Tomi terbelalak mendengar lelaki yang berbicara dengannya lewat telepon genggamnya. Lelaki tersebut diselubungi oleh kabut tebal, tanpa identitas, seakan membawa teror tak terlihat dari setiap kata yang diucapkannya.
“Kau dengar kataku tadi kan, hai Detektif?” Tanya lelaki itu.
“Jangan main-main, aku ini adalah seorang detektif polisi, tak akan kau selamat jika kau berbuat hal gila seperti itu!” Bentak Tomi.
Emosi Tomi meluap-luap, ia spontan berdiri hingga ia menyenggol kopi panas yang baru saja dibuatnya. Lelaki itu pun berkata, tapi tak diindahkan oleh Tomi, karena saking geramnya ia pada lelaki itu. Beberapa saat kemudian terdengar pecahan gelas dari cangkir kopi Tomi, dan cipratannya mengenai celana Tomi, tapi tak ia terlalu hiraukan. Diberi isyarat rekannya agar melacak lelaki misterius itu, namun segera diurungkan niatnya ketika mendengar lelaki itu mengancam;
“Kau beritahu orang lain, ku tekan tombolnya! Kau lacak aku, ku tekan tombolnya! Kau berkata tidak... ku tekan tombolnya!”
Tomi tersentak, bagaimana lelaki itu tahu kalau Tomi hendak meminta rekannya agar melacak lelaki itu? Pastilah lelaki itu bisa melihatnya sekarang, baik langsung maupun tidak langsung, baik jauh maupun dekat ia berada.
Tomi berpikir keras. Tak bisa ia menyuruh rekannya agar melacak lelaki itu, tidak tahu ia dimana lelaki itu berada, sedangkan haruslah ia cepat-cepat menemukan lelaki itu, betul-betul diikat Tomi olehnya.
Percakapan mereka tidak lebih dari 6 menit yang lalu, tapi lelaki ini telah bisa mengikat Tomi dalam kontraknya sendiri. Kontrak yang akan menghancurkan karir Tomi, tapi akan menyelamatkan ratusan jiwa...
Tomi mengangkat kopi yang baru saja dibuatnya. Dibawa kopi tersebut perlahan ke mejanya, lalu dihirup perlahan kopi panas itu. Dirapikan olehnya meja kerjanya karena penuh dengan kado agar bisa menaruh kopi panasnya. Beberapa saat kemudian telepon genggamnya berdering, seseorang melakukan panggilan kepadanya. Orang yang tak dikenal, karena ia tak mengenali nomornya. Akh, mungkin saja ada orang yang meminta bantuan, atau ingin berkonsultasi dengan detektif yang cakap nan jenius ini, pikirnya.
Ditekan olehnya tombol YES, lalu disapa siapapun orang yang meneleponnya. “Halo, dengan Detektif Tomi disini, ada yang bisa saya bantu?”
“Fu fu, Tomi sobat lamaku. Aku ingin kau membantuku.” Kata orang itu. Dari suaranya ia laki-laki, dengan nada berat dan terputus-putus; seperti suara orang putus asa.
“Oh, maaf, apa saya mengenal anda?” Tanya Tomi dengan sopannya.
“Tomi, Tomi... begitu bodohnya... Tentu saja kau tak mengenalku” Jawab lelaki itu sambil tertawa terbahak-bahak. “Tapi aku mengenalmu, sangat mengenalmu.”
Tomi hanya bisa terdiam, menunggu dan memberi kesempatan lelaki itu untuk menjelaskan dirinya.
“Dengar, hanya sebulan bagiku untuk menemukanmu, mengenalimu dari dekat, bersiap-siap untuk memangsamu, tapi kau, detektif terbaik yang ada di kota ini, sama sekali tak mengenali apa yang datang menghampirinya.” Semakin lama ia berkata, semakin berat suaranya, hingga menjadi menyeramkan bagi Tomi, serasa tercekik Tomi olehnya.
“Aku tak punya urusan denganmu jika kau tidak membunuh 9 orang dalam 3 tahun terakhir.” Kata Tomi.
“Oh, rupanya kau belum membuka kado dari pacarmu?”
Tomi tersenyum meremehkan. Ia berjalan menghampiri kado-kado yang berjejer di meja kerjanya dengan membawa kopi panas yang baru dibuatnya sebelum menerima panggilan. Ditaruh kopinya di majanya, lalu dicari kado dari kekasihnya.Didapatinya kado yang terbesar , 25 x 25 cm , berwarna biru dan dengan pesan “Hidup matiku berada dalam kado ini – Jane.“ Apa yang ingin ditunjukkan oleh orang dalam telepon ini, pastilah serius, karena nadanya sangat meyakinkan, dan juga menyeramkan. Dibuka olehnya kado tersebut , perasaan keingintahuan menyelimuti dirinya dan juga memberi kekuatan mental untuk membuka kado tersebut.
Apa ini? Gumpalan kertas plastik? Apakah ini lelucon dari orang iseng yang hanya ingin mengerjai detektif profesional? Panas dibuat tomi olehnya . Ia menggenggam kertas plastik itu dengan geramnya lalu dibuang olehnya hingga terlihatlah paket aslinya.
Spontan Tomi menyebut kata caci makian yang dulu sering dilarang oleh orang tuanya. Tak percaya ia apa yang dilihatnya, kepala Jane ada dalam kado itu. Mentalnya langsung drop, tak sanggup ia menerima kenyataan. Langsung ditutup olehnya kado itu, rekan-rekannya mulai melihatnya dengan kebingungan, tapi Tomi memberi isyarat ia baik-baik saja, lalu mereka kembali ke aktifitasnya masing-masing.
“Apakah kau mau berurusan dengan orang yang telah membunuh 10 orang dalam 3 tahun terakhir?”
Tomi tak bisa mengatur napasnya, emosinya meluap – luap. Tapi dia harus profesional, ditenangkan dirinya dan dijawab lelaki misterius itu.
“Baiklah , apa yang kau inginkan?“ Tanya Tomi masih dengan nafas sedikit.
“Aku ingin kau menghentikanku.” Jawab lelaki itu.
“katakan saja dimana kau berada, akan ku jebloskan kau ke penjara kata Tomi dengan geramnya.
“Aku tak ingin kau memenjarakanku, aku ingin kau membunuhku” Jelas lelaki itu.
“Aku tak punya wewenang untuk eksekusi di tempat... “
“Maka berimprovisasilah!” potong lelaki itu. ”Kau harus berani mengambil tindakan tepat dan cepat, atau tidak 100 badan lebih akan hangus oleh ledakan *** ku.“
Tomi terbelalak, 100 orang lebih akan jadi korban jika ia tidak membunuh lelaki itu cepat dan tepat, apakah ada batasan waktunya?
“Kau dengar, kataku tadi kan? “
“Jangan main-main, aku ini adalah seorang detektif polisi, tak akan kau selamat jika kau berbuat hal gila seperti itu!”
“Itulah yang kuharapkan, bunuh aku, lampiaskan emosimu, balaslah dendammu... Jadilah mesin pembunuh!” Cangkir pecah beberapa saat kemudian.
“Kau beritahu orang lain, ku tekan tombolnya! Kau lacak aku, ku tekan tombolnya! Kau berkata tidak... ku tekan tombolnya!” Ancam lelaki itu.
“Baiklah, akan ku turuti semua keinginanmu. Katakan saja dimana kau dan aku akan membunuhmu sesegera mungkin.”
“Kau tak akan puas bermain jika tak ada tantangannya, bukan?” Tanya lelaki itu. “Jam berapa ini?” Lanjutnya.
“Jam sebelas lewat dua puluh tujuh menit (11.27)” Jawab Tomi.
“Mari kita samakan jam kita, punyaku 11.42” Ajak lelaki itu.
Tomi mengiyakan, lalu distel olehnya jam tangan pemberian ayahnya, tepat pukul 11.42.
“Kini kau siap untuk bermain, detektif...” Lelaki itu terdiam sesaat. Ia membuat jeda yang membuat Tomi merasa tegang, dan juga penasaran permainan apa yang akan diberikan oleh lelaki itu, walaupun ia telah menebaknya. “Permainannya cukup mudah dan sederhana, kita bermain sembunyi-sembunyian. Temukan aku sebelum jam dua belas tepat, dan kau menang. Kalau tidak, sebuah museum yang baru saja dibuka, akan mementaskan pertunjukan kembang api yang amat dahsyat.”
Lelaki itu terdengar yakin sekali permainannya akan bejalan dengan seru. Tomi hanya terdiam, hanya 18 menit waktunya untuk menemukan lelaki itu. Mustahil! Bagaimana caranya menemukan orang yang tak diketahui identitasnya dan juga bisa dimana saja dengan 18 menit? Apa lelaki itu bercanda? Tidak! Tomi tahu lelaki itu serius. Dan Tomi tahu lelaki itu memberikan kesempatan untuk Tomi menang dipermainannya, yang berarti batasan waktu 18 menit tidaklah mustahil.
“Kau tahu, mencari itu sangat membosankan. Bisakah kita bermain permainan lain sambil aku mencari?” Tanya Tomi sambil pura-pura mencari, membuka pintu-pintu yang ada dikantornya dengan berlari-lari kecil, nampak ia sedang terburu-buru.
“Boleh saja, asal kau tidak mencurangi permainanku.” Jawab lelaki itu.
“Berapa jari yang ku angkat?” Tanya Tomi.
“Tiga.” Jawab lelaki itu mantap.
Tomi menurunkan jari manisnya. “Sekarang berapa?”
“Dua.” Jawab lelaki itu dengan cepatnya.
Tomi tersenyum. Ia hampir bisa memastikan satu hal, lalu ia berlari sekuat tenaga keluar dari kantor lewat pintu belakang.
“Tangan mana yang ku angkat sekarang?” Tanya Tomi.
“Kiri.” Jawab lelaki itu.
Tomi tersenyum dengan lebarnya kini. Kemenangan sudah ditangannya, iapun berjalan dengan santainya masuk kekantornya. Ia melihat jam tangannya, masih pukul 14.46. 14 menit lagi, sebelum lelaki itu meledakkan sebuah museum. Tapi tak apa, selambat apapun Tomi berjalan, ia akan menemukan lelaki itu. Masuklah ia kedalam lift, lalu ditekannya angka 9, lift lalu naik ke lantai sembilan. Kantornya sepi, tak ada orang berkunjung dan tak ada pula polisi yang keluar masuk, sehingga liftnya kosong, setidaknya satu orang menggunakannya sekarang.
*Ting* -- Pintu lift terbuka, kaki Tomi pun melangkah, ia berjalan dengan mantap menuju sebuah ruangan. Ruangan itu sendiriannya berpintu sederhana, dengan tulisan “PENGAWAS” tertera di permukaannya.
“Kau... menemukanku.” Kata lelaki itu.
Tomi sampai ke ruangan itu. Dibuka olehnya pintu ruangan itu, seorang pengawas terlihat sedang memonitor seluruh ruangan kantor, tapi bukan pengawas yang asli tentunya. Pengawas yang asli tentu sudah di bantai dan lelaki itu menyamar menjadi korbannya, setidaknya itulah anilisis sang detektif.
Tanpa pikir panjang Tomi menarik pelatuk pistolnya, dan *DOR!!!*. Tembakannya tepat mengenai kepala sang pengawas. Pengawas itu pun tewas ditempat, terjatuh dari kursinya, dan telepon yang digenggamnya ikut terjatuh. Pengawas itu sedang melakukan panggilang kepada seseorang. Tak perlulah disebutkan nama orang yang diteleponnya.
Tomi langsung memeriksa dompet korbannya. Didapati olehnya SIM si korban. Martin A. Hotward namanya. Tomi lalu jongkok, memeriksa saku-saku Martin untuk mencari barang yang berguna. Ia menemukan sebuah recorder di saku Martin, lalu dimasukkan kedalam kantongnya.
Terdengar kericuhan di luar ruangan tersebut. Beberapa polisi masuk keruangan di mana Tomi baru saja mereka bertanya-tanya mengapa seorang detektif membunuh seorang pengawas, tepat di kantor mereka pula. Tomi hanya terdiam, lalu ia bangkit dan berjalan keluar.
“Hei mau kemana kau? Kau baru saja membunuh orang dan dengan santainya kau berjalan meninggalkan TKP seperti orang tak bersalah!” Seru seorang polisi.
“Jika kau membutuhkan ku, aku ada di ruanganku.” Kata Tomi dengan beratnya, kemudian melanjutkan langkahnya.
END OF CHAPTER 1
Share This Thread