“Saya tidak paham apa yang kalian bicarakan, tapi sepertinya..”, Penyihir menengok ke arah kedua kakak beradik itu, “.. mereka memintamu untuk melakukan sesuatu, benar kan Jester ?”
Dengan setengah merenung, Jester menjawab, “Sesuatu... yang kurasa mustahil. Mereka minta agar aku mencabut kutukanku kepada kedua laki-laki bodoh itu.”
Mendengar itu, Warna-pun terkejut.
“Tu.. tunggu, Jester ! Bukankah kamu bilang, hal itu bisa dilakukan di dunia ini ? Lalu, apa maksudmu dengan mustahil ?”
Sebelum Jester sempat menjawab, Penyihir terlebih dahulu berkata, “Kebohongan menjadi kebenaran, itukah yang mereka minta ?”
Jester tidak menjawab; Ia hanya menunduk.
“Mungkin, itu satu-satunya cara untuk mengembalikan semuanya menjadi normal. Dan kurasa, mereka sadar, kalau kamu lakukan itu, keberadaan mereka juga akan lenyap. Tapi, mereka tetap memintamu untuk melakukannya.”
Warna memandang ke arah gadis tanpa warna. Sama seperti ketika di perbatasan, keduanya tetap tak dapat berkomunikasi. Tapi dari kata-kata Penyihir, Warna paham kalau gadis tanpa warna tersebut sudah mantap dengan keputusannya.
‘Walau aku telah pergi ke dunia ini, pada akhirnya, aku.. tetap tidak bisa menebus dosaku. Padahal semua ini akibat ulahku, kenapa Nona Penyihir dan gadis ini yang harus menanggung semuanya ?!’
Gadis tanpa warna itu mendekat ke arah Warna.
“(Nona Jester, tolong katakan padanya, jangan menyalahkan dirinya sendiri. Perjumpaan kami memang singkat, tetapi sangat berarti bagiku. Selain itu, walau ia tak merebut warna dariku, keberadaan kami tetaplah salah. Dan katakan, semoga ia bisa menjalani hidup, demi dirinya sendiri, dan juga diriku.)”
Jester memandang keduanya, lalu mengatakan semua sesuai permintaan gadis tersebut. Warna hanya terdiam dan menunduk, sementara Jester merasa kesal pada dirinya sendiri.
“Untuk apa ..... pesan ..... seperti bukan diriku ..... menyebalkan !”
Akhirnya Warna kembali mengangkat kepalanya, lalu memandang ke arah Penyihir.
“Kalau keberadaanku di dunia ini dapat mengacaukan keseimbangan antar dua dunia, aku siap balik ke dunia asalku. Dan kurasa, inilah bentuk penebusan yang dapat kulakukan.”
Tak lama kemudian, mereka semua sudah berdiri di hadapan pintu masuk ‘The Gate’. Sama seperti pintu masuk menuju ‘The Gate’ di dunia asal Warna, pintu masuk ini juga berupa lorong gelap dan panjang, bagai tanpa ujung.
“Tak pernah saya bayangkan, kalau tempat yang saya ciptakan untuk menutup diri terhadap dunia, akan menjadi gerbang antar kedua dunia ini.”
Kemudian Penyihir menengok ke arah Warna dan Jester.
“Saya rasa, Tuan Warna bisa melewati lorong ini dengan mudah. Tapi Jester.. saya yakin kamu akan mengalami hal yang teramat sangat sulit ketika melewati lorong ini.”
Jester menatap lorong tersebut, lalu balik ke arah Penyihir.
“Kenapa ? Bukankah aku bisa dengan mudah melewati lorong di dunia sana ?”
“Karena lorong ini merupakan kebalikan dari lorong yang pernah kalian lewati sebelumnya.”
“Kebalikan ?”, kali ini, giliran Warna yang bertanya, “Apa maksud Anda, Nona Penyihir ?”
“Tentunya kalian tahu, kalau di lorong pada ujung yang lain, kalian akan berjumpa dengan diri kalian dari masa lalu. Sementara sebaliknya, di lorong ini, kalian akan berjumpa dengan diri kalian.. dari masa depan.”
Mendengar itu, wajah Jester langsung menjadi tegang. Penyihir-pun tersenyum lembut, walau senyumnya terlihat sedih.
“Sepertinya kamu paham maksud saya. Ya Jester, masa depanmu.. adalah diri saya. Apakah kamu siap menghadapi sisi lain dari ‘Penyihir’ ?”
Jester masih terdiam selama beberapa saat. Tapi kemudian, ia tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha.. kamu.. benar-benar luar biasa, Kak ! Gerbang dimana untuk melaluinya, kita harus berjumpa dengan diri sendiri, baik dari masa lalu ataupun masa depan, itu benar-benar luar biasa !”, lalu wajah Jester tiba-tiba berubah menjadi serius, “Kalau memang ini adalah cara penebusan dariku, aku takkan ragu melakukannya !”
Penyihir memperhatikan Jester, lalu tersenyum lega.
“Baiklah, semoga kalian dapat melewati lorong ini. Kalau begitu, sampai ketemu lagi di dalam ‘The Gate’.”
Share This Thread