercerita tentang pedang itu sewaktu kami masih kecil.”

    “Tapi…kenapa kamu mau dengan orang seperti ini?! Hampir saja aku kehilangan Resha karenanya!!”

    “Harus kuakui, sesekali dia memang egois dan manja. Tapi…hanya dia satu-satunya pria yang bukan keluargaku, yang mau mencintaiku meski kondisi kesehatanku tidak stabil.”, Huang tersenyum. “Eh? Tadi kamu bilang apa? Kehilangan…Resha? Ehemmm…”

    Aku tidak mampu berkata apa-apa lagi, begitu juga dengan Resha. Kami hanya memalingkan wajah ke arah yang berbeda.

    “Huh…ya sudah. Friedrich, minta maaflah pada mereka. Sebenarnya, kedua orang ini adalah temanku yang pernah kuceritakan waktu itu. Kalau bukan karena mereka, aku tidak akan pernah bisa menginjak tanah kelahiranmu seperti sekarang.”

    “Jadi mereka yang selama ini kamu ceritakan?! Kenapa kamu tidak berusaha menghentikanku?”

    “Yah…anggap saja seperti semacam tes. Aku sendiri belum pernah melihat kemampuan berpedangmu secara langsung, hanya dari cerita orang-orang saja. Dengan begini, aku jadi tahu kemampuanmu yang sebenarnya. Aku juga yakin, Daleth tidak akan membuat nyawamu melayang karena janjinya pada Resha. Untuk itulah, tidak ada yang perlu kukhawatirkan.”

    “Tapi…aku kalah…”

    “Siapa peduli? Kamu sudah berusaha dengan baik, hanya saja Daleth sedikit lebih pintar darimu. Sudah, jangan banyak bicara. Minta maaflah pada mereka, setelah ini akan kutemani ke rumah sakit.”

    “Baiklah…Daleth, Resha, tolong maafkan kelakuanku. Seandainya saja aku tahu lebih awal, aku tidak akan melakukan hal seperti ini.”

    “Karena Huang yang meminta…ya sudah, kumaafkan. Lagipula kamu tidak macam-macam terhadapku kok. Tidak usah terlalu menyesal.”, ujar Resha.

    “Ya, kumaafkan. Aku tidak mau lagi menambah musuh. Aku juga terlalu terbawa emosi…untung saja, kalau kulihat-lihat, cederamu tidak seberapa. Satu hal lagi, kamu belum mendeklarasikan kekalahanmu di depan rakyat Teutonium. Bagaimana jika kamu lakukan sekarang?”

    “B-Baiklah.”, katanya sambil menahan sakit. “Seorang ksatria akan mengakui kekalahannya secara jantan.”

    Seorang pengawal mengambilkan mikrofon, lalu memberikannya pada Friedrich. Dengan suara lantang tanpa keraguan, dia mengakui kekalahannya di hadapan seluruh rakyat Teutonium yang hadir, dan mungkin ke seluruh negeri seandainya pertarungan ini disiarkan di televisi nasional. Pandanganku terhadapnya berubah, menjadi sedikit lebih positif. Pertandinganpun dinyatakan selesai dengan diriku sebagai pemenang, diakhiri dengan sebuah ciuman dari Huang mendarat di pipi Friedrich.



    Empat hari setelahnya, di istana Brandenburg. Cedera yang dialami Friedrich sudah pulih. Untunglah, hanya beberapa goresan dan kaki serta bahu terkilir. Kalau lebih dari itu…mungkin aku akan dihukum karena membuat anak Kaiser yang berkuasa menjadi cacat.

    Sebuah jamuan non-formal pun diadakan bagiku dan Resha. Dalam kesempatan itu, Huang dan Friedrich bercerita bagaimana mereka pertama kali bertemu, dan akhirnya saling menyukai. Kepergian Kaiser Wilhelm ke Qing juga sebenarnya adalah untuk mendiskusikan pernikahan mereka lebih lanjut dengan kaisar Qing, ayah Huang. Kemungkinan besar pernikahan tersebut akan diadakan tahun depan.

    Pembicaraan berlanjut, makin mengarah kepada perihal gelar Imperator Romanum Sacrum yang sampai sekarang belum diterima Kaiser Wilhelm.

    “Aku sempat berpikir, bagaimana reaksi Kaiser Wilhelm jika dia tahu kejadian kemarin ya…?”

    Ekspresi wajah Friedrich berubah pucat pasi mendengar perkataanku itu. Kelakuannya bisa-bisa menunda lebih lama lagi pemberian gelar Imperator Romanum Sacrum pada Kaiser Wilhelm.

    “Anda terpikir mengenai pemberian gelar itu, Tuan Daleth?”, tanya Tuan Rudolf yang ikut menghadiri jamuan itu.

    “Ya, seperti yang Anda katakan sebelumnya, peristiwa ini dapat menunda pemberian gelar itu. Tapi saya sendiri heran, kenapa lama sekali? Menurut sejarah, semua Kaiser sebelum Kaiser Wilhelm dinobatkan menjadi Imperator Romanum Sacrum paling lama 20 tahun setelah menjadi Kaiser Teutonium. Namun kali ini…25 tahun? Sepertinya ada yang aneh…”

    “Benar juga. Sepertinya kamu tahu banyak mengenai negara ini, Daleth. Aku sendiri sempat mendengar rumor tidak sedap datang dari Italia mengenai kondisi di sana. Kupikir, itulah yang menunda pemberian gelar itu pada ayahku, sehingga aku melakukan ini semua dengan harapan negara ini akan berjaya kembali…seperti katamu, terjebak mitos.”, ujar Friedrich.

    “Hmm…kalau benar begitu, ini harus segera diselidiki. Sebelumnya aku ingin tanya satu hal, bagaimana dua cyborg Liberion itu bisa kamu miliki?”

    “Aku membelinya sekitar pertengahan tahun ini, mereka memberiku diskon.”

    “Liberion tidak pernah menjual senjata secanggih itu ke negara lain secara sembarangan. Ada yang aneh di sini…kalau begitu, aku mengajukan diri untuk pergi ke Italia atas nama negara Teutonium. Jika benar Liberion berada di balik semua ini, aku harus menyelidikinya.”

    “Bagaimana dengan Teutonic--- maksudku…Resha?”

    “Tentu saja dia akan ikut. Hmm…mungkin aku dapat memberitahukan hal ini padamu. Sebenarnya, kami berdua dikejar-kejar oleh pemerintah Liberion.”

    “Kalian kriminal?!”, wajah Friedrich terlihat kaget. “Tapi bagaimana bisa dunia internasional tidak tahu mengenai hal itu?”

    “Nah, kamu juga heran kan? Aku yakin ada sesuatu yang ditutup-tutupi pemerintah Liberion. Kusarankan agar seluruh akses pemerintah Liberion ke negara ini ditutup, terutama yang berhubungan dengan militer dan intelijen.”

    “Apa yang bisa dijadikan bukti, kalau kata-katamu dapat dipercaya?”

    Sebuah pukulan kipas mendarat di kepala Friedrich, oleh Huang yang berada di sebelahnya.

    “Percayalah pada mereka, Friedrich. Mereka sudah menyelamatkan Qing. Bahkan kudengar, invasi Liberion ke Parthia dapat digagalkan karena jasa mereka.”

    “Eh? Jadi yang menghentikan invasi Liberion ke Parthia itu…kalian?! Kukira militer Varangia yang menghentikannya…”

    “Yang menghentikan keseluruhan invasi memang militer Varangia, namun aku dan Resha lah yang membendung serangan pertama mereka, yang dilancarkan dengan teknologi terbaru Liberion.”

    “Hmm…baiklah, Tuan Daleth. Sepertinya kata-kata Anda kali ini masuk akal dan dapat dipercaya. Sesegera mungkin, saya dan Kurfürst lainnya akan membahas hal ini begitu Kaiser Wilhelm kembali. Sementara itu, saran Anda untuk menyelidiki apa yang terjadi di Italia atas nama negara Teutonium akan dilaksanakan. Apa yang Anda butuhkan selama di sana?”

    “Tidak perlu repot, Tuan Rudolf. Kami selalu punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah. Benar begitu, Resha?”, kupalingkan pandanganku ke arah Resha yang sedang mengunyah makanan. “Ck…kerjamu hanya makaaaaan saja. Kamu dengar tidak apa yang kami bicarakan tadi?”

    “Kita ke Italia?”, tanyanya setelah menelan potongan bratwurst.

    “Tujuannya?”, kutanya balik untuk mengetesnya.

    “Err…makan pizza?”

    “Huh…makan lagi, makan lagi. Hei…tapi mungkin itu ide yang bagus.”

    “Jadi benar kita makan pizza?!”, serunya dengan penuh semangat.

    “Tentu saja tidak!! Pikiranmu hanya makan saja…yang jelas, akan kugunakan makanan khas Italia itu untuk mengetahui ini semua.”

    Semua orang yang berada dalam jamuan itu terheran-heran mendengar perkataanku, termasuk Resha. Yang jelas aku sudah punya rencana untuk mengetahui semua kejadian yang ada di sana.

    Misi kamipun berlanjut. Tuan Rudolf dan seluruh dewan Kurfürst setuju untuk mengirimku dan Resha, untuk menyelidiki apa yang terjadi di Italia, yang mungkin ada hubungannya dengan penundaan pemberian gelar Imperator Romanum Sacrum pada Kaiser Wilhelm. Misi ini diberi nama…Operation Barbarossa.



    ====================================

    Ga banyak kali ini trivianya

    Spoiler untuk Trivia :

    • ΣF = m.g + m.a ---> kira" begitulah yg dijelasin Daleth, kalo vektor gaya yg bekerja pada pedang adalah gravitasi + ayunan lengan
      Kalo tambahan gayanya berasal dari terjangan lurus, diganti aja g nya sama percepatan berlari
    • Elang berkepala dua adalah Imperial Banner nya Holy Roman Empire
      Begini bentuknya... (kok lebih kayak ayam berkepala 2 yak a)
      Spoiler untuk gambar :


    • Bratwurst = sosis Jerman
    • Operation Barbarossa = diambil dari nama serangan Nazi Jerman ke Soviet Union pada Perang Dunia II, tahun 1941, yang dianggap sebagai single operation terbesar yang memakan korban jiwa paling banyak dalam sekali serangan.
      Bedanya ini gak ada hubungannya sama perang, tapi sama pizza

    Last edited by LunarCrusade; 22-03-12 at 17:43.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  2. Hot Ad
  3. The Following 4 Users Say Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  4. #77
    Jin_Botol's Avatar
    Join Date
    Aug 2007
    Location
    Jakarta "Kota 3in1"
    Posts
    1,111
    Points
    1,058.00
    Thanks: 30 / 38 / 24

    Default

    bulannnnn..... novel nya keren bangetttt.....

    aku sdh jarang komen sih di idgs, kadang mampir ke idgs cma buat baca thread ini doang
    Gemini, The Two-Facets Personality

  5. #78
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Jin_Botol View Post
    bulannnnn..... novel nya keren bangetttt.....

    aku sdh jarang komen sih di idgs, kadang mampir ke idgs cma buat baca thread ini doang
    wew makasih om nicobel /"



    ===========================================


    Spoiler untuk Chapter 20 :

    ===============================================
    Chapter 20: Operation Barbarossa ~ Cucina d’Italia (Part 1)
    ===============================================

    Hari ke-7 sejak kami berada di tanah Italia, tepatnya di kota Tifernum, sebuah kota kecil di tengah-tengah Italia. Jika melihat sejarahnya, kota ini seharusnya berada di batas antara daerah Lombarda dan Regnum Romanum. Tebak apa yang kukerjakan bersama Resha di tempat ini? Yap, membuka restoran. Cara terbaik untuk mengetahui apa yang terjadi di masyarakat Italia adalah membaur langsung, dengan ‘senjata’ berupa sesuatu yang setiap hari dibutuhkan manusia: makanan.

    Bahasa negara ini memiliki banyak kemiripan dengan bahasa Anglia, sehingga aku dan Resha tidak begitu kesulitan dalam mempelajarinya. Bermodalkan hal itu, kami bisa mengerti apapun yang mereka bicarakan.



    Sebuah bangunan kecil tak jauh dari tengah kota, di situlah restoran yang kubuka bersama Resha berada. Spesialisasinya adalah makanan khas negara ini: pizza dan pasta. Tidak ramai, namun setidaknya tiap jamnya pastilah ada dua tiga orang yang makan di tempat ini. Jam buka restoran ini adalah jam 6 pagi hingga 6 sore, tepat 12 jam.

    “Ng…Daleth, aku sudah boleh mengganti bajuku…?”

    “Oh, sudah jam 6 ya? Ya sudah, ganti sana.”

    “Uh…kenapa sih aku harus menggunakan kostum maid seperti ini…”, keluhnya, dengan wajah tidak menghadap ke arahku.

    “Kamu malu?”

    “I-Iya…”

    “Ck…tahanlah sebentar selama beberapa hari lagi, hingga kita mendapat informasi lebih lanjut. Penampilanmu dengan seragam maid seperti itu bisa mengundang para pengunjung untuk datang, sehingga kita bisa mendapat informasi lebih cepat. Tenang saja, aku jamin tidak akan ada yang berani macam-macam denganmu. Lagipula menurutku, pakaian itu cocok sekali untukmu.”, kulemparkan senyum padanya.

    “O-Oke…oh ya, pengunjung yang terakhir tadi sepertinya sempat mengatakan sesuatu mengenai Corona Ferrea.”

    Iron Crown of Lombarda? Ada apa dengan benda itu?”

    “Sedang beredar kabar kalau mahkota para raja Lombarda di masa lalu itu akan dicuri…namun aku tidak tahu kebenaran rumor itu.”

    “Hmm, sepertinya rumor itu tidak bisa dianggap angin lalu. Sebelum dinobatkan menjadi Imperator Romanum Sacrum, Kaiser Teutonium harus melalui prosesi dimahkotai oleh Corona Ferrea tersebut, mendapat gelar Rex Italiae.”

    “Eh? Begitukah? Bisa kamu jelaskan lebih detail? Aku kurang paham masalah politik seperti ini…”



    Kujelaskan padanya mengenai sejarah yang terjadi antara Teutonium dan Italia. Memang lumayan membingungkan, namun aku berusaha menjelaskannya dengan bahasa yang sederhana.

    Mulanya, Regnum Romanum jatuh karena sering diinvasi oleh suku-suku Teutonic dari utara dan juga orang-orang Slav dari negara-negara yang sekarang bernama Sklavinia Barat dan Timur. Satu suku, yaitu Austrogothi, sempat menguasai semenanjung Italia ini setelah keruntuhan Regnum Romanum. Di bawah pimpinan Theodoric, seorang raja Austrogothi yang pernah tinggal di Constantinople dan mengerti budaya Romanum, Italia mengalami periode yang stabil. Kota-kota yang hancur selama Regnum Romanum diserbu mulai dibangun kembali. Pertahanan diperkuat, dan para penduduk dapat hidup dengan tenang.

    “Oh, kalau itu aku pernah dengar di sekolah.”

    “Yap, hal itu memang ada di dalam pelajaran sejarah. Tapi masih ada lanjutannya.”

    Raja itupun wafat dengan pewaris tahta yang tidak sehebat dirinya, menggoda sang Basileus dari Byzantinos di sebelah barat, yang beribukota di Constantinople, untuk menguasai Italia kembali. Kembali? Ya, karena sebelumnya Byzantinos adalah bagian Regnum Romanum, yang terpisah sekitar 1600 tahun yang lalu. Perang antara Byzantinos dan Austrogothi berlangsung hampir 20 tahun, menimbulkan kehancuran di seluruh Italia. Namun Tiberium tetap aman karena merupakan pusat keagamaan, sehingga para pemimpin yang sedang berperang tidak mau mengutak-atik sedikitpun kota tersebut.

    Kekacauan karena perang itulah membuat suku Lombarda, yang kalau ditelusuri memiliki nenek moyang yang berasal dari Midgard jauh di utara sana, menginvasi Italia sekitar lebih dari 1400 tahun yang lalu, mengakhiri kekuasaan Byzantinos yang singkat di Italia. Sempat ada damai antara orang-orang Lombarda dan Pontifex Maximus di Tiberium, namun semua berubah sejak Lombarda mencoba memperluas teritorinya lebih dari 1200 tahun yang lalu, tepatnya tahun 772.

    Sang Pontifex Maximus, yang juga merupakan pimpinan politik di wilayah Italia, memiliki wilayah yang merupakan sisa-sisa Regnum Romanum, kira-kira setengah bagian selatan dari semenanjung Italia. Mengetahui invasi Lombarda tersebut, sang Pontifex meminta bantuan raja Carolus Magnus dari Franks untuk mengalahkan orang-orang Lombarda. Misi itupun berhasil. Orang-orang Lombarda dapat dikalahkan dan Carolus Magnus mengambil Corona Ferrea untuk dirinya sendiri. Artinya, menobatkan dirinya menjadi raja orang-orang Lombarda. Rex Longobardorum, Rex Italiae.

    “Lalu apa hubungannya hal itu dengan gelar Imperator Romanum Sacrum?”

    “Sebentar, aku belum selesai.”

    Pontifex yang berkuasa waktu itu pun wafat, digantikan oleh Pontifex baru dari kalangan non-bangsawan. Hal inipun tidak disukai oleh para bangsawan di Tiberium yang menganggap bahwa posisi Pontifex Maximus hanyalah untuk kaum mereka, sebuah tradisi yang diteruskan sejak Regnum Romanum jatuh. Pontifex yang baru diangkat inipun diserang oleh segerombolan orang, namun dapat diselamatkan. Akhirnya dia pun meminta bantuan Carolus Magnus yang waktu itu sudah berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Benua Biru, termasuk Teutonium. Tiberium berhasil diamankan, dan Pontifex kembali pulang.

    “Ah, biar kutebak. Lalu Pontifex ini menganugerahkan gelar Imperator Romanum Sacrum pada Carolus Magnus karena jasanya melindungi Tiberium dan pemimpin gereja di Regnum Romanum?”

    “Kurang tepat, Resha. Tambahan kata ‘Sacrum’ baru digunakan oleh Kaiser Barbarossa, lebih dari 300 tahun setelah Carolus Magnus diberi gelar Imperator Romanum. Waktu itu sempat ada konflik antara dirinya dengan Pontifex, dan diapun berusaha menegakkan kembali otoritasnya atas Italia.”

    “Jadi itu alasannya kenapa misi kita diberi nama Operation Barbarossa?”

    “Yap, benar. Itu agar cocok dengan apa yang terjadi di masa lalu. Walaupun begitu, yang dianggap oleh para ahli sejarah sebagai Imperator Romanum Sacrum pertama adalah Kaiser Otto yang berkuasa sekitar 160 tahun setelah Carolus Magnus, dengan wilayah meliputi Teutonium dan Italia. Sementara Franks menjadi kerajaan tersendiri.”

    “Oh, aku mengerti. Jadi kesimpulannya, gelar Imperator Romanum Sacrum adalah gelar untuk penguasa Teutonium dan Italia, sementara orang pertama yang dapat dikatakan memiliki wilayah itu secara sah adalah Kaiser Otto. Tambahan kata ‘Sacrum’ sendiri baru digunakan oleh Kaiser Barbarossa, 300 tahun setelah Carolus Magnus menjadi Imperator Romanum, dalam rangka memulihkan kekuasaan dirinya. Nah, sebelum mendapat gelar Imperator itu, Kaiser Teutonium harus dimahkotai Corona Ferrea dan menjadi Rex Italiae, mengikuti tradisi sejak era Carolus Magnus, sekaligus sebagai simbol kalau dirinya telah diterima rakyat Italia. Begitu kan?”

    “Yap, benar sekali. Ya sudah, ganti baju sana. Aku mau beres-beres restoran.”

    “Oke…jangan mengintip ya.”

    “Cih, siapa juga yang mau mengintipmu.”, ujarku ketus.



    Hari berikutnya. Aku kembali mengamati, menguping, dan sesekali mengajak para pengunjung untuk mengobrol.

    Sebenarnya ada yang aneh selama aku membuka restoran ini. Setiap pengunjung yang berasal dari utara pasti tidak mau memesan makanan-makanan dari selatan, begitu sebaliknya. Misalnya untuk pizza. Seorang pengunjung dari Mediolanum, kota di utara Italia yang merupakan salah satu kota terbesar di jaman pertengahan, tidak mau memesan pizza ala neapolitan yang berasal dari Neapolis, sebuah wilayah di selatan Tiberium. Begitu kutawari untuk menaruh saus pesto di atas pizzanya, dia langsung setuju dan terlihat senyum lebar di wajahnya. Saus pesto berasal dari Genoa, sama-sama kota di sebelah utara.

    Lain lagi dengan seorang pengunjung dari Tiberium. Tanpa basa-basi dia langsung memesan spaghetti ala carbonara, yang merupakan ciri khas daerah Tiberium. Anehnya, begitu kutawari apakah sausnya ingin diganti dengan saus ala bolognese, ekspresinya berubah seperti ingin marah. Saus bolognese berasal dari Bologna, masih dalam wilayah Lombarda di masa lalu. Lebih-lebih begitu aku menyebut risotto ala milanese, dia langsung membayar dan keluar dari restoran dengan wajah kesal. Makanan itu berasal dari Mediolanum.

    “Resha, apa kamu perhatikan ada sesuatu yang aneh dari para pengunjung yang datang?”

    “Ada apa memangnya?”

    “Para pengunjung yang berasal dari wilayah Lombarda di masa lalu tidak pernah mau memesan makanan khas dari wilayah Regnum Romanum, begitu sebaliknya. Dan itu bukan terjadi satu dua kali saja, tapi selalu terjadi setiap ada pengunjung datang untuk makan.”

    “Hmm…mungkinkah ini ada hubungannya dengan situasi politik di sini, sehingga Kaiser Wilhelm tidak bisa mengklaim gelar Imperator Romanum Sacrum itu?”

    “Nah, itu yang ingin kutahu. Sebegitu besarkah rasa benci orang-orang di utara dan selatan…?”

    Pembicaraanku dan Resha terpotong karena aku mendengar suara, bahasa Anglia. Arahnya dari luar pintu masuk. Suara itu…

    “Iya, kita makan di sini saja.”, suara itu seperti sedang berbicara dengan seseorang.

    “Pak kepala penjara?!”, ujarku dengan nada kaget begitu melihat mantan bosku di penjara Beth-Elyon membuka pintu. Mantan bos? Sebenarnya kurang tepat, karena aku tidak pernah dipecat secara resmi.

    “Daleth?! Dan…Resha Gimmelia?! Bagaimana kalian bisa berada di---“

    “Papa Daleeeetttthhhh….!!”



    Seorang anak perempuan berumur 7 tahun dengan tinggi sekitar 132-134 sentimeter, berambut pirang sepunggung ditambah sebuah bando berwarna merah dengan mata kehijauan, berlari dan memeluk diriku. Namanya Freya, cucu kepala penjara.

    “HAH? P-Papa?!”, wajah Resha berubah, terlihat kaget dan sedikit pucat.

    “Iya kak, dia Papaku.”, sahut Freya.

    “D-Daleth, kamu s-sudah punya anak?! Kapan kamu menikah?!”

    “Hah…siapa yang menikah? Anak ini, Freya, memang senang memanggilku begitu.”

    “Ah yang benar?”, tanyanya setengah tidak percaya.

    “Ck...buat apa aku berbohong? Suatu kali aku bertemu dengannya di penjara, dan sejak itulah, satu dua kali seminggu aku mengunjungi rumah pak kepala penjara, sekedar untuk bermain dan menemani Freya. Tak lama, diapun memanggilku dengan sebutan itu. Papa.”, kupalingkan wajahku ke arah Freya yang sedang kugendong. “Benar begitu sayang?”

    “Iya betul…! Apalagi kalau opa sedang bekerja, dan aku di rumah sendirian. Papa Daleth pasti datang dan main-main denganku.”

    “B-Baguslah. Kupikir kamu sudah punya…argh…”, Resha masih terlihat shock.

    “Hahaha…sudah saya duga, setiap orang yang mendengarnya pasti akan kaget. Freya memang cucuku, dan tidak punya hubungan darah dengan Daleth. Ya sudah, sekarang kami ingin makan. Ada menu apa saja, Daleth?”

    Resha memberikan daftar menunya, lalu mereka mengambil duduk di kursi yang ada di teras restoran. Freya sangat penasaran dengan pizza dengan topping saus pesto, sehingga dia memesan satu. Kepala penjara meminta satu porsi bruschetta khas Tiberium dan fettuccini ala carbonara.

    Ada satu hal yang mirip antara Freya dan Resha. Mereka…sama-sama tukang makan. Satu loyang pizza ukuran sedang dapat dihabiskan Freya sendirian, meski umurnya baru 7 tahun dan postur tubuhnya tergolong kecil.

    Berhubung tidak ada pelanggan lain, kutemani mereka di luar. Melihat Freya makan dengan lahap, secara refleks senyumku langsung terbentuk. Kupikir dia akan berubah tidak bersemangat kalau aku tidak bersamanya. Ternyata tidak. Bahkan ketika kutanyakan kondisi Freya pada kepala penjara selama aku pergi, tidak ada yang bermasalah dengan dirinya. Senang sekali melihatnya tidak kelewat manja lagi seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya.

    Pembicaraan kami berhenti begitu Freya bertanya…

    “Papa kemana saja sih? Sudah lama aku tidak main-main lagi sama Papa…”

    Argh. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku selalu berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membohongi seorang anak kecil, siapapun itu. Tapi…jika aku jujur, Freya mungkin akan menganggapku sebagai orang jahat atau semacamnya. Aku tidak mau hal itu terjadi.

    “Aku dan Papamu ini sedang ada tugas. Jadi tunggu saja, Papamu ini pasti pulang.”, sahut Resha yang keluar dari restoran, membawa dua gelas air putih untuk Freya dan kepala penjara.

    “Oh, begitu ya? Masih lama tidak kak?”

    “Hmm…aku kurang tahu sih. Tapi kamu tenang saja. Begitu tugasnya selesai, akan kukembalikan Papamu.”, jawabnya sambil menaruh gelas berisi air putih di dekat Freya.

    “H-Hah?! Dikembalikan? Sejak kapan kamu meminjam diriku?”, aku merasa pipiku agak panas.

    “Kok Papa jadi panik begitu? Ya sudah deh, sepertinya kata-kata kakak bisa dipercaya. Jangan lupa kembalikan Papa yah.”

    Kutarik telinga Resha begitu Freya kembali melahap pizza pestonya.

    “Heh, apa katamu tadi?”, bisikku.

    “K-Kamu pikir aku tidak malu setengah mati sewaktu mengatakan hal tadi?! Tapi m-mau bagaimana lagi…tidak baik membohongi anak-anak.”

    “O-Oke, aku bisa mengerti.”

    Aku tidak menyangka, Resha ternyata punya prinsip yang sama. Yah…walau mungkin pemilihan kata yang digunakan harus diganti…



    Tunggu. Ada apa dengan orang-orang di kota ini? Sejak tadi, setiap orang yang lewat pastilah melirik tajam ke arah meja ini sambil mencibir, bahkan ada yang mengumpat dengan kata-kata kasar. Hmm…yang ada di meja ini adalah pizza dengan saus pesto, bruschetta, dan fettuccini ala carbonara. Ini…makanan dari utara dan selatan!! Ternyata benar kecurigaanku selama beberapa hari ini. Orang-orang yang lewat tadi pastilah kesal melihat ada jenis makanan dari wilayah Italia yang berbeda, berada dalam satu meja.

    Tak lama, Freya terlihat merasa terganggu dengan orang-orang yang lewat itu.

    “Uh…mereka kenapa sih Pa? Wajah mereka seram begitu…”

    “Hmm, benar juga. Daleth, sebenarnya ada apa yang terjadi di kota ini?”, tanya kepala penjara yang ikut memperhatikan sejak tadi.

    “Sebenarnya ada yang aneh di kota ini. Tidak, bukan hanya kota, namun seluruh negara ini. Orang-orang dari utara dan selatan terlihat saling membenci satu sama lain, bahkan dalam hal makanan.”

    “Huh…sepertinya saya memilih tempat liburan yang salah…”, ujar kepala penjara sambil menghela nafas. Untuk menangkan diri, dia menyantap fettuccini yang tersedia di depannya.

    Sekarang kulihat Freya menutup kedua matanya dengan tangan. Tunggu. Kalau Freya sudah menutup matanya…



    Tangannya diturunkan, dan…ini dia. Mata biru kehijauannya berubah menjadi merah. Freya punya kemampuan khusus, yaitu dapat melihat tingkatan panas pada benda apapun. Mirip seperti kamera thermographic, berada langsung di matanya.

    “P-Papa…orang-orang yang lewat semuanya aneh. Aneh.”, katanya perlahan di dekat telingaku.

    “Aneh bagaimana?”

    “Kepala mereka warnanya kuning pucaaaat sekali, hampir putih. Badannya juga kebanyakan berwarna kuning…semuanya demam yah?”

    Kepala berwarna hampir putih? Itu artinya suhu kepala mereka sudah lebih dari 38 derajat Celcius!! Kenapa mereka terlihat sehat-sehat saja?! Untung saja Freya memiliki inisiatif untuk melihat suhu tubuh mereka. Dengan kemampuannya, Freya bisa mengerti bagaimana kondisi emosi seseorang hanya dengan melihat suhu tubuhnya. Seseorang yang emosinya sedang naik, suhu di bagian kepalanya akan meningkat. Hal itu terkadang dilakukannya kalau orang-orang di sekitarnya membuat dirinya merasa tidak nyaman. Tapi yang terjadi sekarang…terlalu tidak wajar.

    “Hei…apa yang kalian berdua bicarakan?”, tanya kepala penjara.

    Ups, aku lupa. Kemampuan Freya ini memang tidak diketahui kepala penjara. Sebelum matanya terlihat oleh kepala penjara, dia langsung menutup kembali keduanya dengan tangan. Warnanya kembali berubah menjadi biru kehijauan. Freya meyakinkan kepala penjara kalau tidak ada apa-apa, lalu keduanya melanjutkan melahap makanan masing-masing.

    “Daleth, ada apa sih?”, tanya Resha keheranan.

    “Kecurigaanku selama ini benar. Penduduk negara ini seperti…dimanipulasi.”

    “Diprovokasi, begitu maksudnya?”

    “Bukan, Resha. Lebih tepat disebut…dikendalikan. Suhu tubuh mereka sangat tidak wajar. Freya yang melihatnya tadi.”

    “Anak itu bisa melihat suhu tubuh?”

    “Ya, karena itulah aku bisa mengambil kesimpulan seperti tadi. Sepertinya hal ini yang menunda pemberian gelar itu.”

    “Kalau begitu, apapun yang memanipulasi mereka, sudah dilakukan sejak lama…”

    “Sepertinya begitu. Jika benar ini perbuatan pemerintah Liberion, berarti mereka sudah merencanakan untuk memanipulasi dunia sejak dulu. Akan kulaporkan hal ini ke Friedrich nanti.”

    Waktu berjalan hingga kedua jarum jam saling bertolak belakang, membentuk sudut 180 derajat. Jam 6 sore. Setelah puas makan dan menemaniku seharian, Freya kembali ke hotel tempatnya menginap bersama kepala penjara. Baiklah, sudah waktunya tutup. Segera saja kuceritakan apa yang terjadi di sini pada Friedrich melalui telepon.



    Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Hal ini sudah beberapa kali terjadi sejak aku lari dari Liberion, dan biasanya terjadi setelah ada suatu kejadian yang mengancam nyawaku dan Resha. Dalam kondisi seperti itu, tingkat kewaspadaanku langsung naik drastis, membuatku terjaga sepanjang malam. Namun kali ini berbeda, kurasa alasannya karena aku benar-benar senang dapat bertemu kembali dengan Freya. Ah…aku jadi ingin memiliki anak sendiri.

    Aku keluar dari kamarku, berdiri merenung di jendela lantai dua bangunan ini. Kamar Resha ada di seberang kamarku. Selang beberapa menit, pintunya terbuka. Sambil mengusap-usap mata dengan tangan kanannya, Resha keluar.

    “Belum tidur?”, tanyaku.

    “Aku baru tidur sebentar. Uh…perutku lapar sekali…”

    “Jadi itu alasan kenapa kamu terbangun?”

    “Ehehe…hari ini aku tidak makan banyak. Jadinya begini deh. Buatkan makanan untukku yah.”

    “Ck…merepotkan saja. Ya sudah, ayo ke bawah.”

    Pizza. Ya, itu yang akan kubuat. Kebetulan, masih ada sisa adonan dasarnya. Memang tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat yang masih segar, hanya memerlukan tepung, air yang dicampur ragi, dan sedikit minyak zaitun. Namun karena Resha sudah kelaparan, sepertinya sisa adonan tepung tadi sore tidak menjadi masalah. Untuk topping, standar pizza Margherita saja untuk menghemat waktu. Keju mozzarella, saus dari pasta tomat, dan taburan daun basil. Eh? Aku baru sadar…ternyata warna keputihan dari keju, merah dari saus tomat, dan hijau dari daun basil, sama dengan warna bendera negara ini.

    Yap, selesai. Seloyang pizza Margherita berdiameter 20 sentimeter sudah siap. Aroma keju dan tomat menyebar ke seluruh ruangan di lantai dasar, menggodaku untuk mengambil sepotong. Sebagai pendamping, aku menyiapkan dua cangkir cappuccino. Amat sangat tidak wajar bagi orang Italia untuk minum kopi dengan makanan utama seperti pizza ataupun pasta. Tapi siapa peduli? Aku dan Resha bukan penduduk sini.

    “Daleth, aku ingin tanya sesuatu.”, ujar Resha setelah habis melahap satu potong pizza.

    “Hmm? Bertanya apa?”

    “Anak itu. Freya.”

    “Ada apa dengannya?”

    “Bisa kamu ceritakan lebih jauh mengenai dirinya?”

    Kuceritakan padanya dimulai bagaimana aku bisa bertemu dengan Freya 2 tahun lalu, tidak lama setelah aku memulai karirku sebagai seorang eksekutor di penjara Beth-Elyon. Pada awalnya dia benar-benar pendiam dan ekspresinya seringkali terlihat murung. Beberapa kali aku kesulitan mengajaknya bicara, karena ketidaktahuanku mengenai apa yang terjadi dengannya. Setelah kutanyakan pada kepala penjara, ternyata…semua itu akibat peristiwa yang dialaminya 3 tahun lalu.

    “Tiga tahun lalu? Apa yang terjadi waktu itu?”, tanyanya setelah potongan pizza kedua lenyap masuk ke mulutnya.

    “Freya kehilangan kedua orang tuanya. Kecelakaan pesawat.”

    “Sudah kuduga…”

    “Eh? Maksudmu?”

    “Aku tidak dapat menjelaskannya secara pasti, Daleth. Tapi…aku seperti melihat diriku sendiri begitu menatapnya. Ternyata benar. Keluarganya lenyap, mirip seperti yang kualami, walau keluargaku tidaklah lenyap secara fisik seperti keluarganya. Di tengah rasa kesepiannya itu pula, hanya ada kakeknya yang menemani. Yang berbeda hanya satu…”

    Resha mengambil cappuccino nya, lalu menyeruputnya sedikit. Selang dua detik, cangkirnya ditaruh kembali di atas meja.

    “Dia lebih beruntung dibanding diriku.”



    Resha menatapku sambil menunjukkan sebuah senyuman. Tapi, itu bukan ekspresi kebahagiaan atau semacamnya. Aku merasakan aura itu lagi terpancar dari wajahnya. Kesendirian.

    “Seandainya saja---“

    “Stop.”, kupotong kata-katanya karena aku tidak mau dia mengingat masa lalunya yang suram itu. “Freya adalah Freya, kamu adalah kamu. Jika dulu kamu bertemu seorang figur ‘papa’ seperti yang Freya alami, mungkin…kamu tidak akan menjadi seorang yang kuat seperti sekarang.”

    “Yah, mungkin itu ada benarnya. Tapi kulihat dia tidak lagi seperti yang kamu ceritakan. Apa benar kamu…bisa mengisi sosok orang tua bagi dirinya? Sepertinya tidak mungkin deh…”, ujarnya dengan nada meledek.

    “Awalnya aku tidak berpikiran sama sekali akan dipanggil ‘Papa’ atau semacamnya. Aku hanya memperlakukannya seperti layaknya anak-anak. Mengajaknya bermain, membacakan cerita, membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, menjaganya sewaktu sakit, membelikan kado untuknya sewaktu berulang tahun---”

    “Huh…pantas saja dia senang sekali begitu bertemu denganmu. Ternyata kamu mengerti betul bagaimana caranya menghadapi anak-anak.”, potongnya.

    “Mungkin itu sudah sifat alamiku? Yah, siapa tahu…”

    “Siapapun anakmu nanti, pastilah akan menjadi anak yang paling beruntung di dunia.”

    “Aku harus mencari pendamping hidup lebih dulu…”, sahutku.

    Keheningan tercipta selama beberapa saat setelah aku mengatakan hal tersebut. Sesuatu terlintas di kepalaku. Pipiku terasa menghangat, sementara Resha langsung mengalihkan pandangannya, tidak berani menatapku. Perlahan denyut jantungku naik, mungkin di atas 100 detakan per menit. Efek kafein dari cappuccino? Ah, tidak mungkin. Aku baru menyeruputnya sedikit, sesaat sebelum menaruh pizza ini di atas meja. Err…ada apa ini sebenarnya…?

    “A-Ah, s-sudahlah! Aku mau tidur!!”, dia mengambil potongan pizza terakhir, lalu langsung melangkah ke lantai atas sambil mengunyah pizzanya.

    Aku heran, kenapa tadi terbersit bayangan dirinya…?! Oh Tuhan, jangan bilang kalau nanti…aku akan…argh.



    Perasaan gembira dapat bertemu Freya, efek kafein dari cappuccino, ditambah apa yang terbayang tadi, benar-benar membuat rasa kantukku hilang seperti uap spaghetti panas yang lenyap ketika temperaturnya turun.

    Kalau begini, lebih baik aku melanjutkan penyelidikanku terhadap Dark Matter itu. Semenjak keluar dari Thracia dan Illyria, aku belum sempat menyentuhnya lagi. Baiklah, saatnya melanjutkan coding program yang dapat memanipulasi Dark Matter.



    TO BE CONTINUED...




    ===========================================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Dari judul
      Cucina d'Italia = Italian language. Artinya, Italian Cuisine
    • Kota
      • Tiberium = Roma
      • Tifernum = Citta di Castello (dulu dikenal dengan nama Tifernum Tiberinum)
      • Mediolanum = Milan
      • Neapolis = Napoli/Naples
      • Sisanya namanya sama dgn nama sekarang, kyk Genoa, Bologna
    • Rekonstruksi sejarah yang diceritain Daleth itu 95% mirip dengan sejarah terbentuknya Holy Roman Empire, dimulai sejak eranya Charlemagne.
      Yang membedakan ada 2 hal:
      1. Nama. (Paus diganti Pontifex Maximus, Lombards diganti Lombarda, Ostrogoths diganti Austrogothi, negara-negara Skandinavia diganti Midgard, gitu" doang ga penting juga sih )
      2. Di cerita, Rex Italiae (King of Italy) seakan-akan sama dgn Rex Longobardorum (King of the Lombards).
        Nyatanya sih nggak...itu biar simpel aja politik"annya
    • Mau liat Corona Ferrea?
      Spoiler untuk gambar :


      Mahkota itu digunakan untuk menobatkan raja" Lombards (Rex Longobardorum).
      Oh...
      DAN Holy Roman Emperor SEBAGAI Rex Italiae, sejak eranya Otto I sampe runtuh.
    • Selain nama operasi di Perang Dunia II, Barbarossa (Frederick I Barbarossa) juga adalah nama Holy Roman Emperor yg berusaha menegakkan otoritasnya kembali atas Italia.
    • Makanan
      • Pizza + spaghetti...kalo ga tau rasanya rada keterlaluan
      • Fettuccini...mirip spaghetti, cuman gepeng.
      • Bruschetta...coba pesen ke Pizza Hut ketauan sering pesen /digaplok *plak* (simpelnya, roti garlic pake topping)
      • Risotto itu dari nasi, teksturnya agak creamy
        Lauknya bisa daging, jamur, seafood, terserah deh
        Gambarnya (ini pake udang):
        Spoiler untuk duar :

      • Pesto sauce
        ==> daun basil + keju Parmesan + pine nut (biji buah cemara) + bawang putih
        Tambahin garam + lada juga boleh kalo kepengen
        Gambarnya (ini uda dicampur spaghetti):
        Spoiler untuk duar :

      • Sekilas mengenai pizza Margherita
        Pizza ini dibuat oleh Raffaele Esposito, pemilik dari pizzeria (restoran pizza) Pietro e Basta Cosi (sekarang namanya Pizzeria Brandi).
        Jadi begini ceritanya...
        Umberto I (1844-1900), raja Italia, bersama istrinya ratu Margherita (1851-1926), lagi berada di Naples/Napoli tahun 1889 --- ga tau apakah liburan atau urusan kenegaraan.
        Raffaele inipun diminta bikinin pizza untuk keluarga kerajaan yang lagi ada di kotanya tsb.
        Nah, sang ratu ini ternyata paling doyan sama pizza dgn topping: mozzarella, tomat, dan basil. Kemungkinan besar sih doyan karena warnanya sama dgn warna bendera Italia yg merah (tomat) - putih (keju) - ijo (basil).
        Sebagai penghormatan, pizza itupun dikasih nama sesuai nama sang ratu.
    • Orang Italia nggak pernah makan pizza/pasta bareng minum kopi, itu udah tradisi setempat.
      Ga percaya?
      Coba ke sana, terus kalo seandainya dijamu sama orang setempat...cobalah minta espresso/cappuccino sewaktu dihidangkan makanan utama.
      Kemungkinan besar sih bakal diledekin
      Kalo makan, biasanya selalu ditemani dengan air putih (bahkan gak pake es teh manis kek kita" ini ).
      Kopi dan minuman aneh" lainnya biasanya diminum kalo lagi santai atau nongkrong.
    • Our new loli hore ada loli lagi
      => Freya (literally, "Lady"), based on the name of Norse goddess of beauty and love.
    • Thermographic camera itu kamera yg mendeteksi panas, buka linknya kalo mau liat hasil visual dari kamera tsb.

    Last edited by LunarCrusade; 13-12-12 at 05:34.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. The Following 4 Users Say Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  7. #79
    Kaixa's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    di pelukan Tae Yeon SNSD & Jessica SNSD
    Posts
    6,719
    Points
    1,549.12
    Thanks: 274 / 205 / 173

    Default

    nah gitu dong, ada chapter baru

    kalo tamat, dibuatin pdfnya aja nil.

    krn banyak yg suka nih cybernovel
    Ten no michi o iki, Subete o Tsukasadoru otoko



    Kono machi wa boku no uchi. Boku wa dareka mo naite ga hoshikunai



    Prinsip berteman ala gw : Lo baek, gue lebih baek. Lo jahat, gue lebih kejam 10x lipat


    "It's... It's Lu Bu !!!"



  8. #80
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 21 :


    ===============================================
    Chapter 21: Operation Barbarossa ~ Cucina d’Italia (Part 2)
    ===============================================




    Sayup-sayup terdengar suara pintu digedor dari lantai bawah. Awalnya, aku mengira itu hanya halusinasiku saja, karena aku masih setengah mengantuk. Namun begitu aku kembali memejamkan mata, suara itu muncul kembali. Makin keras, dengan frekuensi ketukan yang makin cepat. Kesadaranku langsung kembali 100 persen begitu ada suara yang berteriak memanggil.



    “Papaaaaaaaa!!”

    Freya?! Suaranya terdengar panik. Ada apa ini? Jam…setengah enam. Pagi-pagi begini ada urusan apa Freya kemari?

    Tak lama, terdengar juga suara kepala penjara berteriak memanggilku, terdengar panik juga. Perasaanku jadi tidak enak. Tanpa basa-basi, bahkan tanpa mengusap wajah dengan air, aku langsung turun ke lantai dasar. Resha yang juga terbangun, ikut berlari ke bawah bersamaku.

    Segera kubuka pintu lapis pertama, sebuah pintu kaca. Berikutnya, sebuah rolling door dari logam. Baiklah, sudah terbuka. Wajah mereka berdua terlihat sangat panik, bahkan Freya langsung memelukku dengan erat begitu pintu terbuka.

    “Freya? A-Ada apa ini? Pak kepala, Anda juga terlihat panik…”

    “Daleth, segera tutup pintunya!! Cepat!!”

    “E-Eh…iya…”

    Kembali kututup rolling door dan pintu kaca restoran ini. Mereka langsung duduk lemas di kursi yang ada sambil mengatur nafas. Resha langsung mengambilkan air untuk mereka berdua, yang langsung ditenggak habis. Setelah agak tenang, Freya mulai bercerita mengenai apa yang terjadi.

    “Kalian dikejar?!”, aku langsung kaget begitu mendengar apa yang keluar dari mulut Freya.

    “I-Iya Pa. Pertama-tama sih hanya sedikit. Tapi lama-lama tambah banyak…tambah banyaaaakk. Nah, dalam jumlah yang sedang banyak-banyaknya itu, banyak di antara mereka yang saling menatap tajam satu sama lain. Seperti ingin membunuh. Beberapa di antaranya sempat kulihat wajahnya kemarin, sewaktu makan di depan itu. Selagi mereka ribut satu sama lain, aku dan opa lari ke tempat ini.”, ujar Freya, dengan cara bicara seorang anak kecil pada umumnya.

    “Benar, Daleth. Saya rasa beberapa di antara mereka adalah yang lewat di depan restoran ini sewaktu saya dan Freya sedang makan. Bukankah…kemarin ekspresi orang-orang yang lewat juga terlihat kesal?”, kepala penjara menambahkan.

    “Tidak salah lagi. Sekarang aku yakin 100 persen kalau penduduk negara ini benar-benar dimanipulasi, langsung di bagian otaknya.”, kataku sambil menaruh tangan kanan di dagu, layaknya seorang detektif yang sedang memikirkan kasus.

    “Otak mereka dikendalikan?”, tanya Resha.

    “Suhu kepala mereka tidak normal, Resha. Freya sudah memastikan hal itu kemarin. Nah, anehnya, bagian-bagian tubuh yang lain terlihat normal. Itu menandakan kalau ada sesuatu, faktor eksternal, yang mempengaruhi otak mereka. Lebih tepatnya la---“

    Tunggu. Aku teringat sesuatu. Suhu kepala mereka memang tidak normal, tapi yang temperaturnya paling tinggi adalah…bagian depan. Orbitofrontal cortex!! Jadi secara tidak langsung, data Resha digunakan untuk memanipulasi mereka?!

    “Hei Daleth, kenapa bengong saja?”, Resha menepuk bahu kiriku.

    “Ini darurat. Kita harus keluar dari sini sekarang juga. Terutama kamu, Resha.”

    “Eh? Aku? Bukankah mereka berdua yang dikejar?”

    “Freya dan kepala penjara hanyalah korban. Kamulah yang sebenarnya diincar. Sudah, tidak ada waktu lagi. Akan kujelaskan kalau kondisinya sudah aman. Setelah kuhubungi Friedrich mengenai perkembangan yang terjadi, kita langsung pergi lewat pintu belakang.”

    Yang jelas kubawa hanya tiga benda: laptop, E.L.O.H.I.M. Project, dan Dark Matter. Berdasarkan analisisku, seharusnya ada sesuatu yang mengendalikan mereka semua. Ya, satu buah benda, yang memanipulasi gelombang otak mereka, berefek ada peningkatan temperatur di orbitofrontal cortex. Hasilnya, emosi mereka tidak terkendali, mereka tidak bisa memutuskan sesuatu secara individu, dan terlihat seperti zombie yang tidak memiliki jiwa, menurut apa yang diceritakan Freya.

    Argh, data otak Resha yang waktu itu pastilah masih tersisa…dan itulah yang dijadikan basis untuk mengorek bagian depan otak itu lebih lanjut…

    “Baiklah, pintu belakang sudah kukunci. Sekarang, kita pergi.”

    “Ke mana Pa?”, tanya Freya penasaran.

    “Modicia. Lebih dari tiga ratus kilometer sebelah timur laut.”

    “Untuk apa kita ke sana, Daleth?”, tanya kepala penjara.

    “Memeriksa sesuatu, pak kepala. Jika benda itu sudah tidak ada…maka habislah negara ini.”

    “Corona Ferrea?”, sahut Resha.

    “Yap. Disimpan di Duomo di Modicia, gereja kuno setempat. Aku takut situasi di kota ini akan menyebar ke seluruh negeri. Jadi…terpaksa kita harus mengamankan Corona Ferrea untuk Kaiser Wilhelm, sebelum kondisi menjadi lebih gawat. Dan…Freya, pak kepala, maaf kalau melibatkan kalian dalam hal ini…”

    “Tidak masalah, Daleth. Justru akan sangat berbahaya jika saya dan cucu saya ini harus pergi sendirian.”, ujar kepala penjara, berusaha menenangkan diriku.



    Situasi rusuh di kota Tifernum sepertinya belum menyebar hingga ke pinggir kota, ditandai dengan orang-orang di sini yang masih terlihat tenang. Berhubung kota kecil ini tidak memiliki transportasi langsung ke Modicia, kami harus naik bus terlebih dahulu ke Arretium, kurang lebih 30 kilometer di timur Tifernum. Tidak hanya sampai di situ, dari Arretium kami harus menggunakan kereta dan transit di Firenze, sekitar 60 kilometer di timur laut kota tersebut. Dari sana, ada banyak kereta yang menuju Mediolanum, sedikit di selatan Modicia.

    Setengah tujuh, bus menuju Arretium pun tiba. Di jadwal yang ada, seharusnya bus ini akan tiba di Arretium sekitar 3000 detik ke depan.

    Sepanjang perjalanan ke Arretium, aku memperhatikan ada sesuatu yang aneh. Sesekali aku melihat pria-pria mengenakan jas, dasi, serta kacamata hitam. Men in Black Liberion? Atau mafioso Italia? Yang jelas aku tidak boleh lengah. Kemungkinan besar mereka memang mengincar kami.

    Arretium. Baiklah, saatnya mencari stasiun. Sesekali terlihat para pria berpakaian serba hitam itu lagi, terkadang saling menghubungi lewat telepon genggam. Beberapa kali kami harus memalingkan wajah agar bisa menghindari pandangan mereka. Untung saja, tidak ada satupun yang mengenali kami. Begitu masuk ke dalam kereta, aku bisa tenang untuk sejenak.

    Firenze, transit 15 menit sambil menunggu kereta ke Mediolanum. Selama itu pula, kembali kuhubungi orang-orang Teutonium untuk memberitahu perkembangan keadaan melalui telepon umum. Aku sengaja tidak membawa ponsel di sepanjang perjalanan agar tidak bisa dilacak oleh pemerintah Liberion. Begitu kuberitahu rencanaku untuk mengamankan Corona Ferrea, Friedrich langsung menjawab kalau dia dan pasukan pengawal kekaisaran akan langsung menuju ke Italia melalui Tiberium, untuk meminta ijin pada Pontifex Maximus terlebih dulu. Kaiser Wilhelm sendiri sebentar lagi akan menaiki pesawat dari ibukota Qing menuju ke negara ini.

    Dan…ini dia, Mediolanum, kota dengan penduduk terbanyak kedua di Italia setelah Tiberium. Masih lebih dari satu jam sebelum tengah hari begitu kami keluar dari stasiun.



    Ingin tahu apa hebatnya kota ini? Pertama, Mediolanum adalah kota terkaya ke 26 di dunia, dalam hal daya beli. Kedua, kota ini masuk dalam daftar 10 besar pusat ekonomi dan finansial di Benua Biru, bahkan sudah berlangsung sejak nyaris 1000 tahun yang lalu. Ketiga, kota ini adalah salah satu pusat tren dunia, dengan banyak merek-merek fashion terkenal dunia memiliki kantor pusat di sini. Keempat, dua klub sepakbola kelas dunia bermarkas di kota ini, yang satu berseragam merah-hitam sementara satu lagi biru-hitam. Aku yakin para maniak sepakbola di dunia pasti tahu keduanya. Kelima, meskipun terlihat modern, kota ini masih banyak menyimpan bangunan-bangunan bersejarah; misalnya saja katedral Mediolanum yang merupakan gereja terbesar ketiga di dunia. Dengan penduduk tidak sampai 1,5 juta jiwa, Mediolanum memiliki banyak hal yang menakjubkan.



    Ekspresi Freya memancarkan kekaguman begitu kami menginjak Piazza del Duomo, sebuah lapangan luas di tengah kota yang dikelilingi banyak bangunan kuno. Yang paling jelas terlihat adalah istana pemerintahan di masa lalu, sebuah pusat perbelanjaan dengan arsitektur abad 19, dan tentu saja…katedral Mediolanum.

    Begitu pandanganku terarah ke bangunan berarsitektur Gothic tersebut, aku hanya bisa menahan nafas sambil melontarkan sebuah “W-Wow…” Aku sendiri baru pertama kali melihat bangunan gereja semegah ini. Mungkin hanya Basilica St. Cephas di Tiberium yang jauh lebih besar.

    Sayang sekali, sekarang bukan waktunya untuk jalan-jalan. Berhubung stasiun antara Firenze-Mediolanum dan Mediolanum-Modicia berada pada jalur yang berbeda, mau tidak mau kami harus melewati deretan bangunan menakjubkan ini sebelum menuju stasiun kereta yang dituju, menuju Modicia.

    Ah sial, orang-orang itu lagi! Sejak tadi aku tidak merasa dibuntuti…berarti mereka benar-benar mafia, para mafioso. Organisasi mereka memang berada di seantero Italia. Hanya dengan menghubungi rekan-rekan mereka di Mediolanum, mereka bisa saja menangkap---

    Alt!! Fermo!!”, teriak salah satu orang ke arah kami. Dapat diartikan sebagai “Stop!! Berhenti!!”

    Sial!! Mereka mengejar!! Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima orang.

    “Cepat, kita harus lari!! Mereka akan menangkap kita!!”, seruku.

    Kepala penjara langsung menggendong Freya, lalu kami berlari sambil menyelip di antara kerumunan orang di Piazza del Duomo ini. Ah, aku tidak bisa meraih sarung tanganku sambil berlari seperti ini!!

    “Resha, tolong ambilkan sarung tangan di tas punggungku!!”

    “I-Iyaaa…sebentaaar….”, ujarnya kewalahan karena harus berlari sambil membuka resleting tasku. “Ini!!”, langsung dia menyerahkannya padaku.

    Kupasang keduanya di tangan, lalu…

    “Plasma Directing. Aeroblast Phase!!”

    Awan plasma yang biasa kugunakan untuk melayang di udara, sekarang kukonsentrasikan menjadi bentuk sebuah bola di depan tanganku. Orang-orang di Piazza del Duomo langsung panik dan berlari menyingkir begitu melihat bola udara itu. Tiga. Dua. Satu. WHOOOOOOSHHH~

    Bola udara itu memang tidak bergerak lurus dengan kecepatan tinggi, namun kecepatan sudutnya membuat bola itu berotasi kencang, sekitar 9 pada skala Beaufort. Setidaknya itu cukup untuk membuat mereka terpental beberapa meter, tanpa harus membuat nyawa mereka ikut terpental keluar dari tubuh. Bola udara itu lenyap beberapa detik setelah orang-orang itu terlempar sejauh kira-kira 5 meter.

    Masalah belum selesai. Dari kejauhan ada lebih banyak lagi pria hitam-hitam yang berlari dan menuju ke arah kami. Beberapa saat kami berlari menghindar, bahkan hingga menyusuri sisi utara dan barat katedral Mediolanum yang panjangnya hampir 160 meter dan lebarnya lebih dari 90 meter ini. Tapi…

    “Papa, berhenti sebentar…Opa sudah terlihat lelah…”, ujar Freya .

    Ah…benar juga. Untuk seseorang berumur 60 tahun seperti kepala penjara, berlari seperti tadi pastilah menguras tenaganya. Meski secara fisik kepala penjara terlihat lebih kekar dibanding orang-orang sebayanya, namun faktor usia tetaplah menghambatnya untuk berlari lebih jauh. Untung saja aku sempat berlatih fisik sewaktu di Teutonium, sehingga aku belum merasa lelah sekarang. Duh, tapi kalau begini…



    Dia lagi. Sudah kuduga si brengsek itu…

    “Wohoho!! Jackpot!! Execution Angel, Destructive Reaper, ditambah seorang lagi yang baru saja kabur dari Liberion karena takut diinterogasi agen federal., kepala penjara Beth-Elyon. Kurasa ini hari keberuntunganku.”, kata pria berambut merah dan bermata hijau itu, Gregor Crick, yang muncul dari sisi tembok katedral di sebelah kiriku.

    “Kamu…pasti kamu yang membuat kerusuhan di Tifernum tadi pagi!!”, kumaki dia keras-keras.

    “Ups, salah, teman lama. Aku tidak pernah memprovokasi mereka secara langsung. Mereka bersikap begitu karena orang tua ini dan anak kecil itu yang membuat mereka marah. Bukankah kamu sudah tahu kalau penduduk di utara dan selatan negara ini bermusuhan, hei Daleth Reshunuel?! Sudah tahu begitu, masih saja menyediakan makanan dari pihak yang saling bermusuhan dalam satu meja…”

    “Brengsek!! Kamu pasti memata-matai kami waktu itu!!”

    Ah, bagaimana ini?! Sekarang kami sudah terkepung oleh orang-orang berpakaian serba hitam itu. Menghajar mereka satu per satu sepertinya tidak efektif, karena masih ada dua orang tambahan selain Resha yang bersamaku, yang sudah pasti juga akan ditangkap. Lengah sedikit saja, bisa-bisa mereka…

    Gregor menelepon sekitar 9-10 detik lewat ponselnya, dalam bahasa Italia. Modicia? Dibawa? Tunggu. Aku mendengar kata…Corona Ferrea?! Ah, sudah kuduga!! Ternyata benar Liberion lah yang mengacak-acak negara ini!!

    Arrestare lui.”, perintah Gregor pada orang-orang itu begitu dia selesai menelepon. Dia memerintahkan mereka untuk menangkapku.

    Aku tidak bisa berbuat apapun. Menembaki mereka dari jarak sedekat ini akan membuat mereka mati, entah itu dengan Atomic Vibration, Photon Blaster, ataupun Plasma Directing dalam Aeroblast Phase seperti tadi. Tidak ada satupun yang bisa kugunakan untuk membuat mereka pingsan, namun tidak mati. Memukuli mereka satu per satupun juga tidak ada artinya, karena semuanya membawa senjata. Memasang Energy Barrier saat mereka menembak? Dalam jarak sedekat ini bisa jadi ada 1-2 orang yang ikut masuk ke dalam barrier…itu sama saja dengan mengundang perampok masuk ke dalam rumah.

    Dua orang masing-masing memegang pergelangan tangan kiri dan kananku, sementara ada seorang lagi yang mengunci kedua tangan kepala penjara.

    “Hmm…sepertinya anak kecil yang satu itu punya sesuatu yang menarik…benar begitu, anak manis?”, ujar Gregor sambil melangkah ke arah Freya dan Resha.

    Freya terlihat ketakutan melihat Gregor yang semakin mendekat. Resha yang berada di dekatnya memeluknya, berusaha menenangkan.

    “Jangan macam-macam dengan Freya!!”, teriakku.

    “Oh, tentu saja tidak, teman lama. Aku hanya butuh…bola matanya.”

    Emosiku langsung naik begitu mendengar kata-kata tersebut. Argh, sial!! Dengan kedua tanganku ditahan seperti ini, aku tidak bisa berkonsentrasi untuk melancarkan serangan apapun!!

    “Anak baik harus tetap tenang…benar begitu?”, tanya Gregor pada Freya yang mulai menangis ketakutan.

    “Heh pria *****!! Freya tidak ada hubungannya sama sekali dengan semua ini!! Jika kamu ingin menangkapku dan Daleth, itu terserah dirimu. Tapi jangan sentuh Freya dengan tanganmu yang menjijikkan itu!!”, Resha memaki.

    “Hahaha…aku merasa tersanjung, Destructive Reaper. Tapi kalau begini, sepertinya akan sulit untuk mengadakan eksperimen untuk kalian. Mungkin aku harus…”, tangan kanannya masuk ke dalam jaket putih, jaket laboratorium, yang dipakainya.

    Sepucuk M9…!

    “Gregor!! Apa yang ingin kamu lakukan, HAH??!!”, teriakku.

    Brengsek!! Jangan…tolonglah, JANGAN…!! Oh Tuhaaaaann….!! Jangan biarkan mereka kembali kepadaMu sekarang!!

    Freya menangis makin keras di dalam dekapan Resha yang menutup matanya rapat-rapat, dan sedikit berlutut untuk menyamakan tinggi badan. Pelatuk pistol itupun ditarik…suara letusan terdengar.




    Eh? EH?! Apa penglihatanku tidak salah? Mereka berdua sempat menghilang sesaat, tepat sebelum sebutir peluru mengenai Resha. Ah, aku tahu!! Ini kemampuan Resha!! 13 kali lagi Gregor menembaki mereka dengan panik, semuanya tidak ada yang kena. Resha dan Freya lagi-lagi menghilang sesaat sebelum peluru mengenai salah satunya.

    Aku merasa cengkeraman di kedua tanganku menjadi longgar, mungkin karena orang-orang ini kaget melihat apa yang terjadi. Tanpa basa-basi langsung saja kulepaskan tanganku dari genggaman mereka, memukul kepala mereka dengan sarung tangan dengan material terkeras di muka Bumi ini. Kepala penjara juga membanting orang yang mengunci pergelangan tangannya tadi, mungkin dia sudah mendapatkan kembali tenaganya.

    Hmm, ada masih ada 20 orang lagi. Tenang Daleth, tenang. Kutarik nafas dan membuangnya perlahan. Ah iya…aku kan masih punya Photonic Velocity? Situasi panik tadi membuatku tidak bisa berpikir jernih, melupakan salah satu program yang pertama kali kumasukkan ke dalam sarung tangan ini. Dengan Photonic Velocity, seharusnya hal tadi tidak perlu terjadi…aku melupakan hal yang sangat penting.

    Photonic Velocity. Set up.

    Dalam sekejap, ke-20 orang yang masih tersisa, kecuali Gregor, kubuat terkapar dengan menghajar bagian belakang kepala mereka satu per satu. Tembakan yang dilancarkan orang-orang itupun tidak perlu kutakuti, karena aku bergerak jauh lebih cepat dibanding kecepatan tangan mereka menarik pelatuk.

    Checkmate, Gregor. Kamu sendirian, dan hanya tersisa satu peluru di M9 itu. Sekarang, katakan apa rencana pemerintah Liberion di tempat ini.”, kataku dengan nada mengancam.

    “Kamu pikir…aku akan mengatakannya begitu saja?”, ujarnya sambil menaruh ujung pistol itu di kepala sebelah kanan.

    Dan…sebuah suara letusan, membuatnya jatuh terkapar dengan--- HAH?!

    Tubuh Gregor langsung berubah menjadi sesuatu seperti air, meninggalkan sebuah plat logam berbentuk bujursangkar, kira-kira 25 sentimeter persegi. Ini pasti…kloning, tidak salah lagi. Plat logam ini pastilah yang membuat substansi organik dari tubuh kloning itu menjadi stabil. Jangan-jangan yang berada di Alberton, yang mengejarku di laut, dan yang kutemui di Qing juga hanyalah kloning dari Gregor?!

    “Freya, tenang ya. Sudah tidak berbahaya lagi kok.”, ujar Resha dengan lembut pada Freya, yang masih memeluknya erat-erat.

    “B-Benar kak? Sudah…tidak apa-apa?”, perlahan Freya melepaskan pelukannya, lalu mengusap kedua matanya yang berair.

    “Iya, sudah. Jangan menangis lagi, oke?”, Resha mengatakan itu sambil membelai rambut Freya dengan lembut.

    “Tidak kusangka, pak kepala. Ternyata Anda masih mampu membanting orang tadi hingga tidak mampu bergerak.”

    “Hahaha...jangan meremehkan saya, Daleth. Meski sudah tua, kekuatan fisik saya tidak kalah dengan yang masih muda. Yah, hanya saja tidak bisa dalam waktu lama…stamina saya tidak mendukung.”, kata kepala penjara dengan bangga.



    Dari belakangku terdengar suara, sepertinya ada beberapa orang menuju ke sini. Begitu kulihat, ternyata itu adalah sekelompok orang berseragam garis-garis vertikal berwarna biru-kuning-merah dengan helm antik berornamen bulu merah, membawa SIG SG 550 assault rifle. Mereka adalah Alpina Guard, Alpinergarde dalam bahasa Teutonium, sebuah korps khusus penjaga Pontifex Maximus serta gereja Basilica St. Cephas dan sekitarnya. Salah seorang langsung menanyakan apa yang terjadi di sini kepadaku. Kuceritakan saja padanya kalau aku sedang menjalankan misi dari Teutonium.

    Selagi aku memberi keterangan pada orang itu, yang sepertinya adalah komandan yang bertugas, dari arah jalanan terlihat ada sebuah mobil…oh, Ferrari Scaglietti berwarna hitam, melaju dengan kecepatan tinggi. Tunggu. Arah mobil itu berasal dari stasiun yang merupakan awal dari jalur kereta Mediolanum-Modicia. Jangan-jangan yang dikatakan kloning Gregor lewat telepon tadi…

    “Freya!! Tutup matamu dan lihat ke mobil hitam itu!!”, perintahku sambil menunjuk mobil yang masih sekitar 50 meter jauhnya dari tempat Freya berdiri. Dia melakukan tepat seperti yang kuminta.

    “Apa yang kamu lihat?”, tanyaku.

    “Err…ada orang…dua orang di depan. Di jok belakang sih kosong…eh? Oh, tidak kosong. Ada benda seperti sebuah kotak, tapi tidak jingga ataupun kuning. Agak merah…kaca mungkin yah? Sepertinya sedikit hangat karena tersinari matahari. Di dalamnya juga ada sesuatu yang bulat, mirip donat. Donatnya dingin, warnanya gelap sih…”

    “Daleth, Corona Ferrea ada di dalam mobil itu!!”, seru Resha.

    Tanpa basa-basi langsung kuaktifkan Plasma Directing, lalu menggendong Freya dan terbang mengejar mobil itu. Komandan Alpina Guard tadi sepertinya berteriak memanggil, begitu juga kepala penjara, namun aku mengacuhkannya begitu saja.

    “W-Whoa…!! Papa bisa terbang?! Kenapa tidak pernah bilang?”, tanya Freya dengan penuh kekaguman.

    “Nanti Papa ceritakan. Yang jelas sekarang tetap lihat ke mobil yang di depan itu, oke?”, dijawab Freya dengan mengangguk-angguk beberapa kali.

    Beberapa menit aku terus mengejar mobil itu. Kukira Freya akan takut, ternyata tidak. Dia malah terlihat girang, sesekali tertawa. Mungkin dikira roller coaster atau semacamnya…? Dasar anak-anak.



    “Ng…Papa, orang yang di kanan sepertinya ingin mengeluarkan tangannya dari jendela…eh? Dia pegang apa ya? Pistol kah?”

    “Eh?! Pistol?!”

    Satu per satu tembakan dilancarkan oleh orang dari dalam mobil. Ternyata dia berpakaian sama seperti orang-orang tadi, serba hitam. Untunglah beberapa kali aku sempat menghindar.

    “Freya, pegangan yang erat. Papa akan menambah kecepataaaann…!!”

    “Okeeee…!!”, ujarnya dengan gembira.

    Kutambah akselerasi awan plasma di kakiku ini, terus, terus, terus…hingga dapat menyusul mobil itu, beberapa meter di depannya. Aku langsung menghadap ke arah belakang, mengaktifkan Atomic Vibration, lalu kuarahkan getarannya ke ban mobil itu. Sebuah bunyi ledakan dari ban, dan mobil itu tidak terkendali, hingga akhirnya menabrak tiang lampu di pinggir jalan.

    Kedua orang di dalam mobil itu belum menyerah. Mereka keluar dari mobil, dengan salah satunya membawa kotak kaca…ternyata benar, berisi Corona Ferrea.

    “Freya, tunggu di sini sebentar.”, kuturunkan Freya di pinggir jalan, beberapa meter dari tiang yang ditabrak.

    Photonic Velocity, diikuti oleh Plasma Directing dengan Aeroblast Phase. Kedua orang itu terpental hingga pingsan, begitu juga dengan kotak kacanya. Berhubung kotak kaca itu lebih ringan dibanding salah seorang dari mereka, maka benda itu terpental lebih jauh…jauh…jauh…dan terdengar bunyi *prang*. Kotak kaca itu menabrak tiang lampu tadi, dan…



    Corona Ferrea jatuh tepat di atas kepala Freya. Rex Italiae yang baru…Freya?!



    Orang-orang di sekitar tempat kejadian, yang sejak tadi memperhatikan pengejaran itu, sekarang…berlutut ke arah Freya.

    “Eh…? Ehhh…?! A-Ada apa ini?!”, seru Freya.

    Tunggu. Bagaimana kalau sampai Kaiser Wilhelm tiba, Freya yang menyandang gelar Rex Italiae? Bukankah Carolus Magnus sendiri menobatkan dirinya menjadi raja atas Italia dengan sebuah penaklukkan, bukan keturunan? Dengan kata lain, jika ditinjau menurut sejarah, yang membuat seseorang sah menjadi Rex Italiae adalah…prosesi menaruh Corona Ferrea di kepala orang tersebut. Dengan cara ini Corona Ferrea akan tetap aman, tidak ada vakum kekuasaan lebih lanjut, ditambah lagi Freya bisa memerintahkan aparat kemanan Italia untuk menginvestigasi kejadian ini lebih dalam.

    “Freya, jangan lepas mahkota itu hingga Papa yang suruh. Mengerti?”

    “O-Oke…”

    Resha, kepala penjara, beserta para Alpina Guard tadi sekarang berjalan kemari. Hebatnya, komandan Alpina Guard itu berlutut, diikuti yang lainnya, sambil menyerukan “La nostra Regina Italiano!!”, yang dalam bahasa Anglia berarti “Our Queen of Italy!!”

    Dan…berakhirlah kekosongan gelar Rex Italiae selama 25 tahun.




    Sekitar 3 jam setelahnya, Pontifex Maximus yang berkuasa saat ini, datang ke Mediolanum untuk mengadakan prosesi penobatan Freya sebagai Rex Italiae. Kuberitahu semua hal yang terjadi selama ini, mengenai Teutonium dan kondisi Tifernum yang kuamati beberapa hari belakangan ini. Untungnya, dia setuju dengan rencanaku untuk membuat Freya menjadi pemegang gelar itu untuk sementara, hingga Kaiser Wilhelm kembali.

    Saat kutanyakan pada Pontifex mengenai penundaan pemberian gelar itu, ternyata benar, semuanya karena kondisi Italia yang berubah aneh sejak 5 tahun lalu. Orang-orang di utara dan selatan perlahan menjadi saling membenci. Dalam kondisi itu, tidak mungkin Kaiser Wilhelm dinobatkan menjadi Rex Italiae, lalu menjadi Imperator Romanum Sacrum.

    Jika negara ini pecah saat Kaiser Wilhelm dinobatkan, maka sia-sialah gelar itu, lebih-lebih jika ada negara baru yang terbentuk dan lepas dari kekuasaan Teutonium ataupun Pontifex sendiri. Orang-orang di utara pastilah akan menolak, karena gelar Imperator Romanum Sacrum sangat identik dengan Regnum Romanum, sementara Rex Italiae identik dengan orang-orang Lombarda. Merekapun akan membentuk negara baru di utara, menjadi pemisah geografis antara Teutonium dan Italia sisa-sisa Regnum Romanum. Kekacauan itulah yang menurutku, akan sangat bermanfaat bagi Liberion untuk mengobrak-abrik benua ini lebih jauh lagi.

    Prosesipun berjalan dengan suasana yang amat sakral di katedral Mediolanum. Freya, meski terlihat agak canggung, mampu mengikuti semuanya dari awal hingga akhir.

    “Dan…apa perintah pertamamu, Ratu kecilku?”, tanyaku pada Freya begitu prosesi upacara selesai.

    “Ng…yang tadi pagi. Iya, yang tadi pagi. Yang membuat orang-orang di Tifernum menjadi seram begitu…harus ditangkap. Iya, itu perintah pertamaku!!”, jawabnya.

    “Kalau itu sih…biar Papa yang menyelesaikan.”

    “Eh? Apa Papa bisa?”

    “Sekarang…kita keluar.”

    Aku berjalan keluar dari katedral Mediolanum, sambil menggandeng tangan kanan Freya yang kecil itu. Resha dan kepala penjara berjalan mengikuti, sementara Pontifex hanya memperhatikan dari pintu katedral bersama para pejabat gereja setempat yang berada di dalam saat prosesi.

    Beberapa meter dari pintu depan katedral…


    “User, Daleth Reshunuel. Energy Level Operation with High Intelligent Manipulator. E.L.O.H.I.M. Project. Prepare for new code injection. Codename, Dark Matter Utilization code sets.”




    Itu adalah kalimat untuk memulai mengaktifkan kode program yang baru dimasukkan. Sesuatu seperti magic circle muncul dari bawah kakiku, disertai butiran-butiran cahaya kecil yang melayang perlahan ke atas. Semua itu sebenarnya hanya untuk keren-kerenan saja sih…hehehe. Selanjutnya, kukeluarkan Dark Matter dari kantong kanan celana panjangku.

    Kulempar Dark Matter itu beberapa puluh sentimeter vertikal ke atas, dan…

    “Dark Matter Utilization. Dimensional Detector mode, on!!”

    Dari kedua tanganku muncul dua berkas cahaya, satu dari kiri dan satu dari kanan, ke arah kristal Dark Matter yang sekarang melayang di udara, beberapa belas sentimeter di atas kepalaku. Kristal itupun memancarkan cincin berwarna hitam, mengelilingi kristal. Selang satu detik, lingkaran itu mengembang, amat cepat. Satu. Dua. Tiga. Cincin itu mengkerut dengan kecepatan yang sama, kembali mengelilingi kristal Dark Matter.

    “Dark Matter Utilization. Dimensional Projection mode, on.”

    Kurentangkan kedua tanganku ke depan, menciptakan proyeksi 3 dimensi holografik kota Tifernum secara detail, bahkan hingga apa saja yang ada di bawah tanah kota itu. Panjang dan lebar proyeksi itu kira-kira 10 meter.

    Benar saja. Di bawah sebuah bangunan, yang ternyata adalah kantor Dinas Kependudukan setempat, ada benda yang mencurigakan. Sebuah mesin…hmm…pastilah ini…

    “Ini dia masalahnya.”, kutunjuk benda mencurigakan itu.

    “Benda apa itu yang kamu tunjuk?”, tanya Resha.

    “Itulah yang mengendalikan penduduk Tifernum. Negara ini mulai menerapkan sistem kartu kependudukan elektronik sejak 5 tahun lalu. Dengan kata lain…ada chip elektronik tertanam di kartu penduduk. Kurasa kamu bisa menebak selanjutnya, Resha.”

    “Sebentar. Dengan mesin mencurigakan itu, sesuatu ditransmisikan ke kartu tanda penduduk orang-orang Tifernum, dan itulah yang membuat mereka menjadi sangat emosional.”

    “Yap, benar.”

    “Bagaimana hal itu bisa terjadi, Daleth?”, tanya kepala penjara.

    “Gelombang beta, pak kepala. Manusia memiliki 6 jenis gelombang otak. Alpha, beta, gamma, delta, mu, dan theta. Dalam konsentrasi penuh, otak manusia memancarkan gelombang beta. Gelombang yang sama dipancarkan melalui chip tersebut pada penduduk Tifernum. Kemungkinan besar ada pesan tersembunyi yang dipancarkan melalui entah gelombang apa ke chip tersebut, mungkin rangsangan agar membenci orang-orang yang berasal dari daerah yang berbeda.”

    “Tapi bagaimana saya dan Freya tidak terpengaruh?”

    “Itu karena proyek tersebut sudah dimulai bersamaan dengan dimulainya mutasi kartu penduduk menjadi bentuk elektronik dengan chip. 5 tahun berturut-turut dihipnotis gelombang yang sama melalui benda yang dibawa setiap hari, pastilah efeknya sudah sangat fatal. Lagipula kemungkinan besar gelombang beta tersebut hanya terpancar dari kartu penduduk setempat, jadi Anda dan Freya tidak akan terpengaruh karena tidak memiliki kartu itu.”

    “Tunggu, tunggu. Aku masih belum paham. Pertama, bagaimana mereka bisa tahu kalau orang lain adalah berasal dari daerah bekas Lombarda ataupun Regnum Romanum? Kedua, kenapa kepala orang-orang itu saja yang berubah panas?”

    “Ck…berarti kamu tidak terlalu memperhatikan. Pertama, itulah kenapa mesin tersebut berada di kantor Dinas Kependudukan. Hanya orang-orang di kantor itulah yang tahu persis mengenai data-data penduduk Tifernum. Kedua, gelombang beta muncul saat manusia berpikir dan berkonsentrasi. Jika dua gelombang yang sama, namun intensitasnya berlebihan, mempengaruhi satu buah otak, maka neuron-neuron di otak itu akan terpengaruh dan menjadi lebih panas, mirip kabel yang dialiri arus yang makin tinggi. Dalam hal ini orbitofrontal cortex, karena merupakan bagian otak yang bekerja saat manusia berpikir, memutuskan sesuatu, dan merespon dengan emosi.”

    “Jadi…mereka tidak dikendalikan secara langsung, tapi lebih tepat dikatakan kalau dimanipulasi secara tidak sadar dalam jangka waktu terus-menerus?”, tanya Resha lagi.

    “Betul sekali. Aku yakin Gregor ikut menyempurnakan mesin itu, dengan mengambil data otak dari dirimu. Jadi solusinya, hancurkan mesin itu, tangkap orang-orang Dinas Kependudukan yang terlibat, dan…jangan lupa, berikan suntikan benzodiazepine secukupnya pada penduduk Tifernum. Itu akan membuat kepala mereka lebih tenang.”

    “Duh…aku pusing…kalian bicara apa sih dari tadi…”, sahut Freya sambil menggaruk-garuk kepala.

    Gelak tawa dariku, Resha, dan kepala penjara terdengar begitu melihat ekspresi Freya yang kebingungan, namun sangat lucu dan menggemaskan. Untung saja Freya datang. Dengan adanya Freya, misi kali ini selesai dengan sempurna.



    3 dan 24 jam berikutnya, Friedrich dan Kaiser Wilhelm berturut-turut datang ke Mediolanum. Apapun yang mereka tanyakan, kujawab dengan sejujur-jujurnya. Kaiser Wilhelm sendiri malah memujiku atas ideku untuk menempatkan Freya sebagai Rex Italiae untuk sementara.

    Meski hanya untuk sekitar 28 jam, pengangkatan Freya menjadi Rex Italiae sangat berperan dalam mempertahankan kesatuan negara ini. Dalam jangka waktu itu pula, Huang, yang sejak awal tidak datang bersama Friedrich, memimpin beberapa pasukan elit Teutonium untuk menghancurkan mesin aneh di Dinas Kependudukan Tifernum tersebut, setelah mendapat informasi dariku. Jika jangka waktu itu tidak ada…aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.




    “Freya, sekarang jujur pada Opa. Ada yang kamu sembunyikan?”, tanya kepala penjara saat kami berada di bandara Mediolanum, sehari setelah mahkota Rex Italiae diserahkan pada Kaiser Wilhelm.

    “Um…maaf…sebenarnya aku…punya sesuatu yang aneh. Karena itu aku tidak pernah cerita…”

    “Dia terlalu takut untuk menceritakannya pada Anda, pak kepala. Bukankah Anda sendiri memang tidak percaya akan kekuatan-kekuatan khusus seperti yang Freya ataupun Resha miliki? Saya rasa itu yang membuatnya tidak mengatakan apa-apa.”

    “Huh…baiklah. Tapi itu bukan sesuatu yang berbahaya kan?”

    “Tenang saja, pak. Saya pernah memeriksakannya pada seorang rekan dokter di universitas, dan menurutnya kekuatan itu tidak berbahaya. Bahkan…jika Freya tidak punya kekuatan tersebut, mungkin negara ini sudah pecah menjadi dua.”

    “Oke, saya mengerti. Freya, lain kali katakanlah hal-hal penting seperti itu. Opa janji tidak akan marah.”

    “B-Benarkah? Terima kasih ya Opa…”, Freya langsung memeluk kepala penjara.

    “Dan kamu, Resha. Bukankah kamu ingin mengatakan sesuatu pada pak kepala?”, ujarku sambil menepuk bahu kirinya.

    “Err…iya…”, jawabnya ragu.

    “Oh, ada apa? Katakan saja.”, sahut kepala penjara.

    “S-Saya…ingin minta maaf. Sudah beberapa kali saya menghina Anda…itu bukan karena saya membenci Anda atau semacamnya, hanya…memang sudah kebiasaan. Kebiasaan buruk.”, Resha sedikit menunduk pada kepala penjara.

    “Hahaha…sudah, sudah. Hal seperti itu tidak perlu kau cemaskan. Saya selalu menganggapnya sebuah lelucon atau semacamnya. Tenanglah.”

    “Iya kak, walau Opa badannya besar dan kuat dan mungkin kelihatan agak seram, tapi Opa tidak galak kok.”

    “Huff…untunglah.”, Resha menghela nafas, pertanda lega.

    “Oh iya kak Resha…a-aku punya permintaan.”, ujar Freya dengan nada malu-malu sambil melangkah mendekati Resha.

    “Hmm? Permintaan apa?”

    “Ng…boleh kupanggil kakak dengan sebutan…’Mama’?”

    Resha sedikit terkejut dan pipinya berubah merah ketika mendengar hal itu. Namun, dia tersenyum dan memeluk Freya setelahnya.

    “Iya, boleh.”



    Sebuah ekspresi yang belum pernah kulihat, terpancar dari wajah Resha. Penuh kehangatan, penuh kelembutan. Pemandangan itu benar-benar seperti seorang ibu dan anak yang saling memeluk dengan penuh kasih sayang.

    “Hohoho…jadi sekarang kamu punya Mama baru ya sayang? Di sini sudah ada Papa, dan sekarang ada seorang Mama. Lengkap sudah.”, sahut kepala penjara.

    EH?! Tunggu, tunggu. Selama ini aku dipanggil Papa. Sekarang, Resha dipanggil…Mama. ASTAGA!!

    Resha juga terlihat terkejut, sampai-sampai melepaskan pelukannya dari Freya. Wajahnya amat sangat merah. Err…sepertinya aku juga. Pipiku terasa panas sekarang. Lebih-lebih begitu dia melihat ke arahku, dia langsung menunduk dan tidak berani menatapku. Umm…aku juga langsung menatap ke arah berlainan sih… AAAAHHH!!

    “Wow, Papa dan Mama kenapa merah sekali begitu pipinya? Kepanasan ya? Ini kan sudah akhir musim gugur…”, sahut Freya.

    “Hahaha…nanti kamu juga akan mengerti, Freya sayang.”, jawab kepala penjara.

    Beberapa saat aku dan Resha tidak berani menatap satu sama lain. Perasaan malu yang luar biasa membuatku tidak bisa bergerak. Bukan karena dipermalukan, tapi karena sesuatu yang benar-benar menusuk dan tepat sasaran di hatiku. Sepertinya…memang benar kalau aku…

    “Sudah, sekarang ayo kita pergi. Penerbangan ke Aegyptus akan berangkat setengah jam lagi. Daleth, Resha, jangan berdiam diri begitu saja.”, kata kepala penjara.

    Proses boarding pun dilakukan. Sejak aku memasuki bandara hingga proses boarding ini, sebenarnya ada sesuatu yang terpikir olehku.



    Suatu kali aku pernah menyelidiki asal-usul keluarga Freya, bahkan hingga meminta bantuan para ahli sejarah di universitas.

    Kakek dari pihak ibu Freya adalah keturunan imigran Midgard pada abad ke-18. Dan ternyata, tempat tinggal nenek moyang dari kakek tersebut adalah tempat dimana orang-orang Lombarda berasal. Kekuatan mata dari Freya itu ternyata diwarisi dari gen kakek pihak ibunya. Kekuatan itu memang sangat berguna untuk mencari hewan buruan ataupun orang yang tersesat di dalam badai salju Midgard yang terkenal keras, karena dapat melihat panas tubuh targetnya. Nenek dari pihak ibunya sendiri adalah orang Frisia, memiliki darah keluarga kerajaan.

    Beralih ke garis keturunan ayahnya, ternyata almarhum istri kepala penjara adalah keturunan orang Italia, bermigrasi ke Liberion pada abad ke-17. Diceritakan mahir sekali berbahasa Romanum, diajari turun-temurun. Mungkinkah keturunan sisa-sisa Regnum Romanum? Kepala penjara sendiri memiliki nenek moyang orang Franks, dan masih mampu berbahasa Franks kuno. Kepala penjara juga sering sekali mendongeng pada Freya mengenai dirinya, yang merupakan keturunan dari seorang raja Franks di masa lalu.

    Freya Amoreux. Lombarda, Frisia, Regnum Romanum, Franks. Garis keturunan kerajaan dari Frisia dan Franks, ditambah darah Lombarda dan Romanum, membuat Freya amat pantas menjadi…Carolus Magnus yang baru. Tidak ada yang tahu hal ini, kecuali aku sendiri.

    Yah…setidaknya Freya sempat merasakan menjadi seorang pemimpin, walau sebentar. Pengalaman itu mungkin akan diingatnya seumur hidup. Rex…bukan, bukan Rex. Regina Italiae pertama dalam sejarah, Freya Amoreux.





    Meninggalkan tanah Italia, menuju Aegyptus, sebuah negara di sebelah utara Benua Hitam di selatan. Berhubung Freya masih ingin bersama denganku dan Mama barunya, Resha, lebih lama lagi, maka…aku ikut dalam perjalanan liburan mereka berikutnya ke Aegyptus.

    Oh ya, tentu saja kami mendapat “oleh-oleh” dari Pontifex Maximus. Aku, Resha, Freya, dan kepala penjara dianugerahi gelar… Defensor Unitas. Defender of the Unity.




    ==============================================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Kota
      • Arretium = Arezzo
      • Firenze = Florence
      • Modicia = Monza (Corona Ferrea yg asli memang disimpen di Duomo di Monza)
    • Rute perjalanan yang ditempuh Daleth dan rombongan itu bener...
      Dari Citta di Castello kalo mo ke Milan lewat darat, harus ke Arezzo naik bus (gw sampe cek jadwal bus nya, pake yg di page 2... ), terus naik kereta ke Florence, terus ganti kereta yang ke Milan. Coba cek kalo lagi jalan" ke sana (ini gw sampe nyari ke website" tourism segala...swt )
      Kalo mau lewat udara, bisa naek bus ke Perugia, terus dari sana ada penerbangan tiap hari ke Milan
      Selamat berlibur...
      Loh
    • About Mediolanum (Milan):
      • Mediolanum adalah kota terkaya ke 26 di dunia, dalam hal daya beli = http://www.citymayors.com/economics/...ing-power.html (data 2009)
      • kota ini masuk dalam daftar 10 besar pusat ekonomi dan finansial di Benua Biru = http://www.citymayors.com/business/euro_bizcities.html (data 2009)
      • Sejak 1000 tahun lalu = sejak jaman pertengahan...memang sudah terkenal begitu, coba baca" sejarah Middle Age
      • kota ini adalah salah satu pusat tren dunia, dengan banyak merek-merek fashion terkenal dunia memiliki kantor pusat di sini = silakan cek kantor pusatnya Versace, Gucci, Armani, Prada, Dolce & Gabbana dst dkk...
      • dua klub sepakbola kelas dunia bermarkas di kota ini = A.C. Milan sama Inter Milan...
      • misalnya saja katedral Mediolanum yang merupakan gereja terbesar ketiga di dunia = http://en.wikipedia.org/wiki/Duomo_di_Milano
        Spoiler untuk fotonya :

    • Piazza del Duomo itu real place
      Spoiler untuk foto :

      Duomo di Milano paling kanan, yang gerbang di tengah itu Victor Emmanuel II Gallery...istananya mungkin yang kiri
    • Basilica St. Cephas = Basilica St. Peter di Vatikan (Cephas/Kefas = Peter/Petrus, coba cek Alkitab bagi yang punya)
    • Skala Beaufort adalah skala yg digunakan para ahli cuaca untuk mengukur kekuatan angin...9 itu sekenceng apa ya...
    • Arrestare lui = arrest him (Itali bok, Italiiii)
    • Pistol M9 normal, cartridge nya berisi 15 peluru 9x19 mm (gile...Daleth ngitung dong ya )
    • Alpina Guard/Alpinergarde = Swiss Guard (Schweizergarde), satu-satunya militer di Vatikan, pengawalnya Paus
    • SIG SG 550 itu rifle real (ada di CS bukan sih? Senjatanya Terrorist a), senjata wajib Swiss Guard
    • Ferrari Scaglietti itu mobil real
    • Gelombang alpha, beta, gamma, delta, mu, theta adalah benar-benar gelombang otak manusia (http://en.wikipedia.org/wiki/Electro...mparison_table)
    • Benzodiazepine punya efek penenang
    • Nama panjangnya Freya: Freya Amoreux
      Nama belakangnya diambil dari nama raja Prancis, Philip I l'Amoreux
    • Aegyptus = Mesir
    • Defensor Unitas itu bahasa Latin...artinya ya itu di sebelahnya

    Last edited by LunarCrusade; 29-02-12 at 20:51.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  9. The Following 3 Users Say Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  10. #81
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 22 :


    ================================================
    Chapter 22: Sands of Time ~ Ancient Kingdom of Nile (Part 1)
    ================================================




    Penerbangan dari Italia ke Aegyptus diisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus dilontarkan oleh Freya, baik padaku maupun Resha. Yah, namanya juga anak-anak. Banyak hal yang dia tanyakan, tapi yang terbanyak dilontarkan adalah pertanyaan mengenai perjalananku selama ini dan juga sarung tanganku, yang membuatnya terkagum-kagum. Untung saja aku sudah terbiasa dengan kelakuannya yang suka banyak tanya itu. Dia memang anak yang punya rasa ingin tahu yang besar.

    “Jadi, jadi, benar Papa juga pernah berlatih pedang sewaktu di Teutonium? Dan Papa menang saat melawan kakak yang waktu itu kulihat?”, tanya Freya dengan penuh semangat.

    “Oh, jelas. Secara pengalaman, jelas Papa tidak ada apa-apanya. Tapi…dengan sedikit trik cerdas, dia bisa Papa kalahkan.”

    “Uh…sayang ya waktu itu aku tidak lihat. Pasti seru sekali…lain kali, kalau Papa bepergian, ajak-ajak aku juga ya.”

    “Iya, nanti kalau urusan Papa sudah beres. Kita akan jalan-jalan ke manapun kamu mau.”

    Cuaca siang ini sangat bersahabat untuk penerbangan. Sejak tadi tidak ada guncangan, walau kecil sekalipun. Formasi awan-awan yang terlihat dari jendela juga terlihat tipis, tidak ada yang berpotensi mengganggu perjalanan. Semoga saja Aegyptus tenang seperti langit siang ini, tidak dipenuhi kemelut politik seperti di Italia. Aku juga ingin lihat piramid…


    *BHUMMM!!~


    Dari arah ekor pesawat terdengar sesuatu, suara ledakan. Pesawat berguncang keras, menimbulkan kepanikan di antara para penumpang. Sedikit tercium bau bahan peledak dari tempatku duduk, baris kedua dari belakang.

    “Daleth, bau ini…DMDNB…”, ujar kepala penjara, begitu tercium bau yang unik menyebar di udara.

    “Ada yang memasang C-4 di ekor pesawat?!”, seruku dengan nada kaget. DMDNB adalah zat kimia khusus yang biasa ditaruh di peledak C-4 sebagai penanda bau, standar militer Liberion. ****** sangat sensitif terhadap bau ini, dan manusia sepertiku hanya dapat menciumnya setelah C-4 itu meledak, dan DMDNB menyebar di udara lebih banyak lagi. Tapi bagaimana bisa bahan peledak itu lolos dan dapat ditaruh di ekor pesawat? Jangan-jangan…pemerintah Liberion?!

    Ternyata orang-orang Liberion itu belum puas!! Argh, bagaimana ini?! Di ketinggian nyaris 7000 kaki di udara seperti ini, tidak mungkin menyelamatkan mereka semua!!

    Pesawat ini menukik dengan kecepatan tinggi, tidak dapat dikendalikan. Seluruh penumpang diminta tetap tenang, karena pilot akan berusaha melakukan pendaratan darurat. Tapi…belum selesai instruksi dari pilot, ada sebuah ledakan lagi, asalnya dari sayap pesawat sebelah kanan. Dengan sayap dan ekor terganggu seperti ini, bagaimana mungkin melakukan pendaratan darurat?! Argh, aku tidak bisa mengambil sarung tanganku yang berada di bagasi di atas kursiku ini…sial!!!

    Freya berteriak makin panik, sementara pesawat inipun melaju makin kencang dengan arah menukik. Selama beberapa menit, jantungku terus berdegup kencang. Aku hanya bisa pasrah, karena aku tidak dapat mengambil sesuatu yang dapat menyelamatkan, setidaknya, Resha, Freya, dan kepala penjara. Jika ini adalah akhir hidupku…

    ………

    ………



    “Papa, bangun!! Papa…!!”, suara Freya terdengar samar-samar olehku, dengan nada penuh ketakutan. Sesekali dia terisak, mungkin takut kalau aku tidak akan bangun lagi. Argh…kepalaku pusing sekali…

    Perlahan kubuka kelopak mataku, memandang langit biru luas di atas sana. Kulihat ke arah kiri…oh, itu Freya. Melihatku membuka mata, dia langsung memelukku erat-erat sambil menangis.

    “Papa tidak apa-apa, sayang. Hanya agak pusing sedikit.”, ujarku sambil membelai rambut pirangnya yang panjang itu.

    Perlahan aku berusaha mengambil posisi duduk, sesekali memegang kepala karena masih terasa pusing. Tak jauh di sebelah kanan depanku, Resha duduk termenung memandang ke arahku. Matanya…terlihat sembab.

    “Akhirnya bangun juga kamu.”, katanya sambil mengusap mata kirinya, yang masih terlihat bekas air mata.

    “Sejak tadi Mama menangis terus, karena Papa tidak bangun-bangun…tapi syukurlah…sekarang…”, Freya kembali menangis.

    “Iya, maaf sudah membuat kalian khawatir. Aku tidak apa-apa kok.”

    Kuperhatikan seluruh tubuhku mulai dari tangan, perut, hingga kaki, tidak ada satupun yang mengeluarkan darah dalam volume yang berlebihan. Ada beberapa goresan, tapi tidak mempengaruhi kondisi tubuhku sama sekali. Kepalaku…oh baguslah, tidak bocor. Mungkin sakit kepala ini karena benturan saja.

    “Dan…di mana kita sekarang?”, tanyaku sambil menengok ke kanan dan ke kiri secara bergantian.

    “Mana aku tahu? Yang jelas ini di tengah padang gurun.”

    “Cih, itu aku juga bisa lihat…tunggu, kenapa tidak ada sisa-sisa pesawat…?”, tanyaku keheranan saat memperhatikan kalau sekitarku bersih, hanya ada tas milikku, Resha, dan Freya.

    “Err…mungkin ini semua salahku.”, sahut Resha dengan ragu-ragu.

    “Jangan bilang kalau kamu membuat kita terdampar di gurun lain entah di mana…”

    “Nah, itu aku juga tidak tahu. Yang terpikir olehku hanyalah keselamatan Freya dan…ng…k-kamu…”, wajahnya sedikit memerah.

    “Ya, ya, terima kasih untuk kepeduliannya.”, sahutku ketus. “Lalu, di mana kepala penjara?”

    “Iya ya, aku juga tidak lihat Opa sejak tadi.”, sahut Freya.

    Aku mencoba berdiri dan memperhatikan sekelilingku lebih jauh lagi. Yang ada hanyalah hamparan pasir yang luas, sesekali terlihat bukit yang sudah pasti adalah bukit batu. Jika memang ini perbuatan Resha dan dia tidak melakukan teleport terlalu jauh, seharusnya ini masih di Aegyptus.



    Hmm…di kejauhan ada gumpalan awan pasir yang mendekat. Mobilkah? Baguslah, pertolongan sudah datang--- eh? Bukan mobil, tapi…kuda, ada sekitar 6 ekor. Tunggu, tunggu. Bukan hanya kuda…ada kereta di bagian belakangnya. Modelnya sangat kuno, tidak seperti stagecoach yang biasa ada di abad 16 sampai 19. Itu…chariot?!

    “R-Resha…s-sepertinya kamu bukan hanya melakukan teleport.”, ujarku dengan sedikit terbata-bata.

    “Hah? Maksudmu?”

    “Coba lihat itu…”, aku menunjuk ke arah kumpulan chariot itu datang. Satu chariot ditarik oleh dua ekor kuda, jadi ada 3 chariot yang datang kemari.

    Salah satu chariot dikemudikan oleh seorang lelaki berambut merah, terlihat masih muda, mungkin antara 20-22 tahun. Menurut pengamatanku, tingginya sekitar 170-173 sentimeter. Dia membawa tombak, busur, serta kantong berisi anak panah yang tergantung di bahu kanannya. Aku hanya memperhatikan orang itu karena pakaiannya berbeda sendiri dibanding para pengemudi chariot lain yang bersamanya. Kalau dilihat dari penampilannya, mereka…

    “Sebutkan identitas kalian, orang asing!”, perintah orang itu setelah memberhentikan chariot nya tak jauh di depan kami.

    “Ng…kami…hanya menumpang lewat saja…”, jawabku, namun tidak melihat ke arah orang itu.

    “Jangan main-main!!”, dia menyodorkan ujung tombaknya ke leherku. “Orang Berber? Nubia? Hittite? Jawab!!”

    Freya terlihat ketakutan melihat wajah galak orang itu, sampai-sampai dia menangis.

    “Oi, oi, apa kamu tidak lihat kalau dia menangis? Jangan suka teriak-teriak di hadapan anak-anak.”, kataku.

    “Ha!! Orang yang tidak jelas asal usulnya sepertimu memerintah diriku seenaknya saja?! Kamu tidak tahu siapa aku, hah?!”

    “Cih, memangnya aku peduli?”, jawabku ketus.

    Kemarahan orang itu makin menjadi, memerintahkan kedua orang yang bersamanya untuk menangkap kami, dan mengambil barang bawaan yang kami bawa. Tangan kami diikat, dan didudukkan di tiap-tiap chariot, tepat di sebelah kaki pengemudi. Beberapa kali aku ditendang…sial, akan kulempar kamu dari atas piramid Giza nanti.

    Ah sudah, emosi begini juga tidak ada gunanya. Lebih baik aku berpikir, di zaman apa aku terdampar…? Penampilan orang-orang ini jelas, seperti orang-orang Aegyptus kuno. Yang masih belum bisa kupastikan adalah, pada era raja yang mana?

    “Sebutkan namamu, orang asing.”, tanyanya sambil mengemudikan chariot melintasi lautan pasir ini.

    “Ha!! Sudah menendang-nendangku, masih tanya-tanya segala…tidak akan kujawab.”

    Kembali aku ditendang.

    “Hoi!! Bisa sopan sedikit tidak?! Apa kamu tidak pernah diajar orang tuamu, hah?!”

    “Jangan lancang membawa nama Pharaoh Seti Yang Agung sembarangan!!”, teriaknya, lagi-lagi sambil menendangku.

    “Seti? Itu ayahmu?”

    “Sebut namanya dengan lebih hormat!!”

    “Berarti kamu…Ramesses?”

    Chariot berhenti mendadak, sampai-sampai aku terlempar keluar dan jatuh telentang di atas pasir. Kedua chariot lainnya juga ikut berhenti.

    “Bagaimana kamu bisa tahu?!”, tanyanya kaget.

    “Ya, ya, jelas aku tahu.”, aku berusaha kembali berdiri. “Ayahmu, Seti, adalah Pharaoh yang berkuasa. Ibumu adalah ratu Tuya. Kalau melihat dari umurmu…seharusnya kamu sudah menikah dan punya anak laki-laki yang masih kecil. Bahkan di usia mudamu ini, kamu sudah punya dua istri. Benar begitu?”

    “T-Tunggu, tunggu. Apa kamu penyihir atau semacamnya? B-Bukankah kamu bukan orang Aegyptus?”, dia mulai terlihat ketakutan.

    “Aku hanya manusia biasa…”

    “A-Apalagi yang kamu tahu?”

    “Hmm…sebelumnya aku ingin tanya, tahun berapa sekarang?”

    “Tahun ke 10 pemerintahan Ayahku.”

    “Ooo…Ayahmu sudah menaklukkan Qadesh di daerah orang Hittite sana? Ah, tapi seharusnya sekarang kota itu sudah hilang dari kekuasaannya. Salahnya sendiri, tidak mempertahankan daerah yang kritis seperti itu.”

    “A-Astaga…apa kamu reinkarnasi dewa Thoth, dewa pengetahuan?!”

    “Hah? Bukankah sudah kubilang kalau aku hanya manusia biasa? Aku akan cerita lebih banyak kalau kamu melepaskan ikatanku, dan tidak menendang-nendangku lagi.”

    “B-Baiklah. Pengawal!! Lepaskan ikat---”



    Dari kejauhan terdengar bunyi derap kuda. Begitu kuperhatikan sekelilingku, ternyata memang ada gumpalan awan pasir yang besar, menuju ke arah sini dari sebelah kananku. Hmm…bukan chariot, tapi penunggang unta. Siapa mereka ya?

    “Sial, orang-orang Berber!!”, serunya. “Kalian berdua, siapkan senjata!!”, perintahnya pada kedua pengawal yang bersamanya.

    “Oi, kalian hanya bertiga…sementara kalau kulihat, mereka ada beberapa puluh. Kamu sanggup?”

    “Cih, jangan meremehkan pemegang tahta Aegyptus yang selanjutnya sepertiku!!”

    “Hei…coba pakai otakmu sedikit. Kamu punya tiga tahanan, sementara mereka bisa bergerak jauh lebih bebas. Sudah pasti kamu kalah kalau begini.”, kataku dengan santai sambil menendang-nendang pasir.

    “J-Jadi apa yang harus kulakukan?! Cepatlah, mereka makin dekat!!”

    Kuangkat sedikit kedua tanganku, sebagai tanda supaya dia memotong tali yang mengikat tanganku ini.

    “B-Baiklah. Tapi jangan macam-macam!!”, setelah itu dia memotong tali yang mengikat tanganku dengan ujung tombaknya.

    “Jangan lupa, mereka juga.”, ujarku sambil menunjuk ke arah Resha dan Freya, lalu mereka juga dilepaskan.

    “Permintaanmu sudah kupenuhi, sekarang apa?”

    “Sebentar ya…”

    Kulangkahkan kakiku ke arah tasku yang berada di chariot yang dikemudikan Ramesses, lalu mengambil…tentu saja, sarung tanganku.

    “Wahhh…!! Papa mau beraksi!!”, seru Freya kegirangan.

    “S-Sarung tangan aneh apa itu?”, tanya Ramesses.

    “Mundur dan lihatlah.”

    Para penunggang unta itu sekarang berada dalam jarak kurang dari 25 meter di depanku. Hmm…pakai ini saja ah…

    “Plasma Directing. Aeroblast Phase!!”

    Kuarahkan bola udara berdiameter sekitar 4 meter itu ke arah para penunggang unta, yang sepertinya orang-orang Berber seperti yang dikatakan Ramesses. WHOOOSHHH!!~ Tidak ada satupun orang yang tidak terpental dari untanya. Mereka berusaha bangun, dan seketika itu juga kuaktifkan Photonic Velocity lalu bergerak ke tengah-tengah mereka.

    Photon Blaster. Optical Spectrum shift, charge up.”, terbentuk bola cahaya di tangan kananku, yang kuangkat tinggi-tinggi.

    “Boo.”, kataku dengan sekali hembusan nafas.

    Melihat hal itu, mereka amat sangat ketakutan. Memang semuanya kembali menunggangi unta masing-masing, namun kali ini kabur ke arah mereka datang tadi.

    Begitu aku kembali melangkah ke posisi Resha dan yang lainnya berada, Ramesses dan kedua pengawalnya itu langsung berlutut dan menunjukkan ekspresi wajah seakan mereka sudah melihat dewa atau semacamnya.

    “P-Pengetahuan, badai, d-dan cahaya…demi Osiris, apakah aku telah melihat Thoth, Seth, dan Ra sekaligus?!”, ujar Ramesses.

    “Heh, untuk ketiga kalinya kukatakan, aku ini manusia biasa!!”

    “Lalu bagaimana bisa dirimu memiliki kekuatan yang luar biasa seperti itu? Siapa kamu sebenarnya?!”

    “Err…kami berasal dari kurang lebih 3300 tahun setelah tahun ini.”, jawabku sedikit ragu, karena mencoba menghitung mulai dari masa pemerintahan Seti I hingga masa saat aku lahir.

    “Kalian bertiga dari masa depan?!”

    “Oi, sudah, sudah. Tidak perlu panik terus seperti itu. Cukup perlakukan kami seperti manusia pada umumnya, dan kami janji tidak akan macam-macam.”

    “B-Baiklah. Sekarang naiklah, kita ke Niwt-Amun. Kalian dapat tinggal di sana.”

    “Niwt-Amun? Di mana itu?”, tanya Resha.

    “Di zaman Helenos berkuasa disebut Thebes, di masa kita disebut Luxor.”, jawabku.



    Beberapa jam kemudian, kami sampai di Niwt-Amun, sebuah kota yang berdiri di tepi sungai Nil dan merupakan ibukota Aegyptus selama periode Dinasti ke-11, 18, hingga 19. Suatu hari nanti…ibukota akan dipindah oleh Ramesses lebih ke utara, dekat delta sungai. Tapi aku tidak mau menceritakan hal itu padanya sekarang. Aku takut aliran waktu di masa depan akan berubah jika aku bicara terlalu banyak.

    Untuk zaman seperti ini, Niwt-Amun adalah kota yang menakjubkan. Beberapa obelisk terlihat menjulang di beberapa titik di kota ini, begitu juga dengan patung-patung dan ukiran-ukiran hieroglif di tembok kota. Kompleks kuil yang besar seperti Karnak, atau Ipet-Isut dalam bahasa setempat, juga terlihat berdiri dengan megahnya. Di zamanku…sebagian besar sudah menjadi reruntuhan. Wah, ternyata ada untungnya juga terdampar di masa lalu seperti ini. Setidaknya aku dapat melihat semuanya ini saat masih dalam kondisi baik.

    “Thutmose III Yang Ilahi, putra Ra Yang Bersinar di Langit, yang memperluas kerajaan hingga jauh ke selatan Sungai Besar dan musuh-musuh di pantai Laut Besar---“, aku mencoba membaca sesuatu yang terukir di obelisk sebelah kiriku saat melintasinya.

    “Eh? Kamu bisa baca hieroglif? Kukira kamu orang asing…”, sahut Ramesses.

    He? Tunggu, tunggu. Sejak tadi aku tidak menyadari hal ini. Aku selalu mendengar Ramesses bicara dalam bahasa Anglia biasa. Anehnya lagi, seluruh hieroglif ini bisa kubaca dengan mudah, layaknya aku membaca tulisan yang ada di zamanku. Perpindahan dimensional seperti ini…apakah mempengaruhi kemampuan berbahasa juga? Hmm, menarik juga. Ah tapi sayang sekali, kalaupun aku kembali ke masa depan…pasti tidak akan ada yang percaya.

    Yang pertama dilakukan Ramesses terhadap kami adalah membawa kami menghadap Pharaoh Seti. Kedua pengawal yang menyertainya tadi tetap berada di luar.

    Sebuah istana megah di tengah Niwt-Amun, ke bangunan besar itulah Ramesses membawa kami, ke tempat tahta Pharaoh. Aula tempat tahta Pharaoh Seti berada sangatlah luas, sehingga gema dari langkah kakiku dapat terdengar. Tiang-tiang berukuran besar ditambah lukisan-lukisan di tembok, membuat aura keagungan bangunan ini makin terasa. Salah satu lukisan kukenali sebagai mitos mengenai matinya Osiris dan akhirnya menjadi dewa penguasa alam bawah, alam maut. Fungsinya sama seperti Hades dalam mitologi Helenos kuno.

    Dan ini dia…tahta Pharaoh, sepertinya disalut emas murni. Di kiri nya terdapat sebuah patung Horus, yaitu dewa dengan badan manusia dan kepala burung falcon setinggi kira-kira 6 meter; seorang dewa langit, dewa perang, dan pelindung para raja. Di kanannya terdapat patung Seth, dewa berbadan manusia berkepala mirip aardvark, dengan tinggi yang kira-kira sama; seorang dewa badai, dewa padang gurun, dan dewa kekacauan. Nama Seti sendiri dapat diartikan sebagai “dari Seth”, jadi tidak heran jika aku menemui patung Seth di sini.

    “Ayah.”, ujar Ramesses sambil berlutut di depan Pharaoh Seti, seorang pria 40-an tahun, yang duduk di tahtanya. Daripada kepalaku dipancung, lebih baik aku ikut berlutut. Resha dan Freya yang melihatku juga mengikuti.

    “Dari mana saja engaku, anakku? Sejak pagi Ayah tidak melihatmu.”

    “Dari timur, Ayahanda. Dan benar saja, orang-orang Berber itu masuk dan mengacau perbatasan.”

    “Ah…dan ketiga orang ini…siapa? Bisa kau perkenalkan mereka? Dari penampilannya, sepertinya mereka bukan orang Berber yang kau ceritakan tadi.”

    “Bukan, Ayah. Lebih baik mereka sendiri yang memperkenalkan diri.”

    “Umm…nama saya Daleth Reshunuel. Perempuan yang berambut pendek ini Resha Gimmelia, dan yang masih kecil itu Freya Amoreux.”

    “Hmm…hmm…”, Pharaoh Seti mengangguk-angguk tiga kali sambil menaruh tangan kanannya di dagu. “Daleth Reshunuel dan Resha Gimmelia. Nama kalian terdengar mirip dengan nama orang-orang di tanah sebelah barat laut sana, di pantai Laut Besar. Dan…Freya Amoreux? Nama yang belum pernah kudengar. Dari manakah asalnya?”

    “Kami berasal dari Timur, Yang Mulia. Jauh dari seberang lautan besar di Timur. Khusus untuk anak yang bernama Freya itu, sebenarnya dia adalah pemegang kekuasaan di Tanah Utara, di seberang Laut Besar. Nenek moyangnya berasal dari empat kerajaan yang berbeda di utara. Saya dan Resha di sini bertugas menemaninya.”

    Resha, Freya, dan Ramesses langsung menengok ke arahku dengan ekspresi terkejut.

    “Oh…! Jadi kalian tamu dari kerajaan yang jauh? Pantas saja…rambut emas seperti yang kalian miliki itu memang kudengar dimiliki oleh orang-orang jauh di utara. Baiklah, kalau begitu biar Ramesses yang meminta para dayang terbaik istana untuk melayani kalian. Istana ini sangatlah luas, kalian dapat memilih kamar manapun yang kalian suka.”

    Pharaoh Seti beranjak pergi setelah mengatakan hal itu. Dan…ini dia…

    “Daleth, kalau bohong jangan keterlaluan seperti itu!!”, seru Resha.

    “Jadi selain berasal dari masa depan, kalian juga orang kerajaan? Kenapa tidak bilang?!”, kali ini giliran Ramesses yang protes.

    “Ih Papa bisa saja…memang sih aku sempat jadi Ratu sehari, tapi kalau seperti tadi…berlebihan deh…”, Freya mengomentari.

    “Stop!! Kalian bertiga tenanglah!! Aku tidak bohong sama sekali. Akan kubuktikan begitu kita bisa kembali ke masa depan.”

    Kujelaskan penemuanku mengenai asal-usul Freya pada mereka semua. Resha sepertinya memahami penjelasanku, sementara Ramesses terlihat tidak begitu mengerti. Jelas saja, mana pernah dia melihat orang Franks, Frisia, Lombarda, ataupun Romanum, yang akan berkuasa 1300 hingga 2300 tahun setelah dia meninggal? Sementara Freya sih…biarkan saja, nanti juga dia paham…hehehe.

    “J-Jadi…Freya…”, Resha terlihat terkejut.

    “Ya, betul. Kemungkinan besar Freya memang mewarisi darah royalis Franks, Frisia, Lombarda, dan Regnum Romanum. Jadi, tidak salah kan kalau kugunakan alasan seperti tadi?”, kataku dengan bangga.

    “Jadi intinya kalian ini benar-benar orang kerajaan?”, tanya Ramesses.

    “Bukan, hanya yang paling kecil ini saja. Kecil-kecil begini dia jauh lebih hebat darimu lho, bahkan dia sudah mencegah terpecahnya suatu bangsa tanpa harus berperang.”

    “Ah, kerajaan ini telah kedatangan dua orang hebat. Yang satu memiliki kekuatan dewa, yang satu memiliki darah keluarga empat kerajaan. Sebentar, kalau kamu….”, Ramesses bertanya pada Resha.

    “Kalau tidak ada aku, kita tidak akan pernah bisa sampai di sini.”

    “Tunggu. Kalian bilang kalau kalian berasal dari masa depan. Dengan kata lain…”

    “Ruang dan waktu, tidak ada artinya bagi dia.”, sahutku.

    “Ah, manusia ilahi lainnya. Reinkarnasi dewa Nu, Kegelapan Pertama, Yang Ada Sebelum Dunia.”

    “Huh…dasar orang kuno. Resha itu juga manusia biasa sepertiku, kemampuannya itu sudah dapat dimengerti dengan pengetahuan di zamanku.”

    “Oh Thoth Yang Agung, besarlah namamu yang memberikan pengetahuan pada umat manusia…”, ujarnya sambil menengadah ke atas.

    “Ah sudahlah, terserah kamu saja. Jadi sekarang…kamar mana yang bisa kami tempati?”, tanyaku.

    Untuk ukuran zaman kuno, kamar yang kami tempati tergolong megah, mungkin sekitar 10x15 meter. Cukup untuk Freya berguling-guling dari satu sisi tembok ke sisi lainnya…hehehe.



    Malam hari, malam pertama kami di Aegyptus kuno. Freya sudah tertidur, sementara seperti biasa, aku berdiri termenung sendirian di balkon kamar, yang menghadap ke arah sungai Nil. Langit terlihat penuh sekali dengan bintang, sebuah pemandangan yang mustahil kulihat di zamanku karena polusi yang menutupi atmosfer. Cara untuk melihat taburan bintang di langit seperti ini adalah dengan pergi ke gunung yang berudara bersih, atau mungkin, pergi ke luar angkasa.

    “Bengong lagi, bengong lagi. Sudah berapa kali kamu seperti ini?”, tanya Resha sambil menepuk punggungku.

    “Ah…maaf, maaf. Aku hanya terlalu gembira. Sejarah, yang selama ini hanya dapat kubaca dan kulihat peninggalannya, sekarang dapat kualami sendiri. Ini benar-benar kereeeennn…!!”, seruku sambil mengepalkan kedua tangan, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.

    “Huh…kamu seperti Freya saja. Tapi ini lebih baik sih…daripada harus berlari terus menerus, dikejar-kejar hingga keliling dunia.”

    “Hahaha…kamu benar. Ini baru liburan, benar-benar tenang tanpa harus takut dikejar orang-orang Liberion. Mereka belum menemukan mesin waktu, jadi tidak mungkin mereka ada di sini. Dan…sepertinya aku harus berterima kasih padamu.”

    “I-Itu tidak perlu…”, wajahnya berubah merah. “Bagaimanapun juga ini adalah ketidaksengajaan.”

    “Tapi tetap saja…ini menyenangkaaannn…!!”

    “Tidak ingin pulang?”

    Kutarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

    “Kita harus tetap pulang, Resha.”, kujawab sambil melemparkan senyuman.

    “Eh? Kukira kamu senang setengah mati terdampar di sini…”

    “Coba pikirkan. Jika kita terlalu lama di sini, sejarah dapat berubah. Bisa jadi aku akan membantu Ramesses menguasai daerah-daerah di Benua Hitam ataupun Mesopotamia, bahkan menghancurkan Helenos yang akan menginvasi Aegyptus dan seluruh Mesopotamia kira-kira 1000 tahun lagi, yang menandai mulainya ekspansi orang-orang Benua Biru ke seluruh dunia. Apalagi dengan sarung tanganku itu…aku dapat menghancurkan satu kerajaan di zaman kuno seperti ini dengan mudah. Jika aku tidak hati-hati, bisa jadi…aku, kamu, Freya, dan semua orang yang sudah kita temui dan kita tolong…tidak akan pernah lahir.”

    “Huh…kamu bicara seperti filsuf saja. Tapi benar juga ya, dengan adanya kita di sini saja…pasti akan ada yang berubah di masa depan, walau sedikit.”

    “Nah, itu dia. Sebenarnya aku khawatir dengan hal itu.”

    “Err…tapi bagaimana caranya kita pulang?”, tanyanya sambil menggaruk-garuk pipi kanannya dengan telunjuk.

    “Kuncinya ya kamu sendiri. Yang membawa kita ke zaman ini adalah kamu, dan kamulah yang bisa membawa kita pulang. Akan kupikirkan caranya nanti. Tenanglah, yang jelas kita pasti…bukan, bukan ‘pasti’. Kita harus pulang.”

    Kembali kupandangi sungai Nil yang memantulkan taburan cahaya bintang di atasnya. Aku sempat berpikir untuk menggunakan Dark Matter untuk pulang, namun…



    Empat hari berlalu. Hari-hari di Niwt-Amun kuisi dengan berkeliling kota, melihat-lihat peninggalan sejarah ---di zamanku sudah disebut “peninggalan”--- yang ada. Kompleks kuil Ipet-Isut sudah selesai kujelajahi, bahkan hampir seluruh obelisk, patung, dan ukiran sudah kuketahui posisinya. Wahhh…senang sekali bisa menyentuh benda-benda bersejarah ini tanpa harus takut merusaknya, karena di zamanku sudah sangat rapuh termakan usia. Seandainya kota-kota modern seindah ini, mungkin aku tidak akan membeli rumah di pinggir kota Beth-Elyon.

    Freya, sebagai seseorang yang senang sekali mendengar ceritaku ataupun kepala penjara, juga dapat ikut menikmati pemandangan kota ini. Udara Aegyptus yang panas dan kering tidak menjadi penghalang bagi dirinya untuk tetap ceria saat melihat benda-benda antik itu. Apa mungkin semua ini dianggapnya seperti bertemu langsung dengan tokoh-tokoh dari buku cerita…? Yah, namanya juga anak-anak.

    Tunggu. Aku merasa ada yang aneh dengan Ramesses. Gelagatnya mencurigakan. Sering sekali dia menatap Resha, sesekali tersenyum sendiri. Perilakunya terhadap Resha kelewat ramah, seperti mengajaknya makan langsung di meja makan kerajaan dan berjalan-jalan keliling istana, berdua saja. Sering juga dia sengaja mengadakan kontak fisik dengan Resha, seperti pura-pura menabrak saat berpapasan. Kalau kuingat-ingat…Ramesses ini, yaitu Ramesses II, punya banyak sekali istri dan memiliki hingga 100 orang anak dalam 90 tahun lebih masa hidupnya.

    Argh, Resha dalam bahaya…




    TO BE CONTINUED...


    ===========================================


    Spoiler untuk Trivia :

    • DMDNB/DMNB = 2,3-Dimethyl-2,3-Dinitrobutane, substansi kimia sebagai "taggant" (penanda bau gw translate nya) untuk peledak C-4
    • Orang:
      • Ramesses = Ramesses II, dikenal juga dengan Ramesses The Great, Pharaoh ketiga dari Dinasti ke-19.
        Salah satu Firaun/Pharaoh terbesar dalam sejarah Mesir Kuno, berkuasa selama hampir 67 tahun dan meninggal pada umur 90-an tahun (matinya gak pasti 90 berapa, tapi para ahli setuju klo di atas umur 90).
        Selain karena membangun bangunan-bangunan besar di seluruh Mesir, terkenal juga karena terlibat dalam perang pertama di sejarah yang tercatat secara detail (Battle of Kadesh), dan mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang Hittite, dengan piagam perdamaian pertama dalam sejarah (dari batu sih ).
        Dan...100 anak itu beneran >__>
        GILE KUAT BOOOKKK
      • Seti = Seti I, bapaknya Ramesses II, Pharaoh kedua dari Dinasti ke-19. Arti namanya ya itu, "of Seth/dari Seth". ("of" itu apa sih Indonesianya... >__>)
        Ekspedisinya ke kota Kadesh (Qadesh) adalah real, coba dibaca artikelnya Seti I itu.
    • Latar waktu dari cerita adalah setahun sebelum Firaun Seti I meninggal, dan digantikan Ramesses II. Di sini gw anggep Seti I berkuasa 11 tahun.
    • Di masa ini, Mesir memang punya musuh orang-orang Nubia (Sudan) di selatan, Berber (Libya) di barat, dan Hittite (Turki-Libanon-Syria) di utara.
    • Dewa-dewanya:
      • Ra = god of the sun
      • Thoth = god of knowledge
      • Seth = god of storm, desert, and chaos
      • Horus = god of the kings, sky, and war (Falcon nya Horus keren coy ijo biru putih gitu >__>)
      • Osiris = god of the underworld
      • Nu = primordial abyss, kegelapan yang pertama ada.
    • Obelisknya Thutmose III itu ngarang Tapi isinya bener, Thutmose III memang Pharaoh yang bikin wilayah Mesir jadi gede, terbesar sepanjang sejarah Mesir.
    • Ganti nama:
      • Laut Besar = Laut Mediteranea
      • Tanah Utara = Eropa
      • Sungai Besar = Sungai Nil

      Kenapa diganti? Karena orang jaman dulu kalo ga tau nama daerahnya, pasti nyebutnya diganti dgn arahnya...kecuali sungai Nil, sebenernya orang Mesir cuman nyebutnya sebagai "Great River" (karena gak kenal sungai lain yg segede Nil kali ye? )
    • Tempat:
      • Niwt-Amun/Thebes/Luxor itu kota real. Luxor sendiri bahkan disebut sebagai "world's greatest open air museum", karena bangunan-bangunan segede gaban dan antik itu ngebaur sama kota modern.
      • Kompleks kuil Karnak (Ipet-isut) benar-benar berada dalam lingkup kota Thebes kuno

    Last edited by LunarCrusade; 13-12-12 at 05:50.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  11. The Following 2 Users Say Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  12. #82
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 23 :

    ================================================
    Chapter 23: Sands of Time ~ Ancient Kingdom of Nile (Part 2)
    ================================================




    Sore hari, hari kelima sejak kami terdampar di Aegyptus kuno. Freya kubiarkan berjalan-jalan keluar sebentar. Walau baru beberapa hari di sini, dia sudah terlihat akrab dengan para pegawai istana maupun para pengawal, dan juga orang-orang kota Niwt-Amun yang ada di sekitar istana. Menurut cerita Freya, mereka semua selalu berlaku baik padanya, bahkan sering mengajaknya mengobrol dan bermain. Baguslah…lagipula di zaman seperti ini aku tidak perlu begitu takut mengenai penculikan anak atau sejenisnya.

    Kebetulan, kulihat Ramesses sedang berjalan di dalam koridor istana, namun sesekali dia menengok ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin ada orang lain yang ada di sekitarnya. Hmm…lebih baik kuikuti dia diam-diam.

    Ternyata benar kecurigaanku. Tempat yang dituju Ramesses adalah bagian belakang istana yang berbatasan langsung dengan sungai Nil, area pemandian. Setahuku, Resha sedang berada di sana sekarang.

    “Melangkah sedikit lagi, lehermu akan kupatahkan.”, kataku dengan nada mengancam.

    “T-Tidak, tidak. I-Ini kesalahpahaman, a-a-aku tidak bermaksud---“, jawabnya sambil gelagapan.

    “Sekarang jawab aku. Apa kamu berniat mengambil Resha menjadi istrimu secara paksa?!”

    “B-Bukan begitu, a-aku bisa menjelaskannya…”

    “Aaaahh!! Sudah!! Tidak ada yang perlu ditutupi!! Jika sekali lagi kulihat kamu menyentuh Resha, akan kuhancurkan seluruh kerajaan ini. Hal itu perkara mudah buatku. Apa kamu mengerti?!”, kubalikkan badan, lalu berjalan ke arah dari mana aku datang.

    “T-Tunggu!! Kamu tidak mengerti…!!”, Ramesses berusaha mengejarku.

    Emosiku memuncak, aku benar-benar marah. Belum pernah sekalipun aku mengeluarkan kata-kata ancaman yang super-destruktif seperti tadi.

    “Apa lagi yang mau kamu katakan, HAH?!”, kumaki dirinya keras-keras.

    “Kamu dari masa depan kan? Tentu saja kamu tidak mengerti apapun…karena mungkin sudah berbeda jauh dengan yang kualami sekarang.”, ujarnya sambil memalingkan wajahnya dariku.

    “Ya, ya, aku memang tidak mengerti. Yang aku mengerti adalah kamu ingin menyetubuhinya selagi dia mandi. Cih, sangat tidak jantan.”

    “Maafkan aku, Daleth. Tapi ini semua demi kerajaan…jika aku tidak menunjukkan pada rakyat Aegyptus bahwa diriku adalah seorang yang kuat, mereka tidak akan sepenuh hati mengikutiku jika aku menjadi Pharaoh berikutnya nanti…”, katanya dengan nada lemas.

    “Ya, terserah. Selama bukan Resha, aku tidak peduli.”, sahutku ketus.

    “Apa dia itu istrimu?”

    Pertanyaan itu langsung menusuk saraf-saraf di otakku, membuat badanku sedikit gemetaran dan pipiku terasa panas. Otot-otot mulutku juga berubah kaku.

    “B-B-Bukan!! T-Tentu saja bukan!!”, kali ini giliran aku yang gelagapan.

    “Jadi kenapa kamu harus marah…? Ah, aku mengerti. Kamu sangat mencintainya…benar begitu?”
    Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kakiku langsung lemas, lalu terduduk di lantai istana karena kurasa kedua kakiku ini tidak mampu menahan beban tubuhku lagi.

    “Huh…pasti menyenangkan bisa bersama terus hanya dengan orang yang kamu cintai…”, pandangan Ramesses beralih ke arah langit, yang dapat terlihat dari koridor istana ini. “Apakah…di masa depan semua orang seperti itu, Daleth?”

    “Err…ng…yah…begitulah.”, jawabku sambil menggaruk-garuk pipi kiri dengan telunjuk. “Memiliki pasangan hidup lebih dari satu adalah hal yang tidak wajar di masaku. Memang masih ada beberapa adat yang mengatakan kalau hal itu sah, namun…kebanyakan pria di zamanku pastilah mempertimbangkan perasaan wanita juga. Di masaku, perempuan lebih bebas mengekspresikan perasaannya. Jika dia tidak menginginkan satu orang lelaki, maka hal itu tidak bisa dipaksakan.”

    “Aku…punya satu orang yang kucintai, dialah yang memberiku seorang anak laki-laki. Namun karena tradisi dan supaya rakyat akan sepenuh hati mengikutiku nanti, mau tidak mau…aku harus menikahi beberapa perempuan lagi. Itu semua…terpaksa kulakukan.”

    “Di zaman seperti ini memang wajar punya banyak istri, apalagi jika seorang raja atau semacamnya. Kalau aku sih tidak mau…repot nantinya.”

    “Ya, ada benarnya juga. Satu-satunya yang menyenangkan dari punya banyak istri adalah kamu tidak akan bosan di malam hari...hahaha…”, ujarnya, dengan ditutup sebuah tawa yang nadanya sedikit mesum.

    “Di zamanku sih tidak enak. Nanti istri yang satu ingin ke sini, istri yang lain ingin ke sana. Yang satu minta dibelikan ini, yang satu minta dibelikan yang lain lagi. Tenaga habis, uang juga habis…aku bisa gila kalau begitu.”

    “Ternyata setiap zaman punya kesulitannya masing-masing ya?”

    “Yap, benar. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin berlama-lama di sini, karena sedikit atau banyak dapat berpengaruh terhadap masa depan. Aku tidak mau terlalu kaget melihat perubahan yang terjadi kalau aku pulang. Hanya saja aku tidak tahu caranya…”




    Dari arah belakangku ada suara langkah kaki kecil, namun temponya cepat. Beberapa kali ada teriakan memanggilku… “Papa…!!”

    “Ya? Ada apa sayang?”, tanyaku dengan lembut.

    Ada yang aneh dengan Freya. Dia terlihat panik, seakan seperti melihat hantu atau semacamnya.

    “G-Gawat Pa!! J-Jauh di sana…aku lihat orang-orang berkuda!!”, jawabnya dengan tergesa-gesa.

    “Berkuda…? Dari arah mana?”, tanya Ramesses.

    “Dari atas tembok kota…aku lihat mereka datang menyusuri sungai…”

    “Aku tidak pernah ingat ada pasukan yang dikirim ke selatan sana. Hmm…jangan-jangan…!!”, ekspresi Ramesses berubah terkejut.

    Tak lama, seorang pasukan datang dan memberitahukan hal yang sama pada Ramesses. Ah iya, Freya pasti dapat melihatnya lebih dulu karena mata termografiknya itu. Dalam badai pasir sekalipun, suhu tubuh manusia yang unik pasti dapat dideteksinya. Dan…benar saja, menurut cerita orang itu, yang datang adalah orang-orang berkuda dan bersenjata. Beberapa berkulit agak putih, beberapa lagi hitam.

    “Orang-orang Berber itu pasti bekerjasama dengan orang-orang Nubia!! Sial, kenapa mereka bisa sampai dekat ibukota begini?! Baiklah, siapkan kudaku dan siagakan pasukan di gerbang selatan!”

    “T-Tunggu kak Ramesses…!! Yang datang sekitar dua ratus orang…”, sahut Freya.

    “Meski hanya dua orang sekalipun, selama mereka mengancam ibukota, tetaplah harus dibasmi. Daleth, ingin ikut?”

    “Err…sepertinya tidak. Aku tidak mau melihat pertumpahan darah atau semacamnya. Aku sudah berjanji tidak membunuh siapapun.”, jawabku setengah ragu.

    Ramesses pun keluar dari istana, ingin mengusir orang-orang berkuda itu. Beberapa lama aku masih terduduk di lantai istana dengan diamati oleh Freya yang bingung melihatku bengong seperti itu, sampai aku terpikir sesuatu. Hei, sepertinya ada yang aneh. Freya bilang hanya 200? Aku bisa mengerti bagaimana dia panik begitu melihat 200 pasukan berkuda, bisa jadi karena kejadian sewaktu aku baru terdampar di zaman ini. Tapi…ini mencurigakan. Hanya 200 orang yang datang menyerbu Niwt-Amun, ibukota kerajaan? Mereka sudah gila atau apa? Sejak aku berada di sini, ibukota selalu dijaga ketat di bagian tembok dan gerbang-gerbangnya. Ramesses sendiri berkata kalau ada hampir 15 ribu tentara di kota ini yang siap kapan saja.

    “Kamu tidak perlu takut, Freya. Papa yakin mereka pasti dapat dikalahkan.”, kataku berusaha menenangkan Freya.

    “Tapi Pa, pasukan yang menjaga di tempatku tadi tidak ada yang punya kuda. Bahkan aku tidak lihat pasukan berkuda lain sewaktu berlari ke sini. Kuda kan harus dilawan dengan kuda juga Pa…”, jawabnya.

    Eh? Tunggu. Aku mengerti!! Ini jebakan!! Gawat…Ramesses sudah pergi jauh pula. Ah sudahlah, coba kukejar, siapa tahu masih bisa.




    Di pelataran istana, terlihat Pharaoh Seti sedang memandang ke arah langit.

    “Ah, Daleth. Ada apa terburu-buru? Apa kau khawatir dengan serbuan itu? Tidak perlu takut, putraku adalah ksatria yang hebat. Meski masih muda, dia sudah dua kali berperang bersamaku, melawan orang-orang Berber, dan menduduki Qadesh.”

    “Maaf, Yang Mulia. Namun…saya merasa ini semua jebakan.”

    Benar saja, beberapa saat kemudian ada seseorang yang berlari dan berlutut di hadapan Pharaoh. Dia memberitahukan kalau…Ramesses diculik orang-orang Berber dan Nubia itu.

    “Apa?! Putraku…?!”

    Mendadak Pharaoh memegangi dadanya. Serangan jantungkah?! Hei, hei, Anda hanya boleh mati tahun depan, Pharaoh Yang Mulia.

    Kutahan tubuhnya yang ingin jatuh itu, dengan orang yang tadi juga ikut memapahnya. Aku berteriak-teriak ke arah dalam, memanggil siapapun untuk memberi pertolongan pada Pharaoh.
    Ternyata benar, ini semua hanyalah taktik busuk mereka. Bagian selatan kota terlalu jauh dari jangkauan barak pasukan chariot di utara kota, di sebelah kuil Karnak, hampir 2,5 kilometer dari istana ini. Artinya, di selatan hanya ada penjagaan infantri. Para pengendara kuda itu berfungsi hanya untuk memancing Ramesses keluar, sehingga mudah untuk dibawa kabur. Para infantri jelas tidak akan mampu mengejar pasukan berkuda itu. Menunggu chariot dari bagian utara kota pun sudah terlambat, mereka pastilah sudah jauh. Logika anak-anak seperti Freya, yang mengatakan kalau ‘kuda harus dilawan dengan kuda’, ada benarnya kali ini.

    Pharaoh Seti akhirnya kembali tenang setelah meminum obat yang diberikan tabib istana. Masih di pelataran istana, Pharaoh Seti, yang diliputi amarah, memerintahkan pimpinan pasukan istana untuk mengejar para penculik itu…dengan kekuatan penuh.

    “H-Hei, tunggu!! Jangan pergi dulu!!”, seruku pada kepala pasukan. “Sekali lagi maaf atas kelancangan saya, Yang Mulia. Tapi Anda tidak bisa membiarkan ibukota kosong tidak dijaga.”, ujarku pada Pharaoh.

    “Jadi, apa saranmu, Daleth?”

    “Saya yakin ini adalah taktik orang-orang itu untuk membuat ibukota kosong dan mudah diserang oleh kumpulan pasukan lainnya yang lebih besar. Saran saya, perintahkan pengintai untuk mengamati daerah sekitar ibukota, sementara siapkan para pasukan di luar tembok kota agar lebih mudah untuk bergerak. Dan…untuk berjaga-jaga seandainya jumlah mereka lebih banyak, saya akan membuatkan senjata khusus untuk seribu sampai dua ribu pasukan. Sisa senjata yang disimpan di barak dapat digunakan oleh rakyat yang ingin ikut mempertahankan kota. Dengan begitu, jumlah orang yang mempertahankan kota dapat ditambah.”

    “Senjata? Senjata apa yang akan kau buat itu?”

    “Ng…ada apa ini ribut-ribut?”, tanya Resha yang mendadak muncul, menggandeng Freya.

    “Situasi darurat, Resha. Bisa tolong ambilkan sarung tanganku?”

    Sarung tangankupun diambilkan. Dengan Material Creation, aku membuat senjata khusus bagi para pasukan elit kerajaan. Aku yakin, jika senjata ini digunakan oleh orang-orang yang lebih berpengalaman, pasti akan lebih efektif dibanding jika diriku sendiri yang menggunakannya.

    “M-Menakjubkan…a-aku seperti melihat dewa Atum menciptakan alam semesta ini…”, ujar Pharaoh dengan penuh kekaguman, sama seperti ekspresi tabib istana, para dayang, dan kepala pasukan yang sejak tadi berada di sekitar Pharaoh.

    “Ini.”, kuberikan senjata itu pada kepala pasukan. “Akan kubuatkan lebih banyak lagi, tapi…maaf kalau tidak bisa untuk semuanya. Berikan pada para pasukan terbaik saja.”

    “Lalu…bagaimana dengan putraku?”, tanya Pharaoh.

    “Untuk itu, serahkan pada saya.”

    “Kau mau menyelamatkannya sendiri--- ah, kau punya kekuatan dewa. Pastilah menyelamatkan anakku bukan hal yang sulit bagimu. Baiklah, kuberi izin untuk pergi, asalkan…”

    Pharaoh memerintahkan salah satu dayang untuk membawakan burung falcon peliharaan Ramesses. Dia memintaku untuk membawa burung itu sebagai penunjuk arah. Bagus, dengan begini aku bisa tahu lokasi Ramesses berada. Dan tentu saja, Resha yang menerima burung itu, karena dia yang paling mengerti bagaimana caranya menangani hewan.

    Selagi Resha mengakrabkan diri dengan falcon itu, yang bernama Horakhty, aku membuat senjata-senjata khusus itu hingga kira-kira 2000 buah. Di saat yang sama, pasukan elit kerajaan satu persatu berbaris di depan istana dan bersiap menerima senjata-senjata buatanku itu, dengan diawasi oleh Freya. Dia adalah anak yang rapi dan teliti, sehingga barisan pasukan yang dirasanya tidak sesuai dapat diberitahukannya pada kepala pasukan.

    Plasma Directing. Set up.”, kuaktifkan program itu begitu orang terakhir menerima senjata, lalu awan plasma tercipta di bawah kakiku.

    “Aku ikut…!!”, sahut Freya sambil mengangkat tangan kanannya.

    “Tidak boleh. Kamu harus tetap di dalam tembok kota.”

    “Yah Papa. Ayolah…aku janji nanti akan kubantu mencari kak Ramesses deh…Mama diajak, kenapa aku tidak?”, ujarnya sambil memelas.

    Argh, wajah menggemaskan itu…aku paling lemah dengan ekspresi Freya yang seperti itu.

    “Oke, oke. Kamu boleh ikut. Tapi jangan pernah terlalu jauh dari Papa, mengerti?”

    Dia menjawabnya dengan beberapa kali mengangguk.

    “Ya sudah, sekarang kalian naiklah.”, kataku pada Resha dan Freya. “Yang Mulia, kami mohon diri.”, ujarku sambil sedikit menunduk.

    “Baiklah. Semoga cahaya Ra menyertai kalian.”

    Falcon itu, Horakhty, terbang lebih dulu ke arah selatan. Untuk menemukan Ramesses, aku harus mengikuti ke mana burung itu pergi.




    Terbang keluar dari tembok kota, terus menyusuri sungai Nil selama beberapa jam hingga tengah hari. Kukira orang-orang itu membangun perkemahan di tepi sungai, ternyata tidak. Saat matahari sudah di atas, burung itu berbelok agak ke timur. Sekitar 50 kilometer sebelah timur sungai, ada sebuah oasis yang cukup besar, bertetangga dengan sebuah perkemahan yang luas di selatan. Menurut pengamatanku, mungkin dapat menampung sekitar 10 ribu orang. Kulihat Horakhty tidak terbang lebih jauh lagi, hanya berputar-putar di atas perkemahan tersebut. Berarti Ramesses ada di dalam salah satu kemah.

    Benar dugaanku, pasukan berkuda yang datang tadi adalah sekedar pancingan. Perkemahan ini berjam-jam jauhnya dari Niwt-Amun. Kalau kota diserang dalam kondisi tidak terlindungi, dan pasukan Pharaoh posisinya terlalu jauh seperti di sini…kota itu pasti tidak dapat diselamatkan.

    “Umm…kak Ramesses ada di kemah yang itu.”, ujar Freya sambil menunjuk kemah yang kira-kira berjarak 20 meter dari oasis, ketika kami terbang beberapa belas meter di udara. Oh, mata termografik nya sudah aktif.

    Kami mendarat di bagian terluar perkemahan, mengendap-endap hingga ke tempat Ramesses berada. Perkemahan ini…sepi. Sekarang aku 100 persen yakin, sisa pasukan Berber dan Nubia itu pasti berada di sekitar Niwt-Amun. Tapi aku harus tetap waspada, masih ada 200 orang di sini. Tidak mungkin mereka meninggalkan Ramesses tanpa penjagaan.

    “Papa, Mama, hati-hati…di dalam kemah masih ada lima orang lainnya.”, kata Freya saat kami berada sekitar tiga langkah dari pintu kemah berwarna coklat ini.

    “Baiklah…Material Creation.”

    Tebak apa yang kubuat? Yap, pedang intan, sama seperti yang kugunakan untuk berduel dengan Friedrich beberapa waktu lalu. Dan…pedang ini juga yang kuproduksi secara massal di kota. Pasukan elit kerajaan, dengan keahlian berperang yang sudah jelas lebih baik dariku, pasti dapat menggunakannya lebih efisien.

    Sambil menggenggam pedang intan itu di tangan kanan, kumasuki tenda itu secara tiba-tiba. Ukuran tenda ini sekitar 6x10 meter, dengan meja kayu di tengah-tengahnya. Empat orang yang diceritakan Freya tadi sedang duduk mengelilingi meja, dua orang Berber dan dua lagi Nubia. Orang yang satu lagi berada di dekat Ramesses, dengan kedua tangan terikat, seorang Nubia. Keempat orang itu langsung mengambil pedang berupa golok besar yang disandarkan di dekat kursi masing-masing, siap untuk menyerangku.

    Satu persatu orang-orang itu maju sambil mengayunkan senjata. Tentu saja, semuanya itu retak saat berbenturan dengan pedangku. Hanya dengan mengerahkan tenaga yang sedikit lebih besar saat mengayunkan pedang, senjata mereka semua dapat kupatahkan.

    Tapi…masalah belum selesai. Orang Nubia yang berada di sebelah Ramesses menaruh mata pedangnya di leher calon Pharaoh masa depan itu. Sial, sedikit saja aku bergerak, maka putuslah leher Ramesses. Akupun tidak berani mengaktifkan Photonic Velocity, karena pedang itu benar-benar menempel pada lehernya. Goncangan kecil saja bisa memutuskan urat leher. Mereka sekarang berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.

    “Apa kalian gila?! Sepuluh ribu pasukan unta dan kuda sekarang sudah berada di sekitar Niwt-Amun!! Kenapa kalian tidak membantu pasukan kerajaan?!”, seru Ramesses, lalu orang Nubia itu makin menekan ujung pedang ke lehernya.

    “Tenanglah, hal itu sudah kuprediksi. Aku sudah menyusun strategi yang sudah pasti dapat mengusir para penyerang itu. Sekarang…keselamatanmu lebih penting.”, ujarku tenang, walau…sebenarnya aku ketakutan setengah mati sekarang. Jika Ramesses mati di tempat ini, bisa-bisa masa depan…

    Salah satu orang, orang Nubia, menawarkan sebuah ‘permainan’. Dia berjanji akan melepaskan Ramesses, asalkan aku dapat menyelesaikan permainannya, dan…menyerahkan diri. Cih, seenaknya saja. Aku sudah tahu trik para penculik seperti ini. Menyekap sandera, meminta tebusan, dan tentu saja, tidak akan menyerahkan sanderanya meski tebusan sudah diberikan. Dalam hal ini, tebusannya adalah diriku sendiri. Akan kupikirkan cara membebaskan Ramesses nanti. Yang jelas sekarang aku harus berpura-pura setuju terhadap permintaan orang itu.

    “Oke, apa permainannya?”, tanyaku dengan ekspresi yang sengaja kubuat sangar, agar ketakutanku tidak terlihat.

    Di atas meja persegi panjang itu, ditaruh beberapa buah gelas kayu. Orang itu juga mengambil sesuatu, seperti sebuah kacang. Kacang itu ditutup oleh salah satu gelas, lalu gelas-gelas lainnya diposisikan terbalik, sama seperti dengan gelas yang menutup kacang itu. Kemudian, semuanya disusun secara horizontal. Permainan yang sering kulihat, hanya saja…kali ini…sepuluh gelas?!

    Dua orang lainnya berdiri di sebelah kiri dan kanan orang yang menaruh kacang itu, lalu ketiganya mengubah-ubah posisi gelas-gelas kayu tadi. Astaga, tangan mereka bertiga cepat sekali!! Aku tidak bisa mengikuti pergerakan tangan mereka sama sekali!! Argh, seandainya ada kamera, aku hanya perlu melihat replay nya dalam tempo yang diperlambat. Duh, bagaimana ini…?

    Keringatku mengucur deras. Orang itu berkata kalau aku salah menebak sekali saja, maka leher Ramesses akan hilang. Aku tidak boleh salah tebak…bagaimana ini?!

    “Oh, gelas yang itu.”, tiba-tiba Freya menyahut sambil menunjuk gelas ketiga dari kiri.

    Dan ternyata benar!! Ternyata kemampuan mata termografik Freya sangat bermanfaat kali ini. Mereka semua tidak percaya begitu saja, menganggap tebakan Freya hanyalah sebuah keberuntungan semata.

    Orang itu tidak menyerah. Sekali, dua kali, bahkan hingga tiga kali dia mengulang permainan itu. Hasilnya? Semua dapat ditebak Freya dengan mudah. Dan…keempat kalinya, orang itu berjanji dia akan melepaskan Ramesses begitu aku bisa menebak yang kali ini.

    Gelas-gelaspun diputar, dan…

    “Hei?! Kacangnya diambil sewaktu gelas-gelasnya berhenti ya? Kok tidak ada di dalam satupun gelas?”, ujar Freya.

    Orang-orang itu makin terkejut, sementara Ramesses…

    “Heyaaaaahhh!!”, Ramesses membanting orang Nubia yang berada di sebelahnya itu, lalu merampas pedang orang Nubia tersebut. Permainan tadi ternyata memberinya kesempatan untuk melepaskan diri.

    “Hei, tahanan kalian lepas tuh.”, kataku sambil kusodorkan mata pedangku ke arah mereka.

    Eh? Tunggu. Bukankah tadi ada lima orang? Kenapa tinggal empat?!

    “Daleth!!”, teriak Resha dengan panik, 3 meter di belakangku. Ternyata satu orang lagi tidak kuperhatikan dan menyandera Resha, menaruh ujung pedangnya di leher Resha. Sial!!

    Kemarahanku memuncak tiba-tiba.

    “Freya, berpeganganlah pada tangan kiri Papa.”, perintahku.

    “I-Iya Pa…duh, wajah Papa seram sekali…”

    Plasma Directing!! Aeroblast Phase!!!”, kuteriakkan keras-keras kalimat itu untuk mengaktifkannya. Sebenarnya tidak perlu sekeras itu, tapi…berhubung emosiku naik…

    Tangan kananku, dengan bola udara-plasma berdiameter lebih dari 5 meter, kuangkat tinggi-tinggi. Tenda pun terlepas dan meja tadi ikut melayang. Semua orang itu terlihat ketakutan melihatku yang penuh kemarahan, sambil berpegangan pada apapun yang bisa dipegang.

    “Lepaskan dia atau kuhempaskan dirimu ke sungai Nil!! APA KAMU DENGAR??!!”, teriakku dengan penuh amarah.

    Orang Berber yang menyandera Resha itu terlihat gemetaran setelah aku mengancamnya seperti tadi. Pedang yang digenggamnya pun jatuh, lalu dia berlutut dan tersungkur di tanah. Tidak hanya dirinya, keempat orang tadi juga melakukan hal yang sama. Eh…bukan hanya kelima orang itu. Saat kuperhatikan sekeliling, orang-orang yang tersisa di perkemahan juga berlutut. Plasma Directing dengan Aeroblast Phase pun kumatikan.

    “Huh…Papa, Papa. Aku belum pernah lihat Papa seperti tadi. Oh ya, coba dekatkan telinga Papa sebentar.”, sahut Freya begitu bola udara itu hilang.

    “Mmm…ada apa sayang?”, aku jongkok di sebelahnya untuk menyamakan tinggi badan, lalu kudekatkan telingaku.

    “Papa benar-benar sayang sama Mama yah? Walau tadi wajah Papa seram, tapi anehnya aku tidak takut sama sekali. Aku merasa itu karena Papa marah karena tidak terima melihat Mama dipegang orang lain begitu saja.”, bisiknya.

    “A-A-A-Apa…?! D-Dari mana kamu belajar kata-kata i-itu?!”, kataku sambil gelagapan.

    “Ih, sekarang wajah Papa malah merah begitu…berarti benar dong ya?”, Freya tidak lagi berbisik.

    “Hei Daleth, lain kali lihat-lihat dulu kalau ingin melakukan sesuatu. Aku hampir tersedot tadi.”, sahut Ramesses, berlangkah menghampiriku. “Eh? Kenapa wajahmu merah begitu…? Freya, dia kenapa?”

    “Rahasia dong kak…rahasia keluarga…hehehe…”, jawab Freya sambil tertawa kecil.

    “Huh…ada pasir yang menyangkut di rambutku nih…”, sahut Resha, yang juga berjalan mendekat. “Heh Daleth, bangun, kita harus kembali ke istana.”

    “Biarkan dulu Papa tenang sebentar, Ma. Sepertinya aku baru mengatakan hal yang membuat Papa superrrr kaget….hihihi…”

    Aku, yang masih tersipu mendengar bisikan Freya, tidak mampu berdiri. Dua orang, Ramesses dan Freya, sama-sama mengatakan hal yang serupa. Tapi apa benar begitu? Meski aku tahu banyak hal, tapi untuk masalah seperti ini…ah, sepertinya aku masih terlalu lemah dalam soal perasaan.




    Kutarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan untuk menenangkan diri, lalu aku mulai berdiri. Di saat yang bersamaan, kudengar suara falcon yang tadi menunjukkan jalan padaku, Horakhty. Dia terbang mendarat di tangan Ramesses.

    “Ah…jadi Horakhty yang menunjukkan jalan? Bagaimana bisa peliharaan kesayanganku ini jinak terhadap kalian?”, tanya Ramesses saat burung itu menutup kepakan sayapnya.

    “Hal itu perkara mudah buatku.”, jawab Resha.

    “Ya, dia memang bisa menjinakkan hewan dengan mudah, bahkan yang buas sekalipun…”, sahutku.

    “W-Wow. K-Kalian semua memang luar biasa.”, tutur katanya sedikit gemetar. “Bahkan mata anak ini…seperti mata dari Ra. Tidak ada hal yang tersembunyi dari dirinya…”, rasa kagum juga terpancar saat dia melihat ke arah Freya.

    “Oh iya, aku lupa…pusing juga kalau melihat panas seperti ini.”, Freya menutup kedua matanya dengan tangan, lalu kedua bola mata kecilnya itu kembali berubah menjadi biru kehijauan.

    “Dan sekarang, orang-orang ini mau diapakan?”, sahut Resha.

    “Kalian semua, dengar!! Kalian sudah mengancam keselamatan kota Niwt-Amun yang suci, persembahan untuk para dewa yang agung!! Hukuman akan menanti kalian di sana!!”, seru Ramesses dengan nada marah.

    Salah seorang dari mereka bangkit berdiri, lalu berusaha bernegoisasi dengan Ramesses. Mereka menyerah dan nyawa mereka milik Ramesses sekarang, begitu kata orang itu. Dia hanya memohon agar mereka semua tidak dihukum mati. Dijadikan budakpun tidak masalah, asalkan mereka tetap dibiarkan hidup.

    “Ramesses, kurasa kamu harus mengabulkan permintaan mereka kali ini.”

    “Daleth, apa kamu gila?! Mereka sudah mengancam keselamatan negara!!”

    “Berikan mereka tempat tinggal, upah selayaknya, dan roti untuk perut mereka. Kamupun mendapat dua ratus penunggang kuda baru yang profesional untuk membantu mempertahankan kerajaan. Tidak hanya itu, kamu juga mendapat dua ratus informan baru yang akan memberitahumu mengenai wilayah orang-orang Berber dan Nubia.”

    “Hmm…kata-katamu ada benarnya. Baiklah, kalian dapat tetap hidup. Aku akan mengajukan pertanyaan. Kalian semua, apa kalian bersumpah setia untuk Aegyptus dan Pharaoh Yang Ilahi?!”, serunya pada semua orang itu.

    Semua serempak menjawab “Ya!”. Tentu saja mereka akan setuju. Siapa pula orang-orang di zaman ini yang tidak takut melihatku tadi? Hehehe…

    “Dari nasihatmu…aku bisa menyimpulkan sesuatu. Sepertinya kamu sering memberi saran pada para pemimpin kerajaan. Benar begitu?”, tanya Ramesses padaku.

    “Ah, tidak juga. Itu kebetulan saja kalau aku dapat bertemu dengan para pemimpin di beberapa negara.”

    “Hahaha…kamu ini terlalu sering merendah, Daleth. Baiklah, kita harus kembali ke Niwt-Amun sebelum gelap.”

    Misipun berhasil. Dengan arahan Horakhty yang terbang di depan, kami berempat, beserta 200 orang Berber dan Nubia yang sudah bersumpah setia, kembali menuju Niwt-Amun.

    Matahari sudah rendah ketika kami sampai di tembok kota Niwt-Amun. Seluruh penduduk dan pasukan kerajaan menyambut dengan penuh sorak-sorai ketika kami tiba.

    Para pasukan yang menggunakan pedang intan buatanku memberikan testimoni bahwa senjataku sangat efektif, bahkan satu orang dapat mengalahkan 10 hingga 15 orang sekaligus tanpa harus takut akan rusaknya senjata. Selama aku tidak ada, ternyata sisa pasukan dari perkemahan tadi benar-benar menyerbu ibukota.

    Kuangkat tangan kananku, lalu membuat seluruh pedang intan yang kuciptakan tadi menjadi butiran-butiran cahaya yang terbang ke tanganku. Bola cahaya besar tercipta di atas tangan kananku, lalu menghilang. Semua orang yang melihatnya langsung bersujud. Duh…jangan menyembahku…aku tidak pantas disembah.

    Malam hari, suasana kota benar-benar penuh kegembiraan. Pesta perayaan kemenangan yang gegap gempita dirayakan oleh seluruh penduduk Niwt-Amun, tanpa kecuali. Freya, yang baru pertama kali melihat pesta sebesar ini, juga ikut larut dalam kegembiraan. Kalau aku sih…sudah tidak kaget lagi, karena dulu pernah ada pesta semacam ini di Constantinople. Dan untuk malam ini, ke-200 orang yang menculik Ramesses dimasukkan ke penjara. Esok paginya, Ramesses berjanji akan menempatkan mereka di barak-barak tentara, dan diajari segala hukum dan tata cara berperang orang Aegyptus.




    Hari berikutnya. Sebuah upacara khusus diadakan oleh Pharaoh Seti untuk kami bertiga, sebagai penghargaan atas jasa-jasa kami menyelamatkan Niwt-Amun dan putranya, Ramesses. Dia mengatakan bahwa apa yang telah kami lakukan tidak akan bisa dibalas oleh harta apapun di seluruh Aegyptus. Untuk itulah, dia akan memberikan sesuatu pada kami, benda kerajaan yang paling berharga.

    “Demi Ra Yang Ilahi, aku bersumpah, aku dan seluruh tanah ini akan terkutuk jika aku tidak memberikan harta kerajaan ini untuk kalian, wahai para utusan dewa. Terimalah, dan jadilah pelindung bagi rakyat kami.”, tutur Pharaoh Seti sambil menyerahkan sebuah kotak yang disalut emas, bertahtakan safir besar di tutupnya.

    Aku benar-benar kaget begitu melihat isi kotak itu. Dark Matter?!

    “Daleth, itu…”, katanya dengan wajah terkejut.

    “Ya Resha, aku bisa lihat…”, aku sama terkejutnya.

    “Ada apa, Daleth?”, tanya Pharaoh.

    “Maaf, Yang Mulia. Tapi…"

    Kuambil Dark Matter dari kantong kananku. Benda itu memang selalu kubawa kemanapun, karena aku tidak mau kristal hitam itu dicuri atau semacamnya.

    Dark Matter yang berada di kotak itu memiliki bentuk geometris yang sama persis. Sudut, lekukan, bahkan teksturnya sama dengan yang kubawa. Tapi bagaimana bisa? Bukankah yang kubawa ditemukan di bawah Tower of Babylon?!

    “Kau sudah punya benda yang sama? Bagaimana bisa…?”, Pharaoh terlihat bingung.

    Tunggu. Sepertinya aku tahu cara untuk pulang…

    “Resha, bisa tolong ambilkan seluruh barang kita?”

    “E-Eh? Kenapa?”

    “Aku sudah tahu caranya pulang.”

    “Kalian sudah ingin pulang? Tapi…kenapa?”, sahut Ramesses.

    “Kurasa kami sudah terlalu lama berada di sini. Jika aku membantu satu dua peperangan lagi…aku yakin akan ada perubahan yang besar di masa depan.”

    “Begitukah…? Ah, sayang sekali. Padahal, dengan kalian berada di sini, Aegyptus bisa…”

    “Tenanglah, Ramesses. Kamu akan menjadi pemimpin yang hebat, bahkan tanpa kami sekalipun.”

    Resha mengambilkan tiga ransel; milikku, Freya, dan miliknya sendiri.

    “Papa sudah tahu caranya pulang?”, tanya Freya sambil mengambil tasnya.

    “Sudah, sayang.”

    “Caranya?”, tanya Resha.

    “Kamu tahu apa yang disebut dengan waktu?”

    “Lho…kok kamu malah balik bertanya. Mana aku tahu?”

    “Baiklah, kupermudah pertanyaannya. Jika kamu memisalkan suatu aliran waktu, apa yang cocok menurutmu?”

    “Err…sungai?”

    “Salah. Yang benar adalah rantai, atau bisa juga untaian mutiara.”

    “Eh? Alasannya?”, Resha terlihat ingin tahu.

    “Mungkin ini masih hipotesis, dan sangat dipengaruhi filosofi pribadiku. Tapi…aku selalu membayangkan kalau waktu bukanlah seperti senar ataupun aliran sungai yang tak terputus. Waktu yang kontinu adalah susunan dari banyak kejadian-kejadian kecil, kecil, kecil…hingga sulit dipisahkan dan dikenali. Eternity consists of ephemerality, Resha.”

    “Ah, jadi itu kenapa kamu memisalkannya seperti rantai atau untaian mutiara?”

    “Yap, benar. Dan…tidak ada dua mutiara, atau dua mata rantai, yang dapat berada dalam satu titik yang sama.”

    “Oh, aku mengerti. Seandainya Dark Matter yang kamu dan Pharaoh miliki adalah sama, maka…yang seharusnya tidak berada di zaman ini akan kembali ke masa yang seharusnya.”

    “Stop, Daleth. Kata-katamu terlalu sulit dimengerti orang-orang di zamanku ini. Bisa kamu permudah?”, kata Ramesses.

    “Iya Pa, waktu itu juga Papa bicaranya susah sekali kumengerti…”, sahut Freya.

    “Baiklah, akan kusederhanakan. Jika kami berpegangan pada batu milikku dan menyentuhkannya pada batu kerajaan milikmu, maka kami akan pulang. Itu maksudku.”

    “Ah…jadi kalian akan kembali ke zaman kalian?”, tanya Pharaoh.

    “Benar, Yang Mulia. Dan yang perlu kami lakukan adalah…”

    Kami bertiga memegang kristal Dark Matter milikku secara bersamaan, dan mendekatkannya pada milik Pharaoh. Makin dekat, keduanya seperti terlihat…berdetak. Maksudku, aura hitam yang dipancarkan masing-masing seakan berdetak.




    “Tunggu!!”, seru Ramesses. “Jika kalian benar-benar dari masa depan, katakanlah sesuatu mengenai diriku. Dan…berikan juga nasihat terakhirmu padaku, Daleth.”

    “Oh, baiklah. Satu hal, jangan pernah berperang terlalu lama hingga menguras kekayaan negaramu sendiri. Jika keuangan negaramu sudah tidak kuat menyuplai perang, berhentilah, dan buatlah perjanjian damai dengan musuhmu yang terlalu sulit dikalahkan itu. Dan…selalu ingat tanggal 27, bulan ketiga musim Shemu. Ingat baik-baik tanggal itu.”

    “Oh iya, aku ada satu permintaan. Untuk batu hitam milik kerajaanmu ini…tolong, aku mohon dengan sangat, kembalikan ke Babylon.”, aku menambahkan.

    “Tapi kenapa? Bukankah itu adalah harta ker---“

    Belum selesai Ramesses bicara, Pharaoh memotongnya.

    “Daleth benar, putraku. Batu ini…sebenarnya memang berasal dari Babylon. Dibawa oleh nenek moyang kita, Thutmose III saat dia mulai gencar berperang. Pasukan Babylon yang merasakan ancaman, memerangi Pharaoh Agung kita itu, sambil membawa batu ini sebagai jimat keberuntungan. Mereka dapat dikalahkan, dan batu itu dibawa ke tanah ini.”

    “Jadi…batu hitam ini…”

    “Benar, Ramesses. Ini seharusnya berada di Babylon, di bawah menaranya yang terkenal itu. Jika kamu menyerahkannya dengan maksud baik, pastilah orang-orang di sana akan menerimanya dengan senang hati. Kumohon, batu itu dapat mengubah zamanku…”

    Pharaoh Seti mengangguk sekali kepada Ramesses, memberi isyarat untuk mengabulkan permintaanku mengenai Dark Matter itu.

    “Baiklah. Aku bersumpah demi Osiris, aku akan mengembalikan batu itu. Aku bersumpah, jiwaku tidak akan dapat bersatu dengan Osiris di alam sana jika aku tidak melakukannya.”, ujarnya dengan serius.

    Kami bertigapun menyetuhkan Dark Matter milikku ke yang dimiliki Pharaoh Seti, dan…

    ……




    ……

    “Di mana kita sekarang…?”, tanya Freya.

    “Kalau melihat sekitar, sepertinya ini kompleks kuil Karnak. Tapi…sudah jadi reruntuhan. Hei, mungkin sekarang…”, ujarku.

    Suara seseorang berteriak memanggil namaku dan Resha terdengar dari kejauhan, sebelah kananku. Suara yang sepertinya kukenali…suara perempuan.

    “Daleth…!! Resha…!!”, teriaknya.

    “H-Helena?!”, aku dan Resha berseru bersamaan karena kaget.

    “B-Bagaimana kalian bisa tiba-tiba muncul begitu saja?! Tadi tidak ada apapun di sini, dan…”

    “Kami baru saja dari Aegyptus kuno, kak.”, sahut Freya.

    “Eh? Eeeehhh?! Yang benar?! Ah, jangan berbohong…”

    “Freya benar, Helena. Jika bukan karena Resha melemparkan kami ke masa Aegyptus kuno, mungkin kami sudah mati dalam kecelakaan pesawat.”

    “Jadi kalian berada di kecelakaan pesawat kemarin?! Setahuku memang ada yang aneh dari daftar korban…memang tidak ada yang tewas, namun tiga dinyatakan hilang.”

    “Mereka semua selamat?! Syukurlah…berarti kepala penjara tidak apa-apa.”, aku bisa bernafas lega. Hmm, tapi…kemarin? Berarti masih ada sedikit time slip. Tapi tidak apa-apa, yang penting aku, Resha, dan Freya dapat kembali ke zaman yang benar.

    “Jadi Opa selamat ya Pa?”

    “Iya sayang. Nanti kita cari Opa.”

    “Daleth, anak ini…siapa?”

    “Perkenalkan kak, aku Freya Amoreux. Dan ini Papa dan Mamaku.”

    “H-Hei, Freya!! J-Jangan memperkenalkan kami seperti itu pada semua orang…!”, sahut Resha, sedikit memerah. Pipiku juga panas sih…

    “Ini…anak kalian? Heee…jadi kalian sudah…”, wajahnya menunjukkan ekspresi curiga.

    “Tapi bukan Papa Mama sungguhan kak. Mereka sama baiknya dengan orang tuaku, jadi kupanggil begitu.”

    “Oh…kukira…ya sudah, nanti akan kuantarkan ke rumah sakit tempat para korban dirawat.”

    Suara seseorang berteriak memanggil Helena. Ah, dari penampilannya yang mengenakan kaus yang simpel dengan rompi coklat, sepertinya Helena sedang melakukan penggalian di situs ini atau semacamnya. Kami bertigapun berjalan mengikutinya.

    Panggilan itu ternyata berasal dari salah seorang rekan kerjanya yang baru saja menemukan sebuah prasasti cukup besar, bertuliskan hieroglif. Beberapa menit berlalu, beberapa deret tulisan teratas sudah dapat terlihat.

    “Pada tahun ke sepuluh pemerintahan Ayahku---“, kata-kata Helena yang sedang membaca langsung dipotong.

    “Pada tahun ke sepuluh pemerintahan Ayahku, Pharaoh Seti Yang Agung, aku, Ramesses II Yang Agung dan Perkasa, yang masih belum menjadi Pharaoh atas Aegyptus, bertemu dengan tiga orang utusan dewa dari masa depan, yang terdampar di padang gurun. Ketiganya memiliki rambut emas berkilauan, seperti kemuliaan cahaya Ra yang terbit saat fajar. Yang pertama, bernama Daleth Reshunuel, seorang lelaki yang dikaruniai hikmat dan pengetahuan oleh Thoth, dewa pengetahuan yang mengetahui segala yang ada di alam semesta. Tidak hanya itu, dia dianugerahi kekuatan badai oleh dewa Seth dan cahaya suci oleh Ra Yang Ilahi. Yang kedua, bernama Resha Gimmelia, seorang perempuan bertubuh agak kecil, merupakan reinkarnasi dari dewa Nu, sang Kegelapan Yang Pertama Ada, yang tidak terikat ruang dan waktu. Dia juga berkuasa atas seluruh hewan di muka Bumi, bahkan peliharaanku Horakhty tunduk dengan mudah padanya. Dan yang terakhir, seorang anak perempuan yang memiliki darah empat kerajaan di Tanah Utara, dianugerahi penglihatan seperti mata Ra Yang Ilahi, bernama Frewa--- hei, kak Ramesses salah menulis namaku…!!”, kata-kata Freya berhenti, dan terlihat sedikit sebal ---namun menggemaskan--- melihat tulisan itu.

    “L-L-Luar biasa…!! Daleth, a-anak ini…”, Helena benar-benar terkejut dan kagum melihat Freya yang amat sangat lancar membaca hieroglif.

    “Tidak hanya dia, aku dan Resha juga bisa membacanya dengan mudah.”

    “Aaaahh…!! Aku iri...!! Aku juga ingin terdampar di masa lalu supaya bisa belajar hieroglif!!”, Helena terlihat agak sebal, sesekali memukul pasir.

    “Ahaha…kami juga tidak pernah diajari hieroglif selama di sana…”, sahut Resha.

    “Apa?! Kalian tidak pernah diajari dan bisa membacanya?! Kalian tahu? Dua tahun aku bekerja keras menghafal gambar-gambar aneh ini, dan harus bolak balik dari Constantinople ke perpustakaan antik di Alexandria itu untuk belajar hieroglif!! Oh Tuhan…kenapa hal ini harus terjadi…”, wajahnya berubah suram.

    Kami bertiga hanya bisa tertawa melihat ekspresi Helena yang sebal, tapi cukup lucu itu. Tidak kusangka, seorang pimpinan gereja seperti dia ternyata masih punya sifat sedikit kekanakan. Oh iya ya, dia kan lebih muda dariku…




    Seluruh korban luka-luka saat kecelakaan pesawat itu dirawat di rumah sakit di Memphis, beberapa ratus kilometer di utara Luxor yang dulu bernama Niwt-Amun itu. Ternyata benar, kepala penjara memang dirawat di sana. Bukan luka serius, tapi dia terlihat depresi, mungkin karena merasa Freya sudah meninggal. Air matapun menetes begitu Freya memeluknya. Baru kali ini aku melihat kepala penjara seperti itu. Ternyata dia bisa menangis juga…hehehe.

    3 hari setelah kami bertemu dengan kepala penjara, aku dan Resha memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sayangnya…Freya harus kutinggal. Aku tidak mau membahayakan nyawanya lebih lanjut.

    “Mau terus ke selatan?”, tanyaku pada Resha.

    “Oh, boleh juga. Maksudmu ke padang rumput Benua Hitam yang terkenal itu kan? Tapi…kenapa ke sana?”

    “B-Bukankah kamu senang dengan hewan? K-Kupikir kamu akan s-senang…”, jawabku, namun tidak menghadap ke arah Resha. Argh, aku masih terus terpikir kata-kata Ramesses dan juga Freya yang waktu itu…

    “Ih…wajah Papa merah lagi tuh.”, sahut Freya, yang mengantarkan kepergian kami.

    “F-Freya…! Sudahlah…”

    “Ahahaha…iya, iya. Tapi Papa lucu deh, baru kali ini aku lihat Papa seperti itu. Oh iya, jaga Mama baik-baik ya, aku tidak mau kehilangan Mama baruku.”

    “I-Iya…”, lagi-lagi aku menjawab dengan tidak menatap lawan bicaraku.

    “Bagaimana, sudah siap mobilnya?”, tanya Resha pada Helena.

    “Oh, sudah, sudah. Daleth, kamu bisa menyetir kan?”

    “Ya, tentu saja bisa. Maaf sudah merepotkan…”

    “Ahaha…tidak apa-apa. Anggap saja sebagai rasa terima kasih penduduk Constantinople atas perbuatan kalian yang waktu itu. Kami tidak sempat membalasnya…jadi yah…sekarang saja.”

    “Saya juga harus berterima kasih padamu, Daleth. Terima kasih sudah menjaga Freya dengan baik. Saya tidak tahu harus bagaimana kalau Freya tidak ada…”, sahut kepala penjara.

    “Tentu saja pak kepala. Saya juga sangat menyayangi Freya…tidak mungkin saya mengacuhkannya begitu saja. Ya sudah, kami pergi dulu. Kudoakan semoga Tuhan selalu menjaga kalian di rumah yang baru, di Constantinople.”

    Yap, Freya dan kepala penjara sekarang memiliki rumah baru di Constantinople, atas permintaanku. Sewaktu aku menceritakan kejadian di Italia pada Helena, dia setuju untuk melindungi mereka di dalam kota yang dipimpinnya itu.

    Sebuah Ford Ranger, pemberian penduduk Constantinople, kukemudikan menyusuri pinggir sungai Nil. Sungai besar yang menjadi awal mulanya salah satu peradaban kuno terbesar dalam sejarah umat manusia, Aegyptus.




    Kalau kuperhatikan, sepertinya tidak ada yang berubah dari situasi dunia modern ini. Tunggu. Kalau kupikir-pikir…sebenarnya aku, Resha, dan Freya lah yang membentuk masa modern seperti yang sekarang ini. Eh? Tapi bukankah kami bertiga baru lahir di era modern? Dengan kata lain, kami, yang adalah orang zaman ini, harus kembali ke masa lalu untuk membentuk zaman ini? Astaga, kenapa aku jadi pusing begini ya…?

    Waktu…mungkin selamanya tidak akan pernah dapat dimengerti 100 persen oleh manusia, benar begitu?



    =================================================

    Nggak banyak...

    Spoiler untuk Trivia :

    • Falconnya Ramesses, Horakhty = Egyptian language, artinya Horus of the Horizons
      "Horizons" dalam bentuk plural, karena merujuk pada horizon di timur (matahari terbit) dan barat (matahari terbenam)
      Juga merupakan gelar dari Ra, Ra-Horakhty (Ra, who is the Horus of the Horizons)
      Kayaknya cocok jadi nama falcon
    • Thutmose III benar-benar berperang hingga perbatasan Turki, namun tidak pernah memerangi orang Babylon di timur sewaktu pemerintahannya (jadi ada fiktifnya dikit pas ngebahas Dark Matter)
    • Tanggal 27, bulan ketiga, musim Shemu itu tanggal dilantiknya Ramesses II menjadi Pharaoh atas Mesir.
      Kalender Mesir kuno dibagi menjadi 365 hari, 12 bulan (30 hari/bulan), 3 musim (4 bulan/musim), dan 5 hari tambahan di akhir tahun.
      3 musim tersebut:
    • Perpustakaan kuno di Alexandria merujuk pada Library of Alexandria, yang di masa ini udah runtuh (tapi ada perpus modern nya -Bibiliotheca Alexandrina-, sebagai penghormatan atas perpus kuno yang udah ga ada itu)
    • Ford Ranger itu mobil real (di Indo juga ada...coba perhatiin jalanan )

    Last edited by LunarCrusade; 22-03-12 at 18:14.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  13. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  14. #83
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 24 :


    =========================================
    Chapter 24: Lion of the Delta ~ Two Feelings (Part 1)
    =========================================




    Perjalanan ke bagian selatan Benua Hitam tergolong santai. Butuh waktu hampir 2 minggu dari perbatasan Aegyptus hingga ke daerah selatan negara ini, Bantunia. Memakan waktu lama karena…sering kami berhenti di beberapa tempat sekedar untuk melihat hewan-hewan eksotis benua ini yang sedang berkumpul. Dan karena sekarang adalah bulan Desember, kadang kami juga menemui hewan-hewan yang sedang bermigrasi seperti zebra, gazelle, dan wildebeest. Mendekati awal tahun, musim hujan terus bergerak ke arah sebelah selatan ekuator sehingga hewan-hewan tersebut bermigrasi mengikuti hujan, sama seperti rute perjalanan kami.




    Negara ini cukup unik, karena sebagian besar penduduknya masih mengikuti cara hidup tradisional. Tetap ada kota-kota besar dan modern, namun letaknya saling berjauhan. Nah, orang-orang yang tidak tinggal di kota itulah yang masih mengikuti cara hidup orang masa lalu yang mengandalkan sumber pangan melalui berburu, perladangan berpindah, dan pertanian dengan lahan yang kecil.

    Apalagi keunikannya? Yap, sesuatu yang sangat berbeda, bahkan lebih unik daripada Teutonium, yaitu sistem pemerintahannya. Kepala negaranya memang hanya satu orang, namun dia dipilih oleh dewan suku yang beranggotakan kepala-kepala suku yang tersebar di seluruh Bantunia. Sebutan yang cocok untuk pemerintahan yang seperti ini adalah…tribal confederation.




    Dan…sekarang kami berada di wilayah suku Tswana, suku yang berada di daerah paling selatan negara ini. Lebih tepatnya lagi, di sebuah kota kecil bernama Maun yang terletak di sebelah utara daerah suku Tswana.

    Kota Maun tergolong kecil, dengan penduduk tidak mencapai 100 ribu orang. Kenapa kota ini? Karena kota ini adalah tujuan para turis dan peneliti dari seluruh dunia, yang ingin melihat kehidupan liar di Benua Hitam secara lebih dekat.

    Letaknya sekitar 3,5 jam perjalanan menggunakan mobil dari sebuah delta sungai, delta Ovokango, yang kaya akan hewan-hewan liar. Delta yang terletak di sebelah timur laut kota Maun ini adalah delta sungai terbesar di dunia yang tidak bermuara di laut ataupun danau. Air dari sungai Ovokango akan menggenangi dan menguap begitu saja di delta seluas 15 ribu kilometer persegi, membuatnya menjadi tujuan migrasi hewan-hewan dari utara.

    Sejak keluar dari perbatasan Kush ---wilayah orang Nubia di masa lalu---, perhatian Resha terus teralih keluar jendela mobil. Kawanan hewan, kecil maupun besar, tidak ada yang luput dari perhatiannya. Matanya terlihat berbinar-binar, dan dia juga terus mengoceh mengenai hewan-hewan yang dia lihat. Untung saja, hal-hal yang dia ceritakan cukup menarik bagiku. Kalau tidak…mungkin aku sudah bosan setengah mati selagi menyetir menempuh jarak ribuan kilometer seperti ini. Namun harus kuakui, pengetahuannya mengenai alam liar jauh melebihiku.




    Jam setengah 1…saatnya makan.

    Di sebuah kedai makan, aku mencoba makanan tradisional setempat. Yap, aku memang suka nekat mencoba makanan-makanan unik yang merupakan ciri khas suatu daerah. Keunikan jenis makanan yang ada di dunialah yang menjadi salah satu faktor mengapa aku tidak pernah mengeluh soal makanan.

    Aku memesan makanan yang bernama bogobe, sebuah makanan menyerupai bubur namun lebih padat. Dengan tambahan potongan daging sapi yang ditumis dan dipotong kotak-kotak, dipadukan dengan potongan-potongan tomat segar…hmm…boleh juga rasanya. Sedikit lebih berserat dibanding roti, mie, ataupun nasi. Itu karena bahan dasarnya bukan dari beras atau gandum, namun tanaman pangan pokok setempat dari famili Poaceae yang bernama sorghum, salah satu makanan pokok rakyat di seluruh wilayah Bantunia, Kekaisaran Songhai di timur, hingga Union of Zululand di sebelah selatan benua ini.

    “Rasanya cukup unik, hanya saja sedikit lebih sulit ditelan…”, komentar Resha setelah memasukkan dua sendok bogobe itu ke dalam mulutnya.

    “Hmm…mungkin akan lebih lembut jika ditambahkan susu. Tapi makanan seperti ini memang cocok untuk dimakan di tempat beriklim panas seperti di sini. Rendah lemak, namun tinggi akan energi.”. aku menambahkan.

    “Ah…benar juga. Setidaknya tekstur dagingnya cukup padat dan berisi, terasa sekali rasa dagingnya dan tidak terasa lemaknya. Mungkin ini karena cara beternak mereka yang masih tradisional, sehingga sapi-sapi itu masih sering bergerak dan berjalan jauh.”

    “Yap, dan yang jelas lebih sehat karena tidak menggunakan bahan kimia.”, kuminum seteguk air setelah mengatakan itu.




    Selagi gelas masih di tangan kananku, seorang perempuan masuk ke kedai. Berambut panjang, coklat, hei….!!

    “Resha? Daleth? Waaah…!! Sudah lama aku tidak melihat kalian!”, serunya dengan riang sambil menghampiri Resha, lalu memeluknya. Seseorang yang sudah cukup lama tidak kutemui, Mary Wellington.

    “Hei, hei, bagaimana kabar kalian? Bagaimana bisa sampai ke sini?”, tanyanya dengan semangat, sambil duduk di kursi kosong yang berada di meja yang aku dan Resha tempati.

    “Kami selalu berada dalam kondisi yang luar biasa, Mary. Jika tidak begitu, tidak mungkin kami mengelilingi dua pertiga keliling Bumi untuk bisa sampai ke sini.”, jawabku, lalu melemparkan senyum ke arahnya.

    “Yap, benar. Dapat menempuh perjalanan yang sangat jauh dan akhirnya sampai di sini…benar-benar luar biasa.”, sahut Resha.

    “Wow…! Jadi, sejak dari Little York, kalian melakukan perjalanan keliling dunia? Wah, menakjubkan sekali…!”

    Aku tidak tahu apa yang merasukinya, namun Mary terlihat benar-benar gembira dapat bertemu denganku dan Resha. Ah…pastilah dia masih merasa berterima kasih atas kejadian waktu itu.

    “Dan…sekarang giliranku bertanya. Ada urusan apa kamu bisa berada di tempat ini?”, tanya Resha.

    “Oh ya, aku belum cerita ya? Sebenarnya aku kuliah jurusan Zoologi. Aku bisa berada di sini untuk menyusun tugas akhir, yang akan kukumpulkan tahun depan.”

    “Mengenai hewan-hewan di delta Ovokango?”, Resha lanjut bertanya.

    “Betul sekali. Sebulan terakhir aku mengikuti kawanan singa yang mulai bermigrasi dari utara, mengikuti hewan-hewan buruannya. Ya…kalau sekarang sih…aku di sini untuk makan siang…hehehe.”

    “Kamu tinggal di kota ini?”, giliranku bertanya.

    “Tidak, tidak. Tempat ini terlalu jauh dari delta, akan sangat melelahkan jika harus bolak-balik. Aku membangun tempat tinggal sendiri di dekat delta sungai, di utara sana. Tentu saja, untuk dapat mengamati pergerakan mereka tanpa tertinggal satu kejadianpun.”

    Mendadak tatapan Resha berubah. Kembali, matanya berbinar-binar begitu mendengar ‘tempat tinggal sendiri di dekat delta sungai’. Tunggu. Jangan bilang kalau…

    “Boleh aku ke sana?”, tanya Resha dengan antusias.

    “Boleh, tentu saja boleh. Hmm…tapi ada baiknya kalau kita tanyakan pada pacarmu ini.”, ujar Mary sambil mengedipkan sebelah matanya.

    “H-Hah?! Pacar?!”, seruku dan Resha bersamaan, disambut dengan tawa dari Mary, meski tidak terlalu keras.

    “Ahahaha…duh, aku tidak tahan ingin tertawa. Kalian berdua memang cocok. Kompak sekali pula…”, kembali, dia tertawa kecil. “Ah, maaf, maaf. Jadi bagaimana? Daleth, mau ikut?”

    “Mmm…j-jika Resha setuju…boleh saja.”, jawabku, tanpa memandang ke arah Resha ataupun Mary.

    “Ng…k-kalau Daleth sudah bilang iya…”, sahut Resha, dengan agak terbata-bata.

    “Huh…kalian sepertinya harus belajar jujur pada diri masing-masing. Ya sudah, setelah aku selesai makan, kita ke delta.”

    Setiap beberapa hari sekali, Mary mengatakan kalau dia mengunjungi kota kecil ini untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Nah, kedai ini adalah salah satu langganannya selama sebulan terakhir, dimana dia selalu menghabiskan waktu makan siangnya jika sedang berada di kota ini.

    Sekitar setengah jam kami membicarakan banyak hal, khususnya mengenai perjalanan kami. Namun…aku tetap berusaha untuk tidak menceritakan mengenai kejaran pemerintah Liberion pada Mary. Dan menurut ceritanya, Albert sekarang menjadi kepala taman nasional Quinnogal. Yah, kurasa posisi itu cocok sekali untuknya.




    Mary mengendarai sebuah Land Rover…duh, aku punya kenangan buruk dengan tipe mobil itu. Kuikuti kemanapun mobil itu bergerak dengan Ford Ranger milikku…bukan. Bukan hanya milikku, namun milik Resha juga.

    Mendadak Land Rover itu berhenti beberapa belas meter di depan. Berhubung dia yang tahu menahu mengenai tempat ini, akupun menginjak rem, ikut berhenti.

    “Ada apa, Mary?”, tanyaku begitu keluar dari mobil.

    “Ingin melihat sesuatu yang menarik?”, dia balik bertanya, dengan sebuah binocular tergantung di lehernya.

    “Menarik…maksudnya?”, sekarang Resha yang bertanya.

    Di sebelah barat tak jauh dari tempat kami berhenti, ada sebuah gundukan batu, tingginya sekitar 2 meter. Mary melangkah ke situ, sambil mengatakan kalau akan ada kejutan jika kami berdiri di baliknya dan mengamati apa yang ada jauh di depan. Dari balik gundukan batu itu aku melihat…wow.



    Luar biasa. Berbagai suara alam liar terdengar oleh telingaku. Kumpulan hewan dalam jumlah besar mulai dari gajah, jerapah, zebra, wildebeest, dan gazelle juga terlihat dari sini. Semuanya terkonsentrasi di pinggiran delta, menunggu gilirannya masing-masing untuk meneguk air dari sungai. Terlintas di benakku, betapa luar biasa kuasa-Nya, yang mampu menciptakan semua ini. Beberapa saat aku menahan nafas ketika pemandangan menakjubkan ini terbentang di depan mataku, sekitar 50-80 meter di depan.

    Tunggu. Mana Resha?!



    “Mary, ke mana Resha pergi? Bukankah baru beberapa detik yang lalu dia mengikutmu?!”, tanyaku dengan panik.

    “Hei, kamu benar.”, sahutnya. “Sebentar…”, dia mengamati ke depan dengan binocular nya.

    Beberapa kali sedikit memutar leher sekitar 30 derajat ke kanan dan ke kiri, “Ah, itu dia!!”, serunya sambil mengarahkan telunjuk.

    Astaga. Bagaimana bisa dia sudah berada jauh di depan begitu?!

    “Oi!! Resha!!”, teriakku, memanggilnya keras-keras.

    Ah, percuma. Dia tidak mendengar. Atau pura-pura tidak mendengar? Aku tahu dia adalah penyayang binatang. Tapi…jumlah mereka sangat banyak!! Bagaimana kalau dia terinjak-injak atau semacamnya?!

    Belum sempat aku berlari ke sana…

    “Daleth, tunggu. Jika kamu ke sana sekarang, hewan-hewan itu mungkin akan lari.”, ujar Mary, masih mengamati dengan binocular.

    “Di sana terlalu berbahaya!! Apa kamu tidak khawatir dengan---“

    Mary memberikan binocular nya, lalu berkata, “Lebih baik kamu lihat sendiri.”

    Dengan binocular itu, aku menerawang ke posisi Resha berada. Sekarang dia menghampiri kawanan gazelle. Sekali lagi, dia berhasil membuatku terkejut dengan kemampuannya itu. Mereka…tidak lari, tidak panik. Bahkan Resha mendekati seekor anak gazelle, lalu menaruh hewan itu di pangkuannya. Belum cukup sampai di situ, seekor wildebeest menghampirinya, lalu mengelus-eluskan moncongnya ke pipi kanan Resha. Hebatnya lagi, sekarang ada dua ekor gajah melangkah ke arahnya, lalu duduk di dekatnya. Mereka memainkan ujung belalainya ke leher Resha, membuatnya merasa geli. Dia malah…tertawa. Astaga.

    “Bagaimana? Tidak perlu khawatir kan?”, tanya Mary sambil tersenyum.

    “Aku hanya tidak ingin dia terluka. Memang sih, dia sering menghadapi binatang. Tapi kalau sebanyak itu…ada kemungkinan dia terinjak-injak. Jadi…”, ujarku sambil mengembalikan binocular.

    “Heeee…”, matanya menatapku dengan tajam. “Benar hanya itu?”

    Entah kenapa, aku sedikit memalingkan wajah saat dia bertanya demikian. “B-Benar…”, jawabku perlahan.

    “Jadi, kapan kamu akan mengungkapkan perasaanmu padanya?”

    “H-Hah?! Bicara apa sih kamu?!”

    “Huh, pura-pura tidak tahu segala. Dari wajahmu terbaca jelas, sangaaaatttt jelas.”

    “Err…aku m-masih belum tahu…”

    “Mau sampai kapan?! Beberapa bulan tidak bertemu, kukira kalian sudah menjalin hubungan spesial atau semacamnya. Ternyata?!”, teriaknya. Kenapa dia yang emosi begitu…? “Ah sudahlah, lebih baik aku kembali mengamati hewan-hewan itu.”




    Eh? Ada apa dengan Mary? Wajahnya berubah terkejut, tak lama setelah kedua lensa binocular itu kembali berada di depan matanya.

    “Kenapa singa-singa itu bisa berada di sini?!”, seru Mary.

    “Singa?”

    “Iya!! Singa-singa yang kuamati itu seharusnya masih berada sekitar 35 kilometer di utara!! Dan sekarang…mereka sudah berada di sini!! Bagaimana bisa…”

    Kehadiran hewan predator terbesar di benua ini memecah suasana tenang yang ada. Banyak hewan yang terlihat panik. Para gajah, yang seharusnya tidak terancam oleh kelompok singa itu, ikut panik karena suasana yang berantakan. Ah, baguslah, setidaknya aku masih melihat Resha berhasil menyingkir dari kerumunan hewan.

    “Gawat…”, Mary menurunkan binocular nya. “Ada tiga singa betina dan satu singa jantan yang berjalan ke arah Resha!!”

    “Hah?! Singa-singa itu mengincar Resha?!”

    Argh. Aku harus menyelamatkannya!!

    Tanpa pikir panjang, aku berlari kembali ke mobil dan mengambil sarung tanganku. Kuaktifkan Photonic Velocity, lalu dalam sekejap aku sudah sampai di dekat Resha. Ingin kuaktifkan Atomic…bah, sepertinya tidak perlu.

    “O-Oi…Resha…a-apa kamu tahu mereka itu…”

    “Iya, iya, aku tahu kok…ahahaha…”, ujarnya sambil telentang di tanah, dengan seekor singa jantan berada di atas tubuhnya, menijlati wajahnya.

    Tebak apa yang kulihat? Resha malah bermain-main dengan keempatnya, sama seperti seseorang yang bermain dengan ****** peliharaan!! Astaga. Aku jadi ragu untuk mendekati Resha…

    “Duh, Leon…jangan begitu ah…ahahaha…”, dia tertawa kecil, saat singa jantan itu menjilati bagian lehernya.

    Hah? Leon?

    “Err…Resha, kamu tahu singa itu?”, aku menunjuk ke singa jantan yang sedang bermain dengannya.

    “Oh, kamu ingat ceritaku saat aku masih kecil? Aku sempat mengunjungi kebun binatang bersama kakekku, ada singa yang lepas, lalu aku berhasil menjinakkannya. Nah, inilah singa yang ada di ceritaku. Leon.”

    Aku langsung terduduk lemas di hamparan rumput. Pantas saja Resha tidak merasa takut sama sekali. Ternyata…huh. Ketiga singa betina yang lainpun tidak berani melukai Resha karena tahu kalau singa jantan itu, yang adalah pimpinan kelompok, juga tidak berbuat sesuatu yang membahayakan Resha.

    “D-Daleth…b-bagaimana bisa…”, suara Mary terdengar dari belakangku.

    “Sudah, tidak apa-apa. Justru ini bisa jadi kesempatan bagus untukmu untuk mengamati mereka. Bukankah tadi kamu sendiri berkata agar tidak khawatir?”, ujarku.

    “Yang tadi bermain-main dengan Resha bukan predator!! Dan sekarang…astaga.”, dia ikut terduduk lemas.

    “Leon…sudah ah, kembalilah ke kelompokmu…”

    “Tidak ah, tidak mau.”

    Eh? Suara siapa itu?

    “Daleth, jangan main-main…”, sahut Resha.

    “Itu bukan suaraku…”

    “Eh? Benar juga ya, suaramu tidak seperti itu. Lalu siapa…”

    “Aku…!!”

    Mataku langsung terbelalak mendengar…pengakuan singa itu. HAH?! Dia bisa bicara?!




    “B-B-Bagaimana bisa?!”, seru Mary.

    “Eh? Aku juga tidak tahu sih…sebenarnya aku memang mengerti bahasa manusia karena sempat berada di kebun binatang selama beberapa tahun. Tapi sejak berada di sini, aku merasa kalau aku bisa bicara, jadinya…begitu deh.”, ujar singa itu, Leon.

    Mary langsung pingsan, kepalanya tersandar di pundakku.

    “Oi, Mary!! Sadarlah…!!”

    “L-Leon…!! Kamu harus bertanggung jawab!!”, seru Resha.

    “Lho kenapa harus aku? Dia kan pingsan dengan sendirinya.”

    “Tentu saja dia pingsan!! Mana ada singa yang bisa bicara sepertimu di dunia ini?!”, bentakku.

    “Eh? Masa sih? Jadi aku satu-satunya singa yang bisa bahasa manusia? Wuah…ternyata aku memang hebat. Hahaha…!!”

    Tunggu. Ini aneh. Kenapa hanya Leon yang bicara? Kenapa tiga singa betina lain yang bersamanya tidak mengatakan apapun dalam bahasa manusia?

    “Ah, ya sudah deh, coba kujilati wajahnya…siapa tahu dia bangun.” Singa itu melangkah ke arah Mary, lalu menjilatinya selama beberapa saat. “Hei, bangunlah…”, ujarnya.

    “Mmm…? Ah…? Singa…bisa bicara…”, kedua mata Mary kembali terbuka.

    “Bangunlah…maaf sudah membuatmu kaget.”, sahut Leon.

    “H-Huh? Ternyata aku tidak bermimpi…?”, Mary kembali pingsan.

    “Ah, singa *****!! Seharusnya kamu diam saja!! Kalau begini tidak ada yang menunjukkan arah!!”, seruku.

    “E-Eh? Maaf…kamu orang baru ya?”

    “Ya, aku dan Resha baru saja sampai tadi siang ke kota di dekat delta ini. Kamu sendiri? Bukankah seharusnya kamu belum berada di delta ini?”

    “Oh, iya benar. Aku dan kawananku buru-buru ke sini karena di utara ada yang mengganggu kami…”

    “Mengganggu? Manusia?”, tanya Resha.

    “Iya, manusia. Penampilannya sih berbeda dengan kalian. Yang dikenakan oleh mereka semuanya serupa.”

    Serupa? Seragamkah? Jangan-jangan…

    “Apa yang mereka bawa?!”, aku tidak bisa menahan emosiku. Kemungkinan besar, mereka…

    “Oi, tenanglah. Memang sih, pada awalnya mereka membunuh hewan-hewan di sekitar mereka dengan sesuatu yang dapat menembak dengan cepat. Tapi setelah aku, kawananku, dan hewan-hewan lainnya pergi, mereka tidak berbuat itu lagi.”

    “Menembaki? Daleth, jangan-jangan…”, sahut Resha.

    “Militer, Resha. ‘Menembak dengan cepat’ yang dimaksud bisa jadi adalah semacam senapan otomatis. Leon, apalagi yang kamu lihat di pakaian yang mereka kenakan?”

    “Hmm, apa lagi ya…oh, aku lihat di pakaian mereka ada lambang berbentuk persegi panjang, kecil, warnanya merah, putih, biru. Ada empat lambang yang berbeda, namun warna-warnanya hanya itu.”

    Empat? Merah, putih, dan biru? Tunggu. Berarti yang datang…

    “Liberion, Anglion, Franks, dan Frisia…!!”

    “Pasukan dari keempat negara?! Mau apa mereka ke tempat ini?!”, seru Resha, terdengar kaget.
    Mary kembali terbangun, mungkin karena mendegar pembicaraan kami.

    “Ah…singa…bicara…”

    “Heh…!! Jangan pingsan lagi!! Siapa yang akan menunjukkan jalan kalau kamu pingsan lagi?!”, kucubit pipi kirinya sesaat untuk membuatnya sadar sepenuhnya.

    “A-Ah…iya…aku hanya shock…t-tapi…kamu tidak berbahaya kan?”, tanya Mary pada Leon.

    “Oh, tenang saja. Dulu aku sempat berada di kebun binatang, jadi aku sudah lumayan terbiasa dengan manusia.”

    “Oke, oke. Sekarang yang aku tahu, pastilah ada sesuatu di tempat ini. Tidak mungkin tentara dari empat negara berkumpul di sini kalau tidak ada sesuatu yang penting. Kalau begitu…Leon, bisakah kamu kembali ke sana? Amati saja mereka dari jauh, dan besok pagi kembalilah ke sini untuk memberitahukan perkembangannya.”, kataku.

    “Hei, bagaimana kalau aku mati?”

    “Tidak perlu terlalu dekat, yang penting kamu bisa tahu apa saja yang ada di sana. Tolonglah, ini penting. Keselamatan seluruh hewan di tempat ini bergantung padamu.”

    “Hohoho…begitukah? Baiklah, aku akan ke sana malam ini. Aku tidak mau kekurangan makanan karena perbuatan manusia-manusia itu. Sampai bertemu besok ya…!”, ucapan Leon itu diakhiri dengan sebuah suara mengaum yang keras, sehingga ketiga singa betina yang bersamanya, berjalan mengikuti.




    Lewat dari jam 7 malam ketika kami sampai di rumah kayu sederhana, dengan luas sekitar 50 meter persegi, yang dibangun hanya 2 kilometer dari pinggir timur delta Ovokango. Seharusnya kami sudah sampai sore tadi, namun karena singa itu…ah, sudahlah.

    “Oi, Mary…masih shock?”, tanyaku, ketika kami duduk di meja untuk makan malam. Tentu saja, setelah membersihkan diri. Wajah Mary...masih terlihat pucat.

    “M-Masih. Dan sebenarnya masih ada satu hal yang membuatku terkejut…”

    “Hmm? Apa itu?”, tanyaku lagi.

    “Sarung tangan apa yang kamu gunakan tadi?! Bagaimana bisa kamu sampai ke posisi Resha berada hanya dalam tempo kurang dari satu detik??!!”, suaranya makin naik.

    Aku dan Resha sempat berpandangan ketika mendengar pertanyaan dari Mary. Dia tidak mengatakan apapun, namun dari sebuah anggukan kepala, aku langsung mengerti kalau aku diijinkan untuk menceritakan semuanya, semua mengenai perjalanan kami berdua.

    “Ah…begitu rupanya. Jadi kesimpulannya, sekarang kalian dikejar Liberion?”

    “Begitulah. Tapi kurasa yang diceritakan Leon tadi tidak ada hubungannya denganku maupun Daleth.”, jawab Resha.

    “Betul. Segila-gilanya pemerintah Liberion, mereka tidak mungkin meminta tentara negara-negara sekutunya untuk mengejarku, sampai tiga negara pula. Pernah sekali ada usaha dari pihak Anglion, namun mereka hanya mengirimkan satu orang saja.”, aku menambahkan.

    “Hmm…jadi menurut kalian, yang diceritakan singa--- ah…aku jadi lemas kalau mengingat hal itu…”

    “Ahaha…sudahlah, Mary. Leon tidak berbahaya kok. Aku bisa jamin hal itu.”, sahut Resha disertai sebuah tawa kecil.

    “Ya…baiklah kalau itu katamu. Berarti, ada sesuatu di tempat ini yang menarik perhatian mereka?”

    “Nah, itu maksudku. Aku akan memeriksanya besok setelah mendapat informasi lebih banyak dari Leon.”

    “Sepertinya ini hal yang berbahaya…”, ujar Mary sambil menaruh tangan kanannya di dagu. “Aku tidak mau melihat keindahan alam di tempat ini rusak gara-gara ulah mereka. Besok akan kucoba menghubungi pemerintah setempat, siapa tahu dengan begitu pasukan aliansi tersebut dapat diusir. Ya sudah, sekarang lanjutkan makannya. Nanti keburu dingin.”

    Sepanci sup sisa tadi pagi ditambah beberapa potong roti untuk tiga orang. Yah, lumayan lah. Setidaknya aku bisa makan roti lagi setelah sekian lama hanya menelan umbi-umbian khas benua ini, dan yang terakhir, bubur bogobe.




    “Aduh…aku lupa. Kamarnya hanya ada dua…”, ujar Mary ketika aku sedang menyendok sup ke mulutku.

    Argh…aku punya firasat buruk tentang hal ini.

    “H-Hanya dua?”, tanya Resha, sedikit gelagapan.

    “Err…iya. Ditambah lagi kamar yang kutempati sangat berantakan…ada tumpukan-tumpukan kertas, foto-foto hewan dan kondisi alam sekitar sini, laptop, dan juga banyak buku. Maaf, tapi sepertinya kalian harus---“

    “Lebih baik aku tidur di luar atau di mobil saja…!”, kupotong kata-katanya.

    “Dan mati kedinginan? Daleth, meski Ovokango adalah padang rumput, iklim di tempat ini adalah iklim gurun, karena beberapa ratus kilometer di utara dan timurnya terdapat dua buah gurun. Siang hari bisa sangat panas, malam hari bisa sangat dingin. Dan sepertinya sangat tidak sopan membiarkan seorang tamu tidur di luar begitu saja.”

    “K-Kalau begitu, biar Daleth tidur di kamarmu, lalu aku dan ka---“

    Kata-kata Resha langsung dipotong oleh Mary.

    “Membiarkan seorang lelaki tidur di kamar wanita?! Aduh Resha…bisa-bisa aku dilempar Albert ke dalam mulut singa…”

    “J-Jadi, k-kami berdua…”, ucapanku makin kacau.

    “Oh sudahlah, tidak perlu malu-malu. Bukankah kalian mengelilingi dunia…berdua saja?”, ujar Mary dengan santai.

    “Meski b-begitu, kami t-tidak pernah berada dalam satu ra-ra-ra…aaaaahhhh…!!”, tutur kata Resha sama kacaunya denganku, diakhiri sebuah teriakan yang jelas sekali berasal dari rasa malunya yang tak tertahankan.

    Resha benar. Meski seringkali menempati kamar yang sama, tapi tidak pernah sekalipun kami tidur di satu ranjang. Di rumah besar milik Mr. Edmond misalnya, kamar kami terpisah. Begitu juga dengan di Bharata, Parthia, Teutonium, dan Italia. Di apartemen kecil di Seihou, aku selalu mengalah dengan tidur di futon dan terkadang di sofa, sementara Resha kubiarkan tidur di kasur. Di Constantinople, lagi-lagi aku mengalah dengan tidur di sofa. Dan sekarang, di kamar kecil berukuran 3x3 meter dan ranjang double size…




    Malam pun beranjak makin larut. Oh Tuhan…kuatkanlah diriku sepanjang malam ini…

    “Err…R-Resha…”, kupanggil dia sambil sedikit gemetaran selagi berbaring. Tentu saja, dengan tidak menghadap ke arahnya.

    “A-Apa…?! J-Jangan macam-macam ya…!”, jawabnya sambil bergeser agak menjauh, dengan nada yang sama gemetarannya denganku.

    “Siapa pula yang ingin macam-macam…aku hanya minta izin untuk tidur di lantai.”, ujarku pelan.

    “E-Eh?! Bagaimana kalau kamu sakit…?!”, katanya sambil mengambil posisi duduk dengan cepat, wajahnya terlihat khawatir.

    “Tapi kalau begini, aku bisa terjaga sampai pagi…”, kuambil posisi duduk juga, lalu menyandarkan diri pada sandaran kayu di bagian lebar kasur.

    “J-Jadi…sebaiknya bagaimana? A-Aku juga merasa tidak nyaman, sama sepertimu.”, Resha mengatakan itu tanpa menatap ke arahku.

    Tenang Daleth, tenang. Selama ini tidak pernah ada sesuatu yang aneh terjadi, jadi kenapa aku harus khawatir? Perlahan kutarik nafas dalam-dalam, kukeluarkan perlahan.

    “Baiklah…aku mengerti ketakutanmu itu. Tenang saja, aku janji tidak akan macam-macam selama kamu tidak melakukan apapun lebih dulu.”, tutur kataku jauh lebih tenang dibanding tadi.

    “B-Benarkah? Kata-katamu…bisa d-dipercaya kan?”, sepertinya dia masih belum tenang.

    “Pernah kamu dapati aku berbohong terhadapmu?”

    “Err…tidak sih…”, diselingi sekali menghela nafas, Resha melanjutkan kata-katanya. “Ya sudah, kamu tidur menghadap sana, sementara aku menghadap arah sebaliknya.”

    Akupun berbaring dengan posisi seperti yang telah disepakati. Duh, tapi tetap saja…aku tidak bisa tidur. Setiap kali aku menyadari kalau Resha ada di sebelahku, jantungku terus berdetak dengan kencang, membuatku kesulitan memejamkan mata.




    “Resha…sudah tidur?”, tanyaku, tanpa menghadap ke arahnya.

    “B-Belum…kamu sendiri kenapa belum tidur?”

    “A-Aku tidak bisa---“, kuubah posisiku berbaring, menghadap ke…

    Nyaris saja aku berteriak begitu melihat wajah Resha yang hanya berjarak beberapa milimeter di depanku.

    “Hyaaa..!”, suara teriakan Resha yang hanya sepersekian detik itu langsung berhenti begitu dia refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. “M-Maaf…aku hanya kaget…”, dia langsung mengambil posisi duduk.

    “T-Tidak apa-apa…aku juga sama kagetnya tadi.”, aku juga ikut duduk.

    Dari sebuah laci di sebelah meja, terlihat sesuatu bersinar…warna hitam. Oh iya, aku memang menaruh Dark Matter di dalam situ sebelum tidur. Tunggu. Kenapa Dark Matter itu bereaksi? Aku langsung melompat dari tempat tidur dan mengambil kristal hitam tersebut. Eh…?

    “Daleth, ada apa?”, tanyanya, masih duduk di kasur.

    Dark Matter…kenapa tiba-tiba sinarnya jadi membesar begini?”

    Beberapa detik kemudian, sinar hitamnya kembali meredup. Tunggu. Jangan-jangan…

    “Resha, coba pegang kristal ini.”, kuberikan Dark Matter itu padanya.

    “E-Eh? Oke…tapi buat apa?”, kristal itu dipegangnya dengan kedua tangan.

    “Ini hanya hipotesisku saja, tapi…”, kupegang kedua bahunya yang kecil itu dengan lembut, lalu perlahan kudekatkan wajahku ke arahnya. Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini, tapi…demi membuktikan sesuatu yang penting…

    “D-D-Daleth…?! H-Hei…ada a-apa…?!”, ekspresinya berubah terkejut, dengan wajah yang sangat merah. Tubuh kecilnya itu juga sedikit gemetar, dan dia juga menutup matanya rapat-rapat.

    Makin dekat…makin dekat…makin dekat. Sekarang bibir kecilnya itu hanya berjarak kurang dari 1 sentimeter dariku.




    Baiklah, akan kuhentikan sandiwara ini.

    “Ternyata benar dugaanku.”, kualihkan pandanganku ke kristal Dark Matter yang dipegangnya.

    Dark Matter ini…bereaksi terhadap emosimu.”

    “Jadi kamu hanya ingin tahu hubungan antara Dark Matter ini denganku?! Cih…”, wajahnya berubah kesal, lalu dia melemparkan kristal itu ke kepalaku. Karena menahan sakit, aku jatuh terduduk di lantai.

    “H-Hei!! Tidak perlu main lempar segala begitu!! Lagipula tidak mungkin aku menciummu sungguhan!! Tadi saja aku sudah malu setengah mati…”

    “Kenapa tidak mungkin?! Aku juga tidak akan marah kalau hal itu terjadi!!---“




    Suasana kamar ini langsung hening. Kata-kata itu membuatku tertegun, sambil menatap wajah Resha yang juga sama kagetnya.

    “M-Maaf…aku terlalu emosi…”, dia mengatakan itu sambil memalingkan wajahnya yang kembali memerah. Suaranya juga terdengar pelan.

    Tiba-tiba aku teringat semua kejadian yang telah kualami bersama dengannya. Senyuman, tangisan, wajahnya yang menggemaskan kalau sedang marah, hingga tatapan matanya yang penuh kesendirian. Seorang perempuan yang berjiwa kuat, tapi…sangat membutuhkan seseorang yang selalu siap berada di sampingnya. Semuanya itu terlintas di benakku saat ini. Awalnya aku menganggap semua itu adalah hal yang biasa, bagian dari emosi seorang manusia bernama Resha Gimmelia. Namun…lama kelamaan hatiku berkata lain.

    Tujuan perjalanan ini, yang awalnya adalah untuk membebaskan dirinya dari jeratan hukum yang penuh kejanggalan, sedikit berubah. Aku memang terus membawanya lari dari kejaran orang-orang Liberion. Tetapi karena itulah…timbul keinginan untuk terus berada di dekatnya, melindunginya dalam situasi apapun. Perlahan namun pasti, perasaanku terus berteriak sejak keluar dari Liberion, “Aku tidak ingin kehilangan dirinya.”

    Sepertinya Mary benar. Saatnya aku jujur terhadap perasaanku sendiri.




    Aku kembali berdiri, lalu duduk di sebelah kanan Resha. Kugenggam tangan kanannya dengan lembut menggunakan tangan kiriku. Aku merasakan tangannya sedikit gemetar…takut? Ah, bukan…
    “Masih marah dengan yang tadi?”

    “T-Tidak…a-aku hanya…”

    “Ya, tentu saja kamu tidak marah ataupun takut. Emosi negatif akan mengeluarkan kekuatan yang bersifat menghancurkan. Jadi…”

    “Aku…aku tidak tahu…”, dia mengalihkan tatapannya sebentar saat mengatakan itu.

    “Kamu tahu? Yang kamu rasakan sebenarnya sama dengan yang kurasakan sekarang.”, kutatap jauh ke dalam matanya, yang berwarna seperti batu safir.

    Resha tidak menjawab. Namun dari sorot matanya, yang sekarang berkaca-kaca, aku tahu dia sedang menungguku untuk…

    “Bolehkah…aku mengatakan sesuatu padamu?”

    Aku memang tidak bisa melihat ekspresi wajahku sendiri saat ini. Namun aku tahu, sekarang aku tersenyum padanya, dengan senyuman paling tulus yang pernah kuberikan pada seorang perempuan. Jauh di dalam diriku, aku bisa merasakannya. Oh, kecuali Freya tentunya. Kasih sayang yang kuberikan padanya tidak sama dengan yang kuberikan pada Resha.

    Air matapun mengalir dari matanya yang indah itu. Dia mengangguk dua kali untuk menjawab pertanyaanku yang tadi. Sekarang aku merasa detak jantungku meningkat. Ini akan jadi saat yang bersejarah dalam hidupku.

    “Beberapa lama terus bersamamu…akhirnya aku menyadari sesuatu. Aku harus jujur sekarang…”, kutarik nafas, lalu kuhembuskan perlahan. Dengan suara yang meyakinkan, namun tetap lembut…


    …I love you, Resha.


    Kalimat itu terucap dari mulutku, seorang lelaki yang selama 25 tahun tidak pernah merasakan arti cinta yang sesungguhnya. Namun sekarang…

    Digerakkan oleh cinta yang meluap-luap, tanpa sadar aku mendekatkan wajahku ke arahnya. Kembali, dia menutup kedua matanya, namun dengan raut wajah yang lebih tenang, tidak seperti saat aku bersandiwara tadi. Perlahan namun pasti, bibirkupun bersentuhan dengan miliknya.

    Selama beberapa detik, aku dapat merasakan gerakan lembut dari lidahnya, dan hembusan nafasnya yang hangat. Rasanya seperti…melayang di surga. Aku tidak dapat memikirkan apapun lagi. Seluruh jiwa dan pikiranku pada saat ini hanya ada untuk seseorang yang kucintai. Seorang perempuan berusia 18 tahun, yang akhirnya mengisi kekosongan di dalam hatiku, membuatnya sempurna. Resha…

    “Akhirnya…setelah sekian lama…”, ujarnya dengan lembut, dengan air mata mengalir dari kedua matanya.

    “Eh? Sejak…kapan?”

    “Sejak…di penjara.”

    Kata-katanya itu, yang disertai sebuah senyuman dari bibirnya yang kecil, membuat hatiku sedikit tersentak. Dengan kata lain, Resha sudah menyukaiku sejak lama?!

    “Kenapa tidak bilaaaaannngg….?!”, kucubit kedua pipinya.

    “Mmmfff…!! A-Aku tidak mau bilang duluan!! Bukankah seharusnya pria yang menyatakan perasaannya lebih dulu?!”, dia berusaha melepaskan tanganku dari pipinya.

    “Ah, benar juga ya.”, kuhentikan cubitanku. “Hei…tunggu, ada apa ini…?”, kualihkan pandangan ke sekitarku.




    Sesuatu yang aneh terjadi di ruangan ini. Bukan hal yang berbahaya, melainkan sesuatu yang…indah. Butiran-butiran cahaya mendadak muncul entah dari mana, menari-nari di udara dengan lincahnya. Ruangan ini juga terasa lebih hangat. Mungkinkah…?

    “Resha, apa ini…perbuatanmu?”, tanyaku sambil memandangi butiran-butiran cahaya itu.

    “Uh? Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya iya…”

    Jika benar ini akibat dari kekuatan yang dimilikinya, berarti ada perubahan kontinuitas ruang-waktu di ruangan ini. Hmm, tapi tidak ada sesuatu yang bersifat merusak. Artinya, ini semua adalah…ekspresi kebahagiaannya, yang dimanifestasikan melalui perubahan ruang dan waktu. Partikel-partikel foton pun ikut menari seakan hidup dan merasakan apa yang ada di dalam hati Resha. Kristal Dark Matter yang tergeletak di lantai juga bereaksi, memancarkan sinar hitam yang lebih besar.

    Kekuatan cinta dapat mempengaruhi ruang, waktu, bahkan energi…? Ah, bisa jadi begitu.




    Pemandangan menakjubkan ini lenyap begitu saja ketika ada suara yang berasal dari jendela kamar ini, suara ketukan.

    Begitu kubuka jendelanya…

    “Ah, maaf mengganggu malam-malam begini. Tapi aku punya berita penting.”

    “WAAAAAAAAHHHH!!!!”

    Kesunyian malam pun pecah karena teriakanku dan Resha, yang kaget melihat Leon tiba-tiba datang dan berdiri, sambil bersandar dengan kedua kaki depan pada kusen jendela.

    Apa yang ingin disampaikannya…?





    TO BE CONTINUED...



    ==============================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Bantu adalah induk bahasa yg digunakan di Afrika Tengah hingga Selatan.
    • Kita acak" hurufnya, Ovokango = delta Okavango, adanya di Botswana, Afsel atas dikit (sering dijadiin tempat syuting film" dokumenter, selaen Taman Nasional Serengeti di Kenya)
    • Songhai based on Songhai Empire (http://en.wikipedia.org/wiki/Songhai_Empire)
    • Zululand based on orang" Zulu, penduduk kulit hitam asli Afrika Selatan (http://en.wikipedia.org/wiki/Zulu_people)
    • Kalo sering nonton film dokumenter ttg hewan" di Afrika gitu seharusnya bisa bayangin...tapi supaya lebih aman:
    • Suku Tswana adalah suku asli Botswana
    • Maun adalah kota real
    • Bogobe itu kayak gini (yg putihnya)
      Spoiler untuk Gambar :


      Ini makanan apaan gw juga ga tau rasanya AOSKAOSKAOSKAOSK
      Gw baru tau pas nulis chapter ini
    • Belom pernah liat taneman sorghum? (ini yang dikit lg siap panen)
      Spoiler untuk Gambar :


      Sama juga, gw baru tau ada taneman namanya sorghum pas nulis chapter ini






    NB:

    Jangan lupa untuk membaca side story/spin-off/apalah namanya dari cerita ini: Gift of Life to Azrael ~
    Last edited by LunarCrusade; 09-11-12 at 09:43.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  15. The Following 2 Users Say Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  16. #84
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 25 :


    =========================================
    Chapter 25: Lion of the Delta ~ Two Feelings (Part 2)

    =========================================



    Suara pintu kamar ini dibuka dengan cepat.

    “Ada apa?!”, seru Mary yang muncul dari arah pintu kamar.

    “Ng…itu…”, Resha menunjuk ke arah Leon.

    “M-Mau apa dia?! Bagaimana bisa dia tahu mengenai tempat ini…?”, ujarnya dengan sedikit terbata-bata.

    “Oh, maaf kalau mengganggu malam-malam begini. Aku mengikuti jejak ban mobil kalian agar bisa ke sini. Ada sesuatu yang penting. Boleh aku masuk?”

    Awalnya ragu-ragu, namun akhirnya Mary mau membukakan pintu depan untuk Leon. Makhluk berkaki empat dengan panjang lebih dari 2 meter dan bobot sekitar seperempat ton itupun masuk.

    “Huaaaahh…melelahkan sekali…”, ujar Leon sambil mengambil posisi berbaring, lalu membuka mulutnya lebar-lebar. “Aku baru saja dari tempat para manusia di utara itu.”

    “Bukankah sudah kukatakan, kembali besok saja?”, kataku.

    “Masalahnya mereka melakukan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya…err…namamu siapa?”

    “Panggil saja Daleth. Jadi, apa yang mereka lakukan?”

    “Kulihat alat yang cukup besar, Daleth. Sepertinya baru datang belum lama ini. Beberapa hari lalu alat itu belum ada.”

    “Bentuknya?”

    “Tinggi, terbuat dari bahan yang kalian sebut dengan logam. Beberapa kali aku merasakan tanah bergetar ketika alat itu bekerja.”

    Apa mungkin mereka mengebor tanah? Berarti, tujuan mereka kemari adalah untuk mencari sesuatu yang ada di dalam Bumi. Barang tambang tertentu…? Oh iya, aku bisa mengeceknya dengan Dimensional Detector dan Projection.

    “Mereka mencari sesuatu di dalam tanah?”, tanya Resha.

    “Sepertinya begitu. Aku tidak tahu apa yang mereka cari…sebaiknya kuperiksa sekarang.”

    Kuambil sarung tanganku dan kristal Dark Matter. Di halaman depan, kuaktifkan berturut-turut Dimensional Detector dan Projection. Apa yang muncul di hasil proyeksi nyaris tidak dapat kupercaya. Benar kata Leon, ada sebuah kamp besar yang dibangun di utara. Tapi bukan itu yang membuat mataku terbelalak untuk beberapa detik, melainkan…sesuatu di bawahnya, sebuah bayangan hitam yang ukurannya jauh lebih kecil dari luas kamp.

    “T-Teknologi aneh apa lagi itu…?”, tanya Mary, terlihat sangat terkejut begitu melihat proyeksi tiga dimensi yang muncul.

    “Oh, ini hanya salah satu kemampuan sarung tanganku.”

    “Daleth, itu apa?”, Resha menunjuk ke bayangan aneh yang terlihat berada di bawah lokasi kamp.

    “Aku juga tidak tahu, Resha. Hasil proyeksinya hanya bayangan hitam seperti itu…tidak jelas.”

    “Jadi, manusia-manusia itu ingin mengambil bayangan hitam tersebut?”, Leon tiba-tiba bertanya.

    “Bisa jadi. Seharusnya benda itu adalah sesuatu yang sangat penting, sampai-sampai Liberion meminta sekutu-sekutunya untuk ikut dalam mengambil benda tersebut. Baiklah, lebih baik aku periksa ke sana sekarang. Leon, bisa tunjukkan jalannya kan?”

    “Bisa, bisa. Tapi…kamu tidak akan membiarkanku berlari mengejar mobilmu kan?”, tanyanya, diikuti dengan senyuman yang menyeringai, menunjukkan jajaran taring-taringnya yang besar dan tajam. Agak seram juga sih…

    “Huh…ya sudah, tapi kamu duduk di belakang, di bak terbuka.”

    “Oke, oke, tidak masalah. Akhirnya setelah sekian lama, aku naik mobil lagi…hehehe…”, seketika itu juga dia berlari dan duduk di bak mobil Ford Ranger.

    “Huh…ada-ada saja. Ya sudah, aku pergi---“

    Kata-kataku dipotong oleh Resha, dengan wajah…argh. Aku paling lemah dengan raut memelas seperti itu.

    “Kenapa aku tidak diajak…?”

    Sekali menghela nafas, lalu kujawab, “Iya, iya.”

    Langsung saja kugendong Resha, princess carry mode. Responnya? Sekali berteriak manja, lalu tertawa.

    “Ehem…sepertinya ada yang lagi senang nih.”, sahut Mary, meledek kami berdua.

    Aku dan Resha sempat terdiam beberapa saat. Berpandangan selama satu detik, lalu kami saling melemparkan senyuman.

    “Terima kasih banyak, Mary.”, ujar Resha.

    “Hmm, aku mengerti. Ternyata kamu sengaja mengundang kami ke sini dengan harapan agar aku dapat…ah, sudahlah.”, sahutku.

    “Ahaha…ketahuan juga akhirnya. Ya sudah, kalian pergilah sekarang. Aku akan menghubungi pihak yang berwenang. Berharaplah bantuan akan segera datang sebelum terjadi hal-hal berbahaya.”

    “Hei cepatlaaaahhh…!! Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia-manusia itu lebih lanjut…”, singa itu memanggil.

    Langsung saja aku dan Resha masuk ke dalam Ford Ranger, lalu kukemudikan mobil ini menyusuri padang rumput di tepi delta Ovokango. Ah, langit malam ini sangat cerah, sehingga bintang-bintang yang berkilauan di langit dapat jelas terlihat. Leon terus memberikan petunjuk arah pada Resha yang sesekali mengeluarkan kepalanya dari jendela, agar dapat mendengar suara singa jantan itu.




    Beberapa lama menyusuri padang rumput ke arah utara, sekarang di depan terbentang sebuah jurang. Leon berkata kalau kamp militer itu ada di bawah jurang tersebut, sebelah selatan aliran sungai. Kuinjak rem, lalu keluar dari mobil setelah vektor gaya mekanik ke arah depan yang bekerja pada mobil ini sudah sama dengan nol.

    Dari pinggir tebing setinggi 20 meter ini, aku melihat sebuah kamp yang cukup luas, mungkin sekitar 10000 meter persegi. Dikelilingi pagar kawat berduri, 14 menara pengawas di beberapa titik, dan…hei? Apa itu? Sesuatu yang kecil, menyala-nyala, bergerak ke sana kemari di beberapa tempat.

    “Leon, benda apa itu yang kecil dan menyala-nyala? Penglihatanmu pastilah lebih baik dariku di malam hari seperti ini.”, tanyaku.

    “Hyena. Ya…kamu tahu lah. Musuh bebuyutan kami, para singa.”

    “Hah? Mana ada spesies hyena yang menyala begitu?”, sahut Resha.

    “Nah, aku juga tidak mengerti. Memang sangat aneh, tubuh mereka berapi-api begitu. Tapi yang jelas mereka berlaku jinak terhadap manusia-manusia di sana.”

    Di sebelah utara kamp, sebuah menara yang dipasangi beberapa lampu dengan tinggi sekitar 10 meter, berdiri menjulang. Benar kata Leon, tanah terasa bergetar setiap ada bunyi keras yang berasal dari menara tersebut. Sudah dua kali kudengar sejak pertama kali tiba tadi. Aku jadi penasaran, bayangan hitam apa yang muncul di proyeksi dimensional tadi? Sebegitu pentingkah? Atau jangan-jangan, yang ada di dalam tanah adalah…

    Ada suara beberapa langkah kaki dari belakangku. Tiba-tiba seseorang meneriaki kami, mengatakan ,“Angkat tangan!!”

    Sial, itu tentara aliansi!!

    Secara refleks, aku mengaktifkan Plasma Directing Aeroblast Phase untuk membuat mereka terpental beberapa meter.

    “Lari?”, tanya Leon padaku.

    “Dan membiarkan menara itu terus menggali? Tidak bisa, kita harus turun. Resha, bagaimana?”

    “Setidaknya aku ingin sekali saja kita menyelesaikan masalah bersama-sama. Selama ini…selalu kamu yang punya ide dan menjalankannya sendiri.”

    “Benar juga…baiklah kalau itu maumu. Plasma Directing.”, kunaiki awan plasma yang terbentuk, diikuti Resha. “Leon, mau ikut?”

    “Ah…baiklah. Tapi kalian harus bertanggung jawab, jangan membiarkan aku mati. Oke?”

    “Iya, pasti.”, jawabku dengan tenang.

    Kami langsung melesat ke arah menara yang di utara itu. Beberapa kali tembakan senjata api dari bawah mengarah ke sini, namun tidak ada satupun yang mengenai karena aku berhasil untuk terus melancarkan manuver menghindar.




    “Nah, sekarang bagaimana caranya kita turun?!”, tutur Leon dengan panik.

    “Hmm, aku punya rencana. Resha, apa aku bisa minta tolong untuk mematikan mesin penggali di menara itu?”

    “Hah?! Aku tidak tahu menahu soal mesin itu!!”

    “Putuskan saja kabel-kabelnya kalau kamu tidak mengerti cara mematikannya…”

    “Lalu bagaimana dengamu? Mau menahan mereka sendirian?!”

    “Hei, apa kamu lupa? Energy Barrier.”, kataku dengan tenang, sambil mengedipkan sebelah mata padanya.

    “Ah, benar juga. Ya sudah, cepatlah mendarat di tempat yang cukup terlindung.”

    “Bagaimana denganku?”, tanya Leon.

    “Pancing para hyena itu.”

    “Dan membuatku menjadi singa panggang?!”

    “Tentu saja jangan jauh-jauh dariku!! Aku yakin hyena-hyena itu adalah hasil rekayasa genetika, jadi tidak mungkin kamu dapat melukai mereka. Jadi, begitu kamu berhasil memancing mereka, mendekatlah ke tempatku berdiri. Nanti akan kulemparkan mereka sampai tidak bisa bergerak.”

    Tiga. Dua. Satu. Aku mendarat di balik menara logam tersebut, lalu meminta Resha untuk mencari panel kontrolnya. Menara ini mirip dengan menara pengebor minyak, dengan mata bor yang mungkin adalah mata bor biasa, karena tidak ada sesuatu yang aneh dari cara menggalinya. Leon sendiri berlari ke arah lain, berhasil memancing para hyena untuk mengejarnya. Benar saja…tubuh hyena-hyena itu membara, seperti kata Leon. Gregor memang tidak terlihat di tempat ini, namun aku merasa dia terlibat dalam memanipulasi DNA hewan-hewan malang tersebut.

    Satu persatu para tentara aliansi mulai menembak ke arahku. Segera saja kuaktifkan Energy Barrier untuk menahan laju peluru-peluru yang dilontarkan. Tentu saja, rentetan tembakan itu tidak jadi masalah buatku. Begitu ada kesempatan, langsung kuaktifkan Atomic Vibration untuk membuat para tentara aliansi di hadapanku terlontar, memberiku kesempatan untuk menghajar para hyena berapi itu.

    “Reshaaaa…!! Sudah beluuum?!”, tanyaku.

    “Aaaahh!! Kabelnya su-su-susah sekali diputuskaaann…!”, dari kata-katanya aku bisa tahu, dia sedang kesulitan menarik sebuah kabel.

    “Cepat sedikit!! Aku tidak tahu sampai berapa lama mereka akan menembak!! Leon juga terlihat cukup lelah memancing para hyena itu sejak tadi…!!”

    “Iya, iya!! Tunggulah sebentar laaaa--- whaaaa!!”

    Suara mesin pengebor di menara ini berhenti, dengan kata lain Resha berhasil mematikannya. Baiklah, saatnya segera kabur---

    Tunggu. Seorang tentara mengatakan…Graviton Bullet?! Gawat…

    “Daleth, mesin pengebornya berhasil kuhenti---“

    Sebutir Graviton Bullet ditembakkan, membuyarkan Energy Barrier milikku. Dalam mekanika kuantum, graviton adalah partikel yang bertindak sebagai perantara gaya gravitasi. Peluru tersebut akan membuat sedikit distorsi ruang-waktu di sekitarnya, membuat perisai energiku ini ikut terdistorsi. Prototipe nya selesai dua tahun lalu, dan…sekarang…




    “Argh…”

    Peluru itu mengenai paha kiriku, membuatku tidak dapat berdiri tegak. Tentu, disambut dengan sebuah teriakan panik dari Resha, memanggil keras-keras namaku.

    “O-Oi, kamu tidak apa-apa?”, tanya Leon.

    “H-Hanya tergores sedikit. Masih bisa---“

    “Daleeeth…!!”

    Resha berteriak lebih keras, karena melihat sebutir peluru lagi berhasil menembus pundak kananku. Wajahnya terlihat sangat panik, ingin menangis.

    Sial!! Kalau begini bagaimana aku bisa membawa mereka lari?!

    Belum sempat aku melakukan apapun, satu peluru lagi mengenai perut kananku. Tubuhku makin terasa lemas, berdiripun tidak sanggup. Aku juga sudah tidak punya tenaga lagi untuk mengaktifkan Atomic Vibration ataupun program ofensif lainnya.

    Argh…kenapa…baru saja aku menemukan cinta…hal ini harus terjadi…?!

    Uh? Ada yang aneh dengan Resha. Perlahan dia melangkah maju, hingga ke depanku. Jangan bilang kalau dia…?!

    “R-Resha…!! J-Jangan---“

    Apa yang tertangkap retina mataku benar-benar mengejutkan. Di tengah-tengah pasukan aliansi, muncul sesuatu berbentuk bola, warnanya hitam. Perlahan namun pasti, diameternya membesar seiring waktu, membuat para tentara itu menjauh dari bola tersebut. Apa itu sebenarnya…? Dan…hei? Dark Matter ini kenapa memancarkan sinar hitam juga? Tidak salah lagi, kristal hitam ini sangat sensitif terhadap perubahan ruang waktu yang tidak wajar di sekitarnya.

    Aku tidak dapat melihat wajah Resha sekarang, namun dari nada suaranya…

    “Kalian…berani melukai Daleth…kalian…AKAN KUMUSNAHKAN!!!!!”

    Tunggu. Jadi bola hitam itu berasal dari kekuatan milik Resha? Astaga. Jangan bilang dia akan menghancurkan tempat ini sama seperti caranya menghancurkan Beth-Sheol?!

    Kukerahkan seluruh tenagaku, mencoba berdiri dan meraih tangannya.

    “R-Resha!! Hentikan…!! A-Apa kamu mau membuat mereka semua terbunuh?!”

    “A-Ada apa dengannya?!”, tanya Leon dengan panik.

    “Aku juga t-tidak tahu…yang jelas aku harus…hei, Resha!! Dengar suaraku tidak?!”

    Sial. Percuma saja, pikirannya sedang kosong sekarang. Beberapa kali kupanggil namanya, dia tidak menoleh sama sekali. Bola hitam itupun terus membesar, sekarang mungkin berdiameter sekitar 8 meter. Untung saja, sejauh ini belum ada satupun orang yang menyentuh bola hitam tersebut. Namun…aku tidak tahu berapa lama lagi sampai bola itu menjadi jauh lebih berbahaya.




    Tidak ada jalan lain.

    “Resha, tenanglah. Bukankah kita sudah berjanji untuk tidak membunuh siapapun?”, kupeluk dirinya erat-erat.

    Tanpa basa-basi kudekatkan wajahku padanya, menutup mata, lalu sebuah ciuman dariku mendarat di bibirnya yang kecil itu. Selama beberapa saat yang kupikirkan hanyalah cara untuk membuatnya tenang, agar tidak menimbulkan kehancuran.

    “Jangan lakukan lebih dari ini…oke?”

    Suaranya yang lembut itu terdengar oleh telingaku, membuatku kembali membuka mata. Dia terlihat sudah tenang sekarang. Oh, bola hitam itu juga menghilang. Banyak dari tentara itu yang lari menjauh, membuatku bisa sedikit bernafas lega.

    “Huh…ternyata hanya perlu begitu saja untuk membuat emosimu mereda.”

    “Ahaha…iya, maaf. Tadi aku lepas kontrol…”

    “Y-Ya…baguslah kalau begitu.”, tutur kataku mendadak gagap. “B-Bukankah kamu sekarang adalah pacarku? K-Kurasa itu hal yang wajar…”

    “I-Iya juga ya…”, Resha tertunduk malu.

    “Haloooo??? Jangan lupa kalau di depan kalian masih ada musuh yang, untung saja, sekarang sedang panik…”, sahut Leon.

    “Ah, benar juga ya.”, jawab Resha.

    Dengan kondisi yang lebih tenang, Resha mengambil nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Dia mengulurkan tangannya ke depan…hei?! Mau apa dia?!

    Sebelum para tentara aliansi itu melancarkan serangan selanjutnya…

    Gravitational Wave.”

    Sekejap setelah Resha mengatakan itu, semua…ya, semua tentara aliansi menjadi tidak mampu berdiri, seakan ada sesuatu yang mengikat tubuh mereka ke tanah. Tidak hanya itu, bangunan-bangunan yang ada di kamp, runtuh semuanya. Tunggu. Berarti Resha…

    “Kamu…bisa mengendalikannya?!”

    “Uh? Huh? Aku juga tidak mengerti. Setelah kamu menciumku tadi…aku merasa ada sesuatu yang harus dikeluarkan melalui tanganku, dan begitulah jadinya.”, jawab Resha, sedikit kebingungan.

    “Dan kamu memberikan nama yang cukup bagus…huh.”, aku langsung terbaring lemas di tanah. Beberapa luka tembakan ini membuatku lelah, meski tidak lagi sakit…ah, aku jadi mengerti apa yang dilakukan Resha sewaktu di Qing waktu itu.




    Baru saja tulang punggungku merasakan permukaan tanah, kuperhatikan Dark Matter di kantong celana sebelah kananku yang masih memancarkan sinar. Tidak mengherankan, karena distorsi ruang waktu akan mempengaruhi perilaku kristal hitam ini. Tetapi jika benar dugaanku, seharusnya yang digali oleh pasukan aliansi juga akan…

    “Err, kalian berdua… coba ke sini sebentar.”, suara singa itu memanggil, tidak jauh dari menara pengeboran.

    Sinar hitam yang sama terpancar dari lubang bekas penggalian, sinar hitam dari Dark Matter, hanya saja intensitasnya lebih besar. Maksudku…jauh lebih besar. Jika kumisalkan kristal yang kumiliki memiliki pancaran sama seperti sebuah senter, maka yang muncul dari dalam tanah hampir sama dengan intensitas cahaya yang dipancarkan lampu sorot berdaya 100 watt. Rasa penasaran membuatku berlari ke menara dan memandang ke lubang di tanah berdiameter sekitar 3 meter, diikuti oleh Resha.

    Dari atas sini, aku tidak dapat melihat ukuran kristal Dark Matter yang ada di dalam lubang. Namun satu hal yang kutahu, ukurannya pasti sangat besar.

    “Kamu tahu apa yang ada di dalam?”, tanya Leon.

    “Sama seperti ini, Leon.”, kutunjukkan Dark Matter yang kumiliki. “Hanya saja yang di dalam sana ukurannya jauh lebih besar dari yang kupegang ini.”

    “Jadi mereka mengusik ketenangan delta ini hanya demi kristal jelek itu?! Ah, tidak bisa kumaafkan…!!”

    “Aku jadi heran, untuk apa mereka mengincar Dark Matter dan harus mendapatkannya dengan cara apapun? Bahkan mereka menginvasi Parthia hanya untuk kristal kecil yang sekarang ada padamu.”, tanya Resha.

    “Karena kekuatan yang terkandung di dalamnya, Resha.”

    “Kekuatan…?”

    “Akan kumulai dengan sebuah pertanyaan. Apa kamu tahu kalau alam semesta ini terus mengembang?”

    “Oh, iya iya. Aku pernah dengar.”, jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Jarak bintang-bintang dan galaksi di luar angkasa sana terus melebar seiring waktu.”

    “Tahu apa alasannya?”

    “Err…tidak.”

    “Diawali dari peristiwa Big Bang, alam semesta ini terus dan akan terus mengembang. Dan penyebabnya adalah satu hal, Dark Energy.”

    “Uh? Bukan karena hukum inersia?”

    “Hukum pertama Newton, alias hukum inersia, hanya menjelaskan mengapa sebuah benda akan terus bergerak dengan kecepatan konstan jika tidak ada gaya luar yang mempengaruhi. Apa kamu pikir bintang-bintang dan galaksi-galaksi di luar sana tidak saling mempengaruhi meski letaknya sangat berjauhan?”

    “Oh…begitu. Jadi, apa hubungannya dengan Dark Energy yang kamu katakan tadi?”

    “Dark Energy adalah bentuk energi yang bertanggung jawab dalam menyusun lebih dari tujuh puluh persen komposisi massa-energi di alam semesta. Jika Dark Energy berhenti mengembang, demikian juga dengan alam semesta.”

    “Dengan kata lain, Dark Energy itulah yang berhubungan langsung dengan kontinuitas ruang waktu?”

    “Yap, benar. Dan inilah bentuk Dark Energy yang terkondensasi menjadi sangat padat. Kristal Dark Matter.”

    “Umm…sebentar, sebentar. Aku masih tidak bisa menerima penjelasanmu tadi. Bagaimana bisa kita tahu kalau Dark Energy itu benar-benar ada?”

    “Salah satunya dari rotasi galaksi, Resha. Didapati bahwa kecepatan rotasi dari galaksi-galaksi ternyata nilainya jauh lebih tinggi dibanding seharusnya, meski melibatkan seluruh massa dari seluruh materi di dalam galaksi. Dan karena massa adalah salah satu bentuk energi…”

    “Pastilah ada bentuk energi lain yang terlibat dalam rotasi galaksi tersebut…”, Resha terlihat tercengang. “Jadi itu alasan mereka berusaha mendapatkan Dark Matter?!”

    “Bayangkan saja apa yang terjadi jika kristal Dark Matter diubah menjadi Dark Energy. Menghancurkan satu kota…tidak, menghancurkan satu planet pun hanya memerlukan waktu kurang dari sepuluh detik. Dan bukan hanya itu…ingat yang terjadi di Aegyptus?”

    Dark Matter juga dapat digunakan untuk kembali ke masa lalu?!”, Resha makin terkejut. “Bukankah itu karena diriku?”

    “A-Aku ragu kalau kamu tega melemparkanku ke jaman kuno, kepada sesuatu yang tidak pasti…”, refleks wajahku sedikit berpaling darinya.

    “Benar juga. Waktu itu aku hanya berpikir bagaimana caranya memindahkan kita semua keluar dari pesawat. Jika benar kekuatanku berhubungan dengan emosi...seharusnya yang terjadi adalah kita keluar dari pesawat, namun tetap berada di zaman ini. Tapi karena Dark Matter sensitif terhadap distorsi ruang waktu, maka kita terlempar ke masa lalu…ternyata itu alasannya.”

    Mendadak sesuatu terlintas di pikiranku. Sekarang aku mengerti kenapa pemerintah Liberion menginginkan E.L.O.H.I.M. Project. Mengubah Dark Matter menjadi Dark Energy membutuhkan level energi yang amat sangat tinggi, yang hanya dapat dilakukan oleh sarung tanganku. Untunglah hal itu dapat kucegah, meski harus mengorbankan lebih dari 100 orang.

    Yang masih belum kumengerti adalah, kenapa mereka menginginkan Resha mati? Apa mereka tidak ingin Resha jatuh ke negara-negara musuh, yang kekuatannya dapat menghentikan proyek senjata dari Dark Matter? Dan kenapa Gregor terlibat dengan semua ini? Aku masih merasa ada yang janggal…

    “Huh…aku tidak mengerti apa yang kalian katakan sejak tadi.”, keluh Leon, sambil tiduran telentang di pinggir lubang.

    “Ah, maaf. Aku suka kelepasan kalau sudah menjelaskan sesuatu seperti tadi.”

    “Ya sudahlah, tidak usah dipikirkan. Yang jelas sepertinya bantuan sudah datang.”, ujarnya sambil kembali berdiri dengan keempat kakinya dan memandang ke arah barat, ke tebing.

    Ah, tentara Bantunia. Baiklah, sepertinya aku bisa tenang sekarang. Delta ini kembali aman untuk dihuni para hewan.




    Pagi hari di meja makan, Mary menjelaskan apa yang terjadi saat dia berusaha meminta bantuan militer setempat kemarin malam. Meski ragu-ragu, namun akhirnya mereka mau mengirimkan pasukan sesuai permintaan.

    “Hmm…begitu rupanya. Jadi mereka mengancam pemerintah negara ini agar dapat membangun kamp itu.”, jawabku, setelah mendengarkan penjelasan Mary.

    “Dan sekarang sebenarnya pemerintah Bantunia merasa ketakutan. Memang benar kamu berhasil mengusir tentara aliansi…untuk sekarang. Mereka khawatir jika mereka akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar.”

    “Oh, tidak perlu cemas. Kamu bisa menghubungi Friedrich von Bismarck dari Teutonium atau si tua Igor Gvozdev dari Varangia. Katakan saja kalau aku yang meminta.”

    “Putra Kaiser Wilhelm dan Admiral Angkatan Laut Varangia?! Bagaimana kamu bisa kenal mereka?!”, Mary berubah terkejut.

    “Mana aku tahu? Mungkin aku sudah ditakdirkan untuk bertemu mereka…hehehe.”, kataku dengan santai.

    “Daleth, aku sudah selesai.”, sahut Resha yang baru keluar dari kamar, membawa tas miliknya. Yap, kami akan pergi sekarang. Berada terlalu lama di sini malah akan membahayakan kemanan negara ini, yang penuh dengan keindahan alam.

    “Dan kalian harus melanjutkan perjalanan kembali…melelahkan juga ya.”, ujar Mary, sambil bertopang dagu di meja makan dan memandang ke arah Resha.

    “Yah, begitulah. Tapi perjalanan ini bukannya tanpa alasan, ada sesuatu yang harus diselesaikan. Setelah semuanya tuntas, aku mau liburaaaannnn…”, kurentangkan kedua tangan ke udara, sambil meregangkan otot-otot punggung dan tanganku.

    “Jangan lupa mengundangku ke pernikahan kalian ya.”, sahutnya.

    “H-Hah?! M-Menikah?!”, seruku dan Resha bersamaan.

    “Lho…kukira kalian sudah merencanakan hal itu. Ternyata belum ya?”

    “B-Baru saja Daleth menyatakan perasaannya kemarin!! A-Apa tidak terlalu c-cepat…?”, tutur kata Resha sedikit gelagapan.

    Hmm, boleh juga sih. Mungkin memang sudah saatnya bagiku. Setelah semuanya selesai, aku akan…

    “Baiklah, tidak masalah.”

    “Tidak masalah bagaimana?! A-Aku masih di bawah dua puluh tahun—“

    “Tenanglah, hukum Liberion tidak melarang hal itu kok.”, kataku dengan santai.

    “O-Oke…”, Resha menunduk. “Tapi sebelum itu, jangan melakukan hal yang macam-macam. Mengerti?!”, serunya sambil mengacungkan telunjuk kanannya ke arah wajahku.

    “Ditunggu undangannya ya.”, Mary tersenyum.




    Waktu menunjukkan sekitar pukul 8. Udara masih terbilang sejuk, cahaya matahari belum terlalu terik. Suara alam liar juga dapat terdengar dari halaman depan rumah kayu kecil ini.

    “Ooooiii!!”

    Sebuah suara terdengar dari kejauhan. Dari warna suaranya, yang kudengar bukanlah suara manusia. Oh, ternyata itu Leon, sedang berlari ke arah sini. Tadi malam dia langsung kembali ke kawanannya begitu kondisi sudah terkendali. Mungkin ingin memberitahukan kepada makhluk sejenisnya?

    “Kalian sudah ingin pergi?”, tanyanya.

    “Kami tidak bisa lama-lama di sini. Keberadaanku dan Resha akan membahayakan kalian.”

    “Ah…sayang sekali. Padahal ada banyak hal di tempat ini yang ingin kutunjukkan pada kalian.”, Leon terlihat sedikit menunduk.

    “Bagaimana kalau kamu menunjukkan hal-hal tersebut pada Mary? Sekarang dia sedang meneliti kehidupan di tempat ini, khususnya singa sepertimu.”, sahut Resha.

    “Benarkah? Wah, dengan senang hati akan kutunjukkan semua--- Eh? Tapi kenapa wajahnya pucat begitu?”

    “Ah…Mary, kamu takut?”, tanyaku dengan nada meledek.

    “Tenanglah, Leon tidak galak kok. Apalagi dengan adanya dia, kamu pasti tidak akan diganggu oleh singa-singa lainnya.”, Resha menambahkan.

    “T-T-Tapi…”

    “Oh, ayolah…aku sudah punya banyak betina di sarang. Kamu tidak perlu merasa takut kalau akan dijadikan pasanganku selanjutnya.”

    “H-Heh!! S-Siapa juga yang mau jadi pasanganmu?! Aku sudah punya tunangan!!”, dari suaranya, terdengar kalau dia masih sedikit ketakutan.

    “Satu lagi, kalau kamu merasa kesepian di malam hari, aku bisa datang dan menemanimu kok. Jadi tenang saja.”, Leon tersenyum menyeringai, menunjukkan taring-taringnya.

    Spontan saja aku dan Resha tertawa melihat mereka. Setidaknya Mary tidak akan kesepian di delta Ovokango ini…hehehe.

    “Nah, sekarang kita ke mana?”, tanya Resha, saat kami sudah masuk ke mobil.

    “Hmm…dua hari lagi Natal ya. Bagaimana kalau sekalian mencari tempat berlibur? Yang kemarin malam benar-benar melelahkan.”

    “Oh, kalau begitu ke kepulauan Antilles saja. Memang hanya beberapa ratus kilometer sebelah selatan Liberion, namun kudengar nyaris tidak ada intervensi Liberion di sana. Udara lautnya hangat dan menyegarkan, suasananya juga menenangkan. Kurasa kamu butuh itu.”

    “Oke, boleh saja. Berarti sekarang kita ke bandara---“




    Tiba-tiba Resha menyandarkan dirinya pada tubuhku. Mau apa dia?

    “H-Hei…ada apa?”

    “Aku akan memindahkan kita ke tempat tujuan.”

    “Huh? Kamu bisa?”

    “T-Tapi aku butuh bantuanmu…”, wajahnya berubah merah. “B-Boleh aku minta sebuah pelukan?”

    Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku melakukan yang Resha minta. Kupejamkan mataku, lalu melingkarkan kedua tangan menyelimuti tubuhnya. Sebelumnya aku pernah melakukan hal ini, tapi aku baru menyadarinya sekarang. Tubuhnya yang kecil ini…membuat hatiku terus berkata, “Aku harus melindunginya.”

    Spatiotemporal Relocation.”, ucapnya dengan lembut.

    Segera setelah Resha mengatakan itu, kubuka kedua mataku. Dan…hei? Ini sudah bukan di padang rumput Bantunia lagi!!

    “Wow…luar biasa. Kamu memindahkan kita ke…”

    “Pulau Hispaniola, kepulauan Antilles.”

    Untung saja Resha memindahkan mobil ini ke jalanan yang sepi. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Fiuh…




    Setelah berkeliling sebentar, aku bisa memastikan kalau kami berada di ujung timur pulau Hispaniola, tidak jauh dari laut. Suara deburan ombak dan aroma air laut yang khas, membuatku sesaat melupakan kejadian tadi malam. Yah, kuharap liburan kali ini benar-benar liburan tanpa gangguan.



    ===============================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Teori mengenai Dark Matter dan Dark Energy adalah 3/4 scientific, 1/4 fiksi (namanya juga science fiction /")
      Ada yg bisa jelasin mana fiksinya mana benerannya?
      Bahan bacaan:
      http://en.wikipedia.org/wiki/Dark_matter
      http://en.wikipedia.org/wiki/Dark_Energy
    • Gravitational Wave juga adalah unique device yang dimiliki personality Scientist dalam game SPORE, yang menghancurkan semua bangunan dalam 1 planet namun semua makhluk hidup gak mati. (ada yg suka main juga gak? keren ini, menguasai galaksi, memanipulasi planet, mengakselerasi kehidupan )
    • Saya sempet bingung mencari nama yg cocok untuk mengganti nama kepulauan Karibia
      Pilihan yg sempet kepikiran itu antara:
      - Carib (suku yg menghuni kepulauan Antilles kecil, sebelah selatan Karibia...tapi ketauan banget ini sih)
      - Taino (suku yg menghuni sebagian besar kepulauan Karibia, khususnya kepulauan Antilles besar en Bahama)
      - Arawak (suku Taino itu termasuk orang Arawak)
      - Lucayan (suku asli penghuni Bahama...tapi udah kagak ada )
      Tapi akhirnya pilihan jatuh pada Antilles
      (walau sebenernya mengganti Carribean --> Antilles itu kurang cocok, tapi sebodo amat yg penting keren AOSKAOSKAOSKOASKAOK )
    • Pulau Hispaniola adalah pulau real di kepulauan Karibia, yg terbagi atas 2 negara: Haiti dan Republik Dominika.



    ========================

    CHAPTER 26-27 NEGARA TERAKHIR !!

    setelah itu Ending Arc

    mudah"an sebelum umur thread ini 1 tahun bisa diselesaikan
    Last edited by LunarCrusade; 26-04-12 at 23:40.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  17. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  18. #85
    -~H~E~A~V~E~N~-'s Avatar
    Join Date
    Dec 2010
    Location
    Wherever my dear is
    Posts
    1,617
    Points
    102.50
    Thanks: 185 / 139 / 100

    Default

    finally the long awaited chapter is released..

    No matter what anyone thinks of me,,
    No matter how much i'm hated
    As long as i'm with the person i love,,
    Then that's fine..
    I always knew
    looking back at the tears would make me laugh,
    but I never thought that
    looking back at the laughs would make me cry.

  19. #86
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by -~H~E~A~V~E~N~- View Post
    finally the long awaited chapter is released..
    ada kurang apa gitu nggak?

    masalahnya gw sendiri ngerasa pas ngetik Chapter 25 ini rada transient, kurang terstruktur pas masih di dalam khayalan


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  20. #87
    -~H~E~A~V~E~N~-'s Avatar
    Join Date
    Dec 2010
    Location
    Wherever my dear is
    Posts
    1,617
    Points
    102.50
    Thanks: 185 / 139 / 100

    Default

    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    ada kurang apa gitu nggak?

    masalahnya gw sendiri ngerasa pas ngetik Chapter 25 ini rada transient, kurang terstruktur pas masih di dalam khayalan
    kl menurut gw si udah oke..
    cma yg rada ngeganjal perubahan sifat resha yang biasanya tsun aja..

    No matter what anyone thinks of me,,
    No matter how much i'm hated
    As long as i'm with the person i love,,
    Then that's fine..
    I always knew
    looking back at the tears would make me laugh,
    but I never thought that
    looking back at the laughs would make me cry.

  21. #88
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by -~H~E~A~V~E~N~- View Post
    kl menurut gw si udah oke..
    cma yg rada ngeganjal perubahan sifat resha yang biasanya tsun aja..
    tsundere kan gitu, begitu sekali uda bisa jujur langsung...



    Spoiler untuk Chapter 26 :


    =============================================
    Chapter 26: Heart Vibration ~ Tectonic Dislocation (Part 1)
    =============================================




    “Oh, jadi itu alasannya kenapa Leon bisa bicara.”, Resha berkomentar sambil mengangguk-angguk beberapa kali. Kami baru saja selesai makan malam di sebuah restoran di pulau Hispaniola ini, tidak jauh dari hotel.

    Sebelumnya, aku sedang menjelaskan hipotesisku padanya mengenai fenomena tersebut. Sangat dimungkinkan hal itu terjadi karena Leon yang sering terkena radiasi Dark Matter yang terkubur di sekitar habitatnya. Dan karena sewaktu masih di kebun binatang dia sering mendengar bahasa manusia, maka diapun bisa bicara seperti manusia normal. Mirip denganku, Resha, dan Freya yang langsung bisa membaca hieroglif begitu terdampar di Mesir kuno. Aku sendiri pernah melihat ukiran-ukiran hieroglif, namun tidak pernah secara langsung. Hanya dari buku, sama halnya dengan Freya. Kalau Resha…aku tidak tahu. Tapi pastilah dia pernah melihat hieroglif juga sebelumnya.

    “Yah, itu masih hipotesis. Kuharap misterinya dapat kubongkar setelah semua ini selesai. Masalah yang terjadi padamu tetaplah prioritas.”, refleks kugenggam tangannya lebih erat.

    “H-Hei…bukankah kamu sudah janji kalau akan m-menikahiku lebih dulu…? Kenapa kamu ingin meneliti Dark Matter itu lebih dulu? K-Kuharap kamu tidak lupa.”, wajahnya berubah merah.

    “Tentu saja tidak. Aku juga ingin cepat-cepat memulai hidup baru yang tenang bersamamu. Oh, dan pastinya dengan…anak kita.”, kulemparkan senyum padanya.

    “Aku yakin, dia pasti akan menjadi anak paling bahagia di dunia.”, ujar Resha sambil menyandarkan kepalanya di lengan kananku.

    Langsung saja kuangkat tubuh Resha, princess carry mode. Kutatap matanya dalam-dalam, lalu berkata, “Pasti, Resha. Pasti.”

    “N-Ng…t-tapi kenapa kamu harus menggendongku begini…”

    “Oh, ayolah. Hampir satu tahun kita bersama, aku sudah tahu kalau digendong seperti ini adalah favoritmu. Sekarang…pegangaaaaannnn…!!”, seruku sambil mulai berlari, diikuti suara tawa manja dari Resha.

    Selagi berlari, hembusan angin sejuk dari arah laut dapat kurasakan menerpa wajahku dan juga rambut Resha yang keemasan. Akhirnya, akhirnya…penantian panjangku selama 25 tahun terbayar sudah.




    Liburan Natal dan tahun baru kulewati bersama dengan orang yang kucintai, Resha. Sekarang tanggal 11 Januari, dan aku memutuskan untuk berada di pulau ini sementara hingga akhir bulan, sambil mencari data lebih lanjut dari orang-orang yang pernah kutemui sepanjang perjalanan.

    Sesampainya di hotel, aku duduk merenung di balkon. Ah, jam sudah menunjukkan pergantian hari ke tanggal 12. Selagi merenung, aku sadar beberapa hal mengenai kasus Resha belum terpecahkan.

    Pertama, hancurnya Beth-Sheol. Masih belum cukup informasi mengenai kenapa Resha melakukan semua itu. Jujur saja, aku masih sangat tidak yakin kalau peristiwa yang dilihat Resha di jalanan Beth-Sheol adalah murni kriminalitas.

    Kedua, eksekusi Resha. Jika benar eksekusi dilakukan untuk mencegah Resha jatuh ke tangan negara musuh, kenapa mereka tidak minta bantuan Interpol atau kepolisian negara yang aku dan Resha datangi? Aneh. Dan dari situ aku tahu, bahwa Liberion tidak mengadukanku ataupun Resha sebagai daftar buronan internasional. Bahkan jika pihak Liberion benar-benar menginginkan kematian Resha, kenapa mereka tidak melakukannya jika ada kesempatan? Sudah dua kesempatan besar yang mereka lewatkan, di Qing dan Italia. Tinggal sekali tembak, nyawa Resha pun melayang.

    Ketiga, keterlibatan Gregor. Untuk apa ahli genetika dilibatkan? Jika mereka menginginkan diriku, itu wajar. E.L.O.H.I.M. Project pasti sangat dibutuhkan sebagai konverter Dark Matter menjadi Dark Energy. Tapi…Gregor? Buat apa? Dia seakan membutuhkan Resha untuk…

    Tunggu. Aku teringat sesuatu.

    DNA Lock di sarung tangan itu didesain berdasarkan permintaanku. Maksudnya sih agar sarung tangan itu tidak dapat digunakan sembarangan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Jika benar pihak Liberion sedang mengembangkan senjata berbasis Dark Matter…maka mereka membutuhkan sesuatu agar senjata itu tidak bisa digunakan sembarangan, mirip dengan E.L.O.H.I.M. Project milikku.

    Dan satu-satunya cara agar senjata itu tidak dapat digunakan sembarang orang dan juga tidak beresiko dihancurkan oleh kekuatan Resha sama sekali adalah…tidak lain dengan…



    …menggunakan Resha sebagai kunci senjata itu.



    Itu dia!! Semuanya masuk akal sekarang!!

    Jika orang-orang pemerintah Liberion memberitahu negara lain mengenai kasus ini, mereka khawatir Resha akan digunakan oleh negara musuh untuk menyerang balik Liberion. Namun hal itu tidak akan terjadi jika Resha berada dalam genggaman mereka, sehingga mereka memutuskan untuk tidak membunuh Resha, dan menjadikannya sebagai alat untuk mengaktivasi senjata berbasis Dark Matter. Untuk itulah juga mereka membutuhkan Gregor, sebagai desainer DNA Lock, untuk membuat hal yang sama di senjata itu.

    Hmm, tapi masih ada kelemahan dalam kesimpulan tadi. Belum ada hubungannya dengan peristiwa di Beth-Sheol…




    “Kebiasaan burukmu masih saja dilakukan. Bengong sendirian di tengah malam begini…”, tiba-tiba Resha sudah ada di belakangku.

    “Ah, maaf. Aku hanya mencoba memikirkan hubungan apa saja yang sudah terjadi padamu.”

    Kembali aku menatap ke arah langit, sambil Resha berdiri di sebelah kananku.

    “Terima kasih banyak yah…”, ujarnya lembut sambil tersenyum ke arahku.

    “B-B-Bukan masalah buatku.”, kujawab dengan tidak menatap wajahnya. Ekspresinya kali ini adalah yang pertama kalinya dapat membuatku gelagapan seperti sekarang.

    “Wajahmu merah tuh.”, diikuti dengan sebuah tawa kecil.

    Jujur saja, yang barusan benar-benar meluluhkan hatiku. Selama beberapa saat aku hanya terdiam sambil membuang muka.

    “Tapi aku benar-benar tidak menyangka. Di saat aku sudah pasrah…aku malah bertemu jodohku.”, Resha melanjutkan.

    “S-Sudah, sudaaaahhh!! Bisa-bisa aku pingsan…”

    “Iya, iya. Huh…baru begitu saja sudah merah setengah mati. Seakan sifat kita tertukar begini…”

    “Tapi ingatlah, kita belum bisa tenang sekarang. Aku merasa akan ada kekacauan besar menanti di depan…”

    “Yah, mungkin saja. Setelah apa yang kita alami selama ini, akupun merasa demikian. Dan…jauh di dalam hatiku, sesuatu mengatakan bahwa hanya kita yang bisa menyelesaikannya.”

    “Kamu benar. Hanya saja…aku masih perlu beberapa informasi lagi. Sebagian sudah kuketahui hubungannya, namun tidak dengan hancurnya Beth-Sheol.”

    Raut wajah Resha berubah murung.

    “Tapi jika kamu belum sanggup menceritakannya, tidak apa-apa. Aku akan menunggu.”, kulanjutkan kata-kataku untuk menenangkan dirinya.




    Resha menghela nafas sejenak, lalu menatap jauh ke dalam mataku.

    “Tidak, Daleth. Aku harus menceritakan semuanya secara detail sekarang, atau makin lama lagi kita bisa hidup bersama dengan tenang. Sewaktu di penjara…belum semuanya kukatakan.”

    “Kamu yakin sudah kuat untuk menceritakannya?”

    “Iya, sudah tidak apa-apa. Baiklah…sebenarnya ada satu hal yang terjadi antara kejadian di Beth-Sheol itu dengan waktu eksekusi.”

    “Apa itu?”

    “Mereka meminta sampel rambut dan darahku.”

    Itu berarti mereka masih menginginkan sampel DNA Resha hingga saat terakhir. Sekarang aku makin yakin, Resha akan digunakan sebagai aktivasi senjata Dark Matter yang akan dibuat.

    “Hanya itu?”

    “Ya, dan aku merasa aneh dengan hal itu. Mana ada tahanan yang dimintai rambut dan juga darahnya…?”

    “Hal itu memang tidak biasa. Tapi untuk kasusmu---“

    Mendadak kata-kataku dipotong, sementara ekspresi Resha mengindikasikan kalau dia teringat hal lainnya.

    “Tunggu, Daleth. Sepertinya aku juga merasakan getaran sesaat sebelum sebuah bola hitam tercipta. Bola yang sama seperti di Bantunia.”

    “Getaran? Seberapa kuat?”

    “Cukup lemah, tapi orang-orang yang tidak sedang berjalan juga merasakannya. Aku sempat mengamati beberapa pejalan kaki di sekitar tempat kejadian. Mendadak ekspresi mereka berubah, dari kaget akan peristiwa penembakan itu menjadi langsung melihat-lihat ke bingungan ke sekitarnya, seakan perhatian mereka teralih oleh sesuatu yang lain. Bisa jadi karena getaran itu.”

    Tunggu. Apa ada gempa sesaat sebelum kejadian? Kenapa kebetulan sekali? Atau mungkin…

    “Resha, apa kamu sudah lancar mengendalikan kekuatanmu?”, tanyaku dengan nada serius.

    “Sepertinya belum…tapi mungkin jika---“

    Langsung saja kuambil kristal Dark Matter yang berada di atas laci kecil di samping kanan tempat tidurku di kamar ini.

    “Hei, mau eksperimen lagi?”

    “Ini penting, Resha. Konsentrasilah sejenak. Apa perlu kupeluk?”

    “Sudah, tidak perlu. Aku akan mencoba mengingat kejadian saat kamu menyatakan perasaanmu saja.”

    Dia mengambil kristal itu dari tanganku, lalu menutup mata. Beberapa detik kemudian kulihat wajah Resha tersenyum, diikuti dengan kristal Dark Matter yang menyala. Tetapi…tiba-tiba matanya terbuka kembali, terkejut.

    “Bergetar, Daleth. Kristalnya bergetar. Memang hanya sebentar dan lemah, namun tetap terasa di tanganku.”

    “Sudah kuduga.”

    Aku yakin Resha pun mampu menyimpulkan semuanya.

    “Tunggu. Daleth, maksudmu…di bawah Beth-Sheol ada bongkahan Dark Matter berukuran besar?!”

    “Itu dia. Aku menduga lebih besar dibanding yang di Bantunia. Yang di Bantunia letaknya cukup dalam dan mungkin hanya sebesar mobil SUV biasa, karena itulah getarannya tidak terasa.”

    “Tapi kenapa sebelumnya kamu tidak tahu kalau kristal ini bisa bergetar?!”

    “Karena kristal yang ini tidak pernah diaktifkan oleh kekuatanmu. Oh, pernah sekali sewaktu di Bantunia, namun tidak kupegang saat mulai aktif. Getaran itu sepertinya hanya muncul sesaat di awal aktivasi, dan disebabkan karena dua hal. Pertama, kristal yang identik, seperti peristiwa di Aegyptus kuno. Kedua, distorsi spatiotemporal. Jika benar begitu, maka mereka menggunakan kekuatanmu untuk mendeteksi lokasi pasti dari Dark Matter yang ada di bawah Beth-Sheol.”

    “J-Jadi…aku benar-benar dimanfaatkan…”

    Air mata mengalir membasahi pipi Resha selesai dia mengatakan hal itu, diikuti oleh kristal Dark Matter yang jatuh ke lantai karena genggaman Resha melemah. Dia seakan tidak percaya kalau dia 100% dimanfaatkan mentah-mentah oleh pihak Liberion. Tanpa ragu-ragu, kupeluk dirinya.

    “Aku benar-benar bodoh…s-seandainya saja aku bisa mengendalikan emosiku lebih baik waktu itu…”

    Aku tidak dapat berkata-kata, seakan hatiku ikut merasakan kesedihan yang dia rasakan sekarang. Aku tahu dia berusaha menahan rasa sedihnya itu, karena Dark Matter tidak bereaksi. Setidaknya kekecewaannya karena merasa dimanfaatkan untuk sesuatu yang buruk tidak berubah menjadi sesuatu yang menghancurkan. Berbeda denganku yang langsung memusnahkan seluruh laboratorium beserta semua orang yang terlibat dengan proyek sarung tanganku itu…

    Selama beberapa lama dia berada di pelukanku, hingga tangisannya berhenti. Sebuah kata maaf terucap dari mulutnya diikuti dengan, “Selamat tidur…” Seketika itu juga dia merebahkan diri di ranjang di sebelah kiriku. Terpisah, tentu saja. Semoga esok akan menjadi hari yang cerah, mengembalikan keceriaan Resha…




    Atau mungkin tidak.

    Aku dan Resha baru saja selesai mandi, dan berencana ingin menghabiskan waktu beberapa lama hingga waktunya makan malam. Namun, ketika jam di dinding kamar menunjukkan pukul 16.53…getaran hebat terasa olehku. Suara orang-orang dari luar terdengar panik. Ini gempa!!

    Kamar ini terletak di lantai 4, satu lantai di bawah lantai teratas. Tempat ini tidaklah mewah, sehingga standar-standar tanda untuk prosedur menyelamatkan diri saat bencana tidak terlihat olehku. Tanda exit? Tidak ada sama sekali. Yang dapat kulakukan sekarang hanyalah secepat mungkin mencari tangga darurat.

    Dan…hal terburuk yang bisa kubayangkan, terjadi.

    Lantai koridor tempatku dan Resha berpijak mulai tidak stabil. Beberapa retakan mulai muncul, lalu…

    Semuanya terjadi begitu cepat.

    Sekarang yang terlihat olehku sekarang hanyalah kegelapan. Ya, semua begitu gelap. Aku juga tidak dapat merasakan kakiku. Ah…apakah aku sudah mati? Kenapa semua harus terjadi sekarang? Oh Tuhan, kenapa…

    Aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu, namun kali ini terasa hembusan udara. Perlahan aku membuka mataku. Di atasku hanya ada sisa-sisa reruntuhan bangunan berjarak kurang dari 2 meter, siap jatuh kapan saja. Aku berusaha bangun…ARGH!!! Kakiku sakit sekali!!! Refleks, aku berteriak kesakitan. Benar saja. Begitu kualihkan pandanganku ke arah kaki, ternyata mulai dari ujung kaki hingga sedikit di atas lututku tertimpa sisa-sisa tembok dan kayu yang besar. Kakiku tidak dapat kutarik sama sekali dan terasa begitu sakit. Apa mungkin tulang kakiku patah?

    “Daleth…!! Daleth!!”

    Suara itu…Resha?

    Aku merasa tangan kiriku digerak-gerakkan. Kutengok ke sebelah kiri, ternyata ujung jari hingga sedikit di bawah sikuku, tertutup reruntuhan. Bedanya, tidak terasa sakit, mungkin tidak ada cedera. Sedikit di atas siku ada sebuah goresan, namun tidak mempengaruhi pergerakan tanganku. Telapak dan jari-jariku juga merasakan genggaman yang hangat. Genggaman ini...tangan Resha.
    Dipisahkan oleh sisa-sisa bangunan yang tidak dapat kupindahkan, Resha terus memanggil-manggil namaku.

    “Resha!! Apa benar kamu di sana?!”, teriakku.

    “I-Iya!! Aku di sini!! Syukurlah…kukira kamu…”

    Terdengar suara tangisan, sebuah tangisan yang menunjukkan perasaan lega.

    Dengan tangan kanan, kucoba untuk memindahkan beberapa batu berukuran kecil. Selama beberapa saat kulakukan hal itu, dan akhirnya tercipta celah kecil. Dari celah yang hanya sedikit lebih besar dari kepalan tanganku itulah aku bisa melihat wajahnya, sedikit kotor karena debu. Terlihat juga tidak ada reruntuhan yang menimpa wajah hingga lehernya. Jarak antara diriku dan Resha hanya kurang dari 1,5 meter dan aku tidak mampu memeluknya. Menyadari hal itu, aku merasa sedikit depresi.

    “Daleth, bagaimana denganmu?”

    “Tidak buruk. Hanya sedikit tertimbun reruntuhan di kakiku…aku jadi tidak bisa berdiri sekarang.”, aku masih berusaha tertawa kecil setelahnya agar Resha tidak khawatir.

    “Sakitkah?!”, tiba-tiba suaranya dikeraskan.

    “Sudah, tidak perlu khawatir. Setidaknya tidak ada organ vital yang mengalami cedera. Hanya kakiku saja yang sakit.”

    “B-Benarkah?”, wajahnya terlihat khawatir.

    “Iya, iya. Tidak apa-apa kok. Yah, walau dengan begini…aku tidak bisa melakukan apapun selain menunggu bantuan.”

    “Kamu terlihat tenang begitu…kenapa aku malah jadi khawatir…”

    “Tenangkan dirimu, Resha. Sungguh, tidak ada cedera serius padaku. Kamu sendiri bagaimana?”

    “Tidak berbeda jauh denganmu.”

    “Berarti sekarang tidak ada satupun di antara kita yang bisa bergerak dari tempat ini…huh…”

    “Itu tidak penting, Daleth. Bisa melihatmu masih hidup saja aku sudah senang…”

    “Ehehe…sama denganku. Yah, sepertinya kita hanya bisa berdoa supaya bantuan cepat datang. Bertahanlah hingga saat itu tiba, oke?”

    “Iya, aku janji. Aku pasti berusaha bertahan dan terus berdoa. Aku tidak bisa terima kalau ini adalah akhir dari segalanya, Daleth.”

    “Ya, kamu benar. Aku juga tidak mau sampai di sini saja.”

    Dari celah sempit itu, aku bisa melihatnya mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya aku sangat khawatir dengan kondisinya, karena yang dapat kuketahui darinya hanyalah wajah dan kehangatan tangan kanannya yang memegangku. Tapi senyumannya itu membuatku sedikit tenang. Setidaknya dia masih mampu merespon apa yang kutanyakan dengan baik.

    Di antara sela-sela reruntuhan di atasku langit sudah terlihat gelap, udara juga terasa makin dingin. Dari kejauhan aku bisa mendengar suara gelombang laut, bercampur dengan sayup-sayup suara manusia yang pastilah sedang panik dan kacau karena bencana ini.




    Aku tidak tahu berapa lama akan terjebak di sini. Namun menurut perkiraanku, sepertinya tidak mungkin malam ini juga aku dan Resha bisa keluar dari reruntuhan yang menyegel total pergerakan kaki kami masing-masing. Bangunan ini berlantai 5, dan aku masih berada di lantai 4 saat tempat ini runtuh. Sangat mungkin posisiku dan Resha berada di atas tumpukan reruntuhan lantai 1 hingga 3, cukup tinggi. Pastilah orang-orang akan berfokus mencari dan menyelamatkan orang-orang yang lebih mudah dijangkau, yang lebih dekat dengan permukaan tanah.

    Tidak ada yang dapat kulakukan selain berdoa dan berharap mujizat akan datang secepatnya. Sarung tanganku sudah jelas berada di luar jangkauan, karena aku tidak berpikiran sama sekali untuk mengambilnya ketika gempa ini datang secara tiba-tiba. Yang bisa kuandalkan sekarang hanya satu, Tuhan sendiri.

    Aku dan Resha pernah bertemu dengan-Nya secara langsung, bahkan bertatap muka. Dia sendiri berjanji kalau kami akan terus bersama hingga masalah ini selesai. Jadi…aku yakin, sangat yakin, kalau ini bukanlah akhir hidupku dan Resha.

    Pertolongan secepatnya memang penting, namun aku juga berdoa supaya menjadi lebih kuat dan tegar agar bisa melalui semua ini tanpa mengeluh. Hanya sedikit sakit di bagian kaki, tidak begitu masalah. Ini tidak ada apa-apanya dibanding dengan tiga kali hampir mati di Qing, Parthia, dan Bantunia.

    Aku harus kuat. Aku tidak boleh mengeluh. Aku harus terus berharap.




    TO BE CONTINUED...



    =============================

    Spoiler untuk Trivia :

    CUMAN 1 !!

    Gempa yang terjadi memiliki referensi dari gempa Haiti tahun 2010 (remember, Haiti is located on island of Hispaniola in real world)

    Inget, cuma referensi.
    Di post #1 udah diberitahu kalo setting waktunya 2011-2012.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  22. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  23. #89
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Akirnya beres baca sampe chapter terbaru
    banyak hal yang mesti gue pertanyain termasuk si Daleth yang belakangan ini semakin agresif meluk sama nyium Resha
    tapi ngga jadi...takut elunya stress gara2 terlalu random

    Keren bok. Tetep memukau kayak biasanya
    cuma pas adegan duel pedang itu aja. Rasanya terlalu pendek, prosesnya kecepetan sampe tense yang lagi tinggi terus tiba2 beres. Tapi sisanya okeh kayak pas rusuh di zaman jadul itu yang si Daleth gahar terus ngeluarin Gendki-Dama walopun ngga di detail berantemnya, lebih berasa tense nya. Gahul

    satu aja deh, satu hal yang wajib gue tanyain
    Spoiler untuk btw :
    Freya sama Sakuya-chan unyu mana?

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  24. #90
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Akirnya beres baca sampe chapter terbaru
    banyak hal yang mesti gue pertanyain termasuk si Daleth yang belakangan ini semakin agresif meluk sama nyium Resha
    tapi ngga jadi...takut elunya stress gara2 terlalu random

    Keren bok. Tetep memukau kayak biasanya
    cuma pas adegan duel pedang itu aja. Rasanya terlalu pendek, prosesnya kecepetan sampe tense yang lagi tinggi terus tiba2 beres. Tapi sisanya okeh kayak pas rusuh di zaman jadul itu yang si Daleth gahar terus ngeluarin Gendki-Dama walopun ngga di detail berantemnya, lebih berasa tense nya. Gahul

    satu aja deh, satu hal yang wajib gue tanyain
    Spoiler untuk btw :
    Freya sama Sakuya-chan unyu mana?
    NAH !!
    bener juga yak terlalu pendek

    gw emang kurang referensi sih buat adegan duel pedang, terlalu konsentrasi nyari hidden knowledge ttg Holy Roman Empire nya
    maap mengecewakan
    tapi tq dah, kalo nggak gw ga akan nyadar kalo kurang panjang


    Spoiler untuk btw :

    Sakuya-chan bisa gw jamin ga akan nongol lagi, toh di Gift of Life to Azrael uda nongol lagi kan?

    Freya sama opanya rencananya bakal nongol lagi di Epilog, buat nutup cerita


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 6 of 8 FirstFirst ... 2345678 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •