Baiklah saya akan coba lebih perjelas kalimatnya.
Saya hanya menggaris bawahi tentang penggambaran kesempurnaan yang kamu tulis.
Maksud saya kenapa gambaran yang muncul dari anda adalah tahap-tahap sebelum diraihnya keadaan manusia sekarang (tahap tsb berdasar teori Darwin). Padahal saya berharap mendapat gambaran dari anda berupa keadaan manusia yang lebih sempurna dari sekarang (bukankah menusia itu diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya?)
Secara implisit dari pertanyaan-pertanyaan itu, saya ingin menyampaikan bahwa kesempurnaan manusia untuk survive di alam adalah bukan karena bila manusia mempunyai semua organ-organ khusus tersebut. Kita tahu bahwa organ-organ tidak bisa adaptif dalam perubahan yang ekstrim. Misalnya dari darat ke laut/air, paru-paru manusia tidak akan bisa beradaptasi menjadi insang. Namun, adaptasi dapat dilakukan pada keadaan, misalnya, orang pada daerah pegunungan akan meningkatkan produksi hemoglobin ke dalam darah untuk mengoptimalkan pengikatan oksigen. Manusia dapat bertahan karena didukung oleh daya pikirnya. Dan ini suatu bentuk adaptif yang unik dimiliki manusia. Misalnya, pada suasana yang dingin, manusia tidak akan beradaptasi dengan menumbuhkan bulu tebal, namun dia akan (mencari cara) menyalakan api untuk memperoleh energi panas dari luar tubuhnya.
Salah satu contoh kesalah pemahaman orang-orang tentang konsep di alam, saya mengutip dari
http://www.dibalikperangdunia.com/4.html :
==========================
Jadi, apakah penyebab bencana ini, yang telah mengubah Eropa menjadi lautan darah? Mengapa para pemimpin negara-negara berkuasa menjerumuskan bangsa mereka ke dalam lembah kematian yang sia-sia ini?
Sebelum perang, banyak orang berpikir bahwa perang seperti ini akan sangat bermanfaat, dan bahkan diperlukan. Banyak orang yang menyambut perang dan sangat gembira ketika perang diumumkan. Para pemimpin dengan bangga mengirimkan serdadu mereka ke medan peperangan.
Penyebab utama kesalahan besar ini adalah keyakinan mereka akan sebuah gagasan, yaitu ajaran Darwin (Darwinisme). Ahli sejarah Amerika, Thomas Knapp menjelaskan hal ini sebagai berikut:
Perang itu sendiri bukanlah hal yang mengejutkan. Perang sebenarnya sudah diperkirakan oleh kalangan Eropa secara luas sekitar sepuluh tahun sebelum 1914. Bahkan ada cukup bukti untuk menunjukkan bahwa sejumlah orang Eropa dari berbagai pihak menyambut datangnya perang. Perang dianggap menyucikan, menggairahkan, membuat muda kembali. Sistem pendidikan di sebagian besar negara Eropa telah dirasuki oleh semacam sikap mental bersaing dari paham Darwinisme Sosial, di mana perang dilihat sebagai hal yang menyemangati dan memuliakan.
Darwinisme Sosial adalah penerapan teori evolusi Darwin dalam masyarakat.

Charles Darwin
Di dalam teorinya, yang kemudian terbukti keliru, Darwin menyatakan bahwa semua makhluk di alam terlibat dalam pertarungan untuk bertahan hidup. Dia menyatakan bahwa manusia adalah bentuk lanjutan dari hewan yang memenangkan pertikaian. Teori yang keliru ini, yang tampak seolah kenyataan ilmiah bagi banyak orang, mengingat rendahnya tingkat teknologi di kala itu, menjadi dasar bagi Perang Dunia I serta bagi sejumlah bencana kemanusiaan lainnya.
Catatan harian dan surat-menyurat pribadi para pemimpin Eropa masa itu menunjukkan bahwa mereka terpengaruh oleh Darwinisme Sosial. Para pemimpin ini mengingkari jalan akhlak yang didasarkan pada kasih sayang dan cinta yang Allah wahyukan kepada manusia, dan lebih memilih Darwinisme Sosial.
Sebagai contoh, Jenderal von Hoetzendorff, kepala staf Austria-Hungaria menulis dalam kenangan setelah perangnya:
Agama, ajaran akhlak dan pandangan filsafat yang penuh kasih, terkadang mampu melemahkan perjuangan manusia untuk bertahan hidup dalam bentuknya yang paling kasar, namun takkan pernah berhasil menghilangkannya sebagai sumber penggerak dunia… Sesuai dengan prinsip besar inilah bencana perang dunia terjadi sebagai akibat kekuatan penggerak dalam kehidupan negara dan masyarakat, bagaikan badai yang secara alamiah harus melepaskan energinya sendiri.
(James Joll, Europe Since 1870: An International History, Penguin Books, Middlesex, 1990, hal. 164)
Friedrich von Bernhardi, jenderal Perang Dunia I lainnya, juga menarik garis penghubung antara perang dengan apa yang disebut sebagai hukum alam evolusi:
Perang adalah kebutuhan makhluk hidup. Perang sama pentingnya dengan pertarungan unsur-unsur alam; perang memberikan keputusan yang menurut ilmu kehidupan adalah adil, karena keputusannya berpijak pada sifat paling mendasar dari segala sesuatu. (M. F. Ashley-Montagu, Man in Process, World. Pub. Co., New York, 1961, hal. 76, 77)
Kesimpulannya, Perang Dunia I disebabkan oleh para penguasa Eropa yang percaya bahwa peperangan, pertumpahan darah, penderitaan, dan membuat orang lain menderita semuanya adalah bagian dari "hukum alam." Teori evolusi Darwin-lah yang telah mendorong seluruh generasi ke dalam keyakinan yang keliru ini. Gambaran sosok Darwin yang gelap bersembunyi di balik tirai peperangan.
Namun, berlawanan dengan pernyataan Darwin, manusia bukanlah hewan yang bertahan hidup dengan tujuan berperang satu sama lain.
==========================
Tentang ukuran/volume otak bukan ditentukan dari besarnya keseluruhan (tnggi/panjang/lebar) badan. Tapi ukuran tulang tengkorak (cranium) organism tersebut. Kalo burung unta (
Struthio camelus) memang tingginya bisa sampe 2,5 meter tapi perhatikan ukuran kepalanya. Saya coba mempertanyakan (karena anda mengungkapkan kapasitas/volume otak sebagai penentu akal) dengan bagaimana kalau dibandingkan dengan ukuran kepala ikan paus yang lebih besar daripada manusia, apakah dengan otak besar dapat mempunyai akal? Untuk berapa persen ikan paus baru mendayagunakan otaknya memang blum ada penelitian. Yah memang karena otak pada hewan adalah sebagai organ sistem koordinasi (pusat pengatur motabolisme, syaraf, sirkulasi, organ-organ).
Pendayaan gunaan yang dimaksudkan pada manusia adalah secara kualitasnya bukan secara kuantitasnya. Pada fungsinya sebagai organ pusat sistem koordinasi, tentu saja seluruh bagian otak bekerja (Yah kalo otak kita dicuil sebagian aja pasti udah gak bisa fungsi). Tapi yang dimaksudkan adalah secara kualitasnya.
Otak pada manusia bila saya analogikan dengan sebuah mesin berdaya 4000 HP, maka rata-rata manusia hanya memacu mesin tersebut hanya pada kisaran 400 HP (bila rata-rata pendayagunaannya adalah 10%). Dan bukan berarti bila mesin tersebut terdiri dari 10 silinder yang digunakan baru 1 silinder.
Tapi penelitian pada manusia, yang diukur adalah kecerdasan (inteligency) dalam berbagai aspek, lebih dari sekedar untuk pusat pengatur kerja sistem organ saja.
Dengan akal, manusia mampu berpikir, menentukan baik atau buruk dan benar atau salah, etika/moral, logika, rasional, budaya, dan salah satu unsur yang tidak dipungkiri adanya adalah jiwa. Dan ini tidak mampu didefinisikan melalui pendekatan biologis. Nah, orang mengalami gangguan kejiwaan (katakanlah sakit jiwa atau gila), padahal organ-organnya, metabolisme, sirkulasi, koordinasinya masih berfungsi. Bagaimana anda menjelaskan hal ini? Akal manusia tidak akan pernah dicapai oleh makhluk lain dengan proses evolusi apapun. Bagaimana anda menjelaskan proses evolusi pembentukan akal ini?
Dan jika memang akal dicapai dengan proses evolusi, seharusnya organism lain juga ada yang memiliki akalbudi. Karena kalo emang begitu juga organism mana yang tidak kepingin punya kecerdasan, kebudayaan untuk membangun peradaban? Dan samakah yang menggunakan akalnya dan tidak menggunakan akalnya (sama-sama punya otak)?
Share This Thread