Ketika waktu istirahat, tiba-tiba seseorang memukul pundakku dari belakang.
“Yoo Sigurd, tadi kamu berani juga ya ?”
Aku menengok, melihat seorang pemuda bertubuh tinggi, dengan rambut dan bola mata berwarna kecoklatan. Senyum lebarnya menunjukkan kalau pemuda ini orang yang ramah.
“Kamu.. siapa ya ?”
“Eh ?”, pemuda itu terkejut, “Ah iya ya, aku lupa memperkenalkan diri.”
Lalu sambil menepuk dadanya, ia berkata, “Namaku Marcio Marcony, panggil saja aku Marc.”
“Mar..cony ? Bukankah Marcony itu.. nama menteri pertahanan dan keamanan ?”
Tetap dengan senyum lebarnya, Marcio menjawab, “Ya, menteri Marcony adalah ayahku.”
Dengan terkejut aku berkata, “Wah, aku tak menyangka, sekelas dengan putra seorang menteri !”
“Ngomong apa kamu ini ? Keluarga Alcourt sendiri khan, pengusaha terkenal yang dikabarkan berada di belakang pemerintahan yang berkuasa. Mengenai urusan ekonomi dan perdagangan, bahkan pemerintah-pun tidak berani menentang keputusan ‘Alcourt’ khan ?”
Aku terdiam. Apa yang dikatakan Marcio memang benar; Beberapa tahun yang lalu, secara tidak sengaja aku pernah mendengar percakapan masalah ekonomi negara, antara ayah dengan beberapa orang dari pemerintahan. Secara berkala, orang-orang dari pemerintahan pusat berdiskusi dengan ayah untuk menentukan kebijakan ekonomi negara.
“Sigurd, hey Sigurd, kenapa bengong begitu ?”
Aku-pun tersadar akibat kata-kata Marcio, “Ah iya, benar juga ya. Karena Hubbard Academy bukan sekolah biasa, maka tidak aneh berjumpa dengan anak-anak dari kalangan petinggi negara.”
“Benar. Dan bukan hanya petinggi negara, tapi juga..”, Marcio mengalihkan perhatiannya ke suatu tempat, “.. seorang gadis yang di usianya yang masih sangat belia, sudah menjadi pimpinan pasukan khusus.”
Aku ikut melihat ke arah Kanon Divina, yang sedang membaca buku pelajaran.
“Eh Sigurd, menurutmu, kira-kira type cowok seperti apa yang disukai Nona Kanon ya ?”
Aku tertegun sejenak, sampai menyadari kata-kata Marcio, “Hee ?! Ma.. Marc, kenapa kamu.. bertanya demikian ?”
“Sudah jelas khan ? Dengan batas waktu akhir semester ini, aku bertekad untuk ‘jadian’ dengan Nona Kanon Divina !”
Bel berdering, pertanda kelas untuk hari ini sudah selesai. Para murid segera membereskan buku-buku mereka, lalu keluar ruangan. Sementara aku masih duduk di tempatku, masih teringat akan kata-kata Marcio, ‘Dengan batas waktu akhir semester ini, aku bertekad untuk ‘jadian’ dengan Nona Kanon Divina.’
“Aku tidak mengerti. Di satu sisi, aku sangat berharap tidak berjumpa lagi dengan Kanon Divina, tapi di sisi lain, ada cowok yang sangat menyukai Kanon. Tapi mungkin, rasa takutku akibat trauma kejadian masa kecilku, jadi kurasa itu wajar saja.”
Aku bangkit, lalu mengikuti teman yang lain berjalan keluar. Sampai di luar gedung, tiba-tiba seseorang menabrakku. Untuk sesaat, aku kembali teringat trauma masa kecilku, dan tidak berani membuka mataku.
“Ma.. maaf, saya sedang terburu-buru. Kakak tidak apa-apa ?”
Suara manis itu menyebabkan aku membuka mataku. Di hadapanku, berdiri seorang gadis belia, berambut pendek, yang sedang tersenyum manis padaku. Aku-pun menerima uluran tangannya.
“I.. iya, aku.. baik-baik saja. Aku juga minta maaf, tidak memperhatikan jalan.”
“Kalau gitu, sudah dulu ya Kak.”, lalu gadis mungil itu kembali berlari memasuki gedung sekolah.
Aku hanya terdiam, memandang gadis itu dari belakang.
“Aneh, apa yang dilakukan anak itu di gedung ini ?
Jangan bilang.. dia juga murid disini !”
Mendadak seseorang merangkulku.
“Hey Sigurd, ngapain kamu bengong di tengah jalan begini ?”
“Ah, rupanya kamu, Marc. Jangan ngagetin dong. Aku baru mau balik ke asrama.”
“Hah ?!”, Marcio tampak terkejut, “Nggak salah nih ? Ngapain jam segini balik ke asrama ? Mending temenin aku makan dulu yuk. Laper nih...”
“Iya juga ya. Ya sudah deh, yuk cari makan dulu.”
“Marc, apa kamu serius dengan kata-katamu tadi siang ?”
Marcio memandangku dengan bingung, “Kata-kataku yang mana ?”
“Itu, mengenai kamu suka dengan Kanon Divina, dan bertekad hendak ‘jadian’ dengannya.”
“Lho, apakah itu salah ? Atau jangan-jangan..”, Marcio tersenyum penuh arti, “.. kamu juga naksir pada Nona Kanon ?”
Dengan tergagap aku segera menyanggah, “Ti.. tidak, bukan begitu ! Apa kamu nggak ingat kejadian pas penerimaan murid baru itu ?”
“Oh, jadi itu alasanmu bertanya demikian.”, lalu Marcio memandang ke arah langit, “Aku sangat mengerti, bahwa banyak sekali orang yang merasa takut terhadap Nona Kanon. Kuakui, dia memang gadis yang dingin dan sangat sulit untuk didekati. Tapi aku tidak setuju kalau dia disebut sebagai monster pembunuh tanpa perasaan !”
“Kenapa ? Bukannya dia selalu membunuh orang lain dengan dingin ?”
“Itu akibat tugasnya sebagai penegak hukum di negara ini ! Sebenarnya, setiap kali membunuh orang demi tugasnya itu, perasaannya selalu terluka. Kamu tahu Sigurd, suatu malam setelah ia membunuh, secara nggak sengaja aku melihatnya menangis di suatu tempat sepi. Tapi sepertinya dia sendiri nggak sadar kalau dirinya sedang menangis; Ia hanya duduk terdiam, tapi air mata mengalir di pipinya. Kamu mengerti maksudku khan ?”
Mendengar penjelasan Marcio, aku mengangguk.
“Berarti, apa yang kulihat tadi malam memang benar; Kanon Divina sedang menangis.”
“Sigurd, sebagai teman, kuharap pandanganmu terhadap Nona Kanon bisa berubah. Aku tak ingin ia semakin terluka lagi. Dan untuk itu, kita bisa berusaha menjadi temannya dulu khan ?”
“Teman ya ?”, jawabku setengah merenung, “Aku nggak yakin bisa sih, tapi yah... akan kucoba.”
Sambil menepuk pundakku, Marcio berkata dengan gembira, “Thank’s Sigurd !”
Tepat bersamaan, aku melihat Niven Lang. Aku segera menghampirinya, tapi ketika hendak menyapanya, aku tertegun; Niven Lang sedang berdiri bersama dengan gadis mungil yang tadi bertabrakan denganku !
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ya, ya, ada saja yg tertarik dgn gadis kaku seperti Kanon, fufufu...
Share This Thread