Goyang Bareng DJ
Naskah dan Foto: Muhammad L
Kompetisi terbesar para DJ sedang berlangsung
di beberapa klub malam terpandang di Jakarta. Gairah baru clubbing, sebab musik yang dihadirkan para kontestan itu penuh improvisasi, asyik buat jojing! Eh, ini kompetisi atau dugem?
Lima belas menit yang hambar. Entakan musik progressive trance tersebut nyaris tidak menciptakan crowded (keriuhan) di lantai dansa.
Mestinya tidak begitu. Tetapi DJ Miki yang meracik irama dalam piringan hitam tampaknya gagal menghipnotis ratusan pengunjung Centro yang membludak sebelum dia berdiri di depan turntable-nya itu.
Semua yang hadir di situ pun sadar, DJ Miki mulai kehabisan akal. Alhasil, kerasnya volume suara di seisi lantai dansa di kawasan Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan, Jumat malam itu malah ditimpali sorai cemooh para pengunjung yang mood goyangnya tak juga bangkit.
Dus, tiga puluh menit aksinya hanya berujung antiklimaks. Namun untunglah, suasana segera diselamatkan berkat penampilan DJ berikutnya, DJ Cello.
Performanya cukup meyakinkan. Membawakan jenis irama yang sama, - trance progresif, pria berkacamata minus ini tampil lebih atraktif. Meskipun harus repot menggonta-ganti piringan hitam, kedua tangannya masih sempat-sempatnya dia angkat ke atas untuk mengaba-aba para pedansa mengikuti irama yang diraciknya.
Tampaknya, kehadiran Cello cukup menyulut emosi pengunjung. Apalagi, separuh kilatan laser di yang ada sudut kiri, kanan dan atas bagian atas atapnya bertambah semarak. Saling-silang, sinar cahaya biru dan kuning itu seakan-akan mau merobek busana para clubbers yang umumnya seksi saat asyik bergoyang di keriuhan lantai dansa.
“Selain tempat, ada dua hal lain yang bikin kita di sini tidak mau pergi, pertama musik dan kedua DJ pembawa musik itu sendiri,” kata Enna, seorang model di antara bisingnya suara musik. Enna mengaku sengaja datang bersama sepuluh rekan seprofesinya untuk berajojing di tengah riuhnya putaran kedua kompetisi Disk Jockey pada acara Heineken Thirst Indonesia 2005 tersebut.
Boleh jadi, “hukum alam” di dunia hiburan saat ini memang seperti itu. Tempat yang bagus saja tidak cukup tanpa didukung penampilan DJ dan musik yang sedang tren untuk dijadikan pemicu goyangan mereka di lantai dansa.
Sejatinya, DJ bukan lagi sekadar profesi yang cuma memutar plat di atas turntable dan me-mixing sebuah lagu agar sedap didengar. Namun, seorang DJ mesti mampu membangunkan mood sekumpulan clubbers (penggemar musik atau dansa di klub-klub hiburan malam), lalu menggiring mereka ke dalam suasana nyaman untuk bergoyang.
Sebagai kontestan pertama malam itu, sulit dimungkiri, DJ Miki dianggap “gagal” menjalani tugasnya. Walaupun memang, kompetisi tersebut belum berakhir. Maklum, dua pesaingnya, DJ Cello dan Glenn, berturut-turut tampil lebih bagus dari dia. Cello dan Glenn bak magnit yang menarik perhatan clubbers untuk bergoyang selama enam puluh menit jatah keduanya melenggangkan aksi.
Ladang Uang
Seminggu sebelumnya, tiga kontestan dari 12 finalis Heineken Thirst 2005 yang terdiri dari DJ Gibran, Andra, dan Riri lebih dulu menggoyang Retro. Meski sudah dianggap “diskotik kaum tua”, Retro yang terletak Crown Plaza, Jakarta Selatan, itu tetap ramai oleh clubbers.
Memang, selama bulan Maret hingga awal April, berbagai jenis aliran musik seperti progessive tribal dan trance, deep house atau progressive house akan terus menggoyang beberapa tempat clubbing terpandang di Jakarta. Asyik buat bergoyang, sebab jenis aliran musik tersebut keluar dengan penuh improvisasi yang dihadirkan oleh sepuluh “muka baru” dan dua “muka lama” seperti DJ Riri dan Ardi Pite.
Kemudian setelah Retro dan Centro, giliran Vertigo digoyang Heineken Thirst. Berlangsung Jumat lalu (18 Maret 2005), entakan tribal dan trance progesif hasil ramuan DJ Bone, Adhe, serta Ardi Pite bikin suasana klub tersebut jadi meriah. Boleh jadi, permianan DJ Ardi Pite cukup ditunggu-tunggu, mengingat dia sudah “punya nama” di kalangan clubbers.
Ya, DJ memang menjadi “gula-gula” yang manis. Di tangan mereka inilah suasana dansa di klub-klub Jakarta belakangan semakin ramai. Apalagi, jika penampilan mereka diumbar sekaligus dalam sebuah kompetisi keliling dari satu klub ke klub lain seperti ini? Ibaratnya, DJ yang berlomba, pengunjung yang menikmati goyangnya.
“Tapi kalaupun ada yang kalah, keliling klub untuk bersaing unjuk gigi seperti ini akan menjadi daya jual buat mereka sendiri,” ujar Uci Sabirin, penggagas acara dari Heineken Thirst 2005 itu. Pasalnya, kelak setelah muncul sebagai pemenang, kesempatan dan tugas mereka mereka akan lebih gila lagi.
Nantinya, mereka tidak hanya bikin clubbers bergoyang, namun juga nyali para DJ-DJ asal Asia Pasific di partai semifinal. Dan siapa yang beruntung, di partai final mereka layak tampil di hadapan clubbers TBC, sebuah klub, di negeri Paman Sam pada Januari 2006.
Setidaknya, itulah misi yang terselip. “Agar profesi mereka semakin diakui masyarakat luas, sebab DJ bukan lagi milik komunitasnya namun sudah milik umum,” timpal Uchi.
Tidak bisa dibuktikan dengan angka-angka, memang. Tapi buat yang datang langsung ke Retro atau Centro dua pekan lalu, Heineken Thirst 2005 cukup terbukti sebagai ajang kompetisi sekaligus arena dansa paling banyak peminatnya. Mulai dari ABG berpakaian seksi sampai eksekutif muda berumur kepala empat pun ada di sana.
“Dulu memang sering, tapi kalau bukan lantaran acara ini mungkin sekarang saya malas dugem di sini,” kata David, di sela acara Heineken Thirts 2005 di Retro. Alasan David, tempat tersebut perlahan semakin ditinggalkan, mengingat peta dunia malam terus bergeser ke beberapa tempat baru. Sebut saja Centro, Embassy, Vertigo, Co2, Utopia yang baru dibuka bulan lalu dan masih banyak lagi.
David yang berprofesi sebagai pebisnis di bidang event organizer acara-acara hiburan malam mengakui, acara ini pantas dia datangi. Baginya, Dj dianggap sebagai rekan bisnis yang cukup menjanjikan. “Jadi, selain bisa dugem kita juga bisa berburu teman bisnis baru,” ujar David. Tak lain, rekan bisnis barunya yang dia maksud adalah para kontestan DJ.
Hal senada juga diamini oleh Uchi. “Tanpa mereka acara-acara hiburan di sini kurang menarik peminat, sebab semua orang akan lari ke tempat yang menyuguhkan DJ,” kata David, pria berusia 39 tahun itu.
Uchi mengatakan, menjamurnya klub hiburan, meruyaknya industri minuman, dan bertumbuh pesatnya event organizer lengkap dengan bermacam konsep acara dugem tentu sangat mendukung perkembangan DJ di Indonesia, khususnya di Jakarta. “Tempat bagus, DJ ternama, dan konsep acara menarik sudah pasti menjadi ladang uang,” kata Uchi.
Boleh jadi, begitu. Namun yang terpenting, siapa pun keluar jadi pemenangnya, jangan pernah hentikan goyangan Anda bersama mereka, DJ-DJ itu. Sebab, selain diramaikan oleh dua DJ top dunia, Roger Sanches dan Steve Lawyer, acara malam final itu berlangsung bakal lebih seru dalam konsep rave party di Pantai Karnaval, Ancol, Jakarta.
Penulis adalah pemerhati
gaya hidup.
Maaf Kak Kalo Salah Tempat..!
Silakan TARO (Foto Clubbing Kamu Di Sini)
Share This Thread