Author : -Pierrot-
Aku duduk di sebuah bangku taman sambil meneguk sekaleng bir. Sore ini udara sangat dingin, kulihat orang-orang berlalu-lalang mengenakan sweater dan jaket. Aku heran mengapa di tengah cuaca seburuk ini mereka masih bisa tersenyum dan tampak bahagia. Aku melirik beberapa pohon yang tumbuh di tempat ini, sebagian dari pohon-pohon itu telah dihiasi dengan lampu dan pernak-pernik.
Empat hari menjelang natal.
Aku melempar kaleng bir kosong itu ke tempat sampah terdekat, kemudian beranjak dari bangku taman yang sudah kududuki selama kurang lebih satu jam itu. Natal atau tidak bagiku sama saja. Aku tidak pernah mengerti mengapa orang-orang tampak jauh lebih bahagia ketika mendekati tanggal 25 desember ini. Apa karena itu hari libur? hari yang spesial? Berkumpul dengan keluarga? Omong kosong.
Langit mulai merubah warnanya, orang-orang masih berlalu lalang di jalanan kota yang padat ini. Seseorang kemudian menyapaku dari belakang. Suara itu tampak familiar.
Aku menoleh kebelakang untuk membalas sapaannya. Orang itu adalah Victor, seperti biasa ia selalu berjalan-jalan di kota ini bersama dua atau tiga orang anak buahnya. Ia tidak berbeda dengan berandalan, namun aku bisa bilang ia adalah berandalan berkelas jika ditinjau dari penampilannya. Victor sebenarnya putra dari seorang pengusaha kaya di kota ini. Aku sudah mengenal orang ini sejak umur sebelas tahun. Bisa dibilang kalau dia sebenarnya ditelantarkan namun diberkati dengan uang berlimpah.
“Yo Chris.” Ia memanggil namaku. “Kenapa kau tidak bergabung dengan kami? Biar kutraktir kau minum.”
Aku menolak dengan halus. Tawarannya cukup menggiurkan, aku tidak punya hal khusus untuk dilakukan malam ini , namun jujur saja. Aku tidak pernah suka berlama-lama dengan Victor. Terakhir kali aku diajak minum dengannya, dia mengadakan pesta minum besar di sebuah gedung tua milik ayahnya. Ia membawa puluhan preman jalanan yang aku yakin dia sendiri tidak mengenal mereka semua.
“Lebih suka menyendiri eh?” Dia tersenyum padaku. Dia memegang pundakku dan kembali berjalan. “Kau semakin mirip dengan kakakku saja.”
Aku termenung beberapa saat. Melihat ekspresi wajahnya saat mengatakan hal itu, aku tahu ia tidak mengatakannya dengan tulus.
Keesokan paginya aku kembali berada di taman yang sama, duduk dikursi yang sama. Pagi ini lebih dingin dari kemarin. Angin dingin berhembus melewati jaket kulitku. Aku mulai bersin bersin karenanya. Tadinya aku ingin beranjak meninggalkan taman ini untuk mencari minuman hangat, tapi gadis didepanku membatalkannya.
“Hai.” sapanya.
“Ha.. Hai..” aku menjawab dengan canggung.
Dia tersenyum dan memberikanku sebuah sapu tangan putih. Aku melirik sapu tangan itu, lalu aku kembali melihatnya.
“Ini untukku?”
Gadis itu mengangguk singkat. Aku mengambil sapu tangan itu darinya lalu menggunakannya untuk membersihkan hidungku. Aku melihat kearahnya lagi.
“Terimakasih.”
Ia tersenyum, lalu duduk disampingku. Ia menghirup nafas panjang menikmati udara yang dihirupnya. Aku hanya melihat kearahnya dengan pandangan setengah bingung.
“Oi..” aku mencoba berbicara padanya.
“Apa?”
Aku terdiam beberapa saat memandangi gadis disampingku itu. Wajahnya tampak tidak asing.
“Apa aku mengenalmu?”
Aku bertanya padanya namun gadis itu malah tertawa.
“Ya ampun, kau benar-benar lupa padaku ya.”
Aku mencoba mengais beberapa ingatan masa lalu. tapi percuma saja. Gadis itu berhenti tertawa, namun sebuah senyum masih menghiasi wajahnya.
“Aku Grace.”
Aku tahu nama itu. Aku ingat sekarang, dia adalah teman sekolahku saat masih SMP. Mungkin bisa dibilang satu-satunya temanku. Bagaimana aku bisa lupa?
“Grace, sudah lama sekali. Maaf aku tidak mengenal wajahmu.”
“Tidak selama itu, menyedihkan sekali kau bisa melupakanku padahal baru tiga tahun tidak bertemu.”
“Aku dengar kau sekolah di luar negeri.” aku mencoba mengubah topik pembicaraan.
“Tahun ini aku ingin menghabiskan natal di kota ini.”
Dia beranjak dari duduknya, tangannya menggenggam tanganku.
“Temani aku sebentar, sudah lama aku tidak jalan-jalan di kota ini.”
Tanpa berbicara sepatah katapun aku juga beranjak dari bangku taman ini. Tangannya masih menggenggam tanganku, ia menarikku keluar dari taman.
“Oi.. Kau mau membawaku kemana?” aku bertanya padanya.
“Sekolah.” jawabnya.
“Huh..?”
Kami berada di gedung sekolah menengah pertama. Tentu saja ini gedung tempat kami bersekolah dulu.
“Waah, sudah lama sekali.”
“Dasar, mau apa sih datang ke sekolah di hari libur seperti ini.”
“Lihat, pintunya terkunci.” Grace tampak tidak mendengarkan.
“Tentu saja, ini kan hari libur. Lagipula kita akan kena masalah kalau bersikeras masuk.”
“Hei Chris ayo cari jalan lain.”
“Dengarkan aku dulu!”
Grace tiba-tiba berlari, aku refleks mengejarnya. Dia masih saja cuek seperti dulu.
“Oi tunggu.”
Grace berhenti dibagian belakang sekolah, dia berdiri didepan sebuah pintu besi berwarna hijau. Ukuran pintu itu tidak berbeda dengan pintu rumah biasa, namun terlihat beberapa kali lebih kokoh.
“Didalamnya ada tangga darurat . Jarang dipakai dan tidak dipasangi bel pengaman.” Grace menyentuh pintu besi itu dengan jemarinya.
“Hoo.. Aku lupa sekolah ini punya..”
Grace memandangiku sambil tersenyum. Ia mengetuk pintu itu dengan jari telunjuknya.
“Tunggu.. kau tidak berpikiran..”
“Sekali ini saja.. Please??”
Meskipun sangat enggan, entah kenapa aku tidak bisa menolaknya.
“Dasar..”
Aku memaki diriku sendiri yang tidak bisa menolak permintaan gila ini, tanpa mengurangi tenaga aku menendang pintu besi didepanku. Benda itu terlempar sejauh dua meter dan membentur tangga.
“Wah kau berlebihan.”
“Just shut up.”
Aku memandangnya dengan kesal, namun ia hanya tersenyum. Kami sampai di atap sekolah sekarang. Angin disini sangat kencang dan tentu saja sangat dingin, namun hal itu tampak tidak mengganggu Grace sama sekali. Sesekali hembusan angin membuat rambut panjangnya berterbangan. Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi telinganya lalu menghirup udara sambil memejamkan matanya, seperti yang dilakukannya saat ditaman. Saat itu tanpa sadar aku memandanginya selama beberapa saat.
Grace merogoh isi tas pinggangnya dan mengeluarkan sebuah kamera digital. Ia mulai memotret pemandangan di sekelilingnya.
“Buat apa kamera itu?”
“Kenang-kenangan.”
Dia mengarahkan lensa kameranya padaku.
“Cheese.”
Saat itu aku langsung mengacungkan jari tengahku padanya. Setelah menekan tombol shutter dia melihat sejenak ke layar kameranya kemudian tertawa.
“Itu pose terbaikmu?”
“Kalau tidak suka hapus saja.”
Grace mejulurkan lidahnya, lalu ia memasukkan kamera itu ke dalam tas pinggangnya.
“Hey Chris, saat ini kau sekolah dimana?”
“Aku sudah berhenti sekolah.”
Dia tampak terkejut mendengar jawabanku. Aku meneruskan perkataanku tanpa memedulikan keterkejutannya.
“Aku baik-baik saja. Aku rasa kehidupan seperti ini lebih cocok untukku.”
Dari caranya menatap mataku, aku yakin sekali ia sedang tidak sependapat denganku.
“Apakah.. Karena Jordy?”
Aku agak terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Grace. Aku menatap gadis didepanku itu.
“Grace, kau tidak bisa menyalahkan orang lain atas apa yang kupilih. Ini jalanku, aku tidak harus mengikuti jalan yang dilalui semua orang. Sekolah, melanjutkan ke perguruan tinggi, mencari pekerjaan. Memikirkannya saja membuatku merinding.”
Grace memalingkan matanya dari tatapanku. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan sekarang. Grace kembali merogoh tas pinggangnya. Aku pikir ia akan mengeluarkan kameranya lagi, dan ternyata bukan.
Itu adalah sebuah kotak musik. Benda itu terlihat klasik namun masih sangat terawat. Grace membuka tutup kotak itu, dan mengalunlah sebuah musik yang merdu. Diiringi musik dari kotak tersebut, Grace mulai menyanyi. Aku tidak tahu lagu apa yang ia nyanyikan, aku merasa sangat tentram mendengar nyanyiannya.
Grace menutup kotak itu dan alunan musiknya terhenti seketika. Ia berjalan kearahku.
“Ini.”
Grace meletakkan kotak musik itu di tanganku. Mau tidak mau aku menerimanya.
“Tunggu, apa maksudnya ini?”
“Kotak musik ini aku pinjamkan padamu.”
“Apa? Kenapa aku harus…”
Grace menggenggam kedua tanganku yang sedang memegang kotak musik miliknya itu.
“Temui aku di taman kota pukul delapan pada malam natal.”
“Tapi.. aku.. ”
Aku bahkan belum sempat merangkai satu kalimat, namun Grace memotongnya dengan halus.
“Berjanjilah padaku, kau akan datang.”
Grace tersenyum padaku. Angin berhembus melewati kami berdua. Namun aku sudah melupakan semua rasa dingin ini. Aku balik tersenyum kepadanya.
“Kau benar-benar cahaya yang terang.” aku berbisik padanya.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.”
Matahari mulai terbenam saat aku menginjakkan kaki di kamar apartemen tempat ku bernaung. Aku membuka kotak musik ‘pinjaman’ itu. Sebuah musik yang merdu mengalun dari kotak itu. Rasanya musik ini tidak asing. Aku melihat bagian bawah tutup kotak musik itu, menyadari ada sesuatu yang tertulis di karpet pelapisnya.
“Amazing Grace.”
Aku mengetukkan jariku pada tulisan itu. Barulah aku menyadari ada ruang kosong yang terbentuk antara bagian penutup kotak dengan pelapis di dalamnya. Aku mencabut pelapis dalam kotak itu, seperti dugaanku. Pelapis ini khusus dibuat agar mudah untuk dilepas dan dipasang kembali. Dibalik pelapis bertuliskan ‘Amazing Grace’ itu, tersembunyi secarik kertas yang terlipat rapi. Aku membuka lipatan kertas itu dan tersenyum.
“Amazing.”
Aku berjalan di sebuah kawasan pertokoan yang ramai. Aku merasa tubuh bagian kananku berbenturan dengan seseorang. Aku menoleh kearahnya untuk meminta maaf namun orang itu malah menarikku.
“Kau pikir semudah itu?” kata orang itu.
Bersama dua orang temannya, ia membawaku ke sebuah gang yang sepi.
Aku meminta maaf sekali lagi kepadanya.
“Maaf saja tidak cukup tahu! Sebagai gantinya berikan semua uang sakumu.”
“Aku tidak punya.” Aku mencoba mengatakannya namun ia tidak percaya.
“Jangan bercanda bocah! Kau mau main-main denganku ya!?”
Orang itu menggenggam bajuku. Pandangannya tampak mengancam. Aku balik menatapnya. Orang itu terlihat sangat kesal, ia baru akan mengayunkan tinjunya sampai sebuah suara membuatnya menghentikan niatnya
“Sudah cukup.”
Salah seorang temannya menyela. Ia berjongkok di hadapanku untuk menyetarakan tinggi kami. Kini wajah kami saling bertatapan.
“Hei nak, orang tuamu selalu memberikan uang saku kan, kenapa kau bilang kau tidak punya?”
“Karena aku tidak punya orang tua!! Ada yang salah dengan itu?” Tanpa sadar aku membentaknya. Saat itu juga aku tidak bisa menahan air mataku. Mengalir begitu saja tanpa seizinku.
Untuk beberapa saat, orang itu terdiam melihatku.
“Namaku Jordy, siapa namamu nak?”
“C.. Chris..”
Dia kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku.
“Chris.. ikutlah denganku.”
Aku tersentak bangun dari mimpiku. Aku memegang kepalaku, berusaha mengingat kembali apa yang baru saja kualami. Berbagai emosi meluap dalam diriku dan aku tidak tahu sedang merasakan yang mana. Merasa tidak ada gunanya berlama-lama di tempat ini, aku segera beranjak dan memungut secarik kertas yang tergeletak dilantai lalu memasukkannya kedalam saku celanaku.
Aku duduk di sebuah bangku taman yang panjang. Seorang pelukis sedang duduk di bangku yang berlawanan arah. Melihatnya membawa pikiranku kembali ke masa lalu.
Chris, manusia dapat dengan mudah melukis jalan hidup mereka pada kanvas putih. Tapi tidak ada salahnya memulai dengan kanvas hitam.
Aku mengambil sekaleng bir dari saku jaketku. Setelah menghabiskannya, aku pergi meninggalkan taman itu.
“Yo Chris.” Victor dan anak buahnya berjalan dari arah yang berlawanan. “Bisa ikut denganku sebentar?”
Kami sampai di sebuah gang yang sepi, perasaanku tidak enak kali ini. Ralat, perasaanku memang tidak pernah enak jika bersama orang ini. Victor memberikan selembar foto padaku.
“Anak buahku memotretnya kemarin.”
Aku meremas foto itu dengan kepalanku. Aku menatap tajam kearahnya, Victor tampak menikmati kekesalanku.
“Kau tidak pernah bilang punya pacar secantik ini, Chris?”
“Bukan urusanmu.”
“Sombong sekali.” Victor tersenyum bengis padaku. “Itu sifat yang paling kubenci dari dirimu dan Jordy.”
Aku agak bergeming mendengar nama itu.
“Kau tidak lupa kan Chris?” Victor memberikan jeda beberapa detik sebelum ia meneruskan kalimatnya. “Setelah semua yang dia berikan padamu dan pergi begitu saja..”
“Apa maumu?”
Victor tersenyum.
“Jujur saja, aku merasa tersinggung dengan sikapmu belakangan ini. Sepertinya kau tidak menghargaiku lagi.”
Aku tidak perlu bertanya lagi, dia ingin menegaskan bahwa dialah bosnya. Aku balik tersenyum kepadanya.
“Siapa yang sudi menjadi bawahanmu”
Ia masih tersenyum, namun tatapannya yang penuh nafsu membunuh tidak menyiratkan demikian.
“Habisi..”
Ini hari yang sangat melelahkan, segera setelah aku sampai di kamarku, aku langsung merebahkan diri dan hanya butuh tiga menit untuk terjatuh kealam mimpi.
Malam Natal
Aku menatap pantulan diriku dicermin. Saat ini aku sedang berada dalam dilema. Ya, dilema!
Aku sama sekali tidak memiliki pengalaman dengan seorang gadis seumur hidupku.
Menyedihkan bukan? Tapi yang paling menyedihkan bukanlah pernyataan bergaris miring diatas, melainkan fakta bahwa aku sudah membuang lebih dari satu jam, menatap diriku sendiri di cermin untuk menentukan pakaian mana yang akan kugunakan.
“Here we go.”
Aku berusaha menahan teriakanku. Seluruh tubuhku terasa sakit sekali, tangan kiriku yang masih bisa digerakkan kugunakan untuk menyeka darah yang mengalir di wajahku. Victor tampak sangat menikmatinya. Jarang sekali aku melihatnya tertawa dari lubuk hati.
“Lihat dirimu Chris, ini akibatnya jika sampah sepertimu berani mempermalukanku. Sekarang rasakan akibat dari perbuatanmu kemarin.”
“Heh.. Sampai repot-repot membawa lima ekor kera untuk untuk menghajar sampah sepertiku..”
Suaraku tertahan, Victor menyarangkan tinjunya diperutku. Aku terpaksa menjatuhkan diri dan bertumpu pada kedua lututku. Tangan kiriku bergetar memegang daerah yang baru saja dipukul Victor.
“Kau tidak menyadari situasimu sendiri ya.”
Rasa sakit disekujur tubuhku mulai menggerogoti kesadaranku. Aku semakin jatuh kedalam kegelapan.
Entah sejak kapan, aku berjalan dalam tempat yang gelap dan penuh lumpur.
“Tapi Chris, kita sudah saling kenal cukup lama.” Victor melirik kearah sebuah kotak musik tua yang tergeletak di tanah. Ia memungutnya dan membuka tutup kotak itu.
Aku tidak keberatan mengarungi jalan yang tidak terjamah cahaya ini.
“Aku bisa membuat pengecualian untukmu.”
Sampai suatu hari, secercah cahaya menjumpai ku. Begitu terang dan hangat.
“Kalau kau mau memberikan gadis itu padaku.”
Untuk ******** sepertiku, menerima cahaya seindah itu merupakan sebuah anugrah.
“Tangan kananmu yang patah itu akan kuanggap sebagai permintaan maaf.”
Aku menangkap pergelangan tangan Victor.
“Lepaskan tanganmu dari kotak itu…”
“Kau akan pergi begitu saja, Jordy?”
Jordy berdiri membelakangiku. Ia berkata sambil menatap ke langit. “Aku tidak pernah memintamu berjalan di jalur yang sama denganku, Chris.”
“Aku tidak pernah keberatan... ”
“Setiap manusia, memiliki jalannya masing-masing..”
“Diam! Kau yang saat itu menolongku, kau yang saat itu membukakan jalan pada anak yatim piatu yang tidak memiliki apapun dan aku lelah mendengar semua pepatah sialanmu.”
Jordy terdiam selama beberapa saat. Ia berbalik dan menatap langsung mataku. Saat itu seluruh tubuhku seperti membeku.
Aku menundukkan kepalaku untuk menghindari kontak mata dengannya. “Entah sejak kapan, aku sudah tersesat dalam tempat yang sangat gelap.”
Tubuhku bergetar, berbagai emosi yang sejak dulu tersegel entah dimana,seketika meluap begitu saja. Jordy mendekatiku dan meletakkan tangannya diatas kepalaku..
Aku perlahan membuka mataku, tersadar begitu saja dari nostalgia masa lalu. Tubuhku terbaring di sebuah ranjang yang nyaman. Aku rasa aku sedang berada di rumah sakit. Aku melirik kesamping dan mendapati sebuah kotak musik tua dan secarik kertas. Tentu saja aku mengenali kedua benda itu.
Aku membangkitkan setengah bagian tubuhku agar bisa lebih leluasa melihat sekitar. Kalender di dinding menunjukkan tanggal hari ini.
25 Desember
Aku tertawa dalam hati. Pada akhirnya aku tidak bisa menepati janjiku pada Grace, dan dihajar habis-habisan oleh Victor. Aku mengambil kotak musik itu dan membuka tutupnya. Aku kemudian melirik kearah secarik kertas yang terlipat dengan rapi itu. Aku membuka lipatan kertas yang berisikan lirik dari lagu Amazing Grace itu sendiri. Aku menyadari ada sesuatu yang tertulis di bagian bawah kertas itu. Tanpa kusadari, air mataku menetes ketika aku membaca tulisan tangan itu.
“Kanvas sehitam apapun, pasti memiliki makna. Dalam lorong yang gelap kau akan lebih mudah tersesat. Di jalan yang penuh rintangan kau akan lebih mudah menyerah. Namun ketika kau berhasil melewati semua itu, menolehlah kebelakang. ”
Jordy berbalik dan kembali memunggungiku. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, aku yakin saat itu ia sedang tersenyum.
“Karena bagian terbaiknya bukan tentang akhir dari perjalanan itu.”
Ia berjalan sambil melambaikan tangannya.
“Selamat natal Chris.. Kita akan bertemu lagi.”
TAMAT
Share This Thread