================================================
Chapter 23: Sands of Time ~ Ancient Kingdom of Nile (Part 2)
================================================
Sore hari, hari kelima sejak kami terdampar di Aegyptus kuno. Freya kubiarkan berjalan-jalan keluar sebentar. Walau baru beberapa hari di sini, dia sudah terlihat akrab dengan para pegawai istana maupun para pengawal, dan juga orang-orang kota Niwt-Amun yang ada di sekitar istana. Menurut cerita Freya, mereka semua selalu berlaku baik padanya, bahkan sering mengajaknya mengobrol dan bermain. Baguslah…lagipula di zaman seperti ini aku tidak perlu begitu takut mengenai penculikan anak atau sejenisnya.
Kebetulan, kulihat Ramesses sedang berjalan di dalam koridor istana, namun sesekali dia menengok ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin ada orang lain yang ada di sekitarnya. Hmm…lebih baik kuikuti dia diam-diam.
Ternyata benar kecurigaanku. Tempat yang dituju Ramesses adalah bagian belakang istana yang berbatasan langsung dengan sungai Nil, area pemandian. Setahuku, Resha sedang berada di sana sekarang.
“Melangkah sedikit lagi, lehermu akan kupatahkan.”, kataku dengan nada mengancam.
“T-Tidak, tidak. I-Ini kesalahpahaman, a-a-aku tidak bermaksud---“, jawabnya sambil gelagapan.
“Sekarang jawab aku. Apa kamu berniat mengambil Resha menjadi istrimu secara paksa?!”
“B-Bukan begitu, a-aku bisa menjelaskannya…”
“Aaaahh!! Sudah!! Tidak ada yang perlu ditutupi!! Jika sekali lagi kulihat kamu menyentuh Resha, akan kuhancurkan seluruh kerajaan ini. Hal itu perkara mudah buatku. Apa kamu mengerti?!”, kubalikkan badan, lalu berjalan ke arah dari mana aku datang.
“T-Tunggu!! Kamu tidak mengerti…!!”, Ramesses berusaha mengejarku.
Emosiku memuncak, aku benar-benar marah. Belum pernah sekalipun aku mengeluarkan kata-kata ancaman yang super-destruktif seperti tadi.
“Apa lagi yang mau kamu katakan, HAH?!”, kumaki dirinya keras-keras.
“Kamu dari masa depan kan? Tentu saja kamu tidak mengerti apapun…karena mungkin sudah berbeda jauh dengan yang kualami sekarang.”, ujarnya sambil memalingkan wajahnya dariku.
“Ya, ya, aku memang tidak mengerti. Yang aku mengerti adalah kamu ingin menyetubuhinya selagi dia mandi. Cih, sangat tidak jantan.”
“Maafkan aku, Daleth. Tapi ini semua demi kerajaan…jika aku tidak menunjukkan pada rakyat Aegyptus bahwa diriku adalah seorang yang kuat, mereka tidak akan sepenuh hati mengikutiku jika aku menjadi Pharaoh berikutnya nanti…”, katanya dengan nada lemas.
“Ya, terserah. Selama bukan Resha, aku tidak peduli.”, sahutku ketus.
“Apa dia itu istrimu?”
Pertanyaan itu langsung menusuk saraf-saraf di otakku, membuat badanku sedikit gemetaran dan pipiku terasa panas. Otot-otot mulutku juga berubah kaku.
“B-B-Bukan!! T-Tentu saja bukan!!”, kali ini giliran aku yang gelagapan.
“Jadi kenapa kamu harus marah…? Ah, aku mengerti. Kamu sangat mencintainya…benar begitu?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kakiku langsung lemas, lalu terduduk di lantai istana karena kurasa kedua kakiku ini tidak mampu menahan beban tubuhku lagi.
“Huh…pasti menyenangkan bisa bersama terus hanya dengan orang yang kamu cintai…”, pandangan Ramesses beralih ke arah langit, yang dapat terlihat dari koridor istana ini. “Apakah…di masa depan semua orang seperti itu, Daleth?”
“Err…ng…yah…begitulah.”, jawabku sambil menggaruk-garuk pipi kiri dengan telunjuk. “Memiliki pasangan hidup lebih dari satu adalah hal yang tidak wajar di masaku. Memang masih ada beberapa adat yang mengatakan kalau hal itu sah, namun…kebanyakan pria di zamanku pastilah mempertimbangkan perasaan wanita juga. Di masaku, perempuan lebih bebas mengekspresikan perasaannya. Jika dia tidak menginginkan satu orang lelaki, maka hal itu tidak bisa dipaksakan.”
“Aku…punya satu orang yang kucintai, dialah yang memberiku seorang anak laki-laki. Namun karena tradisi dan supaya rakyat akan sepenuh hati mengikutiku nanti, mau tidak mau…aku harus menikahi beberapa perempuan lagi. Itu semua…terpaksa kulakukan.”
“Di zaman seperti ini memang wajar punya banyak istri, apalagi jika seorang raja atau semacamnya. Kalau aku sih tidak mau…repot nantinya.”
“Ya, ada benarnya juga. Satu-satunya yang menyenangkan dari punya banyak istri adalah kamu tidak akan bosan di malam hari...hahaha…”, ujarnya, dengan ditutup sebuah tawa yang nadanya sedikit mesum.
“Di zamanku sih tidak enak. Nanti istri yang satu ingin ke sini, istri yang lain ingin ke sana. Yang satu minta dibelikan ini, yang satu minta dibelikan yang lain lagi. Tenaga habis, uang juga habis…aku bisa gila kalau begitu.”
“Ternyata setiap zaman punya kesulitannya masing-masing ya?”
“Yap, benar. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin berlama-lama di sini, karena sedikit atau banyak dapat berpengaruh terhadap masa depan. Aku tidak mau terlalu kaget melihat perubahan yang terjadi kalau aku pulang. Hanya saja aku tidak tahu caranya…”
Dari arah belakangku ada suara langkah kaki kecil, namun temponya cepat. Beberapa kali ada teriakan memanggilku… “Papa…!!”
“Ya? Ada apa sayang?”, tanyaku dengan lembut.
Ada yang aneh dengan Freya. Dia terlihat panik, seakan seperti melihat hantu atau semacamnya.
“G-Gawat Pa!! J-Jauh di sana…aku lihat orang-orang berkuda!!”, jawabnya dengan tergesa-gesa.
“Berkuda…? Dari arah mana?”, tanya Ramesses.
“Dari atas tembok kota…aku lihat mereka datang menyusuri sungai…”
“Aku tidak pernah ingat ada pasukan yang dikirim ke selatan sana. Hmm…jangan-jangan…!!”, ekspresi Ramesses berubah terkejut.
Tak lama, seorang pasukan datang dan memberitahukan hal yang sama pada Ramesses. Ah iya, Freya pasti dapat melihatnya lebih dulu karena mata termografiknya itu. Dalam badai pasir sekalipun, suhu tubuh manusia yang unik pasti dapat dideteksinya. Dan…benar saja, menurut cerita orang itu, yang datang adalah orang-orang berkuda dan bersenjata. Beberapa berkulit agak putih, beberapa lagi hitam.
“Orang-orang Berber itu pasti bekerjasama dengan orang-orang Nubia!! Sial, kenapa mereka bisa sampai dekat ibukota begini?! Baiklah, siapkan kudaku dan siagakan pasukan di gerbang selatan!”
“T-Tunggu kak Ramesses…!! Yang datang sekitar dua ratus orang…”, sahut Freya.
“Meski hanya dua orang sekalipun, selama mereka mengancam ibukota, tetaplah harus dibasmi. Daleth, ingin ikut?”
“Err…sepertinya tidak. Aku tidak mau melihat pertumpahan darah atau semacamnya. Aku sudah berjanji tidak membunuh siapapun.”, jawabku setengah ragu.
Ramesses pun keluar dari istana, ingin mengusir orang-orang berkuda itu. Beberapa lama aku masih terduduk di lantai istana dengan diamati oleh Freya yang bingung melihatku bengong seperti itu, sampai aku terpikir sesuatu. Hei, sepertinya ada yang aneh. Freya bilang hanya 200? Aku bisa mengerti bagaimana dia panik begitu melihat 200 pasukan berkuda, bisa jadi karena kejadian sewaktu aku baru terdampar di zaman ini. Tapi…ini mencurigakan. Hanya 200 orang yang datang menyerbu Niwt-Amun, ibukota kerajaan? Mereka sudah gila atau apa? Sejak aku berada di sini, ibukota selalu dijaga ketat di bagian tembok dan gerbang-gerbangnya. Ramesses sendiri berkata kalau ada hampir 15 ribu tentara di kota ini yang siap kapan saja.
“Kamu tidak perlu takut, Freya. Papa yakin mereka pasti dapat dikalahkan.”, kataku berusaha menenangkan Freya.
“Tapi Pa, pasukan yang menjaga di tempatku tadi tidak ada yang punya kuda. Bahkan aku tidak lihat pasukan berkuda lain sewaktu berlari ke sini. Kuda kan harus dilawan dengan kuda juga Pa…”, jawabnya.
Eh? Tunggu. Aku mengerti!! Ini jebakan!! Gawat…Ramesses sudah pergi jauh pula. Ah sudahlah, coba kukejar, siapa tahu masih bisa.
Di pelataran istana, terlihat Pharaoh Seti sedang memandang ke arah langit.
“Ah, Daleth. Ada apa terburu-buru? Apa kau khawatir dengan serbuan itu? Tidak perlu takut, putraku adalah ksatria yang hebat. Meski masih muda, dia sudah dua kali berperang bersamaku, melawan orang-orang Berber, dan menduduki Qadesh.”
“Maaf, Yang Mulia. Namun…saya merasa ini semua jebakan.”
Benar saja, beberapa saat kemudian ada seseorang yang berlari dan berlutut di hadapan Pharaoh. Dia memberitahukan kalau…Ramesses diculik orang-orang Berber dan Nubia itu.
“Apa?! Putraku…?!”
Mendadak Pharaoh memegangi dadanya. Serangan jantungkah?! Hei, hei, Anda hanya boleh mati tahun depan, Pharaoh Yang Mulia.
Kutahan tubuhnya yang ingin jatuh itu, dengan orang yang tadi juga ikut memapahnya. Aku berteriak-teriak ke arah dalam, memanggil siapapun untuk memberi pertolongan pada Pharaoh.
Ternyata benar, ini semua hanyalah taktik busuk mereka. Bagian selatan kota terlalu jauh dari jangkauan barak pasukan chariot di utara kota, di sebelah kuil Karnak, hampir 2,5 kilometer dari istana ini. Artinya, di selatan hanya ada penjagaan infantri. Para pengendara kuda itu berfungsi hanya untuk memancing Ramesses keluar, sehingga mudah untuk dibawa kabur. Para infantri jelas tidak akan mampu mengejar pasukan berkuda itu. Menunggu chariot dari bagian utara kota pun sudah terlambat, mereka pastilah sudah jauh. Logika anak-anak seperti Freya, yang mengatakan kalau ‘kuda harus dilawan dengan kuda’, ada benarnya kali ini.
Pharaoh Seti akhirnya kembali tenang setelah meminum obat yang diberikan tabib istana. Masih di pelataran istana, Pharaoh Seti, yang diliputi amarah, memerintahkan pimpinan pasukan istana untuk mengejar para penculik itu…dengan kekuatan penuh.
“H-Hei, tunggu!! Jangan pergi dulu!!”, seruku pada kepala pasukan. “Sekali lagi maaf atas kelancangan saya, Yang Mulia. Tapi Anda tidak bisa membiarkan ibukota kosong tidak dijaga.”, ujarku pada Pharaoh.
“Jadi, apa saranmu, Daleth?”
“Saya yakin ini adalah taktik orang-orang itu untuk membuat ibukota kosong dan mudah diserang oleh kumpulan pasukan lainnya yang lebih besar. Saran saya, perintahkan pengintai untuk mengamati daerah sekitar ibukota, sementara siapkan para pasukan di luar tembok kota agar lebih mudah untuk bergerak. Dan…untuk berjaga-jaga seandainya jumlah mereka lebih banyak, saya akan membuatkan senjata khusus untuk seribu sampai dua ribu pasukan. Sisa senjata yang disimpan di barak dapat digunakan oleh rakyat yang ingin ikut mempertahankan kota. Dengan begitu, jumlah orang yang mempertahankan kota dapat ditambah.”
“Senjata? Senjata apa yang akan kau buat itu?”
“Ng…ada apa ini ribut-ribut?”, tanya Resha yang mendadak muncul, menggandeng Freya.
“Situasi darurat, Resha. Bisa tolong ambilkan sarung tanganku?”
Sarung tangankupun diambilkan. Dengan Material Creation, aku membuat senjata khusus bagi para pasukan elit kerajaan. Aku yakin, jika senjata ini digunakan oleh orang-orang yang lebih berpengalaman, pasti akan lebih efektif dibanding jika diriku sendiri yang menggunakannya.
“M-Menakjubkan…a-aku seperti melihat dewa Atum menciptakan alam semesta ini…”, ujar Pharaoh dengan penuh kekaguman, sama seperti ekspresi tabib istana, para dayang, dan kepala pasukan yang sejak tadi berada di sekitar Pharaoh.
“Ini.”, kuberikan senjata itu pada kepala pasukan. “Akan kubuatkan lebih banyak lagi, tapi…maaf kalau tidak bisa untuk semuanya. Berikan pada para pasukan terbaik saja.”
“Lalu…bagaimana dengan putraku?”, tanya Pharaoh.
“Untuk itu, serahkan pada saya.”
“Kau mau menyelamatkannya sendiri--- ah, kau punya kekuatan dewa. Pastilah menyelamatkan anakku bukan hal yang sulit bagimu. Baiklah, kuberi izin untuk pergi, asalkan…”
Pharaoh memerintahkan salah satu dayang untuk membawakan burung falcon peliharaan Ramesses. Dia memintaku untuk membawa burung itu sebagai penunjuk arah. Bagus, dengan begini aku bisa tahu lokasi Ramesses berada. Dan tentu saja, Resha yang menerima burung itu, karena dia yang paling mengerti bagaimana caranya menangani hewan.
Selagi Resha mengakrabkan diri dengan falcon itu, yang bernama Horakhty, aku membuat senjata-senjata khusus itu hingga kira-kira 2000 buah. Di saat yang sama, pasukan elit kerajaan satu persatu berbaris di depan istana dan bersiap menerima senjata-senjata buatanku itu, dengan diawasi oleh Freya. Dia adalah anak yang rapi dan teliti, sehingga barisan pasukan yang dirasanya tidak sesuai dapat diberitahukannya pada kepala pasukan.
“Plasma Directing. Set up.”, kuaktifkan program itu begitu orang terakhir menerima senjata, lalu awan plasma tercipta di bawah kakiku.
“Aku ikut…!!”, sahut Freya sambil mengangkat tangan kanannya.
“Tidak boleh. Kamu harus tetap di dalam tembok kota.”
“Yah Papa. Ayolah…aku janji nanti akan kubantu mencari kak Ramesses deh…Mama diajak, kenapa aku tidak?”, ujarnya sambil memelas.
Argh, wajah menggemaskan itu…aku paling lemah dengan ekspresi Freya yang seperti itu.
“Oke, oke. Kamu boleh ikut. Tapi jangan pernah terlalu jauh dari Papa, mengerti?”
Dia menjawabnya dengan beberapa kali mengangguk.
“Ya sudah, sekarang kalian naiklah.”, kataku pada Resha dan Freya. “Yang Mulia, kami mohon diri.”, ujarku sambil sedikit menunduk.
“Baiklah. Semoga cahaya Ra menyertai kalian.”
Falcon itu, Horakhty, terbang lebih dulu ke arah selatan. Untuk menemukan Ramesses, aku harus mengikuti ke mana burung itu pergi.
Terbang keluar dari tembok kota, terus menyusuri sungai Nil selama beberapa jam hingga tengah hari. Kukira orang-orang itu membangun perkemahan di tepi sungai, ternyata tidak. Saat matahari sudah di atas, burung itu berbelok agak ke timur. Sekitar 50 kilometer sebelah timur sungai, ada sebuah oasis yang cukup besar, bertetangga dengan sebuah perkemahan yang luas di selatan. Menurut pengamatanku, mungkin dapat menampung sekitar 10 ribu orang. Kulihat Horakhty tidak terbang lebih jauh lagi, hanya berputar-putar di atas perkemahan tersebut. Berarti Ramesses ada di dalam salah satu kemah.
Benar dugaanku, pasukan berkuda yang datang tadi adalah sekedar pancingan. Perkemahan ini berjam-jam jauhnya dari Niwt-Amun. Kalau kota diserang dalam kondisi tidak terlindungi, dan pasukan Pharaoh posisinya terlalu jauh seperti di sini…kota itu pasti tidak dapat diselamatkan.
“Umm…kak Ramesses ada di kemah yang itu.”, ujar Freya sambil menunjuk kemah yang kira-kira berjarak 20 meter dari oasis, ketika kami terbang beberapa belas meter di udara. Oh, mata termografik nya sudah aktif.
Kami mendarat di bagian terluar perkemahan, mengendap-endap hingga ke tempat Ramesses berada. Perkemahan ini…sepi. Sekarang aku 100 persen yakin, sisa pasukan Berber dan Nubia itu pasti berada di sekitar Niwt-Amun. Tapi aku harus tetap waspada, masih ada 200 orang di sini. Tidak mungkin mereka meninggalkan Ramesses tanpa penjagaan.
“Papa, Mama, hati-hati…di dalam kemah masih ada lima orang lainnya.”, kata Freya saat kami berada sekitar tiga langkah dari pintu kemah berwarna coklat ini.
“Baiklah…Material Creation.”
Tebak apa yang kubuat? Yap, pedang intan, sama seperti yang kugunakan untuk berduel dengan Friedrich beberapa waktu lalu. Dan…pedang ini juga yang kuproduksi secara massal di kota. Pasukan elit kerajaan, dengan keahlian berperang yang sudah jelas lebih baik dariku, pasti dapat menggunakannya lebih efisien.
Sambil menggenggam pedang intan itu di tangan kanan, kumasuki tenda itu secara tiba-tiba. Ukuran tenda ini sekitar 6x10 meter, dengan meja kayu di tengah-tengahnya. Empat orang yang diceritakan Freya tadi sedang duduk mengelilingi meja, dua orang Berber dan dua lagi Nubia. Orang yang satu lagi berada di dekat Ramesses, dengan kedua tangan terikat, seorang Nubia. Keempat orang itu langsung mengambil pedang berupa golok besar yang disandarkan di dekat kursi masing-masing, siap untuk menyerangku.
Satu persatu orang-orang itu maju sambil mengayunkan senjata. Tentu saja, semuanya itu retak saat berbenturan dengan pedangku. Hanya dengan mengerahkan tenaga yang sedikit lebih besar saat mengayunkan pedang, senjata mereka semua dapat kupatahkan.
Tapi…masalah belum selesai. Orang Nubia yang berada di sebelah Ramesses menaruh mata pedangnya di leher calon Pharaoh masa depan itu. Sial, sedikit saja aku bergerak, maka putuslah leher Ramesses. Akupun tidak berani mengaktifkan Photonic Velocity, karena pedang itu benar-benar menempel pada lehernya. Goncangan kecil saja bisa memutuskan urat leher. Mereka sekarang berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
“Apa kalian gila?! Sepuluh ribu pasukan unta dan kuda sekarang sudah berada di sekitar Niwt-Amun!! Kenapa kalian tidak membantu pasukan kerajaan?!”, seru Ramesses, lalu orang Nubia itu makin menekan ujung pedang ke lehernya.
“Tenanglah, hal itu sudah kuprediksi. Aku sudah menyusun strategi yang sudah pasti dapat mengusir para penyerang itu. Sekarang…keselamatanmu lebih penting.”, ujarku tenang, walau…sebenarnya aku ketakutan setengah mati sekarang. Jika Ramesses mati di tempat ini, bisa-bisa masa depan…
Salah satu orang, orang Nubia, menawarkan sebuah ‘permainan’. Dia berjanji akan melepaskan Ramesses, asalkan aku dapat menyelesaikan permainannya, dan…menyerahkan diri. Cih, seenaknya saja. Aku sudah tahu trik para penculik seperti ini. Menyekap sandera, meminta tebusan, dan tentu saja, tidak akan menyerahkan sanderanya meski tebusan sudah diberikan. Dalam hal ini, tebusannya adalah diriku sendiri. Akan kupikirkan cara membebaskan Ramesses nanti. Yang jelas sekarang aku harus berpura-pura setuju terhadap permintaan orang itu.
“Oke, apa permainannya?”, tanyaku dengan ekspresi yang sengaja kubuat sangar, agar ketakutanku tidak terlihat.
Di atas meja persegi panjang itu, ditaruh beberapa buah gelas kayu. Orang itu juga mengambil sesuatu, seperti sebuah kacang. Kacang itu ditutup oleh salah satu gelas, lalu gelas-gelas lainnya diposisikan terbalik, sama seperti dengan gelas yang menutup kacang itu. Kemudian, semuanya disusun secara horizontal. Permainan yang sering kulihat, hanya saja…kali ini…sepuluh gelas?!
Dua orang lainnya berdiri di sebelah kiri dan kanan orang yang menaruh kacang itu, lalu ketiganya mengubah-ubah posisi gelas-gelas kayu tadi. Astaga, tangan mereka bertiga cepat sekali!! Aku tidak bisa mengikuti pergerakan tangan mereka sama sekali!! Argh, seandainya ada kamera, aku hanya perlu melihat replay nya dalam tempo yang diperlambat. Duh, bagaimana ini…?
Keringatku mengucur deras. Orang itu berkata kalau aku salah menebak sekali saja, maka leher Ramesses akan hilang. Aku tidak boleh salah tebak…bagaimana ini?!
“Oh, gelas yang itu.”, tiba-tiba Freya menyahut sambil menunjuk gelas ketiga dari kiri.
Dan ternyata benar!! Ternyata kemampuan mata termografik Freya sangat bermanfaat kali ini. Mereka semua tidak percaya begitu saja, menganggap tebakan Freya hanyalah sebuah keberuntungan semata.
Orang itu tidak menyerah. Sekali, dua kali, bahkan hingga tiga kali dia mengulang permainan itu. Hasilnya? Semua dapat ditebak Freya dengan mudah. Dan…keempat kalinya, orang itu berjanji dia akan melepaskan Ramesses begitu aku bisa menebak yang kali ini.
Gelas-gelaspun diputar, dan…
“Hei?! Kacangnya diambil sewaktu gelas-gelasnya berhenti ya? Kok tidak ada di dalam satupun gelas?”, ujar Freya.
Orang-orang itu makin terkejut, sementara Ramesses…
“Heyaaaaahhh!!”, Ramesses membanting orang Nubia yang berada di sebelahnya itu, lalu merampas pedang orang Nubia tersebut. Permainan tadi ternyata memberinya kesempatan untuk melepaskan diri.
“Hei, tahanan kalian lepas tuh.”, kataku sambil kusodorkan mata pedangku ke arah mereka.
Eh? Tunggu. Bukankah tadi ada lima orang? Kenapa tinggal empat?!
“Daleth!!”, teriak Resha dengan panik, 3 meter di belakangku. Ternyata satu orang lagi tidak kuperhatikan dan menyandera Resha, menaruh ujung pedangnya di leher Resha. Sial!!
Kemarahanku memuncak tiba-tiba.
“Freya, berpeganganlah pada tangan kiri Papa.”, perintahku.
“I-Iya Pa…duh, wajah Papa seram sekali…”
“Plasma Directing!! Aeroblast Phase!!!”, kuteriakkan keras-keras kalimat itu untuk mengaktifkannya. Sebenarnya tidak perlu sekeras itu, tapi…berhubung emosiku naik…
Tangan kananku, dengan bola udara-plasma berdiameter lebih dari 5 meter, kuangkat tinggi-tinggi. Tenda pun terlepas dan meja tadi ikut melayang. Semua orang itu terlihat ketakutan melihatku yang penuh kemarahan, sambil berpegangan pada apapun yang bisa dipegang.
“Lepaskan dia atau kuhempaskan dirimu ke sungai Nil!! APA KAMU DENGAR??!!”, teriakku dengan penuh amarah.
Orang Berber yang menyandera Resha itu terlihat gemetaran setelah aku mengancamnya seperti tadi. Pedang yang digenggamnya pun jatuh, lalu dia berlutut dan tersungkur di tanah. Tidak hanya dirinya, keempat orang tadi juga melakukan hal yang sama. Eh…bukan hanya kelima orang itu. Saat kuperhatikan sekeliling, orang-orang yang tersisa di perkemahan juga berlutut. Plasma Directing dengan Aeroblast Phase pun kumatikan.
“Huh…Papa, Papa. Aku belum pernah lihat Papa seperti tadi. Oh ya, coba dekatkan telinga Papa sebentar.”, sahut Freya begitu bola udara itu hilang.
“Mmm…ada apa sayang?”, aku jongkok di sebelahnya untuk menyamakan tinggi badan, lalu kudekatkan telingaku.
“Papa benar-benar sayang sama Mama yah? Walau tadi wajah Papa seram, tapi anehnya aku tidak takut sama sekali. Aku merasa itu karena Papa marah karena tidak terima melihat Mama dipegang orang lain begitu saja.”, bisiknya.
“A-A-A-Apa…?! D-Dari mana kamu belajar kata-kata i-itu?!”, kataku sambil gelagapan.
“Ih, sekarang wajah Papa malah merah begitu…berarti benar dong ya?”, Freya tidak lagi berbisik.
“Hei Daleth, lain kali lihat-lihat dulu kalau ingin melakukan sesuatu. Aku hampir tersedot tadi.”, sahut Ramesses, berlangkah menghampiriku. “Eh? Kenapa wajahmu merah begitu…? Freya, dia kenapa?”
“Rahasia dong kak…rahasia keluarga…hehehe…”, jawab Freya sambil tertawa kecil.
“Huh…ada pasir yang menyangkut di rambutku nih…”, sahut Resha, yang juga berjalan mendekat. “Heh Daleth, bangun, kita harus kembali ke istana.”
“Biarkan dulu Papa tenang sebentar, Ma. Sepertinya aku baru mengatakan hal yang membuat Papa superrrr kaget….hihihi…”
Aku, yang masih tersipu mendengar bisikan Freya, tidak mampu berdiri. Dua orang, Ramesses dan Freya, sama-sama mengatakan hal yang serupa. Tapi apa benar begitu? Meski aku tahu banyak hal, tapi untuk masalah seperti ini…ah, sepertinya aku masih terlalu lemah dalam soal perasaan.
Kutarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan untuk menenangkan diri, lalu aku mulai berdiri. Di saat yang bersamaan, kudengar suara falcon yang tadi menunjukkan jalan padaku, Horakhty. Dia terbang mendarat di tangan Ramesses.
“Ah…jadi Horakhty yang menunjukkan jalan? Bagaimana bisa peliharaan kesayanganku ini jinak terhadap kalian?”, tanya Ramesses saat burung itu menutup kepakan sayapnya.
“Hal itu perkara mudah buatku.”, jawab Resha.
“Ya, dia memang bisa menjinakkan hewan dengan mudah, bahkan yang buas sekalipun…”, sahutku.
“W-Wow. K-Kalian semua memang luar biasa.”, tutur katanya sedikit gemetar. “Bahkan mata anak ini…seperti mata dari Ra. Tidak ada hal yang tersembunyi dari dirinya…”, rasa kagum juga terpancar saat dia melihat ke arah Freya.
“Oh iya, aku lupa…pusing juga kalau melihat panas seperti ini.”, Freya menutup kedua matanya dengan tangan, lalu kedua bola mata kecilnya itu kembali berubah menjadi biru kehijauan.
“Dan sekarang, orang-orang ini mau diapakan?”, sahut Resha.
“Kalian semua, dengar!! Kalian sudah mengancam keselamatan kota Niwt-Amun yang suci, persembahan untuk para dewa yang agung!! Hukuman akan menanti kalian di sana!!”, seru Ramesses dengan nada marah.
Salah seorang dari mereka bangkit berdiri, lalu berusaha bernegoisasi dengan Ramesses. Mereka menyerah dan nyawa mereka milik Ramesses sekarang, begitu kata orang itu. Dia hanya memohon agar mereka semua tidak dihukum mati. Dijadikan budakpun tidak masalah, asalkan mereka tetap dibiarkan hidup.
“Ramesses, kurasa kamu harus mengabulkan permintaan mereka kali ini.”
“Daleth, apa kamu gila?! Mereka sudah mengancam keselamatan negara!!”
“Berikan mereka tempat tinggal, upah selayaknya, dan roti untuk perut mereka. Kamupun mendapat dua ratus penunggang kuda baru yang profesional untuk membantu mempertahankan kerajaan. Tidak hanya itu, kamu juga mendapat dua ratus informan baru yang akan memberitahumu mengenai wilayah orang-orang Berber dan Nubia.”
“Hmm…kata-katamu ada benarnya. Baiklah, kalian dapat tetap hidup. Aku akan mengajukan pertanyaan. Kalian semua, apa kalian bersumpah setia untuk Aegyptus dan Pharaoh Yang Ilahi?!”, serunya pada semua orang itu.
Semua serempak menjawab “Ya!”. Tentu saja mereka akan setuju. Siapa pula orang-orang di zaman ini yang tidak takut melihatku tadi? Hehehe…
“Dari nasihatmu…aku bisa menyimpulkan sesuatu. Sepertinya kamu sering memberi saran pada para pemimpin kerajaan. Benar begitu?”, tanya Ramesses padaku.
“Ah, tidak juga. Itu kebetulan saja kalau aku dapat bertemu dengan para pemimpin di beberapa negara.”
“Hahaha…kamu ini terlalu sering merendah, Daleth. Baiklah, kita harus kembali ke Niwt-Amun sebelum gelap.”
Misipun berhasil. Dengan arahan Horakhty yang terbang di depan, kami berempat, beserta 200 orang Berber dan Nubia yang sudah bersumpah setia, kembali menuju Niwt-Amun.
Matahari sudah rendah ketika kami sampai di tembok kota Niwt-Amun. Seluruh penduduk dan pasukan kerajaan menyambut dengan penuh sorak-sorai ketika kami tiba.
Para pasukan yang menggunakan pedang intan buatanku memberikan testimoni bahwa senjataku sangat efektif, bahkan satu orang dapat mengalahkan 10 hingga 15 orang sekaligus tanpa harus takut akan rusaknya senjata. Selama aku tidak ada, ternyata sisa pasukan dari perkemahan tadi benar-benar menyerbu ibukota.
Kuangkat tangan kananku, lalu membuat seluruh pedang intan yang kuciptakan tadi menjadi butiran-butiran cahaya yang terbang ke tanganku. Bola cahaya besar tercipta di atas tangan kananku, lalu menghilang. Semua orang yang melihatnya langsung bersujud. Duh…jangan menyembahku…aku tidak pantas disembah.
Malam hari, suasana kota benar-benar penuh kegembiraan. Pesta perayaan kemenangan yang gegap gempita dirayakan oleh seluruh penduduk Niwt-Amun, tanpa kecuali. Freya, yang baru pertama kali melihat pesta sebesar ini, juga ikut larut dalam kegembiraan. Kalau aku sih…sudah tidak kaget lagi, karena dulu pernah ada pesta semacam ini di Constantinople. Dan untuk malam ini, ke-200 orang yang menculik Ramesses dimasukkan ke penjara. Esok paginya, Ramesses berjanji akan menempatkan mereka di barak-barak tentara, dan diajari segala hukum dan tata cara berperang orang Aegyptus.
Hari berikutnya. Sebuah upacara khusus diadakan oleh Pharaoh Seti untuk kami bertiga, sebagai penghargaan atas jasa-jasa kami menyelamatkan Niwt-Amun dan putranya, Ramesses. Dia mengatakan bahwa apa yang telah kami lakukan tidak akan bisa dibalas oleh harta apapun di seluruh Aegyptus. Untuk itulah, dia akan memberikan sesuatu pada kami, benda kerajaan yang paling berharga.
“Demi Ra Yang Ilahi, aku bersumpah, aku dan seluruh tanah ini akan terkutuk jika aku tidak memberikan harta kerajaan ini untuk kalian, wahai para utusan dewa. Terimalah, dan jadilah pelindung bagi rakyat kami.”, tutur Pharaoh Seti sambil menyerahkan sebuah kotak yang disalut emas, bertahtakan safir besar di tutupnya.
Aku benar-benar kaget begitu melihat isi kotak itu. Dark Matter?!
“Daleth, itu…”, katanya dengan wajah terkejut.
“Ya Resha, aku bisa lihat…”, aku sama terkejutnya.
“Ada apa, Daleth?”, tanya Pharaoh.
“Maaf, Yang Mulia. Tapi…"
Kuambil Dark Matter dari kantong kananku. Benda itu memang selalu kubawa kemanapun, karena aku tidak mau kristal hitam itu dicuri atau semacamnya.
Dark Matter yang berada di kotak itu memiliki bentuk geometris yang sama persis. Sudut, lekukan, bahkan teksturnya sama dengan yang kubawa. Tapi bagaimana bisa? Bukankah yang kubawa ditemukan di bawah Tower of Babylon?!
“Kau sudah punya benda yang sama? Bagaimana bisa…?”, Pharaoh terlihat bingung.
Tunggu. Sepertinya aku tahu cara untuk pulang…
“Resha, bisa tolong ambilkan seluruh barang kita?”
“E-Eh? Kenapa?”
“Aku sudah tahu caranya pulang.”
“Kalian sudah ingin pulang? Tapi…kenapa?”, sahut Ramesses.
“Kurasa kami sudah terlalu lama berada di sini. Jika aku membantu satu dua peperangan lagi…aku yakin akan ada perubahan yang besar di masa depan.”
“Begitukah…? Ah, sayang sekali. Padahal, dengan kalian berada di sini, Aegyptus bisa…”
“Tenanglah, Ramesses. Kamu akan menjadi pemimpin yang hebat, bahkan tanpa kami sekalipun.”
Resha mengambilkan tiga ransel; milikku, Freya, dan miliknya sendiri.
“Papa sudah tahu caranya pulang?”, tanya Freya sambil mengambil tasnya.
“Sudah, sayang.”
“Caranya?”, tanya Resha.
“Kamu tahu apa yang disebut dengan waktu?”
“Lho…kok kamu malah balik bertanya. Mana aku tahu?”
“Baiklah, kupermudah pertanyaannya. Jika kamu memisalkan suatu aliran waktu, apa yang cocok menurutmu?”
“Err…sungai?”
“Salah. Yang benar adalah rantai, atau bisa juga untaian mutiara.”
“Eh? Alasannya?”, Resha terlihat ingin tahu.
“Mungkin ini masih hipotesis, dan sangat dipengaruhi filosofi pribadiku. Tapi…aku selalu membayangkan kalau waktu bukanlah seperti senar ataupun aliran sungai yang tak terputus. Waktu yang kontinu adalah susunan dari banyak kejadian-kejadian kecil, kecil, kecil…hingga sulit dipisahkan dan dikenali. Eternity consists of ephemerality, Resha.”
“Ah, jadi itu kenapa kamu memisalkannya seperti rantai atau untaian mutiara?”
“Yap, benar. Dan…tidak ada dua mutiara, atau dua mata rantai, yang dapat berada dalam satu titik yang sama.”
“Oh, aku mengerti. Seandainya Dark Matter yang kamu dan Pharaoh miliki adalah sama, maka…yang seharusnya tidak berada di zaman ini akan kembali ke masa yang seharusnya.”
“Stop, Daleth. Kata-katamu terlalu sulit dimengerti orang-orang di zamanku ini. Bisa kamu permudah?”, kata Ramesses.
“Iya Pa, waktu itu juga Papa bicaranya susah sekali kumengerti…”, sahut Freya.
“Baiklah, akan kusederhanakan. Jika kami berpegangan pada batu milikku dan menyentuhkannya pada batu kerajaan milikmu, maka kami akan pulang. Itu maksudku.”
“Ah…jadi kalian akan kembali ke zaman kalian?”, tanya Pharaoh.
“Benar, Yang Mulia. Dan yang perlu kami lakukan adalah…”
Kami bertiga memegang kristal Dark Matter milikku secara bersamaan, dan mendekatkannya pada milik Pharaoh. Makin dekat, keduanya seperti terlihat…berdetak. Maksudku, aura hitam yang dipancarkan masing-masing seakan berdetak.
“Tunggu!!”, seru Ramesses. “Jika kalian benar-benar dari masa depan, katakanlah sesuatu mengenai diriku. Dan…berikan juga nasihat terakhirmu padaku, Daleth.”
“Oh, baiklah. Satu hal, jangan pernah berperang terlalu lama hingga menguras kekayaan negaramu sendiri. Jika keuangan negaramu sudah tidak kuat menyuplai perang, berhentilah, dan buatlah perjanjian damai dengan musuhmu yang terlalu sulit dikalahkan itu. Dan…selalu ingat tanggal 27, bulan ketiga musim Shemu. Ingat baik-baik tanggal itu.”
“Oh iya, aku ada satu permintaan. Untuk batu hitam milik kerajaanmu ini…tolong, aku mohon dengan sangat, kembalikan ke Babylon.”, aku menambahkan.
“Tapi kenapa? Bukankah itu adalah harta ker---“
Belum selesai Ramesses bicara, Pharaoh memotongnya.
“Daleth benar, putraku. Batu ini…sebenarnya memang berasal dari Babylon. Dibawa oleh nenek moyang kita, Thutmose III saat dia mulai gencar berperang. Pasukan Babylon yang merasakan ancaman, memerangi Pharaoh Agung kita itu, sambil membawa batu ini sebagai jimat keberuntungan. Mereka dapat dikalahkan, dan batu itu dibawa ke tanah ini.”
“Jadi…batu hitam ini…”
“Benar, Ramesses. Ini seharusnya berada di Babylon, di bawah menaranya yang terkenal itu. Jika kamu menyerahkannya dengan maksud baik, pastilah orang-orang di sana akan menerimanya dengan senang hati. Kumohon, batu itu dapat mengubah zamanku…”
Pharaoh Seti mengangguk sekali kepada Ramesses, memberi isyarat untuk mengabulkan permintaanku mengenai Dark Matter itu.
“Baiklah. Aku bersumpah demi Osiris, aku akan mengembalikan batu itu. Aku bersumpah, jiwaku tidak akan dapat bersatu dengan Osiris di alam sana jika aku tidak melakukannya.”, ujarnya dengan serius.
Kami bertigapun menyetuhkan Dark Matter milikku ke yang dimiliki Pharaoh Seti, dan…
……
……
“Di mana kita sekarang…?”, tanya Freya.
“Kalau melihat sekitar, sepertinya ini kompleks kuil Karnak. Tapi…sudah jadi reruntuhan. Hei, mungkin sekarang…”, ujarku.
Suara seseorang berteriak memanggil namaku dan Resha terdengar dari kejauhan, sebelah kananku. Suara yang sepertinya kukenali…suara perempuan.
“Daleth…!! Resha…!!”, teriaknya.
“H-Helena?!”, aku dan Resha berseru bersamaan karena kaget.
“B-Bagaimana kalian bisa tiba-tiba muncul begitu saja?! Tadi tidak ada apapun di sini, dan…”
“Kami baru saja dari Aegyptus kuno, kak.”, sahut Freya.
“Eh? Eeeehhh?! Yang benar?! Ah, jangan berbohong…”
“Freya benar, Helena. Jika bukan karena Resha melemparkan kami ke masa Aegyptus kuno, mungkin kami sudah mati dalam kecelakaan pesawat.”
“Jadi kalian berada di kecelakaan pesawat kemarin?! Setahuku memang ada yang aneh dari daftar korban…memang tidak ada yang tewas, namun tiga dinyatakan hilang.”
“Mereka semua selamat?! Syukurlah…berarti kepala penjara tidak apa-apa.”, aku bisa bernafas lega. Hmm, tapi…kemarin? Berarti masih ada sedikit time slip. Tapi tidak apa-apa, yang penting aku, Resha, dan Freya dapat kembali ke zaman yang benar.
“Jadi Opa selamat ya Pa?”
“Iya sayang. Nanti kita cari Opa.”
“Daleth, anak ini…siapa?”
“Perkenalkan kak, aku Freya Amoreux. Dan ini Papa dan Mamaku.”
“H-Hei, Freya!! J-Jangan memperkenalkan kami seperti itu pada semua orang…!”, sahut Resha, sedikit memerah. Pipiku juga panas sih…
“Ini…anak kalian? Heee…jadi kalian sudah…”, wajahnya menunjukkan ekspresi curiga.
“Tapi bukan Papa Mama sungguhan kak. Mereka sama baiknya dengan orang tuaku, jadi kupanggil begitu.”
“Oh…kukira…ya sudah, nanti akan kuantarkan ke rumah sakit tempat para korban dirawat.”
Suara seseorang berteriak memanggil Helena. Ah, dari penampilannya yang mengenakan kaus yang simpel dengan rompi coklat, sepertinya Helena sedang melakukan penggalian di situs ini atau semacamnya. Kami bertigapun berjalan mengikutinya.
Panggilan itu ternyata berasal dari salah seorang rekan kerjanya yang baru saja menemukan sebuah prasasti cukup besar, bertuliskan hieroglif. Beberapa menit berlalu, beberapa deret tulisan teratas sudah dapat terlihat.
“Pada tahun ke sepuluh pemerintahan Ayahku---“, kata-kata Helena yang sedang membaca langsung dipotong.
“Pada tahun ke sepuluh pemerintahan Ayahku, Pharaoh Seti Yang Agung, aku, Ramesses II Yang Agung dan Perkasa, yang masih belum menjadi Pharaoh atas Aegyptus, bertemu dengan tiga orang utusan dewa dari masa depan, yang terdampar di padang gurun. Ketiganya memiliki rambut emas berkilauan, seperti kemuliaan cahaya Ra yang terbit saat fajar. Yang pertama, bernama Daleth Reshunuel, seorang lelaki yang dikaruniai hikmat dan pengetahuan oleh Thoth, dewa pengetahuan yang mengetahui segala yang ada di alam semesta. Tidak hanya itu, dia dianugerahi kekuatan badai oleh dewa Seth dan cahaya suci oleh Ra Yang Ilahi. Yang kedua, bernama Resha Gimmelia, seorang perempuan bertubuh agak kecil, merupakan reinkarnasi dari dewa Nu, sang Kegelapan Yang Pertama Ada, yang tidak terikat ruang dan waktu. Dia juga berkuasa atas seluruh hewan di muka Bumi, bahkan peliharaanku Horakhty tunduk dengan mudah padanya. Dan yang terakhir, seorang anak perempuan yang memiliki darah empat kerajaan di Tanah Utara, dianugerahi penglihatan seperti mata Ra Yang Ilahi, bernama Frewa--- hei, kak Ramesses salah menulis namaku…!!”, kata-kata Freya berhenti, dan terlihat sedikit sebal ---namun menggemaskan--- melihat tulisan itu.
“L-L-Luar biasa…!! Daleth, a-anak ini…”, Helena benar-benar terkejut dan kagum melihat Freya yang amat sangat lancar membaca hieroglif.
“Tidak hanya dia, aku dan Resha juga bisa membacanya dengan mudah.”
“Aaaahh…!! Aku iri...!! Aku juga ingin terdampar di masa lalu supaya bisa belajar hieroglif!!”, Helena terlihat agak sebal, sesekali memukul pasir.
“Ahaha…kami juga tidak pernah diajari hieroglif selama di sana…”, sahut Resha.
“Apa?! Kalian tidak pernah diajari dan bisa membacanya?! Kalian tahu? Dua tahun aku bekerja keras menghafal gambar-gambar aneh ini, dan harus bolak balik dari Constantinople ke perpustakaan antik di Alexandria itu untuk belajar hieroglif!! Oh Tuhan…kenapa hal ini harus terjadi…”, wajahnya berubah suram.
Kami bertiga hanya bisa tertawa melihat ekspresi Helena yang sebal, tapi cukup lucu itu. Tidak kusangka, seorang pimpinan gereja seperti dia ternyata masih punya sifat sedikit kekanakan. Oh iya ya, dia kan lebih muda dariku…
Seluruh korban luka-luka saat kecelakaan pesawat itu dirawat di rumah sakit di Memphis, beberapa ratus kilometer di utara Luxor yang dulu bernama Niwt-Amun itu. Ternyata benar, kepala penjara memang dirawat di sana. Bukan luka serius, tapi dia terlihat depresi, mungkin karena merasa Freya sudah meninggal. Air matapun menetes begitu Freya memeluknya. Baru kali ini aku melihat kepala penjara seperti itu. Ternyata dia bisa menangis juga…hehehe.
3 hari setelah kami bertemu dengan kepala penjara, aku dan Resha memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sayangnya…Freya harus kutinggal. Aku tidak mau membahayakan nyawanya lebih lanjut.
“Mau terus ke selatan?”, tanyaku pada Resha.
“Oh, boleh juga. Maksudmu ke padang rumput Benua Hitam yang terkenal itu kan? Tapi…kenapa ke sana?”
“B-Bukankah kamu senang dengan hewan? K-Kupikir kamu akan s-senang…”, jawabku, namun tidak menghadap ke arah Resha. Argh, aku masih terus terpikir kata-kata Ramesses dan juga Freya yang waktu itu…
“Ih…wajah Papa merah lagi tuh.”, sahut Freya, yang mengantarkan kepergian kami.
“F-Freya…! Sudahlah…”
“Ahahaha…iya, iya. Tapi Papa lucu deh, baru kali ini aku lihat Papa seperti itu. Oh iya, jaga Mama baik-baik ya, aku tidak mau kehilangan Mama baruku.”
“I-Iya…”, lagi-lagi aku menjawab dengan tidak menatap lawan bicaraku.
“Bagaimana, sudah siap mobilnya?”, tanya Resha pada Helena.
“Oh, sudah, sudah. Daleth, kamu bisa menyetir kan?”
“Ya, tentu saja bisa. Maaf sudah merepotkan…”
“Ahaha…tidak apa-apa. Anggap saja sebagai rasa terima kasih penduduk Constantinople atas perbuatan kalian yang waktu itu. Kami tidak sempat membalasnya…jadi yah…sekarang saja.”
“Saya juga harus berterima kasih padamu, Daleth. Terima kasih sudah menjaga Freya dengan baik. Saya tidak tahu harus bagaimana kalau Freya tidak ada…”, sahut kepala penjara.
“Tentu saja pak kepala. Saya juga sangat menyayangi Freya…tidak mungkin saya mengacuhkannya begitu saja. Ya sudah, kami pergi dulu. Kudoakan semoga Tuhan selalu menjaga kalian di rumah yang baru, di Constantinople.”
Yap, Freya dan kepala penjara sekarang memiliki rumah baru di Constantinople, atas permintaanku. Sewaktu aku menceritakan kejadian di Italia pada Helena, dia setuju untuk melindungi mereka di dalam kota yang dipimpinnya itu.
Sebuah Ford Ranger, pemberian penduduk Constantinople, kukemudikan menyusuri pinggir sungai Nil. Sungai besar yang menjadi awal mulanya salah satu peradaban kuno terbesar dalam sejarah umat manusia, Aegyptus.
Kalau kuperhatikan, sepertinya tidak ada yang berubah dari situasi dunia modern ini. Tunggu. Kalau kupikir-pikir…sebenarnya aku, Resha, dan Freya lah yang membentuk masa modern seperti yang sekarang ini. Eh? Tapi bukankah kami bertiga baru lahir di era modern? Dengan kata lain, kami, yang adalah orang zaman ini, harus kembali ke masa lalu untuk membentuk zaman ini? Astaga, kenapa aku jadi pusing begini ya…?
Waktu…mungkin selamanya tidak akan pernah dapat dimengerti 100 persen oleh manusia, benar begitu?
Share This Thread